Anda di halaman 1dari 62

“ Optimalisasi Advokasi dalam Implikasi

Peran dan Fungsi Mahasiwa”

KEMENTeRIAN ADVOKASI DAN KESEJAHTERAAN MAHASISWA


KEMENKOAN LAYANAN SOSIAL
BEM REMA UPI 2020
KABINET 5.0

Tim penyusun :
Retno Ayunda (PGPAUD)
Galang Herlambang B (PKH)
“BAB I : KEBIJAKAN ADVOKASI ”

Kebijakan publik berkembang di lingkungan yang sangat dinamis


sehingga perubahan-perubahan dalam proses kebijakan dan tarik ulur
kepentingan antar stakeholders sangat potensial terjadi. Seorang Analis
Kebijakan selain menguasai kompetensi teknis dalam menganalisis kebijakan,
juga dituntut untuk mampu bekerja secara politis. Kemampuan politis diasah
untuk menghadapi berbagai kepentingan mitra kerja/ stakeholders yang
berbeda-beda dan mampu meyakinkan bahwa rekomendasi kebijakan yang
diajukan patut diterima. Modul sebelumnya telah membekali peserta dengan
kemampuan analisis untuk melakukan kajian kebijakan, sehingga dalam modul
advokasi kebijakan ini disusun untuk membekali peserta dalam membangun
kompetensi politisnya, khususnya dalam melakukan advokasi kebijakan.
Kompetensi politis dapat dikembangkan melalui pembelajaran tentang teknik
dasar advokasi dan kerangka dasar kerja advokasi dalam kebijakan publik.
Keberhasilan peserta dinilai dari kemampuannya dalam memahami konsepsi
advokasi kebijakan dan berbagai strategi advokasi dalam proses kebijakan.
Beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam memahami advokasi kebijakan :

A. Teknik dasar Advokasi Kebijakan

Advokasi merupakan upaya untuk mengingatkan dan mendesak negara


dan pemerintah untuk selalu konsisten dan bertanggungjawab melindungi dan
mensejahterakan seluruh warganya. Untuk mencapai tujuan yang diinginkan,
berbagai bentuk kegiatan advokasi dilakukan sebagai upaya memperkuat
posisi tawar (bargaining position) organisasi kelompok kepentingan, asosiasi,
organisasi massa, dan sebagainya. Kegiatan advokasi yang baik seharusnya
terfokus pada satu masalah atau isu strategis kebijakan publik tertentu. Suatu

2
kegiatan atau program advokasi yang baik adalah yang secara sengaja dan
sistematis memang dirancang untuk mendesakkan terjadinya perubahan baik
dalam isi, tata laksana maupun budaya hukum yang berlaku. Beberapa hal
yang perlu di pahami tentang kebijakan advokasi adalah sebagai berikut :

1. Bagian – bagian Advokasi

a. Pelaku kebijakan
Individu atau kelompok yang mempunyai andil di dalam
suatu kebijakan karena mereka mempengaruhi/di
pengaruhi oleh keputusan pemerintah

b. Kebijakan Publik
Bentuk pernyataan formal dari pemerintah tentang pilihan
terbaik dari berbagai alternatif penyelesaian masalah
publik.

c. Lingkungan Kebijakan
Cakupan yang ditinjau dari kebijakan-kebijakan yang
berlaku di dalamnya.

d. Advokasi Kebijakan
Penggunaan informasi yang relevan dengan kebijakan
untuk membuat klaim pengetahuan yang masuk akal yang
di dasarkan pada argument-argumen yang beralasan
mengenai solusi-solusi yang memungkinkan untuk
memecahkan masalah kebijakan.

3
2. Konsep Advokasi Kebijakan

a. Tindakan mempengaruhi/mendukung sesuatu/seseorang yang


berkaitan dengan kebijakan publik seperti regulasi dan kebijakan
pemerintah
b. Upaya untuk mengingatkan dan mendesak negara dan pemerintah
untuk selalu konsisten dan bertanggung jawab melindungi dan
mensejahterakan warga nya
c. Memilih dan menetapkan isu kebijakan publik yang benar-benar
strategis sebagai sasaran advokasi (kebijakan tertentu yang
menyangkut kepentingan publik)
d. Upaya memperbaiki/ merubah kebijakan publik sesuai dengan
kehendak/ kepentingan yang mendesak terjadinya perbaikan/
perubahan tersebut (Polici reform) baik dalam isi, tata laksana maupun
budaya hukum yang berlaku

3. Tujuan Advokasi Kebijakan

a. Melakukan perbaikan substansi kebijakan


b. Melakukan perbaikan proses penyusunan dan keputusan kebijakan
c. Perbaikan pelaksanaan dan pertanggung jawaban kebijakan
d. Mendorong perubahan persepsi dan sikap masyarakat atas kebijakan
e. Mendorong peningkatan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan

4. Aspek hukum di Kebijakan pubik

a. Budaya Hukum (Culture of Law) : Persepsi, pemahaman, sikap


penerimaan, praktek pelaksanaan, penafsiran terhadap aspek isi
dan tata laksana hukum

4
b. Isi Hukum (Content of Law) : Uraian/ Penjabaran tertulis
dari suatu kebijakan yang tertuang dalam bentuk perundang-
undangan, peraturan-peraturan, dan keputusan pemerintah
c. Tata Laksana Hukum ( Stucture of Law) : Semua perangkat
kelembagaan dan pelaksana dari isi hukum yang berlaku

5. Aspek hukum di kebijakan Publik

a. Koalisi
b. Kondisi objektif
c. Data
d. Audiens
e. Pesan
f. Penyampaian pesan melalui presentasi
g. Evaluasi
h. Fundraising

6. Komponen penting dalam proses advokasi kebijakan publik

a. Maju (Mencapai tujuan)


1) Komunikasi dan Pendidikan
 Pesan sampai kepada publik
 Pesan sampai kepada pembuat kebijakan
 Mendapatkan Latihan dan keahlian khusus
 Aliansi politik terbentuk
2) Mobilisasi Aksi
 Rencana terimplementasi
 Tindakan politik dan hukum di ambil
 Kelompok – kelompok yang terpengaruh dan tertarik mengambil
Langkah-l;angkah untuk mewujudkan perubahan

5
b. Strategi
1) Pengetahuan tentang isu
 Kejelasan isu pelanggaran hak asasi manusia
 Analisa konteks politik dan hukum
 Kasus-kasus teraktualisasi
 Solusi terpilih
 Strategi yang terstruktur
2) Kepemimpinan dan Organisasi
 Kemampuan mengidentifikasi dan mempelopori upaya advokasi
 Kemampuan menginspirasi dan menarik perhatian
 Kemampuan mengelola proses
 Kemampuan memobilisasi dukungan dan melakukan aksi

B. Kerangka kerja advokasi kebijakan

Kebijakan publik sebagai sasaran advokasi, terbentuk melalui proses


yang khas dan memiliki tata caranya sendiri. Oleh karena itu, kegiatan advokasi
juga harus didekati secara berbeda dengan mempertimbangkan proses
legislasi dan jurisdiksi, proses politik dan birokrasi, serta proses sosialisasi dan
mobilisasi. Suatu perubahan sosial yang lebih besar dan luas bisa terjadi (atau
paling tidak, bisa dimulai) dengan merubah satu per satu kebijakan publik yang
strategis atau sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat luas.
Beberapa indikator perlu dipertimbangkan untuk menetapkan strategis atau
tidaknya sebuah isu kebijakan publik. Hal inilah yang menjadi esensi dasar
dalam kerangka kerja advokasi kebijakan. Beberapa hal yang perlu di
perhatikan, adalah sebagai berikut :

6
1. Langkah-langkah advokasi kebijakan

Tahap 1 :
Mengumpulkan
dan
merumuskan isu

Tahap 2 :
Menyiapkan
bahan dan/atau
alat advokasi

Tahap 3 :
Mengidentifikasi
aktor – aktor
kunci

Tahap 4 :
Memetakan
potensi dan
ancaman

Tahap 5 :
Menentukan
strategi advokasi

Tahap 6 :
Melaksanakan
agenda advokasi

Tahap 7 :
Monitoring dan
evaluasi

7
2. Proses Advokasi Kebijakan

a. Analisis kebijakan setelah melakukan kajian kebijakan atas suatu


masalah publik perlu merancang sebuah agenda advokasi agar hasil
rekomendasi kebijakan yang di ajukan dapat diterima oleh aktor utama
pengambil keputusan yang dalam hal ini adalah pemerintah
b. Analisis kebijakan dalam hal ini harus sistem politik dan proses politik di
lingkungan kerja nya atau di dalam ruang lingkup kerja nya
c. Banyaknya Stakeholders yang terkait dalam setiap masalah publik
dengan kepentingannya masing-masing memerlukan suatu upaya
khusus untuk mensinkronkan berbagai kepentingan yang ada
d. Outcome advokasi kebijakan adalah terjadinya perbaikan atau
perubahan dari suatu masalah publik yang di atur oleh pemerintah.

Suatu kegiatan advokasi walaupun sasarannya adalah


perubahan kebijakan publik sebagai bagian dari sistem hukum, namun
tidak berarti hanya dapat di lakukan melalui jalur-jalur ‘’legal’’ (Proses-
proses legitasi dan jurikdiksi) saja akan tetapi melalui jalur ‘’paralegal’’
(proses politik dan birokrasi serta proses sosialisasi dan mobilisasi.
Tahapan-tahapan dalam proses Advokasi kebijakan adalah sebagai
berikut :
a. Legislasi dan Jurisdiksi
b. Politik dan Birokrasi
c. Sosialisasi dan Mobilisasi

C. Strategi Advokasi Kebijakan

Outcome dari advokasi kebijakan adalah terjadinya perbaikan atau


perubahan dari suatu masalah publik yang diatur oleh pemerintah. Banyaknya

8
stakeholder yang terkait dalam setiap masalah publik dengan kepentingannya
masing-masing memerlukan suatu upaya khusus untuk mensinkronkan
berbagai kepentingan yang ada. Analis Kebijakan dalam hal ini harus
memahami sistem politik dan proses politik di lingkungan kerjanya atau di
dalam ruang lingkup kerjanya. Pemahaman politis tersebut akan memudahkan
Analis Kebijakan untuk “menjual” produk analisisnya kepada pengambil
keputusan dengan strategi advokasi yang tepat. Pada umumnya, beberapa
teknik yang dapat dipergunakan dalam advokasi diambil dari teknik-teknik
bernegosiasi. Berikut ini merupakan strategi advokasi :
a. Teknik Lobi
Pengaruhi lawan dan kawan yang peling strategis sebelum
pembicaraanmdimulai, dan pastikan ia memberikan komitmen
dukungan kepada kita
b. Teknik Akuisisi
Ambil alih konsep lawan dan masukan sebagai salah satu bagian dari
konsep kita
c. Koalisi/Merger
Gabungkan konsep-konsep yang ada menjadi satu konsep
d. Kooptasi
Naikan konsep lawan menjadi konsep yang lebih tinggi namun tidak
dapat mengatur konsep (kita) yang berposisi lebih rendah
e. Down grade
Turunkan konsep lawan sehingga berada di bawah konsep kita namun
konsep nya diatur oleh konsep kita
f. Alihkan perhatian
Pindahkan perhatian lawan ke konsep yang lain sehingga
meninggalkan arena pertempuran dengan kita, karena masuk ke
arena konsep yang lain
g. Batasi Waktu
Buatlah deadline sedemikiran rupa sehingga lawan tidak bisa berkutik
karena kehabisan waktu untuk berpikir
h. Ulur waktu

9
Buatlah waktu nya mulur sedemikian rupa sehingga kita mempunyaai
waktu mempersiapkan diri dan sekaligus mengupayakan agar lawan
menjadi lengah
i. Teknik
Masukan ke dimensi yang emakin teknis anda kuasai sehingga lawan
tidak mampu melawan kompetensi anda
j. Mengubah panggung
Ubah atau pindahkan lah panggung pertempuran ke panggung yang
berbeda yang kita kuasai
k. Ganti pemain
Gantilah pemain anda dengan pemain yang lebih mampu mengatur
lawan
l. Butakan lawan
Berilah lawan informis yang banyak namun menyesatkan yang dapat
membuatnya ragu-ragu akan keputusan nya sendiri
m. Pecah lawan
Strategi nya aman klasik, yaitu devide et impera
n. Jalur logistik
Contoh kasus : sultan agung tidak pernah berhasil megalahkan VOC
karena jalur logistik nya dari Demak ke Batavia di putus oleh Belanda
di Kawasan jawaa bagian barat
o. Keluar arena
Pilihan ini di ambil dalam bentuk mengundurkan diri, bisa
selamamnya, bisa sementara, untuk mencari taktik yang lebih efektif
Ada beberapa catatan yang penting untuk di perhatikan, adalah sebagai
berikut :
a. Penggunaan teknik dalam advokasi kebijkan harus tetap dalam
lingkungan norma hukum dan memperhatikan hak-hak orang lain
yang harus di jaga
b. Penyuapan, pemerasan, menghalalkan segala cara dan semacamnya
merupakan contoh Tindakan yang harus dihindari oleh siapapun tidak
terkecuali analisis kebijakan

10
Sumber :
Shita Listyadewi (PKMK FK UGM)
Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD

11
“BAB
“BAB IIII :: PERATURAN
PERATURAN DISIPLIN
DISIPLIN MAHASISWA
MAHASISWA
UNIVERSITAS
UNIVERSITAS PENDIDIKAN
PENDIDIKAN INDONESIA”
INDONESIA”

PERATURAN SENAT AKADEMIK


UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

NOMOR 001/SENAT AKD./UPI-HK/II/2014

TENTANG
DISIPLIN MAHASISWA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


SENAT AKADEMIK UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19 ayat (1)


huruf i Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004
tentang Penetapan Universitas Pendidikan Indonesia
sebagai Badan Hukum Milik Negara Jo. ketentuan Pasal
129 Ketetapan Majelis Wali Amanat Universitas
Pendidikan Indonesia Nomor 001/MWA UPI/2009
tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Rumah
Tangga Universitas Pendidikan Indonesia;
b. bahwa Keputusan Senat Akademik Nomor 002/Senat
Akd./UPI-SK/VIII/2007 tentang Pedoman Perilaku
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia perlu
diperbaiki;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Senat Akademik Universitas
Pendidikan Indonesia tentang Disiplin Mahasiswa
Universitas Pendidikan Indonesia;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2012 Nomor 158, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5336);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004 tentang
Penetapan Universitas Pendidikan Indonesia sebagai

12
Badan Hukum Milik Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 13);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang standar Nasional Pendidikan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 71,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5157);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun
2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5157);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan
Perguruan Tinggi;
7. Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2012 tentang
Universitas Pendidikan Indonesia sebagai Perguruan
Tinggi yang diselenggarakan oleh Pemerintah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012
Nomor 101);
8. Ketetapan Majelis Wali Amanat Nomor 001/TAP/MWA
UPI/2009 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran
Rumah Tangga Universitas Pendidikan Indonesia;
9. Ketetapan Majelis Wali Amanat Nomor 021/TAP/MWA
UPI/2010 tentang Rencana Strategis (RENSTRA)
Universitas Pendidikan Indonesia 2011-2015;
10. Keputusan Rektor Nomor 4368/UN40/KP/2013 tentang
Pemberhentian dan Pengangkatan Ketua dan
Sekretaris Senat Akademik Universitas Pendidikan
Indonesia;

13
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN SENAT AKADEMIK TENTANG DISIPLIN


MAHASISWA UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Senat Akademik ini yang dimaksud dengan:


1. Disiplin mahasiswa adalah kesanggupan mahasiswa untuk menaati kewajiban dan
menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan yang berlaku yang apabila tidak
ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.
2. Universitas adalah Universitas Pendidikan Indonesia atau disebut UPI.
3. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia yang selanjutnya disingkat Mahasiswa UPI
adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di UPI.
4. Pelanggaran disiplin adalah setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan mahasiswa UPI yang
tidak menaati kewajiban dan/atau melanggar larangan ketentuan disiplin mahasiswa UPI,
baik yang dilakukan di dalam maupun di luar proses pembelajaran.
5. Hukuman disiplin adalah hukuman yang dijatuhkan kepada mahasiswa UPI karena
melanggar peraturan disiplin mahasiswa.
6. Upaya administratif adalah prosedur pengajuan keberatan atau banding administratif
yang dapat ditempuh oleh mahasiswa UPI yang tidak puas terhadap hukuman disiplin
yang dijatuhkan kepadanya.
7. Keberatan adalah upaya administratif yang dapat ditempuh oleh mahasiswa UPI kepada
atasan pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman sebagai bentuk ketidakpuasan
terhadap hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menjatuhkan
hukuman.
8. Banding administratif adalah upaya administratif yang dapat ditempuh oleh mahasiswa
UPI kepada Komisi Disiplin Mahasiswa tingkat Universitas karena tidak puas terhadap
penjatuhan hukuman disiplin berupa pemberhentian sementara statusnya sebagai
mahasiswa UPI atau pemberhentian secara permanen statusnya sebagai mahasiswa UPI
yang dijatuhkan oleh pejabat yang berwenang menghukum.
9. Rehabilitasi adalah hak setiap mahasiswa UPI untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat pemeriksaan atau
putusan karena diperiksa atau diputuskan tanpa alasan yang berdasarkan peraturan atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam peraturan disiplin mahasiswa.
10. Menyontek adalah meniru jawaban ujian dari orang lain, buku, atau sumber lainnya.
11. Vandalisme adalah perbuatan merusak seperti coret-mencoret, tulis-menulis, gambar-
menggambar, lukis-melukis, pahat-memahat, ukir-mengukir, atau perbuatan sejenis
lainnya yang dilakukan tidak pada tempatnya.
12. Pemalsuan adalah segala proses, cara, atau perbuatan yang membuat suatu dokumen
yang isinya bukan semestinya atau tidak benar.
13. Minuman keras adalah segala jenis minuman yang mengandung alkohol sebagaimana
diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
14. Narkotika ialah zat atau obat, baik yang berasal dari tanaman maupun bukan tanaman,
baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan menimbulkan
ketergantungan.

14
15. Psikotropika ialah zat atau obat, baik alamiah mapun sintesis, bukan narkotika yang
berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental maupun perilaku.
16. Senjata adalah segala jenis alat yang dapat membahayakan atau menghilangkan jiwa
orang lain jika digunakan, sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
17. Bahan peledak adalah bahan atau zat yang berwujud padat, cair, gas atau campurannya
yang apabila dikenai atau terkena suatu aksi berupa panas, benturan, atau gesekan akan
berubah secara kimiawi dalam waktu yang sangat singkat disertai dengan efek panas dan
tekanan yang sangat tinggi, termasuk bahan peledak yang digunakan untuk keperluan
industri maupun militer.
18. Judi adalah permainan untung-untungan atau taruhan yang menggunakan alat bantu,
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang mendasarkan pada pengharapan
untuk menang agar memperoleh uang atau barang yang mempunyai nilai atau harga.
19. Komisi Disiplin Mahasiswa adalah unit yang dibentuk oleh Rektor UPI pada tingkat
Universitas, yang bertugas dan bertanggung jawab memberikan pertimbangan dan
pelayanan keadilan kepada mahasiswa dan sekaligus melakukan penegakan disiplin
mahasiswa.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penegakan disiplin mahasiswa UPI berasaskan:


a. kepastian hukum;
b. keseimbangan;
c. kesamaan;
d. bertindak cermat;
e. tidak mencampuradukan kewenangan;
f. permainan yang layak;
g. keadilan;
h. perlindungan atas pandangan hidup pribadi; dan
i. praduga tidak bersalah.

Pasal 3

Penegakan disiplin mahasiswa UPI bertujuan:


a. menanamkan akhlak mulia dalam bersikap dan berperilaku di kampus UPI dan di
masyarakat;
b. menciptakan lingkungan dan suasana belajar yang nyaman, aman, dan
menyenangkan;
c. mengembangkan bakat, minat, dan kreativitas mahasiswa yang mendukung mutu
lulusan;
d. membina jiwa pelopor dan unggul dalam berperilaku; dan
e. menjunjung tinggi nama baik almamater UPI.

BAB III

15
SIKAP DAN PERILAKU, HAK, KEWAJIBAN, LARANGAN

Bagian Kesatu
Sikap dan Perilaku Mahasiswa

Pasal 4

Sikap dan perilaku setiap mahasiswa UPI sebagai calon pendidik yang ilmuwan dan
calon ilmuwan yang pendidik hendaknya:
a. selalu berorientasi pada makna dan kemanfaatan dengan memandang hidup sebagai
kesempatan untuk melakukan pengabdian diri kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b. memiliki sikap hidup optimistis, aktif, kreatif, positif, dan terbuka terhadap perkembangan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks), serta senantiasa memperluas
wawasannya;
c. memiliki integritas pribadi, hangat dalam berinteraksi, menghargai waktu, memiliki sikap
simpati dan empati pada kehidupan orang lain, serta komunikatif dalam bertutur kata;
d. senantiasa mengendalikan diri dan tidak mementingkan diri sendiri; dan
e. menjauhkan diri dari sikap dan perasaan rendah diri, tidak percaya diri, sombong, dan
apriori terhadap pendapat orang lain, serta pesimistis dalam memandang kehidupan dan
masa depan.

Bagian Kedua
Hak Mahasiswa

Pasal 5

Setiap mahasiswa UPI berhak:


a. memperoleh layanan pendidikan, pembelajaran, dan layanan lainnya untuk
mendukung kelancaran penyelesaian studi;
b. memperoleh layanan khusus secara prima bagi mahasiswa yang berkebutuhan
khusus;
c. memperoleh beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan bagi mahasiswa
yang memenuhi persyaratan dan ketentuan;
d. mendapatkan penghargaan dari Universitas atas prestasi yang diraih baik
dalam bidang akademik ataupun nonakademik;
e. menggunakan fasilitas Universitas sesuai dengan peraturan yang berlaku;
f. menggunakan kebebasan akademik secara bertanggung jawab sesuai dengan
tata susila dan tata krama akademik yang berlaku dalam lingkungan
masyarakat akademik;
g. menyelesaikan studi lebih cepat sesuai dengan peraturan yang berlaku;
h. turut serta dalam melaksanakan penjaminan mutu proses pembelajaran;
i. cuti atau pindah ke program studi lain sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
j. turut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan Universitas;
k. menyalurkan aspirasi yang positif dan konstruktif melalui organisasi
kemahasiswaan intrauniversiter;
l. memperoleh dan menggunakan gelar sesuai dengan jenis dan jenjang program
pendidikan yang ditempuh setelah dinyatakan dapat menyelesaikan studi dan
dinyatakan lulus berdasarkan peraturan Universitas.

16
Bagian Ketiga
Kewajiban Mahasiswa

Paragraf 1
Kewajiban Umum

Pasal 6

(1) Setiap mahasiswa UPI wajib:


a. setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. mengikuti proses pembelajaran sesuai peraturan satuan pendidikan dengan
menjunjung tinggi norma dan etika akademik;
c. menjalankan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya dan menghormati
pelaksanaan ibadah mahasiswa lain;
d. menghormati dosen dan tenaga kependidikan;
e. memelihara kerukunan dan kedamaian untuk mewujudkan harmoni sosial;
f. mencintai keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara, serta menyayangi sesama
mahasiswa;
g. mencintai dan melestarikan lingkungan;
h. ikut menjaga dan memelihara sarana dan prasarana, kebersihan, keindahan,
keamanan, dan ketertiban lingkungan Universitas;
i. ikut menjaga dan memelihara sarana dan prasarana, kebersihan, keamanan, dan
ketertiban umum;
j. menanggung biaya pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, kecuali yang
dibebaskan dari kewajiban;
k. menaati dan mematuhi semua peraturan baik akademik maupun nonakademik yang
berlaku;
l. memiliki jati diri dengan menjaga nama baik, kehormatan, dan wibawa Universitas;
m. memiliki toleransi terhadap masyarakat kampus yang majemuk; dan
n. menjunjung tinggi dan mengembangkan jati diri bangsa.

(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di bawah bimbingan dan
keteladanan dosen, tenaga kependidikan, serta pembiasaan terhadap mahasiswa UPI.

Paragraf 2
Kewajiban dalam Berpenampilan

Pasal 7

(1) Dalam berpenampilan, setiap mahasiswa UPI wajib:


a. berbusana bersih dengan dandanan yang rapi, sopan, dan serasi dengan martabatnya
sebagai calon pendidik dan/atau ilmuwan, dengan memerhatikan situasi dan kondisi,
serta budaya dan agama;
b. menggunakan alas kaki yang sopan, rapi, dan bersih dalam proses
pembelajaran dan/atau kegiatan akademik lainnya.

17
(2) Ketentuan mengenai tata cara berpenampilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dan huruf b diatur lebih lanjut dengan Peraturan Rektor dan/atau
Peraturan Dekan atau Ketua Jurusan.

Paragraf 3
Kewajiban dalam Bertutur Kata atau Berpendapat

Pasal 8

Dalam bertutur kata atau berpendapat, setiap mahasiswa UPI wajib:

a. bertutur kata dengan menggunakan bahasa yang memiliki makna dan pesan yang
jelas, menghindari bahasa yang menyindir, melecehkan, mengejek, dan
menyinggung perasaaan orang lain;
b. bertegur sapa, memanggil, dan bercengkerama dengan menggunakan bahasa
dan cara yang sopan, wajar, dan menyenangkan;
c. memanggil dengan memerhatikan jarak yang wajar dengan menggunakan bahasa
dan cara yang santun;dan
d. berpendapat dengan memerhatikan keterbukaan dan kebenaran hakiki, ilmiah,
dan umum serta menghormati pendapat orang lain.

Paragraf 4
Kewajiban dalam Berkreasi

Pasal 9

Dalam berkreasi, setiap mahasiswa UPI wajib:


a. mendapat izin kegiatan dari unit terkait;
b. menjaga kebersihan, keindahan, ketertiban, dan keamanan lingkungan kampus
UPI; dan
c. tidak mengganggu proses pembelajaran dan kegiatan akademik lainnya.

Paragraf 5
Kewajiban dalam Proses Pembelajaran

Pasal 10

Dalam proses pembelajaran, setiap mahasiswa UPI wajib:


a. dalam proses perkuliahan, yaitu:
1. mengikuti proses perkuliahan di ruang/tempat kuliah yang sudah ditentukan;
2. hadir tepat waktu, atau sebelum dosen memasuki ruang/tempat kuliah;
3. berpakaian sesuai dengan ketentuan;
4. mematuhi tata tertib perkuliahan;
5. jujur, tidak menandatangani daftar kehadiran mahasiswa lain yang diketahuinya tidak
hadir dalam perkuliahan;

18
6. menjaga kebersihan ruang kuliah, laboratorium, serta peralatan yang ada di
dalamnya; dan
7. senantiasa mengutamakan keselamatan dan kesehatan kerja selama beraktivitas di
laboratorium/bengkel.
b. dalam mengerjakan tugas/laporan akhir/skripsi/tesis/ disertasi, yaitu:
1. mematuhi kaidah ilmiah sesuai dengan aturan yang berlaku;
2. menjunjung tinggi kejujuran dan menghindari hal-hal yang bersifat gratifikasi kepada
dosen maupun tenaga kependidikan; dan
3. menyerahkan tugas/laporan tepat waktu;
c. dalam mengikuti ujian, yaitu:
1. mematuhi tata tertib ujian yang ditetapkan Universitas;
2. jujur, beritikad baik dan tidak melakukan kecurangan; dan
3. percaya pada kemampuan sendiri dan tidak berupaya memengaruhi orang lain untuk
tujuan memperoleh kelulusan.

Paragraf 6
Kewajiban dalam Berkendaraan dan Berjalan Kaki
di Lingkungan Kampus

Pasal 11

(1) Dalam berkendaraan sepeda, speda motor, atau mobil di lingkungan kampus,
setiap mahasiswa wajib mematuhi rambu-rambu lalu lintas, memarkir kendaraan
dengan tertib di tempat yang telah disediakan sesuai dengan aturan yang berlaku,
dan untuk sepeda motor atau mobil wajib menggunakan knalpot dan klakson yang
tidak menimbulkan polusi suara dan/atau udara.
(2) Dalam berjalan kaki di lingkungan kampus, setiap mahasiswa wajib berjalan
dengan tertib di jalur yang tersedia serta tidak merusak rumput dan tanaman.

Paragraf 7
Kewajiban dalam Menjaga Hubungan dengan Dosen

Pasal 12

Dalam menjaga hubungan dengan dosen, setiap mahasiswa UPI wajib:


a. bekerja sama dalam mencapai tujuan pembelajaran, termasuk menyiapkan diri sebelum
berinteraksi dengan dosen di ruang perkuliahan dan/atau laboratorium; dan
b. mematuhi saran dan petunjuk dosen sepanjang tidak bertentangan dengan norma hukum
dan norma lainnya yang hidup di dalam masyarakat.

Paragraf 8

Kewajiban dalam Menjaga Hubungan dengan Sesama Mahasiswa

Pasal 13

19
Dalam menjaga hubungan dengan sesama mahasiswa, setiap mahasiswa UPI wajib:
a. bekerja sama dalam menuntut ilmu pengetahuan dan saling menasihati dalam
kebenaran; dan
b. saling membantu untuk tujuan yang baik dan tidak bertentangan dengan norma hukum
atau norma lainnya yang hidup di dalam masyarakat.

Paragraf 9

Kewajiban dalam menjaga Hubungan dengan Masyarakat

Pasal 14

Dalam menjaga hubungan dengan masyarakat, setiap mahasiswa UPI wajib:


a. membantu masyarakat sesuai dengan kemampuan dan bidang ilmu pengetahuan yang
dimiliki;
b. menghindari perbuatan yang melanggar norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan
hukum;
c. memberi teladan dan mengajak masyarakat berbuat baik dan terpuji; dan
d. menolak penggunaan obat-obatan terlarang seperti narkotika dan psikotropika.

Paragraf 10
Kewajiban dalam Melaksanakan Kegiatan Ekstrakurikuler

Pasal 15

Dalam melaksanakan kegiatan ekstrakurikuler, setiap mahasiswa UPI wajib:


a. dalam bidang keolahragaan:
1. menjunjung tinggi kejujuran dan sportivitas;
2. bekerja sama dalam memperoleh prestasi dengan cara-cara yang terpuji;
3. menghindari perbuatan yang merugikan dan/atau mencelakai orang lain;
4. mematuhi aturan-aturan keolahragaan yang berlaku; dan
5. menjunjung tinggi kejujuran dan menghindari gratifikasi terhadap pihak-pihak
pengambil keputusan dalam setiap kegiatan olahraga.
b. dalam bidang seni:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai budaya;
2. menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam setiap kegiatan seni;
3. bekerja sama dalam menghasilkan prestasi dan karya seni yang baik dengan cara-
cara yang terpuji; dan
4. menjunjung tinggi kejujuran dan menghindari gratifikasi terhadap pihak-pihak
pengambil keputusan dalam setiap kegiatan kesenian.
c. dalam bidang keagamaan:
1. menghormati perbedaan agama dan kepercayaan orang lain;
2. menghindari perbuatan menghina agama dan kepercayaan orang lain; dan
3. menghindari kegiatan keagamaan yang dilarang pemerintah.
d. dalam bidang kegiatan pengembangan organisasi:
1. menghargai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
2. menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran;
3. menjunjung tinggi kebudayaan nasional;

20
4. menjaga sopan santun dalam tutur kata dan perbuatan dalam setiap kegiatan;
5. mengutamakan kearifan dan kebijaksanaan dalam bertindak;
6. menghargai perbedaan pendapat dan menyikapinya dengan arif dan bijaksana;
7. bertanggung jawab terhadap semua keputusan dan tindakan;
8. peka terhadap masalah-masalah kemasyarakatan dan suka memberi kontribusi
dengan cara-cara yang baik dan terpuji; dan
9. taat terhadap norma agama, kesopanan, kesusilaan, dan hukum yang berlaku di
lingkungan Universitas dan masyarakat.

Paragraf 11
Kewajiban dalam Menyampaikan Aspirasi di Luar Proses Pembelajaran

Pasal 16

Dalam menyampaikan aspirasi di luar proses pembelajaran, setiap mahasiswa UPI wajib:
a. menyampaikan asprirasinya dengan didasarkan pada tujuan untuk kepentingan
kebenaran dan tidak bersifat anarkis;
b. tertib dan terpuji dalam memberikan kontribusi pemikiran atau sikap terhadap lembaga
atau kebijakan Universitas;
c. turut mengamankan dan menjaga barang milik/inventaris UPI maupun barang milik
instansi lain dan/atau masyarakat;
d. mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal penyampaian
pendapat dan bersikap;
e. mempersiapkan argumentasi yang rasional yang mencerminkan citra diri yang
berpendidikan; dan
f. bertanggung jawab terhadap kebenaran fakta dan pendapat yang objektif.

Bagian Keempat
Larangan

Paragraf 1
Larangan Umum

Pasal 17

Setiap mahasiswa UPI dilarang:


a. duduk di depan pintu, tangga, dan koridor gedung perkuliahan yang mengganggu
lalu-lintas;
b. melakukan perbuatan yang dapat mengganggu perkuliahan;
c. merokok di ruang perkuliahan, laboratorium, perpustakaan, perkantoran, dan tempat lain
yang tidak diperbolehkan di lingkungan Universitas;
d. mengikuti aliran kepercayaan yang tidak sesuai dan dilarang berdasarkan
Undang-Undang;
e. bertindik dan/atau bertato yang tidak ada kaitannya dengan adat istiadat suku
bangsa Indonesia;
f. memakai sandal, selop, kaos oblong, dan/atau pakaian yang kurang sopan dalam
proses pembelajaran dan/atau kegiatan akademik lainnya;

21
g. berbusana dan atau mengenakan pakaian yang mini, ketat, dan tembus pandang,
serta menggunakan perhiasan dan berhias yang berlebihan;
h. melakukan perpeloncoan dalam bentuk apapun.
i. berkelahi di dalam kampus;
j. melakukan pemukulan dan/atau perbuatan kekerasan fisik lainnya kepada dosen,
tenaga kependidikan, dan/atau mahasiswa;
k. menyontek dan/atau bekerja sama selama mengerjakan soal ujian;
l. melakukan vandalisme terhadap sarana dan prasarana milik Universitas;
m. melakukan perusakan terhadap sarana dan prasarana milik Universitas atau milik
orang lain; dan/atau
n. memiliki, mengambil, meminjam, menggandakan, menyewakan, atau menjual
barang milik Universitas, atau milik lembaga kemahasiswaan di lingkungan
Universitas secara tidak sah.
o. menyalurkan aspirasi dengan menggunakan organisasi kemahasiswaan ekstrakampus.
p. melakukan perbuatan yang dapat mengganggu dan merusak tugas pokok dan fungsi
Universitas;
q. melakukan pungutan liar dalam bentuk apapun;
r. bagi laki-laki, mengenakan perhiasan dan atau berpenampilan seperti perempuan, kecuali
dalam kegiatan tertentu yang dapat diterima secara umum dan tidak dianggap sebagai
pelanggaran;
s. menghasut dan/atau mengadu domba sivitas akademika atau tenaga kependidikan, atau
membantu orang lain dalam suatu kegiatan yang mengganggu dan merusak tugas pokok
dan fungsi Universitas;
t. melakukan perbuatan yang dapat mencemarkan nama baik almamater atau melakukan
perbuatan yang tidak menyenangkan sivitas akademika dan tenaga kependidikan;
u. secara langsung atau tidak langsung menghina, mengancam, memaksa, dan/atau
meneror pejabat, dosen, tenaga kependidikan atau sesama mahasiswa;
v. memaksa dengan kekerasan atau ancaman, baik langsung maupun tidak langsung
sehingga berakibat menghalangi, mengganggu, atau menggagalkan:
1. aktivitas sivitas akademika, tenaga kependidikan, dan/atau tamu dalam
melaksanakan tugas di dalam dan/atau di luar lingkungan Universitas;
2. penggunaan sarana dan prasarana yang ada di lingkungan Universitas.
w. melakukan suatu tindakan yang membahayakan keamanan atau keselamatan
barang dan/atau orang lain;

Paragraf 2
Pemalsuan

Pasal 18

Setiap mahasiswa UPI dilarang:


a. memalsukan nilai, memalsukan tanda bukti ujian, dan/atau tanda bukti lainnya.
b. memalsukan surat keterangan dan/atau dokumen resmi seperti ijazah, transkrip nilai,
surat kelulusan, dan surat keterangan lainnya, baik untuk kepentingan pribadi maupun
orang lain;
c. memalsukan kuitansi, stempel, atau tanda tangan pejabat, dosen, atau tenaga
kependidikan;

22
d. digantikan kedudukannya oleh orang lain sebagai peserta ujian yang diselenggarakan oleh
Universitas dan/atau bertindak selaku pengganti atau joki dalam ujian dari seorang
mahasiswa atau calon mahasiswa, baik di dalam maupun di luar Universitas; atau
e. mengakui karya tulis orang lain secara utuh atau sebagian sebagai karyanya sendiri atau
melakukan plagiat.

Paragraf 3
Perilaku Tidak Senonoh, Pelecehan atau Pelanggaran Seksual, dan Pornografi

Pasal 19

Setiap mahasiswa UPI dilarang:


a. mengucapkan kata-kata tidak senonoh dan/atau berperilaku yang bertentangan
dengan norma-norma yang berlaku;
b. melakukan pelecehan seksual, pemerkosaan, perzinahan, homoseks, atau
lesbianisme; dan/atau
c. memproduksi, menggandakan, memiliki, membawa, menyimpan, menyebarkan,
memperjualbelikan atau mempertunjukkan tulisan, gambar atau film yang
mengandung pornografi.

Paragraf 4
Minuman Keras, Narkotika, Psikotropika, Judi, Senjata, dan Bahan Peledak

Pasal 20

Setiap mahasiswa UPI dilarang:


a. memiliki, membawa, menyimpan, menyebarkan, memperjualbelikan, dan/atau
meminum minuman keras;
b. berjudi baik langsung maupun tidak langsung;
c. membuat, memiliki, membawa, menyimpan, menggunakan, mengedarkan,
dan/atau memperjualbelikan narkotika dan/atau psikotropika atau zat adiktif
lainnya tanpa izin;
d. membuat, membawa, menyimpan, menggunakan, mengedarkan, dan/atau
memperjualbelikan senjata api tanpa izin; dan/atau
e. membuat, memiliki, membawa, menyimpan, dan/atau memperjualbelikan bahan
peledak tanpa izin.

23
BAB IV
HUKUMAN DISIPLIN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 21

Setiap mahasiswa UPI yang tidak menaati ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 sampai dengan Pasal 20 dijatuhi hukuman disiplin.

Pasal 22

(1) Dengan tidak menyampingkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan hukum


pidana, mahasiswa UPI yang terbukti melakukan pelangggaran disiplin mahasiswa
dijatuhi hukuman disiplin.
(2) Jenis hukuman disiplin yang dijatuhkan sesuai dengan jenis pelanggaran yang dilakukan.

Bagian Kedua
Tingkat dan Jenis Hukuman Disiplin

Pasal 23

(1) Tingkat hukuman disiplin terdiri atas:


a. hukuman disiplin ringan;
b. hukuman disiplin sedang; dan
c. hukuman disiplin berat.
(2) Jenis hukuman disiplin ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
atas:
a. peringatan lisan;
b. peringatan tertulis; dan/atau
c. dikeluarkan dari ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan, ruang akses
internet, atau perkantoran yang ada di lingkungan Universitas.
(3)Jenis hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri
atas:
a. penghentian sementara dari segala kegiatan layanan akademik dan/atau
kemahasiswaan;
b. pencabutan izin kegiatan kemahasiswaan; dan/atau
c. pembayaran denda dan atau ganti kerugian sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di Universitas.
(4) Jenis hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri
atas:
a. pembatalan nilai mata kuliah yang telah ditempuh baik sebagian atau
seluruhnya;

24
b. pembatalan mata kuliah yang sedang atau telah ditempuh baik sebagian atau
seluruhnya;
c. diberhentikan sementara statusnya sebagai mahasiswa; dan/atau
d. diberhentikan statusnya sebagai mahasiswa secara permanen.

Bagian Ketiga
Ketentuan Hukuman

Pasal 24

(1) Setiap mahasiswa UPI yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal
11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 atau Pasal 16 dijatuhi hukuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a.
(2) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang kedua
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b
dan/atau huruf c.
(3) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang ketiga
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) huruf a.

Pasal 25

(1) Setiap mahasiswa UPI yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f,
huruf g, huruf h, huruf I, huruf j, atau huruf k, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a, atau huruf b.
(2) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang kedua
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf c.
(3) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang ketiga
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) huruf a
dan/atau huruf b.

Pasal 26

(1) Setiap mahasiswa UPI yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf l, huruf m, atau huruf n yang
mengakibatkan kerugian materi dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (3) huruf c.
(2) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang kedua
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf huruf c.
(3) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang ketiga
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf d.

25
Pasal 27

(1) Setiap mahasiswa UPI yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf o, huruf p, huruf q, huruf r, huruf s, huruf
t, huruf u, huruf v, atau huruf w dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23 ayat (3) huruf a dan/atau huruf b.
(2) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang kedua
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf huruf c.
(3) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang ketiga
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf d.

Pasal 28

(1) Setiap mahasiswa UPI yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a dijatuhi hukuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf a dan/atau huruf b.
(2) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang kedua
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf c.
(3) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang ketiga
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf d.
(4) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berlanjut
sampai dengan paling banyak 7 (tujuh) mata kuliah, dijatuhi hukuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf c.
(5) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berlanjut
lebih dari 7 (tujuh) mata kuliah, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23
ayat (4) huruf d.
(6) Setiap mahasiswa UPI yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e
dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf c.
(7) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk yang
kedua kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf d.
(8) Penjatuhan hukuman disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat
(7) dengan tetap menjatuhkan hukuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 29

(1) Setiap mahasiswa UPI yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a dijatuhi hukuman sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf a atau huruf b atau huruf c.
(2) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang kedua
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) huruf a.
(3) Setiap mahasiswa UPI yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b, atau huruf d dijatuhi hukuman
paling ringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf c atau hukuman
paling berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf d.

26
Pasal 30

(1) Setiap mahasiswa UPI yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan larangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a atau huruf b dijatuhi hukuman
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) huruf b.
(2) Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk yang kedua
kalinya, dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) huruf a.
(3) Setiap mahasiswa UPI yang terbukti melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c, huruf d, dan huruf d
dijatuhi hukuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf d.

BAB V
PROSEDUR PENJATUHAN HUKUMAN, PUTUSAN, PEMBELAAN, DAN REHABILITASI

Bagian Kesatu
Prosedur Penjatuhan Hukuman

Pasal 31

(1) Hukuman disiplin dapat diproses oleh pimpinan program studi atau jurusan atau
fakultas/kampus UPI di daerah atau unit lain di Universitas berdasarkan laporan
yang disertai dengan bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Hukuman disiplin sedang dan berat diberikan oleh Pimpinan Universitas
berdasarkan pertimbangan atau rekomendasi dari Komisi Disiplin Mahasiswa.
(3) Untuk pelanggaran yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan, hukumannya
dapat dijatuhkan.
(4) Bagi mahasiswa yang dijatuhi hukuman penjara oleh Pengadilan dan telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, hukuman disiplin dapat dijatuhkan
langsung oleh Pimpinan Universitas.

Pasal 32

Penjatuhan Hukuman Disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) dapat
langsung diberikan oleh dosen, tenaga kependidikan atau petugas yang berwenang
sesuai dengan bidangnya.

Bagian Kedua
Putusan

Pasal 33

(1) Putusan hukuman disiplin sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3)
dan hukuman disiplin berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4)
ditetapkan dengan Keputusan Rektor atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

27
a. identitas lengkap mahasiswa yang dijatuhi hukuman seperti nama, tempat dan
tanggal lahir, fakultas/jurusan/program studi, nomor induk mahasiswa, jenis kelamin,
dan alamat;
b. pertimbangan/konsideran secara lengkap mengenai fakta dan/atau alat bukti;
c. ketentuan yang dilanggar;
d. isi putusan; dan
e. tempat, tanggal, nama, tanda tangan, dan jabatan yang menjatuhkan hukuman.

Bagian Ketiga
Pembelaan

Pasal 34

(1) Setiap mahasiswa UPI yang dijatuhi hukuman disiplin berhak mengajukan pembelaan
berupa keberatan kepada Rektor atau pejabat terkait, dan banding administratif kepada
Senat Akademik.
(2) Hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) tidak dapat diajukan
keberatan maupun banding administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pembelaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Rektor.

Bagian Keempat
Rehabilitasi

Pasal 35

(1) Setiap mahasiswa UPI berhak memperoleh rehabilitasi apabila diputus tidak
bersalah atau diputus lepas dari segala tuntutan hukuman disiplin oleh Rektor atau
pejabat yang ditunjuk.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan Rektor
atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Permintaan rehabilitasi oleh terperiksa atas pemeriksaan tanpa alasan yang
berdasarkan peraturan atau kekeliruan mengenai orang atau penerapan hukum
diatur menurut cara-cara yang terdapat dalam peraturan disiplin mahasiswa.

Pasal 36

(1) Permintaan rehabilitasi akibat tidak sahnya pemeriksaan atau putusan diajukan
oleh mahasiswa atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Rektor atau
pejabat yang ditunjuk dengan menyebut alasannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme permintaan rehabilitasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Rektor.

28
BAB VI
KOMISI DISIPLIN MAHASISWA

Pasal 37

(1) Komisi Disiplin Mahasiswa bertugas:


a. menindaklanjuti laporan dan memeriksa kasus setelah bukti-bukti permulaan
memenuhi syarat;
b. melakukan pemeriksaan terhadap mahasiswa yang diduga melakukan
pelanggaran disiplin;
c. memberikan pertimbangan keadilan terhadap setiap kasus pelanggaaran yang
diajukan dan/atau tidak diajukan oleh mahasiswa, baik secara perorangan
maupun kelompok;
d. memberikan rekomendasi kepada pejabat yang berwenang dalam
memberikan jenis hukuman disiplin bagi mahasiswa yang terbukti bersalah;
e. membela mahasiswa yang diajukan tetapi tidak bersalah;
f. memberikan perlindungan terhadap pelapor; dan
g. membuat laporan kepada Pimpinan untuk setiap kasus pelanggaran disiplin.
(2) Komisi Disiplin Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas ketua,
sekretaris, dan anggota.
(3) Anggota Komisi Disiplin Mahasiswa paling sedikit terdiri atas Pejabat Bidang
Kemahasiswaan tingkat Universitas/Fakultas/Kampus Daerah dan anggota tidak
tetap.
(4) Anggota tidak tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas perwakilan
dosen dari jurusan atau program studi yang terkait kasus dan orang-orang yang
kompeten pada persoalan terkait dalam bidang hukum.
(5) Susunan organisasi, keanggotaan, dan tata kerja Komisi Disiplin Mahasiswa
ditetapkan dengan Peraturan Rektor.

Pasal 38

Dalam melakukan pemeriksaan terhadap mahasiswa sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 35 ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara:
a. Komisi Disiplin Mahasiswa melakukan pemanggilan secara tertulis kepada mahasiswa
yang diduga melakukan pelanggaran disiplin.
b. pemanggilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari
kerja sebelum tanggal pemeriksaan.
c. apabila pada tanggal yang seharusnya ternyata yang bersangkutan tidak hadir, maka
dilakukan pemanggilan kedua paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal seharusnya
yang bersangkutan diperiksa pada panggilan pertama.
d. apabila pada tanggal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf c, yang
bersangkutan tidak hadir juga, maka pejabat yang berwenang menjatuhkan hukuman
disiplin berdasarkan alat bukti dan keterangan yang ada tanpa dilakukan pemeriksaan.
e. Komisi Disiplin Mahasiswa wajib menyelesaikan pemeriksaannya dalam waktu paling
lama 14 (empat belas) hari kerja.
f. dalam hal Komisi Disiplin Mahasiswa tidak dapat menyelesaikan pemeriksaan dalam
waktu sebagaimana dimaksud pada huruf e, Komisi Disiplin Mahasiswa dapat
melanjutkan pemeriksaan.

29
BAB VII
PARTISIPASI MAHASISWA, DOSEN, DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Pasal 39

(1) Setiap mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan ikut berpartisipasi memantau
penegakan peraturan disiplin mahasiswa.
(2) Setiap mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan yang mengetahui adanya
pelanggaran terhadap peraturan disiplin mahasiswa wajib melaporkan kepada pejabat
pembina kemahasiswaan di lingkungan unit masing-masing.
(3) Ketentuan mengenai mekanisme partisipasi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Rektor.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 40

Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 34 ayat
(3), Pasal 36 ayat (2), Pasal 37 ayat (5), dan Pasal 39 ayat (3) diselesaikan paling
lambat enam bulan sejak Peraturan Senat Akademik ini ditetapkan.

Pasal 41

Pada saat Peraturan Senat Akademik ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan
dari Keputusan Senat Akademik Nomor 002/Senat Akd./UPI-SK/VIII/2007 tentang
Pedoman Perilaku Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Senat
Akademik ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42

Pada saat Peraturan Senat Akademik ini mulai berlaku, Keputusan Senat Akademik
Nomor 002/Senat Akd./UPI-SK/VIII/2007 tentang Pedoman Perilaku Mahasiswa
Universitas Pendidikan Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

30
Pasal 43

Peraturan Senat Akademik ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Bandung
pada tanggal 27 Februari 2014
---------------------------

Senat Akademik
Universitas Pendidikan Indonesia

Ketua, Sekretaris,

Prof. Dr. Syihabuddin, M.Pd. Dr. Dadi Rusdiana, M.Si.


NIP 19600120 198703 1 001 NIP 19681015 199403 1 002

31
Sumber :
Peraturan Senat Akademik UPI no 001/Senat Akd./UPI-HK/II/2014 Tentang Disiplin
Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia

32
“BAB III : ALUR BIROKRASI
DAN
TEKNIK ADVOKASI”

Secara umum, pengertian birokrasi adalah rantai komando berbentuk


piramida dalam suatu organisasi dimana posisi di tingkat bawah lebih banyak
daripada tingkat atas. Birokrasi banyak ditemukan dalam organisasi
pemerintahan, rumah sakit, perusahaan, sekolah, dan militer. Salah Satunya
ada dalam organisasi kemahasiswaan (Badan Eksekutif) S1 di lingkungan UPI.
Dalam pengimplementasiannya Birokrasi memerlukan alur agar dalam
sistem kerjanya terstruktur efektif dan efesien. Dalam hal ini organisasi
kemahasiswaan dilingkungan UPI terbagi kurang lebih menjadi 3 tingkat
diantaranya :

Tingkat Universitas

Tingkat Fakultas dan


Kamda

Tingkat
Jurusan/Departemen

Dalam tingkatan tersebut semuanya mempunyai pola koordinasi dan


kominikasi yang terstruktur serta memiliki cangkupan kerja tersendiri.

1. Tingkat Universitas
Di UPI organisasi kemahasiswaan tingkat tertinggi bernama BEM Rema
UPI. Organisasi yang mewakili Universitas dalam hal keorganisasian dieksteral

33
kampus. Di Internal kampus BEM Rema UPI mengkoordinasikan dengan
ormawa didalam kampus agar semua bisa satu tujuan.

2. Tingkat Fakutas dan Kamda

UPI memiliki 8 Fakultas dan 5 Kampus Daerah dimana semuanya memiliki


Organisasi Kemahasiswaan untuk mengkoordinasikan tiap Fakultas dan
kampus daerahnya dari tiap Organisasi Kemahasiswaan Departemen di
dalamya.

3. Tingkat Jurusan/Departemen

Organisasi Kemahasiswaan tingkat Departemen kurang lebih ada 98 dari


total semua Departemen yang ada di UPI yang mengkoordinasikan setiap
mahasiswa yang ada dijurusan/departemennya masing – masing. Begitupun
dengan alur birokarasi advokasi antara ormawa antara tingkatan harus
mempunyai koordinasi yang baik dengan memahami tingkatan ormawanya.

Adapun Birokrasi Organisasi UPI itu sendiri, dimana yang sering kita sebut
Rektorat ini pun memiliki tingkatan – tingkatan tersendiri.

Struktur Organisasi UPI

Rektorat
Kelembagaan di UPI terdiri atas beberapa unsur, yaitu unsur pimpinan,
unsur pelaksana akademik, unsur pelaksana administratif, unsur tenaga
pengajar, unsur mahasiswa dan unsur penunjang (seperti perpustakaan,
laboratorium, dll.). Unsur pimpinan terdiri atas pimpinan tingkat universitas,
fakultas/sekolah pascasarjana, lembaga, direktorat, biro, jurusan, program
studi dan UPT.

Pimpinan Universitas
Tingkat universitas dipimpin oleh seorang Rektor, dan dibantu oleh empat
Pembantu Rektor, yang masing masing membidangi kegiatan akademik,

34
administrasi umum dan sumber daya, kemahasiswaan dan alummi, serta
penelitian dan pengembangan. Pimpinan Universitas bertugas:

a. Menyusun Rencana Strategis yang memuat sasaran, tujuan, dan


program Universitas;
b. Menyusun Rencana Kerja dan Anggaran tahunan Universitas;
c. Melaksanakan penyelenggaraan fungsi kelembagaan perguruan
tinggi di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada
masyarakat;
d. Mengelola seluruh kekayaan Universitas dan secara optimal
memanfaatkannya untuk kepentingan Universitas;
e. Membimbing dan mengembangkan tenaga akademik dan non
akademik yang ditetapkan oleh Universitas;
f. Membina hubungan dengan alumni, lingkungan Universitas, dan
masyarakat secara luas;
g. Menyelenggarakan pembukuan Universitas;
h. Melaporkan kemajuan kinerja Universitas kepada Majelis Wali
Amanat sekali dalam setahun; dan
i. Menyusun dan menyampaikan laporan tahunan kepada Menteri
bersama Majelis Wali Amanat.

Selain Pimpinan tingkat universitas, UPI juga diperlengkapi dengan :

Rektorat UPI Periode 2020-2025

 Rektor :
Prof. Dr. M. Solehuddin, M.Pd., M.A
 Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Kemahasiswaan :
Prof. Dr. Didi Sukyadi, M.A
 Wakil Rektor Bidang Sumber Daya dan Keuangan :
Prof. Dr. H. Agus Rahayu, M.P
 Wakil Rektor Bidang Perencanaan, Organisasi, dan Sistem
Informasi :
Prof. Dr. Bunyamin Maftuh, M.Pd., M.A
 Wakil Rektor Bidang Riset, Internasional, Kerja sama, dan
Usaha :
Prof. Dr. H. Adang Suherman, M.A

35
Adapun beberapa badan bidang atau Direktorat yang ada di UPI. Secara
resmi Rektor Universitas Pendidikan Indonesia Prof. Dr. M. Solehuddin, M.Pd.,
MA melantik ;

 Dr. Liris Raspatiningrum, M.Pd sebagai Kepala Biro sumberdaya


Manusia,
 Dr. rer. nat. Asep Supriatna, M.Si sebagai Direktur Direktorat
Pendidikan,
 Prof. Dr. Suwatno, M.Si sebagai Direktur Direktorat
Kemahasiswaan,
 Dr. Nono Supriatna, M.Si sebagai Direktur Direktorat Keuangan,
 Ahmad Bukhori Muslim, P.hD sebagai Direktur Direkotorat
Internasional,
 Prof. Dr. Wawan Setiawan, M.Kom sebagai Direktur Direktorat
Perencanaan dan Organisasi,
 Dr. Yadi Ruyadi, M.Si sebagai Direktur Direktorat Inovasi dan
Pusat Unggulan Universitas,
 Dr. Yusi Riksa Yustiana, M.Pd sebagai Kepala Badan Bimbingan
Konseling dan Pengembangan Karier (Humas UPI)

36
Sumber :
Website UPI (www.upi.edu)

37
“BAB
BAB IV : STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
“ KEBUTUHAN AKADEMIK”

A. Pembayaran UKT

1. Melalui Bank BNI


a. Cek nomor tagihan mahasiswa di akun
student.upi.edu di menu tagihan
b. Datang ke bank BNI terdekat
c. Sebutkan nomor tagihan ke teller
d. Jumlah tagihan akan sesuai dengan jumlah UKT
e. Lakukan pembayaran
2. Melalui ATM
a. Cek nomor tagihan mahasiswa di akun
student.upi.edu di menu tagihan
b. Masukan ATM
c. Masukan PIN ATM
d. Masuk ke menu pembayaran
e. Pilih biaya Pendidikan
f. Pilih pembayaran
g. Pilih nama universitas
h. Masukan nomor tagihan

38
i. Jumlah tagihan akan sesuai dengan jumlah UKT
j. Lakukan pembayaran

3. Melalui Internet Banking (m-banking)


a. Cek nomor tagihan mahasiswa di akun student.upi.edu di menu tagihan
b. Masukan username dan MPIN
c. Pilih menu pembayaran
d. Pilih biaya Pendidikan
e. Pilih nama universitas
f. Masukan nomor tagihan
g. Jumlah tagihan sesuai dengan jumlah UKT
h. Lakukan pembayaran

B. Pembuatan KTM

1. Pembuatan KTM baru


a. Membuat surat keterangan aktif kuliah dari Program Studi
b. Membuat surat pengantar dari BAAK
c. Membawa pas foto 3x4 Berwarna 1 Lembar
d. Membawa uang tunai Rp. 25.000 untuk
mengisi saldo awal
e. Mengisi formulir pembuatan KTM dari bank BNI
f. Meminta tanda tangan dan cap ke baak bagian
sarana prasarana
g. Menyerahkan semua berkas ke
Customer Service (CS) BNI UPI
h. Pembuatan KTM akan di proses
2. Pembuatan KTM ulang
a. Membuat surat kehilangan dari kepolisian

39
b. Mengisi formulir pembuatan KTM dari bank BNI
c. Membawa pas foto 3x4 (Untuk formulir)
d. Meminta cap dan tanda tangan pihak baak bagian sarana prasarana
untuk formulir
e. Menyerahkan semua berkas ke Customer Serrvice (CS) bank BNI UPI
f. Pembuatan KTM akan di Proses

C. Pengambilan Jaster

1. Belum memiliki jaster


a. Surat rekomendasi belum mendapatkan jaster
dari ketua Program Studi
b. Foto Copy KTM
c. Membawa berkas tersebut ke baak
bagian Sarana Prasarana
2. Kehilangan Jaster
a. Membuat surat kehilangan ke K3 UPI
b. Membuat surat rekomendasi dari
ketua Program Studi
c. Foto copy KTM
d. Menyerahkan berkas tersebut ke BAAK bagian
Sarana Prasarana

D. Akademik

1. Penangguhan
a. Membuat akun mahasiswa di laman
http://bbp.akademik.upi.edu/login/login.php

40
b. Mengunduh formulir pendaftaran daring di laman
http://bbp.akademik.upi.edu/.
c. Input data di laman formulir tersebut
d. Mahasiswa wajib mencetak formulir yang sudah di input data
e. Formulir harus di tandatangani orangtua/wali di atas materai 6000 dan
melengkapi persyaratan lain nya ; 1). Foto kopi KTM, 2). Kartu Hasil Studi
(KHS), 3). Rekomendasi dari Dekan Bidang kemahasiswaan
fakultas/Wakil direktur bidang kemahasiswaan kampus daerah
f. Dokumen tersebut di serahkan ke bagian :
 Bagi mahasiswa kampus Bumi Siliwangi, dokumen di serahkan ke
Direktorat Kemahasiswaan
 Bagi mahasiswa UPI Kampus daerah, dokumen di serahkan ke bagian
akademik masing-masing di UPI kampus Daerah
g. Wawancara di lakukan di Fakultas/UPI Kampus daerah
h. Bagi mahasiswa yang lolos verifikasi dan validasi berkas, akan di
umumkan setelah di tetapkan pada SK Rektor
i. Jadwal pembayaran cicilan akan di tentukan di kemudian.
j. Semua prosedur berlaku sesuai dengan jadwal yang sudah di tentukan
oleh pihak kampus

2. Cuti Akademik
a. Mahasiswa mengambil formulir pengajuan cuti akademik di direktorat
Pendidikan UPI
b. Mahasiswa melengkapi persyaratan dan meminta persetujuan dari
dosen pembimbing
c. Mahasiswa melakukan pembayaran cuti akademik di bank BNI sebesar
Rp.150.000
d. Mahasiswa mendapatkan bukti pembayaran cuti akademik
e. Mahasiswa menyerahkan semua persyaratan cuti akademik (Formulir
isian, FC KTM, Bukti pembayaran dari BNI) ke Direktorat kemahasiswaan
UPI
f. Direkrtorat Pendidikan memproses cuti

41
g. Mahasiswa melakukan aktivasi pada saat waktu yang telah di tentukan
h. Mahasiswa yang melakukan cuti di luar jadwal yang sudah di tentukan
akan di kenakan biaya sebesar Rp. 250.000

3. Aktivasi status kemahasiswaan setelah Cuti


a. Masa pengaktifan Kembali status kemahasiswaan sesuai dengan
kalender akademik sebelum semester berikutnya di mulai
b. Proses aktivasi di lakukan di Direktorat Kemahasiswaan
c. Mahasiswa wajib menunjukan surat izin berhenti sementara kuliah
kepada petugas loket Direktorat Akademik
d. Petugas loket Direktorat Akademik megaktifkan Kembali status
kemahasiswaan dalam SIAK dan melaporkannya kepada direktorat
keuangan
e. Direktorat keuangan menyampaikan data mahasiswa tersebut ke bank
penerima setoran
f. Mahasiswa melakukan pembayaran UKT atau biaya Pendidikan
g. Mahasiswa melakukan bimbingan akademik dan kontrak kuliah

4. Perpindahan Program Studi


a. Ketentuan
 Perpindahan hanya diperbolehkan pada
jenjang yang sama.
 Perpindahan hanya diperbolehkan antar
departemen/prodi sejenis (tidak boleh dari
kependidikan ke nonkependidikan
atau sebaliknya).
 Mahasiswa telah menempuh perkuliahan
sekurang-kurangnya 4 semester dengan
perolehan kredit sekurang-kurangnya 60 sks
(untuk jenjang S-1), dan 1 semester dengan
perolehan kredit sekurang- kurangnya 12 sks
(untuk jenjang S-2 dan S-3) pada

42
Departemen/ Prodi semula.
 Mahasiswa dinilai mempunyai minat dan
kemampuan akademik untuk menyelesaikan studi pada
Departemen/Prodi baru yang dinyatakan dengan keterangan tertulis
berdasarkan penilaian dari Ketua Departemen/Prodi yang baru, dan
mendapat rekomendasi dari UPT LBK UPI berdasarkan hasil psikotes.
 Perpindahan Departemen/Prodi diperuntukkan bagi mahasiswa yang
secara akademik mengalami ketidaksesuaian dengan perkuliahan di
Departemen/Prodi yang sedang dijalani, yang dibuktikan di antaranya
dengan rendahnya perolehan IPK selama 4 semester pertama.
 Perpindahan Departemen/Prodi tidak diperbolehkan dari
Departemen/Prodi yang tingkat akreditasinya (BAN-PT) lebih rendah.
 Perpindahan Departemen/Prodi tidak diperbolehkan dari
Departemen/Prodi yang tingkat keketatannya (pada seleksi masuk)
lebih rendah.
 Perpindahan Departemen/Prodi hanya diperbolehkan apabila jumlah
mahasiswa pada Departemen/Prodi tujuan lebih sedikit dari kuota.
 Departemen/Prodi lama dan baru harus memiliki karakteristik yang
sama dalam hal jalur seleksi masuk (IPA ke IPA, IPS ke IPS)

b. Prosedur
 Perpindahan hanya diperbolehkan
pada jenjang yang sama.
 Perpindahan hanya diperbolehkan
antardepartemen/prodi sejenis (tidak
boleh dari kependidikan ke
nonkependidikan atau sebaliknya).
 Mahasiswa telah menempuh
perkuliahan sekurang-kurangnya 4
semester dengan perolehan kredit
sekurang-kurangnya 60 sks(untuk jenjang S-1), dan 1 semester
dengan perolehan kredit sekurang- kurangnya 12 sks (untuk

43
jenjang S-2 dan S-3) pada Departemen/ Prodi semula.
 Mahasiswa dinilai mempunyai minat dan kemampuan
akademik untuk menyelesaikan studi pada Departemen/Prodi
baru yang dinyatakan dengan keterangan tertulis
berdasarkan penilaian dari Ketua Departemen/Prodi yang
baru, dan mendapat rekomendasi dari UPT LBK UPI
berdasarkan hasil psikotes.
 Perpindahan Departemen/Prodi diperuntukkan bagi
mahasiswa yang secara akademik mengalami
ketidaksesuaian dengan perkuliahan di Departemen/Prodi
yang sedang dijalani, yang dibuktikan di antaranya dengan
rendahnya perolehan IPK selama 4 semester pertama.
 Perpindahan Departemen/Prodi tidak diperbolehkan dari
Departemen/Prodi yang tingkat akreditasinya (BAN-PT) lebih
rendah.
 Perpindahan Departemen/Prodi tidak diperbolehkan dari
Departemen/Prodi yang tingkat keketatannya (pada seleksi
masuk) lebih rendah.
 Perpindahan Departemen/Prodi hanya diperbolehkan apabila
jumlah mahasiswa pada Departemen/Prodi tujuan lebih
sedikit dari kuota.
 Departemen/Prodi lama dan baru harus memiliki karakteristik
yang sama dalam hal jalur seleksi masuk (IPA ke IPA, IPS ke
IPS).

44
Sumber :
Peraturan rektor universitas pendidikan indonesia nomor 5805/un40/hk/2015
tentang pedoman penyelenggaraan pendidikan UPI tahun 2015

45
“BAB V
“BAB V :: PENGENALAN
PENGENALAN PELECEHAN
PELECEHAN SEKSUAL
SEKSUAL
DAN KEKERASAN SEKSUAL”

PENGALAMAN DAN PENGETAHUAN TENTANG PELECEHAN


SEKSUAL: STUDI AWAL DI KALANGAN MAHASISWA PERGURUAN
TINGGI

(EXPERIENCE AND KNOWLEDGE ON SEXUAL HARASSMENT: A


PRELIMINARY STUDY AMONG INDONESIAN UNIVERSITY STUDENTS)
1 Binahayati Rusyidi, 2 Antik Bintari, 3 Hery wibowo

1,3
Departemen Kesejahteraan Sosial Fisip Unpad
2
Departemen Ilmu Pemerintahan Fisip Unpad

1
titinamaku2012@gmail.com, 2 antik.bintari@unpad.ac.id, 3
hery.wibowo@unpad.ac.id

ABSTRAK

Artikel ini mendeskripsikan pengalaman dan pengetahuan mahasiswa mengenai


pelecehan seksual dan menguji asosiasi faktor-faktor demografis, program studi, dan sikap
terhadap peran gender dengan pemahaman mengenai pelecehan seksual di kalangan
mahasiswa perguruan tinggi. Responden dalam penelitian ini adalah 133 mahasiswa laki-
laki dan perempuan dengan usia rata-rata 19,6 tahun yang sedang menempuh pendidikan
sarjana bidang ilmu kesejahteraan sosial dan ilmu politik pada sebuah perguruan tinggi
negeri di Jawa Barat yang terpilih secara non-random. Pengumpulan data dilakukan
menggunakan survey dan analisa data dilakukan dengan menggunakan uji statistic
multivariate analysis. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan mahasiswa
mengenai pelecehan seksual relatif baik meskipun perlu ditingkatkan. Mayoritas responden
pernah mengalami paling sedikit satu bentuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh pihak
yang dikenal maupun pihak yang tidak dikenal. Bentuk pelecehan seksual yang umumnya
dilaporkan adalah perhatian seksual yang tidak diinginkan dan pelecehan gender.
Penelitian menemukan jenis kelamin, usia, pengalaman pelecehan seksual dan sikap
mengenai peran gender merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi pemahaman
mengenai pelecehan seksual. Pengetahuan mengenai pelecehan seksual yang relative lebih

46
baik dilaporkan oleh mahasiswa perempuan, pernah mengalami sedikitnya satu bentuk
pelecehan seksual, berusia 21 tahun atau lebih dan mendukung kesetaraan peran jender.
Diskusi diarahkan pada implikasi temuan terhadap pendidikan perguruan tinggi untuk
meningkatkan kesadaran mahasiswa mengenai pelecehan seksual.

Kata kunci : kekerasan seksual, perguruan tinggi, pelecehan seksual, pengetahuan dan
pengalaman mahasiswa, Indonesia.

ABSTRACT

This article described the experiences and knowledge of Indonesian undergraduate


students about sexual harassment and examined the influences the factors of
demographics, study program and individual attitudes toward gender roles on
students’ knowledge of sexual harassment. Respondents were 133 male and female
students with average age of 19.6 years who were studying at social welfare and
political majors at a public university in West Java and were non-randomly selected.
Data were collected through a paper-based survey and were analysed statistically
using multivariate analysis. Overall, the level of students’ knowledge was relatively
good but still needed an improvement. The majority of respondents reported ever
experienced at least one sexual harassment in their life either perpetrated by
someone they knew and or stranger. Unwanted sexual attention and gender
harassments were the two mostly reported forms of sexual harassment. The study
found that gender, age, sexual harassment experience and attitudes toward gender
roles were significant predictors toward the students’ knowledge on sexual
harassment. Students who were females, ever experienced at least one
form of sexual harassment, aged 21 years or above and supported gender equality
were likely to report a better knowledge about sexual harassment than their
counterparts. Findings were discussed within the role of higher education institution
in improving students’ awareness of sexual harassment.
Key words : sexual violence, university, sexual harassment, university students’
knowledge and experiences Indonesia.

PENDAHULUAN
Organisasi Kesehatan Dunia menegaskan bahwa pelecehan seksual (sexual
harassment) merupakan salah satu bentuk kekerasan seksual yang menjadi
masalah global (2011). Secara umum pelecehan seksual merujuk pada perilaku yang
ditandai dengan komentar-komentar seksual yang tidak diinginkan dan tidak pantas
atau pendekatan- pendekatan fisik berorientasi seksual yang dilakukan di
tempat/situasi kerja, profesional atau sosial lainnya. Gelfand, Fitzgerald, & Drasgow

47
(1995) mengkonseptualisasikan pelecehan seksual sebagai tindakan berkonotasi
seksual yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang
terhadap orang yang terdiri atas tiga dimensi yaitu pelecehan gender (gender
harassment), perhatian seksual yang tidak diinginkan (unwanted sexual attention)
dan pemaksaan seksual (sexual coercion).
Masing -masing dimensi pelecehan seksual yang digagas Gelfand dkk. (1995)
memiliki berbagai elemen perilaku verbal dan non-verbal. Pelecehan gender
merupakan perilaku yang merendahkan perempuan secara seksual di tingkat
kelompok seperti membuat gurauan atau komentar tentang perempuan sebagai
objek seks atau memamerkan/mendistribusikan gambar perempuan sebagai
objek seks, ucapan atau bahasa tubuh yang secara seksual mengejek tampilan,
bentuk tubuh atau pakaian seseorang, atau mempertontonkan atau menyebarkan
pornografi. Perhatian seksual yang tidak diinginkan meliputi perilaku merendahkan
perempuan dengan menjadikannya sebagai objek seksual seperti upaya berulang-
ulang dan pemaksaan untuk membangun hubungan romantis, menyentuh bagian
tubuh yang tidak diinginkan, mengirim email cabul atau bernuansa seksual atau
mengajukan pertanyaan tentang kehidupan seksual seseorang. Sedangkan
pemaksaan seksual umumnya berbentuk suap atau ancaman secara eksplisit atau
implisit untuk memfasilitasi terjadinya tindakan seksual (misal pemaksaan tindakan
seksual dengan imbalan yang berhubungan dengan pekerjaan atau pendidikan
korban).
Pelecahan seksual dapat terjadi di wilayah publik seperti pertokoan, jalan, atau
transportasi umum oleh pelaku yang tidak dikenal korban (stranger sexual
harassment) maupun di wilayah di mana korban biasa beraktivitas seperti tempat
kerja, kantor, kampus, lingkungan rumah atau sekolah oleh pelaku yang dikenal
baik oleh korban (Fairchild & Rudman, 2008; Pina, Gannon, & Saunders, 2008).
Pelecehan seksual dapat dialami oleh laki-laki maupun perempuan walaupun
berbagai penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku adalah laki-laki dan
korban adalah perempuan (Lonsway, Cartona, & Magley, 2007; Pina dkk., 2008;
WHO, 2012). Penelitian di berbagai negara menunjukkan pelecehan seksual
umumnya terjadi di wilayah-wilayah yang dipandang ‘aman’ seperti sekolah,
kampus/universitas, asrama mahasiswa, dan tempat kerja yang dilakukan oleh
orang-orang yang dikenal korban seperti teman, rekan kerja, guru/ dosen, atau
pimpinan kerja dan sebagian di wilayah publik (WHO, 2012).
Mengutip berbagai hasil penelitian di berbagai belahan dunia, United Nations
Development Fund for Women (UNIFEM) menjelaskan tingginya prevalensi pelecehan
seksual yang terjadi pada lingkungan sosial yang dikenal baik korban maupun di
wilayah public sehingga memerlukan penanganan serius. Misalnya, 40-50%
perempuan yang di wilayah Uni Eropa dan 30- 40 persen perempuan bekerja di
Jepang, Malaysia, Filipina dan Korea Selatan melaporkan pernah mengalami
berbagai bentuk pelecahan seksual di tempat kerja. Di Amerika Serikat, lebih dari

48
80% remaja perempuan berusia 12-16 tahun mengaku pernah mengalami pelecehan
seksual di sekolah umum Sementara itu, survey di Montreal Canada menemukan
hampir 60% perempuan merasa takut berjalan sendiri di malam hari karena
kekhawatiran mengamali pelecehan seksual di jalan.
Di Indonesia, pelecehan seksual merupakan suatu fakta sosial yang banyak
terjadi di masyarakat namun jarang dilaporkan ke pihak berwenang. Pada tahun
2016 Lentera Sintas Indonesia; sebuah lembaga non- pemerintah yang memberikan
layanan pendampingan bagi penyintas korban kekerasan seksual, bekerjasama
dengan wadah petisi online Change.com dan media perempuan melakukan survei
mengenai kesadaran dan pengalaman masyarakat di berbagai kabupaten dan kota
terkait kekerasan seksual. Dari survei dengan responden sebanyak 25.213 laki-laki
dan perempuan tersebut ditemukan bahwa 58% responden melaporkan pernah
mengalami pelecehan seksual verbal, 25% pernah mengalami pelecehan seksual
berupa tindakan fisik yang tidak diinginkan seperti dsentuh, dipijat, diremas, dipeluk
atau dicium dan lebih dari 20% melaporkan pernah dipaksa melihat atau
menyaksikan konten pornografi, melihat alat kelamin seseorang atau menyaksikan
aktivitas seksual. Sebanyak 6% responden mengaku mengalami tindak perkosaan
(Priherdityo, 2016).
Pemberitaan di media massa tentang pelecehan seksual oleh dosen terhadap
mahasiswa di beberapa universitas di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Barat
akhir-akhir ini semakin menyadarkan masyarakat mengenai rawannya kampus
sebagai lokus kekerasan terhadap mahasiswa, khususnya perempuan (The Jakarta
Post, 2019; BBC News, 2019). Hasil survey tahun 2018 yang dilakukan oleh Lentera
Sintas Indonesia bekerja sama dengan organisasi pro-perlindungan perempuan
terhadap 470 responden perempuan di berbagai lokasi di Jakarta menemukan
bahwa hampir 36 persen perempuan melaporkan pernah mengalami pelecehan
seksual dalam transportasi umum konvensional dan hampir 10% mengalami
pelecehan seksual ketika menggunakan moda transportasi online. Masing-masing
Sepertiga dan seperenam responden melaporkan mengalami pelecehan seksual
dalam tatapan melecehkan secara
seksual dan rabaan di wilayah tubuh. Semantara itu pelecehan seksual dalam
bentuk perilaku eksibisionis, pelaku menggesekkan tubuh ke korban, dan pelaku
melakukan masturbasi di depan korban dilaporkan oleh masing-masing 11%, 6% dan
2 % responden. Meskipun demikian, Komnas Perempuan mengakui bahwa jumlah
kasus pelecehan seksual di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini kemungkinan
besar karena alasan korban tidak menyadari bahwa ia telah menjadi korban
kekerasan seksual, ketidakberanian melaporkan karena kekhawatiran dampak
negatif yang tidak diinginkan atau belum efektifnya sistem perlindungan terhadap
korban kekerasan seksual.
Menurut Fairchild & Rudman (2008), penyebab pelecehan seksual dijelaskan
oleh 4 (empat) teori yang berbeda. Pendekatan biologis/alami (natural/biological

49
model) memandang bahwa pelecehan seksual bukan merupakan perbuatan
melecehkan yang bersifat seksis sehingga tidak menimbulkan dampak negatif.
Pelecehan seksual lebih disebabkan disebabkan oleh keterkaitan alamiah antara
perempuan dan laki-laki. Model organisasi (organizational model) berpendapat
bahwa pelecahan seksual difasilitasi oleh relasi kuasa dalam sebuah struktur
hirarki. Pihak yang memiliki kewenangan dipandang memiliki peluang untuk
menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan kepuasan seksualnya dengan
melakukan pelecehan seksual dengan bawahannya (subordinate). Selanjutnya
pendekatan sosial budaya (socio cultural model) berpendapat bahwa pelecehan
seksual merupakan mekanisme untuk mempertahankan dominasi kaum laki-laki
atas perempuan baik secara ekonomi maupun pekerjaan. Pelecehan seksual dapat
mempertahankan dominasi perempuan dengan cara menghambat atau
membatasi pengembangan potensi/kemampuan perempuan atau mengintimidasi
mereka untuk keluar dari pekerjaan. Sementara itu sex role spillover model
memandang bahwa pelecehan seksual sangat mungkin terjadi di lingkungan baik
ketika perempuan menjadi kelompok minoritas (misal: bekerja di tempat yang
didominasi laki-laki) maupun ketika perempuan menjadi kelompok mayoritas
(misal: bekerja di tempat yang didominasi perempuan).
Berbagai penelitian menegaskan pelecehan seksual menimbulkan dampak
negatif terhadap kondisi psikologis dan sosial korban serta pihak lain yang
menyaksikan kejadian tersebut. Taiwo, Omale, & Omale (2014) mendiskusikan
dampak negatif pelecehan seksual terhadap masalah-masalah kesehatan psikis, fisik
dan gangguan perilaku yang dialami korban. Pelecehan seksual terhadap mahasiswa
di lembaga pendidikan misalnya dapat menghambat atau mengancam pencapaian
atau prestasi akademik korban, menyebabkan korban drop-out serta
mendeskreditkan posisi lembaga pendidikan. Efek yang lebih jauh adalah
terhambatnya pembangunan sumber daya manusia berkualitas karena pelecehan
seksual di tempat kerja atau di sekolah menyebabkan korban terpaksa melayani
permintaan atau pendekatan seksual, misalnya dari guru atau pimpinan kerja untuk
kepentingan studi atau pekerjaan mereka. Sementara itu O’Hare dan O’Donohue
(1998) menyorot konsekuensi negatif yang berhubungan dengan pekerjaan seperti
korban terpaksa kehilangan pekerjaan atau mengundurkan diri sehingga
dimungkinkan akan merusak pengembangan karir dan masa depan korban karena
menghindari lingkungan kerja yang tidak diinginkan. Selanjutnya, Fairchild & Rudman
(2008) menyatakan bahwa pelecehan seksual menimbulkan korban merasa tidak
nyaman, ketakutan, kecemasan, terintimidasi, malu, trauma atau menyalahkan diri
sendiri. Akibat yang lebih serius adalah sexual objectification di mana korban
mengalami body shame dan secara kronis sangat berlebihan dalam menilai
penampilan fisiknya serta perasaan ketakutan akan menjadi korban perkosaan dan
pembatasan kebebasan beraktivitas sehingga dapat menghambat berbagai peran
dalam kehidupan sosialnya.

50
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengetahuan mahasiswa
perguruan tinggi mengenai pelecehan seksual, mendeskripsikan pengalaman
pelecehan seksual di kalangan mahasiswa perguruan tinggi, dan menguji asosiasi
faktor-faktor demografis, pengalaman kekerasan seksual dan sikap terhadap peran
jender terhadap pengetahuan mahasiswa mengenai pelecehan seksual. Penelitian
ini merupakan studi awal di kalangan mahasiswa yang diharapkan dapat
mempersempit kesenjangan pengetahuan mengenai pelecehan seksual mengingat
terbatasnya kajian atas permasalahan tersebut dalam konteks mahasiswa
perguruan tinggi di Indonesia. Kajian literatur menemukan sebuah penelitian
tentang pelecehan seksual di Indonesia menggali pengalaman perempuan yang
bekerja (Kurnianingsih, 2003). Sementara berbagai penelitian tentang pelecehan
seksual telah banyak dilakukan di berbagai negara termasuk Amerika Serikat dan
Inggris (Telljohann, Price, Summers, Everett, & Casler, 1995; Fairchild & Rudman,
2008; O’Hare & O’Donohue, 1998) atau beberapa negara non- Barat lainnya seperti
India (Gurung, Priyadarshin, & Margaret, 2016), Korea Selatan (Lee, Kim & Choi,
2013) dan Nigeria (Taiwo, Omole, & Omole, 2014). Temuan penelitian diharapkan
dapat memberikan informasi yang relevan bagi perguruan tinggi untuk
meningkatkan perannya dalam pencegahan dan penanganan pelecehan seksual di
wilayah kampus.

METODE

Sampel studi kuantitatif ini adalah mahasiswa laki-laki dan perempuan yang
sedang menempuh studi sarjana pada dua program studi yaitu ilmu kesejahteraan
sosial dan ilmu politik pada sebuah perguruan tinggi negeri di wilayah Jawa Barat.
Pemilihan sampel dilakukan secara non-random dengan menggunakan teknik
convenience sampling. Peneliti berkoordinasi dengan para dosen mata kuliah dan
kemudian mendatangi para mahasiswa di kelas, menjelaskan tujuan studi, dan
mengundang mereka untuk berpartisipasi dalam penelitian. Informed consent
diberikan kepada para calon responden untuk menegaskan bahwa keterlibatan
mereka dalam penelitian bersifat sukarela dan perlindungan kerahasiaan atas
informasi yang diberikan dijamin oleh para peneliti. Responden mengisi kuesioner
(paper- based) di dalam kelas dan mengembalikannya kepada pengumpul data
pada hari yang sama. Pengumpulan data dilakukan pada pertengahan tahun 2018
Variabel-variabel yang digali dan dianalisa dalam penelitian ini mencakup variabel
sosial-demografis seperti jenis seksual menggunakan Skala Pengetahuan tentang
Pelecehan Seksual (SPPS) yang secara khusus didesain tim peneliti untuk tujuan
penelitian mengingat belum adanya instrumen yang terstandar untuk menggali
pengetahuan mengenai pelecean seksual. Skala tersebut didesain dengan merujuk

51
referensi konseptual tentang pelecehan seksual berdasarkan penelitian yang ada.
Skala tersebut terdiri atas 12 item yang mewakili bentuk- bentuk pelecehan seksual
(misal: sentuhan yang tidak diinginkan, komentar bernada seksual yang membuat
tidak nyaman). Jawaban yang benar diberi skor 1 dan jawaban salah diberi skor 0
sehingga total skor pengetahuan berada dalam rentang 0-12. Semakin tinggi skor
berarti semakin baik tingkat pengetahuan mengenai pelecehan seksual. Cronbach
alpha untuk SPSS adalah 0.76 menunjukkan tingkat realibilitas intrumen yang
dikategorikan baik.
Variabel lainnya adalah pengalaman pelecehan seksual menggunakan Skala
Pengalaman Pelecehan Seksual (SPPS). Skala Pengalaman Pelecehan Seksual
menggali pengalaman responden dengan menanyakan apakah mereka pernah
mengalami minimal satu dari (duabelas) bentuk-bentuk pelecehan seksual yang
dideskripsikan pada Skala Pengetahuan tentang Pelecehan Seksual baik yang
dilakukan oleh seseorang yang mereka kenal baik dan oleh seseorang yang tidak
dikenal/asing. Sementara itu variabel sikap terhadap peran jender digali dengan
menggunakan Attitudes Toward Women Scale (AWS) short version yang terdiri atas
25 item untuk menggali sejauh mana dukungan atau penolakan individu terhadap
kesetaraan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial dan keluarga
menggunakan skala Likert 4 poin (0=tidak setuju, 1=agak tidak setuju, 2=agak setuju ,
3=setuju). Total skor total berada dalam rentang 0-75 di mana semakin tinggi skor
berarti semakin mendukung kesetaraan jender dan sebaliknya skor yang semakin
rendah menunjukkan ketidaksetujuan terhadap kesetaraan peran laki-laki dan
perempuan (Spence, Helmerich, & Stapp, 1973). Skor uji realibilitas AWS adalah 0.78
yang berarti sangat baik. kelamin, tahun masuk kuliah, usia, dan program studi.
Penelitian juga mengukur pengetahuan mengenai pelecehan
Data penelitian diolah dan dianalisa menggunakan SPSS software versi 22.
Analisa data univariate dan bivariate dilakukan untuk melakukan analisa deskriptif
terkait distribusi variabel-variabel yang digali. Simple multiregressions diterapkan
untuk menguji asosiasi variabel-variabel bebas seperti karakteristik demografis,
pengalaman pelecehan seksual dan keyakinan terhadap peran jender dalam
kehidupan masyarakat dengan variabel terikat (pengetahuan mengenai pelecehan
seksual). Analisa multi regresi dapat menunjukkan asosiasi satu variabel bebas
terhadap variabel terikat dengan mengonrol pengaruh variabel bebas lainnya.
Peneliti melakukan pre-regression analysis dan untuk menguji terpenuhinya
asumsi-asumsi linearitas sebagai prasyarat untuk melakukan multi- regresi
(Tabachnick & Fidell, 2013). Dalam analisa data, jenis kelamin, program studi, usia,
dan pengalaman pelecehan seksual diperlakukan sebagai variabel kategorikal.
Dalam analisa jenis kelamin dikategorikan atas 1=perempuan dan 0 =laki-laki;
program studi dikategorikan atas 1=ilmu sosial dan 0=ilmu politik; kelompok usia
dikategorikan atas 1
=usia 21 tahun dan di atas 21 tahun dan 0=usia 20 tahun dan di bawahnya serta

52
pengalaman pelecehan seksual dikategorikan atas 1=pernah mengalami minimal
satu kali pelecehan seksual dan 0=tidak pernah mengalami pelecehan seksual.
Sementara itu sikap terhadap peran jender dan pengetahuan mengenai pelecehan
seksual diperlakukan sebagai variabel continuous.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Responden dalam penelitian ini adalah 133 mahasiswa yang terdiri dari 38%
laki-laki dan 62% perempuan. Responden adalah mahasiswa tahun kedua dan
ketiga pada program ilmu sosial dan ilmu politik yang berusia 18-22 tahun dengan
rata-rata usia 19,6 tahun (SD=2.6). Sebanyak 52% responden berasal dari program
studi ilmu sosial dan 48% dari program studi ilmu politik. Rata-rata mahasiswa
mencapai skor 10 untuk pengetahuan mengenai pelecehan seksual (SD=2.0) yang
dikategorikan dalam rentang menengah ke atas (baik).
Terdapat 5 (lima) bentuk perilaku pelecehan seksual yang umumnya
diidentifikasi dengan tepat oleh responden mahasiswa sebagai pelecehan seksual
yaitu upaya terus menerus memaksa seseorang membangun hubungan
romantik/seksual (97%), mengirimi seseorang surat, pesan, atau gambar bersifat
seksual yang tidak dikehendaki secara manual maupun elektronik (94,7%), menyuap
bawahan (karyawan, murid) agar mau melakukan aktivitas seksual dengan imbalan
yang berhubungan dengan pekerjaan atau studi (94,7%), mengelus atau meremas
bagian tubuh seseorang (pantat, payudara, perut) tanpa ijin (93, 2%) serta
mengarahkan pembicaraan cabul/bernuansa seksual yang tidak diinginkan kepada
seseorang atau sekelompok orang
(93,2%). Sementara itu terdapat 5 (lima) bentuk perilaku yang kurang
dipahami oleh mahasiswa sebagai pelecehan seksual yaitu: bergurau dengan
menggunakan istilah-istilah seksis yang membuat tidak nyaman (36%), memaksa
seseorang menonton tayangan pornografi (21%), memberi komentar terhadap
seseorang dengan istilah seksual yang merendahkan (19,5%), melakukan masturbasi
di hadapan orang lain (17,3%), dan tatapan tidak diinginkan ke wilayah kelamin
(selangkangan) pria (15,3%). Dengan kata lain, mayoritas mahasiswa umumnya tidak
memahami ke-5 bentuk perilaku tersebut sebagai tindakan pelecehan seksual.
Deskripsi pengetahuan mahasiswa mengenai pelecehan seksual digambarkan dalam
tabel 1 di bawah ini.

53
54
Terkait dengan pengalaman pelecehan seksual, mayoritas responden
dalam penelitian ini melaporkan pernah mengalami tindak pelecehan seksual.
Sebanyak 60% mahasiswa melaporkan pernah mengalami sedikitnya satu
bentuk pelecehan seksual yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang yang tidak dikenal/asing dan sebanyak 65% melaporkan pernah
mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh seseorang yang dikenal
dengan baik. Ini berarti pengalaman pelecehan seksual oleh pihak yang
dikenal baik oleh korban agak lebih tinggi dibandingkan pengalaman
pelecehan seksual oleh orang asing. Cross-tab analysis menunjukkan tidak
ada perbedaan yang signifikan antara mahasiswa laki-laki dan perempuan
dalam pengalaman pelecehan seksual. Artinya, dalam penelitian pengalaman
pelecehan seksual tidak terkonsentrasi pada kelompok jenis kelamin tertentu
karena baik responden laki-laki maupun perempuan pernah mengalami
pelecehan seksual.
Bentuk-bentuk pelecehan seksual yang pernah dialami oleh responden
mahasiswa, baik yang pelakunya orang asing maupun yang pelakunya
merupakan seseorang yang dikenal baik oleh korban digambarkan dalam
tabel 2 di bawah ini. Bentuk pelecehan seksual oleh orang asing yang paling
banyak dilaporkan adalah menerima tatapan yang tidak diinginkan di wilayah
payudara (27, 8%), dilibatkan atau diarahkan dalam pembicaraan seksual
yang tidak diinginkan (21,5%), mendapatkan komentar dengan istilah seksual
yang merendahkan (11,4%), menerima sentuhan yang tidak diinginkan di
wilayah tubuh tertentu (7,6%) dan menerima simbol atau panggilan ajakan
melakukan hubungan seks yang tidak diinginkan (6,3%). Sementara itu,
bentuk pelecehan seksual oleh pihak yang dikenal yang paling banyak
dilaporkan adalah mendapatkan tatapan yang tidak diinginkan di wilayah
payudara (19,3%), menerima sentuhan yang tidak dinginkan di bagian tubuh
tertentu (13,6%), dilibatkan atau diarahkan dalam pembicaraan seksual yang
tidak diinginkan
(12,4) dan menerima komentar yang menghina atau merendahkan secara
seksual (7,9%).
Data di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan maupun
persamaan mendasar terkait bentuk-bentuk pelecahan seksual yang
dilakukan oleh pelaku yang dikenal maupun tidak dikenal korban. Artinya
korban melaporkan berbagai bentuk pelecehan seksual yang sama baik
dilakukan baik oleh pihak yang dikenal maupun tidak dikenal, khususnya
pelibatan korban dalam pembicaraan gurauan seksual yang bernuansa
seksis yang tidak diinginkan, tatapan yang tidak diinginkan ke wilayah
payudara, dan sentuhan yang tidak diinginkan di wilayah privat. Sementara
itu, bentuk pemaksaan hubungan seksual serta hubungan romantis yang
tidak diinginkan hanya terjadi dalam interaksi korban dengan pihak yang

55
dikenal.
Analisa multi regression menemukan beberapa faktor signifikan yang
mempengaruhi pengetahuan mahasiswa mengenai pelecehan seksual yaitu
jenis kelamin, pengalaman pelecehan seksual, kelompok usia dan sikap
terhadap peran jender. Tingkat pengetahuan responden mahasiswa
perempuan tentang pelecehan seksual secara signifikan lebih baik
dibandingkan responden mahasiswa laki-laki (beta=.366, p<.001).
Selanjutnya responden yang pernah mengalami pelecehan seksual
melaporkan tingkat pengetahuan yang secara signifikan lebih baik
dibandingkan responden yang tidak pernah mengalami pelecehan seksual
(beta=.226, p<.001). Semakin tinggi dukungan mahasiswa terhadap
kesetaraan peran laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga dan
masyarakat, semakin baik pengetahuan mereka mengenai pelecehan
seksual dibandingkan responden yang kurang mendukung kesetaraan
gender (beta=.173, p<.050). Selanjutnya, mahasiswa yang berusia minimal 21
tahun memiliki pengetahuan yang secara signifikan lebih tinggi mengenai
pelecehan seksual dibandingkan mahasiswa berusia 20 tahun atau di
bawahnya (beta=.167, p<.050). Sementara itu program studi tidak menjadi

56
prediktor yang signifikan. Dengan kata lain tidak terdapat perbedaan tingkat
pengetahuan antara mahasiswa yang menempuh studi pada program ilmu
kesejahteraan sosial dan ilmu politik. R- square uji regresi menunjukkan
bahwa lebih dari 35% variance mengenai pengetahuan tentang pelecehan
seksual dijelaskan oleh seluruh variabel independen yang diuji dalam
penelitian ini.
Pengetahuan mahasiswa mengenai pelecehan seksual dalam
penelitian ini termasuk dalam range cukup tinggi (baik). Hal ini ditunjukkan
oleh kemampuan mahasiswa dalam mengidentifikasi mayoritas bentuk-
bentuk perilaku verbal dan non-verbal yang tergolong pelecehan seksual.
Namun demikian beberapa bentuk pelecehan seksual belum dipahami oleh
sebagian mahasiswa sebagai tindak pelecehan seksual, termasuk tayangan
menyaksikan pornografi, memberikan komentar seksual yang tidak
diinginkan, atau melakukan masturbasi di hadapan orang lain. Hal ini
menunjukkan bahwa pengetahuan mahasiswa masih perlu ditingkatkan agar
kesadaran mereka terhadap pelecehan seksual semakin meningkat dan
diharapkan dapat berimplikasi pada pencegahan pelecehan seksual terhadap
diri sendiri maupun pihak lain.
Untuk itu, lembaga pendidikan perlu melaksanakan berbagai strategi
termasuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam kelas maupun diskusi,
kampanye atau seminar mengenai pelecehan seksual di wilayah kampus.
Pemahaman dan kesadaran yang baik terhadap pelecehan seksual
merupakan langkah yang penting yang dapat memfasilitasi pencegahan
pelecehan seksual di tempat kerja, kampus, area publik dan sebagainya.
Sebaliknya, ketidakmampuan mengidentifikasi pelecehan seksual yang
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan kesadaran dapat menghambat
seseorang untuk melakukan respon yang tepat dalam mencegah pelecahan
seksual, termasuk melaporkan masalah tersebut agar mendapat perhatian
dan penanggulangan yang tepat. Lonsway dll. (2007) menggarisbawahi
bahwa rendahnya tindak pelaporan atas pelecahan seksual salah satunya
disebabkan oleh ketidaktahuan korban bahwa mereka pada dasarnya telah
mengalami pelecehan seksual. Edukasi mengenai kekerasan seksual akan
memberi peluang kepada mahasiswa untuk mempelajari informasi yang
akurat mengenai fakta pelecehan seksual sehingga mereka akan cenderung
untuk menentang mitos-mitos yang tidak berdasar mengenai pelecehan
seksual. Pembiaran terhadap perilaku-perilaku yang merendahkan dan tidak
diinginkan tersebut akan menyebabkan pelecehan seksual dipandang sebagai
sesuatu yang normal di kalangan masyarakat.
Mayoritas mahasiswa dalam penelitian ini pernah mengalami
sedikitnya satu bentuk pelecehan seksual, baik yang dilakukan oleh pelaku
yang dikenal baik maupun asing. Bentuk pelecehan yang paling umum berupa
pelecehan gender (gender harassment) dan perhatian seksual yang tidak
57
diinginkan (unwanted sexual attention) yang sejalan dengan temuan-temuan
penelitian sebelumnya (Gelfand dkk., 1995; Pina dkk., 2008; Fairchild &
Rudman, 2008). Namun demikian penelitian menemukan sekitar 5% dari
responden pernah mengalami pemaksaan seksual (sexual coercion) yaitu
mendapat rayuan atau pemaksaan untuk melakukan aktivitas seksual
dengan imbalan terkait pekerjaan atau studi mereka. Kondisi ini sangat
memprihatinkan karena terdapat kemungkinan tindakan pelecehan seksual
berupa pemaksaan seksual tersebut terjadi di lingkungan akademik.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengases bentuk dan pengalaman
pelecehan berupa pemaksaan seksual atau bentuk-bentuk pelecehan seksual
lainnya yang terjadi di lingkungan kampus untuk memberikan informasi yang
lebih akurat bagi lembaga pendidikan dalam melakukan pencegahan dan
penanganannya.
Faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi pengetahuan
mahasiswa terhadap pelecehan seksual yang ditemukan dalam penelitian ini
konsisten dengan temuan berbagai penelitian sebelumnya. Sejalan dengan
hasil penelitian Telljohann dkk. (1995) di Amerika Serikat dan Lee dkk. di
Korea Selatan (2013), penelitian ini menemukan bahwa perempuan
cenderung memiliki pemahaman yang lebih baik tentang pelecehan seksual
dibandingkan laki-laki. Kemungkinan besar hal ini karena perempuan lebih
banyak menyerap dan peduli atas informasi yang berhubungan dengan
kepentingannya sebagai perempuan mengingat fakta perempuan umumnya
lebih sering menjadi korban pelecehan seksual dibandingkan laki-laki.
Dengan demikian meskipun penelitian ini menunjukkan bahwa pelecehan
seksual dialami baik oleh responden laki-laki maupun perempuan,
perempuan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki untuk mendefinisikan perilaku-
perilaku seksual yang tidak diinginkan sebagai pelecehan. Hal ini berimplikasi
pada pentingnya upaya memfokuskan peningkatan pengetahuan mengenai
pelecehan seksual di kalangan mahasiswa laki-laki mengingat pemahaman
mereka yang relatif lebih rendah dibandingkan mahasiswa perempuan.
Penelitian ini juga mengkonfirmasi hasil penelitian Telljohann dkk. (1995) dan
Lee dkk. (2013) terkait asosiasi positif antara usia dengan kesadaran atau
pemahaman mengenai bentuk pelecehan seksual di mana semakin tinggi usia
maka semakin baik pemahaman mengenai pelecehan seksual. Asosiasi
antara usia dan pemahaman mengenai pelecehan seksual mungkin difasilitasi
oleh pengalaman di mana semakin tinggi usia maka seseorang semakin
banyak terpapar informasi dan pengetahuan mengenai perilaku kekerasan
baik dalam aktivitas di luar dan dalam kelas sehingga lebih memperluas
pemahaman mereka dibandingkan dengan mahasiswa yang berusia lebih
muda. Ini berarti, upaya peningkatan pengetahuan mahasiswa perlu

58
melibatkan mahasiswa dari berbagai kelompok usia agar tidak terjadi
kesenjangan pemahaman mengenai pelechan seksual di antara para
mahasiswa dalam kelompok usia yang berbeda mengingat bahwa pelecehan
seksual dapat terjadi di berbagai kalangan usia.
Penjelasan asosiasi antara pengetahuan mengenai pelecehan seksual
dan pengalaman pelecehan seksual masih sangat terbatas mengingat
penelitian tentang kedua aspek ini sangat jarang. Namun demikian, hubungan
ini mungkin dapat dijelaskan dengan memperlakukan pengalaman sebagai
mekanisme untuk memunculkan kesadaran kritis seseorang. Menjadi korban
kekerasan seksual membuka peluang seseorang menjadi lebih sensitif dan
tidak toleran dalam menilai perilaku pelecehan yang tidak diinginkan. Ini
berarti bahwa pemberdayaan korban pelecehan seksual perlu dilakukan,
termasuk dengan melibatkan mereka sebagai narasumber kegiatan edukasi
mahasiswa mengenai pelecehan seksual dan pencegahannya. Pelibatan
korban sebagai narasumber memberikan peluang yang lebih besar untuk
membangun pemahaman pada kelompok yang tidak menjadi korban (bukan
korban) tentang memahami pelecehan seksual dan dampak negatifnya
terhadap korban sehingga dapat memunculkan kesadaran untuk
mencegahnya.
Penjelasan mengenai hubungan positif antara dukungan terhadap
kesetaraan gender dan pengetahuan mengenai pelecehan seksual juga
sangat terbatas karena minimnya pembahasan mengenai faktor tersebut
dalam penelitian sebelumnya. Namun demikian temuan beberapa penelitian
lain dapat digunakan sebagai basis untuk menjelaskan keterkaitan kedua
variabel tersebut. Misalnya, penelitian Lonsway dkk. (2007) menemukan
bahwa laki-laki dan perempuan yang mendukung ketidaksetaraan gender
umumnya lebih cenderung mendukung mitos-mitos yang tidak berdasar
mengenai pelecehan seksual dibandingkan dengan mereka yang pro pada
kesetaraan gender. Penelitian oleh Rusyidi, Wulandari, Jahidin dan Darwis
(2017) juga menemukan bahwa mahasiswa yang mendukung kesetaraan
jender lebih cenderung mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan
dalam spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan mahasiswa yang
meyakini peran gender tradisional. Lembaga perguruan tinggi perlu
meningkatkan perannya dalam memperkuat sikap pro-kesetaraan gender di
kalangan mahasiswa mengingat potensinya dalam meningkatkan
pemahaman dan kepedulian terhadap kekerasan seksual berbasis gender di
kalangan mahasiswa dan civitas akademika lainnya.
Tidak terdapat perbedaan antara mahasiswa ilmu kesejahteraan
sosial dan ilmu politik terkait pemahaman mengenai pelecehan seksual.
Temuan ini sesuai ekpektasi peneliti sejak awal karena pengetahuan yang
memadai mengenai pelecehan seksual perlu tersebar merata di kalangan
mahasiswa. Namun demikian penelitian di masa yang akan datang perlu
59
melibatkan mahasiswa dari program- program studi yang lebih luas,
khususnya yang berada di luar rumpun ilmu sosial dan politik.
Penelitian ini telah menghasilkan informasi dan temuan awal terkait
pengalaman dan pengetahuan mengenai pelecehan seksual di kalangan
mahasiswa di Indonesia dan mengkonfirmasi berbagai hasil penelitian yang
sebelumnya telah dilakukan di berbagai wilayah yang berbeda. Namun
demikian terdapat beberapa keterbatasan penelitian yang perlu
disempurnakan untuk penelitian selanjutnya. Teknik non-random sampling
yang diterapkan membatasi generalisasi hasil penelitian terhadap
mahasiswa perguruan tinggi pada umumnya. Selain itu, penelitian ini
dilakukan di sebuah perguruan tinggi yang berada di wilayah perkotaan
dengan melibatkan mahasiswa dari program studi yang terbatas. Di masa
mendatang penelitian dengan teknik random sampling yang menyasar
perguruan tinggi dari berbagai wilayah geografis yang berbeda serta
melibatkan mahasiswa dari beragam program studi perlu dipertimbangkan.
Selain itu, penelitian di masa mendatang perlu menggali lebih mendalam
pengalaman pelecehan seksual yang khusus dialami mahasiswa serta
mengakses bentuk respon maupun coping terhadap pelecehan seksual yang
dialami dengan menggunakan instrumen-instrumen terstandar yang telah
ada sehingga dapat memberikan informasi kepada pengelola pendidikan
tinggi, termasuk program studi ilmu kesejahteraan sosial untuk merancang
upaya pencegahan dan penanganan yang lebih efektif. Penelitian di masa
mendatang juga perlu menguji variabel-variabel bebas lainnya yang
dipandang memiliki pengaruh terhadap pemahaman mengenai pelecehan
seksual seperti pengalaman mengikuti training tentang kekerasan seksual,
pengalaman mengenal korban pelecehan seksual, status sosial ekonomi, dan
sebagainya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pelecehan seksual merupakan permasalahan yang perlu mendapat


penanganan agar dapat menjamin terciptanya rasa aman bagi masyarakat,
termasuk lingkungan kampus pendidikan tinggi. Penelitian ini merupakan
salah satu penelitian pemula (pioneer) untuk menggali pengetahuan dan
pengalaman mahasiswa perguruan tinggi Indonesia mengenai
pelecehan seksual. Penelitian ini mengkonfirmasi bahwa pelecehan seksual
oleh pelaku asing umumnya merupakan perhatian seksual yang tidak
diinginkan dan pelecehan gender sementara pelecehan seksual oleh pelaku
yang dikenal mencakup seluruh bentuk pelecehan seksual termasuk

60
pemaksaan seksual. Hasil penelitian menegaskan peningkatan pemahaman
mengenai bentuk- bentuk pelecehan seksual merupakan langkah awal yang
penting dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi untuk membangun
kesadaran kritis civitas akademika untuk mengidentifikasi dan mencegah
pembiaran terhadap berbagai bentuk pelecehan seksual.
Temuan bahwa pelecehan seksual pernah dialami oleh sebagian
responden mahasiswa, termasuk bentuk pemaksaan hubungan
seksual yang kemungkinan terjadi di wilayah akademik perlu direspon dengan
tepat oleh lembaga pendidikan tinggi sehingga kampus benar-benar menjadi
lingkungan yang aman bagi mahasiswa. Faktor-faktor yang mempengaruhi
pemahaman mengenai pelecehan seksual yang ditemukan dalam penelitian
ini memperkuat temuan-temuan penelitian yang pernah dilakukan di
berbagai negara dan dapat dijadikan basis dalam merancang pencegahan
pelecehan seksual. Kampus harus dapat menjamin perlindungan keamanan
dan kenyamanan bagi civitas akademica sehingga perlu mengambil peran
yang lebih signifikan dalam pencegahan dan penanganan pelecehan seksual.
Hal ini dapat dilakukan dengan membangun kesadaran kritis para civitas
academica untuk mengidentifikasi dan n melaporkan pelecehan seksual yang
terjadi serta menerapkan aturan-aturan yang jelas dan tegas terhadap pelaku
pelecehan seksual di wilayah kampus dan mengikat seluruh civitas
academica.

UCAPAN TERIMAKASIH

Tim peneliti mengucaplan terimakasih kepada Universitas Padjadjaran yang


telah membiayai penelitian ini melalui skema Hibah Internal Universitas
Padjadjaran tahun 2018.

61
Sumber :

Jurnal Pengalaman dan pengetahuan tentang pelecehan seksual : Studi awal di


kalangan mahasiswa perguruan tinggi oleh binahayati rusyid, antic bintari, dan
hery Wibowo departemen kesejahteraan sosial Fisip UNPAD, Departemen ilmu
pemerintahan Fisip UNPAD.

62

Anda mungkin juga menyukai