Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEPERAWTAN JIWA

Disusun Oleh :

YUSUF BUDIMAN (C1018051)

TINGKAT 2A PRODI S1-ILMU KEPERAWATAN

Dosen Pengampu : Firman Hidayat, M. kep., Sp Kep.J

YAYASAN PENDIDIKAN TRI SANJA HUSADA SEKOLAH TINGGI ILMU

KESEHATAN BHAKTI MANDALA HUSADA SLAWI

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadihat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, taufik dan

hidayahNyasehingga kami dapat menyelessikan malakah ini. Makalah “Sociocultural

Context Of Psychiatric Nursing care & Legal And Ethical Context Of Psychiatric

Nursing” terwujud berkat partisipasi berbagai pihak, oleh karena itu kami menyampaikan

terimaksih yang sebesar-besarnya kepeda Bapak dan Ibu dosen pembimbing mata kuliah

“Sociocultural Context Of Psychiatric Nursing care & Legal And Ethical Context Of

Psychiatric Nursing”.

Taka ada gading yang retak begitu juga kami menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kami mohon kritik dan saran yang bersifat
membangun agar kami menjadi lebih baik lagi. Adapun harapan kami semoga makalah
ini dapat diterima dengan semestinya dan bermanfaat bagi kita, Aamiin. Akhir kata kami
mengucapkan terima kasih.

Slawi, 8 April 2020

penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………1

DAFTAR ISI……………………………………………..……………………..2

BAB I PENDAHULUAN………………………………….………….………..3

A. Latar belakang………………………...…………………...….……….3

B. Tujuan.………………………………………………………………….3

C. Manfaat…………………………………………………………………3

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………..………........4

A. Pengertian Socipcultural Context Of Psychiatric Nursing


Care.……………………………………………………………………..4

B. Faktor-Faktor Socipcultural Context Of Psychiatric Nursing

Care.……………………………………………………………………..4

C. Definisi Socipcultural Context Of Psychiatric Nursing


Care.……………………………………………………………………..4

D. Pengertian Legal And Ethical Context Of Psychiatric


Nursing…………………………………………………………………..4

BAB III PENUTUP……………………….……………………………..……...6

A. Kesimpulan………………………………………………………….…...6

B. Saran……………………………………………………………….…....6

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................7
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Keperawatan kesehatan mental dan psikiatrik adalah suatu bidang spesialisasi
praktek keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan
penggunaan diri sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya ( ANA ). Semuanya didasarkan
pada diagnosis dan intervensi dari adanya respons individu akan masalah kesehatan
mental yang actual maupun potensial. Ada empat karakteristik keperawatan :
1. Fenomena yaitu rentang respons-respons yang berkaitan dengan kesehatan yang
teramati pada orang sakit dan sehat yang menjadi focus diagnosa dan penanganan
keperawatan.
2. Teori yaitu konsep-konsep, prinsip-prinsip dan proses yang memandu intervensi
keperawatan dan pemahaman tentang respons yang berhubungan dengan
kesehatann.
3. Tindakan-tindakan yaitu intervensi untuk mencegah kesehatan.
4. Pengaruh yaitu evaluasi tindakan keperawatan yang berhubungan dengan respon
kesehatan yang teridentifikasi dan hasil asuhan keperawatan yang diantisipasi.

Pelayanan yang menyeluruh difokuskan pada pencegahan penyakit mental, menjaga


kesehatan, pengelolaan atau merujuk dari masalah kesehatan phisik dan mental, diagnosis
dan intervensi dari gangguan mental dan akibatnya, dan rehabilitasi (Haber & Billing,
1993).

Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi tantangan
hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif
terhadap diri sendiri dan orang lain.

Kesehatan jiwa meliputi:

1. Bagaimana perasaan anda terhadap diri sendiri


2. Bagaimana perasaan anda terhadap orang lain

3. Bagaimana kemampuan anda mengatasi persoalan hidup anda Sehari - hari.

Keperawatan jiwa dimulai antara tahun 1770 dan 1880 seiring dengan kejadian
penanganan pada seorang penyakit mental.

Keperawatan sebagai profesi dituntut untuk mengembangkan keilmuannya sebagai


wujud kepeduliannya dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia baik dalam
tingkatan preklinik maupun klinik. Untuk dapat mengembangkan keilmuannya maka
keperawatan dituntut untuk peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di
lingkungannya setiap saat.

B. Tujuan
1. Untuk memenuhi mata kuliah Keperawatan Jiwa.
2. Mahasiswa dapat memahami tentang Konteks Legal Etik dalam Asuhan
Keperawatan Jiwa.
3. Mahasiswa mengetahui pengertian keperawatan kesehatan jiwa .
4. Mahasiswa mengetahui tujuan dari program keperawatan kesehtan jiwa.
5. Mahasiswa mengetahui tentang prinsip-prinsip dalam keperawatan kesehatan jiwa
masyarakat.
C. Manfaat
1. Meningkatkan pemahaman perawat terhadap hak-hak pasien dan hak legal
perawat.
2. Sebagai dasar dalam mengembangkan ilmu keperawatan jiwa.
3. Mengetahui keterkaitan keperawatan jiwa tentang konteks legal etik dalam asuhan
keperawatan jiwa.
4. Makalah ini bisa di jadikan bahan acuan untuk melakukan tindakan asuhan
keperawatan pada kasus keperawatan kesehatan jiwa masyarakat.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Dari Sociocultural Context Of Psychiatric Nursing care
Dalam setiap interaksi dengan pasien, perawat psikiatris harus menyadari
kehidupan pasien dan menyadari bahwapersepsinya tentang sehat dan sakit, prilaku
mencari bantuan dan kepatuhan pada pengobatan. Perawat yang peka secara kultural
memahami pentingnya kekuatan sosial dan kultural bagi individu, mengenal keunikan
dan mengabungkan informasi sosiokultural kedalam asuhan keperawatan psikiatris.

B. Faktor – Faktor Resiko Sociocultural Context Of Psychiatric Nursing care


1. Usia
2. Suku bangsa
3. Gender
4. Pendidikan
5. Penghasilan
6. Sistem keyakinan

Faktor resiko atau faktor predisposisiini dapat secara bermakna meningkatkan potensi
berkembangnya kelainan psikiatris. Mengurangi potensi penyembuhan, atau keduannya
bersamaan faktor-faktor tersebut memberikan gambaran sosiokultural pasien yang
penting dan bermutu.

Stressor sosiokultural adalah kurangnya kesadaran tentang faktor resiko dan


pengaruhnya terhadap individu. Sejalan dengan kurangnya penghargaan terhadap
perbedaan sosiokultural, dapat mengakibatkan asuhan keperawatan tidak memadai.
Beberapa stessor sosiokultural yang juga bisa mempengaruhi mutu asuhan sebagai
berikut:

1. Keadaan yang merugikan


2. Steroetipe
3. Intolerans
4. Stigma
5. Prasangka
6. Diskriminasi
7. Rasisme
C. Definisi Sociocultural Context Of Psychiatric Nursing care
1. Kekurangan sumber sosioekonomi yang merupakan dasar untuk adaptasi
biopsikososial.
2. Konsepsi despersonalisasi dari individu didalam suatu kelompok.
3. Ketidaksediaan untuk menerima perbedaan pendapat untuk keyakinan orang lain
yang berasal dari latar belakang yang berbeda.

D. Pengertian Dari Legal And Ethical Context Of Psychiatric Nursing


Pertimbangan Legal Dan Etik klien psikiatri memiliki hak legal, sama seperti
klien ditempat lain. Isu legal dan etik yang dibahas pada bagian ini terutama berkaitan
dengan topik klien yang menunjukkan sikap bermusuhan dan agresif, tetapi berlaku untuk
semua klien di lingkungan kesehatan jiwa.
1. Hospitalisasi Involunter
Kebanyakan klien masuk ke tempat rawat inap atas dasar sukarela. Hal ini
berarti mereka ingin mencari terapi dan setuju dirawat di rumah sakit. Akan tetapi,
beberapa klien tidak mau dirawat di rumah sakit dan diobati. Klien yang dirawat
di rumah sakit di luar kemauan mereka dengan kondisi seperti ini dimasukkan ke
rumah sakit untuk perawatan psikiatri sampai mereka tidak lagi berbahaya bagi
diri mereka sendiri atau orang lain. Seseorang dapat ditahan di fasilitas psikiatri
selama 48 sampai 72 jam karena keadaan darurat sampai dapat dilakukan
pemeriksaan untuk menentukkan apakah klien harus dimasukkan ke fasilitas
psikiatri untuk menjalani terapi selama periode waktu tertentu.
2. Keluar dari Rumah Sakit
Klien yang masuk rumah sakit secara sukarela memiliki hak untuk
meninggalkan rumah sakit jika mereka tidak membahayakan diri sendiri atau
orang lain. Klien dapat menandatangani suatu permintaan tertulis untuk pulang
dan keluar dari rumah sakit tanpa saran medis jika mereka tidak berbahaya.
Apabila klien yang masuk rumah sakit secara sukarela yang berbahaya bagi
dirinya sendiri atau orang lain menandatangani surat permintaan untuk pulang,
psikiater dapat mengajukan komitmen sipil untuk menahan klien terhadap
keinginannya sampai dapat dilakukan pemeriksaan untuk memutuskan hal
tersebut.
Beberapa klien berhenti minum obat-obatan setelah pulang dari rumah
sakit dan kembali mengancam, agresif, atau berbahaya. Klinisi kesehatan jiwa
semakin bertanggung jawab secara hukum untuk tindak kriminal klien tersebut,
yang meningkatkan perdebatan tentang komitmen sipil yang luas untuk klien yang
berbahaya. Studi yang di lakukan Weinberger et al. (1998) menunjukkan bahwa
pengadilan menerima kurang dari 50% petisi profesional kesehatan jiwa untuk
komitmen sipil yang luas pada klien psikiatri yang berbahaya. Perhatian
pengadilan adalah klien psikiatri memiliki hak sipil dan tanpa alasan yang kuat
tidak boleh ditahan di rumah sakit jika mereka tidak menginginkannya ketika
mereka tidak lagi berbahaya.
3. Hak-hak Klien
Klien kesehatan jiwa tetap memiliki semua hak sipil yang diberikan
kepada semua orang, kecuali hak untuk meninggalkan rumah sakit dalam kasus
komitmen involunter. Klien memiliki hak untuk menolak terapi, mengirim dan
menerima surat yang masih tertutup, dan menerima atau menolak pengunjung.
Setiap larangan ( misalnya : surat, pengunjung, pakaian) harus ditetapkan oleh
pengadilan atau instruksi dokter untuk alasan yang dapat diverifikasi dan
didokumentasikan. Contohnya sebagai berikut :
● Klien yang pernah berupaya bunuh diri tidak diizinkan menyimpan ikat
pinggang, tali sepatu, atau gunting, karena benda tersebut dapat digunakan
untuk membahayakan dirinya.
● Klien yang menjadi agresif setelah kunjungan seseorang dilarang
dikunjungi orang tersebut selama suatu periode waktu.
● Klien yang mengancam orang lain di luar rumah sakit melalui telepon
diizinkan menelepon hanya jika diawasi sampai kondisinya membaik.

Hak-hak Pasien Berdasarkan American Hospital Association (1992).

1. Pasien memiliki hak untuk mendapatkan perawatan yang penuh rasa hormat dan
perhatian.
2. Pasien memiliki hak dan dianjurkan untuk memperoleh informasi yang dapat
dipahami, terkini, dan relevan tentang diagnosa, terapi, dan prognosis dari dokter
dan pemberi perawatan langsung lainnya.
3. Pasien memiliki hak untuk membuat keputusan tentang rencana perawatan
sebelum dan selama proses terapi dan menolak terapi yang direkomendasikan atau
rencana perawatan sejauh yang diperbolehkan oleh hukum dan kebijakan rumah
sakit dan diinformasikan tentang konsekuensi medis tindakan ini. Bila pasien
menolak terapi, pasien berhak memperoleh perawatan dan pelayanan lain yang
tepat, yang disediakan rumah sakit, atau dipindahkan ke rumah sakit lain. Rumah
sakit harus memberi tahu pasien tentang setiap kebijakan yang dapat
memengaruhi pilihan pasien di dalam institusi tersebut.
4. Pasien memiliki hak untuk meminta petunjuk lanjutan tentang terapi ( misalnya
living will, perwalian perawatan kesehatan, atau menunjuk pengacara untuk
mengatur perawatan kesehatan selama waktu tertentu), dengan harapan bahwa
rumah sakit akan menerima maksud petunjuk tersebut sejauh yang diperbolehkan
oleh hukum dan kebijakan rumah sakit.
5. Pasien memiliki hak terhadap setiap pertimbangan privasi. Diskusi kasus,
konsultasi, pemeriksaan, dan terapi harus dilaksankan agar privasi setiap pasien
terlindungi.
6. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa semua komunikasi dan catatan yang
berhubungan dengan perawatannya akan dijaga kerahasiannya oleh rumah sakit,
kecuali pada kasus seperti kecurigaan tentang penganiayaan dan bahaya kesehatan
masyarakat, ketika pelaporan kasus tersebut diizinkan atau diwajibkan oleh
hukum. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa rumah sakit akan menegaskan
kerahasiaan informasi ini ketika memberi tahu pihak lain yang berhak meninjau
informasi dalam catatan tersebut.
7. Pasien memiliki hak untuk meninjau catatan yang berhubungan dengan perawatan
medisnya dan meminta penjelasan atau interpretasi informasi sesuai kebutuhan,
kecuali jika dilarang oleh hukum.
8. Pasien memiliki hak untuk berharap bahwa dalam kapasitas dan kebijakannya,
rumah sakit akan merespon dengan baik permintaan pasien untuk memperoleh
perawatan dan pelayanan yang tepat dan diindikasikan secara medis.
9. Pasien memiliki hak untuk bertanya dan diinformasikan tentang adanya hubungan
bisnis antara rumah sakit, institusi pendidikan, pemberi perawatan kesehatan lain,
atau pihak pembayar yang dapat memengaruhi terapi dan perawatan pasien.
10. Pasien memiliki hak untuk menyetujui atau menolak partisipasi dalam studi
penelitian yang diajukan atau eksperimen pada manusia yang memengaruhi
perawatan dan terapi atau memerlukan keterlibatan pasien secara langsung, dan
meminta penjelasan sepenuhnya tentang studi tersebut sebelum memberi
persetujuan. Pasien yang menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian atau
eksperimen tetap berhak mendapat perawatan yang paling efektif, yang dapat
diberikan rumah sakit.
11. Pasien memiliki hak untuk menharapkan kontinuitas perawatan yang layak jika
tepat dan mendapat informasi dan dokter dan pemberi perawatan lain tentang
pilihan perawatan pasien yang realistis dan tersedia ketika perawatan rumah sakit
tidak lagi tepat.
12. Pasien memiliki hak untuk mendapat informasi tentang kebijakan dan praktik di
rumah sakit yang berhubungan dengan perawatan pasien, terapi, dan tanggung
jawab. Pasien memiliki hak untuk mendapat informasi tentang sumber yang
tersedia untuk mengatasi perselisihan, keluhan, dan konflik, misalnya komite etik,
perwakilan pasien, dan mekanisme lain yang tersedia di instusi. Pasien memiliki
hak mendapat informasi tentang biaya rumah sakit untuk pelayanan yang
diberikan dan metode pembayaran yang digunakan.

Hak pasien jiwa secara umum (Stuart & Laraia, 2001) :

• Hak untuk berkomunikasi dengan orang lain di luar RS dengan berkorespondensi,


telepon dan mendapatkan kunjungan

• Hak untuk berpakaian

• Hak untuk beribadah

• Hak untuk dipekerjakan apabila memungkinkan

• Hak untuk menyimpan dan membuang barang


• Hak untuk melaksanakan keinginannya

• Hak untuk memiliki hubungan kontraktual

• Hak untuk membeli barang

• Hak untuk pendidikan

• Hak untuk habeas corpus

• Hak untuk pemeriksaan jiwa atas inisiatif pasien

• Hak pelayanan sipil

• Hak mempertahankan lisensi hukum; supir, lisensi profesi

• Hak untuk memuntut dan dituntut

4. Konservator
Pengangkatan konservator atau pelindung hukum merupakan proses yang
terpisah dari komitmen sipil. Individu yang mengalami disabilitas berat terbukti
tidak kompeten tidak dapat menyediakan makanan, pakaian, dan tempat tinggal
bagi diri mereka sendiri walaupun sumber-sumber tersedia dan tidak dapat
bertindak sesuai keinginan mereka sendiri, dapat memerlukan pengangkatan
seorang konservator.
5. Lingkungan yang Kurang Restriktif
Klien memiliki hak untuk menjalani terapi di lingkungan yang kurang
restriktif yang tepat untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini berarti bahwa
klien tidak harus dirawat di rumah sakit jika ia dapat diobati di lingkungan rawat
jalan atau group home.
Restrein adalah aplikasi langsung kekuatan fisik pada individu, tanpa izin
individu tersebut, untuk membatasi kebebasan geraknya. Kekuatan fisik ini dapat
menggunakan tenga manusia, alat mekanis atau kombinasi keduanya. Restrein
dengan tenaga manusia terjadi ketika anggota staf secara fisik mengendalikan
klien dan memindahkannya ke ruang seklusi. Restrein mekanis adalah peralatan,
biasanya restrein pada pergelangan kaki dan pergelangan tangan, yang diikatkan
ke tempat tidur untuk mengurangi agresi fisik klien, seperti memukul,
menendang, dan menjambak rambut.
Seklusi adalah pengurungan involunter individu dalam ruangan terkunci
yang dibangun secara khusus serta dilengkapi dengan jendela atau kamera
pengaman untuk memantau klien secara langsung (JCAHO, 2000).

Hirarki Dalam Membatasi Pasien Jiwa (Stuart & Laraian, 2001):

Pembatasan bisa dalam makna dibatasi secara fisik atau dibatasi

pilihannya. Hirarki dari yang paling restriktif ke yang kurang restriktif.

• Ekstrimitas tubuh

• Batasan ruang gerak ( kamar isolasi)

• Batasan dalam aktivitas sehari-hari, misal acara TV, waktu merokok,


komunikasi

6. Kewajiban untuk Memperingatkan Pihak Ketiga


Satu pengecualian terhadap hak klien dalam kerahasiaan ialah kewajiban
untuk memperingatkan, yang didasarkan pada keputusan Pengadilan Tinggi
California, dalam Tarasoff vs. Regents of the University of California. Akibat
keputusan ini ialah klinisi kesehatan jiwa berkewajiban untuk memperingatkan
pihak ketiga yang dapat diidentifikasi tentang ancaman yang dilakukan seseorang
walaupun ancaman tersebut didiskusikan selama sesi terapi, yang sebaliknya
dilindungi oleh pihak istimewa.
Klinisi harus mengajukan empat pertanyaan untuk menentukan apakah
terdapat kewajiban untuk memperingatkan (Felthous, 1999) :
• Apakah klien berbahaya bagi orang lain ?
• Apakah bahaya tersebut akibat gangguan jiwa serius ?
• Apakah bahaya tersebut segera terjadi ?
Misalnya, jika seorang pria dimasukkan ke fasilitas psikiatri karena ia
bermaksud membunuh istrinya, ada suatu kewajiban yang jelas untuk
memperingatkan istrinya.
7. Peran Legal Perawat
Perawat jiwa memiliki hak dan tanggung jawab dalam tiga peran legal:
● Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan

● Perawat sebagai pekerja

● Perawat sebagai warga Negara.

Perawat mungkin mengalami konflik kepentingan antara hak dan


tanggung jawab ini. Penilaian keperawatan propsesinal memerlukan pemeriksaan
yang teliti dalam konteks asuhan keperawatan, kemungkinan konsekuensi
tindakan keperawatan, dan alternative yang mungkin dilakukan perawat. Masalah
Legal Dalam Praktek Keperawatan :

• Dapat terjadi bila tidak tersedia tenaga keperawatan yg memadai tidak


tersedia standar praktek dan tidak ada kontrak kerja.

• Perawat profesional perlu memahami aspek legal untuk melindungi diri


dan melindungi hak-hak pasien dan memahami batas legal yang mempengaruhi
praktek keperawatan.

• Pedoman legal Undang-undang praktek, peraturan Kep Men Kes No


1239 dan Hukum adat.

8. Pertanggung Jawaban Pidana Terkait Dengan Kondisi Jiwa Seseorang


• Argumen yang menyebutkan bahwa seseorang yang didakwa melakukan tindakan
kriminal dianggap tidak bersalah karena orang tersebut tidak bisa mengontrol
perbuatannya atau tidak mengerti perbedaan antara benar dan salah yang dikenal
sebagai Peraturan M’Naghten.
• Saat orang tersebut memenuhi kriteria, dia dapat dinyatakan tidak bersalah karena
mengalami gangguan jiwa.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Keperawatan Jiwa Adalah proses interperonal yang berupaya meningkatkan dan


mempertahankan perilaku pasien yang berperan pada fungsi yang terintegrasi. Sistem
pasien atau klien dapat berupa individu,keluarga,kelompok,organisasi atau komunitas.
(Stuart, 2007). Dalam UU No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan, pasal 4. Disebutkan
setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang
optimal. Definisi sehat menurut kesehatan dunia World Health Organization (WHO)
adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi pisik,mental dan sosial yang tidak hanya
bebas dari penyakit atau kecacatan.

• Proses hospitalisasi dapat menimbulkan trauma atau dukungan, bergantung pada


institusi, sikap keluarga dan teman, respons staf, dan jenis penerimaan masuk rumah
sakit, tabel memperlihatkan karakteristik yang membedakan dua jenis penerimaan masuk
rumah sakit jiwa: sukarela dan paksaan.

B. Saran
Dengan upaya yang dilakukan oleh perawat untuk memperbaiki status kesehatan
masyarakat, diharapkan juga masyarakat ikut serta dalam meningkatkan status kesehatan
sehingga akan lebih efektif bila bersama-sama menerapkannya. Sehingga diharapkan
nanti tidak ada lagi masyarakat dengan status kesehatan yang rendah selain itu tidak ada
lagi perbedaan mengenai pandangan sehat sakit dalam masyarakat dengan perawat.

DAFTAR PUSTAKA

http://nuryantinoviana.wordpress.com/2010/05/15/prinsip-asuhan-keperawatan-jiwa/

Vidbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Psychiatric mental health nursing.
Jakarta : EGC.

Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC. Hamid, A.Y. 2008.
Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Kaplan dan Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis. Jilid 1.Jakarta:
Bina Rupa Aksara..

Notosoedirjo, M. Latipun. 2001. Kesehatan Mental; Konsep dan Penerapan. Malang: UMM
Press.

Stuart dan Laraia. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 8th edition. St. Louis:
Mos

Anda mungkin juga menyukai