Anda di halaman 1dari 4

Analisis Kasus :

Pendapat Akuntan wajar Tampa Pengecualian (WTP) adalah : Hasil pemeriksaan akuntan eksteral terhadap  entititas atas
asersi  manajemen atas laporan keuangan dalam suatu periode akuntansi yang disusun berdasarkan Standart Akuntansi yang
berterima umum dan  diaudit  menggunakan norma pemeriksaan akuntan, dan  Standart Pemeriksaan  Keuangan Negara 
(Pada entitas sektor publik  pemerintah) dan   Standart Profesional Akuntan Publik (SPAP) pada  Entitas diluar  keuangan
Negara.

Pertama, adanya kesesuaian antara laporan realisasi anggaran dan laporan operasional, dalam hal ini termasuk tidak boleh ada
pagu minus, sehingga harus cermat mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pembuatan laporan.

Kedua, Penyajian laporan keuangan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah, Ketiga, Kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan dalam  pengelolaan keuangan, tidak ada ketentuan yang dilanggar.

Keempat, adanya sistem pengendalian internal (SPI) dari kementerian itu sendiri, hal ini dilakukan oleh inspektorat jenderal
Kemenag kepada semua satker.

Kelima, penatausahaan barang milik negara (BMN), adanya pelaksanan revaluasi atau penilaian kembali aset-aset yang dimiliki
oleh setiap satker.

Meski demikian, perlu dicatat bahwa permasalahan tersebut tidak berpengaruh pada kewajaran atas penyajian LKPD.

Kepala Inspektorat Pemprov DKI Jakarta Michael Rolandi pun mengatakan pelaksanaan inventarisasi aset tetap di lingkungan
Pemprov DKI Jakarta memiliki jumlah aset yang sangat besar dan tersebar.

Pemprov DKI Jakarta memiliki total aset senilai Rp436 triliun yang tersebar di seluruh SKPD/UKPD di lingkungan Pemprov
DKI Jakarta.

"Itu besar sekali. Kalau enggak ada pengelolaan cashless akan menyulitkan saat menyusun laporan keuangan," ujar Michael,
Rabu (15/5/2019).

Terkait permasalahan fasos dan fasum, Pemprov DKI Jakarta pun saat ini menempatkan wewenang penagihan fasos dan fasum
kepada wali kota dan bupati agar prosesnya lebih cepat.

Problem dari penagihan fasos dan fasum pun beragam. "Kadang pengembangnya sudah susah dicari ini dari tahun 1971, saya
pernah telusuri dari 2012.

Kadang dokumen SIPPT-nya enggak ada, pengembangnya sudah enggak ada," tutur Michael, Rabu (15/5/2019).

Michael pun masih belum mengetahui berapa nilai aset fasos dan fasum yang belum tertagih.

Meski Badan Pemeriksa Keuangan menyematkan status wajar tanpa pengecualian (WTP) atas laporan keuangan DKI 2018,
auditor negara itu memberi catatan khusus soal penagihan fasos-fasum dari pengembang.

Kepala Inspektorat DKI Jakarta Michael Rolandi membenarkan penagihan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) dari
pengembang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Jakarta.  Dalam penagihan fasos dan fasum itu, kata dia,
pemerintah DKI kerap menemukan kendala.

Michael menuturkan salah satu kendala yang kerap dihadapi ialah pengembang yang memiliki kewajiban untuk menyerahkan
fasos dan fasum itu telah bubar. “Kami kejar ke alamatnya (kantornya), ternyata sudah nggak ada,” ujar dia di Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Rabu lalu.

Dua hari lalu, BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta menyerahkan laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah
DKI 2018. Auditor negara menemukan sejumlah permasalahan dalam inventarisasi aset, termasuk fasos-fasum, oleh pemerintah
Jakarta.
Permasalahan itu antara lain berupa inventarisasi aset yang tak kunjung selesai; fasos dan fasum berupa tanah yang telah
diserahkan kepada pemerintah DKI tapi masih digunakan oleh pengembang; fasos dan fasum yang sudah selesai dibangun dan
dimanfaatkan oleh pengembang, tapi belum diserahkan kepada pemerintah DKI.

Gubernur Anies Baswedan di medio Maret lalu menuturkan pengelolaan aset pemerintah masih menjadi persoalan dalam
pemerintahannya. Persoalan ini ada yang menahun dan sulit dituntaskan karena ada beragam alasan.

Anies mencontohkan, ada aset yang catatan dan barangnya ada namun belum disahkan di notaris. Namun ada juga yang ada
barang tapi tak ada catatannya.

"Atau ada barangnya ada catatannya tapi ada selisih. Bahkan sebagian masih ada juga masalah-masalah hukum," kata Anies di
kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat, 15 Maret 2019.

Anies tak merinci secara konkret jenis aset yang dimaksud. Dalam menghadapi persoalan ini, pemerintah DKI bakal mencatat
ulang aset-aset tersebut. Hari ini ia menyerahkan laporan keuangan pemerintah daerah kepada BPK Perwakilan Jakarta. Laporan
keuangan itu terdiri dari nilai aset dan anggaran.

Pada 2018, aset DKI tercatat sebesar Rp 497,43 triliun atau naik 32,83 triliun ketimbang tahun sebelumnya. Sementara anggaran
DKI di tahun yang sama mencapai Rp 82,26 triliun.

Michael menuturkan telah menugaskan penagihan kewajiban fasos-fasum kepada wali kota setempat. “Untuk lebih cepatnya,
penagihan kami tugaskan pada wali kota,” tuturnya. Setelah wali kota bisa menagih tunggakan fasos-fasum, dibuatkan berita
acara serah terima dengan pengembang. Setelah itu, aset fasos-fasum itu akan diserahkan ke BPAD.

Wakil Wali Kota Jakarta Utara Ali Maulana Hakim menuturkan salah satu kendala dalam penagihan kewajiban fasos -fasum dari
pengembang ialah tidak sesuainya kewajiban yang harus diserahkan dengan perjanjian (SIPPT). Misalnya, pengembang
berkewajiban menyerahkan jalan. Setelah dikaji, spesifikasi jalan yang akan diserahkan tidak sesuai dengan rekomendasi dari
Dinas Bina Marga.

Contoh lainnya, kata Ali, pengembang belum mensertifikatkan tanah yang menjadi kewajiban fasos dan fasumnya. Padahal,
pengembang wajib mensertifikatkan tanah itu atas nama pemerintah DKI. Dalam banyak kasus, menurut Ali, pemerintah kota
terpaksa menerima lebih dulu tanah fasos -fasum itu. Namun, pengembang seharusnya segera mengurus sertifikasi tanah itu.
“Jangan sampai menunggu sempurna, nanti nggak ketagih-tagih,” katanya.

Wakil Wali Kota Jakarta Timur Uus Kuswanto mengungkapkan, ada juga pengembang yang melunasi kewajiban fasos-fasum
kepada pemerintah DKI Jakarta, tapi mereka masih menguasai secara fisik fasos-fasum tersebut.

Uus mencontohkan, pengembang harus menyerahkan fasos-fasum berupa sarana pendidikan seperti sekolah. Namun, fasos-fasum
untuk pemerintah DKI itu justru dimanfaatkan oleh pengembang dengan cara disewakan kepada pihak lain.

Kepala Inspektorat DKI Jakarta Michael Rolandi membenarkan penagihan fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) dari
pengembang masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah Jakarta.  Dalam penagihan fasos dan fasum itu, kata dia,
pemerintah DKI kerap menemukan kendala.

Michael menuturkan salah satu kendala yang kerap dihadapi ialah pengembang yang memiliki kewajiban untuk menyerahkan
fasos dan fasum itu telah bubar. “Kami kejar ke alamatnya (kantornya), ternyata sudah nggak ada,” ujar dia di Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Rabu lalu.

Dua hari lalu, BPK Perwakilan Provinsi DKI Jakarta menyerahkan laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan pemerintah
DKI 2018. Auditor negara menemukan sejumlah permasalahan dalam inventarisasi aset, termasuk fasos-fasum, oleh pemerintah
Jakarta.

Permasalahan itu antara lain berupa inventarisasi aset yang tak kunjung selesai; fasos dan fasum berupa tanah yang telah
diserahkan kepada pemerintah DKI tapi masih digunakan oleh pengembang; fasos dan fasum yang sudah selesai dibangun dan
dimanfaatkan oleh pengembang, tapi belum diserahkan kepada pemerintah DKI.
Gubernur Anies Baswedan di medio Maret lalu menuturkan pengelolaan aset pemerintah masih menjadi persoalan dalam
pemerintahannya. Persoalan ini ada yang menahun dan sulit dituntaskan karena ada beragam alasan.

Anies mencontohkan, ada aset yang catatan dan barangnya ada namun belum disahkan di notaris. Namun ada juga yang ada
barang tapi tak ada catatannya.

"Atau ada barangnya ada catatannya tapi ada selisih. Bahkan sebagian masih ada juga masalah-masalah hukum," kata Anies di
kantor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) DKI, Pancoran, Jakarta Selatan, Jumat, 15 Maret 2019.

Anies tak merinci secara konkret jenis aset yang dimaksud. Dalam menghadapi persoalan ini, pemerintah DKI bakal mencatat
ulang aset-aset tersebut. Hari ini ia menyerahkan laporan keuangan pemerintah daerah kepada BPK Perwakilan Jakarta. Laporan
keuangan itu terdiri dari nilai aset dan anggaran.

Pada 2018, aset DKI tercatat sebesar Rp 497,43 triliun atau naik 32,83 triliun ketimbang tahun sebelumnya. Sementara anggaran
DKI di tahun yang sama mencapai Rp 82,26 triliun.

Ini merupakan tahun kedua DKI menerima opini WTP setelah sebelumnya empat tahun berturut-turut DKI menerima opini Wajar Dengan
Pengecualian (WDP).

"Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan BPK atas LKPD DKI 2018 termasuk implementasi atas rencana aksi yang telah dilaksanakan oleh
DKI, maka BPK memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian," kata Wakil Ketua BPK RI Bahrullah Akbar, di gedung DPRD DKI Jakarta, Jakarta,
Rabu (15/5).

Bahrullah menjelaskan opini kewajaran didasarkan kepada empat poin. Pertama, penerapan Standardisasi Akutansi Pemerintahan; kedua,
kepatuhan terhadap peraturan dan perundang-undangan. Ketiga, efektivitas sistem pengendalian internal dan terakhir pengungkapan yang
cukup.

Meski menilai DKI dari empat aspek, Bahrullah mengingatkan opini yang diberikan ke DKI tak menjadi jaminan LKPD DKI bebas dari kecurangan.

Di samping memberikan WTP, BPK RI juga masih membeberkan sejumlah temuan kepada DKI. Dua aspek yang menjadi sumber temuan ialah
sistem pengendalian internal dan kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan.

Bahrullah menjelaskan, pemeriksaan atas laporan keuangan bertujuan untuk memberikan opini tentang kewajaran penyajian laporan
keuangan. Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.

Opini kewajaran tersebut berdasarkan pada kriteria penerapan standar akuntansi pemerintahan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan, Efektivitas sistem pengendalian internal dan pengungkapan yang cukup.

"Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. WTP bukan
merupakan jaminan bahwa laporan keuangan yang disajikan oleh pemerintah sudah terbatas dari adanya fraud atau tindakan kecurangan
lainnya," jelasnya.

Kendati demikian, kata Akbar, tanpa mengurangi rasa hormat, BPK mencatat inventarisasi atas aset di DKI Jakarta masih lemah. Namun,
permasalahan tersebut tidak memengaruhi kewajaran atas penyajian laporan keuangan. Permasalahan tersebut adalah temuan pemeriksaan
atas sistem pengendalian intern (SPI) dan kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan

Temuan pemeriksaan tersebut di antaranya pelaksanaan inventarisasi atas aset tetap belum selesai dan masih terdapat kelemahan dalam
sistem informasi aset tetap. Kemudian, terdapat aset fasilitas sosial dan umum (fasos dan fasum) berupa tanah yang telah diserahkan kepada
Pemprov DKI tetapi masih dimanfaatkan oleh pengembang.

Lalu, terdapat bangunan fasos dan fasum yang sudah selesai dibangun dan dimanfaatkan oleh pengembang, tetapi belum diserahkan kepada
Pemprov DKI. "Serta adanya dana Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Mahasiswa Unggul (KMU) masih berada di rekening penampungan dan
belum dimanfaatkan oleh penerima bantuan," ujarnya.

Lalu, terdapat bangunan fasos dan fasum yang sudah selesai dibangun dan dimanfaatkan oleh pengembang, tetapi belum diserahkan kepada
Pemprov DKI. "Serta adanya dana Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Mahasiswa Unggul (KMU) masih berada di rekening penampungan dan
belum dimanfaatkan oleh penerima bantuan," ujarnya.

BPK juga mengungkapkan temuan antara lain penyusunan anggaran pembangunan pada dua RSUD kurang memadai yang mengakibatkan
jumlah pagu dan harga perkiraan sendiri (HPS) yang ditetapkan melebihi kebutuhan.
Juga masih terdapat kekurangan volume, ketidaksesuaian spesifikasi teknis pekerjaan dan ketidakpatuhan dalam proses pengadaan belanja
barang/jasa dan belanja modal.

Serta keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang belum atau kurang dikenakan denda keterlambatan pada beberapa SKPD. Berdasarkan pasal
20 UU No 15/2004, mengamanatkan pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi LHP. Pejabat wajib memberikan jawaban atas penjelasan
kepada BPK terkait tindak lanjut atas rekomendasi LHP selambat-lambatnya 60 hari setelah LHP diterima.

"BPK berharap pimpinan dan anggota DPRD dapat ikut memantau penyelesaian tindak lanjut atas rekomendasi LHP yang terdapat dalam LHP
ini sesuai dengan

Anies menjelaskan lima langkah prioritas Pemprov DKI Jakarta dalam rangka meningkatkan pengelolaan keuangan dan aset. Di antaranya yaitu:
pembenahan sistem administrasi pendapatan daerah, melalui program noncash revenue system yang terkoneksi secara online dengan
perbankan, untuk mewujudkan kemudahan pelayanan, menjamin akurasi penerimaan, serta mencegah terjadinya penyelewengan.

Pengembangan dan integrasi sistem pembayaran dan pembayaran pajak ke kas negara dengan sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak dan
sistem informasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara untuk memastikan akurasi dan ketepatan pembayaran dan pelaporan pajak
secara online dan real time
Peningkatan akuntabilitas administrasi belanja sekolah melalui penerapan Sistem Informasi Akuntabilitas Pendidikan (SIAP BOS-BOP) yang
terintegrasi dengan sistem perbankan yang akan dilanjutkan dengan Integrasi Sistem Pembayaran dan Pembayaran Pajak ke Kas Negara dengan
Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak dan Sistem Informasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara.

Pembenahan penatausahaan aset daerah, yaitu dengan melakukan pengembangan Sistem Informasi Aset Daerah, inventarisasi aset
SKPD/UKPD yang dilanjutkan dengan penyelesaian permasalahan aset hasil sensus melalui Majelis Penetapan Status Aset untuk diketahui
bersama bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah satu-satunya Pemerintah Daerah yang telah membentuk Majelis Penetapan Status
Aset; dan mempercepat pelaksanaan atas tindak lanjut LHP BPK-RI.

"Saya menyadari bahwa upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka melakukan perbaikan pengelolaan keuangan dan aset daerah
masih perlu penyempurnaan. Oleh karena itu, saya berharap BPK-RI Perwakilan Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan bimbingan, saran dan
masukan maupun koreksi yang membangun, sehingga pada akhirnya pengelolaan keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat menjadi
lebih baik dan akuntabel," pungkasnya.

Bahrullah memaparkan bahwa pelaksanaan inventarisasi atas aset tetap belum selesai dan masih terdapat kelemahan dalam sistem
informasi aset tetap. Selain itu terdapat aset fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (fasum) berupa tanah yang telah diserahkan
kepada DKI namun masih dimanfaatkan oleh pengembang.

Ada pula bangunan fasos dan fasum yang sudah selesai dibangun dan dimanfaatkan oleh pengembang namun belum diserahkan
kepada DKI.

"Dana Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Mahasiswa Unggul (KMU) juga masih berada di rekening penampungan
(escrow account) dan belum dimanfaatkan oleh penerima bantuan," ujar Bahrullah menjelaskan temuan BPK.

BPK juga menemukan permasalahan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Kepatuhan, misalnya, penyusunan anggaran
pembangunan pada dua Rumah Sakit Umum Daerah kurang memadai. Hal ini mengakibatkan jumlah pagu anggaran dan Harga
Perkiraan Sendiri (HPS) yang ditetapkan melebihi kebutuhan.

Masih terjadi juga kekurangan volume, ketidaksesuaian spesifikasi teknis pekerjaan, dan ketidakpatuhan dalam proses pengadaan
belanja barang atau jasa dan belanja modal. BPK pun memberikan catatan pada keterlambatan penyelesaian pekerjaan yang
belum atau kurang dikenakan denda keterlambatan pada beberapa SKPD.

Menurut Bahrullah mengatakan DKI wajib menindaklanjuti catatan BPK itu selambat-lambatnya 60 hari setelah laporan
diberikan, seperti diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004.

Selain menanggapi DKI meraih opini WTP, Gubernur Anies menyatakan DKI telah menyiapkan sistem untuk menyelesaikan
catatan dari BPK khususnya permasalahan aset Jakarta. "Kami punya Majelis untuk penataan aset, satu-satunya di Indonesia yang
memiliki itu. Insya Allah yang masih tersisa kami tuntaskan," ujar Anies.

Anda mungkin juga menyukai