Dosen Pengampu: (1) Prof. Dr. Dwi Yuwono Puji Sugiharto, M.Pd., Kons. (2) Mulawarman, Ph.D.
Disusun oleh: Nama : Burhanudin NIM : 0106519019 Kelas : B (Reguler)
BIMBINGAN DAN KONSELING
PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2020 A. Pemahaman tentang nilai-nilai, keyakinan dan budaya setempat Setiap daerah memiliki nilai-nilai penting bagi pembentukan identitas budaya masing- masing. Nilai-nilai yang berlaku di suatu daerah ini disebut juga sebagai “local wisdom”. Dan setiap daerah memiliki local wisdom yang berbeda-beda. Sehingga konselor betul- betul bisa mengembangkan keterampilan secara adaptif sesuai dengan nilai, sikap dan keyakinan yang ada dimana ia berada. Berikut nilai-nilai budaya yang dapat saya deskripsikan dari apa yang saya amati di lingkungan tempat tinggal saya saat ini: 1. Sopan santun, Rasa Hormat dan Etika (respect) Nilai dan budaya yang paling saya kagumi di tempat tinggal saya saat ini adalah tentang bagaimna cara memperlakukan orang lain dalam konteks komunikasi, interaksi dengan sesama. Contoh sederhana: masyarakat jawa mereka terbiasa ketika berpapasan dengan orang lain baik yang dikenal maupun tidak mereka akan menganggukan kepala sambil tersenyum, Ketika mereka lewat di depan orang yang lebih tua mereka membungkukkan badan. Ketika menyapa orang yang lebih tua mereka tidak langsung menyebutkan nama tetapi menggunakan kata awalan “mas” atau “mbak” dalam berkomunikasi mereka memiliki intonasi nada bicara yang halus dan sopan. Bahkan Bahasa Jawa yang digunakan untuk berkomunikasi pun memiliki banyak jenis dan tingkatan mulai dari Bahasa yang lazim digunakan sehari-hari maupun jenis Bahasa yang paling halus (kromo inggil) yang dalam penggunaannya disesuaikan dengan tempat, kondisi dan lawan bicara. Semua bentuk perilaku komunikasi ini tidak lain sebagai bentuk penghormatan yang mengandung nilai-nilai etika terhadap sesame. 2. Nilai Kerukunan dan Keharmonisan Masyarakat jawa sangat mengutamakan nilai-nilai kedamaian. Selama tinggal di lingkungan ini saya jarang sekali atau bahkan sama sekali tidak pernah mendengar terjadinya konflik, pertengkaran serta perkelahian di antara warga sekitar. Mereka berprinsip bahwa, lebih baik mengalah dan diam untuk menjaga keharmonisan. Tipikal orang jawa sama seperti tipikal orang asia kebanyakan yang tidak terbiasa mengekspresikan emosi mereka secara terang-terangan cenderung berpikir matang, mempertimbangkan banyak hal sebelum mengungkapkan sesuatu. Dan mereka memiliki cara-cara yang bijak dalam menyelesaikan suatu permasalahan. 3. Budaya Disiplin, Tekun dan Tanggung Jawab Sepanjang yang saya amati kebanyakan orang jawa mereka menjunjung tinggi budaya kedisiplinan dari segi waktu maupun terhadap apa-apa yang menjadi tanggung jawab mereka. Mereka juga tekun dan ulet terlebih orang-orang di sekitar saya mereka terbiasa bangun pagi-pagi untuk bekerja dan pulang hingga larut malam. Bahkan hari libur tetap ada saja aktifitas yang dilakukan. Seperti menjadi beban moral jika hanya berbaring di rumah tanpa melakukan apa-apa. Selalu berusaha untuk menjadikan kondisi hidup agar lebih baik tetapi tetap bersyukur atas apa yang dimiliki. 4. Budaya Gotong-royong serta Jiwa Social yang Tinggi Orang-orang yang saya jumpai di lingkungan saya saat ini memiliki kepedulian yang tinggi. Ketika mereka melihat orang lain dalam kesulitan mereka tidak segan untuk membantu dan menawarkan pertolongan. Budaya gotong royong di lingkungan sekitar juga sangat tinggi. Contohnya, ada hari- hari tertentu meraka berkumpul saling bahu-membahu kerja bakti mebersihkan lingkungan. Begitu pula misalkan ada acara syukuran, pernikahan atau musibah kematian mereka akan berkumpul saling membantu menyiapkan segala sesuatunya tanpa memandang apakah itu kerabatnya atau bukan. 5. Menjunjung Identitas Budaya Walau moderenisasi sangat pesat seperti saat ini, kebanyakan orang-orang yang tinggal di sekitar saya, mereka masih mengamalkan adat kebiasaan turun-temurun. Mereka bangga dengan identitas budaya mereka serta nilai-nilai yang mereka anut. Bentuk kecintaan mereka terhadap budaya bisa terlihat jelas dari cara mereka berkomunukasi yang masih menggunakan bahasa jawa, ornamen-ornamen dan perabot rumah mereka yang masih tradisional, mereka juga masih mempraktikan tradisi-tradisi yang diwariskan seperti ritual pernikahan, atau ritual-ritual lainnya dalam waktu-waktu tertentu.
B. Keterampilan-keterampilan multikultural yang perlu dimiliki berdasarkan
budaya (nilai-nilai, sikap, keyakinan) yang ada di tempat tinggal saat ini. 1. Keterampilan Berbahasa dan Komunikasi Sesuai nilai, sikap dan keyakinan yang dibahas di atas dapat dipahami bahwa bagaimana cara berkomunikasi dan berbahasa menjadi salah satu nilai penting yang dapat saya miliki. Keterampilan berbahasa bukan diartikan bahwa konselor harus menguasai setiap bahasa. Melainkan, kita sebagai konselor harus memiliki gaya bahasa dan komunikasi yang arif dan bijaksana dan betul-betul mencerminkan seorang konselor yang berbudaya. Keterampilan komunikasi yang baik akan memberikan pengaruh positif dalam interaksi konseling. Konselor harus memperhatikan tutur kata, respon yang kita keluarkan serta menghargai setiap lawan bicara kita tanpa memandang siapa dan dari mana mereka. Dengan keterampilan ini maka setiap orang yang kita temui akan merasa dihormati, merasa akrab dan nyaman. Sehingga membuka peluang bagi kita untuk menjalin serta mengembangkan hubungan baik dengan klien ataupun orang-orang di sekitar. 2. Keterampilan dalam bersikap dan berperilaku (attitude) Selain terkait Bahasa keterampilan yang juga penting untuk saya miliki adlah keterampilan bersikap dan berprilaku memperlakukan seseorang juga sangat penting untuk diperhatikan. Kesan sesorang terhadap kita sesuai dengan bagaimana kita memperlakukan mereka. Konselor hendaknya memiliki sikap dan perilaku yang luhur dan beretika dimanapun kapanpun dia berada. Sehingga ia tidak hanya menjadi contoh saat di kursi konseling saja tetapi juga menjadi contoh bagi orang lain dalam kehidupan social sehari-hari. 3. Keterampilan social Jiwa social yang kental dalam masyarakat jawa dapat menjadi pelajaran bagi penting kita. Dimana konselor harus memiliki kepekaan social yang tinggi karena dari situlah semangat menolong nya bisa tumbuh. Sikap tolonng menolong ini dapat dijadikan dasar dalam memberikan bantuan dan layanan konseling. Selain itu ketrampialn social juga dapat tercermin melalui kepekaan serta kepedulian kita terhadap isu-isu dan permasalahn social yang terjadi diluar sana seperti isu diskriminatif, rasisme, seksisme isu-isu penindasan dan ketidakadilan lainnya. Seperti yang dikatakan Lee (2013) sejatinya konselor adalah agen keadilan sosial yang dibekali kesadaran, pengetahuan, dan keterampilan untuk terlibat dalam permasalahan individu bukan hanya secara perorangan tetapi juga pada system yang menyeluruh. 4. Keterampilan dalam memahami ragam identitas budaya Konselor harus menghargai keanekaragaman budaya, memahami kultur individu, dan memiliki perasaan empati. Jangan sampai terjadi bias budaya konselor mekasakan kehendak, memaksakan nilai dan keyakinan yang dianutnya pada konseli yang memiliki nilai keyakinan tersendiri. Hal ini sebagai upaya menjaga keharmonisan konseling. 5. Keterampilan mengelola strategi intervensi konseling dalam konteks multicultural Konselor harus berhati-hati dalam menggunakan teori dan teknik konseling sebab bisa saja satu teknik tidak cocok dan bertentangan dengan nilai budaya klien. Teori, pendekatan maupaun teknik konseling tidak bisa digeneralisasi untuk semua klien dari budaya yang berbeda-beda. Sebab seperti yang diungkapkan Lee (2013) bahwa Dalam konteks multicultural strategi dan teknik konseling harus diselaraskan lagi dengan pengalaman hidup dan nilai-nilai budaya klien. C. Pembahasan ringkas (kaitkan dengan teori, artikel ilmiah) terkait apa yang telah saudara deskripsikan pada tugas nomer sebelumnya. (Buatlah pembahasan ringkas tidak lebih dari 2 halaman). Memaknai pembahasan terkait keterampilan konselor pada no 1 dan 2 dapat kita pahami bersama bahwa sejatinya keterampilan seorang konselor tidaklah bersifat mutlak keterampilan konselor disesuaikan dengan apa yang ia amati (terkait nilai, sikap dan keyakinan) yang ada di tempat dimana ia bekerja dan menjalankan tugasnya. Konselor dalam menghadapi perbedaan dan keragaman budaya tidak cukup hanya dengan menggunakan keterampilan umum, karena hal itu dapat kurang efektif ketika melayani individu-individu dengan etnis yang beragam di negara yang pluralistic seperti ini. Contoh sederhana, seorang konselor yang berasal dari Indonesia bagian Timur yang memiliki gaya komunikasi dengan suara lantang dan tegas akan sedikit terhambat ketika ia bekerja di lingkungan mayoritas jawa yang terbiasa menggunakan gaya komunikasi yang halus. Oleh sebab itu dia perlu mempelajari keterampilan komunikasi baru sesuai dengan gaya komunikasi masyarakat di sekitarnya. Artinya Konselor berpengetahuan dan terampil secara budaya adalah mereka yang telah mempeljari fakta serta informasi tentang pengalaman budaya (sejarah sosial politik, nilai, dan norma) dari kelompok klien yang berbeda secara budaya. Arredondo dalam Febrianti (2017) mengatakan bahwa seorang konselor dapat mencari orang dan pengalaman dalam kehidupan pribadinya yang dapat meningkatkan pemahaman serta keterampilanya terhadap budaya lain. Konselor tidak boleh hanya terpaku pada keterampilan yang ada secara umum tetapi dia juga harus mampu mengembangkan keterampilan-keterampilan khusus yang sejalan dengan nilai dan keyakinan yang ada disekitarnya. Hal ini diperkuat oleh penjelasan Sue & Sue dalam Rodriguez (2000) yang menerangkan bahwa Konselor yang terampil secara budaya adalah mereka yang dalam proses secara aktif mengembangkan dan mempraktikkan strategi/keterampilan yang sesuai, relevan, dengan klien yang berbeda secara budaya. Apalagi di era globalisasi seperti saat ini hampir seperti tidak ada lagi sekat atau batasan interaksi antara budaya satu dan budaya lainnya. Sehingga ini menuntut konselor agar dapat terus mempelajari budaya di sekitarnya dan berusaha mewujudkan kesadaran akan keragaman budaya. Negara seperti Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman tinggi dari sudut pandang budaya. Raka dalam Sarwono (2018) mengatakan bahwa konseling saat ini tidak hanya persoalan konselor konseli, tetapi, dalam perspektif budaya konseling juga mempersoalkan di mana mereka berada. Dengan demikian masyarakat plural seperti masyarakat Indonesia membutuhkan pengembangan teknik/pendekatan/teori konseling yang dikembangkan dari sistem budaya setempat. Sekarang ini konsep layanan konseling di Indonesia sudah banyak yang dikembangkan sesuai dengan sistem budaya setempat, konseling Indigenous misalkan, dimana dalam dengan konseling indigenious pengetahuan dan praktek konseling tidak dipaksakan dari luar, melainkan hal-hal yang diperoleh atau datang dari luar dan yang ada dari dalam digunakan untuk peningkatan konseling, kemudian individu dilihat bukan dari sistem pengetahuan, nilai, dan perilaku luar yang diimpor, melainkan pada kerangka acuan lokal yang dianut individu. Seperti konsep konseling seperti Konseling indigenous inilah dapat dijadikan pengetahuan konseling dan menjadi dasar dalam merancang konseling yang tepat untuk individu. REFERENSI
Lee, Courtland. C. 2017. Multicultural Issues in Counseling: New Aprroaches to
Diversity. 4th Edition : American Counseling Assosiation.
Rodriguez, Robert. R. 2000. Culturally educated questioning: Toward a skills based
approach in multicultural counselor training. Applied & Preventive Psycholog Cambridge University Press. 9:89-99
Febrianti,Thrisia. Dkk. 2017 Meningkatkan Kesadaran Multikultural konselor
Proceeding International Seminar On Counselling 2017
Sarwono R. Budi. 2018. Menggugah semangat indigenous dalam praksis konseling di
Indonesia. Prosiding SNBK (Seminar Nasional Bimbingan dan Konseling) 2 (1): 1-8