Anda di halaman 1dari 18

1

Diajukan Sebagai Syarat untuk Mengikuti Darul Arqam Madya Angakatan I Se-Indonesia Timur PC IMM Kota Baubau

Di Susun Oleh
: La Munu
Nama NPM : 071701020
Email : …………………….

Utusan DPD/PC: PC Imm Kab. Buton


Nomor HP :0812363844870:0000000000009880089900…081236384487………………….
TEMA KARYA TULIS ILMIAH :

Penafsiran Ayat Ayat Wabah Dalam AL QUR’AN

( Studi Perbandingan Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Maragh )


2

BAB 1

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Pada zaman dahulu, penyakit sering di identikan dengan gangguan

makhluk halus atau ia bahkan dianggap sebagai kutukan Tuhan atas diri

seseorang, terlebih lagi terhadap penyakit menular. Konon, ketika seseorang

terkena penyakit menular, maka ia akan dikeluarkan dari komunitas masyarakat-

nya (diasingkan) bahkan apa saja yang berhubungan dengan-nya harus dipisahkan

dari orang-orang yang sehat. Asumsi semacam inilah yang mengakibatkan banyak

terjangkit penyakit di beberapa negara tanpa bisa berbuat apa-apa.

Wabah adalah istilah umum untuk menyebut kejadian terjadinya

tersebarnya penyakit menular pada daerah yang luas dan pada banyak orang,

maupun untuk menyebut penyakit yang menyebar tersebut.

Dalam istilah epidemiologi, epidemic dari bahasa Yunani epi (pada) dan

demos (rakyat) adalah penyakit yang timbul sebagai kasus baru pada suatu

populasi tertentu manusia dalam suatu priode waktu tertentu dengan laju. Dengan

kata lain, epidemic adalah wabah yang terjadi secara lebih cepat dari pada yang

diduga. Jumlah kasus baru penyakit di dalam suatu populasi dalam periode waktu

tertentu di sebut incidence (timbulnya penyakit). Suatu wabah dapat terbatas pada

lingkup kecil tertentu yang di sebut outbreak, yaitu serangan penyakit, dan
3

lingkup yang lebih luas (epidemic) atau bahkan lingkup global (pandemic).

Penyakit umum yang terjadi cukup tinggi pada suatu populasi di sebut sebagai

endemic.1

Salah seorang tokoh yang di anggap paling berjasa menemukan sebab-

sebab penularan suatu penyakit, adalah Ibn al-Khatib, seorang sarjana kedokteran

dari Spanyol, yang hidup pada masa abad pertengahan, sekaligus juga seorang

pengarang yang terkenal. Pada mulanya, ia menyaksikan dengan mata kepalanya

sendiri bagaimana keganasan virus penyakit pes yang telah banyak merenggut

jiwa manusia. Tidak hanya di satu wilayah, tetapi wabah juga bisa meluas ke

daerah atau negara lain di sekitarnya.2

Namun, tidak semua penyakit menular dapat disebut sebagai wabah. Suatu

penyakit dapat dikatakan wabah ketika penyakit tersebut memiliki kondisi sebagai

berikut:

1. Sudah lama tidak muncul dan menjangkiti masyarakat.

2. Datang penyakit baru yang sebelumnya tidak diketahui.

3. Penyakit tersebut baru pertama kali menjangkiti masyarakat di daerah

tersebut.

Terjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang

telah di tetapkannya. Bila seseorag tidak menghindari-nya, ia akan

menerima akibatnya. Akibat yang menimpahnya itu juga adalah takdir.

1
Nadiah Tharayyarah, Mausu`ah al-I`jaz al-Qur`ani, Cet. Ke-I, (Jakarta: Pustaka Dar al-Yamama,
Abu Dhabi, 2013), h, 59.
2
Ahmad Ramli, Peraturan-Peraturan untuk memelihara Kesehatan dalam Hukum Syara` Islam,
Cet. Ke-3, (Jakarta: Balai Pustaka, 1968), h. 10
4

Akan tetapi, bila dia menghindari dari luput marabahaya, maka ia pun

takdir. Bukanlah Tuhan telah menganugerahkan manusia kemampuan

untuk memilah dan memilih surga dan neraka adalah pilihan manusia

masing-masing? 3

Jika Yang di maksud dengan epidemi ialah menjangkitnya wabah

mengerikan dan memusnakan sejumlah besar manusia tertentu maka

sesunggunya sejak lama Al-Qur`an telah mengisyaratkan kasus-kasus

tersebut.

Berkaitan dengan penyakit menular tersebut, Islam sangat memberikan

perhatian terutama bagaimana mencari solusi yang tepat agar si pengidap tidak

terisolir dari komunitasnya. Dalam beberapa ayat yang berbicara tentang wabah

penyakit di anatanya Q.S. 2 : 26, 243, Q.S 11 : 64-65 dan Q.S 21 : 83-84 dan

hadis Nabi Saw. memang banyak dijumpai tentang masaalah wabah tersebut.

Terhadap para pengidap penyakit menular.4

Di dalam Al-Qur`an surah Al-Baqarah Allah Swt berfirman:

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar

dari kampung halaman mereka, sedangkan mereka beribu-ribu

(jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada

mereka:”Matilah kamu! 5 ”,Kemudian Allah menghidupkan mereka.


3
Quraish. Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda ketahui, Cet. Ke-13, (Tangerang:
Penerbit Lentera Hati, 2012), h, 800.
4
Nasaruddin Umar, Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-Nilai Keislaman, (Jakarta: Penerbit
Media Komputindo, 2014), h. 77
5
Sebagian Ahli tafsir mengartikan mati di sini dengan arti sebenarnya; Sedangkan sebagian ahli
tafsir yang lain mengartikan dengan mati semangat. Jakarta; 1989, h. 59
5

Sesunggunya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi

kebanyakan manusia tidak bersyukur”.(Q.S.Al-Baqarah :243) 6

”Sesungguhnya Allah memiliki karun ia bagi manusia,”yaitu

karunia yang di perlihatkan kepada mereka berupa ayat-ayat yang

cemerlang, hujah-hujah yang pasti, dan dalil-dalil yang mendalam.

”Namun kebanyakan manusia tidak bersyukur atas karunia yang di

limpahkan Allah kepada mereka baik karunia yang menyangkut dunia

maupun agama.

Kisah tersebut mengandung pelajaran dan dalil bahwa tidaklah

berguna rasa takut terhadap takdir dan bahwa tiada tempat berlindung

dari siksa-nya kecuali kepadaya. Sesungguhnya mereka pergi untuk

menghindari wabah guna meraih kehidupan yang panjang, tetapi

mereka malah mendapatkan kenyataan yang bertentangan dengan

tujuan mereka sendiri. Kematian bahkan menjemput mereka lebih cepat

hanya dalam satu saat. 7

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pandangan Ibnu Katsir dan Al maraghi terhadap ayat ayat

tentang wabah dan solusi pencegahannya

6
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahan, (Jakarta: Penerbit, Mahkota Surabaya,
1989), h. 59
7
Ibnu Katsir Qashash Al-Anbiyaa, Cet. Ke-1, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2011), h, 409.
6

C. Tinjauan Pustaka

Untuk mengetahui apakah tulisan yang membahas tentang “Penafsiran

Ayat-Ayat Wabah,” sudah ada yang membahasnya atau belum, maka terlebih

dahulu penulis melakukan kajian pustaka dan menemukan beberapa judul skripsi

yang membahas tentang wabah:

Pertama, Skripsi yang di tulis oleh Saifuddin Zuhri Qudsy, Program Studi

Al-Qur`an dan Hadis Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun

2020, dengan Judul “Kredibilitas Hadis dalam COVID-19, Studi atas Bazl al-

Ma`un fi fadhli al-Tha`un Karya Ibnu Hajar Al-Asqalany” Tulisan ini membahas

karya Ibnu Hajar al-Asqalany yang beberapa bulan ini banyak dicari oleh para

pengkaji pandemik. Paparannya mengenai pandemik cukup komprehensif,

termasuk data-data ensiklopedi wabah yang terjadi pada masa Sahabat, Dinasti

Umayyah dan Abbasiyah. Dengan berangkat dari pertanyaan, pertama, bagaimana

literatur Islam berbicara mengenai pandemi; kedua, faktor apa yang menyebabkan

pembicaraan mengenai pandemik muncul dalam literatur sejarah Islam? Ketiga

Bagaimana kredibilas literatur Bażl al-Mā’ūn dan lainnya dalam menangani

pandemik seperti COVID-19? Dengan menggunakan analisis interpretif, tulisan

ini berhasil menunjukkan bahwa Bażl al-Mā’ūn merupakan referensial dalam

membicarakan pandemik di dunia Islam, di samping itu memang terdapat buku-

buku lain yang muncul sebelum karya al-Asqalany ini..8

8
Saifuddin Zuhri Qudsy, Kredibilitas Hadis dalam COVID-19, Studi atas Bazl al-Ma`un fi fadhli
al-Tha`un Karya Ibnu Hajar Al-Asqalany, h. 4
7

Kedua, Skripsi yang di tulis oleh Amiruddin, Program Studi Tafsir Hadis

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Tahun 2016 dengan Judul “Bala Dalam

Perspektif Al-Qur`an” Ada tiga hal yang merupakan hasil dari penelitian ini,

Pertama, Alquran menyatakan bahwa bala merupakan pemberian Allah swt.,

kepada hamba-hambaNya yang beriman berupa ujian dan cobaan. Pemberian

tersebut adakalanya untuk disyukuri (Q.S. An-Naml/27:40), dan adakalanya untuk

disabarkan (Q.S. Albaqarah/2: 155). Hal ini karena terkadang Allah memberikan

bala berupa nikmat dan musibah. Maka ketika memperoleh nikmat harus

disyukuri, dan bersabar ketika memperoleh musibah. Kedua, pendapat para

mufasir mengenai ayat-ayat bala adalah, bahwa mereka mengatakan bala

merupakan keniscayaan hidup atau sunnatullah, seperti Abū Ja’far aṭ-Ṭabarī (w.

310 H) menafsirkan kata“wa lanabluwannakum”dengan kepastian akan datangnya

bala terhadap seorang mukmin. Demikian juga Hamka (w.1981 M) dan M.

Quraish Shihab menyatakan bahwa bala merupakan keniscayaan hidup, yang pasti

dirasakan oleh seorang mukmin. Ketiga, Di saat seorang hamba menerima bala,

maka yang harus ia lakukan ada tiga hal, yaitu bersabar ketika diberikan bala yang

berbentuk keburukan, bersyukur ketika diberikan bala yang berbentuk kebaikan,

dan selalu berbaik sangka atau husnus-ẓan kepada Allah swt., atas segala yang

ditakdirkan kepadanya.9

Ketiga, Skripsi yang di tulis oleh Husnul Hakim Fakultas Ushuluddin

Institut PTIQ Jakarta tahun 2018 dengan Judul “Epidemi dalam Al-Qur`an, Suatu

Kajian Tafsir Maudhu`I dengan Corak Ilmi” Epidemi dalam Al-Qur`an (Suatu

9
Amiruddin, Bala Dalam Perspektif Al-Qur`an, h. 9
8

Kajian dalam Tafsir Ilmi). Tulisan ini menelusuri tentang epidemi yang di uraikan

dalam Al-Qur`an, apakah merupakan suatu yang terjadi begitu saja sebagai sebuah

ketentuan Allah, ataukah sebagai akibat dari pelanggaran terhadap hukum allah?

Dengan menggunakan metode maudhu`I corak Ilmi, di ketahui awalnya epidemic

yang di pahami sebagai azab Allah, ternyata berdasarkan penafsiran Ilmi lebih

sebagai kejadian biasa akibat penyeberan virus yang tidak di tangani dengan baik

dan merupakan sebuah asa besar bagi umat islam, khususnya dan masyarakat

dunia pada umumnya.10

Keempat, Skripsi ini yang tulis oleh Ridwan Kusuma program Studi Ilmu

Al-Qur`an dan Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri, Syarif

Hdayatullah Jakarta, tahun 2017 dengan Judul “Pemehaman Mahasiswa Tafsir

atas Ayat-Ayat Musibah” Ada banyak solusi yang di jelaskan Al-Qur`an apabilah

seorang beriman sedang mengalami kebuntuan, salah satu solusi yang d jelaskan

Al-Qur`an yaitu keika di ladah musibah. Musibah merupakan sebua ujian atau

peringatan yang di berikan Allah Swt., kepada umatnya untuk mengetahui

seberapa besarkah keimanan umatnya. Kuat lemahnya iman seorang itu dapat di

lihat dari cara mereka menyikapi musibah yang menimpah pada diri mereka.11

Berdasarkan beberapa judul karya tulis ilmiah dan jurnal di atas, maka

terdapat persamaan dan perbedaan dari penelitian sebelumnya dengan penelitian

yang saat ini penulis teliti. Persamaan yaitu sama-sama membahas tentang

masaalah wabah, sedangkan yang membedakan dengan skripsi dan jurnal

10
Husnul Hakim, Epidemi dalam Al-Qur`an, Suatu Kajian Tafsir Maudhu`I dengan Corak Ilmi, h.
113
11
Ridwan Kusuma, Pemehaman Mahasiswa Tafsir atas Ayat-Ayat Musibah, h. 7
9

sebelumnya adalah peneliti membahas tentang Penafsiran Ayat-Ayat Wabah

dalam Al-Qur`an. Studi Perbandinga Kitab Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-

Maraghi.

D. Metodologi penelitian

Adapun hal-hal yang perlu dijelaskan berkaitan dengan metode penelitian

yang digunakan dalam Karya tulis ilmiah ini yaitu :

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian dengan pendekatan

kualitatif deskriptif. Metode kualitatif ini sering disebut “metode penelitian

library research (penelitian pustaka), bagaimana pendapat kedua mufassir Ibnu

Katsir dan Al-Maraghi dalam menafsirkan ayat-ayat wabah dalam Al-Qur`an. Dan

korelasional hubungan antara ayat satu dengan lain, yang berbicara tentang wabah

untuk mendapatkan suatu kesimpulan di antara dua penafsir tersebut. Maka

metode yang di pakai peneliti tersebut ialah metode maudu`i/tematik untuk

mencari tau seberapa banyak ayat-ayat yang berbicara tentang wabah dalam al-

Qur`an. Metode tematik ialah suatu metode yang berbicara tentang tema yang di

angkat peneliti, biasa di pakai seorang penafsir untuk menafsirkan ayat Al-Qur`an.

2. Sumber data
10

Sumber data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah

sebagai berikut :

a. Sumber Primer

Sumber primer yaitu sumber data yang penulis jadikan sebagai rujukan

utama dalam membahas dan meneliti permasalahan seputar Penafsiran

Ayat-Ayat Wabah dalam Al-Qur`an (Studi Perbandingan Tafsir ibn

Katsir dan Tafsir al-Maraghi).

b. Sumber Sekunder

Sumber sekunder yaitu sumber data yang penulis ambil dari literatur

lain yang dapat mendukung pembahasan dan permasalahan yang ada

dalam karya tulis ilmiah ini.

2. Pendekatan masalah

Pendekatan yang digunakan dalam memperoleh data dalam penulisan

karya tulis ilmiah ini adalah melalui pendekatan normatif, yaitu mengambil

sumber utama dari bahan utama dalam bukunya Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an

al-‘Adzim dan Tafsir al-Maraghi. Pendekatan ini juga berusaha untuk melihat

sejauh mana pemikiran Ibn Katsir dan al-Maraghi dalam Menafsiran Ayat-Ayat

Wabah dalam Al-Qur`an.

3. Metode Analisis Data

Adapun masaalah yang dapat diteliti dan di selediki oleh penelitian

kualitatif deskriptif, ini mengacu pada, studi komparatif (perbandingan), serta

dapat juga menjadi sebua studi korelasional (hubungan), antara satu unsur dengan

unsur yang lainnya. Kegiatan penelitian ini meliputi pengumpulan data, analisis
11

data, interprestasi data, dan pada akhirnya di rumuskan satu kesimpulan yang

mengacu pada analisis data tersebut menurut (Whitney). Yang merupakan analisis

dengan cara menyajikan, memaparkan konsep Penafsiran Ayat-Ayat Wabah

dalam Al-Qur`an menurut Ibn Katsir dan al-Maraghi.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Bagaimana pandangan Ibnu Katsir dan Al maraghi terhadap

ayat ayat tentang wabah dan solusi pencegahannya

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir, Ibnu Abbas, ia mengatakan,“Mereka

berjumlah empat ribu orang12. Mereka pergi untuk menghindarkan diri dari wabah

tha’un. Mereka mengatakan, “Kami akan pergi ke daerah yang tidak ada kematian

disana.”Dan ketika mereka sampai di suatu tempat, Allah Ta’ala berfirman kepada

mereka,“Matilah kamu!.”Maka mereka pun mati semuanya. Setelah itu ada

12
Ibnu Katsir, Taisiru Al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari, Cet. Ke-1,(Jakarta: Penulis Nasib Ar-Rifa`I,
Penerbit. Maktabah Ma`arif Riyadh, 1989), h, 409-410.
12

seorang nabi yang melewati mereka. Ia berdo’a kepada Rabb-Nya agar Dia

menghidupkan mereka. Kemudian Allah Ta’ala menghidupkan mereka kembali.

Takwil tentang beribu-ribu orang yang pergi meninggalkan kampung

halaman karena takut mati. Siapahkah gerangan mereka itu? Dimanakah tempat

tinggal negeri mereka? Pada zaman kapankah mereka pergi itu? Seandainya Allah

telah menerangkan tentang mereka sudah tentu di terangkannya, sebagaimana

kisah dalam Al-Qur`an. Ini adalah ungkapan dan pelajaran. Sedangkan, yang di

kehendaki adalah maksutnya, bukan peristiwa, tempat dan masanya. Penentuan

tempat dan waktu itu tidak memberi nilai tambah sedikitpun terhadap

pengungkapan kisah dan tujuannya.

Tujuan yang di maksut disini adalah untuk meluruskan pandangan

terhadap masalah kematian dan kehidupan, sebab-sebabnya yang zahir, dan

hakikatnya yang rahasia. Juga untuk mengembalikan persoalan ini kepada,

kekuasaan yang mengatur, merasa ,mantap dengan takdir Allah, menjalankan

tugas dan kewajiban tanpa berkeluh kesah, karena apa yang di takdirkan Allah

pasti terjadi. Akhirnya, urusan kematian dan kehidupan berada di tangan Allah.

Maksutnya dapat di katakan takut mati itu tidak ada gunanya bersedih.13

Istifham penjelasan dalam ayat di atas bermakna ta`ajjub (heran) dan

untuk memberikan i`tibar (contoh). Sedang kata ar-ru`yah di sini mengetahui

bukan menglihat apa yang belum ketahui keadaan orang-orang yang

meninggalkan kampung halaman mereka, padahal mereka itu sangat banyak

13
Sayyid Qutub, Fi Zhilalil Qur`an, Cet. Ke-1, (Jakarta: Penerbit, Gema Insani Beirut, 2000), h.
173
13

jumlahnya dan mungkin melakukan pembelaan terhadap tanah air dengan

keberanian dan ketenangan hati. Jadi, bukan berarti lari dalam pengertian kabur

dan takut dalam menghadapi musuh dengan lari meninggalkan mereka. Perasaan

seperti ini yang di miliki oleh orang-orang jiwa pengecut. Mereka menduga

bahwa dengan lari itu mereka akan selamat dari pertempuran, dan jiwa mereka

akan selamat tidak akan mati. Padahal kenyataannya, melarikan diri itu lebih fatal

di banding dengan melakukan peperangan.

Di samping itu Muhammad Abduh dan Al-Maraghi sependapat dalam

menafsirkan ayat diatas bahwa ayat di atas menunjukan kejadian yang sebenarnya.

Meraka benar-benar keluar dari negeri karena lari dari musuh yang akan

menyerang mereka. Bahwa ada seorang raja dalam kalangan Bani Israil

memerintahkan tentaranya agar memerangi musuh. Tetapi tentaranya menolak,

bahkan perintah tersebut di jawab oleh mereka, “Negara yang akan kita serang

sedang tertimpah penyakit menular. Karenanya, biarkan kami menunggu sampai

wabah hilang”. Kemudian Allah Swt. Membunuh mereka dalam tempoh delapan

hari, sehingga tampak tubuh merekah membengkak, dan Bani Israil tidak mampu

untuk mengubur mereka karena terlalu banyak mayat. Setelah lewat delapan hari

Allah Swt. Menghidupkan mereka kembali, tetapi bau anyir sebagai mayit masih

menempel di tubuh mereka. Para perawi mengatakan bahwa mati yang mereka

alami bukanlah mati yang hakiki, yakni kematian yang sewajarnya yang kemudian

di bangkitka dari kubur.14

14
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Cet. Ke-1, (Semarang: Penerbit, Tohaputra,
1989), h, 388.
14

Namun tentunya, meskipun wabah penyakit yang di tetapkan atas

orang-orang kafir adalah adzab, bukan berarti seorang muslim tidak

boleh membantu mereka atas dasar ketentuan ini. Sebab, islam

mengajarkan agar saling tolong menolong dalam kebaikan, meskipun

hal tersebut di lakukan kepada orang-orang kafir. 15

Di dalam sebua hadis Rasulullah Saw. Bersabda :

‫بن عَا ِم ِراَ َّن ُع َم َر َخ َر َج اِلَى ال َّش ِأم فَلَّ َما َكانَ بِ َسرْ َغ بَلَ َغهُ اَ َّن ْال َوبَا َءقَ ْد َوقَ َع‬
ِ ِ‫ع َْن َع ْب ِدهللا‬

‫رض فَالَ تَق َد ُمو َعلَي ِه‬


ٍ َ ‫صلَّم قَا َل اِ َذا َس ِم ْعتُم بِ ِه بِأ‬ ٍ ‫بِا َّش ِلم فَأَخبَ َرهُ عَبد َُرحْ َم ِن بنُ ع‬
َ …ِ‫َوف اَ َّن َر ُسلُوهللا‬

)‫رض َواَنتُم بِهَافَاَل تَخ ُر ُخوافِ َرارًا ِمنهُة (رواة البخرى‬


ٍ َ ‫َواِ َذا َوقَ َع بِأ‬

“Dari 'Abdullah bin 'Amir r.a.,Umar melakukan perjalanan ke-Syam.

Setelah ia sampai di Sargh, datang berita bahwa di Syam sedang bcrjangkit

penyakit menular. Lalu 'Abdurrahrnan bin 'Auf rncnceritakan kepadanya bahwa

Rasulullah saw. berkata: "Kalau kamu mendengar penyakit rnenular berjangkit di

suatu negeri. janganlah karmu pergi kesana. Tetapi kalau penyakit itu berjangkit

di negeri di mana kamu berada, janganlah kamu ke luar dari padanya melarikan

diri!" (H.R Bukhari no. 1667)16.

Diriwayatkan orang bahwa Sayidina Umar bin Khatabah ra,

ketika menjadi Khalifah, berangkat ke-negeri Syam, sampai kepada

kedua kampung Jabiyah dalam wilayah Damaskus. Maka sampailah

kepada beliau berita bahwa penyakit Tha`un sedang menjadi-jadi di

15
Isnan Ansory, Fiqih Menghadapi Wabah Penyakit, h. 11
16
Al-Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid Ke-4, h. 464
15

negeri Syam, telah beribu-ribu orang yang mati. Mendengar kabar itu,

terbagi dualah pendapat Sababat Rasulullah itu. Setengahnya

mengatakan lebih baik berjalan di negeri ke Syam di undurkan, untuk

menghindari bahaya. Setengahnya mengataka lebih baik berjalan di

teruskan juga, karena sakit dan menang hidup dan mati, semuanya di

bawah kuasa Allah jua. Setelah terjadi pertukaran pikiran itu, pergilah

mereka dan meminta pendapat Umar. Beliau bekata,”kita kembali.Tak

usah kita menempuh wabah. 17

Metode karantina yang telah diperintahkan Nabi Muhammad

Saw. untuk mencegah wabah penyakit tersebut, jangan sampai menjalar

ke negara-negara lain. Untuk memastikan perintah tersebut

dilaksanakan, Nabi Muhammad mendirikan tembok di sekitar daerah

yang terjangkit wabah dan menjanjikan bahwa mereka yang bersabar

dan tinggal akan mendapatkan pahala sebagai mujahid di jalan Allah,

sedangkan mereka yang melarikan diri dari daerah tersebut diancam

malapetaka dan kebinasaan. Peringatan kehati-hatian pada penyakit

lepra juga dikenal luas pada masa hidup Nabi Muhammad Saw.

Rasulullah menasihati masyarakat agar menghindari penyakit lepra. 18

Demikian juga ketika imam Ali ra. sedang duduk bersandar di

suatu tembuk yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat lain.

Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti pertanyaan di atas.

Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, cet. 10 (Jakarta, Litera Antar Nusa, 2010).
17

Mukharom Havis Aravik, Kebijakan Nabi Muhammad Saw.menangani Wabah Penyakit


18

Menular, Jakarta: 2020, h. 242


16

Jawaban Ali bin Abi Thalib, sama intinya dengan jawaban Ibnu Umar

ra. Robohnya tembok, berjankitnya penyakit adalah hukum-hukum

yang telah di tetapkannya, dan apabilah ia tidak menghidar ia akan

menerima akibatnya.

Dari penjelasan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa kedua

mufassir Ibnu Katsir dan Al-Maraghi tersebut, metode yang di pakai

dalam menafsirkan ayat-ayat wabah dalam Al-Qur`an sangat jauh

berbeda, metode yang di pakai Ibnu Katsir dan Al-Maraghi tidak sama.
17

BABA III

PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

Nadiah Tharayyarah, Mausu`ah al-I`jaz al-Qur`ani, Cet. Ke-I, Jakarta: Pustaka

Dar al-Yamama, Abu Dhabi, 2013.

Ahmad Ramli, Peraturan-Peraturan untuk memelihara Kesehatan dalam Hukum

Syara` Islam, Cet. Ke-3, Jakarta: Balai Pustaka, 1968.

Quraish. Shihab, 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda ketahui, Cet. Ke-13,

Tangerang: Penerbit Lentera Hati, 2012.

Nasaruddin Umar, Revitalisasi dan Reaktualisasi Nilai-Nilai Keislaman, Jakarta:

Penerbit Media Komputindo, 2014.

Kemenag RI. Al-Qur’an dan Terjemah, Departemen Agama, Jakarta: Penerbit,

Mahkota Surabaya 1989.

Ibnu Katsir Qashash Al-Anbiyaa, Cet. Ke-1, Jakarta: Pustaka Kautsar, 2011.

Ibnu Katsir, Taisiru Al-Aliyyul Qadir Li Ikhtishari, Cet. Ke-1, Jakarta: Nasib Ar-

Rifa`I, Penerbit. Maktabah Ma`arif Riyadh, 1989.


18

Sayyid Qutub, Fi Zhilalil Qur`an, Cet. Ke-1, Jakarta: Penerbit, Gema Insani

Beirut, 2000.

Ahmad Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, Cet. Ke-1, Semarang: Penerbit, Tohaputra,

1989.

Al-Imam Bukhari, Shahih Bukhari, Jilid Ke-4.

Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, Cet. Ke-10 Jakarta, Litera Antar

Nusa, 2010.

Mukharom Havis Aravik, Kebijakan Nabi Muhammad Saw.menangani Wabah

Penyakit Menular, Jakarta 2020.

Quraish Shihab, Kaidah Tafsir Cet. Ke-1, Tangerang: Penerbit Lentera Hati,

2013.

Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi‘Ulumal-Qur’an, diterjemahkan oleh

Mudzakir AS, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Cet. Ket-1, Bogor: Pustaka Litera

antar Nusa, 2010.

Anda mungkin juga menyukai