Anda di halaman 1dari 4

Persistensi RNA SARS-CoV-2 pada swab post-mortem 35 hari setelah

Kematian : Laporan kasus

ABSTRAK
Swab post-mortem untuk deteksi RNA Sindrom Pernafasan Akut Parah Coronavirus 2 (SARS
CoV-2) telah direkomendasikan oleh beberapa Komite dan Lembaga Ilmiah sebagai prosedur
standar penilaian post-mortem dari potensi kematian terkait penyakit Coronavirus-19 (COVID-
19). Sampai saat ini ada tidak terdapat data tentang periode deteksi SARS-CoV-2 RNA dalam
tubuh manusia setelah kematian. Kasus ini mendokumentasikan persistensi RNA SARS-CoV-2
pada saluran pernapasan bagian atas 35-hari setelah kematian. Swab post-mortem dapat
digunakan sebagai alat yang berguna dalam evaluasi pencegahan dari rasio risiko-manfaat terkait
dengan pelaksanaan otopsi. Deteksi RNA SARS-CoV-2 post-mortem dapat memiliki peran
diagnostik yang penting pada kasus kematian akibat kurangnya bantuan medis, kematian tanpa
pengawasan, dan pasien dengan beberapa penyakit penyerta. Berdasarkan laporan ini, swab post-
mortem bertahap harus dilakukan bahkan setelah interval post-mortem yang lama.
Kata kunci : SARS-CoV-2, COVID-19, Swab post-mortem, Diagnosis post-mortem, Biosafety,
otopsi

1. Pendahuluan
Sejak Desember 2019 hingga saat ini, pandemi Sindrom Saluran Pernapasan Akut Parah
Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) telah menyebabkan lebih dari 1.300.000 kematian di seluruh
dunia. Diagnosis infeksi akut dilakukan pada sebagian besar kasus melalui pencarian asam
ribonukleat virus (RNA) pada spesimen pernapasan, terutama melalui swab rhino- atau
orofaringeal. Pada orang yang hidup, droplet dari pernapasan dan kontak fisik interpersonal
diketahui sebagai jalur utama transmisi, sementara epitel konjungtiva dan bronkial dianggap
sebagai portal untuk infeksi. Namun, virus corona telah terbukti dapat bertahan di permukaan
benda mati hingga 9 hari. Umumnya, sejumlah besar virus mungkin tetap ada di tubuh orang
yang telah mati dan dapat dideteksi oleh pemeriksaan polymerase-chain-reaction (PCR). Tidak
ada bukti korelasi antara RNA SARS-CoV-2 yang telah diperkuat, yang terdeteksi pada swab
saluran pernapasan dan risiko infeksi. Sampai saat ini, tidak ada satupun kasus dugaan penularan
Coronavirus Disease-19 (COVID19) dari jenazah yang terkonfirmasi. Namun, menjadi tidak
mungkin saat ini untuk mengecualikan risiko penularan dari mayat ke ahli patologi forensik,
teknisi, dan pekerja kamar mayat, pedoman internasional menekankan penggunaan standar
perlindungan biosafety (BSL) tingkat 3 jika dilakukan pemeriksaan pada mayat yang dicurigai
atau dikonfirmasi COVID 2019. Dengan ini kami melaporkan persistensi RNA SARS-CoV-2
pada swab post-mortem rhino- dan orofaringeal dari COVID 2019 35 hari setelah kematian.

2. Presentasi kasus
Pada tanggal 15 Maret 2020 seorang pria berusia 60 tahun, dengan riwayat Obstructive Sleep
Apnea Syndrome (OSAS), bekas perokok tembakau, distrofi miotonik Steinert, implantasi pace
maker untuk iskemik kardiomiopati dengan left bundle branch block, dan diabetes, dibawa ke
rumah sakit regional Aosta (Italia) setelah tidak sengaja terjatuh di rumah. Saat masuk, suhu
pasien 37,5 C dan saturasi oksigen 90%. Radiografi dada menunjukkan adanya sekumpulan
bayangan gelap pada lobus kiri bawah (Gbr. 1). Pemeriksaan darah rutin menunjukkan
leukositopenia. Swab saluran pernafasan kemudian dikirim ke laboratorium. Infeksi SARS-CoV-
2 kemudian dikonfirmasi melalui Reverse Transcriptase Polymerase-Chain-Reaction Real Time
(RT PCR-RT) tanggal 16 Maret 2020. Pasien kemudian dipindahkan ke Unit COVID 2019 dan
kemudian diberikan bantuan Ventilasi Mekanis Non Invasif (NIMV) karena krisis desaturasi
berulang. Gejala pernafasan memburuk pada malam hari. Meskipun telah diberikan bantuan
NIMV dan terapi suportif, namun pasien meninggal pada 17 Maret 2020. Pneumonia SARS-
CoV-2 dilaporkan sebagai penyebab utama kematian, sementara distrofi miotonik Steinert, dan
iskemik kardiomiopati diketahui sebagai kontributor. Tubuhnya dimasukkan ke krematorium
setempat dan disimpan di lemari es (-40C), sementara menunggu ijin dari istri pasien untuk
kremasi (wajib oleh Hukum Italia). Memang, dalam kurun waktu yang sama, istri pasien juga
sempat dirawat di Unit COVID dari rumah sakit yang sama akibat gejala pernapasan yang parah.
Setelah pengobatan dengan terapi antivirus, gejala pernafasan telah membaik. Pada 13 April,
setelah mendapatkan hasil negatif pada dua kali pemeriksaan RNA SARS-CoV-2 berturut-turut,
pasien kemudian dipindahkan ke unit non-COVID. Kemudian dia memberikan ijin untuk
dilakukan pembakaran jenazah suaminya. Akibat dari spesifikasi teknis krematorium setempat,
maka diperlukan pengangkatan pace maker dari jenazah. Pada 22 April 2020, jenazah diekstraksi
dari lemari es dan, pada saat yang bersamaan dengan pengangkatan pace maker oleh pemeriksa
medis, swab rhino- dan orofaringeal pun dilakukan. Sampel segera dikirim ke laboratorium dan
dianalisis dengan RT PCR-RT berdasarkan Protokol WHO. Hasil tersedia pada hari yang sama,
dan mengkonfirmasikan persistensi RNA SARS-CoV-2.

3. Pembahasan
Kasus ini menyoroti persistensi RNA SARS-CoV-2 di saluran pernapasan bagian atas 35-hari
setelah kematian. Ini merupakan dokumentasi terlama dari deteksi RNA SARS-CoV-2 pada
specimen saluran pernapasan mayat. Studi sebelumnya menyoroti persistensi RNA SARS CoV-
2 yang terdeteksi bahkan pada mayat yang telah membusuk. Baik jangka waktu antara kematian
dan pengambilan swab maupun jangka waktu sebelum dilakukan analisis di laboratorium
tampaknya tidak mempengaruhi hasil PCR-CR. Menurut penelitian sebelumnya, pendinginan
dapat memperpanjang waktu kelangsungan hidup virus corona. Penulis berspekulasi bahwa,
dalam hal ini, kurangnya terapi antivirus selama rawat inap, bersama dengan pendinginan mayat,
mungkin telah berkontribusi pada RNA SARS-CoV-2 yang bertahan lama. Swab post-mortem
untuk deteksi RNA SARS-CoV-2 telah direkomendasikan oleh beberapa Komite dan Lembaga
Ilmiah, termasuk Kesehatan Masyarakat Inggris, sebagai standar dalam tahap penilaian post-
mortem dari potensi kematian terkait COVID-19. Pedoman forensik Italia saat ini menyatakan
bahwa spesimen pernapasan harus dikumpulkan segera setelah kematian pada kasus yang
dicurigai, sebaiknya dalam 2 jam. Berdasarkan laporan ini, swab post-mortem harus dilakukan
secara bertahap bahkan setelah interval post-mortem yang lama. Deteksi RNA SARS-CoV-2
post-mortem bisa memiliki peran kunci dalam kasus kematian yang kurang bantuan medis,
kematian tanpa pengawasan, dan pasien dengan banyak penyakit penyerta. Yang terakhir,
kondisi klinis yang sudah ada sebelumnya bisa menyembunyikan tanda klinis COVID-19. Begitu
juga pada SARS-CoV-2 post-mortem yang diperkuat, juga harus diperhatikan untuk
mengidentifikasi kematian terkait COVID-19 yang tidak terdiagnosis dalam kelompok berisiko
tinggi seperti pekerja medis, penghuni panti jompo, dan petugas penegak hukum untuk melacak
dan mengisolasi kontak. Apalagi, selama pandemi SARS-CoV-2, Negara yang setuju dengan
Perjanjian Berlin dapat mempertimbangkan hasil post-mortem RT-PCR-RT sebagai bagian dari
"laissez-passer for a corpse " yang dibutuhkan untuk Transportasi Internasional. Swab post-
mortem dapat digunakan sebagai alat yang berguna dalam evaluasi preventif dari rasio risiko-
manfaat yang terkait dengan pelaksanaan otopsi, untuk mengidentifikasi kasus-kasus di mana
otopsi dapat direkomendasikan untuk menentukan penyebab kematian (mis. Pada hasil negatif
swab saluran nafas atas dan tidak ada riwayat gejala yang mendukung). Mengingat kurangnya
studi saat ini yang membuktikan tingkat kepercayaan RNA SARS-CoV-2 post-mortem yang
diperkuat, penerapan standar BSL yang efektif selama proses manipulasi, pemeriksaan, dan
otopsi mayat harus dilakukan termasuk kedua hasil tes pada spesimen pernafasan dan data klinis
dan radiologi yang diperoleh dari catatan medis atau dari informasi riwayat yang dilaporkan oleh
kerabat, jika tersedia. Meskipun demikian, swab post-mortem positif sebaiknya tidak dianggap
sebagai diagnosis kematian yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2. Sebaliknya, otopsi dapat
menyoroti tanda-tanda penyebab independen kematian, membedakan pasien dengan infeksi
SARS-CoV-2. Nilai deteksi RNA SARS-CoV-2 pada swab post-mortem adalah subjek dari studi
pendahuluan yang sedang berlangsung oleh Penulis laporan ini.

Gambar 1. Gambaran radiografi dada saat pertama masuk rumah sakit

Anda mungkin juga menyukai