Anda di halaman 1dari 5

3.

1 Penyakit Mata
3.1.1 Diagnosis Kerja
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan pada
Bapak. A, maka diagnosis kerja nya yaitu Oculus Sinistra (OS)
Pinguecula.

Pinguekula merupakan lesi kuning keputihan pada konjungtiva bulbar di


daerah nasal atau temporal limbus (Marcella, 2019).

Diagnosis Penyakit Akibat Kerja.


1. Menegakkan Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis nya yaitu Oculus Sinistra Pinguecula.

2. Menentukan pajanan yang dialami di tempat kerja.


Bapak A, bekerja sejak tahun 1991 di bagian bengkel pengelasan di
cattle Perusahaan tersebut. Pada tahun 2009, Bapak A dipindahkan
dari cattle ke bagian maintenance alat pabrik. Waktu kerja Bapak A,
yaitu dari pukul 07.00-17.00 dari hari Senin sampai Sabtu. Pekerjaan
Bapak A sehari-hari yaitu, melakukan pengelasan dalam proses
pembuatan mesin di Perusahaan tersebut.

National Safety Council (2002) menyatakan bahwa potensi bahaya


pengelasan yang dapat ditimbulkan dari proses pengelasan yaitu
radiasi sinar las. Selama proses pengelasan akan menimbulkan cahaya
dan sinar yang dapat membahayakan juru las dan pekerja lain yang ada
di sekitar pengelasan. Cahaya tersebut meliputi cahaya yang dapat
dilihat atau cahaya tampak, sinar ultraviolet dan sinar infra merah.

Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan Bapak A terdiri dari;


Apron, kedok las, sarung tangan kulit, masker, serta sepatu safety.
3. Menentukan hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis
Pinguekula merupakan kondisi yang sering terjadi pada konjungtiva
terjadi biasanya pada daerah nasal dan temporal anterior konjungtiva
bulbi yang merupakan efek dari sinar ultraviolet (actinic exposure),
seperti pada sinar las (Kanski, 2008). Bapak A terkena pinguekula
setelah bekerja di bagian pengelasan pada perusahaan tersebut, yaitu
pada tahun 2019,

4. Menentukan besarnya pajanan


a) Kualitatif
Dalam bekerja sehari-hari, bapak A bekerja memakai alat
pelindung diri yang terdiri dari; Apron, kedok las, sarung
tangan kulit, masker, serta sepatu safety.
b) Kuantitatif
Bapak A bekerja sejak tahun 1991 di bagian pengelasan.
Waktu kerja Bapak A dari pukul 07.00-17.00 dan bekerja dari
hari Senin-Sabtu. Sehingga, Bapak A terpapar pajanan selama
10 jam per hari, atau 60 jam seminggu.

5. Menentukan faktor individu yang berperan


a) Usia
Bapak A, berusia 53 tahun. Pinguecula banyak ditemukan pada
usia tua, berdasarkan studi Fotouhi (2009), pinguekula banyak
ditemukan pada usia 50 tahun keatas. Sedangkan menurut
Mimura (2011), orang dengan usia lebih dari 40 tahun
merupakan faktor risiko dari Pinguecula.
b) Jenis Kelamin
Menurut Rezvan et.al (2018) laki-laki lebih berisiko terkena
Pinguecula dibanding perempuan.
6. Menentukan pajanan di luar tempat kerja.
Selain bekerja di pengelasan, Bapak A memiliki pekerjaan sampingan
menjadi petani. Oleh karena itu, Bapak A juga terpajan oleh sinar
ultraviolet.
7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja (PAK).
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun
2019 tentang Penyakit Akibat Kerja, Pinguekula merupakan Penyakit
Akibat Kerja yang disebabkan oleh faktor fisika.

3.1.2 Tatalaksana Pinguecula


Umumnya pinguecula tidak memerlukan pengobatan. Terapi dapat
diberikan untuk mengurangi gejala. Jika ada peradangan mata, dokter
mata dapat memberikan salep atau obat tetes mata untuk meredakan
kemerahan dan iritasi (Prednisolon 0,12%). Operasi pengangkatan
pinguecula dapat dipertimbangkan jika penampilannya sangat dirasa
mengganggu.

Teknik Bedah:
1. Bare sclera
Ialah teknik eksisi sederhana pada bagian kepala dan badan pterigium
serta membiarkan dasar sklera (scleral bed) terbuka sehingga terjadi re-
epitelisasi. Kerugian teknik ini adalah tingginya tingkat rekurensi yang
dapat mencapai 24-89%.

2. Conjunctival autograft technique


Angka rekurensi 2% hingga paling tinggi 40%. Prosedur menggunakan
free graft yang biasanya diambil dari konjungtiva bulbi bagian
superotemporal, dieksisi sesuai ukuran luka kemudian dipindahkan dan
dijahit atau difiksasi dengan bahan perekat jaringan (Fuest, 2017).
Hasil graft yang tipis dan bebas tegangan telah terbukti tidak terjadi
retraksi setelah operasi, menghasilkan hasil kosmetik yang baik dengan
tingkat rekurensi yang rendah. Hirst (2008) merekomendasikan insisi luas
untuk eksisi pterigium dan graft yang besar karena dengan teknik ini
rekurensinya sangat rendah.

3.1.3 Komplikasi Pinguecula


Komplikasi pinguecula termasuk; merah, iritasi, skar kronis pada
konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan
penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat
menyebabkan diplopia. Komplikasi yang jarang adalah malignan
degenerasi pada jaringan epitel di ataspterygium yang ada.

Komplikasi sewaktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graft


oedem, graft hemorrhage, graft retraksi, jahitan longgar, korneoskleral
dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar
konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus.
Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pinguekula post operasi

Dafpus:

Fotouhi A, Hashemi H, Khabazkhoob M, Mohammad K. 2009. Prevalence and risk


factors of pterygium and pinguecula: The Tehran eye study. 23(1):
1125-9

Fuest M, Mehta JS, Coroneo MT. 2017. New treatment options for pterygium. Expert
Review of Ophtalmology.12(3):193-6
Hirst LW. 2008. Prospective study of primary pterygium surgery using pterygium
extended removal followed by extended conjunctival transplantation.
Ophtalmology.115(10):1663-72

Kanski JJ. 2008. Clinical ophthalmology a systematic approach. Philadelphia:


Elsevier.

National Safety Council. 2002. Risk Perception: Theories, Strategies And Next
Steps.Amerika: Campbell Institute National Safety Council.

Marcella M. 2019. Manajemen Pterigium. CDK EdisiSuplemen.1(46): 23-25.

Mimura T, Usui T, Obata H, Yamagami S, Mori M, Funatsu H, et al. 2011. Severity


and determinants of pinguecula in a hospital-based population. Eye
Contact Lens. 37(1): 31-5.

Rezvan F, Khabazkhoob M, Hooshmand E, Yekta A, Saatchi M, Hashemi H, et al.


2018. Prevalence and risk factors of pterygium: Asystematic review and
meta-analysis. Surv Ophthalmol. 63(1):719-35.

Anda mungkin juga menyukai