Bagaimana Islam Memandang Perempuan
Bagaimana Islam Memandang Perempuan
Kiranya telah populer dalam masyarakat Islam sebuah ungkapan bahwa Islam sesuai dengan segala
tempat dan zaman (Al-Islamu Shalihun fi Kulli zaman wa makan). Namun penerjemahan mengenai hal
ini dalam kenyataannya masih ditemui perbedaan-perbedaan. Suatu kelompok bias saja menjadikannya
sebagai alasan untuk mengimplementasikan ajaran Islam secara lebih longgar. Di sisi lain bisa saja
terdapat kelompok yang dengan pernyataan yang sama ingin memaksakan ajaran Islam yang sangat
kaku dalam mengimplementasikan dogma agama. Kiranya telah tampak kepada kita kenyataan-
kenyataan seperti itu dalam masyarakat Islam sejak lama.
Dalam pandangan penulis, permasalahan penting yang menjadi sebab bagi seseorang tersalah dalam
memandang Islam adalah cara mereka dalam memandangnya. Jelasnya, tersalah dalam mengambil
sudut pandang akan agama Islam. Mereka telah memandang Islam di luar konteksnya yang benar.
Dalam hal kita ingin memahami pandangan Islam mengenai wanita, maka kita seharunya berangkat dari
sudut pandang sejarah. Memahami kondisi perempuan dalam konteks masayarakat Arab pada zaman
ketika Islam diturunkan adalah sebuah keharusan untuk memahami secara benar bagaimana Islam
memandang persoalan mengenai perempuan.
Dalam banyak hal, kesalahan sudut pandang dalam masalah perempuan ini akan membawa kita kepada
kesalahan berpikir kita terhadap Islam akan persoalan ini. Padahal sebenarnya, adalah tidak adil jika kita
melihat persoalan pandangan Islam terhadap perempuan ini dalam konteks zaman sekarang yang telah
modern ini. Jika kita melihat bahgaimana kondisi masyarakat arab khususnya berkaitan dengan
perempuan, ketika masa pra Islam sampai Islam dating, kita akan menjumpai bahwa Islam yang
dibawakan oleh Nabi Muhammad ini adalah agama yang sangat liberal ketika itu. Dan karenanya banyak
menjumpai tantangan utamanya dari pihak-pihak yang merasa dirugikan seperti kalangan bangsawan
Bani Umayah.
Berikut ini beberapa uraian tentang gambaran kedudukan wanita dalam tradisi masyarakat Arab:
1
Alumni Pascasarjana Program Studi Pendidikan Islam Universitas Islam Malang
Dalam kondisi demikian, maka Nabi Muhammad membawa ajaran agama yang membawa misi
pengangkatan harkat perempuan yang salah satu bentuknya dalam masalah terkait harta warisan.
Dengan pemberian hak separuh oleh Islam terhadap perempuan di bandingkan laki-laki, dari yang
sebelumnya tidak bisa dan tidak boleh mendapatkan apa-apa tentu saja maka ini merupakan rombakan
yang luar biasa terhadap budaya masyarakat Arab jahiliyah. Kita melihat bahwa di masa modern
beberapa kalangan ingin memperjuangkan kesetaraan dalam masalah warisan ini. Secara semangat
maka ini tidak bertentangan dengan Islam.
2
Lihat misalnya dalam: Ibrahim Al-Baijuri. 2004. Hasyiyah As-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri ‘ala Syarhi Al-Allamah Ibnil
Qasim Al-Ghazi ‘ala Matni Abi Syuja’ (Jilid-2). Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah. Hlm: 170
sebagai syar’u man qablana (syariat nabi-nabi sebelum Muhammad).3 Praktik-praktik jual beli ribawi
telah dipraktikkan oleh masyarakat jahiliyah sebelumnya. Bahkan para sejarawan mencatat beberapa
nama dalam masa jahiliyah yang kaya dengan menjalankan sistem ekonomi yang riba.4 Kemudian Nabi
datang dan melestarikan budaya jual beli serta menghapus praktik riba. 5 Demikian pula halnya seperti
zakat hasil pertanian, yang telah berlaku sejak zaman pra Islam. 6
Wanita, baik isteri maupun anak perempuan merupakan harta yang merupakan kebanggan bagi
masyarakat arab baik di kalangan arab badui (A’rabiy) maupun masyarakat Arab perkotaan (Arabiy). Hal
ini ditandai dengan fakta sejarah bahwasanya masyarakat Arab pra Islam dapat menikah semaunya
dengan jumlah yang tidak dibatasi. Kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa sering terjadi dalam
masyarakat arab ketika sesorang memiliki tanggungan yang tak terbayarkan kepada rekan bisnisnya
kemudian merelakan dirinya menjadi budak bagi pihak yang dihutangi itu atau dengan jalan
menyerahkan anak atau istrinya untuk dinikahi dengan syarat dibebaskan dari hutang. 7
Dalam pernikahanpun di masa Arab pra Islam mahar diberikan (dibayarkan) kepada orang tuanya. Hal ini
semakin menjelaskan kepada kita bahwa pernikahan dalam tradisi Arab adalah layaknya jual beli. hal
mana kemudian kondisi ini dirubah oleh Islam dengan memberikannya kepada pihak mempelai
perempuan. Perubahan sistem sosial semacam ini merupakan suatu perubahan besar dalam premis
sosial bangsa Arab. Dalam mana masyarakat Islam saat ini telah merasakannya sebagai suatu
kelumrahan dan keniscayaan.
3
Lihat misalnya dalam: Abdul Hamid Hakim. 1987. Al-Bayan. Jakarta: Pustaka Sa’adiyah Putra.
4
Khalil Abdul Karim. 2012. Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan. Yogyakarta: LKIS
5
QS. Al-Baqarah (2):275
6
Philip K. Hitti. 2018. History of The Arabs from The Earliest Time to The Present. Hampsire & London: Macmillan
Education. LTD
7
Khalil Abdul Karim. Op.Cit.
Referensi
Al-Baijuri, Ibrahim. 2004. Hasyiyah As-Syaikh Ibrahim Al-Baijuri ‘ala Syarhi Al-Allamah Ibnil Qasim Al-
Ghazi ‘ala Matni Abi Syuja’ (Jilid-2). Beirut: Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.
Abdul Hamid Hakim. 1987. Al-Bayan. Jakarta: Pustaka Sa’adiyah Putra.
Khalil Abdul Karim. 2012. Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan. Yogyakarta: LKIS
Philip K. Hitti. 2018. History of The Arabs from The Earliest Time to The Present. Hampsire & London:
Macmillan Education. LTD