Anda di halaman 1dari 10

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/335125536

Genetic diversity of Japanese quails (Coturnix japonica) based on complete


sequence of mitochondrial DNA Cytochrome-b gene

Article  in  Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan · August 2019


DOI: 10.21776/ub.jiip.2019.029.02.05

CITATIONS READS

0 291

4 authors, including:

Muhammad Rifki Rosari Dewanti

3 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   
Atma Jaya Catholic University of Indonesia
8 PUBLICATIONS   2 CITATIONS   
SEE PROFILE
SEE PROFILE

Muhammad Cahyadi
Universitas Sebelas Maret
59 PUBLICATIONS   89 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Developing "Puyuh Semar": a potential local genetic resources as a commercial layer breed View project

DESAIN PRIMER SPESIFIK DARI DNA MITOKONDRIA 12S rRNA UNTUK DETEKSI SPESIES YANG DILARANG DALAM ISLAM PADA PRODUK OLAHAN DAGING View project

All content following this page was uploaded by Muhammad Cahyadi on 12 August 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ISSN : 0852-3681 Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 29(2) : 143 – 151
E-ISSN : 2443-0765 Available online at http://jiip.ub.ac.id

Keragaman genetik puyuh Jepang (Coturnix japonica)


berdasarkan analisis sekuen DNA mitokondria gen Cytochrome-b
Genetic diversity of Japanese quails (Coturnix japonica) based on complete
sequence of mitochondrial DNA Cytochrome-b gene
Novisa Adimaka, Muhammad Rifki, Ratih Dewanti, dan Muhammad Cahyadi 
Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret
Surakarta (57126), Indonesia
Submitted: 28 Maret 2019, Accepted: 16 Juli 2019

ABSTRAK: Coturnix japonica merupakan puyuh Jepang yang banyak diternakkan di Indonesia
setelah mengalami proses domestikasi. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui keragaman
genetik puyuh Jepang (Coturnix japonica) berdasarkan analisis DNA mitokondria gen Cytochrome b.
Penelitian ini menggunakan 12 sampel darah puyuh yang berasal dari dua Village Breeding Center
(VBC) berbeda yang selanjutnya dilakukan isolasi DNA. DNA puyuh diisolasi dari whole blood
dengan mengikuti protokol Wizard® Genomic DNA Purification Kit (Promega, USA). Proses ampli-
fikasi DNA dalam penelitian ini menggunakan primer forward dan reverse primer yang didesain
menggunakan software Primer3. Hasil amplifikasi DNA disekuensing dan kemudian dianalisis
menggunakan software MEGA 6.0 dan DNAsp v.5. Sebanyak 21 sekuen digunakan terdiri dari 12
sekuen sampel puyuh dan 9 sekuen pembanding yang diperoleh melalui situs NCBI untuk analisis
pohon filogenetik dan untuk mengevaluasi keragaman genetik puyuh Jepang. Hasil analisis sekuen
menunjukkan bahwa populasi puyuh Jepang dalam penelitian ini memiliki hubungan kekerabatan
dengan Francolinus pintadeanus dan Coturnix chinensis dengan nilai bootstrap 81%. Jarak genetik di
antara puyuh Jepang berkisar 0,000 hingga 0,003. Selain itu, rata-rata jarak genetik puyuh Jepang ada-
lah 0,002 dan rata-rata jarak genetik 21 sekuen adalah 0,067. Nilai Tajima D'test adala -1.35536 pada
sampel puyuh Jepang dan -1,38090 pada seluruh sekuen yang digunakan dalam penelitian ini. Kes-
impulan dari penelitian ini adalah puyuh Jepang memiliki keragaman genetik yang rendah berdasarkan
analisis DNA mitokondria gen Cytochrome b yang berarti bahwa puyuh Jepang memiliki tingkat evo-
lusi yang rendah.
Kata kunci: Cytochrome b; keragaman genetik; puyuh Jepang.
ABSTRACT: Coturnix japonica is a Japanese quail which is commonly raised in Indonesia. The aim
of the study was to determine the genetic diversity of Japanese quail (Coturnix japonica) based on
complete sequence of mitochondrial DNA Cytochrome b gene analysis. This study used 12 samples of
quail blood collected from two different village breeding centres (VBC) representing black and brown
plumage lines. Total DNA genome was isolated from whole blood by following the Wizard® Ge-
nomic DNA Purification Kit protocol (Promega, USA). The DNA amplification process in this study
was carried out using novel forward and reverse primers using Primer3 software. Additionally, PCR
products were sequenced and analysed using MEGA 6.0 and DNAsp v.5 softwares. A total of 21 se-
quences consists of 12 sequences of quail sample and 9 reference sequences obtained from NCBI
website were analyzed to construct phylogenetic tree and to evaluate genetic diversity of Japanese
quails. The sequence analysis showed that Japanese quail population in this study had kinship with
Francolinus pintadeanus and Coturnix chinensis with an 81% bootstrap value. The genetic distance
among Japanese quails was ranged from 0.000 to 0.003. In addition, the mean of genetic distance for
Japanese quail was 0.002 and the mean of genetic distance for 21 samples was 0.067. Tajima D'test
values were -1.35536 for Japanese quail population and -1.38090 for whole population used in this
study. The conclusion of this study was the Japanese quail had low genetic diversity based on com-
plete sequence of Mitochondrial DNA Cytochrome b gene analysis that mean Japanese quail had low
level of evolution.
Keywords: Cytochrome b; genetic diversity; Japanese quail.


Corresponding Author: mcahyadi@staff.uns.ac.id

DOI: 10.21776/ub.jiip.2019.029.02.05 143


Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, April 2019, 29(2): 143 – 151

PENDAHULUAN tional Center for Biotechnology Information


Puyuh (Coturnix japonica) merupakan (NCBI) yang meliputi Coturnix japonica,
salah satu jenis ternak yang sudah mengala- Coturnix chinensis, Tetraogallus tibetanus,
mi proses domestikasi (Giuliano and Selph, Tetraogallus himalayensis, Francolinus pin-
2005). Kelebihan ternak puyuh diantaranya tadeanus, Pavo cristatus, Lophura swinhoii
adalah memiliki masa pertumbuhan dan dan Lophura nycthemera berdasarkan urutan
umur bertelur yang cepat yaitu pada usia 42 nukleotida DNA Mitokondria gen Cyto-
hari. Puyuh memiliki produksi telur yang chrome b.
relatif tinggi yaitu 250-300 butir/tahun
(Widyastuti, Mardiati, dan Saraswati, 2014). MATERI DAN METODE
Ternak puyuh mulai dikenal masyarakat Koleksi sampel
Indonesia pada akhir tahun 1979, yaitu di Sampel berupa darah puyuh diperoleh
daerah Sumatera, Jawa Barat, Jawa Timur melalui penyembelihan pada 12 ekor puyuh
dan Jawa Tengah. Perkembangan puyuh di yang terdiri dari enam ekor puyuh warna
Indonesia sampai sekarang ini dapat men- bulu cokelat dan enam ekor puyuh warna
imbulkan suatu keragaman genetik. bulu hitam serta berasal dua VBC yang ber-
Keragaman genetik puyuh dapat diketahui beda. Darah puyuh ditampung pada tabung
melalui analisis DNA mitokondria (mtDNA) yang berisi EDTA untuk mencegah ter-
(Hines, 2005). jadinya penggumpalan. Selanjutnya, sampel
DNA Mitokondria merupakan materi darah disimpan dalam refrigerator dengan
genetik yang ditemukan pada jaringan he- suhu sekitar 4oC sebelum dilakukan isolasi
wan serta memiliki pola pewarisan maternal. DNA.
DNA Mitokondria menjadi bagian dari cyto-
plasmic marker yang secara luas digunakan Isolasi DNA
pada penelitian tingkat populasi yang ber- Isolasi DNA dilakukan sesuai dengan
fokus pada keragaman genetik. Sejarah dan prosedur Wizard® Genomic DNA Purifica-
empiris hewan dapat diketahui dengan tion Kit (Promega, USA) whole blood.
menggunakan beberapa gen daerah pada Tahap awal sebelum isolasi yaitu meja kerja
mtDNA salah satunya adalah gen Cyto- dan peralatan disterilkan terlebih dahulu un-
chrome b (Avise, 1994; Avise, 2000; Wares, tuk mencegah terjadinya kontaminasi.
2014). Kemudian sampel darah dalam tabung
Gen Cytochrome b merupakan gen pen- EDTA dihomogenkan dengan menggunakan
yandi protein yang memiliki keunikan yaitu vortex lalu darah diambil sebanyak 20 µl
adanya daerah conserve atau daerah yang menggunakan micropipette dan dimasukkan
tidak banyak mengalami perubahan atau mu- ke dalam microtube 1,5 ml. Lalu dit-
tasi basa sehingga dapat diketahui sejarah ambahkan RBC lysis solution sebanyak 900
suatu spesies dan dapat digunakan sebagai μl serta dihomogenkan dengan cara inversi
penanda genetik. Variasi yang terdapat da- pada microtube lima sampai delapan kali.
lam urutan basa Cytochrome b menjadi- Sampel yang telah dihomogenkan kemudian
kannya banyak digunakan sebagai pemband- diinkubasi pada suhu 37oC selama satu jam
ing keragaman genetik antar spesies dalam kemudian disentrifugasi pada kecepatan
genus atau famili yang sama (Widayanti 14.000 rpm selama 20 detik untuk mem-
dkk., 2006; Wares, 2014; Nishibori et al., isahkan cairan supernatan dengan pellet.
2005). Berdasarkan hal tersebut, perlu dil- Cairan supernatan yang dihasilkan kemudian
akukan penelitian untuk mengetahui dibuang sehingga hanya menyisakan enda-
keragaman dan jarak genetik populasi puyuh pan atau pellet di dalam microtube. Pellet
Jepang (Coturnix japonica) dengan atau endapan yang dihasilkan kemudian di
menggunakan sekuen pembanding dari Na- vortex selama 5 detik lalu ditambahkan 300
μl cell lysis solution dan kembali di vortex

DOI: 10.21776/ub.jiip.2019.029.02.05 144


Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, April 2019, 29(2): 143 – 151

selama sepuluh detik. Setelah itu dit- ma 30 detik, extention suhu 72oC selama 30
ambahkan 100 μl protein precipitation solu- detik dan final extention suhu 72oC selama
tion dan kembali di vortex selama 20 detik tiga menit. Hasil PCR divisualisasikan pada
serta dilakukan sentrifugasi selama satu agarose gel 2%. Setelah dipastikan hasil
menit dengan kecepatan 14.000 rpm. PCR yang sesuai, kemudian dilakukan pros-
Langkah selanjutnya yaitu supernatan dipin- es sequencing oleh PT. Genetika Science
dahkan ke dalam microtube 1,5 ml yang ba- Indonesia.
ru dengan menggunakan micropipette
setelah itu ditambahkan isopropanol Elektroforesis agarose gel dan gel docu-
sebanyak 300 µl. Campuran dihomogenkan mentation
dengan cara inversi kemudian disentrifugasi Tahap awal elektroforesis adalah pen-
selama satu menit dengan kecepatan 14.000 imbangan bubuk agarose sebanyak 0,7 gram
rpm. Supernatan kemudian dibuang, setelah (1% larutan TAE) atau 1,4 gram (2% larutan
itu ditambahkan 300 µl ethanol for analysis TAE). Agarose ditimbang dengan
kemudian lakukan inversi lagi lalu disentrif- menggunakan timbangan analitik dan
ugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama dibungkus dengan aluminium foil lalu di-
satu menit. Kemudian supernatan dibuang masukkan ke dalam erlenmeyer dan dit-
dan microtube ditiriskan di atas lembaran ambahkan larutan TAE 10X sebanyak 70
tisu hingga kering (10-15 menit), memassti- ml. Erlenmeyer ditutup dengan
kan terlebih dahulu bahwa jarak antar micro- menggunakan wrapping plastic dan diberi
tube agak berjauhan untuk menghindari kon- lubang-lubang kecil serta dihomogenkan
taminasi. Selanjutnya ditambahkan 100 μl untuk melarutkan agarose pada larutan TAE
DNA hydration solution dan di vortex sela- dan dimasukkan ke dalam microwave
ma lima detik dan langkah terakhir pada dengan suhu 450oC selama tiga menit.
tahap isolasi DNA yaitu dilakukan inkubasi Langkah selanjutnya yaitu, ditambahkan 2
pada suhu 65oC selama 60 menit sehingga µl EtBr (Ethidium Bromide) ke dalam Er-
diperoleh hasil akhir berupa DNA. lenmeyer menggunakan micropipette dan
diinvert agar EtBr dapat tercampur dengan
Program Polymerase Chain Reaction agarose gel. Erlenmeyer kemudian di-
(PCR) masukkan ke dalam microwave suhu 450ºC
Produk PCR diamplifikasi dari fragmen selama satu menit. Setelah itu, agarose gel
DNA mitokondria Cytochrome b dengan dituangkan ke dalam cetakan dan ditunggu
sepasang primer (forward primer: 5’- sampai agarose gel mengeras. Setelah aga-
TTTGCCCTCACAATCCTAGC-3’ dan re- rose gel mengeras, agarose gel dipindahkan
verse primer: 5’- dari cetakan ke dalam mesin elektroforesis
ATATGGGGTGGGGTTGTTTT-3’) yang dan dituangkan TAE 10X sampai agarose
telah didesain menggunakan website pri- gel terendam. Masing-masing sumuran dit-
mer3 (bioinfo.ut.ee/primer3-0.4.0/). Reaksi ambahkan sampel/marker dan loading dye
PCR dilakukan pada mesin PCR dengan to- dengan perbandingan 5 : 1 (5 µl sam-
tal volume cairan dalam tube sebanyak 25 μl pel/marker : 1 µl loading dye) kemudian dil-
yang terdiri dari 1 µl sampel DNA, 12,5 μl akukan running elektroforesis selama 45
green mix, 9,5 µl nuclease free water, 1 µl menit. Setelah selesai proses running, maka
forward primer dan 1 µl reverse primer. dilakukan gel documentation menggunakan
Jumlah siklus PCR yang digunakan seperangkat mesin gel documentation yang
sebanyak 35 siklus. Proses PCR berjalan terdiri dari komputer dan kamera.
dengan initial denaturation suhu 95oC sela-
ma tiga menit, denaturation suhu 95oC
selama 15 detik, annealing suhu 57oC sela-

DOI: 10.21776/ub.jiip.2019.029.02.05 145


Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, April 2019, 29(2): 143 – 151

Analisis Data sekuen yang terdiri dari 12 sekuen puyuh


Hasil sequencing yang didapatkan yaitu sampel dan sembilan sekuen puyuh pem-
berupa urutan sekuen yang kemudian diana- banding. Program DNAsp v.5 sebagai ana-
lisis menggunakan beberapa software, seper- lisis statistik Tajima’D test untuk melihat
ti MEGA v.6.0. dan DNAsp v.5. Sequencing tingkat evolusi sampel. Perhitungan jarak
sampel yang telah diperoleh terlebih dahulu genetik berdasarkan model substitusi Ki-
dibandingkan dengan urutan mtDNA yang mura-2 parameter model. Analisis pohon
diperoleh melalui GenBank pada website filogenetik selanjutnya menggunakan
NCBI (ncbi.nlm.nih.gov) dengan dilakukan metode Neighbour Joining (NJ) dengan ana-
BLAST untuk memperoleh sekuen pem- lisis bootstrap 1.000 kali.
banding. Sekuen yang didapatkan kemudian
dibersihkan menggunakan software Ms. HASIL DAN PEMBAHASAN
Word dan notepad agar dapat dianalisis Isolasi DNA
lebih lanjut dengan MEGA v.6.0. Program Hasil isolasi DNA divisualisasikan
MEGA v.6.0 digunakan pada analisis filo- menggunakan elektroforesis agarose gel 1%
genetik puyuh dan analisis jarak genetik un- (Pereira et al., 2011). Hasil visualisasi
tuk membandingkan sekuen yang satu menunjukkan adanya pita DNA pada kedua
dengan sekuen yang lain. Analisis filoge- belas sampel darah puyuh. Hasil visualisasi
netik dan jarak genetik menggunakan 21 isolasi DNA dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Visualisasi Isolasi DNA pada agarose gel 1%. Lambda marker (M), Sampel Puyuh
(N1-N12).
Isolasi DNA menjadi langkah penting hasil diisolasi kemudian dilanjutkan dengan
dalam proses analisis DNA dimana hasil iso- proses amplifikasi.
lasi DNA akan mempengaruhi hasil amplifi-
kasi DNA pada tahap selanjutnya. Adanya Program Polymerase Chain Reaction
kenampakan pita DNA pada Gambar 4 (PCR)
menunjukkan bahwa proses isolasi yang te- Proses amplifikasi rantai DNA dua belas
lah dilakukan berhasil. Salah satu faktor sampel DNA puyuh dilakukan dengan 35
yang mempengaruhi kenampakan pita DNA siklus. Berdasarkan referensi, jumlah siklus
yaitu banyaknya konsentrasi DNA yang pada umumnya yaitu 20- 40 siklus (Wetton
dielektroforesis, semakin jelas/terang ke- et al., 2002; Bermingham and Luettich,
nampakan dari pita DNA maka konsentrasi 2003). Produk PCR kemudian diidentifikasi
DNA yang didapat juga semakin tinggi dengan elektroforesis agarose gel 2% (Shen
(Mulyani, Purwanto, dan Nurruhwati, 2011; et al., 1999). Hasil elektroforesis produk
Pereira et al., 2011). DNA yang telah ber- PCR dapat dilihat pada Gambar 2.

DOI: 10.21776/ub.jiip.2019.029.02.05 146


Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, April 2019, 29(2): 143 – 151

Gambar 2. Visualisasi hasil PCR pada agarose gel 2%. Marker 100 bp Bench Top Ladder
(M), sampel puyuh (N1-N12).

Hasil visualisasi produk PCR menunjuk- puyuh memiliki tingkat spesifikasi DNA
kan munculnya pita DNA yang jelas dan tid- yang tinggi (Shen et al., 1999).
ak smear. Hal tersebut mengindikasikan
bahwa hasil PCR memiliki kualitas yang Analisis filogenetik dan jarak genetik
baik (Noor, Pramo no, dan Aziz, 2014). Analisis filogenetik dapat digunakan un-
Selain itu, primer yang telah didesain ber- tuk mengetahui kedekatan serta hubungan
hasil mengamplifikasi fragmen DNA sesuai genetik antara satu spesies dengan spesies
target dengan panjang basa 1.417 bp. Pita yang lain (Nielsen and Yang, 1998). Ana-
DNA dari masing-masing sampel pada lisis filogenetik dilakukan dengan
Gambar 5. berada pada posisi baris yang menggunakan dua belas sekuen sampel
sama. Hal ini menunjukkan bahwa sampel puyuh dan sembilan sekuen pembanding.
Hasil analisis filogenetik dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 3. Pohon Filogenetik 21 sekuen DNA Mitokondria gen Cytochrome b.


Berdasarkan analisis rekonstruksi pohon struksi pohon filogenetik memiliki tingkat
filogenetik dapat diketahui bahwa 12 sampel kepercayaan yang tinggi, karena
puyuh memiliki hubungan kekerabatan percabangan pohon filogenetik menunjuk-
dengan Francolinus pintadeanus dan kan nilai bootstrap yang dihasilkan lebih
Coturnix chinensis sebesar 81%. Hal ini dari 65 (Batubara dkk., 2011). Keadaan ter-
menunjukkan bahwa hasil analisis rekon- sebut yang menyebabkan Coturnix japonica,

DOI: 10.21776/ub.jiip.2019.029.02.05 147


Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, April 2019, 29(2): 143 – 151

Francolinus pintadeanus dan Coturnix genetik pada 21 sekuen sebesar 0,067. Hasil
chinensis masuk dalam haplogrup yang sa- tersebut menunjukkan bahwa pada 12 sek-
ma, yaitu haplogrup A. Hal ini sesuai uen sampel rata-rata terdapat dua pasang
dengan pernyataan Liu dan Zhang (2016) basa yang berbeda dari setiap 1.000 bp, se-
yang menyatakan bahwa Coturnix japonica dangkan pada 21 sekuen rata-rata terdapat
dengan Coturnix chinensis memiliki tingkat 67 bp yang berbeda. Odahara et al. (2006)
kekerabatan yang dekat sehingga berada pa- menyatakan bahwa semakin dekat hubungan
da haplogrup yang sama. Selain itu, Rifki et suatu kekerabatan, maka jarak genetik juga
al. (2018) juga menyatakan bahwa, puyuh akan semakin dekat. Nilai jarak genetik dari
warna bulu cokelat dan warna bulu hitam 12 sekuen sampel memiliki jarak genetik
yang telah mengalami domestikasi di Indo- yang dekat. Hal ini juga sesuai dengan
nesia memiliki hubungan kekerabatan yang pernytaan Rifki et al. (2018) yang menun-
dekat dengan puyuh Coturnix japonica. jukkan bahwa jarak genetik pada sembilan
Uji bootstrap dilakukan untuk menge- puyuh C. coturnix japonica memiliki hub-
tahui seberapa baik set data model yang ungan kekerabatan yang dekat dengan nilai
digunakan dalam analisis sekuen. Nilai uji jarak genetik yang dihasilkan adalah 0,000.
bootstrap yang didapatkan sebesar 81. Set Menurut Yuliani, Yuniaty, dan Susanto
data yang digunakan dikatakan baik apabila (2017), jarak genetik dinyatakan dekat apa-
hasil uji bootstrap berkisar antara 70-95 bila nilainya berkisar 0,010-0,099; dinya-
(Dharmayanti, 2011). Sekuen sampel puyuh takan sedang apabila berkisar 0,100-0,990
dan sekuen pembanding dilakukan analisis dan dinyatakan jauh pada kisaran nilai 1-2.
lebih lanjut berupa analisis jarak genetik. Dua individu atau lebih dikatakan memiliki
Hasil analisis jarak genetik dapat dilihat pa- kedekatan genetik apabila nilai jarak genetik
da Tabel 1. yang dihasilkan tidak lebih dari 0,1 (Nei and
Nilai jarak genetik pada 12 sekuen sam- Kumar, 2000). Hasil dapat dilihat pada
pel berkisar antara 0,000-0,003 dan rata-rata Tabel 1 berikut.
sebesar 0,002 sedangkan hasil rata-rata jarak
Tabel 1. Jarak Genetik Sampel Puyuh dan beberapa spesies burung lain.

Keterangan: A-L=sekuen sampel puyuh N1 – N12; M=KX712089.1 Coturnix japonica;


N=AB073301.1 C. chinensis; O=KF027439.1 Tetraogallus tibetanus; P=KF444060.1
Pavo cristatus; Q=AP003195.2 C. japonica; R=EU165707.1 Francolinus pintadeanus;
S=KR349185.1 T. himalayensis; T=KF218954 Lophura swinhoii; U=EU417810.1 L.
nycthemera.

Kedekatan jarak genetik menunjukkan ditandai dengan sedikitnya variasi atau


eratnya hubungan genetik antar sekuen yang perbedaan pasang basa antar sekuen yang

DOI: 10.21776/ub.jiip.2019.029.02.05 148


Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, April 2019, 29(2): 143 – 151

digunakan. Hal ini dapat dikatakan bahwa sekuen memiliki 494 situs sedangkan pada
sekuen yang digunakan memiliki tingkat 12 sekuen sampel terdapat 5 situs. Nilai
keragaman rendah (Brisson, Nuzhdinand, keragaman sekuen pada total sekuen sebesar
and Stern, 2009; Sawitri dan Takandjandji, 0,0945 sedangkan pada sekuen puyuh senilai
2013). 0,0003. Nilai keragaman haplotype pada to-
tal sekuen sebesar 0,867 sedangkan pada
Diversitas genetik sekuen puyuh sebesar 0,682. Hasil analisis
Hasil analisis sekuen menggunakan dapat dilihat pada Tabel 2.
software DNASp menunjukkan bahwa total

Tabel 2. Indeks Polimorfisme dan Diversitas Genetik


Sekuen N NHap S Pi Hd Tajima’s D
Total sekuen 21 14 494 0,0945 0,867 -1,38090 [NS] (P>0,10)
Sekuen sampel 12 6 5 0,0003 0,682 -1,35536 [NS] (P>0,10)
Keterangan: N=Jumlah Sekuen; NHap=Jumlah haplotype; S=Jumlah Situs; Pi=Keragaman sekuen;
Hd=Keragaman haplotype dan NS=Non signifikan.

Analisis data Tajima’s D test menunjuk- (C.coturnix japonica) yang ada sekarang
kan hasil negatif non signifikan pada seluruh tidak berbeda dengan puyuh yang ada sebe-
sekuen data dan pada sekuen data sampel lumnya dalam sekuen referensi/sekuen pem-
puyuh dengan nilai sebesar -1,38090 pada banding.
total sekuen dan -1,35536 pada sekuen sam-
pel. Nilai negatif non signifikan mengindi- UCAPAN TERIMA KASIH
kasikan bahwa keragaman genetik pada sek- Kami mengucapkan terima kasih kepada
uen yang digunakan rendah. Keragaman ge- Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada
netik yang rendah dapat terjadi melalui Masyarakat Universitas Sebelas Maret
proses domestikasi, seleksi dan breeding (LPPM-UNS) yang telah mendanai enelitian
yang matang dan telah dilakukan sejak lama ini melalui skim hibah Penelitian Unggulan
sehingga dapat menimbulkan perubahan dengan nomor kontrak:
frekuensi genetik atau mutasi. Hal-hal terse- 516/UN27.21/PP/2019, Kementerian Riset,
but menjadi faktor pendorong evolusi pada Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Indone-
suatu populasi (Shen et al., 1999; Handi- sia.
wirawan, 2006), dengan demikian dapat
dikatakan bahwa keragaman genetik yang DAFTAR PUSTAKA
rendah menandakan kecilnya tingkat evolusi Avise, J. C. 1994. Molecular Markers, Natu-
sehingga sekuen puyuh yang ada sekarang ral History, and Evolution. New
tidak berbeda dengan sekuen puyuh yang York: Chapman and Hall.
ada sebelumnya (Frankham, Ballou, and
Avise. 2000. Phylogeography: The History
Briscoe, 2004; Brisson, Nuzhdinand, and
and Formation of Species. Cam-
Stern, 2009).
bridge: Harvard University Press.
KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian yang telah Batubara, A., Noor R. R., Farajallah, A.,
dilakukan yaitu keragaman genetik puyuh Tiesnamurti, B., dan Doloksaribu, M.
jepang (Coturnix japonica) bernilai rendah 2011. Karakterisasi molekuler enam
berdasarkan analisis DNA Mitokondria gen subpopulasi kambing lokal Indonesia
cytochrome b. Keragaman genetik yang ren- berdasarkan analisis sekuen daerah
dah menunjukkan tingkat evolusi puyuh D-loop DNA mitokondria. Jurnal
yang rendah pula sehingga puyuh Ilmu Ternak dan Veteriner, 16(1),

DOI: 10.21776/ub.jiip.2019.029.02.05 149


Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, April 2019, 29(2): 143 – 151

49-60. doi: Hines, T. 2005. Past and present bobwhite


http://doi.org/10.14334/jitv.v16i1.63 management in south central Florida.
4 Proceedings of the 1st quail manage-
ment shortcourse. In. Giuliano, B., E.
Bermingham, N. and Luettich, K. 2003. Pol- Willcox and A. Willcox. Department
ymerase chain reaction and its appli- of Wildlife Ecology and Conserva-
cations. Current Diagnostic Histo- tion Institute of Food and Agricultur-
pathology, 9(3), 159-164. doi: al Sciences. Florida Cooperative Ex-
https://doi.org/10.1016/S0968- tension Service, (pp. 2-8). University
6053(02)00102-3 of Florida, Florida.
Brisson, J. A., Nuzhdinand, S. S.V., and Liu, G. and Zhang, Y. 2016. Next-
Stern, D. L. 2009. Similar patterns of generation resequencing the com-
linkage disequilibrium and nucleo- plete mitochondrial genome of Japa-
tide diversity in native and intro- nese quail (Coturnix japonica). Mi-
duced populations of the pea aphid, tochondrial DNA Part B: Resources,
Acyrthosiphon pisum. BMC Genetics 1(1), 937-938. doi:
10(22), 1-10. doi: https://doi.org/10.1080/23802359.20
https://doi.org/10.1186/1471-2156- 16.1258343
10-22
Mulyani, Y., Purwanto, A. dan Nurruhwati,
Dharmayanti, N. L. P. I. 2011. Filogenetika I. 2011. Perbandingan beberapa
molekuler: Metode taksonomi organ- metode isolasi DNA untuk deteksi
isme berdasarkan sejarah evolusi. dini koi herpes virus (khv) pada ikan
Wartazoa, 1(21), 1-10. mas (Cyprinus carpio l.). Jurnal
Akuatika, 2(1), 1-16.
Frankham, R., Ballou, J. D. and Briscoe, D.
A. 2004. A Primer of Conservation Nei, M., and Kumar, S. 2000. Molecular
Genetics. Cambridge: Cambridge Evolution and Phylogenetics. Eng-
University Press. land, Oxford: Incorporated of the
United States of Oxford.
Giuliano, B. and Selph, J. 2005. Quail fact.
Proceedings of the 1st quail manage- Nielsen, R. and Yang, Z. 1998. Likelihood
ment short course. In. Giuliano, B., models for detecting positively se-
E. Willcox and A. Willcox. Depart- lected amino acid sites and applica-
ment of Wildlife Ecology and Con- tions to the Hiv-1 envelope gene.
servation Institute of Food and Agri- Genetics, 148 (3), 929-936.
cultural Sciences. Florida Coopera-
tive Extension Service, (pp. 9-15). Nishibori, M., Shimogiri, T., Hayashi, T.,
University of Florida, Florida. and Yasue, H. 2005. Molecular evi-
dence for hybridization of species in
Handiwirawan, E. 2006. Keragaman mole- the genus Gallus except for Gallus
kuler dalam suatu populasi. Prosid- varius. Journal of Animal Genetics,
ing Lokakarya Nasional Pengelolaan 36(5), 367-375. doi:
dan Perlindungan Sumber Daya Ge- https://doi.org/10.1111/j.1365-
netik di Indonesia: Manfaat Ekonomi 2052.2005.01318.x
untuk Mewujudkan Ketahanan Na-
sional, 20 Desember 2006: 138-144. Noor, S., Pramono, H., dan Aziz, S. 2014.
Bogor, Indonesia. Deteksi keragaman spesies bakteri
metanogen rumen sapi menggunakan

DOI: 10.21776/ub.jiip.2019.029.02.05 150


Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan, April 2019, 29(2): 143 – 151

kloning gen 16S rRNA dan sekuens- Poultry Science Journal, 36(5), 287-
ing. Scripta Biologica, 1(4), 1-8. doi: 293. doi:
https://doi.org/10.20884/1.sb.2014.1. https://doi.org/10.2141/jpsa.36.287
4.43
Wares, J. P. 2014. Mitochondrial cyto-
Odahara, S., Chung, H. J., Choi, S. H., Yu S. chrome b sequence data are not an
L., Sasazaki, S., Mannen, H., Park, improvement for species identifica-
C. S., and Lee, J. H. 2006. Mith- tion in scleractinian corals. PeerJ,
ocondrial DNA diversity of Korean 2(2), 1-8.
native goats. Asian-Australasian doi:https://doi.org/10.7717/peerj.564/
Journal of Animal Sciences, 19(4), fig-1
482-485. doi:
https://doi.org/10.5713/ajas.2006.48 Wetton, J. H., Braidley, G. L., Tsang, C. S.
2 F., Roney, C. A., Powell, S. L., and
Spriggs, A. C. 2002. Generation of a
Pereira, J. C., Chaves, R., Bastos, E., Leitão, species-specific DNA sequence li-
A., and Guedes-Pinto, H. 2011. An brary of British mammals. A study
efficient method for genomic DNA by the forensic science service for
extraction from different molluscs the joint nature conservation com-
species. International Journal of Mo- mittee and the environment and her-
lecular Science, 12 (11), 8086-8095. itage service, (pp. 1-37). Northern,
doi: Ireland.
https://doi.org/10.3390/ijms1211808
6 Widayanti, R., Solihin, D. D., Sajuthi, D.,
dan Perwita, D. 2006. Kajian penan-
Rifki, M., Ratih, D., Nuzul, W., and Cahy- da genetik gen Cytochrome b pada
adi, M. 2018. Phylogenetic study of tarsius sp. Jurnal Sain Veteriner,
black and brown Japanese quail in 24(1), 1-8. doi:
Indonesia based on mithocondrial d- https://doi.org/10.22146/jsv.349
loop sequence. Journal of Animal
Widyastuti, W., Mardiati, S. M., dan Saras-
Breeding and Genomics, 2(4), 237-
wati, T. R. 2014. Pertumbuhan
244. doi:
puyuh (Coturnix japonica) setelah
https://doi.org/10.12972/jabng.20180
pemberian tepung kunyit (Curcuma
023
longa l.) pada pakan. Buletin Anato-
Sawitri, R., dan Takandjandji, M. 2013. mi dan Fisiologi, 22(2), 12-20.
Keragaman genetik dan situs po- doi: https://doi.org/10.14710/baf.v22
limorfik trenggiling (Manis javanica i2.7813
desmarest, 1822) di penangkaran.
Jurnal Penelitian Hutan dan Kon-
servasi Alam, 11(1), 1-11.
doi:https://doi.org/10.20886/jphka.20
14.11.1.1-11
Shen, X. J., Suzuki, H., Tsudzuki, M., Ito,
S., and Nakamura, T. 1999. Compar-
ison of Cytochrome b region among
Chinese painted quail, wild-strain
quail, and white broiler chicken
based on PCR-RFLP analysis. Japan

DOI: 10.21776/ub.jiip.2019.029.02.05 151

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai