Anda di halaman 1dari 26

BAB 23

ANESTESI PADA PASIEN-PASIEN DENGAN


PENYAKIT SALURAN NAFAS
Morgan GE; 2006

Konsep-Konsep Kunci

Pada pasien yang mengalami serangan asma akut, PaCO2 yang normal atau
tinggi menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan work of breathing
dan hal ini biasanya merupakan suatu tanda adanya ancaman gagal nafas. Pulsus
paradoksus dan elektrokardiogram yang menggambarkan ventrikel kanan
( perubahan segmen S-T, right-axis deviation dan Right bundle Branch Block) juga
merupakan indikasi dari beberapa obstruksi jalan napas .

Bila memungkinkan, pasien penderita asma dengan brankospasme aktif yang


akan dibedah emergensi harus menjalani perawatan yang intensif. Oksigen
tambahan, β2 Agonis Aerosol dan glukokortikoid intravena dapat meningkatkan fungsi
paru dalam beberapa jam

Bronkospasme intraoperatif biasanya ditunjukkan dengan adanya mengi,


peningkatan tekanan inflasi puncak (peak inflation pressures) (tekanan plato tidak
berubah) penurunan volume tidal ekhalasi, atau peningkatan yang lambat dari
gelombang kapnograf.

Jika mengi tidak membaik setelah anastesi didalamkan, penyebab lain harus
dipertimbangkan sebelum memberikan terapi lainnya. Obstruksi tube endotrakeal
karena kinking, sekesi ataupun balon ETT yang terlalu dikembangkan, intubasi
endobronkial, usaha ekspirasi aktif (straining) karena anestesi yang dangkal, edema
atau emboli pulmonal dan pneumotoraks dapat mencetuskan bronkospame .

Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik, hipoksemia kronik dapat
menyebabkan eritrositosis, hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan (kor
pulmonal).

Terapi oksigen dapat meningkatkan PaCO2 yang membahayakan pada pasien


dengan retensi CO2, peningkatan PaO2 diatas 60 mm Hg dapat mencetuskan gagal
nafas pada pasien-pasien tersebut.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 1 dari 26


Intervensi preoperative bertujuan untuk mengoreksi hipoksmia, menghilangkan
bronkospasme, memobilisasi dan mengurangi sekresi serta mengobati infeksi dapat
menurunkan insidensi komplikasi pulmonal pasca operasi pada pasien penyakit paru
obstruktif kronik. Pasien yang memiliki risiko tertinggi mengalami komplikasi adalah
pasien penyakit paru obstruktif kronik dengan tes fungsi paru yang kurang dari 50 %
nilai prediksi

Patients dengan bullae diparu, sangat beresiko untuk terjadinya pneumothorak


intraoperatif, terutama jika diberi ventilasi dengan tekanan positif

pada penyakit paru restriktif yang ditandai dengan penurunan komplain paru.
olume paru berkurang dengan cadangan laju ekpirasi yang normal. Volume ekspirasi
paksa 1 detik (FEV1) dan kapasitas vital paksa (FVC) menurun, namun perbandingan
FEV1/FVC normal.

Emboli pulmonal intraoperatif biasanya ditandai dengan hipotensi yang terjadi


tiba-tiba tanpa penyebab yang jelas, hipoksemia atau bronkospasme. Penurunan
konsentrasi End-tidal CO2 biasanya merupakan penyebab yang paling mungkin
namun tidak spesifik

PENGANTAR

Dampak dari penyakit paru yang telah ada sebelumnya selama periode anestesi
dan pasca operasi dapat diperkirakan. Gangguan pulmonal preoperatif berat
berhubungan dengan perubahan fungsi respirasi intraoperatif yang nyata dan
komplikasi pulmonal pasca operasi yang tinggi. Kegagalan untuk mengenali pasien-
pasien dengan risiko tinggi adalah penyebab utama dari timbulnya komplikasi
tersebut. Bab ini membahas tentang risiko pulmonal secara umum kemudian
meninjau pendekatan anestetik pada pasen-pasien dengan penyakit-penyakit paru
yang umum.

FAKTOR-FAKTOR RISIKO PULMONAL


Disfungsi paru adalah komplikasi pasca operasi yang umum terjadi Insidensi
atelektasis, pneumonia, emboli pulmonal dan gagal nafas setelah tindakan
pembedahan sangat beragam ( 6% sampai 60%) tergantung populasi pasien yang
dikaji dan prosedur pembedahan yang dilakukan. Ada enam faktor risiko yang secara
umum menyebabkan hal tersebut (table 23-1). Dengan pengecualian daerah operasi
dan lamanya waktu pembedahan, sebagian besar faktor-faktor tersebut berhubungan

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 2 dari 26


dengan disfungsi pulmonal preoperatif. Dua prediktor yang paling kuat dari timbulnya
komplikasi ini adalah daerah operasi dan riwayat dispnea , yang berhubungan
dengan derajat penyakit pulmonal yang telah ada sebelumnya. Faktor lainnya adalah
lama operasi.
Hubungan antara merokok dan penyakit paru telah lama diketahui, abnormalitas
pada laju aliran mid ekspiratori maksimal (MMEF) biasanya tampak jelas sebelum
gejala PPOK muncul. Bahkan pada individu yang normal, pertambahan usia
berhubungan dengan prevalensi penyakit pulmonal dan peningkatan closing capacity.
Obesitas menurunkan kapasitas residual fungsional (FRC), meningkatkan work of
breathing dan merupakan predisposisi timbulnya trombosis vena dalam (DVT).

Tabel 23-1 Faktor Risiko Komplikasi Pulmonal Pasca Operasi


Penyakit paru yang diderita sebelumnya
Pembedahan di toraks atau abdomen bagian atas
Merokok
Obesitas
Usia (>60 tahun)
Tindakan anestesi yang lama (> 3 jam)

Prosedur pembedahan toraks dan abdominal bagian atas memiliki efek


terhadap fungsi pulmonal. Operasi di daerah dekat diafragma dapat menyebabkan
disfungsi diafragma dan defek ventilasi restriktif (lihat di bawah). Pembedahan di
abdomen bagian atas secara konsisten menurunkan FRC (60-70%); Efek ini terjadi
terutama pada hari pertama pasca operasi dan biasanya berlangsung 7-10 hari. Insisi
vertikal menyebabkan ganggguan yang lebih berat daripada insisi horizontal.
Pernafasan yang cepat dan dalam dengan batuk yang tidak efektif disebabkan oleh
nyeri (splinting), penurunan kemampuan untuk nafas panjang dan gangguan klirens
mukosiliari menyebabkan mikroatelektasis dan hilangnya volume paru. Shunt
(pintasan) aliran darah menyebabkan hipoksemia (lihat bab 22). Efek sisa anestetik,
posisi telentang, sedasi opioid, distensi abdomen dan kain penutup daerah operasi
yang terlalu ketat dapat juga menyebabkan hal tersebut. Hilangnya rasa nyeri yang
komplit pada anestesi regional dapat mengurangi hipoksemia namun tidak dapat
mengembalikan abnormalitas tersebut sepenuhnya. Mikroatelektasis persisten dan
retensi sekresi dapat menyebebkan timbulnya pneumonia pasca operasi.
Walaupun disebutkan berbagai efek samping yang terjadi pada fungsi pulmonal
akibat pemberian anestesi umum (lihat bab 22), keunggulan anestesi regional
dibandingkan anestesi umum pada pasien dengan gangguan fungsi paru masih
belum diketahui.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 3 dari 26


PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF

Penyakit paru obstruktif adalah bentuk yang umum dari disfungsi pulmonal.
Penyakit ini antara lain asma, emfisema, bronkitis kronis, fibrosis kistik bronkiektasis
dan bronkiolitis. Pokok permasalahan dari penyakit-penyakit di atas adalah resistensi
aliran udara. Secara karakteristik, FEV1 maupun rasio FEV1/FVC kurang dari 70%
dari nilai prediksi. Nilai MMEF < 70% (Aliran ekspirasi paksa [FEF 25-75%]; lihat bab 22)
merupakan satu-satunya abnormalitas yang ditemukan secara dini pada kelainan ini.
Nilai normal untuk[FEF25-75%] pada laki-laki dewasa >2.0 dan wanita dewasa > 1.6
L/detik.
Peningkatan resistensi jalan nafas dan udara yang terperangkap meningkatkan
work of breathing; pertukaran gas respirasi terganggu karena gangguan
keseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q) Adanya resistensi aliran udara ekspirasi
menyebabkan udara terperangkap (air-trapping) sementara volume residual dan
kapasitas total paru (TLC) meningkat. Mengi merupakan gejala yang umum
ditemukan dan menggambarkan turbulensi aliran udara. Namun gejala ini sering tidak
tampak pada obstruksi ringan dan hanya berupa ekshalasi yang memanjang.
Obstruksi progresif pada awalnya hanya berupa mengi dan berkembang menjadi
mengi saat inspirasi dan ekspirasi. Pada obstruksi yang nyata, mengi bisa saja tidak
ada saat aliran udara hampir terhenti.

ASMA
Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
Asma adalah gangguan yang umum ditemukan pada 5-7 % populasi. Pokok
permasalahan dari gannguan ini adalah inflamasi jalan nafas (bronkiolar) dan
hipereaktifitas respons terhadap berbagai stimuli. Secara klinis asma termanifes
sebagai serangan dispnea, batuk dan mengi yang episodik. Obstruksi jalan nafas
yang biasanya reversibel akibat konstriksi otot polos bronchial, edema dan sekresi
yang meningkat. Secara klasik obstruksi dipresipitasi oleh berbagai substansi yang
terdapat di udara (airborne) termasuk serbuk tumbuhan, bulu binatang, debu, polutan
dan berbagai zat kimia. Beberapa pasien juga mengalami bronkospasme setelah
meminum aspirin, obat anti inflamasi non steroid, obat yang mengandung preparat
sulfit atau tartrazin dan zat pewarna lainnya. Olahraga, cetusan emosional dan infeksi
virus dapat mempresipitasi bronkospasme pada banyak pasien
Istilah asma ekstrinsik (alergik) (serangan berhubungan dengan paparan
lingkungan) dan asma instrinsik (idiosinkratik) (serangan biasanya terjadi tanpa
provokasi) digunakan di masa lalu namun klasifikasi tersebut tidak sempurna,
beberapa pasien menunjukkan gambaran dari kedua bentuk asma tersebut. Di
samping itu, tumpang tindih istilah dengan bronkitis kronis juga terjadi. Saat ini asma
diklasifikasikan sebagai asma akut dan kronik. Asma kronik dibagi lagi menjadi asma
ringan, intermitten dan ringan, asma sedang serta asma berat persisten.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 4 dari 26


A. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi asma melibatkan pelepasan berbagai mediator kimia lokal di jalan
nafas, dan aktivitas yang berlebihan dari sistem saraf parasimpatis. Substansi yang
terinhalasi dapat mencetuskan bronkospasme melalui mekanisme imun spesifik dan
non spesifik dengan degranulasi sel mast bronkial. Pada asma alergik klasik, antigen
akan berikatan dengan IgE pada permukaan sel mast menyebabkan degranulasi;
Bronkokonstriksi terjadi akibat pelepasan histamin, bradikinin, leukotrien C,D,E,
Platelet Activating Factor, prostaglandin (PG)PGE2, PGE2α, dan PGD2, netrofil dan
eosinofil chemotactic factor. Peran serotonin, suatu bronkokonstriktor yang poten
tidak diketahui dengan pasti pada manusia. Sistem saraf parasimpatis mempunyai
peranan penting dalam mempertahankan tonus bronchial yang normal (lihat bab 22).
Variasi diurnal tonus yang normal ditandai dengan resisensi jalan nafas puncak yang
terjadi pada pukul 6 pagi. Vagal afferent pada bronkus sensitive terhadap histamin
dan berbagai stimulus noksius termasuk air dingin, iritan yang terinhalasi dan
instrumentasi (Contoh intubasi endotrakeal). Aktivasi refleks vagal menyebabkan
bronkokonstriksi yang diperantarai siklik GMP intraseluler yang meningkat.
Selama serangan asma, bronkokonstriksi, edema mukosa dan sekresi
meningkatkan resistensi terhadap aliran udara pada semua level dari jalan nafas
bagian bawah. Saat serangan asma berkurang, resistensi jalan nafas kembali normal
dimulai pada jalan nafas yang besar (bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus
segmental dan subsegmental) kemudian pada saluran nafas yang lebih perifer.
Dengan demikian laju aliran ekspirasi menurun pada pemeriksaan FVC namun
selama resolusi serangan, laju aliran ekspirasi berkurang hanya pada volume paru
yang rendah. TLC, volume residual (RV) dan FRC meningkat . Pada pasien yang
mengalami serangan akut, RV dan FRC meningkat lebih dari 400% dan 100%.
Pemanjangan atau serangan asma berat secara nyata meningkatkan work of
breathing dan dapat menyebabkan lelahnya otot-otot pernafasan Jumlah unit alveoli
dengan nilai V/Q rasio yang rendah meningkat, menyebabkan hipoksemia. Takipneu
terjadi karena stimulasi reseptor bronkial yang dapat menimbulkan hipokapnia.
PaCO2 yang normal atau tinggi menunjukkan bahwa pasien tidak dapat
mempertahankan work of breathing dan hal ini merupakan tanda adanya ancaman
gagal nafas.Pulsus paradoksus dan tanda- tanda gangguan ventrikel kanan dari
gambaran EKG ( perubahan S-T segmen, right axis deviation, dan RBBB juga
merupakan indikasi adanya obstruksi jalan nafas yang berat.

B. TERAPI
Obat yang digunakan untuk terapi asma antara lain agonis β-adrenergik,
metilxantin, glukokortikoid, antikolinergik, penghambat leukotrien dan obat stabilisasi
sel mast. Umumnya obat-obat ini dapat digunakan pada terapi akut maupun kronik
kecuali obat yang terakhir. Sodium kromolin dan nedokromil hanya efektif untuk
mencegah bronkospasme pada pasien dengan asma ekstrinsik dan beberapa pasien
dengan asma intrinsik. Walaupun memiliki efek bronkodilatasi, kedua obat tersebut
menghambat degranulasi sel mast.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 5 dari 26


Obat-obat simpatomimetik (table 23-2) merupakan obat yang sangat berguna
dan paling sering digunakan. Obat-obat tersebut menyebabkan bronkodilatasi melalui
aktivitas agonis β2. Aktivasi reseptor adrenergic β2 pada otot polos bronkial
menyebabkan aktivasi adenilat siklase yang menghasilkan pembentukan siklik AMP
(cAMP). Obat ini biasanya diberikan melalui inhaler metered-dose atau sediaan
aerosol. Penggunaan agonis β2selektif seperti terbutalin atau albuterol dapat
menurunkan insidensi efek terhadap jantung yang tidak diharapkan karena aktivasi
reseptor β1 namun pada dosis tinggi obat ini menjadi tidak selektif.

Table 23–2. A Comparison of Commonly Used Bronchodilators. 1

Adrenergic Activity
Agent
1 2

Albuterol (Ventolin) + +++


Bitolterol (Tornalate) + ++++
Epinephrine (various) ++++ ++
Fenoterol (Berotec) + +++
Formaterol (Foradil) + ++++
Isoetharine (Bronkosol) ++ +++
Isoproterenol (Isuprel) ++++ —
Metaproterenol (Alupent) + +
Pirbuterol (Maxair) + ++++
Salmeterol (Serevent) + ++++
Terbutaline (Brethaire) + +++
1
+ Indicates level of activity.

Metilxantin dianggap menyebabkan bronkodilatasi dengan menghambat


fosfodiesterase, enzim yang berfungsi memecah cAMP. Efek terhadap pulmonal
tampak lebih kompleks dan termasuk pelepasan katekolamin, penghambatan dari
pelepasan histamin dan stimulasi diafragmatik.Preparat teofilin oral masa kerja
panjang digunakan pada pasien dengan gejala-gejala yang timbul pada malam hari.
Namun disayangkan teofilin memiliki rentang terapi yang sempit dimana kadar
terapeutik dalam darah berkisar 10-20 µg/mL. Pada dosis yang rendah biasanya lebih
efektif.. Aminofilin adalah satu-satunya sediaan intravena dari preparat teofilin

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 6 dari 26


Glukokortikoid digunakan baik untuk terapi akut dan terapi rumatan pada pasien
asma karena memiliki efek anti inflamasi dan efek stabilisasi membran.
Beklometason, triamsinolon, flunisolid dan budesonid adalah steroid sintetik yang
umum digunakan dalam bentuk inhaler untuk terapi rumatan. Walaupun obat-obat
tersebut tidak terlalu menyebabkan efek samping sistemik namun tidak seluruhnya
dapat mencegah supresi adrenal. Hidrokortison intravena atau metilprednisolon
digunakan pada serangan asma berat yang akut. Diikuti dengan dosis tapering yaitu
prednison oral. Glukokortikoid membutuhkan waktu beberapa jam untuk mencapai
efektivitasnya.
Obat antikolinergik menyebabkan bronkodilatasi melalui aksi antimuskarinik dan
dapat menghambat refleks bronkokonstriksi. Ipratropium, bentuk lain dari atropin
yang dapat diberikan melalui inhaler metered-dose atau aerosol adalah bronkodilator
yang cukup efektif tanpa efek antikolinergik sistemik.

PERTIMBANGAN ANESTETIK
A. Penatalaksanaan Preoperatif
Titik berat dalam mengevaluasi pasien asma harus ditekankan pada penentuan
saat terakhir serangan dari penyakit ini (tinjauan peak flow diary jika tersedia) dan
apakah pasien dirawat di rumah sakit karena suatu serangan asma akut dan
menjamin bahwa pasien sedang dalam kondisi yang optimal. Perbedaan antara
tindakan anestesi pada pasien asma yang dalam waktu dekat dirawat di rumah sakit
atau dengan mengi yang jelas terdengar dengan pasien asma tanpa riwayat
perawatan di rumah sakit atau temuan pada pemeriksaan fisik diagnostik berpotensi
untuk mencetuskan situasi yang mengancam jiwa sementara pada keadaan yang
kedua tidak demikian.
Riwayat klinis pasien sangat penting diketahui. Tidak adanya dispnea , mengi
atau batuk yang minimal berarti pasien dalam kondisi yang optimal. Perbaikan yang
tuntas dari suatu serangan asma yang terakhir harus dipastikan dengan auskultasi
dada. Pasien dengan bronkospasme yang frekuen atau kronik harus mendapatkan
terapi bronkodilator yang optimal termasuk agonis adrenergik β2, glukokortikoid harus
dipertimbangkan. Tes fungsi paru khusunya pengukuran laju nafas ekspirasi seperti
FEV1, FEV1/FVC, laju aliran ekspirasi puncak (PEFR) harus digunakan untuk
memastikan temuan klinis. Perbandingan dengan hasil pengukuran sebelumnya tidak
begitu berguna. Nilai FEV1 secara normal lebih dari 3L pada laki-laki dan 2 L pada
wanita. FEV1/FVC secara normal harus melebihi 70%. Nilai normal PEFR 200 L/m
(biasanya > 500 L/m pada laki-laki dewasa muda) FEV1, FEV1/FVC atau PEFR
kurang dari 50% merupalkan indikasi asma sedang sampai berat. Pemeriksaan foto
toraks sangat berguna untuk menentukan adanya air-trapping. Adanya hiperinflasi
diketahui dari diafragma yang mendatar , jantung yang terlihat mengecil dan
lapangan paru yang hiperlusen.
Pasien asma dengan bronkospasme aktif yang perlu dilakukan pembedahan
emergensi harus menjalani terapi intensif bila memungkinkan. Oksigen suplemen,
aerosol agonis β2 dan glukokortikoid intravena dapat meningkatkan fungsi paru dalam
beberapa jam. Analisis gas darah arterial mungkin berguna pada kasus yang berat.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 7 dari 26


Hipoksemia dan hipokapnia tipikal pada asma sedang dan berat bahkan hiperkapnia
ringan merupakan indikasi adanya udara yang terperangkap dan merupakan tanda
adanya ancaman gagal nafas. FEV1 di bawah 40% dari nilai normal dapat
memprediksi adanya gagal nafas.
Sedasi preoperatif sangat dibutuhkan pada pasien yang akan menjalani
pembedahan elektif terutama pada pasien dengan asma yang dicetuskan oleh faktor
emosional. Secara umum benzodiazepin adalah obat yang paling memuaskan untuk
premedikasi. Obat antikolinergik tidak biasa diberikan kecuali bila terdapat sekret
yang berlebihan atau jika menggunakan ketamin untuk induksi anestesi. Pada dosis
intramuskular, antikolinergik tidak efektif mencegah refleks bronkospasme setelah
intubasi. Penggunaan obat penghambat H2 (seperti simetidin atau ranitidin) secara
teoretis merugikan karena aktivasi reseptor H 2 secara normal menyebabkan
bronkodilatasi. Pada saat terjadi pelepasan histamin aktivasi H 1 yang tidak dihambat
dan penghambatan H2 dapat memperberat bronkokonstriksi.
Bronkodilator harus diteruskan sampai saat pembedahan agar efektivitasnya
tercapai yaitu agonis β, glukokortikoid inhalasi, penghambat leukotrien, kromon,
teofilin dan antikolinergik. Pasien yang mendapat terapi glukokortikoid jangka
panjang harus diberikan dosis suplemen untuk menghindari supresi adrenal.
Hidrokortison (50-100 mg preoperatif dan 100 mg tiap 8 jam selama 1 sampai 3 hari
pasca operasi tergantung derajat stres operasi) yang paling sering digunakan.

B. Penatalaksanaan Intraoperatif
Saat yang paling kritis pada pasien asma yang diberikan tindakan anestesi
adalah selama instrumentasi jalan nafas. Anestesi umum menggunakan mask atau
anestesi regional dapat mengatasi hal ini namun tidak sepenuhnya menghilangkan
kemungkinan timbulnya bronkospasme. Beberapa klinisi mempercayai bahwa spinal
tinggi atau anestesi epidural dapat mencetuskan bronkokonstriksi dengan
menghambat tonus simpatis pada jalan nafas bagian bawah (T1-T4) dan
memungkinkan aktivitas parasimpatis yang tak terhambat. Nyeri, stres emosional
atau stimulasi pada anestesi umum yang dangkal dapat mencetuskan
bronkospasme. Obat-obat sering berhubungan dengan pelepasan histamin (contoh
kurare, atrakurium, mivakurium, morfin, meperidin) harus dihindari atau diberikan
secara perlahan . Tujuan dari anestesi umum adalah induksi yang lancar dan
emergence (bangun dengan mudah) dengan kedalaman anestesi yang disesuaikan
dengan stimulasi.
Jenis obat induksi yang dipilih tidak terlalu penting, namun pencapaian
anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan. Tiopental
paling sering digunakan pada dewasa namun kadang-kadang dapat menyebabkan
bronkospasme karena peningkatan pelepasan histamin. Propofol dan etomidat
adalah alternatif yang sesuai dan disukai oleh banyak klinisi. Ketamin adalah satu-
satunya obat intravena dengan sifat bronkodilatasi adalah pilihan yang tepat
untuk pasien-pasien asma yang secara hemodinamik tidak stabil. Ketamin tidak
boleh digunakan pada pasien yang mendapat teofilin dosis tinggi dimana kombinasi
kedua obat tersebut dapat mencetuskan kejang. Halotan biasanya menghasilkan

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 8 dari 26


induksi inhalasi yang paling baik dengan bronkodilatasi pada anak-anak
penderita asma. Isofluran dan desfluran menghasilkan bronkodilatasi yang sama
namun harus dinaikkan secara perlahan karena bisa memperkuat efek iritasi ringan
dari obat-obat tersebut pada jalan nafas.
Refleks bronkospasme dapat dihilangkan sebelum intubasi dengan
penambahan dosis tiopental (1-2 mg/kg) memberikan ventilasi dengan zat volatil,
2-3 konsentrasi minimal alveolar (MAC) selama 5 menit atau memberikan
lidokain (1-2 mg/kg) intravena atau intratrakeal. Perlu diperhatikan bahwa lidokain
sendiri juga dapat mencetuskan bronkospasme bila dosis tiopental yang digunakan
untuk induksi tidak adekuat. Antikolinergik dosis besar (atropin 2 mg atau glikopirolat
1 mg dapat menghambat refleks bronkospasme namun dapat menyebabkan takikardi
yang hebat. Walaupun suksinilkolin pada saat tertentu dapat menyebabkan
pelepasan histamine namun secara umum,aman digunakan pada sebagian besar
penderita asma. Bila kapnograf tidak tersedia untuk memastikan intubasi endotrakeal
yang benar dilakukan dengan auskultasi dada, tetapi hal ini bias menjadi sukar
dilakukan bila terjadi bronkospasme.
Anestesi volatile paling sering digunakan untuk rumatan anestesi untuk
mendapatkan efek bronkodilatasi yang cukup poten. Halotan dapat mensensitisasi
jantung terhadap aminofilin dan agonis β adrenergik yang diberikan selama anestesi.
Karena alasan tersebut, bersamaan dengan pertimbangan bahwa halotan bersifat
hepatotoksik maka penggunaannya dihindari pada pasien dewasa. Ventilasi harus
dikontrol dengan gas hangat yang dilembabkan jika memungkinkan. Obstruksi aliran
udara selama ekspirasi tampak pada peningkatan nilai end-tidal CO2 yang tertunda.
Beratnya obstruksi berbanding terbalik dengan laju peningkatan end-tidal CO2.
Bronkospasme berat dimanifestasikan dengan peningkatan tekanan inspirasi puncak
dan ekshalasi inkomplit. Di masa lalu volume tidal 10-12 mL/kg dengan frekuensi
ventilasi 8-10 kali/menit dinilai cukup baik. Namun akhir-akhir ini volume tidal
dikurangi (≤ 10 mL/kg) dengan pemanjangan waktu ekspirasi dapat memungkinkan
distribusialiran udara yang sama di kedua paru dan dapat mencegah udara
terperangksp (air-trapping) PaCO2 dapat meningkat dimana hal ini masih
diperbolehkan bila tidak ada kontraindikasi terhadap kardiovaskular dan neurologik.
Gambar 23-1. Kapnograf pada pasien obstruksi jalan nafas ekspiratori

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 9 dari 26


Bronkospasme intraoperatif biasanya ditunjukkan dengan adanya mengi,
peningkatan tekanan inflasi puncak (peak inflation pressures) (tekanan plato tidak
berubah, penurunan volume tidal ekhalasi, atau peningkatan yang lambat dari
gelombang kapnograf. Hal ini harus diatasi dengan meningkatkan konsentrasi zat
volatile (memperdalam anestetik). Jika mengi tidak membaik setelah anastesi
didalamkan, penyebab lain harus dipertimbangkan sebelum memberikan terapi
lainnya. Obstruksi tube endotrakeal karena kinking, sekesi ataupun balon ETT yang
terlalu dikembangkan, intubasi endobronkial, usaha ekspirasi aktif (straining) karena
anstesi yang dangkal,edema atau emboli pulmonal dan pneumotoraks dapat
mencetuskan bronkospame
Bronkospasme harus diatasi dengan pemberian agonis β adrenergic secara
aerosol atau inhaler metered- dose ke dalam lengan inspirasi (inspiratory limb)dari
sirkuit pernafasan. (Gas pembawa yang digunakan pada inhaler metered-dose dapat
mengganggu pembacaan mass spectrometer). Hidrokortison intravena (1,5-2 mg/kg)
dapat diberikan terutama pada pasien dengan riwayat terapi glukokortikoid.
Pada akhir pembedahan pasien harus benar-benar terbebas dari mengi.
Reversi dari pelumpuh otot non depolarisasi dengan obat antikolinesterase tidak
mempresipitasi bronkokonstriksi jika didahului dengan pemberian zat antikolinergik
(lihat bab 10). Ekstubasi dalam (sebelum refleks jalan nafas kembali) dapat
mencegah bronkospasme pada saat pasien bangun (emergence). Lidokain
bolus (1,5-2 mg/kl) atau infuse kontinyu (1-2 mg/menit) dapat menumpulkan
refleks jalan nafas selama proses bangun.

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK

Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
PPOK adalah penyakit pulmonal yang umum ditemukan dalam praktik
anestesi. Prevalensinya meningkat dengan pertambahan usia, hal ini berhubungan
erat dengan kebiasaan merokok dan umumnya terjadi pada laki-laki (mempengaruhi
hampir 20% laki-laki) Kebanyakan pasien asimptomatik atau simptomatik ringan
namun menunjukkan obstruksi aliran udara ekspirasi selama tes fungsi paru. Pada
banyak pasien obstruksi bersifat reversible, yaitu gejala brongko spasme yang
membaik setelah pemberian bronkodilator.Dengan perkembangan penyakit,
maldistribusi dari ventilasi maupun aliran darah pulmonal digambarkan dengan rasio
V/Q yang rendah (shunt intrapulmonal) begitu pula dengan are V?Q rasio yang tinggi
(dead space). Secara istilah lama pasien diklasifikasi menjadi bronchitis kronis dan
emfisema.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 10 dari 26


Tabel 23-3 Tanda-tanda dan gejala Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Gambaran Bronkitis Kronik Emfisema
Batuk Frekuen Disertai sesak
Sputum Banyak Sedikit
Hematokrit Meningkat Normal
PaCO2 Sering meningkat (>40) Biasanya normal (<40)
Foto toraks Corakan paru bertambah Hiperinflasi
Rekoil elastik Normal Menurun
Resistensi jalan nafas Meningkat Normal sampai sedikit Meningkat
Kor pulmonal Awal Lambat

A. BRONKITIS KRONIK
Diagnosis klinis dari bronchitis kronis didefinisikan dengan adanya batuk
produktif hamper setiap hari selama 3 bulan berturut-turut dalam 2 tahun berturut-
turut. Selain itu, kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu akibat pekerjaan,
infeksi pulmonal rekuren dan faktor familial juga menjadi faktor yang
menetukan.Sekresi kelenjar mukosa dari bronkus yang hipertrofi dan edema mukosa
akibat inflamasi jalan nafas menyebabkan obstruksi aliran udara. Istilah bronkitis
kronik asmatik dapat dipakai bila bronkospasme adalah gejala utamanya.Infeksi
pulmonal rekuren (viral dan bakterial) merupakan sebab yang umum dan sering
berhubungan dengan terjadinya dengan bronkospasme. RV meningkat namun TLC
biasanya normal. Shunting (pintas) intrapulmonal terjadi dan hipoksia timbul.
Hipoksemia kronik menyebabkan eritrositosis, hipertensi pulmonal dan bahkan
gagal jantung kanan (kor pulmonal). Kombinasi dari hal tersebut biasanya disebut
sindrom blue bloater, namun , 5% pasien PPOK sesuai dengan deskripsi tersebut.
Sejalan dengan perkembangan penyakit, pasien secara bertahap akan mengalami
retensi CO2 , ventilatory drive yang normal menjadi kurang sensitif terhadap tekanan
CO2 arterial dan dapat tertekan dengan pemberian oksigen (di bawah)

B. EMFISEMA
Emfisema adalah kelainan patologik dengan pelebaran jalan nafas, distal dari
bronkus terminal yang ireversibel dan destruksi septa alveolar. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan CT scan dada. Perubahan emfisematus ringan di apeks paru
adalah normal namun secara klinis tidak dapat dihubungkan dengan penuaan.
Emfisema yang signifikan biasanya berhubungan dengan kebiasaanmerokok. Pada
beberapa kasus emfisema terjadi pada usia muda dan hal ini berhubungan dengan
defisiensi α1-antitripsin. Protease inhibitor ini dapat mencegah aktivitas enzim
proteolitik yang berlebihan (terutama elastase) pada paru-paru. Enzi mini dihasilkan
oleh sel netrofil dan makrofag paru-paru sebagai respons terhadap infeksi dan
polutan. Emfisema berhubungan dengan merokok biasanya terjadi akibat
ketidakseimbangan aktivitas protease an antiprotease pada individu yang rentan.
Hilangnya elastisitas yang secara normal menunjang jalan nafas yang lebih kecil

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 11 dari 26


melalui traksi radial yang memungkinkan kollaps premature selama ekshalasi
(kolaps jalan nafas dinamik). Pasien ini memiliki karakteristik antara lain peningkatan
RV, FRC,TLC dan rasio RV/TLC.
Destruksi kapiler pulmonal di septa alveolar menurunkan kapasitas difusi
karbonmonoksida (lihat bab 22) dan juga menyebabkan hipertensi pulmonal pada
tahap akhir penyakit ini. Area kistik yang luas atau bulla berkembang pada beberapa
pasien. Peningkatan dead space adalah gambaran utama emfisema. Tekanan
oksigen arterial biasanya normal atau hanya sedikit berkurang. Tekanan CO2 juga
normal. Saat dispnea, pasien emfisema biasanya melipat bibirnya untuk menunda
penutupan jalan nafas yang kecil. Yang biasanya disebut dengan pink puffer.
Sebagian besar pasien merupakan kombinasi dari bronchitis dan emfisema dan
didiagnosis dengan PPOK.

C.TERAPI
Terapi PPOK umumnya bersifat suportif. Intervensi yang terpenting adalah
penghentian kebiasaan merokok. Pasien yang menunjukkan tanda-tanda obstruksi
jalan nafas yang reversible (perbaikan FEV1 > 15% setelah pemberian bronkodilator)
harus memulaiterapi bronkodilator jangka lama. Agonis β2-adrenrgik, glikokortikoid
dan ipratropium sangatlah berguna; ipratropium memiliki peran penting dalam
penatalaksanaan pasien ini dibandinkan pasien asma. Bahkan pada pasien yang
tidak menunjukkan perbaikan dari tes fungsi paru terhadap penggunaan bronkodilator
dapat membaik secara klinis dengan terapi bronkodilator.Eksaserbasi berhubungan
bronchitis yang ditandai dngan perubahan sputum, terapi yang teratur dengan
antibiotic spectrum luas (contoh ampisilin, tetrasiklin, sulfametoksazol-trimetoprim)
penting dilakukan. Hipoksemia harus diatasi dengan hati-hati menggunakan oksigen
suplemen. Psien denga hiposemia kronik (PAO2< 55mmHg) dan hipertensi pulmonal
membutuhkan terapi oksigen low-flow (1-2L/menit)
Terapi oksigen dapat meningkatkan PaCO2 yang membahayakan pada pasien
dengan retensi CO2, peningkatan PaO2 diatas 60 mm Hg dapat mencetuskan gagal
nafas pada pasien-pasien tersebut. Penghilangan hypoxic ventilatory drive atau
pelepasan vasokonstriksi hipoksia mengakibatkan aliran darah yang lebih banyak ke
are dengan rasio V/Q yang rendah. Bila terjadi cor pulmonal diuretic digunakan untuk
mengontrol edema perifer, efek yang menguntungkan dari digoksin dan vasodilator
bersifat tidak konsisten. Pengkondisian fisik tidak memiliki efek terhadap tesfungsi
paru namun ditujukan untuk memperbaiki gejala. Beberapa penelitian bahkan
memenganjurkan kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen selama latihan
berbanding terbalik dengan komplikasi pasca operasi.

PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN ANESTETIK
A. Penatalaksanaan Preoperatif
Pasien PPOK harus dipersiapkan secara optimal sebelum menghadapi
pembedahan elektif sebagaimana yang dilakukan pada pasien asma. Pasien
sebelumnya diwawancara mengenai perubahan terakhir dari dispnea, sputum dan

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 12 dari 26


mengi. Pasien dengan FEV1 kurang dari 50% dari nilai normal (1,2-1,5L) biasanya
mengalami dispnea saat beraktivitas sementara pasien dengan FEV1 kurang dari
25% (<1L pada laki-laki) secara tipikal mengalami dispnea saat beraktivitas
ringan.Pada kasus tersebut, pasien dengan bronchitis kronis biasanya berhubunan
dengan retensi CO2 dan hipertensi pulmonal. Tes fungsi paru, foto toraks analisis
gas darah arterial harus ditelaah dengan hati-hati. Adanya perubahan bullous dari
pemeriksaan foto toraks harus diketahui. Beberapa pasien memiliki penyakit jantung
dan juga harus mendapatkan evaluasi kardiovaskular yang ketat.(lihat bab 20).
Berbeda dengan asma, pada PPOK hanya terjadi perbaikan fungsi respirasi
yang terbatas setelah pesiapan preoperatif intensif yang singkat. Intervensi
preoperatif bertujuan untuk mengoreksi hipoksemia, menghilangkan bronkospasme,
memobilisasi dan mengurangi sekresi serta mengobati infeksi dapat menurunkan
insidensi komplikasi pulmonal pasca operasi pada pasien penyakit paru obstruktif
kronik. Pasien yang memiliki risiko tertinggi mengalami komplikasi adalah pasien
penyakit paru obstruktif kronik dengan tes fungsi paru yang kurang dari 50 %
prediksi. Kemungkinan ventilasi pasca operasi sangat penting pada pasien risiko
tinggi harus didiskusikan oleh pasien dan ahli bedah.
Merokok harus dihentikan selama lebih kurang 6-8 minngu sebelum operasi
untuk menurunkan sekresi dan untuk mengurangi komplikasi pulmonal. Merokok
meningkatkan produksi mucus dan menurunkan klirens. Baik gas yang terkandung
maupun fase partikulat dari asap rokok dapat menurunkan glutation dan vitamin C
dan dapat menyebabkan jejas oksidatif pada jaringan.Karbonmonoksida
meningkatkan karboksihemoglobin sementara pemecahan produk oksida nitrit dan
nitrogen dioksida dapat meningkatkan kadar methemoglobin. Penghentian merokok
selama paling kurang 24 jam secara toretik memiliki efek yang menguntungkan pada
oksigen carrying capacity dari hemoglobin namun hal ini belum dibuktikan melalui
penelitian klinis.
Fisioterapi dada preoperative(perkusi dada dan drainase postural) dan
antibiotic untuk pasien dengan perubahan sputum sangat menguntungkan ntuk
mengurangi sekresi. Bronkospasme harus diterapi dengan bronkodilator. Pasien
dengan PPOK sedang-berat sangat baik diterapi dengan glukokortikoid. Pasien
dengan malnutrisi harus mendapatkan suplementasi nutrisi sebelum pembedahan
mayor. Hipertensi pulmonal harus diobati dengan menoptimalisasi oksigenasi.
Digitalisasi preoperative sangat berguna pada pasien cor pulmonal terutama jika
didapatkan gagal jantung kanan.

B. Penatalaksanaan Intraoperatif
Walaupun anestesi regional sering dipertimbangkan dibandingkan anestesi
umum, spinal tinggi atau anstesi epidural dapat menurunkan volume paru, membatasi
kerja otot-otot pernafasan tambahan dan menghasilkan batuk yang tidak efektif
menyebabkan dispnea dan retensi secret. Hilangnya propriosepsi dada dan posisi
yang tidak biasa seperti litotomi atau lateral dekubitus dapat memperberat dispnea
pada pasien yang terjaga.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 13 dari 26


Preoksigenasi sebelum induksi anestesi umum mencegah desaturasi oksigen
yang cepat yang sering tampak pada pasien ini. Pemilihan obat anestetik dan
penatalaksaan intraoperatif umum sama dengan pasien asma. Namun sayangnya
penggunaan zat anestetik yang bersifat bronkodilator hanya dapat memperbaiki
komponen reversible dari bronkospasme akibat obstruksi aliran udara. Obstruksi
ekspirasi yang signifikan sering terjadi bahkan pada anestesi yang dalam
sekalipun.Peningkatan depresi respirasi dari anestesi sering tampak pada penyakit
yang tergolong sedang dan berat. Seperti pada pasien asma, ventilasi harus dikontrol
denan volume tidal yang kecil sampai sedang dengan laju yang lambat untuk
mencegah air-trapping. Gas yang dilembabkan harus digunakan pada bronkospasme
yang signifikan dan untuk prosedur pembedahan yang lama (> 2 jam). Nitrous oksida
harus dihindari pada pasien dengan bula dan hipertensi pulmonal. Pneumotoraks
karena ekspansi dan elevasi tekanan arteri pulmonal terjadi karena gas ini.
Penghambatan vasokonstriksi pulmonal hipoksik oleh anestesi inhalasi secara klinis
biasanya tidak signifikan pada dosis biasa.
Pengukuran gas darah arterial sangat diperlukan pada pembedahan perifer
yang lama, intra abdominal ekstensif dan pembedahan toraks . Walaupun pulse
oksimetri dapat mendeteksi desaturasi arterial signifikan secara akurat, pengukuran
langsung terhadap ekanan oksigen arterial dapat mendeteksi perubahan khusus
pada shunting intrapulmonal. Dengan demikian Pengukuran CO2 arterial harus
dilakukan untuk memandu ventilasi karena dead space yang meningkat ,
memperlebar gradien arterial –end tidal CO2 normal. Ventilasi harus selalu
disesuaikan untuk mempertahankan pH arterial normal. Normalisasi PaCO2 pada
pasien dengan retensi CO2 preoperatif menimbulkan alkalosis. Monitoring
hemodinmik harus dipandu dengan disfungsi kardiak yang mendasari sesuai dengan
pemanjangan dan perluasan operasi. Pada pasien hipertensi pulmonal pengukuran
tekanan vena sentral mencerminkan fungsi ventrikel kanan dibandingkan volume
intravaskular.
Pada akhir pembedahan, saat ekstubasi harus seimbang dengan risiko
timbulnya bronkospasme dengan insufisiensi pulmonal. Namun bukti menganjurkan
ekstubasi awal (di kamar operasi) sangat menguntungkan. Ekstubasi terjaga
memungkinkan penilaian yang akurat dari fungsi paru pasca operasi kecuali risiko
bronkospasme. Ekstubasi dalam mengurangi risiko refleks bronkospasme namun
harus diyakinkan bahwa pasien mampu untuk mempertahankan ventilasi yang
adekuat. Pasien dengan FEV1 dibawah 50% membutuhkan ventilas pasca operasi,
terutama setelah prosedur pembedahan abdominal bagian atas dan toraks. Kriteria
umum untuk ekstubasi didiskusikan pada bab 5 dan 50).

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 14 dari 26


PENYAKIT PARU RESTRIKTIF

Penyakit paru restriktif ditandai dengan penurunan komplians paru . Volume


paru berkurang dengan cadangan laju aliran ekspirasi yang normal.Baik FEV1 dan
FVC berkurang tetapi rasio FEV1/FVC normal.
Penyakit paru restriktif termasuk berbagai kelainan pulmonal instrinsik kronis
dan ekstrinsik (ekstrapulmonal) yang melibatkan pleura, dinding dada, diafragma dan
fungsi neuromuskular. Penurunan komplians paru meningkatkan work of breathing,
ditandai dengan pernafasan yang cepat dan dangkal. Pertukaran gas respirasi
biasanya dipertahankan sampai proses penyakit berkembang lebih jauh.

KELAINAN PULMONAL INTRINSIK AKUT


Kelainan ini termasuk edema pulmonal, (termasuk ARDS), pneumonia infeksius dan
pneumonitis aspirasi.

Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
Penurunan komplians paru pada kelainan ini secara primer akibat peningkatan cairan
paru ekstravaskular, peningkatan tekanan kapiler pulmonal atau peningkatan
permeabilitas kapiler (lihat bab 50). Peningkatan tekanan terjadi disertai gagal
jantung kiri sementara permeabilitas yang meningkat tampak pada pasien ARDS.
Permeabilitas yang meningkat terlokalisir atau tergeneralisasi dapat terjadi setelah
aspirasi atau pneumonitis infeksius.

Pertimbangan Anestetik
A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF
Pasien dengan penyakit pulmonal akut harus menjalani operasi elektif. Dalam
persiapan untuk operasi emergensi oksigenasi dan ventilasi harus dioptimalkan saat
preoperatif jika memungkinkan. Kelebihan cairan harus diatasi dengan diuretik. Gagal
jantung juga memerlukan vasodilator dan inotropik. Drainase efusi pleura yang besar
harus dipertimbangkan. Selain itu distensi abdominal masif darus dikurangi dengan
dekompresi nasogastrik atau drainase asites. Hipoksemia persisten membutuhkan
PEEP. Gangguan sistemik yang berhubungan seperti hipotensi atau infeksi haru
diterapi secara agresif.

B. PENATALAKSANAAN INTRAOPERATIF
Pemilihan obat anestesi harus disesuaikan pada setiap pasien. Pasien yang
akan menjalani pembedahan dengan penyakit paru akut seperti ARDS, edema
pulmonal-kardiogenik atau pneumonia merupakan pasien critically

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 15 dari 26


ill.Penatalaksanaan anestesi yang diberikan haruslah kelanjutan dari perawatan
intensif preoperatif sebelumnya. Anestesi yang diberikan berupa kombinasi obat
intravena dan inhalasi bersamaan dengan penghambat neuromuskular. Konsentrasi
oksigen inspirasi yang tinggi dan PEEP sangat diperlukan. Penurunan komplians
paru tercermin dari tekanan inspirasi puncak yang tinggi selama ventilasi tekanan
positif dan peningkatan risiko barotrauma dan volum trauma. Volume tidal pada
pasien ini harus dikurangi sampai 4-8 mL/kg dengan peningkatan frekuensi
pernafasan sebagai kompensasi (14-18 x/menit).Bahkan jika terjadi peningkatan
end-tidal CO2. Tekanan jalan nafas secara umum tidak melebihi 30 cm H2O.
Ventilator padda mesin anestesi terbukti tidak adekuat pada pasien ARDS berat
karena kemampuan aliran gas yang terbatas, keterbatasan setting pada tekanan
rendah, dan tidak tersedianya mode ventilator tertentu.Ventilator ruang perawatan
intensif yang lebih canggih harus digunakan pada keadaan-keadaan demikian.
Monitoring hemodinamik yang agresif sangat disarankan.

KELAINAN PULMONAL INTRINSIK KRONIS

Kelompok kelainan ini sering disebut penyakit interstisial paru. Tanpa


memperhitungkan etiologi, proses penyakit it ini secara umum ditandai dengan onset
yang insidious, inflamasi dinding alveolar dan jaringan perialveolar kronik dan fibrosis
paru progresif. Fibrosis ini dapat diintervensi dengan pertukaran gas dan fungsi
ventilasi. Proses inflamasi merupakan proses yang bersumber dari paru atau
merupakan bagian dari suatu proses multiorgan. Penyebabnya antara lain
pneumonitis hipersensitif karena polutan akibat pekerjaan dan lingkungan, toksisitas
obat (bleomisin dan nitrofurantoin), pneumonitis radiasi, fibrosis paru idiopatik,
penyakit autoimun dan sarkoidosis. Aspirasi paru kronik, toksisitas oksigen dan
ARDS berat juga dapat menyebebkan fibrosis kronik.

Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
Pasien secara tipikal ditandai dengan dispnea pada saat beraktivitas dan
kadang disertai batuk non produktif. Gejala dari kor pulonal terjadi pada penyakit
yang telah lanjut. Pemeriksaan fisik menujukkan ronki (kering)yang jelas pada basal
paru dan pada tahap lanjut ditemukan tanda-tanda gagal jantung kanan. Gambaran
foto toraks berkembang mulai dari ground-glass appearance sampai gambaran
retikulonodular yang disebut honey-comb appearance. Gas darah arterial
menunjukkan hipoksemia ringan dengan normokarbia. Tes fungsi paru menunjukkan
tipe defek ventilasi restriktif dan kapasita difusi karbonmonoksida yang berkurang 30-
50%.
Terapi ditujukan untuk menghilangkan proses penyakit dan mencegah
pemaparan yang lebih jauh dari agen penyebab (jika diketahui). Terapi glukokortikoid
dan imunosupresif dapat diberikan pada fibrosis paru idiopatik, kelainan autoimun

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 16 dari 26


dan sarkoidosis. Jika pasien mengalami hipoksemia kronik, terapi oksigen dapat
dimulai untuk mencegah atau menghilangkan gagal ventrikel kanan

Pertimbangan-pertimbangan Anestetik
A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF
Evaluasi preoperatif harus difokuskan pada penentuan derajat gangguan paru
sebagaimana proses penyakit yang mendasarinya. Tujuannya agar dapat
menentukan keterlibatan potensial dari organ lainnya. Riwayat dispnea saat
beraktivitas (atau saat tidur) harus divaluasi dengan tes fungsi paru daan analisis gas
darah arterial. Kapasitas vital kurang dari 15 mL/kg adalah indikasi adanya disfungsi
berat (normal > 70 mL/kg) . Pemeriksaan foto toraks sangat membantu penilaian
tingkat keparahan penyakit.

B. PENATALAKSAAN INTRAOPERATIF
Penatalaksanaan pasien ini cukup kompleks, dengan adanya predisposisi untuk
timbulnya hipoksemia dan perlunya untuk mengontrol ventilasi dalam menjamin
pertukaran gas yang optimum, pemilihan obat anestetik secara umum tidak begitu
penting. Pengurangan FRC (dan penyimpanan oksigen) merupakan predisposisi
terjadinya hipoksemia yang cepat setelah induksi anestesi (lihat bab 22) . Ambilan
dari anestetik inhalasi dapat juga dipercepat. Karena pasien-pasien biasanya lebih
rentan terhadap toksisitas yang diinduksi oksigen, khususnya pada pasien yang
mendapat terapi dengan bleomisin. Konsentrasi fraksional terinspirasi dari oksigen
harus dipertahankan pada konsentrasi minimum yang kompatibel dengan oksigen
yang dapat diterima (SpO2 > 88-92%) Puncak tekanan inspirasi yang tinggi selama
ventilasi mekanik meningkatkan risiko pneumotoraks dan harus diberikan volume
tidal yang lebih kecil dengan frekuensi yang lebih sering.

KELAINAN-KELAINAN PULMONAL EKSTRINSIK RESTRIKTIF

Gangguan ini mengubah pertukaran gas dengan cara mengganggu ekspansi


paru yang normal. Gangguan ini antara lain efusi pleura, pneumotoraks, massa
mediastinal, kifoskoliosis, pektus ekskavatum gangguan neuromuskular dan
peningkatan tekanan intraabdominal karena asites, kehamilan atau perdarahan.
Obesitas yang nyata juga menyebabkan defek ventilasi restriktif. Pertimbangan
anestetik sama dengan gangguan restriktif instrinsik.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 17 dari 26


EMBOLI PULMONAL

Pertimbangan Preoperatif
Emboli pulmonal (paru) terjadi akibat masuknya bekuan darah, lemak, sel
tumor, udara, cairan amnion atau benda asing ke dalam sistem vena. Bekuan dari
ekstremitas bawah (biasanya di atas lutut), vena pelvis atau kadang lebih jarang dari
jantung kanan sebagai penyebabnya. Stasis vena atau hiperkoagulabilitas sering
menjadi faktor penyebab pada beberapa kasus. Emboli paru dapat terjadi
intraoperatif, pada individu normal yang menjalani pembedahan. Emboli lemak
didiskusikan pada bab 40, emboli udara dibicarakan pada bab 26.

A. PATOFISIOLOGI
Oklusi emboli pada sirkulasi pulmonal meningkatkan dead space dan jika
minute ventilation tidak berubah peningkatan dead space ini secara teoretik juga
dapat meningkatkan PaCO2. Namun pada praktiknya hipoksemia sering terjadi.
Emboli paru akut meningkatkan resistensi vaskular paru dengan mengurangi area
cross-sectional dari pembuluh darah paru menyebabkan refleks dan vasokonstriksi
humoral. Refleks bronkokonstriksi yang terlokalisir dan umum meninkatkan area
dengan V/Q rasio yang rendah .Efeknya adalah peningkatan shunt pulmonal dan
hipoksemia. Daerah yang terkena, kehilangan surfaktan dalam beberapa jam dan
mengalami atelektasis dalam 24-48 jam. Infark pulmonal terjadi jika emboli
melibatkan pembuluh darah besar dan aliran darah kolateral dari sirkulasi bronkial
yang insufisiensi pada bagian paru tersebut (insidensi < 10%) Pada orang sehat,
oklusi lebih dari 50% dari sirkulasi pulmonal (Emboli paru masif) biasanya terjadi
sebelum gejala hipertensi pulmonal yang berlanjut muncul. Pasien dengan penyakit
kardiopulmonal yang telah ada sebelumnya dapat mengalami hipertensi pulmonal
akut dengan oklusi yang tidak begitu besar. Peningkatan afterload ventrikel kanan
yang terus-menerus dapat mencetuskan gagal jantung kanan. Jika pasien dapat
bertahan pada tromboemboli pulmonal akut thrombus biasanya akan membaik dalam
1-2 minggu.

B. DIAGNOSIS
Manifestasi klinis dari emboli paru antara lain takipnea yang terjadi tiba-tiba,
dispnea, nyeri dada atau hemoptisis. Gejala yang terakhir menunjukkan adanya
infark. Gejala seringkali tidak tampak atau ringan dan nonspesifik kecuali emboli
masif telah terjadi. Mengi dapat ditemukan pada auskultasi. Analisis gas darah
arterial secara tipikal menunjukkan hipoksemia ringan dengan alkalosis respiratorik
karena peningkatan respirasi. Foto toraks umumnya normal namun dapat juga
menggambarkan oligemia (radiolusen) densitas wedge-shape dengan infark ,
atelektasis dengan diafragma yang terangkat atau pelebaran arteri pulmonal
proksimal dengan hipertensi pulmonal akut. Tanda-tanda kardiak antara lain takikardi
dengan splitting yang melebar dari bunyi jantung kedua, hipotensi dengan

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 18 dari 26


peningkatan tekanan vena sentral biasanya indikasi adanya gagal jantung kanan.
EKG biasanya menunjukkan gambaran takikardi dan dapat menunjukkan tanda-tanda
kor pulmonal akut seperti right axis deviation, RBBB dan gelombang T yang tinggi.
Pletismografi impedans sangat membantu daalam menunjukkan trombosis vena
dalam di atas lutut. Diagnosis emboli lebih sulit diketahui saat operasi. Angiografi
pulmonal adalah pemeriksaan yang paling akurat pada emboli pulmonal, namun
pemeriksaan perfusi pulmonal noninvasif dan pencitraan (scan) ventilasi
menggunakan emisi gamma radionukleotida dapat membantu dan telah banyak
digunakan. Hasil pencitraan dari perfusi yang normal biasanya menyingkirkan
kemungkinan emboli yang signifikan. Hasil pencitraan yang menggambarkan perfusi
abnormal dapat menegakkan diagnosis bila defek perfusi tampak pada daerah
dengan ventilasi yang normal. Pencitraan CT Helikal (Helical CT scanning) saat ini
banyak digunakan di berbagai senter pelayanan medik untuk mendiagnosisi emboli pulmonal

Tabel 23-4. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Trombosis


Vena Dalam dan Emboli Pulmonal
1. Tirah baring yang lama
2. Masa postpartum
3. Fraktur ekstremitas bawah
4. Pembedahan di ekstremitas bawah
5. Karsinoma
6. Gagal jantung
7. Obesitas
8. Pembedahan lebih dari 30 menit
9. Hiperkoagulabilitas
a. Defisiensi antitrombin III
b. Defisiensi protein C
c. Defisiensi protein S
d. Defisiensi aktivator plasmonogen

C. TERAPI
Terapi yang terbaik untuk emboli pulmonal adalah pencegahan terhadap
timbulnya hal tersebut. Terapi dengan heparin (Heparin tidak terfraksinasi 5000 U sub
kutan setiap 12 jam dimulai preoperative atau segera pasca operasi pada pasien
dengan risiko tinggi), antikoagulasi oral (warfarin), aspirin atau dekstran bersamaan
dengan ambulasi dini dapat menurunkan insidensi emboli pasca operasi.
Penggunaan stoking elastic dan kompresi pneumatic pada tungkai juga dapat
menurunkan insidensi trombosis vena pada tungkai namun tidak demikian pada
pelvis dan jantung.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 19 dari 26


Antikoagulan sistemik mencegah pembentukan bekuan darah yang baru atau
perluasan dari bekuan darah yang telah ada sebelumnya. Terapi heparin dimulai
dengan tujuan untuk mencapai suatu nilai aPTT (activated partial thromboplastin
time) 1,5-2,4 kali nilai normal. Heparin berat jenis rendah (LMWH) merupakan
antikoagulan yang efektif, diberikan secara sub kutan dengan dosis yang telah
ditetapkan ( berdasarkan berat badan) tanpa monitoring secara laboratorik. LMWH
lebih mahal dibandingkan heparin tidak terfraksionasi namun secara pembiayaan
lebih efektif. Pada pasien-pasien risiko tinggi, LMWH dimulai 12 jam sebelum
pembedahan, 12-24 jam setelah pembedahan atau 50% dosis biasa diberikan 4-6
jam setelah pembedahan. Semua pasienharus memulai terapi warfarin bersamaan
dengan saat memulai terapi heparin dan keduanya harus diberikan selama 4-5 hari.
Nilai INR PT (International Normalized Ratio) harus berada dalam rentang terapeutik
pada dua pengukuran berturut-turut dengan jarak waktu sedikitnya 24 jam sebelum
terapi heparin dihentikan. Warfarin harus diteruskan selama 3-12 bulan. Terapi
trombolitik dengan tissue plasminogen activator atau streptokinase diindikasikan
pada pasien dengan emboli pulmonal massif atau kolaps sirkulasi. Pembedahan
terakhir dan perdarahan aktif merupakan kontraindikasi terapi anti koagulasi dan
trombolitik. Pada kasus ini filter umbrella vena cava inferior ditempatkan
untukmencegah emboli pulmonal.Embolektomi pulmonal diindikasikan untuk pasien
emboli massif dimana terapi trombolitik merupakan kontraindikasi.

Pertimbangan-pertimbangan Anesetik
A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF
Pasien dengan emboli pulmonal akut dapat menjalani pembedahan untuk
pemasangan filter kaval atau kadang-kadang embolektomi pulmonal. Pada beberapa
kasus pasien memiliki riwayat emboli pulmonal dan dating ke kamar operasi untuk
menjalani pembedahan yang tidak ada hubungannya dengan penyakit sebelumnya.
Pada kelompok pasien ini risiko terapi antikoagulan perioperatif tidak diketahui. Jika
episode akut di atas usia satu tahun, risiko penghentian sementara terapi
antikoagulan mungkin kecil. Selain itu, fungsi pulmonal biasanya kembali normal
kecuali pada kasus emboli pulmonal kronik rekuren. Perhatian utama pada tahap
perioperatif adalah mencegah terjadinya episode baru emboli.

B. PENATALAKSANAAN INTRAOPERATIF
Filter vena kava biasanya dimasukkan secara per kutan dalam lokal anestesi
dengan sedasi. Pasien dapat menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap efek
sirkulasi dari obat-obat anestesi.
Walaupun tidak ada rekomendasi yang pasti mengenai pilihan anestesi pada
pasien dengan riwayat emboli pulmonal, beberapa penelitian menganjurkan regional
anestesi pada beberapa jenis operasi (contoh operasi pnggul) dimana jenis anestesi
ini dapat menurunkan insidensi trombosis vena dalam dan emboli pulmonal pasca
operasi. Penggunaan anestesi regional dikontraindikasikan pada pasien dengan
antikoagulasi residual atau pemanjangan waktu perdarahan. Bila anestesi umum

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 20 dari 26


yang dipilih, penggunaan obat-obat anestesi dengan masa kerja pendek
memungkinkan ambulasi dini pasca operasi.
Pasien yang menjalani embolektomi pulmonal merupakan pasien critically ill.
Pasien ini biasanya telah terintubasi namun tidak dapat mentoleransi ventilasi
tekanan positif. Support inotropik sangat dibutuhkan sampai bekuan darah diangkat.
Pasien –pasien tersebut juga tidak dapat mentoleransi obat-obat anestesi. OPiat,
etomidat atau ketamin dosis kecil dapat digunakan, namun ketamin secara teoretik
dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonal.Pintas kardiopulmonal dibutuhkan pada
kasus ini.

C. EMBOLI PULMONAL INTRAOPERATIF


Emboli pulmonal yang signifikan jarang terjadi selama anestesi. Diagnosis
membutuhkan kewaspadaan yang tinggi. Emboli udara umum terjadi namun sering
dikhawatirkan, kecuali sejumlah besar udara masuk. Emboli lemak dapat terjadi
selama operasi ortopedi. Emboli cairan amnion jarang terjadi, tidak dapat diprediksi
dan sering bersifat fatal, dan merupaan komplikasi dari persalinan obstetric (lihat bab
43). Tromboemboli dapat terjadi intraoperatif pada operasi yang lama. Bekuan atau
sumbatan dapat terjadi sebelum pembedahan atau terbentuk selama intraoperasi.
Manipulasi bedah atau perubahan posisi pasien dapat melepaskan thrombus vena.
Manipulasi tumor dengan ekstensi intravascular juga dapat mengakibatkan emboli
pulmonal.
Emboli pulmonal intraoperatif biasanya muncul sebagai suatu hipotensi
mendadak yang tidak dapat diketahui sebabnya, hipoksemia atau bronkospasme.
Penurunan konsentrasi end-tidal CO 2 merupakan tanda-tanda emboli pulmonal
namun tidak spesifik. Monitoring invasive dapat menunjukkan adanya peningkatan
tekanan vena sentral dan arteri pulmonal. Transesofagial ekokardiogram dapat
membantu menegakkan diagnosis tergantung pada tipe dan lokasi emboli. Jika udara
teridentifikasi pada atrium kanan atau jika hal tersebut kita curigai, kanulasi vena
sentral dan aspirasi udara secara emergensi merupakan tindakan penyelamatan jiwa.
Semua jenis emboli lainnya pnatalaksanaannya adalah tindakan suportif dengan
cairan intravena dan obat inotropik. Pemasangan filter vena cafa harus
dipertimbangkan pasca-operasi.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 21 dari 26


CASE DISCUSSION: LAPAROSCOPIC SURGERY

A 45-year-old woman is scheduled for a laparoscopic cholecystectomy. Known


medical problems include obesity and a history of smoking.

What Are the Advantages of Laparoscopic Cholecystectomy Compared with


Open Cholecystectomy?
Laparoscopic techniques have rapidly increased in popularity because of the
multiple benefits associated with much smaller incisions than with traditional open
techniques. These benefits include decreased postoperative pain, less postoperative
pulmonary impairment, a reduction in postoperative ileus, shorter hospital stays, earlier
ambulation, and smaller surgical scars. Thus, laparoscopic surgery can provide
substantial medical and economic advantages.

How Does Laparoscopic Surgery Affect Intraoperative Pulmonary Function?


The hallmark of laparoscopy is the creation of a pneumoperitoneum with
pressurized CO2. The resulting increase in intraabdominal pressure displaces the
diaphragm cephalad, causing a decrease in lung compliance and an increase in peak
inspiratory pressure. Atelectasis, diminished FRC, ventilation/perfusion mismatch,
and pulmonary shunting contribute to a decrease in arterial oxygenation. These
changes should be exaggerated in this obese patient with a long history of tobacco use.
The high solubility of CO2 increases systemic absorption by the vasculature of
the peritoneum. This, combined with smaller tidal volumes because of poor lung
compliance, leads to increased arterial CO2 levels and decreased pH.

Why Does Patient Position Affect Oxygenation?


A head-down (Trendelenburg) position is commonly requested during insertion
of the Veress needle and cannula. This position causes a cephalad shift in abdominal
viscera and the diaphragm. FRC, total lung volume, and pulmonary compliance will be
decreased. Although these changes are usually well tolerated by healthy patients, this
patient's obesity and presumed preexisting lung disease increase the likelihood for
hypoxemia. A head-down position also tends to shift the trachea upward, so that a
tracheal tube anchored at the mouth may migrate into the right mainstem bronchus.
This tracheobronchial shift may be exacerbated during insufflation of the abdomen.
After insufflation, the patient's position is usually changed to a steep head-up
position (reverse Trendelenburg) to facilitate surgical dissection. The respiratory
effects of the head-up position are the opposite of the head-down position: FRC
increases and the work of breathing decreases.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 22 dari 26


Does Laparoscopic Surgery Affect Cardiac Function?
Moderate insufflation pressures usually leave heart rate, central venous pressure,
and cardiac output unchanged or slightly elevated. This appears to result from
increased effective cardiac filling because blood tends to be forced out of the abdomen
and into the chest. Higher insufflation pressures (> 25 cm H 2O or 18 mm Hg),
however, tend to collapse the major abdominal veins (particularly the inferior
vena cava), which decreases venous return and leads to a drop in preload and
cardiac output in some patients.
Hypercarbia, if allowed to develop, will stimulate the sympathetic nervous
system and thus increase blood pressure, heart rate, and the risk of arrhythmias.
Attempting to compensate by increasing the tidal volume or respiratory rate will
increase the mean intrathoracic pressure, further hindering venous return and
increasing mean pulmonary artery pressures. These effects can prove particularly
challenging in patients with restrictive lung disease, impaired cardiac function, or
intravascular volume depletion.
Although the Trendelenburg position increases preload, mean arterial pressure
and cardiac output usually either remain unchanged or decrease. These seemingly
paradoxical responses may be explained by carotid and aortic baroreceptor-mediated
reflexes. The reverse Trendelenburg position decreases preload, cardiac output, and
mean arterial pressure.

Describe the Advantages and Disadvantages of Alternative Anesthetic Techniques


for This Patient.
Anesthetic approaches to laparoscopic surgery include infiltration of local
anesthetic with an intravenous sedative, epidural or spinal anesthesia, or general
anesthesia. Experience with local anesthesia has been largely limited to brief
gynecologic procedures (laparoscopic tubal sterilization, intrafallopian transfers) in
young, healthy, and motivated patients. Although postoperative recovery is rapid,
patient discomfort and suboptimal visualization of intraabdominal organs preclude the
use of this local anesthesia technique for laparoscopic cholecystectomy.
Epidural or spinal anesthesia represents another alternative for laparoscopic
surgery. A high level is required for complete muscle relaxation and to prevent
diaphragmatic irritation caused by gas insufflation and surgical manipulations,
however. An obese patient with lung disease may not be able to increase spontaneous
ventilation to maintain normocarbia in the face of a high (T2 level) regional block
during insufflation and a 20˚ Trendelenburg position. Another disadvantage of a
regional technique is the occasional occurrence of referred shoulder pain from
diaphragmatic irritation. General anesthesia would therefore be the preferred technique
for this patient.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 23 dari 26


Does a General Anesthetic Technique Require Tracheal Intubation?
Tracheal intubation with positive-pressure ventilation is usually favored for
many reasons: the risk of regurgitation from increased intraabdominal pressure during
insufflation; the necessity for controlled ventilation to prevent hypercapnia; the
relatively high peak inspiratory pressures required because of the pneumoperitoneum;
the need for neuromuscular blockade during surgery to allow lower insufflation
pressures, provide better visualization, and prevent unexpected patient movement; and
the placement of a nasogastric tube and gastric decompression to minimize the risk of
visceral perforation during trocar introduction and optimize visualization. The obese
patient presented here would benefit from intubation to decrease the likelihood of
hypoxemia, hypercarbia, and aspiration.

What Special Monitoring Should Be Considered for This Patient?


Monitoring end-tidal CO2 normally provides an adequate guide for determining
the minute ventilation required to maintain normocarbia. This assumes a constant
gradient between arterial CO2 and end-tidal CO2, which is generally valid in healthy
patients undergoing laparoscopy. This assumption would not apply if alveolar dead
space changes during surgery. For example, any significant reduction in lung perfusion
increases alveolar dead space, dilutes expired CO 2, and thereby decreases end-tidal
CO2 measurements. This may occur during laparoscopy if cardiac output drops because
of high inflation pressures, the reverse Trendelenburg position, or gas embolism.
Furthermore, abdominal distention lowers pulmonary compliance. Large tidal volumes
are usually avoided because they are associated with high peak inspiratory pressures
and can cause considerable movement of the surgical field. The resulting choice of
lower tidal volumes and higher respiratory rates may lead to poor alveolar gas
sampling and erroneous end-tidal CO2 measurements. In fact, end-tidal CO 2 values
have been found to be particularly unreliable in patients with significant cardiac or
pulmonary disease undergoing laparoscopy. Thus, placement of an arterial catheter
should be considered in patients with cardiopulmonary disease.

What Are Some Possible Complications of Laparoscopic Surgery?


Surgical complications include hemorrhage if a major abdominal vessel is
lacerated or peritonitis if a viscus is perforated during trocar introduction. Significant
intraoperative hemorrhage may go unrecognized because of the limitations of
laparoscopic visualization. Fulguration has been associated with bowel burns and
bowel gas explosions. The use of pressurized gas introduces the possibility of
extravasation of CO2 along tissue planes, resulting in subcutaneous emphysema,
pneumomediastinum, or pneumothorax. Nitrous oxide should be discontinued and
insufflating pressures decreased as much as possible. Patients with this complication

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 24 dari 26


may benefit from the continuation of mechanical ventilation into the immediate
postoperative period.
Venous CO2 embolism resulting from unintentional insufflation of gas into an
open vein may lead to hypoxemia, pulmonary hypertension, pulmonary edema, and
cardiovascular collapse. Unlike air embolism, end-tidal CO2 may transiently increase
during CO2 gas embolism. Treatment includes immediate release of the
pneumoperitoneum, discontinuation of nitrous oxide, insertion of a central venous
catheter for gas aspiration, and placement of the patient in a head-down left lateral
decubitus position.
Vagal stimulation during trocar insertion, peritoneal insufflation, or
manipulation of viscera can result in bradycardia and even sinus arrest. Although this
usually resolves spontaneously, elimination of the stimulus (eg, deflation of the
peritoneum) and administration of a vagolytic drug (eg, atropine sulfate) should be
considered. Intraoperative hypotension may be more common during laparoscopic
cholecystectomy than during cholecystectomy by laparotomy. Preoperative fluid
loading has been recommended to avoid this complication.
Even though laparoscopic procedures are associated with less muscle trauma
and incisional pain than is open surgery, pulmonary dysfunction can persist for at least
24 h postoperatively. For example, forced expiratory volume, forced vital capacity, and
forced expiratory flow are reduced by approximately 25% following laparoscopic
cholecystectomy as opposed to a 50% reduction following open cholecystectomy. The
cause of this dysfunction may be related to diaphragmatic tension during the
pneumoperitoneum.
Nausea and vomiting are common following laparoscopic procedures, despite
routine emptying of the stomach with a nasogastric tube. Pharmacological prophylaxis
is recommended.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 25 dari 26


BACAAN YANG DIANJURKAN

1. Benumof J: Anesthesia and Uncommon Diseases, 4th ed. W.B. Saunders, 1998.
2. Evers AS, Maze M: Anesthetic Pharmacology.Physiologic Principles and Clinical
Practice. Churchill Livingstone, 2004. Chapters 20 and 40 are excellent chapters
that provide good reviews of pulmonary function and bronchodilator therapy.

3. Hurford WE: The bronchospastic patient. Int Anesthesiol Clin 2000;38:77. [PMID:
10723670]

4. Lumb A, Nunn JF: Nunn's Applied Respiratory Physiology, 5th ed. Butterworth-
Heinemann, 2000.

5. Reilly JJ Jr: Evidence-based preoperative evaluation candidates for thoracotomy.


Chest 1999;116:474.

Punya : Dr.Dwi Satriyanto (Anestesi Padjadjaran) Hal : 26 dari 26

Anda mungkin juga menyukai