23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok
23 Anestesi Pada Pasien-Pasien Dengan Penyakit Saluran Nafas Ok
Konsep-Konsep Kunci
Pada pasien yang mengalami serangan asma akut, PaCO2 yang normal atau
tinggi menunjukkan bahwa pasien tidak dapat mempertahankan work of breathing
dan hal ini biasanya merupakan suatu tanda adanya ancaman gagal nafas. Pulsus
paradoksus dan elektrokardiogram yang menggambarkan ventrikel kanan
( perubahan segmen S-T, right-axis deviation dan Right bundle Branch Block) juga
merupakan indikasi dari beberapa obstruksi jalan napas .
Jika mengi tidak membaik setelah anastesi didalamkan, penyebab lain harus
dipertimbangkan sebelum memberikan terapi lainnya. Obstruksi tube endotrakeal
karena kinking, sekesi ataupun balon ETT yang terlalu dikembangkan, intubasi
endobronkial, usaha ekspirasi aktif (straining) karena anestesi yang dangkal, edema
atau emboli pulmonal dan pneumotoraks dapat mencetuskan bronkospame .
Pada pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik, hipoksemia kronik dapat
menyebabkan eritrositosis, hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan (kor
pulmonal).
pada penyakit paru restriktif yang ditandai dengan penurunan komplain paru.
olume paru berkurang dengan cadangan laju ekpirasi yang normal. Volume ekspirasi
paksa 1 detik (FEV1) dan kapasitas vital paksa (FVC) menurun, namun perbandingan
FEV1/FVC normal.
PENGANTAR
Dampak dari penyakit paru yang telah ada sebelumnya selama periode anestesi
dan pasca operasi dapat diperkirakan. Gangguan pulmonal preoperatif berat
berhubungan dengan perubahan fungsi respirasi intraoperatif yang nyata dan
komplikasi pulmonal pasca operasi yang tinggi. Kegagalan untuk mengenali pasien-
pasien dengan risiko tinggi adalah penyebab utama dari timbulnya komplikasi
tersebut. Bab ini membahas tentang risiko pulmonal secara umum kemudian
meninjau pendekatan anestetik pada pasen-pasien dengan penyakit-penyakit paru
yang umum.
Penyakit paru obstruktif adalah bentuk yang umum dari disfungsi pulmonal.
Penyakit ini antara lain asma, emfisema, bronkitis kronis, fibrosis kistik bronkiektasis
dan bronkiolitis. Pokok permasalahan dari penyakit-penyakit di atas adalah resistensi
aliran udara. Secara karakteristik, FEV1 maupun rasio FEV1/FVC kurang dari 70%
dari nilai prediksi. Nilai MMEF < 70% (Aliran ekspirasi paksa [FEF 25-75%]; lihat bab 22)
merupakan satu-satunya abnormalitas yang ditemukan secara dini pada kelainan ini.
Nilai normal untuk[FEF25-75%] pada laki-laki dewasa >2.0 dan wanita dewasa > 1.6
L/detik.
Peningkatan resistensi jalan nafas dan udara yang terperangkap meningkatkan
work of breathing; pertukaran gas respirasi terganggu karena gangguan
keseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q) Adanya resistensi aliran udara ekspirasi
menyebabkan udara terperangkap (air-trapping) sementara volume residual dan
kapasitas total paru (TLC) meningkat. Mengi merupakan gejala yang umum
ditemukan dan menggambarkan turbulensi aliran udara. Namun gejala ini sering tidak
tampak pada obstruksi ringan dan hanya berupa ekshalasi yang memanjang.
Obstruksi progresif pada awalnya hanya berupa mengi dan berkembang menjadi
mengi saat inspirasi dan ekspirasi. Pada obstruksi yang nyata, mengi bisa saja tidak
ada saat aliran udara hampir terhenti.
ASMA
Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
Asma adalah gangguan yang umum ditemukan pada 5-7 % populasi. Pokok
permasalahan dari gannguan ini adalah inflamasi jalan nafas (bronkiolar) dan
hipereaktifitas respons terhadap berbagai stimuli. Secara klinis asma termanifes
sebagai serangan dispnea, batuk dan mengi yang episodik. Obstruksi jalan nafas
yang biasanya reversibel akibat konstriksi otot polos bronchial, edema dan sekresi
yang meningkat. Secara klasik obstruksi dipresipitasi oleh berbagai substansi yang
terdapat di udara (airborne) termasuk serbuk tumbuhan, bulu binatang, debu, polutan
dan berbagai zat kimia. Beberapa pasien juga mengalami bronkospasme setelah
meminum aspirin, obat anti inflamasi non steroid, obat yang mengandung preparat
sulfit atau tartrazin dan zat pewarna lainnya. Olahraga, cetusan emosional dan infeksi
virus dapat mempresipitasi bronkospasme pada banyak pasien
Istilah asma ekstrinsik (alergik) (serangan berhubungan dengan paparan
lingkungan) dan asma instrinsik (idiosinkratik) (serangan biasanya terjadi tanpa
provokasi) digunakan di masa lalu namun klasifikasi tersebut tidak sempurna,
beberapa pasien menunjukkan gambaran dari kedua bentuk asma tersebut. Di
samping itu, tumpang tindih istilah dengan bronkitis kronis juga terjadi. Saat ini asma
diklasifikasikan sebagai asma akut dan kronik. Asma kronik dibagi lagi menjadi asma
ringan, intermitten dan ringan, asma sedang serta asma berat persisten.
B. TERAPI
Obat yang digunakan untuk terapi asma antara lain agonis β-adrenergik,
metilxantin, glukokortikoid, antikolinergik, penghambat leukotrien dan obat stabilisasi
sel mast. Umumnya obat-obat ini dapat digunakan pada terapi akut maupun kronik
kecuali obat yang terakhir. Sodium kromolin dan nedokromil hanya efektif untuk
mencegah bronkospasme pada pasien dengan asma ekstrinsik dan beberapa pasien
dengan asma intrinsik. Walaupun memiliki efek bronkodilatasi, kedua obat tersebut
menghambat degranulasi sel mast.
Adrenergic Activity
Agent
1 2
PERTIMBANGAN ANESTETIK
A. Penatalaksanaan Preoperatif
Titik berat dalam mengevaluasi pasien asma harus ditekankan pada penentuan
saat terakhir serangan dari penyakit ini (tinjauan peak flow diary jika tersedia) dan
apakah pasien dirawat di rumah sakit karena suatu serangan asma akut dan
menjamin bahwa pasien sedang dalam kondisi yang optimal. Perbedaan antara
tindakan anestesi pada pasien asma yang dalam waktu dekat dirawat di rumah sakit
atau dengan mengi yang jelas terdengar dengan pasien asma tanpa riwayat
perawatan di rumah sakit atau temuan pada pemeriksaan fisik diagnostik berpotensi
untuk mencetuskan situasi yang mengancam jiwa sementara pada keadaan yang
kedua tidak demikian.
Riwayat klinis pasien sangat penting diketahui. Tidak adanya dispnea , mengi
atau batuk yang minimal berarti pasien dalam kondisi yang optimal. Perbaikan yang
tuntas dari suatu serangan asma yang terakhir harus dipastikan dengan auskultasi
dada. Pasien dengan bronkospasme yang frekuen atau kronik harus mendapatkan
terapi bronkodilator yang optimal termasuk agonis adrenergik β2, glukokortikoid harus
dipertimbangkan. Tes fungsi paru khusunya pengukuran laju nafas ekspirasi seperti
FEV1, FEV1/FVC, laju aliran ekspirasi puncak (PEFR) harus digunakan untuk
memastikan temuan klinis. Perbandingan dengan hasil pengukuran sebelumnya tidak
begitu berguna. Nilai FEV1 secara normal lebih dari 3L pada laki-laki dan 2 L pada
wanita. FEV1/FVC secara normal harus melebihi 70%. Nilai normal PEFR 200 L/m
(biasanya > 500 L/m pada laki-laki dewasa muda) FEV1, FEV1/FVC atau PEFR
kurang dari 50% merupalkan indikasi asma sedang sampai berat. Pemeriksaan foto
toraks sangat berguna untuk menentukan adanya air-trapping. Adanya hiperinflasi
diketahui dari diafragma yang mendatar , jantung yang terlihat mengecil dan
lapangan paru yang hiperlusen.
Pasien asma dengan bronkospasme aktif yang perlu dilakukan pembedahan
emergensi harus menjalani terapi intensif bila memungkinkan. Oksigen suplemen,
aerosol agonis β2 dan glukokortikoid intravena dapat meningkatkan fungsi paru dalam
beberapa jam. Analisis gas darah arterial mungkin berguna pada kasus yang berat.
B. Penatalaksanaan Intraoperatif
Saat yang paling kritis pada pasien asma yang diberikan tindakan anestesi
adalah selama instrumentasi jalan nafas. Anestesi umum menggunakan mask atau
anestesi regional dapat mengatasi hal ini namun tidak sepenuhnya menghilangkan
kemungkinan timbulnya bronkospasme. Beberapa klinisi mempercayai bahwa spinal
tinggi atau anestesi epidural dapat mencetuskan bronkokonstriksi dengan
menghambat tonus simpatis pada jalan nafas bagian bawah (T1-T4) dan
memungkinkan aktivitas parasimpatis yang tak terhambat. Nyeri, stres emosional
atau stimulasi pada anestesi umum yang dangkal dapat mencetuskan
bronkospasme. Obat-obat sering berhubungan dengan pelepasan histamin (contoh
kurare, atrakurium, mivakurium, morfin, meperidin) harus dihindari atau diberikan
secara perlahan . Tujuan dari anestesi umum adalah induksi yang lancar dan
emergence (bangun dengan mudah) dengan kedalaman anestesi yang disesuaikan
dengan stimulasi.
Jenis obat induksi yang dipilih tidak terlalu penting, namun pencapaian
anestesi yang dalam sebelum intubasi dan stimulasi pembedahan. Tiopental
paling sering digunakan pada dewasa namun kadang-kadang dapat menyebabkan
bronkospasme karena peningkatan pelepasan histamin. Propofol dan etomidat
adalah alternatif yang sesuai dan disukai oleh banyak klinisi. Ketamin adalah satu-
satunya obat intravena dengan sifat bronkodilatasi adalah pilihan yang tepat
untuk pasien-pasien asma yang secara hemodinamik tidak stabil. Ketamin tidak
boleh digunakan pada pasien yang mendapat teofilin dosis tinggi dimana kombinasi
kedua obat tersebut dapat mencetuskan kejang. Halotan biasanya menghasilkan
Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
PPOK adalah penyakit pulmonal yang umum ditemukan dalam praktik
anestesi. Prevalensinya meningkat dengan pertambahan usia, hal ini berhubungan
erat dengan kebiasaan merokok dan umumnya terjadi pada laki-laki (mempengaruhi
hampir 20% laki-laki) Kebanyakan pasien asimptomatik atau simptomatik ringan
namun menunjukkan obstruksi aliran udara ekspirasi selama tes fungsi paru. Pada
banyak pasien obstruksi bersifat reversible, yaitu gejala brongko spasme yang
membaik setelah pemberian bronkodilator.Dengan perkembangan penyakit,
maldistribusi dari ventilasi maupun aliran darah pulmonal digambarkan dengan rasio
V/Q yang rendah (shunt intrapulmonal) begitu pula dengan are V?Q rasio yang tinggi
(dead space). Secara istilah lama pasien diklasifikasi menjadi bronchitis kronis dan
emfisema.
A. BRONKITIS KRONIK
Diagnosis klinis dari bronchitis kronis didefinisikan dengan adanya batuk
produktif hamper setiap hari selama 3 bulan berturut-turut dalam 2 tahun berturut-
turut. Selain itu, kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu akibat pekerjaan,
infeksi pulmonal rekuren dan faktor familial juga menjadi faktor yang
menetukan.Sekresi kelenjar mukosa dari bronkus yang hipertrofi dan edema mukosa
akibat inflamasi jalan nafas menyebabkan obstruksi aliran udara. Istilah bronkitis
kronik asmatik dapat dipakai bila bronkospasme adalah gejala utamanya.Infeksi
pulmonal rekuren (viral dan bakterial) merupakan sebab yang umum dan sering
berhubungan dengan terjadinya dengan bronkospasme. RV meningkat namun TLC
biasanya normal. Shunting (pintas) intrapulmonal terjadi dan hipoksia timbul.
Hipoksemia kronik menyebabkan eritrositosis, hipertensi pulmonal dan bahkan
gagal jantung kanan (kor pulmonal). Kombinasi dari hal tersebut biasanya disebut
sindrom blue bloater, namun , 5% pasien PPOK sesuai dengan deskripsi tersebut.
Sejalan dengan perkembangan penyakit, pasien secara bertahap akan mengalami
retensi CO2 , ventilatory drive yang normal menjadi kurang sensitif terhadap tekanan
CO2 arterial dan dapat tertekan dengan pemberian oksigen (di bawah)
B. EMFISEMA
Emfisema adalah kelainan patologik dengan pelebaran jalan nafas, distal dari
bronkus terminal yang ireversibel dan destruksi septa alveolar. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan CT scan dada. Perubahan emfisematus ringan di apeks paru
adalah normal namun secara klinis tidak dapat dihubungkan dengan penuaan.
Emfisema yang signifikan biasanya berhubungan dengan kebiasaanmerokok. Pada
beberapa kasus emfisema terjadi pada usia muda dan hal ini berhubungan dengan
defisiensi α1-antitripsin. Protease inhibitor ini dapat mencegah aktivitas enzim
proteolitik yang berlebihan (terutama elastase) pada paru-paru. Enzi mini dihasilkan
oleh sel netrofil dan makrofag paru-paru sebagai respons terhadap infeksi dan
polutan. Emfisema berhubungan dengan merokok biasanya terjadi akibat
ketidakseimbangan aktivitas protease an antiprotease pada individu yang rentan.
Hilangnya elastisitas yang secara normal menunjang jalan nafas yang lebih kecil
C.TERAPI
Terapi PPOK umumnya bersifat suportif. Intervensi yang terpenting adalah
penghentian kebiasaan merokok. Pasien yang menunjukkan tanda-tanda obstruksi
jalan nafas yang reversible (perbaikan FEV1 > 15% setelah pemberian bronkodilator)
harus memulaiterapi bronkodilator jangka lama. Agonis β2-adrenrgik, glikokortikoid
dan ipratropium sangatlah berguna; ipratropium memiliki peran penting dalam
penatalaksanaan pasien ini dibandinkan pasien asma. Bahkan pada pasien yang
tidak menunjukkan perbaikan dari tes fungsi paru terhadap penggunaan bronkodilator
dapat membaik secara klinis dengan terapi bronkodilator.Eksaserbasi berhubungan
bronchitis yang ditandai dngan perubahan sputum, terapi yang teratur dengan
antibiotic spectrum luas (contoh ampisilin, tetrasiklin, sulfametoksazol-trimetoprim)
penting dilakukan. Hipoksemia harus diatasi dengan hati-hati menggunakan oksigen
suplemen. Psien denga hiposemia kronik (PAO2< 55mmHg) dan hipertensi pulmonal
membutuhkan terapi oksigen low-flow (1-2L/menit)
Terapi oksigen dapat meningkatkan PaCO2 yang membahayakan pada pasien
dengan retensi CO2, peningkatan PaO2 diatas 60 mm Hg dapat mencetuskan gagal
nafas pada pasien-pasien tersebut. Penghilangan hypoxic ventilatory drive atau
pelepasan vasokonstriksi hipoksia mengakibatkan aliran darah yang lebih banyak ke
are dengan rasio V/Q yang rendah. Bila terjadi cor pulmonal diuretic digunakan untuk
mengontrol edema perifer, efek yang menguntungkan dari digoksin dan vasodilator
bersifat tidak konsisten. Pengkondisian fisik tidak memiliki efek terhadap tesfungsi
paru namun ditujukan untuk memperbaiki gejala. Beberapa penelitian bahkan
memenganjurkan kemampuan untuk meningkatkan konsumsi oksigen selama latihan
berbanding terbalik dengan komplikasi pasca operasi.
PERTIMBANGAN-PERTIMBANGAN ANESTETIK
A. Penatalaksanaan Preoperatif
Pasien PPOK harus dipersiapkan secara optimal sebelum menghadapi
pembedahan elektif sebagaimana yang dilakukan pada pasien asma. Pasien
sebelumnya diwawancara mengenai perubahan terakhir dari dispnea, sputum dan
B. Penatalaksanaan Intraoperatif
Walaupun anestesi regional sering dipertimbangkan dibandingkan anestesi
umum, spinal tinggi atau anstesi epidural dapat menurunkan volume paru, membatasi
kerja otot-otot pernafasan tambahan dan menghasilkan batuk yang tidak efektif
menyebabkan dispnea dan retensi secret. Hilangnya propriosepsi dada dan posisi
yang tidak biasa seperti litotomi atau lateral dekubitus dapat memperberat dispnea
pada pasien yang terjaga.
Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
Penurunan komplians paru pada kelainan ini secara primer akibat peningkatan cairan
paru ekstravaskular, peningkatan tekanan kapiler pulmonal atau peningkatan
permeabilitas kapiler (lihat bab 50). Peningkatan tekanan terjadi disertai gagal
jantung kiri sementara permeabilitas yang meningkat tampak pada pasien ARDS.
Permeabilitas yang meningkat terlokalisir atau tergeneralisasi dapat terjadi setelah
aspirasi atau pneumonitis infeksius.
Pertimbangan Anestetik
A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF
Pasien dengan penyakit pulmonal akut harus menjalani operasi elektif. Dalam
persiapan untuk operasi emergensi oksigenasi dan ventilasi harus dioptimalkan saat
preoperatif jika memungkinkan. Kelebihan cairan harus diatasi dengan diuretik. Gagal
jantung juga memerlukan vasodilator dan inotropik. Drainase efusi pleura yang besar
harus dipertimbangkan. Selain itu distensi abdominal masif darus dikurangi dengan
dekompresi nasogastrik atau drainase asites. Hipoksemia persisten membutuhkan
PEEP. Gangguan sistemik yang berhubungan seperti hipotensi atau infeksi haru
diterapi secara agresif.
B. PENATALAKSANAAN INTRAOPERATIF
Pemilihan obat anestesi harus disesuaikan pada setiap pasien. Pasien yang
akan menjalani pembedahan dengan penyakit paru akut seperti ARDS, edema
pulmonal-kardiogenik atau pneumonia merupakan pasien critically
Pertimbangan-pertimbangan Preoperatif
Pasien secara tipikal ditandai dengan dispnea pada saat beraktivitas dan
kadang disertai batuk non produktif. Gejala dari kor pulonal terjadi pada penyakit
yang telah lanjut. Pemeriksaan fisik menujukkan ronki (kering)yang jelas pada basal
paru dan pada tahap lanjut ditemukan tanda-tanda gagal jantung kanan. Gambaran
foto toraks berkembang mulai dari ground-glass appearance sampai gambaran
retikulonodular yang disebut honey-comb appearance. Gas darah arterial
menunjukkan hipoksemia ringan dengan normokarbia. Tes fungsi paru menunjukkan
tipe defek ventilasi restriktif dan kapasita difusi karbonmonoksida yang berkurang 30-
50%.
Terapi ditujukan untuk menghilangkan proses penyakit dan mencegah
pemaparan yang lebih jauh dari agen penyebab (jika diketahui). Terapi glukokortikoid
dan imunosupresif dapat diberikan pada fibrosis paru idiopatik, kelainan autoimun
Pertimbangan-pertimbangan Anestetik
A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF
Evaluasi preoperatif harus difokuskan pada penentuan derajat gangguan paru
sebagaimana proses penyakit yang mendasarinya. Tujuannya agar dapat
menentukan keterlibatan potensial dari organ lainnya. Riwayat dispnea saat
beraktivitas (atau saat tidur) harus divaluasi dengan tes fungsi paru daan analisis gas
darah arterial. Kapasitas vital kurang dari 15 mL/kg adalah indikasi adanya disfungsi
berat (normal > 70 mL/kg) . Pemeriksaan foto toraks sangat membantu penilaian
tingkat keparahan penyakit.
B. PENATALAKSAAN INTRAOPERATIF
Penatalaksanaan pasien ini cukup kompleks, dengan adanya predisposisi untuk
timbulnya hipoksemia dan perlunya untuk mengontrol ventilasi dalam menjamin
pertukaran gas yang optimum, pemilihan obat anestetik secara umum tidak begitu
penting. Pengurangan FRC (dan penyimpanan oksigen) merupakan predisposisi
terjadinya hipoksemia yang cepat setelah induksi anestesi (lihat bab 22) . Ambilan
dari anestetik inhalasi dapat juga dipercepat. Karena pasien-pasien biasanya lebih
rentan terhadap toksisitas yang diinduksi oksigen, khususnya pada pasien yang
mendapat terapi dengan bleomisin. Konsentrasi fraksional terinspirasi dari oksigen
harus dipertahankan pada konsentrasi minimum yang kompatibel dengan oksigen
yang dapat diterima (SpO2 > 88-92%) Puncak tekanan inspirasi yang tinggi selama
ventilasi mekanik meningkatkan risiko pneumotoraks dan harus diberikan volume
tidal yang lebih kecil dengan frekuensi yang lebih sering.
Pertimbangan Preoperatif
Emboli pulmonal (paru) terjadi akibat masuknya bekuan darah, lemak, sel
tumor, udara, cairan amnion atau benda asing ke dalam sistem vena. Bekuan dari
ekstremitas bawah (biasanya di atas lutut), vena pelvis atau kadang lebih jarang dari
jantung kanan sebagai penyebabnya. Stasis vena atau hiperkoagulabilitas sering
menjadi faktor penyebab pada beberapa kasus. Emboli paru dapat terjadi
intraoperatif, pada individu normal yang menjalani pembedahan. Emboli lemak
didiskusikan pada bab 40, emboli udara dibicarakan pada bab 26.
A. PATOFISIOLOGI
Oklusi emboli pada sirkulasi pulmonal meningkatkan dead space dan jika
minute ventilation tidak berubah peningkatan dead space ini secara teoretik juga
dapat meningkatkan PaCO2. Namun pada praktiknya hipoksemia sering terjadi.
Emboli paru akut meningkatkan resistensi vaskular paru dengan mengurangi area
cross-sectional dari pembuluh darah paru menyebabkan refleks dan vasokonstriksi
humoral. Refleks bronkokonstriksi yang terlokalisir dan umum meninkatkan area
dengan V/Q rasio yang rendah .Efeknya adalah peningkatan shunt pulmonal dan
hipoksemia. Daerah yang terkena, kehilangan surfaktan dalam beberapa jam dan
mengalami atelektasis dalam 24-48 jam. Infark pulmonal terjadi jika emboli
melibatkan pembuluh darah besar dan aliran darah kolateral dari sirkulasi bronkial
yang insufisiensi pada bagian paru tersebut (insidensi < 10%) Pada orang sehat,
oklusi lebih dari 50% dari sirkulasi pulmonal (Emboli paru masif) biasanya terjadi
sebelum gejala hipertensi pulmonal yang berlanjut muncul. Pasien dengan penyakit
kardiopulmonal yang telah ada sebelumnya dapat mengalami hipertensi pulmonal
akut dengan oklusi yang tidak begitu besar. Peningkatan afterload ventrikel kanan
yang terus-menerus dapat mencetuskan gagal jantung kanan. Jika pasien dapat
bertahan pada tromboemboli pulmonal akut thrombus biasanya akan membaik dalam
1-2 minggu.
B. DIAGNOSIS
Manifestasi klinis dari emboli paru antara lain takipnea yang terjadi tiba-tiba,
dispnea, nyeri dada atau hemoptisis. Gejala yang terakhir menunjukkan adanya
infark. Gejala seringkali tidak tampak atau ringan dan nonspesifik kecuali emboli
masif telah terjadi. Mengi dapat ditemukan pada auskultasi. Analisis gas darah
arterial secara tipikal menunjukkan hipoksemia ringan dengan alkalosis respiratorik
karena peningkatan respirasi. Foto toraks umumnya normal namun dapat juga
menggambarkan oligemia (radiolusen) densitas wedge-shape dengan infark ,
atelektasis dengan diafragma yang terangkat atau pelebaran arteri pulmonal
proksimal dengan hipertensi pulmonal akut. Tanda-tanda kardiak antara lain takikardi
dengan splitting yang melebar dari bunyi jantung kedua, hipotensi dengan
C. TERAPI
Terapi yang terbaik untuk emboli pulmonal adalah pencegahan terhadap
timbulnya hal tersebut. Terapi dengan heparin (Heparin tidak terfraksinasi 5000 U sub
kutan setiap 12 jam dimulai preoperative atau segera pasca operasi pada pasien
dengan risiko tinggi), antikoagulasi oral (warfarin), aspirin atau dekstran bersamaan
dengan ambulasi dini dapat menurunkan insidensi emboli pasca operasi.
Penggunaan stoking elastic dan kompresi pneumatic pada tungkai juga dapat
menurunkan insidensi trombosis vena pada tungkai namun tidak demikian pada
pelvis dan jantung.
Pertimbangan-pertimbangan Anesetik
A. PENATALAKSANAAN PREOPERATIF
Pasien dengan emboli pulmonal akut dapat menjalani pembedahan untuk
pemasangan filter kaval atau kadang-kadang embolektomi pulmonal. Pada beberapa
kasus pasien memiliki riwayat emboli pulmonal dan dating ke kamar operasi untuk
menjalani pembedahan yang tidak ada hubungannya dengan penyakit sebelumnya.
Pada kelompok pasien ini risiko terapi antikoagulan perioperatif tidak diketahui. Jika
episode akut di atas usia satu tahun, risiko penghentian sementara terapi
antikoagulan mungkin kecil. Selain itu, fungsi pulmonal biasanya kembali normal
kecuali pada kasus emboli pulmonal kronik rekuren. Perhatian utama pada tahap
perioperatif adalah mencegah terjadinya episode baru emboli.
B. PENATALAKSANAAN INTRAOPERATIF
Filter vena kava biasanya dimasukkan secara per kutan dalam lokal anestesi
dengan sedasi. Pasien dapat menunjukkan peningkatan sensitivitas terhadap efek
sirkulasi dari obat-obat anestesi.
Walaupun tidak ada rekomendasi yang pasti mengenai pilihan anestesi pada
pasien dengan riwayat emboli pulmonal, beberapa penelitian menganjurkan regional
anestesi pada beberapa jenis operasi (contoh operasi pnggul) dimana jenis anestesi
ini dapat menurunkan insidensi trombosis vena dalam dan emboli pulmonal pasca
operasi. Penggunaan anestesi regional dikontraindikasikan pada pasien dengan
antikoagulasi residual atau pemanjangan waktu perdarahan. Bila anestesi umum
1. Benumof J: Anesthesia and Uncommon Diseases, 4th ed. W.B. Saunders, 1998.
2. Evers AS, Maze M: Anesthetic Pharmacology.Physiologic Principles and Clinical
Practice. Churchill Livingstone, 2004. Chapters 20 and 40 are excellent chapters
that provide good reviews of pulmonary function and bronchodilator therapy.
3. Hurford WE: The bronchospastic patient. Int Anesthesiol Clin 2000;38:77. [PMID:
10723670]
4. Lumb A, Nunn JF: Nunn's Applied Respiratory Physiology, 5th ed. Butterworth-
Heinemann, 2000.