Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Disusun Oleh:
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam sebagai sebuah fenomena sejarah, mengalami masa-masa
pertumbuhan dan perkembangan. Para ahli sejarah hukum Islam dapat
membaginya dalam sejumlah periode, di mana masing-masing periode memiliki
corak dan dinamika tertentu. Pada periode awal (abad ke-7 sampai abad ke-10 H)
hukum Islam mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini terbukti
dengan lahirnya sejumlah mazhab yang masing-masing memiliki perbedaan latar
belakang sosio-kultural di mana mazhab-mazhab tersebut tumbuh dan
berkembang. Jadi perkembangan sosial politik dan peradaban merupakan faktor
pendorong perkembangan pemikiran hukum Islam. Tentu saja hal itu tidak
terlepas dari pengaruh doktrin teologis yang memerintahkan agar umat Islam
mengaktualisasikan potensi penalaran semaksimal mungkin.1
Sejarah menunjukkan bahwa sejalan dengan kemajuan masyarakat
muslim, kebebasan dan kemajuan untuk melakukan ijtihad hukum juga
mengalami kemajuan yang pesat. Pada masa itu banyak muncul mujtahid mutlak,
yang hasil pemikirannya sangat bermanfaat dan dijadikan sebagai rujukan dalam
penyelesaian persoalan dalam masyarakat. Namun demikian dengan mundurnya
masyarakat muslim, pemikiran di bidang hukum juga mengalami penurunan
bahkan stagnasi, umat Islam lebih condong kepada taqlīd dan fanatisme kepada
mazhab.2
Setelah melewati masa kemunduran di mana pemikiran hukum Islam
mengalami masa-masa taqlīd, semenjak akhir abad ke-18 H sejarah Islam
memasuki periode modern dengan semangat mengejar ketertinggalan di bidang
politik, ekonomi, dan peradaban. Sejalan dengan semangat pembaharuan tersebut,
1
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam (Cet. II; Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), h. 2-3.
2
Sucipto, “Pembaharuan dalam Hukum Islam: Studi Terhadap Pemikiran Hukum Ibnu
Taimiyah”, ASAS 3, no. 1 (2011): h. 50.
timbullah semangat membuka pintu ijtihad setelah mengalami masa taqlīd yang
panjang.3
Di antara para tokoh pemikir, muncullah pemikir hukum Islam kenamaan
di zaman itu, yakni Ibnu Taimiyah. Seorang dengan penobatan syaikhul Islam
dikarenakan menguasai berbagai ilmu di setiap bidang yang berbeda-beda.
Sehingga dengan ilmu-ilmu itu, ia melebihi orang-orang yang mengkhususkan
dan memasyhurkan satu bidang tertentu, karena ia namanya terdengar ke mana-
mana dan pendapatnya kuat dipegang. Ia berusaha untuk melakukan pembaharuan
pemikiran di bidang hukum, baik di bidang ibadah maupun di bidang mu’amalah.
Upaya demikian patut diapresiasi, tidak hanya dari sisi materi hukumnya, tetapi
yang lebih urgen adalah dari sisi prosesnya, yakni di saat terjadi kokohnya
pengaruh suatu mazhab, ia berani melakukan pembaharuan walaupun realitasnya
bertentangan dan reaksi keras penentangnya akan selalu berupaya untuk
menghalau dan menggagalkannya.
Untuk itu, penulis mengangkat permasalahan-permasalahan apa saja yang
dihadapi oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya, terutama dengan kaitannya dalam
pembaharuan hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hidup Ibnu Taimiyah?
2. Bagaimana metode pembaharuan hukum Islam yang dikembangkan oleh
Ibnu Taimiyah serta kaitannya selanjutnya?
3. Apa saja contoh ijtihad Ibnu Taimiyah terkait dengan pembaharuan
hukum Islam?
3
Ghufron A. Mas’adi, Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan
Hukum Islam, h. 4.
BAB II
PEMBAHASAN
4
Hidayatullah dan Abdul Latif, Pejuang dan Pemikir Islam dari Masa ke Masa (Cet. I;
Jakarta: Citra, 2009), h. 113.
Muhammad bin al-Khadhir adalah pemberi nasihat yang biasa dipanggil dengan
Taimiyah, lalu dia dinisbatkan kepadanya.”5
2. Ciri-ciri Fisik
Al-Syaukani mengatakan,
Al-Zahabi berkata, “Dia adalah orang yang berkulit putih, berambut dan
berjenggot hitam, sedikit uban, rambutnya mencapai kedua daun telinganya,
kedua matanya seakan-akan lisan yang bisa berbicara, bertubuh sedang,
jarak antara kedua pundaknya lebar, bersuara lantang, fasih, membaca
dengan cepat dan tajam, tetapi diliputi dengan kesantunan.6
Muhammad bin Ahmad bin Abdul Hadi bin Qudamah al-Maqdisi, al-‘Uqūd al-
9
Durriyyah min Manāqib Syaikh al-Islām Ibni Taimiyyah (Kairo: al-Faruq al-Haditsiyyah li al-
Thaba’ah wa al-Nasyr, 2002), h. 19.
sangat disegani, mengungsi ke Damaskus untuk menghindari kekejaman tentara
Mongol yang mulai bergerak menyerang kota kelahirannya.10
Ibnu Taimiyah sendiri adalah ulama mazhab Hambali yang konsisten.
Tidak jarang ia terlibat dalam intrik-intrik dan perbedaan pendapat. Berkali-kali ia
keluar masuk penjara akibat perbedaan, baik dengan ulama-ulama mazhab lain
maupun dengan penguasa. Namun, karena rasa patriotismenya, Ibnu Taimiyah
juga terjun langsung ke gelanggang perang Saqhab (1302-1303 M) memimpin
pasukan melawan tentara Mongol yang ingin menguasai Damaskus. Pasukan Ibnu
Taimiyah berhasil mengalahkan dan menggagalkan penaklukan Mongol atas
Damaskus.11 Pengalamannya yang pahit dan kondisi sosial masyarakat yang
sedemikian kacau sangat membekas dan memengaruhi pola pikir Ibnu Taimiyah.
Ia tampil sebagai pemikir independen dengan gaya yang apa adanya, polemis, dan
kontroversial.12
10
Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Islam Politik: Dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer (Cet. I; Jakarta: Kencana, 2010), h. 31-32.
11
Khalid Ibrahim Jindan, The Islamic Government According to Ibnu Taimiyah, terj.
Masrohin, Teori Politik Islam Menurut Ibnu Taimiyah (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 21-22.
Qamaruddin Khan melukiskan kepribadian Ibnu Taimiyah sebagai seorang gagah berani
dipadukan dengan kesabaran dan ketabahan. Ia tidak hanya mengajar di masjid atau berdiskusi
tentang agama. Ia juga bertempur di medan laga bila eksistensi umat Islam terancam. Sifat gagah
beraninya ini melebihi panglima perang lain, karena bersumber dari ketulusan dan pengabdian,
bukan dari pendidikan militer. Lihat Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah
(Bandung: Pustaka, 1995), h. 30.
12
Menurut Khan, ada beberapa alasan yang menyebabkan permusuhan ulama terhadap
Ibnu Taimiyah. Pertama, Ibnu Taimiyah berhasil mengalahkan Mongol di perang Saqhab. Hal ini
semakin menambah kewibawaannya di tengah-tengah umat yang tentu saja menimbulkan cemburu
dari musuh-musuhnya; Kedua, Ibnu Taimiyah dihormati pemerintah karena integritasnya yang
independen; Ketiga, Ibnu Taimiyah sangat konsisten pada pandangan mazhab Hambali dan sangat
bertentangan dengan ulama-ulama Asy’ariyah dan Maturidiyah; Keempat, Ibnu Taimiyah
menentang keras segala bid’ah dan mengecam tokoh-tokoh mistik seperti Ibnu ‘Arabi; Kelima,
cara-cara Ibnu Taimiyah yang polemis terkadang kasar, sehingga mempertajam konflik dengan
mereka. Lihat Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, h. 21-25.
mujtahid.13 Dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam –
sebelum masa Ibn Taimiyah—ada suatu periode yang disebut-sebut sebagai
periode ijtihad dan kemajuan fikih Islam. Periode ini juga lazim disebut juga
dengan periode keemasan hukum Islam yang bersamaan waktunya dengan periode
kemajuan Islam I (700-1000 M).14 Periode inilah yang melahirkan para imam
mujtahid ternama (al-A’immah al-Arba’ah).
1. Sebab-sebab Taqlīd
Adapun sebab-sebab terjadinya taqlīd dan meluasnya hal tersebut, di
antaranya:
a. Seruan kuat yang gencar dilakukan para pendukung mazhab yang dianut. Hal
itu telah menutup hati dalam kepekatan, meresap pada jiwa manusia dan
mereka menganggap orang yang tidak mengambilnya berarti telah keluar
membuat bid’ah.
b. Lemahnya kepercayaan terhadap para Qāḍī.
13
Muhammad Amin, Ijtihad Ibnu Taimiyah (Jakarta: INIS, 1991), h. 2.
14
Harun Nasution, Islam Dtinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: Bulan Bintang, 1970),
h. 206.
15
Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h.
206.
16
Harun Nasution, Islam Dtinjau dari Berbagai Aspeknya, h. 21.
c. Pembukuan mazhab itu menjadi sebab kesuksesannya. Jumhur berpegang
dengannya dan mereka tidak perlu terbebani dengan membahas dan meneliti
hal-hal baru, karena hal ini mudah memperolehnya dan sebagai pengamalan
yang teguh dalam penyebaran dan eksistensinya.
d. Para ulama saling hasad atau dengki
e. Saling menyempitnya pergaulan para fuqahā dan saling berdebat di antara
mereka.
f. Berlebihan dalam meringkas yang berakibat tersia-sia waktu belajar bagi
pelajar dan menghalanginya dalam pembentukan fikihnya.
g. Rusaknya aturan belajar dan merebaknya ulama dalam kesibukan dengan hal-
hal yang tidak bermanfaat baginya, yang tidak mendorong mereka untuk
melakukan istinbāth dan tidak mengikat pada salah satu sebab.
h. Banyaknya kitab karangan yang menghalangi karya baru.
i. Hilangnya rasa percaya diri, lemahnya keinginan dan menurutnya kehendak.
j. Manusia terlalu cinta terhadap materi dan telah menguasai dirinya serta
berpalingnya keinginan untuk mengumpulkan harta.17
Karena para ulama sudah menyandarkan hukum-hukumnya kepada salah
satu dari empat mazhab, bahkan diwarnai oleh kefanatikan mazhab yang
berlebihan, hal ini bisa dimaklumi karena empat mazhab yang sudah dijadikan
sandaran memiliki kondisi stabil dan signifikan yang naik di mata masyarakat.
bahkan perhatian masyarakat sudah bertumpu pada fikih-fikih yang sudah
ditetapkan, bukan lagi bersumber al-Qur’an dan sunnah.
Ibnu Taimiyah adalah faqīh pertama yang bertolak belakang dengan
pendapat yang mengatakan bahwa keempat mazhab fikih telah membahas
persoalan secara final, dan dengan demikian ijtihad tidak diperlukan lagi. 18
17
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, terj. Nurhadi AGA, Sejarah Fikih
Islam (Cet. II; Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 177-179.
18
Ibn Taimiyah yang lahir pada Tahun 1263, yaitu lima tahun sesudah jatuhnya Baghdad.
Kaum konservatif menyerukan adanya keseragaman hidup sosial dari seluruh umat, untuk itu
mereka menolak segala pembaharuan dalam bidang syari’ah dan berpegang teguh pada hukum-
hukum yang telah ditentukan oleh ulama terdahulu. Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 191-192.
Melihat kondisi seperti itu, Ibnu Taimiyah tampil melakukan pembaharuan
hukum.
2. Rencana Pembaharuan Hukum oleh Ibnu Taimiyah
Adapun pembaharuan hukum Islam yang ia canangkan yang tertuang
dalam Kitab Majmū’ al-Rasā’il al-Kubrā dan Kitab al-Fatāwa menggunakan
prinsip-prinsip antara lain:
a. Menyerukan kepada semua umat Islam untuk tidak fanatik dalam bermazhab.
b. Melarang taqlīd.
c. Menentang dan mencela para fuqaha dan para sufi yang menginginkan bentuk
ke-warā’an (kealiman) tertentu yang berlebih-lebihan dan tidak mempunyai
sandaran syarā’.
Selain yang dicantumkan di atas, Ibnu Taimiyah menekankan perlunya
pemahaman tentang argumentasi yang terlibat dalam suatu sikap keagamaan.
Sebagai konsekuensinya, ijtihad harus terus-menerus dilakukan untuk
menghasilkan pemahaman keagamaan yang segar dan kontekstual. Dalam
argumentasi pentingnya ijtihad ini ia menekankan posisi sentral al-Qur’an dan
sunnah. Oleh karena kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam
dewasa ini, ijtihad tidak boleh dilakukan secara parsial, tetapi hendaknya
dilakukan secara komprehensif dengan melibatkan pakar dalam ilmu pengetahuan
yang terkait. Agar hal ini dapat terlaksana dengan baik, maka pintu ijtihad perlu
dibuka kembali dan selanjutnya dilakukan ijtihad dengan metode baru serta
menghilangkan perasaan terikat pada suatu mazhab dan bersungguh-sungguh
untuk menyatukan pendapat mazhab-mazhab itu agar dapat digunakan dalam
kehidupan kaum muslimin di dunia ini.19
3. Sumber Hukum Ijtihad Ibnu Taimiyah
Adapun sumber hukum Islam yang diterapkan oleh Ibnu Taimiyah di
antaranya ialah:
a. Al-Qur’an
b. Hadis Nabi
19
Abdul Manan, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Cet. I; Depok: Kencana, 2017),
h. 115.
c. Ijma’
d. Qiyas
4. Pembaharuan Hukum Islam Ibnu Taimiyah
Selanjutnya, proses perkembangan pembaharuan hukum Islam Ibnu
Taimiyah dapat dikategorikan ke dalam tiga periodesasi:
a. Dalam menyampaikan fatwa-fatwanya, Ibnu Taimiyah terikat dengan mazhab
fikih Hanabilah pada umumnya dan pada imam Ahmad bin Hambal pada
khususnya.
b. Ibnu Taimiyah mulai mengadakan pembahasan mendalam terhadap hampir
semua mazhab fikih yang ada, kemudian memperbandingkan pendapat
mereka, setelah itu memilih pendapat yang menurutnya lebih dekat kepada al-
Qur’an, sunnah, dan atsar sahabat.
c. Ibnu Taimiyah melakukan ijtihad secara mandiri langsung memahami nash
al-Qur’an dan hadis dengan memperhatikan tujuan umum syariat tanpa terikat
dengan mazhab tertentu. Pada fase ini, Ibnu Taimiyah menyampaikan fatwa-
fatwa dengan bebas walaupun pada hakikatnya tidak keluar dari lingkungan
pendapat-pendapat mazhab yang ada.20
22
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III (Kairo: Dār al-Fath li ‘I’lam al-‘Arabi, t.th), h.
268-269.
23
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, h. 268-269.
Muhammad Jawad Mughniyyah, Al-Ahwal al-Syakhsyiyyah ‘ala al-Mazhahib al-
24
BAB III
PENUTUP/KESIMPULAN
25
Ibnu Taimiyah, Minhāj al-Sunnah al-Nabawiyyah fi Naqd al-Kalām al-Shi’ah wa al-
Qadariyyah, Jild. II (Beirut: Dār al-Kutub al-‘ilmiyyah, t.th), h. 223.
A. Nama lengkapnya ialah Taqiyuddin Abul Abbas Ahmad bin Abdul Halim bin
Abdul Salam bin Abil Qasim bin Muhammad bin al-Khidir bin ‘Ali bin
Abdullah bin Taimiyah al-Harrani Hambali. Lahir pada tanggal 10 Rabi’ul
Awal 661 H di Harran dan diungsikan ke Damaskus dikarenakan perang yang
terjadi saat itu. Beliau menguasai ilmu fikih, tafsir, ushul fikih, hadis dan
masih banyak lagi. Ibnu Taimiyah sendiri adalah ulama mazhab Hambali
yang konsisten. Tidak jarang ia terlibat dalam intrik-intrik dan perbedaan
pendapat. Ia tampil sebagai pemikir independen dengan gaya yang apa
adanya, polemis, dan kontroversial.
B. Adapun konsep Pembaharuan Hukum Islam yang dikembangkan oleh Ibnu
Taimiyah ialah:
1. Menyampaikan fatwa berdasarkan mazhab yang dianutnya, yakni mazhab
Hanabilah dan Imam Ahmad bin Hambali
2. Mendalami ilmu fikih berbagai mazhab dan membandingkan lalu
merumuskan pendapat dari mazhab apa yang dekat dengan al-Qur’an dan
hadis
3. Melakukan ijtihad mandiri sesuai dengan al-Qur’an dan hadis.
C. Contoh ijtihad yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah di antara lain ditinjau dari
segi ibadah seperti ketentuan jarak dan waktu untuk mengerjakan shalat
qashar dan berbuka puasa bagi musafir, ditinjau dari segi pernikahan yaitu
talak, ditinjau dari wakaf seperti wakaf masjid, dan kebolehan lebih dari satu
khalifah dalam memimpin negara.
DAFTAR PUSTAKA