Anda di halaman 1dari 20

1.

Klasifikasi Nyeri

Penggolongan nyeri yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan satu


dimensi yaitu berdasarkan patofisiologi (nosiseptif vs neuropatik) ataupun
berdasarkan durasinya (nyeri akut vs kronik).

a. Nosiseptik vs Neuropatik

Berdasarkan patofisiologinya nyeri dibagi menjadi nyeri nosiseptik dan nyeri


neuropatik. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang disebabkan oleh adanya stimuli
noksius (trauma, penyakit atau proses radang). Dapat diklasifikasikan menjadi nyeri
viseral, bila berasal dari rangsangan pada organ viseral, atau nyeri somatik, bila
berasal dari jaringan seperti kulit, otot, tulang atau sendi. Nyeri somatik sendiri dapat
diklasifikasikan menjadi dua yaitu superfisial (dari kulit) dan dalam (dari yang lain).

Pada nyeri nosiseptik sistem saraf nyeri berfungsi secara normal, secara umum
ada hubungan yang jelas antara persepsi dan intensitas stimuli dan nyerinya
mengindikasikan kerusakan jaringan. Perbedaan yang terjadi dari bagaimana stimuli
diproses melalui tipe jaringan menyebabkan timbulnya perbedaan karakteristik.
Sebagai contoh nyeri somatik superfisial digambarkan sebagai sensasi tajam dengan
lokasi yang jelas, atau rasa terbakar. Nyeri somatik dalam digambarkan sebagai
sensasi tumpul yang difus. Sedang nyeri viseral digambarkan sebagai sensasi
cramping dalam yang sering disertai nyeri alih (nyerinya pada daerah lain).

Nyeri neuropatik adalah nyeri dengan impuls yang berasal dari adanya kerusakan
atau disfungsi dari sistim saraf baik perifer atau pusat. Penyebabnya adalah trauma,
radang, penyakit metabolik (diabetes mellitus, DM), infeksi (herpes zooster), tumor,
toksin, dan penyakit neurologis primer. Dapat dikategorikan berdasarkan sumber atau
letak terjadinya gangguan utama yaitu sentral dan perifer. Dapat juga dibagi menjadi
peripheral mononeuropathy dan polyneuropathy, deafferentation pain,
sympathetically maintained pain, dan central pain.

Nyeri neuropatik sering dikatakan nyeri yang patologis karena tidak bertujuan
atau tidak jelas kerusakan organnya. Kondisi kronik dapat terjadi bila terjadi
perubahan patofisiologis yang menetap setelah penyebab utama nyeri hilang.
Sensitisasi berperan dalam proses ini. Walaupun proses sensitisasi sentral akan
berhenti bila tidak ada sinyal stimuli noksius, namun cedera saraf dapat membuat
perubahan di SSP yang menetap. Sensitisasi menjelaskan mengapa pada nyeri
neuropatik memberikan gejala hiperalgesia, alodinia ataupun nyeri yang persisten.

Nyeri neuropatik dapat bersifat terus menerus atau episodik dan digambarkan
dalam banyak gambaran seperti rasa terbakar, tertusuk, shooting, seperti kejutan
listrik, pukulan, remasan, spasme atau dingin. Beberapa hal yang mungkin
berpengaruh pada terjadinya nyeri neuropatik yaitu sensitisasi perifer, timbulnya
aktifitas listrik ektopik secara spontan, sensitisasi sentral, reorganisasi struktur,
adanya proses disinhibisi sentral, dimana mekanisme inhibisi dari sentral yang normal
menghilang, serta terjadinya gangguan pada koneksi neural, dimana serabut saraf
membuat koneksi yang lebih luas dari yang normal.

b. Akut vs Kronik

Nyeri akut diartikan sebagai pengalaman tidak menyenangkan yang kompleks


berkaitan dengan sensorik, kognitif dan emosional yang berkaitan dengan trauma
jaringan, proses penyakit, atau fungsi abnormal dari otot atau organ visera. Nyeri akut
berperan sebagai alarm protektif terhadap cedera jaringan. Reflek protektif (reflek
menjauhi sumber stimuli, spasme otot, dan respon autonom) sering mengikuti nyeri
akut. Secara patofisiologi yang mendasari dapat berupa nyeri nosiseptif ataupun nyeri
neuropatik.
Nyeri kronik diartikan sebagai nyeri yang menetap melebihi proses yang terjadi
akibat penyakitnya atau melebihi waktu yang dibutuhkan untuk penyembuhan,
biasanya 1 atau 6 bulan setelah onset, dengan kesulitan ditemukannya patologi yang
dapat menjelaskan tentang adanya nyeri atau tentang mengapa nyeri tersebut masih
dirasakan setelah proses penyembuhan selesai. Nyeri kronik juga diartikan sebagai
nyeri yang menetap yang mengganggu tidur dan kehidupan sehari-hari, tidak
memiliki fungsi protektif, serta menurunkan kesehatan dan fungsional seseorang.
Penyebabnya bermacam-macam dan dipengaruhi oleh factor multidimensi, bahkan
pada beberapa kasus dapat timbul secara de novo tanpa penyebab yang jelas. Nyeri
kronik dapat berupa nyeri nosiseptif atau nyeri neuropatik ataupun keduanya.

Nyeri kronik sering di bagi menjadi nyeri kanker (pain associated with cancer)
dan nyeri bukan kanker (chronic non-cancer pain, CNCP). Banyak ahli yang
berpendapat bahwa nyeri kanker diklasifikasi terpisah karena komponen akut dan
kronik yang dimilikinya, etiologinya yang sangat beragam, dan berbeda dalam secara
signifikan dari CNCP baik dari segi waktu, patologi dan strategi penatalaksanaannya.
Nyeri kanker ini disebabkan oleh banyak faktor yaitu karena penyakitnya sendiri
(invasi tumor ke jaringan lain, efek kompresi atau invasi ke saraf atau pembuluh
darah, obstruksi organ, infeksi ataupun radang yang ditimbulkan), atau karena
prosedur diagnostik atau terapi (biopsy, post operasi, efek toksik dari kemoterapi atau
radioterapi).

2. Penilaian derajat nyeri

Penilaian derajat nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan visual analogue


scale, numerical rating scale dan category rating scale. Gambar dibawah ini
merupakan penilaian derajat nyeri dengan menggunakan numerical rating scale.
Gambar dibawah ini merupakan penilaian derajat nyeri dengan menggunakan
visual analogue scale.

3. Mekanisme Dasar Nyeri

Mekanisme dasar terjadinya nyeri adalah proses nosisepsi. Nosisepsi adalah


proses penyampaian informasi adanya stimuli noksius, di perifer, ke sistim saraf
pusat. Rangsangan noksius adalah rangsangan yang berpotensi atau merupakan akibat
terjadinya cedera jaringan, yang dapat berupa rangsangan mekanik, suhu dan kimia.
Bagaimana informasi ini di terjemahkan sebagai nyeri melibatkan proses yang
kompleks dan masih banyak yang belum dapat dijelaskan.

Deskripsi makasnisme dasar terjadinya nyeri secara klasik dijelaskan dengan


empat proses yaitu transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi. Pengertian
transduksi adalah proses konversi energi dari rangsangan noksius (suhu, mekanik,
atau kimia) menjadi energi listrik (impuls saraf) oleh reseptor sensorik untuk nyeri
(nosiseptor). Sedangkan transmisi yaitu proses penyampaian impuls saraf yang terjadi
akibat adanya rangsangan di perifer ke pusat. Persepsi merupakan proses apresiasi
atau pemahaman dari impuls saraf yang sampai ke SSP sebagai nyeri. Modulasi
adalah proses pengaturan impuls yang dihantarkan, dapat terjadi di setiap tingkat,
namun biasanya diartikan sebagai pengaturan yang dilakukan oleh otak terhadap
proses di kornu dorsalis medulla spinalis.

4. Tatalaksana Nyeri

Tujuan Penatalaksanaan Nyeri

 Mengurangi intensitas dan durasi keluhan nyeri


 Menurunkan kemungkinan berubahnya nyeri akut menjadi
 gejala nyeri kronis yang persisten
 Mengurangi penderitaan dan ketidakmampuan akibat nyeri
 Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri
 Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mengoptimalkan kemampuan pasien
untuk menjalankan aktivitas sehari-hari
Pengobatan nyeri harus dimulai dengan analgesik yang paling ringan sampai ke
yang paling kuat. Tahapannya:

 Tahap I → analgesik non-opiat : AINS


 Tahap II → analgesik AINS + ajuvan (antidepresan)
 Tahap III → analgesik opiat lemah + AINS + ajuvan
 Tahap IV → analgesik opiat kuat + AINS + ajuvan

Garis besar strategi terapi farmakologi mengikuti WHO Three-step Analgesic


Ladder. Tiga langkah tangga analgesik meurut WHO untuk pengobatan nyeri itu
terdiri dari :

1. Pada mulanya, langkah pertama, hendaknya menggunakan obat analgesik

non opiat.

2. Apabila masih tetap nyeri naik ke tangga/langkah kedua, yaitu ditambahkan


obat opioid lemah misalnya kodein.

3. Apabila ternyata masih belum reda atau menetap maka, sebagai langkah ketiga,
disarankan untuk menggunakan opioid keras yaitu morfin.

Pada dasarnya prinsip Three Step Analgesic Ladder dapat diterapkan untuk nyeri
kronik maupun nyeri akut, yaitu :

1. Pada nyeri kronik mengikuti langkah tangga ke atas 1-2-3

2. Pada nyeri akut, sebaliknya, mengikuti langkah tangga ke bawah 3-2-1


Pada setiap langkah, apabila perlu dapat ditambahkan adjuvan atau obat
pembantu. Berbagai obat pembantu (adjuvant) dapat bermanfaat dalam masing-
masing taraf penaggulangan nyeri, khususnya untuk lebih meningkatkan efektivitas
analgesik, memberantas gejala-gejala yang menyertai, dan kemampuan untuk
bertindak sebagai obat tersendiri terhadap tipe-tipe nyeri tertentu. Obat adalah bentuk
pengendalian nyeri yang paling sering digunakan.

Terdapat tiga kelompok obat nyeri yaitu analgesik non opioid, analgesik opioid
dan antagonis dan agonis-antagonis opioid. Kelompok keempat obat disebut adjuvan
atau koanalgesik. Penatalaksanaan farmakologik dengan obat-obat analgesik harus
digunakan dengan menerapkan pendekatan bertahap. Ada pula mengatasi nyeri secara
terpadu yaitu bila pada proses transduksi diberikan NSAID, bila pada proses
transmisi diberikan anestesi lokal, dan bila pada proses modulasi diberikan narkotik.

1. Analgesik non-opioid (obat anti inflamasi non steroid/OAINS)

Langkah pertama, sering efektif untuk penatalaksanaan nyeri ringan sampai


sedang, menggunakan analgesik nonopioid, terutama asetaminofen (tylenol) dan
OAINS. Tersedia bermacam-macam OAINS dengan efek antipiretik, analgesik, dan
anti inflamasi (kecuali asetaminofen). OAINS yang sering digunakan adalah asam
asetil salisilat (aspirin) dan ibuprofen (advil). OAINS sangat efektif untuk mengatasi
nyeri akut derajat ringan, penyakit meradang yang kronik seperti artritis, dan nyeri
akibat kanker ringan.

OAINS mengahasilkan analgesia dengan bekerja di tempat cedera melalui


inhibisi sintesis prostaglandin dari prekursor asam arakidonat. Prostaglandin
mensensitisasi nosiseptor dan bekerja secara sinergis dengan produk inflamatorik lain
di tempat cedera, misalnya bradikinin dan histamin, untuk menimbulkan hiperalgesia.
Dengan demikian, OAINS mengganggu mekanisme transduksi di nosiseptor dengan
menghambat sintesis prostaglandin.
Berbeda dengan opioid, OAINS tidak menimbulkan ketergantungan atau
toleransi fisik. Semua memiliki ceiling effect yaitu peningkatan dosis melebihi kadar
tertentu tidak menambah efek analgesik. Penyulit yang tersering berkaitan dengan
pemberian OAINS adalah gangguan saluran cerna, meningkatnya waktu pendarahan,
pengelihatan kabur, perubahan minor uji fungsi hati, dan berkurangnya fungsi hati,
dan berkurangnya fungsi ginjal.

2. Analgesik opioid

Opioid saat ini adalah analgesik paling kuat yang tersedia dan digunakan dalam
pengobatan nyeri sedang sampai berat. Obat-obat ini merupakan patokan dalam
pengobatan nyeri pasca operasi dan nyeri terkait kanker. Morfin adalah suatu alkaloid
yang berasal dari getah tumbuhan opium poppy yang telah dikeringkan dan telah
digunakan sejak berabad-abad yang lalu karena efek analgesik, sedatif dan
euforiknya. Morfin adalah salah satu obat yang paling luas digunakan untuk
mengobati nyeri berat dan masih standar pembanding untuk menilai obat analgesik
lain.
Berbeda dengan OAINS, yang bekerja di perifer, morfin menimbulkan efek
analgesiknya di sentral. Mekanisme pasti kerja opioid telah semakin jelas sejak
penemuan resptor-reseptor opioid endogen di sistem limbik, talamus, PAG,
substansia gelatinosa, kornu dorsalis dan usus. Opioid endogen seperti morfin
menimbulkan efek dengan mengikat reseptor opioid dengan cara serupa dengan
opioid endogen (endorfin-enkefalin); yaitu morfin memiliki efek agonis
(meningkatkan kerja reseptor). Dengan mengikat reseptor opioid di nukleus
modulasi-nyeri di batang otak, morfin menimbulkan efek pada sistem-sistem
desenden yang menghambat nyeri.

Obat-obat golongan opioid memiliki pola efek samping yang sangat mirip
termasuk depresi pernafasan, mual, muntah, sedasi, dan konstipasi. Selain itu, semua
opioid berpotensi menimbulkan toleransi, ketergantungan dan ketagihan (adiksi).
Toleransi adalah kebutuhan fisiologik untuk dosis yang lebih tinggi untuk
mempertahankan efek analgesik obat. Toleransi terhadap opioid tersebut diberikan
dalam jangka panjang, misalnya pada terapi kanker. Walaupun terdapat toleransi
silang yang cukup luas diantara obat-obat opioid, hal tersebut tidaklah komplete.
Misalnya codein, tramadol, morfin solutio.

3. Antagonis dan agonis-antagonis opioid

Antagonis opioid adalah obat yang melawan efek obat opioid dengan mengikat
reseptor opioid dan menghambat pengaktifannya. Nalokson, suatu antagonis opioid
murni, menghilangkan analgesia dan efek samping opioid. Nalokson digunakan untuk
melawan efek kelebihan dosis narkotik, yaitu yang paling serius adalah depresi nafas
dan sedasi.

Obat opioid lain adalah kombinasi agonis dan anatagonis, seperti pentazosin dan
butorfanol. Apabila diberikan kepada pasien yang bergantung pada narkotik, maka
obat-obat ini dapat memicu gejala-gejala putus obat. Agonis-antagonis opioid adalah
analgetik efektif apabila diberikan tersendiri dan lebih kecil kemungkinannya
menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan (misalnya depresi pernafasan)
dibandingkan dengan antagonis opioid murni.

4. Adjuvan atau koanalgesik

Obat adjuvan atau koanalgetik adalah obat yang semula dikembangkan untuk
tujuan selain menghilangkan nyeri tetapi kemudian ditemukan memilki sifat analgetik
atau efek komplementer dalam penatalaksanaan pasien dengan nyeri. Sebagian dari
obat ini sangat efektif dalam mengendalikan nyeri neuropatik yang mungkin tidak
berespon terhadap opioid.

Anti kejang, seperti karbamazepin atau fenitoin (dilantin), telah terbukti efektif
untuk mengatasi nyeri menyayat yang berkaitan dengan kerusakan saraf. Anti kejang
ini efektif untuk nyeri neuropatik karena obat golongan ini menstabilkan membran sel
saraf dan menekan respon akhir di saraf.

Antidepresan trisiklik, seperti amitriptilin atau imipramin, adalah analgetik yang


sangat efektif untuk nyeri neuropatik serta berbagai penyakit lain yang menimbulkan
nyeri. Aplikasi-aplikasi spesifik adalah terapi untuk neuralgia pasca herpes, invasi
struktur saraf karena karsinoma, nyeri pasca bedah, dan artritis reumatoid. Pada
pengobatan untuk nyeri, antidepresan trisiklik tampaknya memiliki efek analgetik
yang independen dari aktivitas antidepresan.

Obat adjuvan lain yang bermanfaat dalam pengobatan nyeri adalah hidroksizin,
yang memiliki efek analgetik pada beberapa penyakit dan efek aditif apabila
diberikan bersama morfin; pelemas otot misalnya diazepam, yang digunakan untuk
mengobati kejang otot yang berkaitan dengan nyeri; dan steroid misalnya
dexametason, yang telah digunakan untuk mengendalikan gejala yang berkaitan
dengan kompresi medula spinalis atau metastasis tulang pada pasien kanker.

Adjuvan lain untuk analgesia adalah agonis reseptor adrenergik-alfa (misalnya,


agonis alfa-2, klonidin), yang sering diberikan secara intraspinal bersama dengan
opioid atau anestetik lokal; obat ini juga memiliki efek analgetik apabila diberikan
secara sistemis karena memulihkan respons adrenergik simpatis yang berlebihan di
reseptor sentral dan perifer. Antagonis alfa-1, prazosin, juga pernah digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri yang disebabkan oleh sistem simpatis. Efek samping utama
dari obat-obat ini adalah hipotensi dan potensial depresi pernafasan yang diinduksi
oleh opioid.

B. Terapi cairan perioperatif

Terapi cairan perioperatif intavena memiliki tujuan untuk mengembalikan atau


mempertahankan sirkulasi keseimbangan cairan dan elektrolit yang adekuat, sehingga
menciptakan prasyarat untuk hasil yang menguntungkan bagi pasien. Selain itu, terapi
cairan perioperatif juga bertujuan untuk, di antaranya :

1. Menjaga atau memperbaiki keseimbangan cairan (dehidrasi, hipovolemia)

2. Menjaga atau memperbaiki konstitusi plasma (elektrolit)

3. Mengamankan sirkulasi yang cukup (dalam kombinasi dengan zat vasoaktif dan /
atau kardioaktif)

4. Mengamankan suplai oksigen yang cukup ke seluruh organ (dalam kombinasi


dengan terapi oksigen)

National Confidential Enquiry into Patient Outcome and Death menyatakan bahwa
terjadi peningkatan angka mortalitas sebesar 20,5% pada pasien dengan syok
hipovolemik yang mendapatkan terapi cairan perioperatif dengan jumlah tidak
adekuat dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan terapi cairan dengan jumlah
yang adekuat.
1. Terapi Cairan Prabedah

Prinsip pemberian cairan prabedah adalah untuk mengganti cairan dan kalori yang
dialami pasien prabedah akibat puasa. Cairan yang digunakan adalah:

a. Untuk mengganti puasa diberikan cairan pemeliharaan

b. Untuk koreksi defisit puasa atau dehidrasi diberikan cairan kristaloid

c. Perdarahan akut diberikan cairan kristaloid dan koloid atau transfusi darah.

2. Terapi Cairan selama Operasi

Pemberian cairan selama operasi bertujuan untuk mengoreki hilangnya cairan akibat
luka operasi, mengganti perdarahan dan mengganti cairan yang hilang melalui eksresi
organ. Pemberian cairan kristaloid ataupun koloid merupakan langkah penting untuk
mengatasi perdarahan agar volume intravascular (normovolemia) dapat terjaga
sehingga resiko anemia dapat teratasi. Namun, apabila pasien mengalami anemia
berat, pemberian transfusi darah kepada pasien perlu untuk dilakukan. Penghitungan
estimated blood volume dapat dilakukan untuk menentukan jumlah transfusi darah
yang akan diberikan kepada pasien.
Pemberian cairan peri operatif
A. Preoperatif
 Pasien normohidrasi
 pengganti puasa (DP): 2 ml/kgBB/jam puasa
 (bedakan dengan kebutuhan cairan per hari (30-35ml/kg/hari))
 cairan yang digunakan : kristaloid
 pemberian dibagi dalam 3 jam selama anestesi :
50 % dalam 1 jam pertama
25 % dalam 1 jam kedua
25 % dalam 1 jam ketiga
B. Durante operasi
- Pemeliharaan: 2 ml/kg/jam
- Stress operasi:
operasi ringan : 4 ml/kgBB/jam
operasi sedang: 6 ml/kgBB/jam
operasi berat : 8 ml/kgBB/jam

Jenis pembedahan (menurut MK Sykes)


a. Pembedahan kecil / ringan
- Pembedahan rutin kurang dari 30 menit.
- Pemberian anestesi dapat dengan masker.
b. Pembedahan sedang.
- Pembedahan rutin pada pasien yang sehat.
- Pemberian anestesi dengan pipa endotracheal.
- Lama operasi kurang dari 3 jam.
- Jumlah perdarahan kurang dari 10% EBV
c. Pembedahan besar.
- Pembedahan yang lebih dari 3 jam.
- Perdarahan lebih dari 10% EBV
- Pembedahan di daerah saraf pusat, laparatomi, paru dan
kardiovaskuler
Pada anak dan bayi
Pemeliharaan:
10 kg pertama 4 ml/kgBB/jam
10 kg kedua 2 ml/kgBB/jam
Kg selanjutnya 1 ml/kgBB/jam
bedakan dengan kebutuhan per hari :
Defisit puasa (DP): cairan pemeliharaan x jam puasa
Stress operasi :
Ringan : 2 ml/kgBB/jam
Sedang : 4 ml/kgBB/jam
Berat : 6 ml/kgBB/jam
C. Pasca operasi
Terapi cairan pasca bedah ditujukan untuk :
a. Memenuhi kebutuhan air, elektrolit, nutrisi
b. Mengganti kehilangan cairan pada masa paska bedah (cairan lambung, febris)
c. Melanjutkan penggantian defisit pre operatif dan durante operatif
d. Koreksi gangguan keseimbangan karena terapi cairan
Pada penderita pasca operasi nutrisi diberikan bertahap (start low go slow).
Penderita pasca operasi yang tidak mendapat nutrisi sama sekali akan kehilangan
protein 75-125 gr/hari  Hipoalbuminemia  edema jaringan, infeksi, dehisensi
luka operasi, penurunan enzym pencernaan
1. Pasien tidak puasa post operasi.
a. Kebutuhan cairan (air) post operasi.
 Anak
BB 0-10 kg 1000 cc / 24 jam
BB 10-20 kg 1000 cc + 50 cc tiap > 1 kg
BB > 20 kg 1500 cc + 20 cc tiap > 1 kg
 Dewasa
50 cc / kgbb/ 24 jam.
b. Kebutuhan elektrolit anak dan dewasa
Na+ 2-4 mEq / kgbb
+
K 1-2 mEq / kgbb
c. Kebutuhan kalori basal
 Dewasa
BB (kg) x 20-30
 Anak berdasarkan umur
Umur (tahun) Kcal / kgbb / hari
<1 80-95
1-3 75-90
4-6 65-75
7-10 55-75
11-18 45-55

2. Pasien tidak puasa post operasi.


Pada pasien post op yang tidak puasa, pemberian cairan diberikan berupa cairan
maintenance selama di ruang pulih sadar (RR). Apabila keluhan mual, muntah
dan bising usus sudah ada maka pasien dicoba untuk minum sedikit-sedikit.
Setelah kondisi baik dan cairan peroral adekuat sesuai kebutuhan, maka secara
perlahan pemberian cairan maintenance parenteral dikurangi. Apabila sudah
cukup cairan hanya diberikan lewat oral saja.
Rumus Darrow
BB (kg) Cairan (ml)
0-3 95
3-10 105
10-15 85
15-25 65
>25 50
Tetesan infus: Mikro: BBx darrow /96
Makro: BB x darrow/24
Melihat tanda-tanda pada pasien disesuaikan dengan prosentase EBV yang
hilang:
TANDANYA
Tensi systole 120 mmhg 100 mmhg < 90 mmhg < 60-70 mmhg
Nadi 80 x/mnt 100 x/mnt > 120 x/mnt > 140 x/mnt
Perfusi Hangat Pucat Dingin Basah
Estimasi Minimal 600 ml 1200 ml 2100 ml
perdarahan
Estimasi infus Minimal 1-2 liter 2-4 liter 4-8 liter
Melihat tanda klinis dan sesuaikan dengan prosentase defisit.
Tanda Ringan Sedang Berat
Defisit 3-5 % dari BB 6-8 % dari BB 10 % dari BB
Hemodinamik - Tachycardia - Tachycardia - Tachycardia.
- Hipotensi - Cyanosis.
ortostatik - Nadi sulit
- Nadi lemah diraba
- Vena kolaps - Akral dingin.
Jaringan - Mukosa - Lidah lunak - Atonia, mata
lidah kering - Keriput cowong
- Turgor - Turgor menurun - Turgor sangat
kulit normal menurun
Urine - Pekat - Pekat, produksi / - oligouria
jumlah menurun
SSP Tak ada - Apatis - Sangat
kelainan menurun / coma

Problem puasa
a. Pada keadaan normal kehilangan cairan berupa
 Insesible water losses (IWL)
 Sensible water losses (SWL)
Pada orang dewasa kehilangan  2250 cc yang terdiri atas
1) IWL 700 ml / 24 jam
(suhu lingkungan 25 oC kelembaban 50-60 %, suhu badan 36-37 oC).
2) SWL
Urine 1 cc / kgbb / jam (24 cc / kg / bb / 24 jam)
b. Kebutuhan elektrolit tidak terpenuhi
Kebutuhan normal: Na+ 2-4 mEq / kgbb / 24 jam
K+ 1-2 eEq / kgbb / 24 jam
c. Kebutuhan kalori tidak terpenuhi
Kebutuhan normal: 25 Kcal / kgbb / jam
d. Pada operasi elektif yang dipuasakan, penggantian cairan hanya untuk
maintenance saja
e. Pemberian cairan pre operasi adalah untuk mengganti bila ada
1) Kehilangan cairan akibat puasa.
2) Kehilangan cairan akibat perdarahan.
3) Kehilangan cairan akibat dehidrasi.
f. Pemberian darah pre operasi di dasarkan atas pertimbangan yang matang dan
apabila perlu dilakukan pemeriksaan darah lebih dahulu.
Cairan pengganti
- Kristaloid 2-4 kali dari jumlah perdarahan.
- Koloid 1 kali dari jumlah perdarahan
- Darah (WB) 1 kali dari jumlah perdarahan
Jenis cairan infus
Berdasarkan Partikel dalam Cairan dibagi menjadi:
I. KRISTALOID

A. Cairan Hipotonik
 Osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (< 285 mOsmol/L) 
cairan “ditarik” dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya
 Digunakan pada keadaan sel “mengalami” dehidrasi, misalnya pada pasien
cuci darah (dialisis) dalam terapi diuretik, juga pada pasien hiperglikemia
(kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik.
 Komplikasi : kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intracranial
 Contoh NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
B. Cairan isotonik
 osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari
komponen darah) = 285 mOsmol/L, sehingga terus berada di dalam pembuluh
darah.
 Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi (kekurangan cairan
tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun).
 Memiliki risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada
penyakit gagal jantung kongestif dan hipertensi.
 Contoh: Ringer-Laktat (RL), dan normal saline / larutan garam fisiologis
(NaCl 0,9%)
C. Cairan Hipertonik
 Osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum (> 285 mOsmol/L), sehingga
“menarik” cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh
darah.
 Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan produksi urin, dan
mengurangi edema (bengkak).
 Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5%+Ringer-Lactate,
Dextrose 5%+NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin
II. KOLOID

Mempunyai partikel besar, yg agak sulit menembus membran semipermeabel/


dinding pembuluh darah. dan tetap berada dalam pembuluh darah, maka sifatnya
hipertonik, dan dapat menarik cairan dari luar pembuluh darah.

Contohnya adalah dextran, albumin dan steroid, HES (Hydroxy Etil Starch)

Berdasar tekanan Onkotik-nya ada 2 jenis :

- Iso-Onkotik : Co/ Albumin 25%

- Hiper-Onkotik : Co/ Albumin 5%


Efek Pemberian Cairan Infus terhadap Kompartemen Cairan Tubuh :

Dext 5% Kristaloid Kristaloid Koloid Koloid


(Hipotonis)
Isotonis hipertonis Iso-Onkotik Hiper-Onkotik

Vol.Intra-
vask.

Vol.Inter-
stitiel
- ¯

Vol.Intra-
sel
- ¯ - ¯

C. Perhitungan darah yang hilang selama operasi


Perhitungan darah selama operasi dapat dapat ditentukan dengan estimated
blood volume (EBV) dengan tujuan untuk menentukan jumlah transfusi darah yang
akan diberikan kepada pasien.

hitung EBV
jika perdarahan
10% EBV berikan kristaloid substitusi dengan
perbandingan 1 : 2-4ml cairan
10% kedua berikan koloid 1 : 1 ml cairan
> 20 % EBV berikan darah 1 : 1 ml darah
Contoh :
Pria BB 50 kg
à EBV 50 X 70 ml = 3500 ml
maka jika perdarahan 800 ml digantikan dengan
10% pertama (350 ml) à kristaloid 700-1400 ml
10% kedua (350 ml) à koloid 350 ml
100 ml à darah 100 ml

Anda mungkin juga menyukai