Anda di halaman 1dari 20

Wakalah dan Kafalah

Tugas Mata Kuliah Fiqih Muamalah

Di susun oleh :

Muhammad Rizal Prayoga 101200216

Muhammad Yahya Putra 101200217

Dosen Pengampu : Kurniawati Safitri, M.E.

Fakultas Syari’ah
Hukum Keluarga Islam
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo
2021
DAFTAR ISI

A. BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1


a. Latar Belakang .....................................................................................................1
b. Rumusan Masalah ................................................................................................ 1
B. BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................... 2
a. Pengertian Wakalah ............................................................................................. 2
b. Dasar Hukum Wakalah ........................................................................................ 3
c. Syarat dan Rukun Wakalah ..................................................................................5
d. Pendapat Ulama’ Mengenai Akad Wakalah ........................................................ 7
e. Mekanisme Wakalah Dalam Perbankan .............................................................. 7
f. Implementasi Wakalah Dalam Lembaga Keuangan Islam ..................................8
g. Pengertian Kafalah ............................................................................................... 11
h. Dasar Hukum Kafalah.......................................................................................... 12
i. Syarat dan Rukun Kafalah ...................................................................................13
j. Jenis Kafalah ........................................................................................................14
k. Pendapat Ulama’ Mengenai Akad Kafalah.......................................................... 14
C. BAB III PENUTUP ...................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 18

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wakalah dan Kafalah sangat berperan penting dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun memiliki perbedaan dari segi penerapan keduanya memiliki peran yang penting
dimasyarakat. Karena wakalah dan Kafalah dapat membantu seesorang dalam melakukan
pekerjaan yang tidak dapat dilakukan oleh orang tersebut, tetapi pekerjaan tersebut masih
tetap berjalan seperti layaknya yang telah direncanakan. Hukum wakalah adalah boleh,
sedang hukum kafalah mubah, karena wakalah dianggap sebagai sikap tolong-menolong
antar sesama, selama wakalah tersebut bertujuan kepada kebaikan.
Dari dulu hingga sekarang, masyarakat membutuhkan akad wakalah untuk
menyelesaikan segala persoalan hidup mereka, apalagi zaman sekerang yang semakin maju
dan manusia yang semakin banyak menghadapi persoalan. Hal ini terjadi karena unsur
keterbatasan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia. Untuk itu syari’ah
memberikan legalitas atas keabsahan akad tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan dasar hukum wakalah dan kafalah?
2. Apa saja syarat serta rukun wakalah dan kafalah?
3. Apa pendapat ulama’ mengenai akad wakalah dan kafalah?
4. Bagaimana konsep dan mekanisme wakalah dalam perbankan?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wakalah
Wakalah berasal dari wazan wakala-yakilu-waklan yang berarti menyerahkan
atau mewakilkan urusan sedangkan wakalah adalah pekerjaan wakil. Sedangkan Al-
wakalah menurut istilah para ulama didefinisikan sebagai berikut :

1. Golongan Malikiyah berpendapat bahwa wakalah merupakan seseorang


menggantikan (menempati) tempat yang lain dalam hak (kewajiban).
2. Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa wakalah merupakan seseorang menempati
diri orang lain dalam pengelolaan.
3. Golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa wakalah merupakan seseorang
menyerahkan sesuatu kepada yang lain untuk dikerjakan ketika hidupnya.
4. Golongan Hambali berpendapat bahwa wakalah merupakan permintaan ganti
seseorang yang didalamnya terdapat penggantian hak Allah dan hak manusia.
Dari definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud wakalah
adalah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu dimana
perwakilan tersebut berlaku selama yang mewakilkan masih hidup.1
Wakalah dalam pegertian penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat
juga terdapat dalam kata Al-hifzhu yang berarti pemeliharaan. Karena itu penggunaan
kata wakalah atau wikalah dianggap bermakna sama dengan hifzhun.
Dalam dunia bisnis, setiap orang memiliki kompetensi berbeda-beda. Ada
kalanya orang yang mempunyai kompetensi dalam bidang bisnis yang kompetitif tetapi
tidak memiliki modal. Disisi lain, ada pemilik modal yang tidak tersedia waktu atau
kurang komtetitif di bidang, sehingga memerlukan partner bisnis dengan pola
perwakilan.

1
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Rajawali Press), 233.

2
B. Dasar Hukum Wakalah
1. Al-Qur’an
Salah satu dasar dibolehkannya Wakalah adalah firman Allah SWT yang
berkenaan dengan kisah Ash-habul Kahfi
‫ض يَ ۡو ۚۡم قَالُواْ َربُّ ُك ۡم أ َ ۡعلَ ُم بِ َما‬ َ َ ‫َو َك َٰذَلِكَ بَعَ ۡث َٰنَ ُه ۡم ِليَت‬
َ ۡ‫ِل ِم ۡن ُه ۡم ك َۡم لَ ِب ۡثت ُ ۡ ۖۡم قَالُواْ لَبِ ۡثنَا يَ ۡو ًما أ َ ۡو بَع‬ٞ ‫سا ٓ َءلُواْ بَ ۡينَ ُه ۡۚۡم قَا َل قَا ٓئ‬
‫ط ۡف َو ََل ي ُۡشع َِر َّن‬ َّ ‫ط َع ٗاما فَ ۡليَ ۡأتِ ُكم ِب ِر ۡزق ِم ۡنهُ َو ۡليَت َ َل‬
َ ‫ظ ۡر أَيُّ َها ٓ أَ ۡزك ََٰى‬ ُ ‫لَ ِب ۡثت ُ ۡم فَ ۡٱب َعث ُ ٓواْ أ َ َحدَ ُكم ِب َو ِرقِ ُك ۡم َٰ َه ِذ ِٓۦه ِإلَى ۡٱل َمدِينَ ِة فَ ۡليَن‬
‫ِب ُك ۡم أ َ َحدًا‬

Artinya :

“Dan Demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di


antara mereka sendiri. berkatalah salah seorang di antara mereka: sudah berapa
lamakah kamu berada (disini ?)”. mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari
atau setengah hari”. berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui
berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu
untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah Dia lihat
manakah makanan yang lebih baik, Maka hendaklah ia membawa makanan itu
untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali
menceritakan halmu kepada seorangpun.” (QS Al-Kahfi : 19).
Disamping pokok akidah dalam ayat tersebut juga terdapat tuntunan akhlak
yakni hendaklah kita memperhatikan (undhur) terhadap jenis makanan yang akan
kita konsumsi karena itu akan berpengaruh terhadap jasmani dan akhlak kita.
Makanan yang buruk akan membawa mafsadat tidak hanya bagi jasmani tapi juga
bagi ruhani kita. Makanan yang halal dan baik insyaAllah akan membantu kita
menjadi lemah lembut sebagaimana Allah ingatkan kepada ashabul kahfi dan
dengan keumuman lafalnya juga kepada kita agar berlaku lemah lembut. Selain
dua hal diatas sebenarnya masih ada kandungan akhlak dalam ayat tersebut seperti
kaidah kepemimpinan dan keterwakilan, amanah dan strategi.2

Dalam hal muamalah maka ayat tersebut diatas membicarakan tentang


perwakilan dalam bertransaksi, ada solusi yang bisa diambil manakala manusia
mengalami kondisi tertentu dalam mengakses atau melakukan transaki yaitu dengan
jalan wakalah, menetapkan pekerjaan wakil berupa perginya ia kepada tempat

2
Rizal, ”Implementasi Wakalah pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah”, Jurnal Equilibrium, Vol. 3, No. 1,
2015, 128.

3
dimana barang tersebut berada (kota), dikenalkannya alat pertukaran transaksi yaitu
wariq atau uang perak dan ketentuan (sighat) terhadap barang (taukil) yang akan
diadakan serta bolehnya diadakan non-disclossure agreement antara wakil dan
muwakil.

2. Al-Hadits
Hadits yang dapat dijadikan landasan keabsahan Wakalah diantaranya:
a. “Bahwasanya Rasulullah mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar
untuk mewakilkannya mengawini Maimunah binti Al Harits”. (HR. Malik dalam
al-Muwaththa’)
b. “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram, dan kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang
halal atau menghalalkan yang haram” (HR Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf).

Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain


untuk berbagai urusan. Diantaranya membayar utang, mewakilkan penetapan had
dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan, dan
lain-lain.

3. Ijma’

Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas dibolehkannya wakalah. Mereka
bahkan ada yang cenderung mensunnahkannya dengan alasan bahwa hal tersebut
jenis taa’wun atau tolong menollong atas kebaikan dan taqwa.

Seperti firman Allah SWT “..Dan tolong-menolonglah kamu dalam


(mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran…” (Qs. Al-Maidah 2)

Dan Rasulullah SAW bersabda (HR. Muslim No.4867) “Dan Allah


menolong hamba selama hamba menolong saudaranya“ Dalam perkembangan fiqih
Islam status wakalah sempat diperdebatkan “Apakah wakalah masuk dalam niabah
yakni sebatas mewakili atau kategori wilayah atau wali ? hingga kini dua pendapat
tersebut terus berkembang. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakalah adalah
niabah atau mewakili. Menurut pendapat ini, si wakil tidak dapat menggantikan
seluruh fungsi muwakkil.

4
Pendapat kedua menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah karena khilafah
(menggantikan) dibolehkan untuk yang mengarah kepada yang lebih
baik, sebagaimana dalam jual beli, melakukan pembayaran secara tunai lebih baik,
walaupun diperkenankan secara kredit.

C. Syarat dan Rukun Wakalah


a) Syarat Wakalah
Sebagaimana tercantum dalam Fatwa DSN-MUI No: 10/DSNMUI/IV/2000,
tanggal 13 April 2000 tentang Wakalah, syarat wakalah sebagai berikut :
1. Orang yang memberikan kuasa (al-Muwakkil)
Orang yang memberikan kuasa disyaratkan cakap bertindak hukum, yaitu
telah balig dan berakal sehat, baik laki-laki maupun perempuan, boleh dalam
keadaan tidak ada di tempat (gaib) maupun berada di tempat, serta dalam keadaan
sakit ataupun sehat. Orang yang menerima kuasa (al-Wakil),disyaratkan :
a. Cakap bertindak hukum untuk dirinya dan orang lain, memiliki pengetahuan
yang memadai tentang masalah yang diwakilkan kepadanya, serta amanah dan
mampu mengerjakan pekerjaan yang dimandatkan kepadanya.
b. Ditunjuk secara langsung oleh orang yang mewakilkan dan penunjukkan harus
tegas sehingga benar-benar tertuju kepada wakil yang dimaksud. Tidak
menggunakan kuasa yang diberikan kepadanya untuk kepentingan dirinya atau
di luar yang disetujui oleh pemberi kuasa.
c. Apabila orang yang menerima kuasa melakukan kesalahan tanpa sepengetahuan
yang memberi kuasa sehingga menimbulkan kerugian, maka kerugian yang
timbul menjaditanggungannya.3
2. Perkara yang Diwakilkan/Obyek Wakalah
Sesuatu yang dapat dijadikan obyek akad atau suatu pekerjaan yang dapat
dikerjakan orang lain, perkara-perkara yang mubah dan dibenarkan oleh syara’,
memiliki identitas yang jelas, dan milik sah dari Al-Muwakkil, misalnya: jual-beli,
sewa-menyewa, pemindahan hutang, tanggungan, kerjasama usaha, penukaran mata
uang, pemberian gaji, akad bagi hasil, talak, nikah, perdamaian dan sebagainya.

3
Dimyauddin Djuwaini,Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2008), 242

5
3. Pernyataan Kesepakatan (Ijab-Qabul)
Kesepakatan kedua belah pihak baik lisan maupun tulisan dengan keikhlasan
memberi dan menerima baik fisik maupun manfaat dari hal yang ditransaksikan.
b) Rukun Wakalah
Rukun wakalah ada tiga yaitu :
1. Dua orang yang melakukan transaksi, yaitu orang yang mewakilkan dan yang
menjadi wakil.
2. Shighat (Ijab Kabul).
3. Muwakal fih (sesuatu yang diwakilkan).4
Menurut kalangan Hanafiyah, rukun wakalah adalah ijab dan kabul. Ijab
berarti ucapan atau tindakan dari orang yang akan mewakilkan, seperti ucapan atau
tindakan dari orang yang akan mewakilkan, seperti ucapan “Aku wakilkan
kepadamu untuk melakukan hal ini.” Sementara kabul berarti ucapan dari orang
yang menerima wakil, seperti ucapan “Aku terima”. Ijab ini adakalanya bersyarat
atau bergantung pada sesuatu dan ada kalanya berlaku mutlak. Apabila berlaku
mutlak, maka wakil bertanggung jawab dan berwenang untuk melakukan sesuatu
terkait dengan hal yang diwakilkan.5

Sementara menurut mayoritas ulama selain Hanafiyah, rukun wakalah ada


empat antara lain :

a. Orang yang mewakilkan (muwakkil)


b. Orang yang menerima perwakilan (wakil)
c. Objek atau pekerjaan yang diwakilkan (muwakkal bih)
d. Sighah (ijab dan Kabul)

Sebagaimana tercantum dalam Fatwa DSN-MUI No:


10/DSNMUI/IV/2000, tanggal 13 April 2000 tentang Wakalah, Rukun wakalah
sebagai berikut :

a. Orang yang memberi kuasa (al Muwakkil)


b. Orang yang diberi kuasa (al Wakil)
c. Perkara/hal yang dikuasakan (al Taukil)

4
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah:Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, 2012), 300.
5
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, (Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro Lampung, 2014), 210.

6
d. Pernyataan Kesepakatan( Ijab dan Qabul)6

D. Pendapat Ulama’ Mengenai Akad Wakalah


Wakalah memiliki beberapa makna yang berbeda menurut pandangan para ulama,
berikut ini adalah masing-masing pandangan dari para ulama yaitu:7
a. Menurut Hasbi As Shiddieqy, Wakalah adalah akad penyerahan kekuasaan
yang pada akad itu seseorang menunjuk orang lain sebagai penggantinya dalam
bertindak (bertasharruf).
b. Menurut Sayyid Sabiq, Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang
kepada orang lain dalam hal-hal yang boleh diwakilkan.8
c. Menurut Ulama Malikiyah, Wakalah adalah penggantian oleh seseorang
terhadap orang lain di dalam haknya di mana ia melakukan tindakan hukum
seperti tindakannya, tanpa mengaitkan penggantian tersebut dengan apa yang
terjadi setelah kematian.
d. Menurut Ulama Hanafiyah, Wakalah adalah penempatan seseorang terhadap
orang lain di tempat dirinya dalam suatu tasarruf yang dibolehkan dan tertentu,
dengan ketentuan bahwa orang yang mewakilkan orang yang memiliki hak
tasarruf.
e. Menurut Ulama Syafi‟iyah, Wakalah adalah penyerahan oleh seseorang kepada
orang lain terhadap sesuatu yang ia berhak mengerjakannya dan sesuatu itu bisa
digantikan, untuk dikerjakannya pada masa hidupnya.

E. Mekanisme Wakalah Dalam Perbankan


Akad wakalah adalah akad yang digunakan untuk pelimpahan kekuasaan oleh
seseorang sebagai pihak pertama kepada orang lain sebagai pihak kedua dalam hal-hal yang
di wakilkan (dalam hal ini pihak kedua) hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau
wewenang yang di berikan oleh pihak pertama, namun apabila kuasa itu telah di laksanakan
sesuai yang disyaratkan, maka semua resiko dan tanggung jawab atas dilaksanakan perintah
tersebut sepenuhnya menjadi pihak pertama atau pemberi kuasa. Jadi wakalah tidak terkait
pada barang tetapi pada kewenangan atau wewenang seseorang kepada orang lain.

6
Indah Nuhyatia,” Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank Syariah”, Jurnal Ekonomi
dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 2, 2013, 104.
7
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, (Jakarta: Amzah, 2010), h. 417.
8
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1997), h. 56.

7
Dalam kasus bank syariah pada akad murabahah, maka bank syariah menggunakan
akad wakalah agar nasabah dapat membeli barang mewakili bank untuk membeli secara
tunai. Setelah barang dibeli secara tunai, selanjutnya nasabah menyerahkan barang tersebut
kepada pihak bank, lalu dilanjutkan dengan menyelesaikan akad murabahah.
Aturan tentang pelaksanaan akad wakalah dalam pembiayaan murabahah terdapat
pada Fatwa DSN-MUI No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentangmurabahah yang menyatakan
bahwa jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak
ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi
milik bank.

F. Implementasi Wakalah Dalam Lembaga Keuangan Syariah


Wakalah dalam praktik di LKS biasanya terkait dengan akad lain yang di lakukan
oleh nasabah. Misalnya dalam akad pembiayaan murabahah, pihak LKS mewakilkan
kepada nasabah untuk mencari barang yang akan di beli dengan pembiayaan tersebut.
Begitu juga dalam akad salam, istishna, ijarah dan akad lainnya yang menurut adanya
perwakilan pihak LKS oleh nasabah.9
1. Kiriman Uang (Transfer)
Proses transfer uang ini adalah proses yang menggunakan konsep akad
Wakalah, dimana prosesnya diawali dengan adanya permintaan nasabah sebagai
Al-Muwakkil terhadap bank sebagai Al-Wakil untuk melakukan
perintah/permintaan kepada bank untuk mentransfer sejumlah uang kepada
rekening orang lain, kemudian bank mendebet rekening nasabah (jika transfer
dari rekening ke rekening), dan proses yang terakhir yaitu dimana bank
mengkreditkan sejumlah dana kepada rekening tujuan. Berikut adalah beberapa
contoh proses dalam transfer uang yaitu:10
a. Wesel Pos
Pada proses wesel pos, uang tunai diberikan secara langsung dari Al-
Muwakkil kepada Al-wakil, dan Al-wakil memberikan uangnya secara
langsung kepada nasabah yang dituju.

9
Imam Mustofa, Fiqh Muamalah Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), h. 213.
10
Ibid, h. 214.

8
b. Transfer Uang Melalui Cabang Suatu Bank
Dalam proses ini Al-Muwakkil memberikan uangnnya secara tunai
kepada bank yang merupakan Al-Wakil, namun bank tidak memberikannya
secara langsung kepada nasabah yang di kirim. Tetapi bank
mengirimkannya kepada rekening nasabah yang di tuju tersebut.
c. Transfer Melalui ATM
Kemudian ada juga proses transfer uang dimana pendelegasian
untuk mengirimkan uang, tidak secara langsung uangnya diberikan dari Al-
Muwakkil kepada bank sebagai Al-Wakil. Dalam model ini, nasabah Al-
Muwakkil meminta bank untuk mendebet rekening tabungannya, dan
kemudian meminta bank untuk menambahkan di rekening nasabah yang
dituju sebesar pengurangan pada rekeningnya sendiri. Yang sangat sering
terjadi saat ini adalah proses yang ketiga ini, dimana nasabah bisa
melakukan transfer sendiri melalui mesin ATM.
2. Kliring
Kliring adalah pertukaran warkat atau Data Keuangan Elektronik (DKE)
antar peserta kliring baik atas nama peserta maupun atas nama nasabah peserta
yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu. Kliring merupakan jasa
perbankan yang diberikan dalam rangka penagihan warkat antarbank yang
berasal dari wilayah kliring yang sama. Warkat yang dapat dilakukan dalam
transaksi kliring antara lain: cek, bilyet giro, dan surat berharga lainnya.
Biasanya proses kliring memakan waktu satu hari pada umumnya. Warkat
merupakan alat pembayaran nontunai yangdiperhitungkan atas beban nasabah
dan/atau untuk keuntungan rekening nasabah bank.11
3. Inkaso
Inkaso adalah pemberian kuasa pada bank oleh perusahaan atau
perorangan untuk menagihkan, atau memintakan persetujuan pembayaran
(akseptasi) atau menyerahkan begitu saja kepada pihak yang bersaangkutan
(tertarik) di tempat lain (dalam atau luar negeri) atas suratsurat berharga, dalam
rupiah atau valuta asing seperti wesel, cek, kwintansi, surat askep (promissory
notes), dan lain-lain. Inkaso merupakan jasa penagihan yang diberikan oleh
bank terhadap warkat kliring dan/atau surat berharga yang diterbitkan oleh bank

11
Ibid, h. 215.

9
yang berada di luar wilayah kliring. Warkat yang diinkasokan sama halnya
dengan warkat kliring antara lalin: cek, bilyet giro, dan warkat lainnya yang
dipersamakan dengan itu. Kegiatan ini memakan waktu lima hari kerja. Bentuk
wakalah dalam inkaso adalah adanya pemberian otoritas oleh pihak tertentu
kepada pihak bank untuk melakukan penagihan. Artinya bank mewakili pihak
yang memberikan perwakilan kepadanya.
4. Penitipan
Yaitu akad pendelegasian pembelian barang, terjadi apabila seseorang
menunjuk orang lain sebagai pengganti dirinya untuk membeli sejumlah barang
dengan menyerahkan uang dengan harga penuh sesuai dengan harga barang
yang akan dibeli dalam kontrak wadiah. Agen (wakil) membayar pihak ketiga
dengan menggunakan titipan muwakkiluntuk membeli barang. Bank
menitipkan sejumlah uang kegiatan penitipan barang bergerak, yang penata
usahaannya dilakukan oleh Bank untuk kepentingan. Nasabah berdasarkan
suatu akad. Sebagai contoh bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk
membeli barang dengan menggunakan akad wakalah dan akad murabahah bisa
dilakukan secara prinsip apabila barang yang sudah dibeli melalui wakalah telah
menjadi milik bank.
5. Letter Of Credit
Letter of credit (L/C) adalah surat pernyataan akan membayar kepada
yang diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan Importir / Eksportir dengan
pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah L/C syariah
dalam pelaksanaannya dapat menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah,
Qardh, Murabahah, Salam/ Istishna, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah,
Ijarah.12
Bagi L/C yang menggunakan akad Wakalah tugas wewenang dan
tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap yang
dilakukan harus mengatas namakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank.
Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya
berdasarkan kesepakatan bersama. Pemberian kuasa berakhir setelah tugas
dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.

12
Ibid, h. 216.

10
6. Wali Amanat
Yaitu melakukan kegiatan wali amanat. Dalam layanan ini, Bank
dipercayakan untuk mewakilkan kepentingan seluruh pemegang obligasi atau
Medium Term Notes (MTN) baik di dalam maupun di luarpengadilan mengenai
pelaksanaan hak-hak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Anjak Piutang (Factoring)
Yaitu kegiatan penagihan piutang dagang jangka waktu pendek suatu
perusahaan berikut pengurusan atas piutang berdasarkan akad wakalah.
8. Payment
Merupakan pelayanan jasa yang diberikan oleh bank dalam
melaksanakan pembayaran untuk kepentingan nasabah. Bank akan mendapat
fee atas pelayanan jasa yang diberikan. Beberapa pelayanan jasanya adalah
yaitu:13
a. Pembayaran telepon
b. Pembayaran rekening listrik
c. Pembayaran pajak, dan lain sebagainya

G. Pengertian Kafalah
Dalam pengertian bahasa kafalah berarti adh dhamman (jaminan), sedangkan
menurut pengertian syara’ kafalah adalah proses penggabungan tanggungan kafiil menjadi
tanggungan ashiil dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama atau hutang, atau barang
atau pekerjaan.
Pengertian Kafalah menurut beberapa para ulama adalah sebagai berikut:
1. Mazhab Hanafi
a. Menggabungkan dzimah dengan dzimah yang lain dalam penagihan, dengan
jiwa, utang, atau zat benda.
b. Menggabungkan dzimah kepada dzimah yang lain dalam pokok (asal) utang.
2. Mahzab Maliki berpendapat bahwa kafalah adalah orang yang mempunyai hak
mengerjakan tanggungan pemberi beban serta bebannya sendiri yang disatukan, baik
menanggung pekerjaan yang sesuai (sama) maupun pekerjaan yang berbeda.
3. Menurut Mahzab Hambali mengatakan bahwa kafalah merupakan Iltizam sesuatu
yang diwajibkan kepada orang lain serta kekekalan benda tersebut yang dibebankan

13
Ibid, h. 217

11
atau iltizam orang yang mempunyai hak menghadirkan dua harta (pemiliknya)
kepada orang yang mempunyai hak.
4. Mahzab Syafi’i, al-kafalah yaitu akad yang menetapkan iltizam hak yang tetap pada
tanggungan (beban) yang lain atau menghadirkan zat benda yang dibebankan atau
menghadirkan badan oleh orang yang berhak menghadirkannya.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwasanya Kafalah adalah


penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful 'anhu, ashil) atau
mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung
jawab orang lain sebagai penjamin. Pihak penjamin bisa perorang maupun institusi
tertentu.

H. Dasar Hukum Kafalah


Dalam hukum Islam, seseorang diperkenankan mendelegasikan suatu tindakan
tertentu kepada orang lain yang mana orang lain tersebut bertindak atas nama pemberi
kuasa atau yang mewakilkan sepanjang kegiatan yang didelegasikan diperkenankan oleh
agama. Dalil yang dipergunakan, antara lain adalah:14
1. Al-Qur’an
َ ُ ‫ََ قا ُ ْلوا َ ْﻧ ِﻔﻘُد‬
‫ﺻواَع اْلَمِ لِك َ ِولَ ْمﻦ َﺟاَء ِ ِبه ِحْ ُمل َ ِب ْع ٍير ََوأَﻧا ِ ِبه َِز ْعيٌم‬

Artinya:

Penyeru – penyeru itu berkata : Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan ( seberat ) beban unta dan
aku menjamin terhadapnya (QS. Yusuf : 72).

َ َ ‫ ََوَل َت َعا َ ُو ْﻧوا‬،‫على اْ ِلبﱢر َوا َّلتْﻘَوى‬


ِ‫على ْا ِْﻹﺛِم َواْلُ ْعدَوا‬ َ َ ‫َوت َعا َ ُو ْﻧوا‬

Artinya:

Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan


janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran.” (QS. al-
Ma’idah : 2)

14
Siswanto, “Fiqh Muamalah: Kafalah”, Jurnal Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas Syari’ah IAIN
Samarinda, 2015, 17-18.

12
2. Al-Hadits
a. Hadis Nabi riwayat Bukhari:
“Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk
disalatkan. Rasulullah saw bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat
menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi
jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, ‘Apakah ia mempunyai hutang?’ Sahabat
menjawab. ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu itu’ (beliau sendiri
tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin
hutangnya, ya Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.”
(HR. Bukhari dari Salamah bin Akwa’).
b. Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf:
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin
terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram.”

I. Syarat dan Rukun Kafalah


Menurut kelompok Hanafiah, rukun Kafalah itu hanya ijab qabul. Ijab merupakan
pernyataan menjamin sesuatu dari pihak yang memberi jaminan (kafil) dan qabul adalah
penerimaan jaminan dari pihak yang diberi jaminan (Madmun lah) tanpa harus terkait
dengan menggunakan sesuatu lafaz tertentu.
Menurut Jumhur ulama tidak sependapat dengan pandangan kelompok hanafiah.
Mereka berpendirian bahwa rukun dan syarat Kafalah itu adalah sebagai berikut:
1. Dhamin, kafil, atau zaim, yaitu orang yang menjamin dimana ia disyaratkan sudah
baligh, berakal, tidak dicegah membelanjakan hartanya(mahjur) dan dilakukan
dengan sekehendak sendiri.
2. Madmun lah, yaitu orang yang berpiutang, syaratnya ialah bahwa yang berpiutang
diketahui oleh orang yang menjamin. Madmun lah disebut juga makful lah, madmun
lah disyaratkan dikenal oleh penjamin karena manusia tidak sama dalam hal
tuntutan, hal ini dilakukan demi kemudahan dan kedisiplinan.
3. Madmun ‘anhu atau makful ‘anhu adalah orang yang berutang.
4. Madmun bih atau makful bih adalah utang, disyaratkan pada makful bih dapat
diketahui dan tetap keadaannya, baik sudah tetap maupun akan tetap.

13
5. Lafadz, disyaratkan keadaan lafadz itu berarti menjamin, tidak digantungkan kepada
sesuatu dan tidak berarti sementara.

J. Jenis Kafalah
Kafalah dapat di golongkan menjadi 2 golongan besar yaitu:15
1. Kafalah dengan jiwa dikenal dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya keharusan pada
pihak penjamin (al-kafil, al-dhamin atau al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia
tanggung kepada yang ia janjikan tanggungan (Makfullah).
2. Kafalah dengan harta, yaitu kewajiban yang harus ditunaikan oleh dhamin atau kafil
dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta.
Dari kedua golongan besar diatas pada prakteknya dapat dibagi menjadi beberapa
jenis:16
a. Kafalah bil mal yaitu jaminan pembayaran barang atau pelunasan hutang.
Contohnya kasus hadits Rosul riwayat Bukhari di mana Qatadah menjamin hutang
seorang sahabat.
b. Kafalah bit Taslim yaitu jaminan yang diberikan dalam rangka menjamin
penyerahan atas barang yang disewa pada saat berakhirnya masa sewa.
c. Kafalah Munjazah yaitu Jaminan yang diberikan secara mutlak tanpa adanya
pembatasan waktu tertentu.
d. Kafalah Muqayyadah/muallaqah, yaitu kafalah yang dibatasi waktunya, sebulan,
dan setahun.

K. Pendapat Ulama’ Mengenai Akad Kafalah


Akad kafalah termasuk kedalam akad tabarru adapun pengertian Akad kafalah,
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 11/DSN/MUI/IV/2000 yaitu jaminan
yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban
pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil). Sedangkan pengertian ujrah
adalah imbalan yang diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang dilakukan. Atas
dasar pengertian tersebut, setidaknya ada tiga hal yang dikandung oleh kafalah, yaitu:
kesanggupan untuk memenuhi hak yang menjadi kewajiban orang lain, kesanggupan

15
Ahmad Wardhi Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Amzah, 2010), 443.
16
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
1996), 151-152.

14
mendatangkan barang yang ditanggung dan kesanggupan menghadirkan orang yang
mempunyai kewajiban terhadap orang lain.
Pendapat para ulama tentang kafalah
a. Pendapat ulama mazhab Hanafi.
Para ulama dalam mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad kafalah dan
imbalan tidak sah bila kafil (penjamin) mensyaratkan imbalan dari jaminan
yang dia berikan kepada pihak yang dijamin makful ‘anhu, dan bila tidak
disyaratkan dalam akad dan pihak yang dijamin memberikan imbalan dengan
sukarela maka imbalannya tidak sah namun akad kafalah tetap sah.
Seseorang melakukan akad kafalah terhadap orang lain dan menerima
imbalan dari orang yang dijamin. Akad ini memiliki 2 bentuk: 1. Imbalan tidak
disebutkan/disyaratkan dalam akad maka hukum imbalannya tidak sah namun
akadnya tetap sah. 2. Imbalan disebutkan/disyaratkan dalam akad maka imbalan
dan akad kafalahnya tidak sah.
b. Pendapat ulama mazhab Maliki.
Para ahli fiqih dalam mazhab Maliki menghukumi akad kafalah dengan
imbalan tidak sah (fasid) tanpa membedakan imbalan yang disyaratkan pada
saat akad ataupun tidak. Ad Dasuki berkata: “Kafalah yang tidak sah adalah
kafalah yang tidak memenuhi syarat, seperti; menerima imbalan dari akad
kafalah.”
c. Pendapat ulama mazhab Syafi’i
Pendapat para fuqoha dalam mazhab Syafi’i sama dengan pendapat
ulama dalam mazhab Hanafi, yaitu: bila imbalan disebutkan dalam akad maka
imbalan dan akad kafalah tidak sah, namun bila tidak disyaratkan dan diberikan
dengan sukarela maka akad kafalahnya sah namun imbalannya tidak sah.
Al Mawardi berkata: “Jika seseorang meminta orang lain untuk menjadi
penjaminnya dan dia akan memberikan imbalan kepadanya, akad ini tidak
dibolehkan. Dan imbalannya tidak sah. Dan akad kafalah yang dengan
persyaratan imbalan tidak sah”.
d. Pendapat ulama mazhab Hanbali.
Para ahli fiqih dalam mazhab Hanbali juga tidak membolehkan menerima
imbalan dari akad kafalah secara mutlak, baik disyaratkan ataupun tidak
disyaratkan.
Ibnu Qudamah berkata;
15
6/444 ‫المغني‬.(‫لم يجز‬. ‫اكفل عني ولك ألف‬: ‫ولو قال‬
“Jika seseorang berkata kepada orang lain,” jadilah engkau penjaminku dan aku
akan memberimu imbalan seribu,” akad ini tidak boleh.”

Pada dasarnya menurut ekonomi islam pelaksanaan ujrah pada akad kafalah ini
dibolehkan karena sudah ada Fatwa yang mengaturnya yaitu Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia Nomor 11/DSN/MUI/IV/2000. Sedangkan tidak ada seorangpun dari
4 (empat) Imam Madzhab yang membolehkan perolehan ujrah atas akad kafalah.17

17
Nurhasanah Siti, Jurnal Analisis Ujrah Kafalah,( Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung),157

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Wakalah dan Kafalah sama-sama memegang andil yang besar dalam kehidupan
Masyarakat. Wakalah atau biasa disebut perwakilan adalah pelimpahan kekuasaan oleh
satu pihak (muwakil) kepada pihak lain (wakil) dalam hal hal yang boleh diwakilkan. Atas
jasnya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah.
Dasar hukum wakalah yaitu Al Qur’an, Al Hadits dan Ijma’. Wakalah dapat dilakukan jika
memenuhi rukun dan syarat wakalah.
Dalam pengertian bahasa kafalah berarti adh dhamman (jaminan), sedangkan
menurut pengertian syara’ kafalah adalah proses penggabungan tanggungan kafiil menjadi
tanggungan ashiil dalam tuntutan/permintaan dengan materi sama atau hutang, atau barang
atau pekerjaan.
Dasar hukum atas kafalah terdiri dari Al-Qur’an, Al-Hadits, dan Ijma’.

17
DAFTAR PUSTAKA

Nuhyatia, Indah. “Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank Syariah”,
Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3, No. 2, 2013.

Nuhyatia, Indah. ” Penerapan dan Aplikasi Akad Wakalah pada Produk Jasa Bank Syariah”,
Vol. 3, No. 2, 2013.
Rizal, ”Implementasi Wakalah pada Lembaga Keuangan Mikro Syariah”, Jurnal Equilibrium,
Vol. 3, No. 1, 2015.
Siswanto. “Fiqh Muamalah: Kafalah”, Jurnal Prodi Hukum Ekonomi Syari’ah Fakultas
Syari’ah IAIN Samarinda, 2015.
Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam. Jakarta: Sinar
Grafika, 1996.
Djuwaini, Dimyauddin. Pengantar Fiqh Muamalah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana, 2012.
Muslich, Ahmad Wardhi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Amzah, 2010.
Mustofa, Imam. Fiqih Muamalah Kontemporer. Lampung: STAIN Jurai Siwo Metro
Lampung, 2014.
Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia 2012.

Rais, Isnawati dan Hasanudin. Fiqh Muamalah dan Aplikasinya Pada Lembaga Keuangan
Syariah. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2011.

Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Press, 2008.

18

Anda mungkin juga menyukai