Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

IBNU TAIMIYYAH: FENOMENA PEMBAHARUAN HUKUM


DAN KAITANNYA DENGAN PEMBAHARUAN
SETELAHNYA

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mata Kuliah


Sejarah Pemikiran Hukum Islam yang Dipandu oleh
Dosen Dr. Hj. Fatmawati, M.Ag.

Disusun Oleh:

ANDI NUR AFIFAH IKRAMAH


NIM: 80100218024

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum Islam sebagai sebuah fenomena sejarah, mengalami masa-masa
pertumbuhan dan perkembangan. Para ahli sejarah hukum Islam dapat
membaginya dalam sejumlah periode, di mana masing-masing periode memiliki
corak dan dinamika tertentu. Pada periode awal (abad ke-7 sampai abad ke-10 H)
hukum Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terbukti
dengan lahirnya sejumlah mazhab yang masing-masing memiliki perbedaan latar
belakang sosio-kultural di mana mazhab-mazhab tersebut tumbuh dan
berkembang. Jadi perkembangan sosial politik dan peradaban merupakan faktor
pendorong perkembangan pemikiran hukum Islam. Tentu saja hal itu tidak
terlepas dari pengaruh doktrin teologis yang memerintahkan agar umat Islam
mengaktualisasikan potensi penalaran semaksimal mungkin.1
Sejarah menunjukkan bahwa sejalan dengan kemajuan masyarakat
muslim, kebebasan dan kemajuan untuk melakukan ijtihad hukum juga
mengalami kemajuan yang pesat. Pada masa itu banyak muncul mujtahid mutlak,
yang hasil pemikirannya sangat bermanfaat dan dijadikan sebagai rujukan dalam
penyelesaian persoalan dalam masyarakat. Namun demikian dengan mundurnya
masyarakat muslim, pemikiran di bidang hukum juga mengalami penurunan
bahkan stagnasi, umat Islam lebih condong kepada taqlīd dan fanatisme kepada
mazhab.2
Setelah melewati masa kemunduran di mana pemikiran hukum Islam
mengalami masa-masa taqlīd, semenjak akhir abad ke-18 H sejarah Islam
memasuki periode modern dengan semangat mengejar ketertinggalan di bidang
politik, ekonomi, dan peradaban. Sejalan dengan semangat pembaharuan tersebut,

1
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), h. 2-3.
2
Sucipto, “Pembaharuan dalam Hukum Islam: Studi Terhadap Pemikiran Hukum Ibnu
Taimiyah”, ASAS 3, no. 1 (2011): h. 50.
timbullah semangat membuka pintu ijtihad setelah mengalami masa taqlīd yang
panjang.3
Di antara para tokoh pemikir, muncullah pemikir hukum Islam kenamaan
di zaman itu, yakni Ibnu Taimiyah. Seorang dengan penobatan syaikhul Islam
dikarenakan menguasai berbagai ilmu di setiap bidang yang berbeda-beda.
Sehingga dengan ilmu-ilmu itu, ia melebihi orang-orang yang mengkhususkan
dan memasyhurkan satu bidang tertentu, karena ia namanya terdengar ke mana-
mana dan pendapatnya kuat dipegang. Ia berusaha untuk melakukan pembaharuan
pemikiran di bidang hukum, baik di bidang ibadah maupun di bidang mu’amalah.
Upaya demikian patut diapresiasi, tidak hanya dari sisi materi hukumnya, tetapi
yang lebih urgen adalah dari sisi prosesnya, yakni di saat terjadi kokohnya
pengaruh suatu mazhab, ia berani melakukan pembaharuan walaupun realitasnya
bertentangan dan reaksi keras penentangnya akan selalu berupaya untuk
menghalau dan menggagalkannya.
Untuk itu, penulis mengangkat permasalahan-permasalahan apa saja yang
dihadapi oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya, terutama dengan kaitannya dalam
pembaharuan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hidup Ibnu Taimiyah?
2. Bagaimana metode pembaharuan hukum Islam yang dikembangkan oleh
Ibnu Taimiyah serta kaitannya selanjutnya?
3. Apa saja contoh ijtihad Ibnu Taimiyah terkait dengan pembaharuan
hukum Islam?

3
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam, h. 4.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Taimiyah


1. Nasab dan Kelahiran
Nama lengkapnya ialah Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim
bin Abdul Salam bin Abil Qasim bin Muhammad bin al-Khidir bin ‘Ali bin
Abdullah bin Taimiyah al-Harrani Hambali. Tetapi ia lebih dikenal dengan Ibnu
Taimiyah saja karena dinisbatkan dari nama kakeknya Taimiyah al-Harani
Hambali.4
Ibnu Taimiyah lahir di Harran, pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awal
tahun 661 H atau 22 Januari 1263 M. Ayahnya bernama Syaikh Syihabuddin
Abdul Halim dan kakeknya bernama Imam Majdudin Abul Barakat Abdul Salam.
Keduanya adalah ulama besar bermazhab Hambali.
Sebab penamaan ini (Taimiyah), Ibnu al-Mutawaffa menyebutkan dalam
Tarikh Irbil, dia mengatakan, al-Hafizh Abu Muhammad Abdurrahman bin Umar
al-Harrani menceritakan kepadaku dari lafazhnya, dia mengatakan, “Lebih dari
satu orang telah menceritakan kepadaku, dan aku bertanya kepadanya tentang
nama Taimiyah, apa maknanya?” Dia menjawab, “Ayah dan kakekku pergi
berhaji, aku ragu siapa di antara keduanya yang mengatakan dan saat itu istrinya
hamil. Ketika tiba di Taima’, dia melihat gadis kecil keluar dari tenda. Ketika
kembali ke Harran, ternyata dia mendapati istrinya telah melahirkan. Ketika
mereka memperlihatkannya kepadanya, dia mengatakan, “Hai Taimiyah, hai
Taimiyah.” Yakni dia serupa dengan apa yang dilihatnya di Taima’, lalu diberi
nama dengannya, atau kata-kata yang semakna dengannya. Ibnu Nashiruddin al-
Dimasyqi menyebutkan dalam al-Tibyan, dia mengatakan, “Ibu kakeknya,

4
Hidayatullah dan Abdul Latif, Pejuang dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa (Cet. I;
Jakarta: Citra, 2009), h. 113.
Muhammad bin al-Khadhir adalah pemberi nasihat yang biasa dipanggil dengan
Taimiyah, lalu dia dinisbatkan kepadanya.”5
2. Ciri-ciri Fisik
Al-Syaukani mengatakan,
Al-Zahabi berkata, “Dia adalah orang yang berkulit putih, berambut dan
berjenggot hitam, sedikit uban, rambutnya mencapai kedua daun telinganya,
kedua matanya seakan-akan lisan yang bisa berbicara, bertubuh sedang,
jarak antara kedua pundaknya lebar, bersuara lantang, fasih, membaca
dengan cepat dan tajam, tetapi diliputi dengan kesantunan.6

3. Kehidupan Sehari-hari Ibnu Taimiyah


Ketika ia menginjak usia enam tahun, pada tahun 667 H, ayahnya bersama
anggota keluarganya yang lain membawanya untuk meninggalkan tempat
kelahirannya menuju Damaskus. Hal itu untuk menghindari serangan pasukan
Tatar yang bertubi-tubi ke Harran.7 Ia adalah seorang yang berwatak keras, cerdas,
dan kuat hafalan. Ia paling menonjol di antara teman-temannya ketika menginjak
usia sepuluh tahun. Ayahnya mengajarinya ifta’ (penjelasan tentang hukum-
hukum universal tanpa memandang aplikasinya pada objeknya) dan melatihnya
dalam hal tersebut sebagai persiapan untuk menggantikan kedudukannya bila ia
meninggal dunia.
Di sana ia berdomisili, dan dari ulama di kota itu ia mempelajari dan
mendalami berbagai cabang ilmu keislaman. Dalam bidang hadis, ia belajar,
antara lain kepada Ibn Abd al-Daim (seorang ahli hadis kenamaan di negeri
tersebut), Syaikh Syamsuddin al-Hanbali, Syaikh Jalal al-Din al-Hanafi, dan lain-
lain. Kemudian ia mendalami Ilmu Fiqh, Bahasa Arab, Tafsir, dan Ushul Fiqh. Ia
terkenal sebagai seorang yang kuat hafalannya. Dalam sebuah riwayat, konon
tidak satu huruf pun al-Qur’an dan Hadis yang dihafalnya lalu lupa. Sejak kecil ia
terkenal rajin menghadiri diskusi-diskusi ilmiah. Pada saat berumur sembilan

Nashir bin Abdullah al-Maiman, al-Qawā’id wa al-Ḍawābit al-Fiqhiyyah ‘inda Ibni


5

Taimiyyah (Riyadh: Jami’ah Ummul Qura, t.th), h. 45-46.


6
Muhammad bin Ali al-Syaukani, al-Badr al-Thābi’i bi Mahāsin man Ba’da al-Qarni al-
Sābi’ , jild. I (Np: Ibnu Taimiyah, t.th), h. 64.
7
Sha’ib Abdul Hamid, Ibnu Taimiyah, terj. Irwan Kurniawan, Ibnu Taimiyah: Rekam
Jejak Sang Pembaharu (Cet. I; Jakarta: Citra, 2009), h. 68.
belas tahun ia telah mulai mengarang buku-buku dan memberi fatwa, dan pada
saat berumur dua puluh tahun ia mulai menafsirkan al-Qur’an secara mendalam.8
4. Keunggulan Ibnu Taimiyah dalam Penguasaannya di Berbagai
Bidang Ilmu
Beliau memiliki keunggulan dalam ilmu tafsir, ushul, dan semua ilmu
Islam: uṣul-nya, furū’-nya, detilnya, dan globalnya, selain ilmu qira’at. Jika tafsir
disebutkan, maka dia adalah pembawa panjinya. Jika fuqahā disebutkan, maka dia
adalah mujtahid mutlak mereka. Jika para penghafal hadir, maka dia sedang
berbicara sedang mereka diam, dia mengemukakan sedangkan mereka terdiam,
dia berkecukupan sedangkan mereka kehabisan materi. Jika ahli ilmu kalam
disebutkan, maka dia adalah orang yang tiada taranya di antara mereka dan
menjadi rujukan mereka. Jika Ibnu Sina tampak mengemukakan para filosof,
maka dia menjadikan mereka kebingungan, menguak tabir mereka, dan membuka
kedok mereka. Dia memiliki penguasaan yang luas dalam pengetahuan tentang
bahasa Arab, sharaf, dan bahasa. Namun dia adalah manusia di antara manusia
lainnya yang memiliki kesalahan dan semoga Allah mengampuninya, dan
menempatkannya di surga-Nya yang tertinggi. Dia adalah ulama rabbani dari
umat ini, orang yang langka di zamannya, pembawa panji syariat, dan pembawa
beban kaum Muslimin. Dia adalah pemimpin dalam keilmuan.9
5. Kehidupan Sosial dan Politik
Lima tahun sebelum kelahirannya, tentara Hulaghu Khan dari Mongol
menyerang dan membumihanguskan daulat Bani Abbas yang memang sudah lama
lemah akibat perpecahan internal. Jatuhnya Baghdad ke tangan Mongol pada 1258
M sekaligus menandai berakhirnya riwayat Bani Abbas yang selama kurang 500
tahun menjadi lambang kekuatan politik dunia Islam. Ibnu Taimiyah sendiri,
ketika berusia enam tahun, dibawa ayahnya, seorang ulama mazhab Hambali yang

Harun Nasution, Ensiklopedia Islam Indonesia (Jakarta: Jambatan, t.th), h.348.


8

Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi bin Qudamah al-Maqdisi, al-‘Uqūd al-
9

Durriyyah min Manāqib Syaikh al-Islām Ibni Taimiyyah (Kairo: al-Faruq al-Haditsiyyah li al-
Thaba’ah wa al-Nasyr, 2002), h. 19.
sangat disegani, mengungsi ke Damaskus untuk menghindari kekejaman tentara
Mongol yang mulai bergerak menyerang kota kelahirannya.10
Ibnu Taimiyah sendiri adalah ulama mazhab Hambali yang konsisten.
Tidak jarang ia terlibat dalam intrik-intrik dan perbedaan pendapat. Berkali-kali ia
keluar masuk penjara akibat perbedaan, baik dengan ulama-ulama mazhab lain
maupun dengan penguasa. Namun, karena rasa patriotismenya, Ibnu Taimiyah
juga terjun langsung ke gelanggang perang Saqhab (1302-1303 M) memimpin
pasukan melawan tentara Mongol yang ingin menguasai Damaskus. Pasukan Ibnu
Taimiyah berhasil mengalahkan dan menggagalkan penaklukan Mongol atas
Damaskus.11 Pengalamannya yang pahit dan kondisi sosial masyarakat yang
sedemikian kacau sangat membekas dan memengaruhi pola pikir Ibnu Taimiyah.
Ia tampil sebagai pemikir independen dengan gaya yang apa adanya, polemis, dan
kontroversial.12

B. Metode Pembaharuan Hukum Islam Ibnu Taimiyah

Berbicara soal pembaharuan hukum Islam, sebenarnya erat kaitannya


dengan ijtihad. Menurut Ibnu Taimiyah, maju atau mundurnya hukum Islam
tergantung pada tinggi rendahnya frekuensi ijtihad yang dilakukan oleh para

10
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Islam Politik: Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2010), h. 31-32.
11
Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Government According to Ibnu Taimiyah, terj.
Masrohin, Teori Politik Islam Menurut Ibnu Taimiyah (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 21-22.
Qamaruddin Khan melukiskan kepribadian Ibnu Taimiyah sebagai seorang gagah berani
dipadukan dengan kesabaran dan ketabahan. Ia tidak hanya mengajar di masjid atau berdiskusi
tentang agama. Ia juga bertempur di medan laga bila eksistensi umat Islam terancam. Sifat gagah
beraninya ini melebihi panglima perang lain, karena bersumber dari ketulusan dan pengabdian,
bukan dari pendidikan militer. Lihat Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah
(Bandung: Pustaka, 1995), h. 30.
12
Menurut Khan, ada beberapa alasan yang menyebabkan permusuhan ulama terhadap
Ibnu Taimiyah. Pertama, Ibnu Taimiyah berhasil mengalahkan Mongol di perang Saqhab. Hal ini
semakin menambah kewibawaannya di tengah-tengah umat yang tentu saja menimbulkan cemburu
dari musuh-musuhnya; Kedua, Ibnu Taimiyah dihormati pemerintah karena integritasnya yang
independen; Ketiga, Ibnu Taimiyah sangat konsisten pada pandangan mazhab Hambali dan sangat
bertentangan dengan ulama-ulama Asy’ariyah dan Maturidiyah; Keempat, Ibnu Taimiyah
menentang keras segala bid’ah dan mengecam tokoh-tokoh mistik seperti Ibnu ‘Arabi; Kelima,
cara-cara Ibnu Taimiyah yang polemis terkadang kasar, sehingga mempertajam konflik dengan
mereka. Lihat Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, h. 21-25.
mujtahid.13 Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam –
sebelum masa Ibn Taimiyah—ada suatu periode yang disebut-sebut sebagai
periode ijtihad dan kemajuan fikih Islam. Periode ini juga lazim disebut juga
dengan periode keemasan hukum Islam yang bersamaan waktunya dengan periode
kemajuan Islam I (700-1000 M).14 Periode inilah yang melahirkan para imam
mujtahid ternama (al-A’immah al-Arba’ah).

Setelah periode ijtihad dan kemajuan fiqh Islam, secara perlahan-lahan,


datang fase kemunduran hukum Islam dan kemudian periode taqlīd bahkan
disebut dengan penutupan pintu ijtihad. Fase kemunduran hukum Islam ini
berlangsung dari pertengahan abad ke-4 H sampai dengan akhir abad ke-13 H. 15
Pada masa kemunduran ini, kebanyakan ahli fikih sudah menurun kemampuannya
untuk menjadi mujtahid mutlak, dan untuk menggali hukum Islam langsung dari
sumber pokoknya. Kalau pun diadakan ijtihad, ijtihad yang dilakukan pada
periode ini kebanyakan mengambil bentuk ijtihad dalam mazhab 16, bukan lagi
ijtihad mandiri (mustaqil), seperti yang dicontohkan oleh para mujtahid mutlak
sebelumnya.

1. Sebab-sebab Taqlīd
Adapun sebab-sebab terjadinya taqlīd dan meluasnya hal tersebut, di
antaranya:
a. Seruan kuat yang gencar dilakukan para pendukung mazhab yang dianut. Hal
itu telah menutup hati dalam kepekatan, meresap pada jiwa manusia dan
mereka menganggap orang yang tidak mengambilnya berarti telah keluar
membuat bid’ah.
b. Lemahnya kepercayaan terhadap para Qāḍī.

13
Muhammad Amin, Ijtihad Ibnu Taimiyah (Jakarta: INIS, 1991), h. 2.
14
Harun Nasution, Islam Dtinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1970),
h. 206.
15
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h.
206.
16
Harun Nasution, Islam Dtinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 21.
c. Pembukuan mazhab itu menjadi sebab kesuksesannya. Jumhur berpegang
dengannya dan mereka tidak perlu terbebani dengan membahas dan meneliti
hal-hal baru, karena hal ini mudah memperolehnya dan sebagai pengamalan
yang teguh dalam penyebaran dan eksistensinya.
d. Para ulama saling hasad atau dengki
e. Saling menyempitnya pergaulan para fuqahā dan saling berdebat di antara
mereka.
f. Berlebihan dalam meringkas yang berakibat tersia-sia waktu belajar bagi
pelajar dan menghalanginya dalam pembentukan fikihnya.
g. Rusaknya aturan belajar dan merebaknya ulama dalam kesibukan dengan hal-
hal yang tidak bermanfaat baginya, yang tidak mendorong mereka untuk
melakukan istinbāth dan tidak mengikat pada salah satu sebab.
h. Banyaknya kitab karangan yang menghalangi karya baru.
i. Hilangnya rasa percaya diri, lemahnya keinginan dan menurutnya kehendak.
j. Manusia terlalu cinta terhadap materi dan telah menguasai dirinya serta
berpalingnya keinginan untuk mengumpulkan harta.17
Karena para ulama sudah menyandarkan hukum-hukumnya kepada salah
satu dari empat mazhab, bahkan diwarnai oleh kefanatikan mazhab yang
berlebihan, hal ini bisa dimaklumi karena empat mazhab yang sudah dijadikan
sandaran memiliki kondisi stabil dan signifikan yang naik di mata masyarakat.
bahkan perhatian masyarakat sudah bertumpu pada fikih-fikih yang sudah
ditetapkan, bukan lagi bersumber al-Qur’an dan sunnah.
Ibnu Taimiyah adalah faqīh pertama yang bertolak belakang dengan
pendapat yang mengatakan bahwa keempat mazhab fikih telah membahas
persoalan secara final, dan dengan demikian ijtihad tidak diperlukan lagi. 18

17
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, terj. Nurhadi AGA, Sejarah Fikih
Islam (Cet. II; Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 177-179.
18
Ibn Taimiyah yang lahir pada Tahun 1263, yaitu lima tahun sesudah jatuhnya Baghdad.
Kaum konservatif menyerukan adanya keseragaman hidup sosial dari seluruh umat, untuk itu
mereka menolak segala pembaharuan dalam bidang syari’ah dan berpegang teguh pada hukum-
hukum yang telah ditentukan oleh ulama terdahulu. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 191-192.
Melihat kondisi seperti itu, Ibnu Taimiyah tampil melakukan pembaharuan
hukum.
2. Rencana Pembaharuan Hukum oleh Ibnu Taimiyah
Adapun pembaharuan hukum Islam yang ia canangkan yang tertuang
dalam Kitab Majmū’ al-Rasā’il al-Kubrā dan Kitab al-Fatāwa menggunakan
prinsip-prinsip antara lain:
a. Menyerukan kepada semua umat Islam untuk tidak fanatik dalam bermazhab.
b. Melarang taqlīd.
c. Menentang dan mencela para fuqaha dan para sufi yang menginginkan bentuk
ke-warā’an (kealiman) tertentu yang berlebih-lebihan dan tidak mempunyai
sandaran syarā’.
Selain yang dicantumkan di atas, Ibnu Taimiyah menekankan perlunya
pemahaman tentang argumentasi yang terlibat dalam suatu sikap keagamaan.
Sebagai konsekuensinya, ijtihad harus terus-menerus dilakukan untuk
menghasilkan pemahaman keagamaan yang segar dan kontekstual. Dalam
argumentasi pentingnya ijtihad ini ia menekankan posisi sentral al-Qur’an dan
sunnah. Oleh karena kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam
dewasa ini, ijtihad tidak boleh dilakukan secara parsial, tetapi hendaknya
dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan pakar dalam ilmu pengetahuan
yang terkait. Agar hal ini dapat terlaksana dengan baik, maka pintu ijtihad perlu
dibuka kembali dan selanjutnya dilakukan ijtihad dengan metode baru serta
menghilangkan perasaan terikat pada suatu mazhab dan bersungguh-sungguh
untuk menyatukan pendapat mazhab-mazhab itu agar dapat digunakan dalam
kehidupan kaum muslimin di dunia ini.19
3. Sumber Hukum Ijtihad Ibnu Taimiyah
Adapun sumber hukum Islam yang diterapkan oleh Ibnu Taimiyah di
antaranya ialah:
a. Al-Qur’an
b. Hadis Nabi

19
Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Depok: Kencana, 2017),
h. 115.
c. Ijma’
d. Qiyas
4. Pembaharuan Hukum Islam Ibnu Taimiyah
Selanjutnya, proses perkembangan pembaharuan hukum Islam Ibnu
Taimiyah dapat dikategorikan ke dalam tiga periodesasi:
a. Dalam menyampaikan fatwa-fatwanya, Ibnu Taimiyah terikat dengan mazhab
fikih Hanabilah pada umumnya dan pada imam Ahmad bin Hambal pada
khususnya.
b. Ibnu Taimiyah mulai mengadakan pembahasan mendalam terhadap hampir
semua mazhab fikih yang ada, kemudian memperbandingkan pendapat
mereka, setelah itu memilih pendapat yang menurutnya lebih dekat kepada al-
Qur’an, sunnah, dan atsar sahabat.
c. Ibnu Taimiyah melakukan ijtihad secara mandiri langsung memahami nash
al-Qur’an dan hadis dengan memperhatikan tujuan umum syariat tanpa terikat
dengan mazhab tertentu. Pada fase ini, Ibnu Taimiyah menyampaikan fatwa-
fatwa dengan bebas walaupun pada hakikatnya tidak keluar dari lingkungan
pendapat-pendapat mazhab yang ada.20

C. Contoh Ijtihad Ibnu Taimiyyah


1. Ketentuan jarak dan waktu untuk mengerjakan shalat qashar dan
berbuka puasa bagi musafir
Menurut Imam Malik, Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan ulama lainnya,
shalat qashar dan ifthar bagi musafir tidak boleh dilakukan kecuali dalam
perjalanan yang jaraknya minimal 2 (dua) marhalah, yakni perjalanan yang
memakan waktu dua hari atau sehari semalam. Sedangkan menurut Abu Hanifah,
batas minimal diperbolehkannya ifthar dan qashar bagi musafir adalah tiga
marhalah, yakni tiga hari perjalanan.21
20
Tindakan pelepasan diri dari keterikatan dengan mazhab tertentu itu dilakukan Ibn
Taimiyah karena kemampuan memahami nash al-Qur’an dan Hadis dan juga melihat kondisi umat
pada waktu itu. Lihat Muhammad Yusuf Musa, Ibnu Taimiyah (Kairo: Maktabah al-Misr, t.th), h.
226.
21
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Mesir: Musthafa al-Babi
al-Halabi, 1960), h. 167-168.
Menurut Ibnu Taimiyah, ayat al-Qur’an yang berbicara masalah qashar
dan ifthar bagi musafir adalah Surat al-Nisa’ ayat 101 dan al-Baqarah ayat 184.
Kedua ayat itu tidak menjelaskan tentang batasan boleh atau tidaknya
melaksanakan qashar dan ifthar bagi musafir. Atas dasar ini, menurut Ibnu
Taimiyah tidaklah tepat menentukan dan membatasi jarak waktu kebolehan
melakukan qashar dan ifthar.
2. Talak
Menjatuhkan talaq tiga sekaligus hukumnya jatuh satu. Menurut Ibnu
Taimiyah, tiga talaq yang dijatuhkan sekaligus hukumnya tetap hanya jatuh satu
talaq. Sedangkan menurut Jumhur Ulama, tiga talaq yang dijatuhkan sekaligus
dianggap jatuh talaq tiga.22 Sementara itu ada yang mengatakan jatuh tiga, jika
wanita yang ditalaq telah pernah digauli, dan hanya dihitung satu bila ternyata
belum pernah dicampuri.23
3. Wakaf
Menukar atau menjual harta wakaf (termasuk masjid) yang sudah
kurang/tidak bermanfaat hukumnya boleh, bahkan lebih baik jika pengganti
benda-benda wakaf yang ditukar atau yang dijual itu justru lebih berfungsi dan
bernilai guna daripada mempertahankan benda-benda wakaf yang sudah tidak
berfungsi atau rusak. Khusus mengenai benda wakaf yang berbentuk masjid,
selain ulama Hanabilah, para ulama telah bersepakat untuk tidak membolehkan
menjual masjid termasuk jika masjid tersebut sampai rusak sekalipun. Akan
tetapi, menurut mazhab Hanbali dan Ibnu Taimiyah, masjid itu boleh dijual jika
tindakan demikian benarbenar dibutuhkan.24
4. Mengangkat Beberapa Orang Khalifah di Dunia Islam
Di antara fleksibilitas fikih Ibnu Taimiyah dalam bidang mu’amalah
adalah ijtihadnya yang membolehkan dunia Islam memiliki dua orang atau lebih

22
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Kairo: Dār al-Fath li ‘I’lam al-‘Arabi, t.th), h.
268-269.
23
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 268-269.
Muhammad Jawad Mughniyyah, Al-Ahwal al-Syakhsyiyyah ‘ala al-Mazhahib al-
24

Khamsah (Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1964), h. 329.


kepala Negara dengan beberapa Negara. Menurutnya, umat Islam tidak
diharuskan hanya mempunyai satu Negara dengan seorang kepala Negara.25
Inti doktrin politik Ibnu Taimiyah adalah terwujudnya syari’at Islam
secara benar dan baik, sedangkan Negara hanya merupakan alat untuk
menegakkan syari’at. Maka, mudah dimengerti jika ia member kemungkinan bagi
adanya pluralisme Negara dan pemerintahan dalam dunia Islam seperti yang
dikenal sekarang.

BAB III

PENUTUP/KESIMPULAN

25
Ibnu Taimiyah, Minhāj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd al-Kalām al-Shi’ah wa al-
Qadariyyah, Jild. II (Beirut: Dār al-Kutub al-‘ilmiyyah, t.th), h. 223.
A. Nama lengkapnya ialah Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin
Abdul Salam bin Abil Qasim bin Muhammad bin al-Khidir bin ‘Ali bin
Abdullah bin Taimiyah al-Harrani Hambali. Lahir pada tanggal 10 Rabi’ul
Awal 661 H di Harran dan diungsikan ke Damaskus dikarenakan perang yang
terjadi saat itu. Beliau menguasai ilmu fikih, tafsir, ushul fikih, hadis dan
masih banyak lagi. Ibnu Taimiyah sendiri adalah ulama mazhab Hambali
yang konsisten. Tidak jarang ia terlibat dalam intrik-intrik dan perbedaan
pendapat. Ia tampil sebagai pemikir independen dengan gaya yang apa
adanya, polemis, dan kontroversial.
B. Adapun konsep Pembaharuan Hukum Islam yang dikembangkan oleh Ibnu
Taimiyah ialah:
1. Menyampaikan fatwa berdasarkan mazhab yang dianutnya, yakni mazhab
Hanabilah dan Imam Ahmad bin Hambali
2. Mendalami ilmu fikih berbagai mazhab dan membandingkan lalu
merumuskan pendapat dari mazhab apa yang dekat dengan al-Qur’an dan
hadis
3. Melakukan ijtihad mandiri sesuai dengan al-Qur’an dan hadis.
C. Contoh ijtihad yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah di antara lain ditinjau dari
segi ibadah seperti ketentuan jarak dan waktu untuk mengerjakan shalat
qashar dan berbuka puasa bagi musafir, ditinjau dari segi pernikahan yaitu
talak, ditinjau dari wakaf seperti wakaf masjid, dan kebolehan lebih dari satu
khalifah dalam memimpin negara.

DAFTAR PUSTAKA

Adonis. Bahtsu fi al-Ibda’ wa al-Itba ‘inda al-Arab. Terj. Khairon Nahdiyyin.


Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam. Yogyakarta: Lkis Group, 2012.
Amin, Husain Ahmad. Al-Mi’ah al-‘Azham fi Tarikh al-Islam. Terj. Bahruddin
Fannani. Seratus Tokoh dalam Sejarah Islam. Cet. III; Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 1999)
Amin, Muhammad. Ijtihad Ibnu Taimiyah. Jakarta: INIS, 1991.
Farid, Ahmad. Min A’lami al-Salaf. Terj. Ahmad Syaikhu. Biografi 60 Ulama
Ahlussunnah: yang Paling Berpengaruh dan Fenomenal dalam Sejarah
Islam. Cet. IV; Jakarta: Darul Haq, 2016.
Hamid, Sha’ib. Ibnu Taimiyah. terj. Irwan Kurniawan, Ibnu Taimiyah: Rekam
Jejak Sang Pembaharu. Cet. I; Jakarta: Citra, 2009.
Hanafi, Ahmad. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1970.
Hidayatullah dan Abdul Latif. Pejuang dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa.
Cet. I; Jakarta: Citra, 2009.
Iqbal, Muhammad dan Amin Husein Nasution. Pemikiran Islam Politik: Dari
Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Cet. I; Jakarta: Kencana,
2010.
Jindan, Khalid Ibrahim. The Islamic Government According to Ibnu Taimiyah,
terj. Masrohin, Teori Politik Islam Menurut Ibnu Taimiyah. Surabaya:
Risalah Gusti, 1995.
Khan, Qamaruddin. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah. Bandung: Pustaka, 1995.
Al-Maiman, Nashir bin Abdullah. al-Qawā’id wa al-Ḍawābit al-Fiqhiyyah ‘inda
Ibni Taimiyyah. Riyadh: Jami’ah Ummul Qura, t.th.
Manan, Abdul. Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Cet. I; Depok: Kencana,
2017.
Al-Maqdisi, Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi bin Qudamah. al-‘Uqūd al-
Durriyyah min Manāqib Syaikh al-Islām Ibni Taimiyyah. Kairo: al-Faruq
al-Haditsiyyah li al-Thaba’ah wa al-Nasyr, 2002.
Mas’adi, Ghufron. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam. Cet. II; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998.
Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangannya Hukum Islam. Cet. I; Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2000.
Mughniyyah, Muhammad Jawad. Al-Ahwal al-Syakhsyiyyah ‘ala al-Mazhahib al-
Khamsah. Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayin, 1964.
Musa, Muhammad Yusuf. Ibnu Taimiyah. Kairo: Maktabah al-Misr, t.th.
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
_______. Ensiklopedia Islam Indonesia. Jakarta: Jambatan, t.th.
_______. Islam Dtinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Rusyd, Ibnu. Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid. Mesir: Musthafa al-
Babi al-Halabi, 1960.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Juz III. Kairo: Dār al-Fath li ‘I’lam al-‘Arabi, t.th.
Al-Sayis, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islami. terj. Nurhadi AGA, Sejarah
Fikih Islam. Cet. II; Surabaya: Risalah Gusti, 1996.
Sirry, Mun’im. Sejarah Fikih Islam. Cet. II; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1998.
Sucipto. “Pembaharuan dalam Hukum Islam: Studi Terhadap Pemikiran Hukum
Ibnu Taimiyah”. ASAS 3. No. 1 (2011)
Al-Syaukani, Muhammad bin Ali. al-Badr al-Thābi’i bi Mahāsin man Ba’da al-
Qarni al-Sābi’ . jild. I. Np: Ibnu Taimiyah, t.th.
Taimiyah, Ibnu. Minhāj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd al-Kalām al-Shi’ah wa
al-Qadariyyah. Jild. II. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.
Yasin. “Pemikiran Hukum Islam Ibnu Taimiyah”. Jurnal al-Syir’ah 8. No. 2
(2010)

Anda mungkin juga menyukai