Anda di halaman 1dari 14

HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI DAN TINGKAT PENGETAHUAN POLA KONSUMSI

FAST FOOD DENGAN KEJADIAN BERAT BADAN LEBIH PADA REMAJA DI SMA N
BAGAN BATU TAHUN 2021

A. LATAR BELAKANG
Masalah gizi lebih merupakan epidemi global di negara maju dan berkembang termasuk
Indonesia. Prevalensi gizi lebih meliputi kelebihan berat badan dan kegemukan
memperlihatkan kecenderungan yang meningkat tidak saja pada kelompok usia dewasa,
tetapi juga pada anak-anak. Kelompok anak hingga remaja awal (9-14 tahun) merupakan
kelompok usia yang berisiko mengalami masalah gizi kurang dan gizi lebih. Kegemukan
terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan dan keluaran energi sehingga terjadi
kelebihan energi yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi
dapat disebabkan oleh konsumsi makanan terutama sumber energi yang berlebih (Sartika,
2011). Kelebihan berat badan (overweight) telah menjadi trend masalah gizi dikelompok
siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dan merupakan masalah gizi masyarakat yang
berdampak pada morbiditas dan mortalitas. Kelebihan berat badan secara langsung
disebabkan asupan energi yang berlebihan dari sumber lemak khususnya (Sirajuddin dan
Abdullah Tamrin, 2017). Overweight dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah faktor lingkungan, termasuk didalamnya masalah dalam pemilihan jenis makanan,
pola makan, porsi perkali makan dan tingkat aktivitas pada masing-masing individu (Husain
dkk, 2015).
Usia remaja (10-18 tahun) merupakan periode rentan gizi karena berbagai sebab, yaitu
pertama remaja memerlukan zat gizi yang lebih tinggi karena peningkatan pertumbuhan
fisik. Kedua, adanya perubahan gaya hidup dan kebiasaan makan. Ketiga, remaja
mempunyai kebutuhan zat gizi khusus. Remaja merupakan salah satu kelompok sasaran
yang berisiko mengalami gizi lebih. Gizi lebih pada remaja ditandai dengan berat badan
yang relatif berlebihan bila dibandingkan dengan usia atau tinggi badan remaja sebaya,
sebagai akibat terjadinya penimbunan lemak yang berlebihan dalam jaringan lemak tubuh
(Kurdanti dkk, 2015).
Gaya hidup di kota yang serba praktis memungkinkan masyarakat modern sulit untuk
menghindari fast food yang banyak mengandung kalori, lemak dan kolesterol. Fast food
merupakan jenis makanan tinggi energi dan lemak yang praktis, mudah dikemas dan
disajikan. Keberadaan restoran fast food yang semakin menjamur di kota-kota besar di
Indonesia dapat mempengaruhi pola makan kaum remaja. Makanan restoran tersebut
menyajikan berbagai fast food yang dapat berupa western fast food maupun traditional fast
food. Western fast food merupakan makanan yang terjangkau, cepat dalam penyajian,
umumnya memenuhi selera tetapi memiliki total energi, lemak, gula, natrium yang tinggi dan
rendah serat serta vitamin. Contoh produk western fast food diantaranya hamburger, french
fries potato, fried chicken, pizza, sandwich dan soft drink. Traditional fast food juga makanan
yang memiliki kandungan gizi yang tidak seimbang. Contoh produk traditional fast food
misalnya nasi goreng, bakso, mie ayam, soto, dan sate ayam (Bonita dan Deny Yudi Fitranti,
2017). Makan di restoran fast food juga mengisyaratkan seseorang ada di kelas tinggi, hal
ini berhubungan dengan prestise dan simbolisasi bagi orang tertentu sebagai sesuatu yang
disukainya. Makan di restoran fast food membuat orang merasa eksis dan menumbuhkan
sensasi emosional tersendiri bagi konsumennya. Pada saat ini menikmati fast foodbukan
lagi sekadar untuk memenuhi kebutuhan primer tetapi sebagai bagian dari gaya hidup, di
mana food court, cafe, kedai kopi, restoran makanan cepat saji menjadi tempat berkumpul
yang diminatimasyarakat. Hal tersebut telah menjadi identitas tersendiri bagi kalangan
tertentu, baik remaja maupun orang tua (Aulia dkk, 2018).
Perilaku makan dalam hal kebiasaan makan yang ditunjukkan remaja adalah salah
satunya mengonsumsi makanan jajanan dan konsumsi fast food (cepat saji). Kini makanan
fast food telah menjadi bagian dari perilaku sebagian anak sekolah dan remaja di luar rumah
diberbagai kota. Jenis makanan siap santap (fast food) yang berasal dari negara barat
seperti KFC, hamburger, pizza dan berbagai jenis makanan berupa keripik (junk food) sering
dianggap sebagai lambang kehidupan modern oleh para remaja. Padahal fast food dan junk
food mempunyai kandungan tinggi kalori, karbohidrat dan lemak, jika makanan fast food dan
junk food dikonsumsi dalam jangka panjang dapat menyebabkan obesitas (Widawati, 2018).
Perubahan pola kebiasaan hidup sebagai dampak perbaikan tingkat hidup dan
kemajuan teknologi juga mendorong terjadinya perubahan pola makan dan kebiasaan
makan. Seperti kenaikan penghasilan keluarga secara bertahap dapat mempengaruhi pola
makan dan kebiasaan makan. Kemampuan daya beli yang lebih mendorong untuk dapat
mengkonsumsi berbagai jenis makanan yang diinginkan (Afifah dkk, 2017).
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul ” Hubungan Pengetahuan Gizi dan Tingkat Pengetahuan Pola Konsumsi Fast Food
Dengan Kejadian Berat Badan Lebih Pada Remaja Di SMA N Bagan Batu Tahun 2021”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pengetahuan gizi remaja terhadap pola konsumsi fast food dengan
kejadian berat badan lebih?
2. Bagaimanakah tingkat pengetahuan remaja terhadap pola konsumsi fast food dengan
kejadian berat badan lebih?
3. Bagaimanakah hubungan pengetahuan gizi dan tingkat pengetahuan pola konsumsi fast
food dengan kejadian berat badan lebih pada remaja?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan pengetahuan gizi dan tingkat pengetahuan pola konsumsi
fast food dengan kejadian berat badan lebih pada remaja di SMA N Bagan Batu
tahun 2021
2. Tujuan Khusus
a) Menganalisis hubungan antara pengetahuan gizi terhadap berat badan lebih
pada remaja di SMA N Bagan Batu.
b) Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan konsumsi fast food terhadap
berat badan lebih pada remaja di SMA N Bagan Batu.
c) Menganalisis hubungan antara pola konsumsi fast food dengan kejadian berat
badan lebih pada remaja di SMA N Bagan Batu.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Masyarakat
Menambah ilmu pengetahuan tentang mengkonsumsi fast food yang dapat
menyebabkan kelebihan berat badan.
2. Bagi Peneliti
a. Menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman penulis dalam melakukan
penelitian.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. REMAJA
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa
kehidupan orang dewasa yang ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan biologis
dan psikologis. Secara biologis ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya seks primer
dan seks sekunder sedangkan secara psikologis ditandai dengan sikap dan perasaan,
keinginan dan emosi yang labil atau tidak menentu (Farid, 2016). Perubahan mentalpun
mengalami perkembangan. Pada fase ini pencapaian identitas diri sangat menonjol,
pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis. Periode ini disebut fase pubertas (puberty)
yaitu suatu periode dimana kematangan kerangka atau fisik tubuh seperti proporsi tubuh,
berat dan tinggi badan mengalami perubahan serta kematanagan fungsi seksual yang
terjadi secara pesat terutama pada awal masa remaja.
a. Definisi Remaja
Remaja adalah suatu tahap perkembangan antara masa anak-anak dan
masa dewasa, yang ditandai dengan berbagai perubahan fisik umum serta
perkembangan kognitif dan sosial yang berlangsung antara usia 12-19 tahun. Pada
sebagian besar masyarakat dan budaya, masa remaja pada umumnya dimulai pada
usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatmodjo, 2011 dalam
Heryuditasari, 2018).
b. Status Gizi Remaja
Almatsier (2011) dalam Juliani dan Dewi (2018) mengatakan bahwa status
gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan
zat-zat gizi, dibedakan anatara gizi kurang, baik, dan lebih. Sedikit sekali yang
diketahui tentang asupan pangan remaja, meski asupan kalori dan potein sudah
tercukupi, namun elemen lain seperti besi, kalsium dan beberapa vitamin ternyata
masih kurang. Ketidakseimbangan asupan dan keluaran energi mengakibatkan
pertambahan berat badan. Obesitas yang muncul pada usia remaja cenderung
berlanjut hingga ke dewasa, dan lansia. Sementara obesitas itu sendiri merupakan
satu faktor resiko penyakit kantong empedu, beberapa jenis kanker, gangguan fungsi
pernapasan, dan berbagai gangguan kulit. Oleh karena itu, konsumsi pangan remaja
sangat penting diperhatikan karena kebiasaan para remaja mengonsumsi makanan
fast food. Kebiasaan makan remaja 40% terdiri dari snack yang berkalori tinggi
seperti hamburger, pizza dan junk food (Juliani dan Dewi, 2018).
c. Penilaian Status Gizi Remaja
Penilaian status gizi dengan pengukuran langsung berupa: antropometri,
biokimia, klinis, dan biofisik; dan pengukuran tidak langsung berupa survei konsumsi,
statistik vital, dan faktor ekologi. Berikut adalah pengukuran status gizi dengan
menggunakan parameter antropometri yaitu menggunakan Indeks Massa Tubuh
(IMT):

IMT = Berat Badan (kg)

[Tinggi Badan (m)]2

IMT digunakan sebagai alat untuk memantau status gizi orang dewasa yang
berhubungan dengan kelebihan dan kekurangan berat badan (Supariasa, 2014).
Rumus yang digunakan untuk menghitung IMT sebagai berikut:

a) Berat Badan
Antropometri paling sering digunakan adalah berat badan. Berat badan
menggambarkan jumlah dari protein, lemak, air dan mineral pada tulang. Berat
badan dijadikan pilihan utama karena berbagai pertimbangan, antara lain:
pengukuran atau standar yang paling baik, kemudahan dalam melihat perubahan
dan dalam waktu yang relatif singkat yang disebabkan perubahan kesehatan dan
pola konsumsi; dapat mengecek status gizi saat ini dan bila dilakukan secara
berkala dapat memberikan gambaran pertumbuhan; berat badan juga
merupakan ukuran antropometri yang sudah digunakan secara luas dan umum di
Indonesia; keterampilan pengukur tidak banyak mempengaruhi ketelitian
pengukuran. Faktor penting lainnya untuk penilaian status gizi adalah umur,
maka perhitungan berat badan terhadap tinggi badan merupakan parameter
yang tidak tergantung pada umur. Pengukuran berat badan dilakukan dengan
menimbang. Alat yang digunakan sebaiknya memenuhi beberapa persyaratan
yaitu: mudah dibawa dari satu tempat ke tempat yang lain dan mudah digunakan;
harganya relatif murah dan mudah diperoleh; skalanya mudah dibaca dan
ketelitian penimbangan maksimum 0,1 kg (Supariasa, 2014 dalam Florence,
2017).

b) Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan parameter yang penting bagi keadaan yang telah
lalu dan keadaan sekarang. Selain itu, faktor umur dapat dikesampingkan
dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan (Quac stick).
Pengukuran tinggi badan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengukur
tinggi mikrotoa (microtoise) dengan ketelitian 0,1 cm (Supariasa, 2014 dalam
Florence 2017).

Tabel 1.1 Angka Kecukupan Gizi

13-15 tahun 16-18 tahun


BB (kg) 46 50
TB (cm) 155 158
Energi (kkal) 2125 2125
Protein (g) 69 59
Lemak (g) 71 71
Karbohidrat (g) 292 292
Air (mL) 2000 2100
Serat (g) 30 30
Vit A (mcg) 600 600
Vit C (mcg) 65 75
Vit D (mcg) 15 15
Besi (mg) 26 26
Kalsium (mg) 1200 1200
Iodium (mcg) 150 150
(Kemenkes, 2013)

d. Pengukuran Status Gizi


Pengukuran status gizi dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu
pemeriksaan klinis, biokimia, biofisik dan anthropometri. Metode yang paling sering
digunakan adalah pengukuran anthropometri. Pengukuran anthropometri dapat
menggunakan Indeks Massa tubuh (IMT = Body Massa Index) menurut umur,
sebagai alat penyaringan (screening, bukan alat diagnostic) yang efektif untuk
menilai secara cepat status gizi anak.

e. Klasifikasi Status Gizi


Tabel 1.2 Klasifikasi Status Gizi

Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat <17,0
berat
Kekurangan berat badan ringan 17,0-18,4
Normal 18,5-25,0
Gemuk Kelebihan berat badan ringan 25,1-27,0
Kelebihan berat badan berat >27,0
Sumber : Depkes (2014)

2. PENGETAHUAN GIZI
a. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui manusia tentang benda,
sifat, keadaan dan harapan-harapan. Pengetahuan dimiliki oleh semua suku bangsa
di dunia. Mereka memperoleh pengetahuan melalui pengalaman, intuisi, wahyu,
logika, atau kegiatan-kegiatan yang bersifat coba-coba. Jadi pengetahuan adalah
segala sesuatu yang diketahui manusia dan terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu objek tertentu.
b. Pengetahuan Gizi
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan
raba.
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi,
sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi sehingga
tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik agar zat gizi
dalam makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat (Hestiani, 2014).

c. Penilaian Pengetahuan Gizi


Pengukuran pengetahuan gizi dapat dilakukan dengan menggunakan
instrument berbentuk pertanyaan pilihan dan berganda (Multiple choice test),
instrument ini merupakan bentuk tes obyektif yang paling sering digunakan. Di dalam
menyusun instrument ini diperlukan jawaban-jawaban yang sudah tertera diatas. Dan
responden hanya memilih jawaban yang menurutnya benar. Kategori pengetahuan
gizi bisa dibagi dalam 3 kelompok yaitu baik, sedang, dan kurang. Cara
pengkategorian dilakukan dengan menetapkan cut of point dari skor yang telah
dijadikan persen (Dewi, 2013).
Pengetahuan gizi pada remaja sangat penting karena setiap orang akan
cukup gizi jika makanan yang dimakannya mampu meyediakan zat gizi yang
diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal, karena pengetahuan gizi
memberikan informasi yang berhubungan dengan gizi, makanan dan hubungannya
dengan kesehatan. Kedalaman dan keluasan pengetahuan tentang gizi akan
menuntun seseorang dalam pemilihan jenis makanan yang akan dikonsumsi baik
dari segi kualitas, variasi, maupun cara penyajian pangan yang diselaraskan dengan
konsep pangan. Misalnya, konsep pangan yang berkaitan dengan kebutuhan fisik,
apakah makan asal kenyang atau untuk memenuhi kebutuhan tubuh (Dewi, 2013).

3. POLA KONSUMSI PANGAN


Kehidupan masyarakat sangat dipengaruhi oleh konsumsi pangan dan gizi. Pola
konsumsi pangan masyarakat dilandasi oleh kebiasaan makan yang tumbuh dan
berkembang melalui proses sosialisasi. Hal ini menandakan bahwa pola konsumsi makanan
dapat berubah-ubah karena faktor penentu.
Pola konsumsi makan adalah kebiasaan makan yang meliputi jumlah, frekuensi dan
jenis atau macam makanan. Penentuan pola konsumsi makan harus memperhatikan nilai
gizi makanan dan kecukupan zat gizi yang dianjurkan. Hal tersebut dapat di tempuh dengan
penyajian hidangan yang bervariasi dan dikombinasi, ketersediaan pangan, macam serta
jenis bahan makanan mutlak diperlukan untuk mendukung usaha tersebut. Disamping itu
jumlah bahan makanan yang dikonsumsi juga menjamin tercukupinnya kebutuhan zat gizi
yang diperlukan oleh tubuh

a. Defenisi Pola Konsumsi Pangan


Pola konsumsi merupakan serangkaian cara bagaimana makanan diperoleh,
jenis makanan yang dikonsumsi, jumlah makanan yang mereka makan dan pola
hidup mereka, termasuk beberapa kali mereka makan atau frekuensi makan. Faktor
yang mempengaruhi pola konsumsi diantaranya ketersediaan waktu, pengaruh
teman, jumlah uang yang tersedia dan faktor kesukaan serta pengetahuan dan
pendidikan gizi

b. Metode Penilaian Pola Konsumsi Makan


Penilaian konsumsi pangan dilakukan sebagai cara untuk mengukur keadaan
konsumsi pangan yang kadang-kadang merupakan salah satu cara yang digunakan
untuk menilai status gizi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
frekuensi makanan (food frequency questionaire) (Florence, 2017)
Metode frekuensi makan adalah untuk memperoleh data tentang frekuensi
konsumsi sejumlah bahan makanan atau makanan jadi selama periode tertentu
seperti hari, minggu, bulan atau tahun. Selain itu dengan metode frekuensi makanan
dapat memperoleh ambaran pola konsumsi bahan makanan secara kualitatif.
Kuesioner frekuensi makanan memuat semua tentang daftar bahan makanan atau
makanan dan frekuensi penggunaan bahan makanan tersebut pada periode tertentu.
Bahan makanan yang terdapat dalam daftar tersebut adalah yang dikonsumsi cukup
sering oleh responden (Florence, 2017).

c. Kebiasaan Makan Cepat Saji (Fast food)


Istilah fast food pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat sekitar tahun
1950-an dan pelajar merupakan konsumen terbanyak yang memilih menu fast food.
Fast food dipilih karena keterbatasan waktu maupun fasilitas untuk menyiapkan
makanannya sendiri. Secara umum produk fast food dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu produk fast food yang berasal dari Barat dan lokal. Fast food yang berasal dari
Barat sering juga disebut fast food modern, seperti fried chicken, hamburger, french
fries, pizza, dan sebagainya. Fast food lokal sering disebut dengan istilah fast food
tradisional seperti warung tegal, restoran padang, warung sunda, dan lain-lain.
Fast food cenderung lebih padat energi, kaya akan sumber asam lemak
jenuh (saturated fatty acids) dan asam lemak trans (trans fatty acids), garam, rendah
mikronutrien dan dikonsumsi dalam porsi yang cukup besar dibandingkan makanan
lain. Sebagai konsekuensi langsung, konsumsi berlebihan dari fast food dihubungkan
dengan peningkatan risiko berat badan berlebih (overweight) dan obesitas.
Berat badan berlebih pada anak meningkatkan risiko obesitas saat dewasa,
hal ini terjadi karena terdapat peningkatan dari sel lemak (fat cell) pada jaringan
adiposit terutama di jaringan adiposit viseral dan juga berisiko untuk berkembangnya
penyakit kronik lainnya. Adanya akses terhadap makanan berenergi padat yang
tinggi lemak (energy-dense high-fat) dan makanan-makanan asin (salty foods)
disertai minuman ringan yang manis (sweetened soft drinks) di sekolah, kampus,
rumah dan di gerai-gerai makanan cepat saji (fast food), menandai peningkatan
masukan energi anak dan remaja yang dapat mendorong terjadinya obesitas. Anak
dan remaja ini tiga kali lebih sering makan makanan yang berasal dari restoran dan
outlet fast food sekarang ini dibandingkan dengan 30 tahun yang lalu. Ini mungkin
dikarenakan makanan-makanan tersebut relatif murah, mudah diakses, banyaknya
iklan makanan dan dengan orang tua yang sibuk berkerja sehingga tidak memiliki
waktu untuk memasak bagi keluarga (Patterson dkk, 2012 dalam Juliani dan Dewi,
2018).

4. KERANGKA KONSEP

Pengetahuan Gizi Tingkat Pengetahuan


Konsumsi Makanan
Berat Badan Lebih

5. HIPOTESIS
1) Pengetahuan gizi ada hubungan terhadap berat badan lebih pada siswa/i SMA N
Bagan Batu.
2) Tingkat pengetahuan pola konsumsi fast food ada hubungan terhadap berat badan
lebih pada siswa/i SMA N Bagan Batu.
3) Ada hubungan antara pengetahuan gizi, tingkat pengetahuan pola konsumsi fast
food, dan berat badan lebih pada siswa/i SMA N Bagan Batu.

BAB III

METODE PENELITIAN

1. METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian survei yang bersifat analitik, yaitu suatu metode penelitian yang mencoba
menggali bagaimana dan mengapa fenomena itu terjadi.
Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah cross sectional, yaitu suatu
penelitian yang mendesain pengumpulan datanya dilakukan pada satu titik waktu (at
one point in time): fenomena yang diteliti adalah selama satu periode pengumpulan
data (Swarjana, 2012 dalam Florence, 2017).

B. Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian dilakukan di SMA N Bagan Batu, tahun 2021

C. Populasi dan Sampel


1) Populasi adalah keseluruhan subjek atau objek dengan karakteristik tertentu
yang diteliti (Notoatmodjo,2005).
2) Sampel merupakan bagian dari populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah
dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2007). Pengambilan
sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling yaitu pengambilan sampel
yang didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti
sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui
sebelumnya (Notoatmodjo,2005).

D. Teknik Pengambilan Sampel


Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini, menggunakan sampel acak
sederhana (simple random sampling). Dikatakan simple (sederhana): karena
pengambilan sampel dari populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan
strata yang ada dalam populasi itu, hal ini mengacu pendapat Sugiyono (2009).

E. Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan dalam beberapa langkah yaitu:
1) Pembuatan Kuesioner
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan berupa kuesioner tertutup.
Kuesioner ini dilakukan dengan cara mengedarkan suatu daftar pertanyaan yang
diajukan secara tertulis kepada sejumlah responden untuk mendapatkan
tanggapan, informasi, jawaban, dan sebagainya.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner
tentang hubungan pengetahuan gizi dan tingkat pengetahuan pola konsumsi fast
food dengan kejadian berat badan lebih pada remaja di SMA N Bagan Batu.
2) Survey Lokasi
Tahap ini meliputi survey jumlah siswa/i SMA N Bagan Batu yang berada
dalam rentang usia 16-18 tahun.
3) Penentuan Jumlah Sampel
Peneliti menentukan jumlah sampel dalam penelitian dengan menggunakan
rumus estimasi proporsi dengan tingkat ketelitian yang diinginkan sebesar 5%.
4) Penyebaran Kuesioner
Setelah kuesioner dibuat, maka peneliti akan menyebarkan kuesioner ke
sejumlah sampel. Dimana sebelum memulai penelitian, peneliti memperkenalkan
dahulu dan memberi tahu kepada responden mengenai maksud dan tujuan
penelitian serta memberikan surat pernyataan kesediaan menjadi responden
(inform consent). Setelah responden bersedia, maka responden diberi pertunjuk
oleh peneliti tentang tata cara untuk mengisi kuesioner.
5) Pengolahan Data
Pada penelitian ini pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan
meliputi, editing, coding, entry, dan cleaning yang dilakukan sebelum melakukan
analisis data. Data yang diperoleh akan ditabulasi ke dalam tabel menurut jenis
kuesioner yang sudah diisi.
6) Analisis Data
Setelah data diolah maka selanjutnya data akan dianalisis. Data dianalisis untuk
dilihat distribusi frekuensi dengan ukuran persentase atau proporsi. Kemudian
data tersebut diuji untuk mengetahui apakah ada hubungan antara pengetahuan
gizi dan tingkat pengetahuan pola konsumsi fast food dengan kejadian berat
badan lebih.

F. Definisi Operasional
1) Pengetahuan Gizi
Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi,
sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi
sehingga tidak menimbulkan penyakit dan cara mengolah makanan yang baik
agar zat gizi dalam makanan tidak hilang serta bagaimana hidup sehat.
Pengetahuan gizi adalah skor yang diperoleh dari jawaban kuesioner responden
yang berhubungan dengan zat gizi, kebutuhan gizi, dan permasalahan gizi yang
diukur dengan skor jawaban terhadap pertanyataan.

2) Pola Konsumsi
Pola konsumsi makan adalah kebiasaan makan yang meliputi jumlah,
frekuensi dan jenis atau macam makanan. Penentuan pola konsumsi makan
harus memperhatikan nilai gizi makanan dan kecukupan zat gizi yang dianjurkan.
Hal tersebut dapat di tempuh dengan penyajian hidangan yang bervariasi dan
dikombinasi, ketersediaan pangan, macam serta jenis bahan makanan mutlak
diperlukan untuk mendukung usaha tersebut. Disamping itu jumlah bahan
makanan yang dikonsumsi juga menjamin tercukupinnya kebutuhan zat gizi yang
diperlukan oleh tubuh. Pola konsumsi adalah suatu perilaku yang berhubungan
dengan makan dan makanan seperti frekuensi makan yang diperoleh dari
hidangan baik makanan pokok maupun jajanan yang dikonsumsi perhari dengan
metode food frequency.

3) Status Gizi
Almatsier (2011) dalam Juliani dan Dewi (2018) mengatakan bahwa status gizi
merupakan keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan
zat-zat gizi, dibedakan anatara gizi kurang, baik, dan lebih.

G. Analisis Data
1) Uji Chi Square
Chi-Square disebut juga dengan Kai Kuadrat. Chi Square adalah salah satu
jenis uji komparatif non parametris yang dilakukan pada dua variabel, di mana
skala data kedua variabel adalah nominal. (Apabila dari 2 variabel, ada 1 variabel
dengan skala nominal maka dilakukan uji chi square dengan merujuk bahwa
harus digunakan uji pada derajat yang terendah). Uji chi-square merupakan uji
non parametris yang paling banyak digunakan. Namun perlu diketahui syarat-
syarat uji ini adalah frekuensi responden atau sampel yang digunakan harus
besar (Besral, 2010).

2) Uji Validitas
Validitas menunjukan sejauh mana relevansi pertanyaan terhadap apa yang
ditanyakan atau apa yang ingin diukur dalam penelitian. Uji validitas dilakukan
untuk menguji ketepatan suatu item dalam pengukuran instrumennya. Dalam
menguji validitas instrumen dengan menggunakan rumus Point Biserial, setelah
itu diuji dengan membandingkan rhitung dan rtabel lalu dilihat penafsiran dari
indeks korelasinya.
Untuk menentukan tingkat korelan dari tiap item atau butir soal yang
diperoleh harus membandingkan dengan angka tabel korelasi nilai r. Kriteria
validitas tiap item untuk 30 responden adalah: jika (r) > 0,30 maka item
dinyatakan valid, sedangkan jika (r) < 0,30 maka item tidak valid (Florence,
2017).

3) Uji Reabilitas
Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau diandalkan (Notoatmodjo, 2005). Hal ini berarti
menunjukan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten bila dilakukan
pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama maka hasilnya akan
tetap atau tidak berubah-ubah. Sekumpulan pertanyaan untuk mengukur suatu
variabel dikatakan reliable dan berhasil mengukur variable yang kita ukur jika
koefisien reliabilitasnya ≥ 0,700 (Florence, 2017)

Anda mungkin juga menyukai