Anda di halaman 1dari 17

Program Kajian Kitab di MAN Insan Cendekia Serpong

Oleh Dra. Yelnita Nova

ABSTRACT

This paper is entitled : THE STUDY PROGRAMME OF ISLAMICS BOOKS IN


MAN INSAN CENDEKIA SERPONG. The purpose of this study is to apprehend
student’s perception regards to the study programme of islamics books in MAN
Insan Cendekia Serpong which is traces the islamicS books and take portraits for
the implimentation of it.

The study contains of research in general which is exploring an analysis of theory.


The theory based on religion education in common and observes islamic boarding
schools’ system by virtue of its hystory and the progress so far. Subsequently
describe MAN Insan Cendekia Serpong under institution perspective.

According to the analysis and data interpellation it can be concluded that study
programme of islamics books is necessary seen by every angle. The existence of it
is not only considered as an image of the modern islam institutions, it may be
assists MAN Insan Cendekia Serpong to actualize its vision and mission, it should
appropriately sustained and needed an improvement as an anticipatory of the
develpment and the charges of change.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi mencapai tahap


ketiga, berupa era informasi. Perkembangan ini ternyata tidak berjalan linear,
tetapi membiaskan dampak yang serius. Amin Abdullah setidaknya
menyebutkan benturan budaya (cultural shock), penemuan ide yang cepat
baru sekaligus cepat usang. timbulnya masyarakat modern, iklim
keterbukaan, persaingan mahahebat di perbagai bidang dan kebangkitan
spiritualisme mengakhiri babak akhir dari semua.
2

Karena itu berbagai upaya mempersiapkan sumber daya manusia


digiatkan termasuk dalam lingkungan MAN Insan Cendekia Serpong.
Kesadaran ini menjelma dalam berbagai bentuk program kegiatan. Salah
satunya program Kajian Kitab.

Program ini mengalami pasang surut dan dinamika yang cukup


signifikan. Perubahan demi perubahan sepanjang waktu menunjukkan
proses dialektika, dinamika pemikiran sekaligus konsolidasi lembaga yang
tidak pernah berhenti. Perubahan dalam perkembangan inilah pada satu sisi
mengesankan inskonsistensi, tapi pada sisi lain menyiratkan dinamika yang
progresif.

2. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

1). Mengetahui persepsi siswa tentang pelaksanaan program Kajian Kitab


di MAN Insan Cendekia Serpong

2). Memotret pelaksanaan program Kajian Kitab di MAN Insan Cendekia


Serpong

2. Kegunaan Penelitian

1) Secara teori, hasil penelitian ini harapkan memiliki arti akademis


(academic significance) menambah informasi dan dipertim-bangkan
program pendidikan agama melalui kajian kitab.

2) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat


dijadikan pertimbangan oleh para pengambil kebijakan di lembaga
MAN Insan Cendekia untuk memutuskan kebijakan-kebijakan terkait
pembinaan siswa dalam bidang keagamaan

B. LANDASAN TEORI

1. Pendidikan Pesantren

Pesantren adalah model sistem pendidikan pertama dan tertua di


Indonesia. Keberadaannya ternyata memberi inspirasi terhadap model dan
3

sistem-sistem yang ditemukan saat ini. Signifikansi keberadaan lembaga ini


sepanjang rentang sejarah bangsa Indonesia, membuatnya menjadi bahan
kajian, diskusi, penelitian. Hal ini disadari bahwa system lembaga ini telah
terbukti eksis dan indigeneus bangsa Indonesia. Melahirkan banyak tokoh-
tokoh perjuangan di zaman pergerakan, dan menjadi benteng moral di masa
pembangunan. Lebih dari itu pesantren diharapkan mampu berkiprah lebih
banyak di masa yang akan datang, tidak saja menjadi benteng katarsis, teta
pi juga menjadi agen perubahan perkembangan masyarakat.

Keunggulan lembaga ini nampak pada integrasi keislaman dan


keindonesiaan pada saat yang sama. Juga prinsip-prisnsip yang melandasi
kiprah pesantren. Jiwa kesederhanaan, mandiri, kebebasan, keikhlasan,
menjadi daya tarik dan juang lembaga ini. Meski perlu terjemah progresif
yang lebih nyata dan visioner, jiwa-jiwa ini sudah mampu terbukti menjadi
bahan bakar pesantren. Unsur-unsur penting pesantrren juga menjadi cirri
khas dan keunggulan. Kyai atau pemimpin yang iklash, santri yang ikhlas,
jiwa dan ruh perjuangan kepesantrenan, pendidikan dan pengembangan,
masjid sebagai pusat kegiatan, dan dukungan masyarakat. Kelima unsur ini
menjadi padu membangun kekuatan dan keunggulan pesantren.

  Materi yang dikaji adalah ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, nahwu,


tafsir, tauhid, hadist dan lain-lain. Biasanya mereka mempergunakan rujukan
kitab turost atau yang dikenal dengan kitab kuning. Di antara kajian yang ada,
materi nahwu dan fiqih mendapat porsi mayoritas. Hal itu karena mereka
memandang bahwa ilmu nahwu adalah ilmu kunci. Seseorang tidak dapat
membaca kitab kuning bila belum menguasai nahwu. Sedangkan materi  fiqih
karena dipandang sebagai ilmu yang banyak berhubungan dengan kebutuhan
masyarakat (sosiologi). Tidak heran bila sebagian pakar meneybut sistem
pendidikan Islam pada pesantren dahulu bersifat “fiqih orientied” atau
“nahwu orientied”.

Masa pendidikan tidak tertentu, yaitu sesuai dengan keinginan santri


atau keputusan sang Kyai
4

Lokasi pesantren model dahulu tidaklah seperti yang ada kini. Ia lebih
menyatu dengan masyarakat, tidak dibatasi pagar (komplek) dan para santri
berbaur dengan masyarakat sekitar. Bentuk ini masih banyak ditemukan pada
pesantren-pesantren kecil di desa-desa Banten, Madura dan sebagian Jawa
Tengah dan Timur.

Bentuk, sistem dan metode pesantren di Indonesia dapat dibagi kepada


dua periodisasi; Periode Ampel (salaf) yang mencerminkan kesederhanaan
secara komprehensif. Kedua, Periode Gontor yang mencerminkan
kemodernan dalam sistem, metode dan fisik bangunan.

Sifat kemodernan Gontor tidak hanya terletak pada bentuk


penyampaian materi yang menyerupai sistem sekolah atau perkuliahan di
perguruan tinggi, tapi juga pada gaya hidup. Hal ini tercermin dari pakaian
santri dan gurunya yang mengenakan celana dan dasi. Berbeda dengan aliran
Ampel yang sarungan dan sorogan. Hal ini bisa dimaklumi, mengingat para
Kyai salaf menekankan perasaan anti kolonial pada setiap santri dan
masyarakat, hingga timbul fatwa bahwa memakai celana dan dasi hukumnya
haram berdasarkan sebuah hadist yang berbunyi: “Barang siapa yang
menyerupai suatu kaum (golongan), maka dia termasuk golongan itu”.

Langkah-langkah reformasi yang dilakukan Gontor pada gilirannya


melahirkan alumni-alumni yang dapat diandalkan, terbukti dengan duduknya
para alumni Gontor di berbagai bidang, baik di instansi pemertintah maupun
swasta. Bila mazdhab Ampel telah melahirkan para ulama, pejuang
kemerdekaan  dan mereka yang  memenuhi kebutuhan lokal, maka Gontor
telah memenuhi kebutuhan di segala sendi kehidupan di negeri ini.

A. Kebijakan Pemerintah dan Pendidikan

Pemerintah melalui Departemen Agama telah mengeluarkan


kebijaksanaannya dalam pendidikan, yaitu dengan SK Menag tentang
penyelenggaraan pendidikan agama. Maka berdirilah MI, Mts, Madrasah
Aliyah dan IAIN dengan tujuan mencetak ulama yang dapat menjawab
5

tantangan zaman dan memberi kesempatan kepada warga Indonesia yang


mayoritas muslim mendalami ilmu agama.

Namun demikian, setelah berjalannya proses kebijakan tersebut,


terbukti masih terdapat kelemahan-kelemahan, baik mutu pengajar, alumni
(siswa) dan materinya, sehingga cita-cita  mencetak ulama yang handal
kandas di tengah jalan. Hal ini terbukti masih dominannya lulusan pesantren
dalam soal keagamaan. Bahkan lulusan madrasah dapat dikatakan serba
tanggung, menjadi seorang profesional pun tidak, ulama pun tidak, Tidak
heran bila banyak suara sumbang dan kritikan tajam bahwa SK bersama tiga
menteri di atas hanya sebuah upaya pengikisan Islam dan keilmuannya
melalui jalur pendidikan. Sehingga pada waktunya nanti Indonesia akan
mengalami kelangkaan ulama. Ini terbukti dengan menjauhnya masyarakat
dari madrasah. Mereka lebih bangga menyekolahkan anak-anaknya di
sekolah-sekolah umum. Alasannya sederhana, lulusan madrasah sulit mencari
pekerjaan dibanding lulusan sekolah umum,

Lebih ironi lagi, pemerintah melarang alumni pondok pesantren non


kurikulum pemerintah untuk masuk IAIN. Alasannya karena mereka tidak
memiliki ijazah negeri atau karena ijazah pesantrennya tidak disetarakan
dengan ijazah negeri

Fenomena di atas membuat beberapa pesantren mengadakan ujian


persamaan negara dan mengadopsi kurikulum pemerintah. Dan tentu saja
segala konsekwensi yang telah disebut di atas akan terjadi. Di samping karena
hal itu menjadi tuntutan masyarakat.

B. Pendidikan Islam Alternatif

Beberpa studi empiris tentang pendidikan Islam di Indoensia


menyimpulkan masih terdapatnya beberapa kelemahan. Karena itu kini
banyak ditemukan beberapa lembaga pendidikan alternatif yang
6

mengakomodir berbagai tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Sekolah-sekolah


unggulan, SMP Plus, SMU Terpadu yang kini banyak berdiri merupakan
respon dari fenomena di atas. Tidak jarang kini ditemukan SMP atau SMU
yang berasrama seperti halnya pondok pesantren.

Bentuk pendidikan ini dilengkapi dengan kurikulum yang tidak kalah


dengan yang terdapat pada pesantren dan sekolah umum. Terbukti adanya
sejumlah sekolah ini yang melahirkan “Huffadz” (penghafal al-Quran)
padahal lahir dari sebuah SMP atau SMA.

Di sisi lain, bentuk lembaga ini merindukan pudarnya dikotomi antara


ilmu agama dan ilmu umum agar integritas keduanya berjalan bersama-sama
sebagaimana yang pernah ditemukan dunia Islam masa silam.

Sekilas MAN Insan Cendekia Serpong

MAN Insan Cendekia Serpong yang menjadi objek penelitian ini


merupakan sekolah berasrama yang didirikan sejak tahun 1996. Sekolah yang
diprakarsai oleh mantan Presiden RI, B.J. Habibie (waktu itu, menjabat
sebagai Menristek/Kepala BPPT) dan mantan Mendiknas Wardiman
Djoyonegoro ini pada awalnya bernama Sekolah Magnet.1 Sekolah ini
merupakan realisasi dari penyelenggaraan program penyetaraan iptek atau
dikenal dengan Science and Technology Equity Program (STEP).2 Tujuan

1
Penamaan Sekolah Magnet (Magnet School) berawal dari gagasan Wardiman
Djoyonegoro, yang bermakna --sebagaimana magnet-- menarik santri-santri cerdas dari
lingkungan pondok pesantren, dimana mereka sudah memiliki bekal imtak, yakni dasar-
dasar ilmu keislaman yang diperoleh selama di pesantren. Kemudian, masih di awal
perjalanannya, nama Sekolah Magnet berubah nama menjadi Insan Cendekia, atas
inisiatif dari Hasri Ainun Habibie. Dari segi bahasa, ada kedekatan makna antara ICMI
dan Insan Cendekia. Sehingga secara filosofis, dari lembaga pendidikan ini akan lahir
kader-kader “insan muslim cendekia” yang unggul dalam iptek dan imtak. Wawancara
dengan Agus Salim Dasuki, salah seorang anggota Majelis Madrasah yang bekerja di
BPPT dan pengurus ICMI, pada 21 Juli 2008.
2
Dua program utama dari STEP adalah: 1) Program Penyelenggaraan SMU
Berasrama, yakni untuk para santri yang diseleksi dari pesantren-pesantren dan madrasah-
madrasah yang ada; dan 2) Program Pelatihan Guru Pesantren, yakni penyelenggaraan
pelatihan guru-guru di lingkungan pesantren untuk meningkatkan nilai tambah dalam bidang
MAFIKIBI. Wawancara dengan Japar, Kepala Sekolah kedua (2002-2006), pada 21 Juli
7

didirikannya untuk meningkatkan citra pondok pesantren di kalangan


masyarakat, khususnya dalam melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi lagi yaitu perguruan tinggi.3 Pendirian sekolah ini juga bertujuan untuk
menyiapkan kader pemimpin bangsa yang unggul.4

Sejak tahun 2001, SMU Insan Cendekia, baik yang berada di Serpong
maupun di Gorontalo, dilimpahkan pengelolaannya dari BPPT kepada
Departemen Agama RI.5 Selanjutnya nama SMU Insan Cendekia
ditransformasikan menjadi MAN Insan Cendekia. Pengalihan ini tidak
2008. Lihat pula STEP-BPPT, Pedoman Manajemen SMU Insan Cendekia, (Jakarta: BPPT,
1997), hal. 1; Tim Teknis STEP-BPPT, Program Penyetaraan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi, (Jakarta: BPPT, 2001), hal. 2.
3
Karena pada saat itu, lulusan pesantren yang melanjutkan ke PTN melalui jalur
UMPTN masih sangat sedikit. Wawancara dengan Soebroto, Pejabat Kepala SMU Insan
Cendekia Serpong tahun 1996 dan Konsultan Pendidikan (1997-2005) pada 11 November
2007.
4
Hal ini sebagaimana tertuang dalam visi misi Insan Cendekia. Secara lugas, visi
yang dikembangkan tersebut mewakili cara pandang teknokrat muslim, yakni
mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dalam keimanan dan
ketakwaan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi serta mampu
mengaktualisasikannya dalam masyarakat. Sementara misinya dirumuskan untuk
menyiapkan calon pemimpin masa depan yang menguasai ilmu pengetahuan dan
teknologi, mempunyai daya juang tinggi, kreatif, inovatif, proaktif, dan mempunyai
landasan iman dan takwa yang kuat, meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
profesional tenaga kependidikan sesuai perkembangan dunia pendidikan, dan menjadikan
sekolah ini menjadi sebagai model dalam pengembangan pengajaran iptek dan imtak bagi
lembaga pendidikan lainnya. Dari jabaran misi tersebut dapat dipahami bahwa para
pendidik di Insan Cendekia tahu benar bahwa pendidikan bukan hanya investasi tetapi
juga kaderisasi bagi keberlangsungan umat dan pencitraan terhadap Islam. Lihat “Profil
MAN Insan Cendekia Serpong” dalam http://www.insancendekia-
tng.net/profil_man_insan_cendekia_serpong.htm diakses pada 17 Mei 2007. Lihat
pula “Sekolah Unggulan MAN Insan Cendekia, Upaya Lahirkan Pemimpin Beriptek dan
Imtak” dalam http://www.bppt.go.id/index. content&task=view diakses pada 17 Mei
2007. Sebagai pelengkap informasi perihal ide awal dari pendirian MAN Insan Cendekia
Serpong (dan Gorontalo) yang digagas oleh beberapa ilmuan yang berafiliasi pada BPPT
dan ICMI, lihat Jurnal Madrasah, no. 3, vol. 1, April 1997; Republika, 27 Agustus 2001
(“SMU/MA Insan Cendekia Serpong, Prestasi di Usia Muda”); Azra, Pendidikan Islam,
hal. 75-77; Jamaluddin (ed.), Mendiskusikan Kembali Eksistensi Madrasah, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2003), hal. 99-101; Abuddin Nata, Modernisasi Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), hal. 82-83; Lihat pula Husni Rahim ”Visi
Madrasah” dalam http://www.pendis.depag.go.id/madrasah diakses pada 13 Juni
2008; juga Ismatu Ropi, “Sekolah Islam untuk Kaum Urban: Pengalaman Jakarta dan
Banten”, dalam Jajat Burhanudin dan Dina Afrianty (ed.), Mencetak Muslim Modern:
Peta Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), hal. 250-257.
Untuk selanjutnya akan disebut “Ropi, Sekolah Islam...”, “Jajat dan Dina (ed.), Mencetak
Muslim Modern…”.
8

mengubah MAN Insan Cendekia sebagai sekolah yang mempunyai ciri khas
sebagai madrasah model dalam pengembangan pembelajaran sains6,
khususnya Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi7 bagi madrasah-madrasah
lainnya di Indonesia.

Untuk itu, sekolah yang berlokasi di Jalan Cendekia Sektor XI Bumi


Serpong Damai Tangerang Banten ini, menyusun kurikulum khusus untuk
para siswanya. Kurikulum yang dinamakan kurikulum Insan Cendekia itu
menyeimbangkan antara iptek dan imtak.8 Kelak, dengan kurikulum tersebut,
menghasilkan lulusan yang kuat dalam bidang sains dan kuat pula di bidang
agama. Dengan kata lain, Insan Cendekia ditujukan untuk menghasilkan
saintis muslim9 yang familiar dengan pengetahuan dan praktik-praktik
beragama dalam keseharian.

Dari segi pencapaian prestasi akademik, madrasah ini telah


membuktikan dengan keberhasilan yang membanggakan, khususnya dalam
mengantarkan para alumninya ke jenjang pendidikan tinggi dan masuk
perguruan tinggi favorit dan terkemuka, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri.10 Di samping itu, siswa-siswi dari madrasah ini banyak meraih medali
5
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama RI, Nomor 490 tahun 2001. Lihat
Profil MAN Insan Cendekia Serpong, 2007.
6
Sekolah ini didesain dengan mengadopsi sistem SMA di tahun 1950-an, yang
menggunakan istilah: SMA A (Bahasa dan Budaya), SMA B (Ilmu Alam) dan SMA C
(Ilmu Sosial. Dan Habibie beserta para penggagas di BPPT lebih memilih pola SMA B,
yaitu fokus pada pengembangan basic knowledge bidang ilmu alam. Wawancara dengan
Soebroto pada 11 November 2007.
7
BPPT memberi istilah untuk keempat mata pelajaran tersebut dengan sebutan
MAFIKIBI, bukan dengan istilah MIPA sebagaimana yang sudah terdengar dalam dunia
pendidikan, yakni saat pelaksanaan program penyetaraan iptek (STEP). Lihat Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Menyongsong Millennium Baru: Reformasi
Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, (Jakarta: BPPT, 1999), hal. 57.
8
Wawancara dengan Soebroto, pada 11 November 2007 dan wawancara dengan
Abdul Gawi, Kepala Sekolah pertama (1996-2002), pada 18 November 2007.
9
Saintis Muslim, sebagaimana dikemukakan oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, adalah
mereka yang memiliki aktifitas saintifik berdasarkan pandangan hidup Islam. Lihat
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Makna Sains Islam” dalam Jurnal Pemikiran dan Peradaban
Islam “ISLAMIA”, vol. III, no. 4, 2008, hal. 9.
10
Lebih dari 90% dari seluruh alumni Insan Cendekia sejak angkatan I (1997/1998)
hingga angkatan XI (2007/2008) berhasil meneruskan studi di perguruan tinggi favorit
melalui jalur UMPTN/SPMB. Dan sebagian dari mereka melanjutkan studi beasiswa ke
luar negeri, seperti Jepang, Malaysia, Amerika Serikat, Mesir, Korea Selatan, Jerman,
9

dari ajang Olimpiade Sains Nasional11 dan olimpiade tingkat internasional12


serta berbagai even perlombaan dan kejuaraan, baik tingkat regional maupun
nasional.13

Selain itu, fenomena menarik untuk diteliti dari madrasah unggulan ini
adalah karena sistem kelembagaannya, yakni seluruh komponen madrasah
memahami betul visi, misi, strategi dan target lembaga dengan memiliki
manajemen yang kuat dan didukung oleh teamwork yang solid, serta
dukungan partisipasi orang tua dan masyarakat yang begitu besar. Dengan
daya dukung seperti itu, madrasah ini diharapkan mampu mengikis stigma
negatif tentang madrasah yang berkembang di tengah masyarakat, bahwa
madrasah merupakan sekolah level dua (second grade), yakni biasanya siswa-
siswi yang belajar di Madrasah Aliyah merupakan siswa-siswi yang tidak

Rusia dan Australia. Wawancara dengan Rini Kristiani, guru Bimbingan dan Konseling,
pada 21 Juli 2008; Lihat pula Republika, 27 Agustus 2001 (“SMU/MA Insan Cendekia
Serpong, Prestasi di Usia Muda”).
11
Hampir setiap tahun, sejak tahun 2000 (ketika masih berlabel SMA), MAN Insan
Cendekia Serpong selalu mengirimkan delegasi pada Olimpiade Sains Nasional (OSN),
dan berhasil meriah medali emas, perak dan perunggu pada bidang Matematika, Fisika,
Kimia, Biologi, Astronomi, Komputer dan Ekonomi. Wawancara dengan Kusen, Kepala
Humas, pada 22 Juli 2008.
12
Prestasi gemilang tingkat internasional telah ditunjukkan, antara lain oleh
Ghufron Gozali sebagai finalis pada Olimpiade Kimia Internasional di Kopenhagen-
Denmark tahun 2000. Kemudian Fajar Adrian, meraih medali emas pada ajang Olimpiade
Fisika Internasional di Bali-Indonesia tahun 2002. Selanjutnya Roswitha Muntiyarso,
meraih medali perunggu pada Olimpiade Biologi Internasional di Saskatoon-Canada
tahun 2007. Wawancara dengan Kusen, Kepala Humas, pada 22 Juli 2008.
13
Berkat raihan prestasi yang telah dicapai, “Sekolah Habibie” ini telah diekspos
oleh berbagai media cetak --juga media elektronik-- antara lain: Jurnal Madrasah, vol. 1,
no. 3, 1997, hal. 58-64 (“SMU Insan Cendekia Serpong: Sekolah Model untuk Lulusan
Madrasah”); Republika, 27 Agustus 2001 (“SMU/MA Insan Cendekia Serpong, Prestasi
di Usia Muda”); Prospektif, edisi 22, vol. 5, 28 April – 4 Mei 2003, hal. 24 (“Sekolah
‘Habibie’, Uang Pangkalnya Rp 10 Juta, SPP Rp 900 Ribu/Bulan”); Gatra, 21 Juni 2003,
hal 42 (“Bukan Ombak Penggoyah”); Republika, 26 Maret 2004 (“Belajar di Sekolah
Berasrama, Membentuk Siswa Berkarakter Unggul”); Azzikra, no. 6, tahun 1, Mei 2005,
hal. 18-19 (“Tanda Mata Habibie yang Berkilau”); Harian Terbit, 26 Mei 2005 (“Sekolah
Unggulan MAN Insan Cendekia, Upaya Lahirkan Pemimpin Beriptek dan Imtak”);
Jurnal Madrasah, no. 1 vol. 7, 2006, hal. 18-22 (“Madrasah Merespons Tantangan Dunia
Global”); Tabloid Madrasah, no. 14, September 2006, hal. 9 (“MAN Insan Cendekia
Serpong Kembangkan ‘Kurikulum Kita’: Jebolannya mulai di UI sampai ke Jerman dan
Rusia”).
10

diterima di SMA Negeri atau karena alasan minimnya finansial. Hal ini tentu
berdampak pada rendahnya input madrasah jika dibandingkan dengan SMA.

Fenomena lain yang menarik dari objek penelitian ini adalah MAN
Insan Cendekia Serpong menggunakan sistem asrama 14 dengan fasilitas yang
cukup memadai dibanding dengan lembaga pendidikan Islam pada
umumnya.15 Selain berdampak pada tingkat kenyamanan hidup untuk
seukuran pelajar muslim, hal ini juga sangat berpengaruh pada efektivitas
proses pembelajaran dan penerapan kurikulum yang berfokus pada penguatan
basic knowledge (iptek) dan penanaman nilai-nilai keagamaan (imtak).

C. Pendidikan Agama Melalui Kajian Kitab

MAN Insan Cendekia sebagai sekolah Boarding, menjadikan proses


pembelajaran lebih integratif dan holistik. Keberadaan siswa yang berada di
asrama selama 24 jam sehari, merupakan kesempatan untuk menenamkan
nilai keilmuan dan ketakwaan dalam waktu yang sama. Justru dengan pola
tersebut, pemahaman siswa terhadap ilmu menjadi utuh.

14
Secara umum, kelebihan menyekolahkan anak di ”sekolah berasrama”, selain
waktu belajar yang lebih panjang, dan fokus, juga memungkinkan anak untuk lebih
mandiri, dan memiliki jiwa kepemimpinan. Sementara di rumah, selain anak-anak
cenderung memiliki ketergantungan yang tinggi kepada orang tuanya, keberadaan
pembantu di rumah pun, dikhawatirkan akan membuat orang tua kesulitan menanamkan
kebiasaan untuk disiplin, tanggung jawab, dan kemandirian terhadap anak-anaknya.
”Meningkatkan Kemandirian Melalui Boarding School” dalam Republika on-line Senin,
05 Maret 2007, http://www.republika.co.id. diakses pada 22 Juli 2008.
15
Menurut JM Muslimin, desain Insan Cendekia mirip dengan tradisi global
boarding school yang kegiatan kurikuler maupun non-kurikuler keagamaannya
difasilitasi dengan kecanggihan sarana dan prasarana serta pendekatan didaktis-pedagogis
baru. Lihat JM Muslimin, Tradisi Ilmiah dalam Masyarakat Islam: Sejarah, Institusi dan
Tantangan Perubahan, dalam JM Muslimin dan Kusmana (ed.), Paradigma Baru
Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: IAIN Indonesian Social Equity Project (IISEP) dan Direktorat Pendidikan
Tinggi Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI, 2008), hal.
148.
11

Selain itu, usaha untuk tetap mempertahankan jati diri sebagai


lembaga Islam terus dilakukan. Sebagai pewaris khazanah keilmuan Islam
dan motor perkembangannya ke depan, MAN Insan Cendekia harus
menterjemahkannya dalam berbagai program yang mendukung hal ini.

Salah satu program untuk mewujudkan hal ini adalah pendidikan


Agama melalui Kajian Kitab. Program ini tidak saja menjadi bendera lembaga
Islam politis, tetapi jauh bernilai filsafat. Sejarah telah mencatat melalui
budaya pena dan kitab, umat Islam mampu menjadi lokomotif perubahan.
Tradisi inilah yang harus disadari oleh generasi penerus Islam di MAN Insan
Cendekia dan menjadikan tolak pengembangan ke depan.

Program kajian kitab ini berlangsung seiring keberadaan lembaga


MAN Insan Cendekia hingga saat ini. Dahulu, ketika masih SMU Insan
Cendekia, program ini berupa Pendidikan Agama di Masjid. Dengan
merekrut guru khusus selain pendidikan agama formal di kelas.

Materi program kajian ini adalah Tafsir dan Ilmu Tafsir, Hadits wa
Ulumuhu, Qawaid al-Lughah (Nahwu dan Sharaf), Aqidah dan Akhlak,
Sorah Nabawiyah. Kitab kitab kajian diantaranya Tafsir al-Adzim Ibnu Katsir
dan Sirah Nabawiyah.

Pasang surut perkembangan lembaga MAN Insan Cendekia Serpong,


ternyata berimbas pada progran Kajian Kitab. dampak positifnya adalah
progresifitas dan dinamika yang tinggi. Keadaan ini menampakkan suasana
yang hidup seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya
manusia. Namun demikian perkembangan yang melahirkan kebijakan-
kebijakan baru tersebut apakah berdampak pada eksistensi dan pemahaman
siswa, perlu kajian lebih mendalam.

Pada akhirnya setiap produk kebijakan selayaknya didasarkan pada


hasil penelitian yang valid, sehingga program kajian kitab mendorong
tercapainya visi misi MAN Insan Cendekia Serpong.

METODOLOGI PENELITIAN
12

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Deskriptif.


Hadari Nawawi menulis bahwa, ”Metode deskriptif dapat diartikan sebagai
prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan /
melukiskan keadaan obyek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya.” 16 Demikian pula Sutrisno Hadi menulis, ”pada taraf
deskriptif, orang hanya semata-mata melukiskan keadaan obyek atau peristiwa”. 17

Dalam metode ini, peneliti berusaha mengemukakan fakta-fakta dalam


aspek yang diteliti agar jelas keadaan dan kondisinya. Penemuan fakta ini tidak
sekedar menunjukkan jumlah fakta tersebut, tetapi juga mengemukakan hubungan
satu dengan yang lain di dalam aspek yang diselidiki. Sehingga itu ”peneliti juga
memberikan penafsiran yang adekuat terhadap fakta-fakta yang ditemukan”. 18

Penerapan metode deskriptif dalam penelitian ini adalah untuk


menggambarkan pelaksanaan program Kajian Kitab di MAN Insan Cendekia..

A. Setting Penelitian

1. Tempat dan dilakukan secara subyek Penelitian

Penelitian ini bertempat di MAN Insan Cendekia Serpong. Penelitian ini


menggunakan responden sebanyak 80 orang terdiri dari siswa dan guru.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan dari bulan Oktober hingga
Nopember 2010. Secara detail kronologis ditabulasikan sebagai berikut :

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada Press,


16

Yogjakarta, 1995, hal. 63.


17
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, Andi Offset, Yogjakarta,
1993, hal. 3.
18
Hadari Nawawi, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada
Press, hal. 63.
13

Bulan Minggu Kegiatan


Analisis permasalahan dan desain
I
penelitian
II Pembuatan proposal penelitian
Oktober
III Penyusunan kuesioner penelitian

IV Penyebaran kuesioner tahap I

I Penyebaran Kuesioner tahap II

II Tabulasi dan rekapitulasi kuesioner


Nopember
III Analisis dan interpretasi hasil penelitian

IV Laporan hasil penelitian

B. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan subyek berupa 80 responden yang dipilih secara


acak / random. Tim meyakini cara ini tidak mengurangi validitas dan akurasi hasil
penelitian. Cara dini dilakukan dengan harapan cukup menggambarkan populasi
yang sesungguhnya yaitu sivitas akademika MAN Insan Cendekia Serpong.

C. Instrumen / Kuesioner

Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner atau angket. Angket disusun
dengan mempertimbangkan fokus penelitian yaitu menyangkut keberadaan
program kajian kitab, pelaksanaan, metode, evaluasi, dampak dan menyoroti
instruktur atau musyrif kajian kitab.

Kuaesioner disusun menjadi sejumlah 22 item pertanyaan, dengan 4 opsi jawaban


pada setiap pertanyaan yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju dan sangat tidak
setuju.

Hasil kuesioner kemudian di rekap dan dpersentase. tahap terakhir adalah


diinterpretasi dan dilakukan analisi setiap item pertanyaan
14

Kemudian dilakukan telaah lagi analisis setiap item untuk dicari benang merah
yang diredaksikan menjadi kesimpulan dan saran-saran.

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan interpretasi data, maka penelitian ini


memberi kesimpulan berupa :

1. Kajian Kitab sangat penting dari berbagai segi. Keberadaan program ini
tidak saja menjadi etalase dan mencitrakan lembaga Islam yang modern
dan indigeneus, tetapi sunbstantif sangat membantu mewujudkan visi
misi lemaba MAN Insan Cendekia Serpong

2. Kajian kitab perlu dipertahankan dengan alasan di atas, tetapi dilakukan


penyempurnaan sebagai antisipatif terhadap perkembangan dan tuntutan
perubahan.

3. Perubahan yang dimaksud adalah menyangkut metodologi, media dan


strategi serta fariasi materi, yang bersinggungan dengan masalah
perkembangan dunia modern

4. Selain berfungsi sebagai identifikasi lembaga, Kajian Kitab hendaknya


mampu menjadi salah satu wahana internalisasi nilai-nilai keagamaan
yang diajarkan di MAN Insan Cendekia Serpong,

5. Besarnya tuntutan akademik dan beban siswa yang berat, diharapkan


Kajian Kitab tidak saja belajar kitab saja (ansich) tetapi menjadi media
yang mencerahkan pemikian yang menarik dan menyenangkan,

6. asf

B. Saran-saran
15

Berdasarkan analisis dan interpretasi data, maka penelitian ini memberi


saran-saran yaitu :

1. Hendaknya program ini dipertahankan untuk menjaga tradisi keunggulan


sekolah Islam (pesantren)

2. Hendaknya program kajian kitab dilaksanakan dengan cara-cara yang


lebih modern, sehingga kebermanfaatnnya lebih banyak. dan mengurangi
kejenuhan siswa serta memberi kesan kajian kitab yang lebih membumi.

3. para instruktur selalu di upgrade melalui pelatihan, kursus, kuliah. hal ini
dilakukan agar mereka mengalami peningkatan ketrampilan dalam
bidang kajian kitab baik metodologi, materi daupun strategi.

4. Kajian kitab hendaknya tidak menabukan alat-alat modern. Justru


kemajuan iptek bisa dimanfaatkan dalam program kajian kitab. pada sisi
lain hal ini akan membuat kajian kitab lebih menarik.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Buku-Buku

Abuddin Nata, Modernisasi Pendidikan Islam di Indonesia, UIN Jakarta Press,


Jakarta, 2006.
16

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Menyongsong Millennium Baru:


Reformasi Pembangunan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, BPPT,
Jakarta, 1999.

Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Andi Offset, Yogjakarta, 1993.

Hamid Fahmy Zarkasyi, “Makna Sains Islam” dalam Jurnal Pemikiran dan
Peradaban Islam “ISLAMIA”, vol. III, no. 4, 2008.

Jajat Burhanudin dan Dina Afrianty (ed.), Mencetak Muslim Modern: Peta
Pendidikan Islam Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

JM Muslimin, Tradisi Ilmiah dalam Masyarakat Islam: Sejarah, Institusi dan


Tantangan Perubahan, dalam JM Muslimin dan Kusmana (ed.),
Paradigma Baru Pendidikan: Restropeksi dan Proyeksi Modernisasi
Pendidikan Islam di Indonesia, IAIN Indonesian Social Equity Project
(IISEP) dan Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Departemen Agama RI, Jakarta, 2008.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, cetakan IX, 1997

Nawwi, Hadari, Metodologi Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Mada Press,


Yogjakarta, 1995.

Tim Teknis STEP-BPPT, Program Penyetaraan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,


BPPT, Jakarta, 2001

Tim Teknis BPPT, Pedoman Manajemen SMU Insan Cendekia, BPPT, Jakarta,
1997.

Majalah Koran

Azzikra, no. 6, tahun 1, Mei 2005, hal. 18-19 (“Tanda Mata Habibie yang
Berkilau”);

Gatra, 21 Juni 2003, hal 42 (“Bukan Ombak Penggoyah”);

Harian Terbit, 26 Mei 2005 (“Sekolah Unggulan MAN Insan Cendekia, Upaya
Lahirkan Pemimpin Beriptek dan Imtak”);

Jurnal Madrasah, vol. 1, no. 3, 1997, hal. 58-64 (“SMU Insan Cendekia Serpong:
Sekolah Model untuk Lulusan Madrasah”);
17

Jurnal Madrasah, no. 1 vol. 7, 2006, hal. 18-22 (“Madrasah Merespons


Tantangan Dunia Global”);

Prospektif, edisi 22, vol. 5, 28 April – 4 Mei 2003, hal. 24 (“Sekolah ‘Habibie’,
Uang Pangkalnya Rp 10 Juta, SPP Rp 900 Ribu/Bulan”);

Republika, 27 Agustus 2001 (“SMU/MA Insan Cendekia Serpong, Prestasi di


Usia Muda”);

Republika, 26 Maret 2004 (“Belajar di Sekolah Berasrama, Membentuk Siswa


Berkarakter Unggul”);

Tabloid Madrasah, no. 14, September 2006, hal. 9 (“MAN Insan Cendekia
Serpong Kembangkan ‘Kurikulum Kita’: Jebolannya mulai di UI
sampai ke Jerman dan Rusia”).

Anda mungkin juga menyukai