Anda di halaman 1dari 5

BAGAIMANA ISLAM MEMANDANG PEREMPUAN?

Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd1

Kiranya telah populer dalam masyarakat Islam sebuah ungkapan bahwa Islam sesuai dengan segala
tempat dan zaman (Al-Islamu Shalihun fi Kulli zaman wa makan). Namun penerjemahan mengenai hal
ini dalam kenyataannya masih ditemui perbedaan-perbedaan. Suatu kelompok bias saja menjadikannya
sebagai alasan untuk mengimplementasikan ajaran Islam secara lebih longgar. Di sisi lain bisa saja
terdapat kelompok yang dengan pernyataan yang sama ingin memaksakan ajaran Islam yang sangat
kaku dalam mengimplementasikan dogma agama. Kiranya telah tampak kepada kita kenyataan-
kenyataan seperti itu dalam masyarakat Islam sejak lama.
Dalam pandangan penulis, permasalahan penting yang menjadi sebab bagi seseorang tersalah dalam
memandang Islam adalah cara mereka dalam memandangnya. Jelasnya, tersalah dalam mengambil
sudut pandang akan agama Islam. Mereka telah memandang Islam di luar konteksnya yang benar.
Dalam hal kita ingin memahami pandangan Islam mengenai wanita, maka kita seharunya berangkat dari
sudut pandang sejarah. Memahami kondisi perempuan dalam konteks masayarakat Arab pada zaman
ketika Islam diturunkan adalah sebuah keharusan untuk memahami secara benar bagaimana Islam
memandang persoalan mengenai perempuan.
Dalam banyak hal, kesalahan sudut pandang dalam masalah perempuan ini akan membawa kita kepada
kesalahan berpikir kita terhadap Islam akan persoalan ini. Padahal sebenarnya, adalah tidak adil jika kita
melihat persoalan pandangan Islam terhadap perempuan ini dalam konteks zaman sekarang yang telah
modern ini. Jika kita melihat bahgaimana kondisi masyarakat arab khususnya berkaitan dengan
perempuan, ketika masa pra Islam sampai Islam dating, kita akan menjumpai bahwa Islam yang
dibawakan oleh Nabi Muhammad ini adalah agama yang sangat liberal ketika itu. Dan karenanya banyak
menjumpai tantangan utamanya dari pihak-pihak yang merasa dirugikan seperti kalangan bangsawan
Bani Umayah.
Berikut ini beberapa uraian tentang gambaran kedudukan wanita dalam tradisi masyarakat Arab:

Wanita dan warisan dalam tradisi arab


Banyak orang mungkin akan mempertanyakan mengapa dalam Islam wanita mendapatkan warisan
setengah dibandingkan laki-laki. Lidz dzakari mitslu hadzil untsayaini. Bagi seorang laki-laki
mendapatkan bagian dua kali lipat dari perempuan. Bukankah ini tidak sesuai dengan asas kesama
rataan. Dan dengan demikian secara emansipasi telah menilai wanita lebih rendah dari pada kaum
lelaki.
Jika kita ingin memahami konteks, kita mengetahui dari data sejarah bahwa di masa arab pra Islam,
wanita tidak memiliki hak sama sekali terhadap harta. Ia tidak memiliki sama sekali keberhakan terhada
harta dalam keluarga. Terlebih dari itu, kita melihat bahwa wanita sendiri merupakan harta yang dapat
diwariskan dalam keluarga arab pra Islam sampai sesaat ketika Islam datang. Jadi jangankan ia akan
mendapatkan warisan, sedang dia sendiri dapat diwariskan. Jelas ini adalah tradisi yang tidak
memanusiakan manusia.

1
Alumni Pascasarjana Program Studi Pendidikan Islam Universitas Islam Malang
Dalam kondisi demikian, maka Nabi Muhammad membawa ajaran agama yang membawa misi
pengangkatan harkat perempuan yang salah satu bentuknya dalam masalah terkait harta warisan.
Dengan pemberian hak separuh oleh Islam terhadap perempuan di bandingkan laki-laki, dari yang
sebelumnya tidak bisa dan tidak boleh mendapatkan apa-apa tentu saja maka ini merupakan rombakan
yang luar biasa terhadap budaya masyarakat Arab jahiliyah. Kita melihat bahwa di masa modern
beberapa kalangan ingin memperjuangkan kesetaraan dalam masalah warisan ini. Secara semangat
maka ini tidak bertentangan dengan Islam.

Wanita dan masalah kepemimpinan dalam dunia arab


Persoalan lain mengenai kedudukan perempuan dalam masyarakat Arab adalah mengenai kedudukan
wanita dalam kaitannya dengan kepemimpinannya dalam suatu institusi atau Negara. Beberapa
kalangan dalam Islam sendiri mungkin menghendaki agar wanita tidak layak dan tidak boleh menjadi
pemimpin karena adanya riwayat mengenai Hadits nabi yang mengatakan bahwa: “Tidaklah beruntung
bagi sebuah kaum jika dipimpin oleh seorang perempuan”. Beberapa kalangan lain tidak menghendaki
demikian adanya karena alasan kisah mengenai ratu bilqis yang dalam suatu surah yang menceritakan
mengenai kerajaan Sulaiman dalam Al-Qur’an. Ratu Bilqis memimpin kerajaannya dengan baik sehingga
diungkapkan dalam Al-Qur’an sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, kanat aminatan
muthmainnah. Ya’ti rizquha kulla hiinin fi kulli makan. Ayat ini menggambarkan kerajaan ratu balqis
sebagai: sebuah Negara yang baik dan penuh ampunan tuhan. Negerinya aman dan dama.
Kesejahteraan tercapai di setiap tempat dan saat.
Lalu mungkin kita bertanya, mengapakah nabi dalam haditsnya mengatakan bahwa tidaklah beruntung
sebuah kaum atau Negara yang dipimpin wanita?, lalu di sisi lain ayat yang dibawanya mendeskripsikan
sesuatu yang berlainan?. Bukankah ini kontradiksi adanya?
Dalam fakta sejarah arab, demikian pula sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, wanita tidak
memainkan peranan penting dalam hal kehidupan sosial. Ia hanya sebagai perhiasan bagi laki-laki, dan
memilikinya adalah bagian dari lambang kekayaan, kejayaan dan kebanggaan. Dalam pada itu maka
wanita tidaklah memainkan peran sosial melebihi dari perannya sebagai harta dan perlambang bagi
kaum laki-laki saja. Dalam hal demikian ini maka tugas perempuan hanya di dalam rumah. Itupun di
letakkan di kamar bagian belakang. Dalam kebudayaan arab pun wanita tidak diperkenankan untuk
beraktifitas apapun meskipun di dapur.
Dalam hal apa yang disampaikan oleh nabi dalam hadits di atas, nabi sedang menceritakan mengenai
fakta sosial. Yakni bahwa ketika hadits itu diucapkan oleh Rasulullah, mengangkat pemimpin wanita bagi
suatu kaum adalah suatu hal yang tidak memungkinkan. Karena akan banyak penentangan sosial yang
akan berdampak pada persesilisihan sosial antar suku. Kita tahu dari catatan Philip K Hitt bahwa
masyarakat arab pra Islam dapat dengan mudah terjadi peperangan antar suku selama bertahun-tahun
hanya karena masalah sepele. Sehingga memahami hadits tersebut dari sudut pandang hokum rasanya
adalah tidak tepat. Dalam arti bahwa kita menghukumi haram kepemimpinan wanita berdasarkan hadits
tersebut rasanya kurang tepat. Demikian pula memahami hadits tersebut sebagai ramalan nabi
(nubuwwat), dalam arti memahi dengan hadits itu bahwa ketika sebuah Negara dipimpin seorang
wanita akan mengalami kerugian karena nabi meramalkan (menubuwwatkan) demikian juga kurang
tepat. Dan hal inilah yang terkesan terjadi kontradiksi antara hadits dan ayat tentang negeri saba itu.
Berkaitan dengan negeri saba yang dipimpin seorang wanita ratu balqis, kita melihat dalam sejarah
bahwa negeri yang dimaksud adalah di arab selatan. Yaitu di daerah yang sekarang kita sebut negeri
Yaman. Ada pun nabi Muhammad adalah berasal dari jazirah bagian utara yaitu Makkah dan Madinah.
Kita mengetahui berdasarkan sejarah pula bahwa di daerah ini telah mengalami peradaban yang lebih
maju dari pada daerah lainnya di bagaian utara. Salah satunya adalah bahwa di daerah ini
masyarakatnya sudah tinggal menetap dan bercocok tanam. Dengan demikian maka kondisi sosialnya
pun berbeda. Sehingga, kita menjadi tahu bahwa kondisi negeri saba tidak sama dengan Makkah dan
Madinah pra Islam dan sesaat ketika Islam datang. Dan dalam konteks hadits di atas, nabi menceritakan
pendapatnya mengenai fakta sosial yang dihadapinya ketika itu. Tegasnya, adalah sangat tidak
memungkinkan dalam kondisi sosial di mana perempuan masih sangan terbelakang perannya kemudian
mengangkat pemimpin dari kalangan perempuan.

Wanita dalam kehidupan keluarga masyarakat arab


Pembicaraan mengenai wanita dalam kehidupan keluarga masyarakat arab telah dibicarakan sedikit di
atas. Yang mana dapat disimpulkan bahwa wanita dalam kehidupan keluarga masyarakat arab adalah
sebagai harta kekayaan dan perlambang kejayaan dan kekayaan seseorang. Kita mengetahui dari
catatan sejarah sebagaiana dipaparkan oleh Khalil Abdul Karim bahwa memperbanyak wanita dalam
sebuah keluarga pada masa arab pra Islam adalah sesuatu yang wajar dan sama sekali bukan hal yang
tabu. Wanita disimpan layaknya harta dan dibungkus sedemikian rupa sampai tidak boleh terlihat oleh
orang lain. Hal demikian hal yang wajar dalam budaya masyarakat arab pra Islam dan bukan sesuatu
yang aneh sama sekali. Berdasarkan fakta demikian maka kita mungkin menjadi dapat mengerti tentang
konsep aurat dalam kehidupan sosial ketika itu.

Wanita dalam pernikahan masyarakat arab


Term “nikah” dalam literatur fiqih Islam diterjemahkan secara bahasa sebagai sebuah ‘akad transaksi’.
Kata ini juga diterjemahkan sebagai ‘pelukan’ yang dalam bahasa Arab disebut dengan ٌّ‫ضم‬ َ . Berarti
‘memeluk’ atau ‘merangkul.’ Meskipun ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai makna
dari istilah ‘nikah’ secara bahasa bahwa salah satu di antara kedua makna tersebut (akad transaksi
maupun memeluk atau merangkul) adalah makan haqiqi (denotatif) dan yang lain adalah majazi
(konotatif).2
Apapun itu, maka makna tersebut menampakkan bagi kita akan 2 (dua) hal. (1) Bahwa Islam lahir tidak
sepenuhnya membawa hal yang benar-benar baru. (2) Bahwa pernikahan yang ditandai dengan adanya
akad adalah semacam transaksi jual-beli perempuan yang berlaku di masyarakat Arab sejak masa
jahiliyyah.
Sebagai agama yang lahir di tanah arab, Islam memang tidak membawa sesuatu yang benar-benar baru
di tengah-tengah masyarakat arab terutama dalam masalah sosial dan kebudyaan. Semua hal yang
disuguhkan nabi berdasarkan bimbingan Allah adalah telah ada di masa sebelumnya. Sebagian dari
tradisi tersebut merupakan syariat (aturan-aturan) yang telah dipancangkan oleh para nabi terdahulu
seperti syariat mengenai Haji dan Khitan bagi laki-laki yang merupakan syariat Ibrahim. Kemudian Nabi
datang tidak untuk memusnahkan semuanya itu melainkan mempertahankannya. Dalam Fiqih Islam
apa-apa yang merupakan tradisi ajaran para nabi terdahulu dilegalkan dalam kaidah ushul yang disebut

2
Lihat misalnya dalam: Ibrahim Al-Baijuri. 2004. Hasyiyah As-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri ‘ala Syarhi Al-Allamah Ibnil
Qasim Al-Ghazi ‘ala Matni Abi Syuja’ (Jilid-2). Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Hlm: 170
sebagai syar’u man qablana (syariat nabi-nabi sebelum Muhammad).3 Praktik-praktik jual beli ribawi
telah dipraktikkan oleh masyarakat jahiliyah sebelumnya. Bahkan para sejarawan mencatat beberapa
nama dalam masa jahiliyah yang kaya dengan menjalankan sistem ekonomi yang riba.4 Kemudian Nabi
datang dan melestarikan budaya jual beli serta menghapus praktik riba. 5 Demikian pula halnya seperti
zakat hasil pertanian, yang telah berlaku sejak zaman pra Islam. 6
Wanita, baik isteri maupun anak perempuan merupakan harta yang merupakan kebanggan bagi
masyarakat arab baik di kalangan arab badui (A’rabiy) maupun masyarakat Arab perkotaan (Arabiy). Hal
ini ditandai dengan fakta sejarah bahwasanya masyarakat Arab pra Islam dapat menikah semaunya
dengan jumlah yang tidak dibatasi. Kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa sering terjadi dalam
masyarakat arab ketika sesorang memiliki tanggungan yang tak terbayarkan kepada rekan bisnisnya
kemudian merelakan dirinya menjadi budak bagi pihak yang dihutangi itu atau dengan jalan
menyerahkan anak atau istrinya untuk dinikahi dengan syarat dibebaskan dari hutang. 7
Dalam pernikahanpun di masa Arab pra Islam mahar diberikan (dibayarkan) kepada orang tuanya. Hal ini
semakin menjelaskan kepada kita bahwa pernikahan dalam tradisi Arab adalah layaknya jual beli. hal
mana kemudian kondisi ini dirubah oleh Islam dengan memberikannya kepada pihak mempelai
perempuan. Perubahan sistem sosial semacam ini merupakan suatu perubahan besar dalam premis
sosial bangsa Arab. Dalam mana masyarakat Islam saat ini telah merasakannya sebagai suatu
kelumrahan dan keniscayaan.

3
Lihat misalnya dalam: Abdul Hamid Hakim. 1987. Al-Bayan. Jakarta: Pustaka Sa’adiyah Putra.
4
Khalil Abdul Karim. 2012. Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan. Yogyakarta: LKIS
5
QS. Al-Baqarah (2):275
6
Philip K. Hitti. 2018. History of The Arabs from The Earliest Time to The Present. Hampsire & London: Macmillan
Education. LTD
7
Khalil Abdul Karim. Op.Cit.
Referensi

Al-Baijuri, Ibrahim. 2004. Hasyiyah As-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri ‘ala Syarhi Al-Allamah Ibnil Qasim Al-
Ghazi ‘ala Matni Abi Syuja’ (Jilid-2). Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Abdul Hamid Hakim. 1987. Al-Bayan. Jakarta: Pustaka Sa’adiyah Putra.
Khalil Abdul Karim. 2012. Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan. Yogyakarta: LKIS
Philip K. Hitti. 2018. History of The Arabs from The Earliest Time to The Present. Hampsire & London:
Macmillan Education. LTD

Anda mungkin juga menyukai