Anda di halaman 1dari 78

BAB 20

ANESTESIA UNTUK PASIEN-PASIEN DENGAN PENYAKIT


KARDIOVASKULER
Morgan GE; 2006

KONSEP UTAMA

Komplikasi kardiovaskuler bertanggungjawab terhadap 25–50% kematian setelah


operasi nonjantung. Perioperatif infark miokardium (IM), edema paru, gagal jantung
kongestif (CHF), aritmia, dan tromboemboli paling sering ditemukan pada pasien-pasien
dengan penyakit kardiovaskuler sebelumnya.

Dua faktor risiko preoperatif yang paling penting adalah sindroma koroner yang tidak
stabil dan adanya tanda-tanda CHF. Kontraindikasi untuk bedah non jantung elektif
biasanya meliputi infark miokardium kurang dari 1 bulan sebelum pembedahan dengan
tanda-tanda risiko iskemik yang menetap baik dilihat dari gejala-gejala atau pemeriksaan
non infasif, gagal jantung tak terkompensasi, dan stenosis aorta atau stenosis mitral yang
berat.

Dengan mengabaikan tingkat tekanan darah preoperasi, pasien-pasien dengan tekanan


darah tinggi menunjukan satu respon hipotensi yang kuat saat induksi anestesia, yang
diikuti oleh satu respon hipertensi yang berlebihan saat intubasi. Pasien-pasien hipertensi
dapat menunjukankan respon yang berlebihan terhadap katekolamin endogen (dari intubasi
atau rangsangan pembedahan) dan obat agonis simpatetik yang diberikan dari luar.

Pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner yang luas (tiga pembuluh darah atau
cabang kiri utama), mempunyai riwayat IM (infark miokardium), atau disfungsi ventrikel
merupakan risiko yang terbesar untuk timbulnya komplikasi jantung. Risiko perioperatif
setelah timbulnya IM tergantung dengan jumlah sisa iskemia yang menetap (menambah
risiko jantung untuk terjadinya infark)

Holter monitoring, exercise elektrokardiografi, skan perfusi miokardium, dan


ekokardiografi penting di dalam menentukan risiko perioperatif dan kebutuhan akan
angiography koroner. Tetapi test-test ini diindikasikan hanya jika hasilnya akan
mempengaruhi perawatan pasien.

Penghentian mendadak obat antianginal perioperatif –terutama -blocker – dapat


memicu suatu peningkatan yang mendadak episode iskemik (rebound).

Prioritas utama di dalam mengelola pasien-pasien dengan penyakit jantung iskemik


adalah menjaga hubungan suplai–kebutuhan miokardium dengan baik. Peningkatan denyut
jantung dan tekanan darah akibat pengaruh sistem otonom dikendalikan dengan anestesia
yang dalam atau dengan penghambat adrenergik, dan penurunan yang besar dari tekanan
perfusi koroner atau kandungan oksigen arteri harus dihindari

Deteksi iskemia intraoperatif bergantung pada pengenalan terhadap perubahan


elektrokardiografi, manifestasi hemodinamik, atau kelainan-kelainan gerakan dinding
regional pada transesofageal ekokardiografi. Depresi segmen ST yang down-sloping dan
horizontal lebih spesifik untuk iskemia dibandingkan dengan depresi yang up-sloping.

1
Elevasi segment ST yang baru jarang terjadi selama pembedahan non jantung dan
menunjukan adanya iskemia yang berat, vasospasme, atau infark.

Sasaran hemodynamic yang utama di dalam mengelola stenosis mitral adalah


memelihara suatu irama sinus (jika ada saat preoperasi) dan menghindari timbulnya
takikardi, peningkatan yang besar dari kardiak output, dan hipovolemia maupun kelebihan
cairan dengan pemberian cairan yang bijaksana

Pengelolaan anestesi harus disesuaikan dengan berat ringannya regurgitasi katup mitral
seperti juga fungsi ventrikel kiri yang mendasarinya. Faktor-faktor yang memperburuk
regurgitasi, seperti denyut jantung yang lambat (sistol yang panjang/lama) dan peningkatan
akut pada afterload, harus dihindari. Penambahan volume berlebihan dapat juga
memperburuk regurgitasi melalui dilatasi ventrikel kiri.

Menjaga irama sinus, denyut jantung, dan volume intravaskuler tetap normal adalah hal
yang kritis di dalam mengelola pasien-pasien dengan stenosis aorta. Sistol atrium yang
abnormal sering kali mengawali penurunan yang cepat, terutama ketika berhubungan
dengan takikardia. Anestesi spinal dan epidural adalah kontraindikasi untuk pasien-pasien
dengan stenosis aorta berat.

Bradikardia dan peningkatan resistensi vaskuler sistemik (SVR) menambah volume


regurgitan pada pasien-pasien dengan regurgitasi aorta, sedangkan takikardi dapat berperan
untuk timbulnya iskemia miokardium. Depresi miokardium yang berlebihan juga perlu
dihindari. Peningkatan kompensasi pada preload jantung harus dipertahankan, tetapi
penggantian cairan yang berlebihan dapat mengakibatkan edema paru .

Pada pasien-pasien dengan penyakit jantung bawaan, satu peningkatan relatif SVR
terhadap resistensi vaskuler pulmonar (PVR) menyebabkan shunt dari kiri ke kanan,
sedangkan peningkatan PVR relatif terhadap SVR menyebabkan shunt dari kanan ke kiri.

Adanya aliran shunt antara sisi kiri dan kanan jantung, tanpa tergantung arah aliran
darah, mengharuskan pencegahan timbulnya gelembung udara atau bekuan darah dari cairan
vena untuk mencegah emboli paradoks pada serebral atau sirkulasi koroner.

Sasaran penatalaksanaan anestesi pada pasien pasien Tetralogi Fallot adalah


memelihara volume intravaskuler dan SVR. Peningkatan PVR, seperti yang terjadi dari
asidosis atau tekanan jalan nafas yang meningkat, harus dihindari. Shunt dari kanan ke kiri
cenderung memperlambat pengambilan (uptake) obat anestesi inhalasi; sebaliknya, hal ini
mungkin mempercepat onset obat-obat intravena.

Jantung yang ditransplantasi secara total didenervasi, maka pengaruh-pengaruh otonom


secara langsung tidak ada. Lebih dari itu, tidak adanya refleks peningkatan denyut jantung
dapat membuat pasien-pasien sensitif terhadap vasodilasi yang cepat. Vasopresor tidak
langsung seperti efedrin dan dopamin bersifat kurang efektif dibanding obat yang bekerja
secara langsung oleh karena tidak adanya cadangan katekolamin di neuron-neuron
miokardium.

2
ANESTESIA UNTUK PASIEN-PASIEN DENGAN PENYAKIT
KARDIOVASKULER:
PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskuler—terutama hipertensi, iskemik, dan penyakit katup jantung—


adalah penyakit medis yang paling sering ditemukan dalam praktek anestesi dan penyebab
utama kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas) perioperatif. Penatalaksanaan
pasien-pasien dengan penyakit-penyakit ini merupakan hal yang menantang kecerdasan dan
sumber daya dari anestesiologi. Respon adrenergik terhadap stimulasi pembedahan dan efek
sirkulasi dari obat-obat anestesi, endotrakheal intubasi, ventilasi tekanan positif, kehilangan
darah, perpindahan cairan, dan perubahan-perubahan di dalam suhu tubuh menjadi beban
tambahan pada sistim kardiovaskuler yang bermasalah. Obat-obat anestesi kebanyakan
menyebabkan depresi jantung, vasodilatasi, atau kedua-duanya. Bahkan obat-obat anestesi
yang tidak langsung berefek pada sirkulasi dapat menyebabkan depresi pada sirkulasi pada
pasien-pasien yang tergantung secara kronis pada obat-obat yang meningkatkan aktivitas
simpatik. Interupsi terhadap aktivitas ini sebagai suatu konsekuensi dari kondisi teranestesi
dapat menuju kepada dekompensasi sirkulasi akut.

Penatalaksanaan anestesi yang optimal pada pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskuler


memerlukan suatu pengetahuan yang saksama tentang fisiologi jantung normal (lihat Bab
19), efek sirkulasi dari obat-obat obat anestesi (lihat Bab 7, 8, 9, dan 10), serta patofisiologi
dan pengobatan penyakit-penyakit ini. Prinsip-prinsip yang digunakan di dalam pengobatan
penyakit-penyakit ini saat preoperatif diterapkan juga intraoperatif. Di dalam banyak hal,
pemilihan obat anestesi tidak sepenting daripada bagaimana agen itu digunakan dan
pemahaman patofisiologi yang mendasarinya.

FAKTOR-FAKTOR RISIKO JANTUNG

Prevalensi penyakit kardiovaskuler semakin meningkat seiring dengan bertambahnya


usia. Lebih dari itu, pasien-pasien berusia diatas 65 tahun diperkirakan akan meningkat 25-
35% dalam dua dekade yang akan datang. Infark miokardium perioperatif (MI), edema
paru, gagal jantung kongestif, aritmia, dan thromboemboli biasanya paling sering dilihat
pada pasien-pasien yang sebelumnya mempunyai penyakit kardiovaskuler. Komplikasi
kardiovaskuler meliputi 25–50% dari kematian setelah operasi nonjantung. Insidensi edema
paru kardiogenik sesudah operasi kira-kira 2% pada semua pasien yang berusia di atas 40
tahun, 6% pada pasien-pasien dengan riwayat gagal jantung dan 16% pada pasien-pasien
gagal jantung yang jelek kompensasinya. Prevalensi gangguan kardiovaskuler yang relatif
tinggi pada pasien-pasien bedah telah menimbulkan usaha-usaha untuk mendefinisikan
risiko jantung atau kemungkinan timbulnya komplikasi jantung yang fatal atau mengancam
hidup intraoperative atau sesudah operasi.
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force Report sudah
membagi petanda klinis adanya risiko cardiovasculer menjadi petanda mayor, petanda
intermediate, dan petanda minor (Tabel 20–1). Petanda mayor menekankan pengelolaan
yang intensive, petanda intermediate menandakan peningkatan risiko dan memerlukan
penilaian preoperasi yang saksama, dan petanda minor dikenal sebagai tanda-tanda penyakit
kardiovakcular yang belum jelas menunjukkan peningkatan risiko perioperatif. Pasien-

3
pasien dengan tanda tanda mayor perlu dilakukan evaluasi jantung non invasif dan, jika
memungkinkan, seperti yang didiskusikan nanti dalam bab, angiography koroner. Mayoritas
pasien-pasien dengan tanda-tanda risiko kardiovaskuler yang meningkat masuk dalam
kategori intermediate dan minor. Skema rencana pengelolaan yang disederhanakan (Gambar
20–1) memerlukan tes jantung non invasif jika pasien mempunyai dua dari tiga kriteria
klinis pada Tabel 20–2 .

Tabel 20–1. Petanda Klinik Peningkatan Risiko Kardiovaskuler Perioperatif (Infark Miokardium,
Gagal jantung, Kematian).1,2
Mayor 
Sindroma koroner yang tidak stabil
MI3 akut atau baru (rescent) dengan tanda-tanda risiko iskemik yang penting berdasarkan
gejala klinik atau studi non invasif 
Unstable angina atau severe4 angina (Canadian class III dan IV)5
Gagal jantung dekompensasi
Arrhythmia yang signifikan
High-grade atrioventricular block
Arrhythmia ventrikuler symptomatic pada pasien dengan penyakit jantung
Arrhythmia supraventriculer dengan ventrikuler rate yang tidak terkontrol
Penyakit katup jantung yang berat
Intermediate
Mild angina pectoris (Canadian class I atau II)
MI sebelumnya berdasarkan riwayat atau adanya gelombang Q patologis
Gagal jantung terkompensasi atau ada gagal jantung sebelumnya
Diabetes mellitus (terutama yang insulin dependent)
Insufisiensi renal
Minor
Usia lanjut
EKG abnormal (hipertropi ventrikul kiri, left bundle-branch block, ST-T yang abnormal)
Irama selain sinus (misalnya, atrial fibrilasi)
Kapasitas fungsional yang rendah (misalnya, ketidakmampuan untuk memanjat tangga dengan
membawa sekantung barang-barang)
Riwayat stroke
Hipertensi sistemik yang tidak terkontrol
1
Dari ACC/AHA Guideline Update on Perioperatif Cardiovaskuler Evaluation for Noncardiac Surgery.
2
EKG, elektrocardiogram; MI, miokardium infark.
3
American College of Cardiology National Database Library mendefinisikan MI baru (recent MI) lebih dari 7 hari tetapi
kurang atau sama dengan 1 bulan (30 hari); MI akut terjadi dalam 7 hari.
4
Termasuk "stable" angina pada pasien who are unusually sedentary.
5
Campeau L: Grading of angina pectoris. Circulation 1976;54:522.

Tabel 20–2. Pemeriksaan non invasive pada pasien-pasien preoperasi dilakukan jika terdapat 2

4
faktor berikut.1,2
1. Terdapat petanda klinik intermediate (angina Canadian class I atau II, MI sebelumnya
berdasarkan pada adanya riwayat atau gelombang Q patologis, gagal jantung
terkompensasi atau ada gagal jantung sebelumnya, atau diabetes)

2. Kapasitas fungsional yang rendah (Kurang ari 4 METs)

3. Prosedur pembedahan yang mempunyai risiko bedah tinggi (operasi besar yang
emergensi3; pembedahan repair aorta atau pembedahan vaskuler peripfer; prosedur
pembedahan yan lama dengan perpindahan cairan atau kehilangan cairan yang besar)
1
Diambil dari ACC/AHA Guideline Update on Perioperatif Cardiovaskuler Evaluation for Noncardiac Surgery.
2
HF, heart failure; METs, metabolic equivalents; MI, miokardium infarction.
3
Operasi besar emergency yang memerlukan pembedahan segera tanpa cukup waktu untuk melakukan tes non
invasive atau interfensi preopereatif

Gambar 20–1.

5
Pengelolaan pasien-pasien dengan petanda klinik peningkatan risiko kardiovaskuler intermediate atau minor. Catatan
indikasi dilakukan tes hanya jika hasil itu akan berguna untuk perawatan pasien. *ETT, exercise tolerance testing.
**Jika terdapat LBBB, vasodilator perfusion imaging lebih dianjurkan.

(Dari American College of Cardiology/American Heart Association [ACC/AHA] Guideline Update on Perioperatif
Cardiovaskuler Evaluation for Noncardiac Surgery.)

Dua faktor risiko preoperasi yang paling penting adalah sindrom koroner yang tidak
stabil dan adanya tanda gagal jantung kongestif. Pasien-pasien yang diidentifikasi
mempunyai risiko yang terbesar perlu dilakukan pemeriksaan yang sesuai agar dapat
memberikan hasil yang baik. Beberapa studi menyatakan bahwa tingkat komplikasi yang
lebih rendah dicapai ketika monitor invasif dan intervensi hemodynamik yang agresif
(misalnya, vasolidator, blokade adrenergik) dikerjakan pada pasien-pasien yang berisiko
tinggi timbul komplikasi jantung. Kontraindikasi yang biasanya dapat diterima untuk
pembedahan nonkardiak elektif meliputi IM yang timbul kurang dari 1 bulan sebelum
pembedahan dengan ditandai risiko iskemik yang persisten baik tampak pada gejala-gejala
atau pemeriksaan noninvasif, gagal jantung tidak kompensata, dan stenosis aorta atau
stenosis mitral yang berat.
Faktor risiko intraoperative yang terpenting dipengaruhi oleh urgensi pembedahan dan
lokasi operasi. Kemungkinan komplikasi jantung 2 sampai 5 kali lebih besar pada pasien-
pasien yang mengalami pembedahan emergensi. Tabel 20–3 memuat skema stratifikasi
risiko jantung untuk berbagai prosedur pembedahan non kardiak menurut American College
of Cardiology/American Heart Association Task Force. Komplikasi jantung kebanyakan
dihubungkan dengan operasi besar pada thoraks, abdominal, dan vaskuler.

6
Operasi vaskuler, terutama prosedur bypass infrainguinal, merupakan prosedur bedah
berisiko tinggi karena penyakit vaskuler perifer dan penyakit arteri koroner (CAD) bagian
dari faktor-faktor risiko umum (misalnya, kencing manis, riwayat merokok, hiperlipidemia,
dan usia lanjut); gejala-gejala dari CAD disamarkan oleh keterbatasan aktivitas karena
claudicatio dan oleh sifat prosedur pembedahan yang lama dan sering dihubungkan dengan
kehilangan darah yang besar. Risiko kardiovaskuler pada pembedahan arteri karotis kurang
daripada pembedahan bypass aorta dan arteri infrainguinal. Meskipun hipertensi yang tidak
terkontrol belum jelas menjadi faktor risiko timbulnya komplikasi post operasi, namun
sering dihubungkan dengan perubahan yang besar dari tekanan darah intraoperatife. Yang
menarik, hipertensi intraoperatif lebih berhubungan dengan morbiditas pada jantung
dibanding hipotensi.

Tabel 20–3. Stratifikasi Risiko Jantung1 untuk Prosedur pembedahan non kardiak.2
Tinggi (risiko jantung dilaporkan lebih dari 5%) 
Operasi mayor emergensi, terutama pada usia lanjut
Pembedahan pada aorta dan bedah vaskuler besar lainnya
Bedah vaskuler perifer
Prosedur pembedahan yang diperkirakan lama berkaitan dengan pergeseran cairan
dan/atau kehilangan darah yang besar
Menengah (risiko jantung yang dilaporkan umumnya kurang dari 5%) 
Endarterectomy karotis
Operasi kepala dan leher
Operasi intraperitoneal dan intrathorakal
Operasi Orthopedi
Operasi prostate
Rendah3 (risiko jantung yang dilaporkan umumnya kurang dari 1%)
Prosedur endoscope
Prosedur superficial
Operasi katarak
Operasi payudara
1
Insidensi gabungan dari kematian jantung dan infark miokardium yang nonfatal.
2
ACC/AHA Guideline Update on Perioperatif Cardiovaskuler Evaluation for Noncardiac Surgery.
3
Umumnya tidak memerlukan pemeriksaan jantung preoperatif lebih lanjut.

Meski keunggulan anestesia regional atas anestesia umum untuk pasien-pasien dengan
penyakit kardiovaskuler terlihat jelas nyata, studi-studi yang mendukung pandangan ini
kurang. Lebih dari itu, untuk beberapa pasien efek hemodynamik dari anestesia spinal dan
epidural (lihat Bab 16) bisa lebih merugikan dibanding anestesia umum yang dikelola
dengan baik.

HIPERTENSI
Pertimbangan Preoperatif

7
Hipertensi adalah penyebab utama kematian dan cacat di kebanyakan masyarakat
Barat dan kelainan preoperatif paling sering pada pasien-pasien operasi bedah, dengan
prefalensi keseluruhan 20–25%. Hipertensi tak terkontrol yang lama mempercepat
aterosklerosis dan kerusakan organ. Hipertensi adalah faktor risiko mayor untuk penyakit
jantung, serebral, ginjal, dan vaskuler. Beberapa penyulit meliputi infark myokard, gagal
jantung kongestif, stroke, gagal ginjal, penyakit sumbatan pembuluh darah perifer,
dan diseksi aorta. Adanya hipertropi ventrikel kiri (LVH) pada pasien-pasien hipertensi
bisa menjadi petanda penting dari kematian akibat penyakit jantung. Peningkatan kematian
juga dilaporkan pada pasien-pasien dengan bruits karotis - walaupun tanpa gejala.

Definisi
Pengukuran tekanan darah dipengaruhi oleh banyak variabel, termasuk postur tubuh,
waktu siang atau malam, status emosional, aktivitas yang sedang dilakukan, dan obat yang
sedang dimakan juga peralatan dan teknik yang digunakan. Diagnosa tekanan darah tinggi
tidak bisa ditegakan oleh hanya sekali pengukuran preoperatif tapi memerlukan konfirmasi
adanya riwayat peningkatan tekanan darah yang menetap. Meski kecemasan preoperatif atau
nyeri sering menimbulkan sedikit peningkatan tekanan darah walaupun pada pasien-pasien
normal, pasien-pasien dengan riwayat hipertensi secara umum memperlihatkan peningkatan
tekanan darah preoperatif lebih besar.
Studi-epidemiologi menunjukkan suatu korelasi langsung dan berkelanjutan antara
tekanan darah sistolik dan diastolik dengan tingkat kematian. Definisi hipertensi sistemik
berubah-ubah tetapi biasanya dianggap sebagai peningkatan tekanan darah diastol yang
menetap lebih dari 90–95 mmHg atau tekanan sistol lebih besar dari 140–160 mmHg.
Skema klasifikasi yang biasa digunakan terdapat pada Tabel 20–4. Hipertensi borderline
dinyatakan ada ketika tekanan diastol 85–89 mmHg atau tekanan sistol 130–139 mmHg.
Risiko timbulnya komplikasi kardiovasculer pada pasien-pasien dengan hipertensi
borderlinepun dapat meningkat. Hipertensi berat atau accelerated hipertensi (stage 3)
didefinisikan sebagai suatu peningkatan tekanan darah yang baru, stabil, dan progresif,
biasanya dengan tekanan darah diastol lebih dari 110–119 mmHg; sering disertai dengan
kelainan fungsi ginjal. Hipertensi malignan adalah suatu darurat medis yang ditandai oleh
tekanan darah tinggi yang berat (>210/120 mmHg) ditandai adanya papilledema dan,
sering, encephalopathy.

Tabel 20–4. Klasifikasi Tekanan Darah (Dewasa).


Kategori Tekanan Tekanan Sistol (mm Tekanan Diastol (mm
Darah Hg) Hg)
Normal < 130 < 85
Normal tinggi 130–139 85–89
Hipertensi
Stage 1/ringan 140–159 90–99
Stage 2/moderat 160–179 100–109
Stage 3/berat 180–209 110–119
Stage 4/sangat berat > 210 > 120

Patofisiologi

8
Hipertensi dapat idiopatik (essensial) atau, lebih jarang, akibat sekunder dari kondisi
medis yang lain seperti penyakit ginjal, hiperaldosteronisme primer, sindroma Cushing,
akromegali, pheochromocytoma, kehamilan, atau terapi oestrogen. Hipertensi esensial
sekitar 80–95% dari kasus dan dapat dihubungkan dengan peningkatan baseline kardiak
output yang abnormal, resistensi vaskuler sistemik (SVR), atau keduanya. Suatu pola
perubahan biasanya terlihat setelah melewati sakit. Awalnya, Kardiak output meningkat,
tapi SVR tampak dalam batas normal (Pada kenyataannya, hal ini tidak tepat). Seiring
dengan perkembangan penyakit, kardiak output kembali normal tetapi SVR meningkat
abnormal. Volume cairan ekstraseluler dan aktivitas rennin plasma (lihat Bab 29) mungkin
rendah, normal, atau tinggi. Peningkatan afterload jantung yang kronis menyebbkan LVH
yang konsentrik dan merubah fungsi diastolik (lihat Bab 19). Hipertensi juga merubah
autoregulasi otak (lihat Bab 25) sehingga aliran darah serebral yang normal terpelihara
walaupun saat tekanan darah yang tinggi; batas autoregulasi rata-rata darahberkisar pada
tekanan darah 110–180 mm Hg.
Mekanisme-mekanisme yang bertanggungjawab terhadap perubahan-perubahan
yang timbul pada pasien hipertensi masih sulit tetapi tampaknya meliputi hipertropi
vaskuler, hiperinsulinemia, peningkatan kalsium intraseluler yang abnormal dan
peningkatan konsentrasi Natrium intraseluler pada otot polos pembuluh darah dan sel-sel
tubular ginjal. Peningkatan kalsium intrasel diperkirakan mengakibatkan peningkatan
tonus arteri, sedangkan peningkatan konsentrasi natrium mengganggu ekskresi natrium di
ginjal. Pada beberapa pasien didapatkan overaktivitas sistem saraf otonom dan peningkatan
respon terhadap agonis simpatis. Pasien-pasien hipertensi sering menunjukan respon
berlebihan terhadap pemberian vasopresor. Overaktivitas sistim renin–angiotensin–
aldosterone (lihat Bab 29) memegang peranan penting pada pasien pasien dengan hipertensi
akselerasi, accelerated hypertensive.

Pengobatan Jangka Panjang


Pemberian obat telah memperlihatkan pengurangan progresifitas hipertensi, dan insidensi
stroke, gagal jantung kongestif, CAD, dan kerusakan ginjal. Pengobatan juga dapat
memperbaiki beberapa perubahan patofisiologi yang menyertai, seperti LVH dan perubahan
autoregulasi serebral.
Kebanyakan pasien dengan hipertensi ringan hanya memerlukan pengobatan tunggal (single
drug therapy), yang dapat terdiri dari diuretik thiazide, penghambat angiotensin-converting
enzyme (ACE inhibitor), angiotensin-receptor blocker (ARB), -adrenergik blocker, atau
calcium channel blocker. Joint National Committee on Hypertension (USA)
merekomendasikan dosis rendah diuretic tiazid untuk kebanyakan pasien. Namun penyakit
penyerta mempengaruhi pemilihan obat. Ace inhibitor dianggap menjadi pilihan pertama
yang optimal untuk pasien pasien dengan disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung,
sedangkan ACE inhibitor atau ARB menjadi obat tunggal awal yang optimal pada kondisi
hiperlipidemia, penyakit ginjal kronis, atau kencing manis (terutama yang disertai
nephropati). Untuk pasien-pasien dengan CAD obat pilihan pertamanya digunakan -
adrenergik blocker atau, yang jarang, calcium channel blocker, ARB, dan -adrenergik
blocker kurang efektif dibandingkan diuretik dan calcium chanel blocker. Untuk pasien usia
lanjut, pedoman pengobatan merekomendasikan diuretik dengan atau tanpa -adrenergik
blocker atau calcium channel blocker saja.
Pasien-pasien dengan hipertensi sedang sampai berat memerlukan tambahan obat kedua atau
ketiga. Diuretika sering digunakan untuk melengkapi -adrenergik blocker dan ACE
inhibitor ketika terapi obat tunggal tidak efektif. ACE inhibitor telah memperlihatkan dapat

9
memperpanjang kemampuan hidup pasien-pasien dengan gagal jantung kongestif atau
disfungsi ventrikel kiri. Sebagai tambahan, obat-obat ini memelihara fungsi ginjal pada
pasien-pasien dengan kencing manis atau yang mempunyai latar belakang penyakit ginjal.
Mengenal dengan baik nama-nama obat antihipertensi yang biasa digunakan beserta
mekanisme kerjanya adalah penting bagi dokter anestesi (Tabel 20–5).

Tabel 20–5. Obat Antihipertensi Oral.

Kategori  Kelas  Subkelas Obat


Diuretik Tipe Thiazide   Chlorothiazide (Diuril)
Chlorthalidone (Thalitone)
Hydrochlorothiazide (Microzide)
Indapamide (Lozol)
Metolazone (Zaroxolyn)
Hemat Kalium   Spironolactone (Aldactone)
Triamterene (Dyrenium)
Amiloride (Midamor)
Loop   Bumetanide (Bumex)
Ethacrynic acid (Edecrin)
Furosemide (Lasix)
Torasemide (Demadex)
Simpatolitik Adrenergik-receptor blocker Acebutolol (Sectral)
Atenolol (Tenormin)
Betaxolol (Kerlone)
Bisoprolol (Zebeta)
Carteolol (Cartrol)
Metoprolol (Lopressor)
Nadolol (Corgard)
Penbutolol (Levatol)
Pindolol (Visken)
Propranolol (Inderal)
Timolol (Blocadren)
1

  Doxazosin (Cardura)
  Prazosin (Minipress)
  Terazosin (Hytrin)
1 + 2

  Phenoxybenzamine (Dibenzyline)
and   Labetalol (Trandate)
  Carvedilol (Coreg)

10
Kategori  Kelas  Subkelas Obat
-agonis
2 central   Clonidine (Catapres)
  Guanabenz (Wytensin)
Guanfacine (Tenex)
Methyldopa (Aldomet)
Postganglionic blocker Guanadrel Reserpine
Vasodilator Calcium channel blocker Benzothiazepine Diltiazem1 (Tiazac)
Phenylalkylamines Verapamil1 (Calan SR)
Dihydropyridines Amlodipine (Norvasc)
Felodipine (Plendil)
Isradipine1 (Dynacirc)
Nicardipine1 (Cardene)
Nifedipine1 (Procardia XL)
Nisoldipine (Sular)
ACE inhibitors Benazepril (Lotensin)
2

  Captopril (Capoten)
Enalapril (Vasotec)
Fosinopril (Monopril)
Lisinopril (Zestril)
Moexipril (Univasc)
Perindopril (Aceon)
Quinapril (Accupril)
Ramipril (Altace)
Trandopril (Mavik)
Angiotensin-receptor antagonis Candesartan (Atacand)
Eprosartan (Tevetan)
Irbesartan (Avapro)
Losartan (Cozaar)
Olmesartan (Benicar)
Telmisartan (Micardis)
Valsartan (Diovan)
Direct vasodilators   Hydralazine (Apresoline)
Minoxidil
1
Extended realease.
2
ACE, angiotensin-converting enzyme.

MANAJEMEN PREOPERATIF

Satu pertanyaan yang sering berulang pada praktek anestesi adalah derajat hipertensi

11
preoperatif yang dapat diterima untuk pasien-pasien yang dijadwalkan operasi elektif.
Kecuali pasien-pasien yang terkontrol dengan baik, kebanyakan pasien-pasien dengan
hipertensi datang ke ruang operasi dengan berbagai tingkat hipertensi. Meski data
menyatakan bahwa hipertensi preoperasi yang moderat pun (tekanan diastol <90–110
mmHg) secara statistik belum jelas berkaitan dengan komplikasi post operasi, data lain
menunjukkan bahwa pasien dengan hipertensi yang tidak diobati atau jarang dikontrol lebih
cenderung untuk mengalami epiode iskemia miokardium intraoperatif, arhythmia, atau
hipertensi maupun hippotensi. Penyesuaian intraoperatif pada kedalaman anestesia dan
penggunaan obat vasoactive mengurangi timbulnya komplikasi sesudah operasi karena
kurang baiknya kontrol tekanan darah sebelum operasi.
Meski idealnya pasien-pasien yang akan mengalami operasi elektif hanya jika dalam
keadaan normotensive, ini tidak selalu mudah untuk dilakukan atau sangat diperlukan oleh
karena perubahan autoregulasi serebral. Penurunan tekanan darah yang berlebihan dapat
mengganggu perfusi serebral. Lebih dari itu, keputusan untuk menunda atau meneruskan
operasi bersifat individual, berdasar berat ringannya peningkatan tekanan darah preoperasi;
kemungkinan adanya iskemia miokardium, disfungsi ventrikel, atau komplikasi jantung dan
ginjal; dan prosedur operasi (apakah operasi besar yang akan menimbulkan perubahan
preload dan afterload dapat diantisipasi). Kebanyakan, hipertensi preoperatif disebabkan
pasien tidak mematuhi regimen pengobatan. Dengan sedikit pengecualian, pengobatan
antihipertensi harus dilanjutkan sampai saat operasi. Beberapa klinikus menghentikan ACE
inhibitor di pagi hari operasi sehubungan dengan meningkatnya insidensi hipotensi
intraoperasi; bagaimanapun, menghentikan sementara obat ini meningkatkan risiko
timbulnya tekanan darah tinggi perioperatif dan kebutuhan akan obat antihipertensi
parenteral. Prosedur-operasi pada pasien-pasien dengan tekanan darah diastolik preoperasi
yang lebih tinggi dari 110 mmHg –terutama jika terdapat tanda-tanda kerusakan target
organ- harus ditunda sampai tekanan darah terkontrol dengan baik dalam beberapa hari

Riwayat Penyakit Sebelumnya


Pada riwayat preoperatif perlu ditanyakan berat ringannya dan lamanya hipertensi,
pengobatan yang sedang berlangsung, dan ada tidaknya komplikasi hipertensi. Gejala-gejala
dari iskemia miokardium, kegagalan ventrikel, perfusi serebral lemah, atau penyakit
vaskuler perifer harus diperoleh informasinya, juga catatan pasien mengenaikeluahan
dengan pengobatannya. Pertanyaan-pertanyaan mengenai nyeri dada, toleransi olahraga,
pendek nafas/ sesak (terutama sekali pada malam hari), edema, postural lightheadedness,
sinkop, amaurosis, dan claudicasia. Efek samping obat antihipertensif yang ada (Tabel 20–6)
perlu juga dikenali. Evaluasi riwayat infark miokardium sebelumnya ditanggulangi; stroke
dibahas di Bab 27.

Tabel 20–6. Efek Samping Pengobatan Antihipertensi Jangka Panjang

12
Kelas  Efek samping 
Diuretics   
  Thiazide Hypokalemia, hyponatremia, hyperglycemia, hyperuricemia,
hypomagnesemia, hyperlipidemia, hypercalcemia
  Loop Hypokalemia, hyperglycemia, hypocalcemia, hypomagnesemia, metabolic
alkalosis
  Hemat Kalium Hyperkalemia
Sympatholytics   
   -Adrenergik Bradycardia, blockade konduksi, depresi miokardium, meningkatkan tonus
blockers bronkial, sedasi, lelah, depresi
   -Adrenergik Postural hypertension, tachycardia, retensi cairan
blockers
  Central 2 -agonists Postural hypotension, sedasi, mulut kering, depresi, mengurangi pemberian
  obat anestesi, bradycardia, rebound hypertension, Coombs test positif dan
hemolytic anemia (methyldopa), hepatitis (methyldopa)
  Ganglionic blockers Postural hypotension, diarrhea, retensi cairan, depresi (reserpine)
Vasodilators   
  Calcium channels Depresi jantung, bradycardia, blockade konduksi (verapamil, diltiazem),
blockers edema perifer (nifedipine), tachycardia (nifedipine), meningkatkan blockade
nondepolarisasi neromuskuler
  ACE inhibitors1 Batuk, angioedema, reflex tachycardia, retensi cairan, disfungsi ginjal, gagal
  ginjal pada stenosis arteri renal bilateral, hyperkalemia, depresi sumsum
tulang (captopril)
  Angiotensin-receptor Hypotensi, gagal ginjal pada stenosis arteri renal bilateral, hyperkalemia
antagonists
  Direct vasodilators Reflex tachycardia, retensi cairan, sakit kepala, sistemic lupus
erythematosus-like syndrome (hydralazine), efusi pleura atau efusi perikardial
(minoxidil)
1
ACE, angiotensin-converting enzyme.
 

Pemeriksaan fisik dan Evaluasi Laboratorium


Ophthalmoscopy mungkin merupakan pemeriksaan paling bermanfaat pada pasien-
pasien hypertensi (selain dari sphygmomanometer), tetapi sayangnya itu biasanya tidak

13
dilakukan. Perubahan-perubahan yang terlihat pada pembuluh darah retinal biasanya paralel
dengan berat ringannya dan progresifitas aterosklerosis dan kerusakan pada organ lain
akibat hipertensi. S4 gallop biasanya ditemukan pada pasien dengan LVH. Temuan lain pada
pemeriksaan fisik seperti ronki pada paru-paru dan S 3 gallop adalah tanda-tanda lanjut dan
menunjukan adanya gagal jantung kongestif. Tekanan darah harus diukur pada posisi
terlentang dan berdiri. Perubahan orthostatik dapat disebabkan kekurangan volume (lihat
Bab 29), vasodilasi berlebihan, atau terapi obat simpatolitik; pemberian cairan preoperatif
dapat mencegah hipotensi yang berat setelah induksi anestesia pada pasien-pasien ini.
Meskipun bruits karotis asimptomatik biasanya tidak bermakna secara hemodinamik (lihat
Bab 27), hal ini merupakan pertanda penyakit pembuluh darah aterosklerosis yang dapat
berpengaruh pada sirkulasi koroner.. Ketika suatu bruit terdeteksi pemeriksaan Doppler pada
arteri karotis bisa dijadikan indikasii untuk mengesampingkan hambatan-hambatan
hemodinamik.
Elektrokardiogram (EKG) sering normal, tetapi pada pasien-pasien dengan riwayat
hipertensi yang lama sering menunjukkan tanda-tanda dari iskemia, kelainan konduksi,
infark yang lama, atau Hipertropi atau pelebaran ventrikel kiri. Suatu EKG yang normal
tidak lantas meniadakan penyakit arteri koroner atau LVH. Begitu pula, ukuran jantung
yang normal pada hasil foto thoraks tidak meniadakan kemungkinan hipertropi ventrikel.
Ekhokardiografi adalah suatu pemeriksaan yang lebih sensitif untuk LVH dan dapat
digunakan untuk mengevaluasi fungsi-fungsi diastolik dan systolik ventrikel pada pasien-
pasien dengan gejala gagal jantung (lihat Bab 19). Foto toraks biasanya tidak bisa
berkomentar tetapi dapat menunjukkan suatu bentuk jantung seperti sepatu boot
(kemungkinan LVH), kardiomegali, atau kongesti pembuluh darah paru.
Mengevaluasi fungsi ginjal yang terbaik dengan mengukur kadar kreatinin serum
dan nitrogen urea darah/ BUN (lihat Bab 32). Kadar elektrolit serum diperiksa pada pasien
yang mendapat diuretika atau digoksin atau mereka yang mempunyai gagal ginjal.
Hipokalemia ringan sampai moderat sering ditemukan pada pasien yang mendapat diuretik
(3–35 mEq/L) tetapi biasanya tidak menunjukan akibat yang kurang baik . Koreksi kalium
mungkin perlu dilakukan hanya pada pasien-pasien yang menunjukan gejala atau yang
mendapat digoksin (lihat Bab 28). Hipomagnesemia juga sering ditemukan dan mungkin
merupakan penyebab penting aritmia perioperatif. Hiperkalemia dapat ditemukan pada
pasien pasien –terutama dengan gangguan fungsi ginjal (lihat Bab 29)- yang mendapat
diuretik hemat kalium atau ACE inhibitor.

Premedikasi
Premedikasi mengurangi kecemasan preoperasi dan sangat dibutuhkan pada pasien-
pasien hypertensi. Hipertensi preoperasi yang ringan sampai moderat sering membaik
setelah pemberian obat anxiolitik, seperti midazolam. Obat antihipertensi preoperatif harus
dilanjutkan sampai dengan jadwal operasi dan dapat diberikan dengan seteguk air. Seperti
yang sudah diterangkan di awal bab ini, beberapa klinisi mnghentikan sementara ACE
inhibitor oleh karena adanya peningkatan insiden hipotensi intraoperasi. Agonis α2-
adrenergik pusat dapat bermanfaat sebagai ajuvan untuk premedikasi pasien-pasien
hipertensi; clonidine (0,2 mg) meningkatkan sedasi, mengurangi pemberian obat anestesi
intraoperatif, dan mengurangi hipertensi perioperatif. Sayangnya, pemberian clonidin
preoperatif berkaitan dengan hipotensi intraoperatif yang berat dan bradikardia.

MANAJEMEN INTRAOPERASI

14
Tujuan
Rencana anestesi menyeluruh untuk pasien hipertensi adalah memelihara satu batas
tekanan darah yang stabil. Pasien-pasien dengan hipertensi borderline bisa diperlakukan
sebagai pasien normotensif. Mereka yang sudah lama hipertensi atau kurang terkontrol,
bagaimanapun, telah terjadi perubahan autoregulasi aliran darah serebral; sehingga tekanan
darah rata-rata (mean lood pressure) yang lebih tinggi dibanding normal diperlukan untuk
memelihara aliran darah serebral yang cukup. Karena kebanyakan pasien-pasien dengan
hipertensi lama diasumsikan memiliki CAD dan hipertropi jantung, peningkatan tekanan
darah berlebihan tidak diharapkan. Hipertensi, terutama yang disertai takikardia, dapat
memicu atau memperburuk iskemia miokardium, disfungsi ventrikel, atau kedua-duanya.
Tekanan darah arteri biasanya dijaga supaya berada di kisaran 10–20% dari ukuran
preoperatif. Jika hipertensi (>180/120 mmHg) didapatkan preoperasi, tekanan darah arteri
harus dipertahankan pada normal tinggi (150–140/90–80 mm Hg).

Monitoring
Kebanyakan pasien hipertensi tidak memerlukan monitor khusus intraoperasi.
Monitoring langsung tekanan darah intraarterial (direct intraarterial pressure monitoring)
perlu dilakukan untuk pasien-pasien dengan perubahan tekanan darah yang lebar dan bagi
mereka yang dilakukan prosedur operasi besar sehubungan dengan perubahan yang cepat
dan bermakna pada preload dan afterload jantung. Monitoring Electrokardiografi terfokus
pada deteksi tanda-tanda iskemia. Pengeluaran urin perlu dimonitor ketat dengan kateter
urin yang terus terpasang pada pasien-pasien gagal ginjal yang sedang mengalami prosedur
operasi lebih dari 2 jam. Ketika pemantauan hemodynamic yang infasif digunakan,
penurunan kapasitas ventrikel (lihat Bab 19) sering tampak pada pasien-pasien dengan
hipertropi ventrikel; PCWP yang tinggi (12–18 mmHg) diperlukan untuk memelihara
volume pada akhir diastol ventrikel kiri dan kardiak output.

Induksi

Induksi anestesi dan intubasi endotrakheal sering merupakan periode dengan


hemodinamik tidak stabil bagi pasien-pasien hipertensi. Dengan mengabaikan tingkat
kendali tekanan darah preoperatif, banyak pasien hipertensi menampilkan respon hypotensif
yang kuat terhadap induksi anestesia, diikuti oleh respon hypertensif yang berlebihan
terhadap intubasi. Respon hipotensif saat induksi menunjukan penambahan efek depresi
sirkulasi dari obat-obat anestesi dengan obat antihipertensi.(lihat Tabel 20–6). Banyak, jika
bukan hampir semua, obat antihipertensi dan anestesi umum adalah vasolidator, mendepresi
jantung, atau kedua-duanya. Sebagai tambahan, banyak pasien hipertensi dengan penurunan
volume cairan tubuh. Obat simpatolitik juga menurunkan refleks sirkulasi yang secara
normal bersifat melindungi (lihat Bab 19), mengurangi tonus simpatis dan meningkatkan
aktivitas vagal.
25% pasien memperlihatkan tekanan darah tinggi berat setelah intubasi endotrakheal.
Lamanya laringoskopi, berhubungan dengan tingkat hipertensi, sehingga diusahakan secepat
mungkin. Selain itu, intubasi perlu dilaksanakan dengan anestesia yang dalam (dengan
syarat hipotensi dapat dihindarkan). Salah satu dari beberapa teknik yang bisa digunakan
sebelum intubasi untuk menipiskan respon hypertensi:
 Memperdalam anestesia dengan volatil yang kuat selama 5–10 min.

15
 memberikan opioid secara bolus (fentanyl, 2,5–5 μg/kg; alfentanil, 15–25 μg/kg;
sufentanil, 0,25–0,5 μg/kg; atau remifentanil, 0,5–1 μg/kg).
 Memberikan lidokain, 1,5 mg/kg intravena atau intratrachea.
 Memblokade β-adrenergik dengan esmolol, 0.3–1.5 mg/kg; propranolol, 1–3 mg;
atau labetalol, 5–20 mg.
 Menggunakan anestesi topikal pada jalan nafas (lihat Bab 5).

PEMILIHAN OBAT ANESTESI


OBAT INDUKSI
Keunggulan suatu obat hipertensi atau teknik dibanding yang lain belum jelas. Bahkan
setelah anestesia regional, pasien-pasien hipertensi sering mengalami penurunan tensi yang
besar dibanding pasien-pasien normotensi. Propofol, bariturat, benzodiazepin, dan etomidate
mempunyai keamanan yang sama untuk induksi anestesi umum pada kebanyakan pasien
hypertensi. Pemberian ketamine (tanpa disertai obat lain) merupakan kontraindikasi pada
operasi elektif, karena stimulasi simpatisnya dapat memicu hipertensi (lihat Bab 8);
Stimulasi simpatisnya ini dapat dihambat atau dihilangkankan dengan pemberian dosis kecil
obat lain secara bersamaan, khususnya suatu benzodiazepina atau propofol.

OBAT UNTUK PEMELIHARAAN (MAINTENANCE)


Anestesia bisa dilanjutkan dengan aman dengan volatil (dengan atau tanpa nitro oxida),
teknik balance (opioid + nitro oxida + pelemas otot), atau teknik intravena secara total.
Tanpa memperlihatkan teknik pemeliharaan yang digunakan, penambahan volatil atau
vasodilator intravena umumnya membuat kendali tekanan darah intraoperasi lebih
memuaskan. Vasodilasi dan depresi miokardium yang relatif cepat dan refersibel oleh
volatil menyebabkan pemberian obat dilakukan secara titrasi sehingga efeknya dapat
menghambat tekanan darah arteri. Beberapa klinisi percaya bahwa opioid, sufentanil paling
kuat dalam mensupresi sistem otonom dan mengendalikan tekanan darah.

PELEMAS OTOT
Kecuali pancuronium yang diberikan secara bolus dalam jumlah besar, setiap pelemas otot
(disebut juga neuromuscular blocking agent) dapat digunakan secara rutin. Pancuronium
menyebabkan blokade vagal dan pelepasan katekolamin oleh syaraf sehingga dapat
menimbulkan hipertensi pada pasien-pasien yang kurang terkontrol tekanan darahnya.
Ketika pancuronium diberi pelan-pelan dengan peningkatan dosis kecil, peningkatan
bermakna pada denyut jantung dan tekanan darah mungkin lebih sedikit. Selain itu,
pancuronium bermanfaat dalam mengurangi tonus vagal yang meningkat akibat pemberian
opioid atau manipulasi pembedahan. Hipotensi setelah pemberian dosis yang besar (saat
intubasi) dari tubokurarine, metocurine, atracurium, atau mivacurium (lihat Bab 9) dapat
ditekan pada pasien-pasien hipertensi.

VASOPRESOR

16
Pasien hipertensi dapat memperlihatkan respon yang meningkat terhadap katekolamin
endogen (akibat stimulasi saat intubsi atau pembedahan) dan pemberian agonis simpatis
secara eksogen. Jika suatu vasopresor diperlukan untuk mengatasi hipotensi yang hebat,
suatu dosis yang kecil dari obat yang bekerja langsung seperti phenylephrine ( 25–50 μg)
bisa lebih baik dibanding obat yang bekerja tidak langsung. Meskipun begitu, dosis kecil
efedrin (5–10 mg) lebih sesuai ketika tonus vagal meningkat. Pada pasien yang mendapat
obat simpatolitik sebelum operasi dapat memperlihatkan respon yang berkurang terhadap
vasopresor, terutama efedrin; untuk itu pemberian dosis kecil epinefrin yang jarang, 2–5 μg,
mungkin diperlukan. Pemberian epinefrin dengan dosis tidak tepat pada pasien hipertensi
dapat menyebabkan morbiditas kardiovaskuler yang bermakna.

Hipertensi Intraoperasi
Hipertensi intra operasi yang tidak berespon dengan memperdalam anestesi (terutama
dengan volatil) dapat diatasi dengan beberapa obat parenteral (Tabel 20–7). Pastikan bahwa
penyebab yang reversibel –seperti kedalaman anestesi yang tidak adekuat, hipoxemia, atau
hipecapnia sudah disingkirkankan sebelum mulai mengobati hipertensi. Pemilihan suatu
obat hipotensi (lihat Bab 13) bergantung pada berat ringannya, akut tidaknya, dan penyebab
hipertensi, fungsi awal ventrikel, denyut jantung, dan adanya penyakit paru-paru yang
bronchospastik. Penghambat β-adrenergik, sendirian atau sebagai tambahan/suplemen
adalah suatu pilihan yang baik untuk pasien dengan fungsi ventrikel baik dan peningkatan
denyut jantung tetapi kontraindikasi untuk mereka dengan penyakit bronchospastik.
Nicardipine bisa lebih baik untuk pasien-pasien dengan penyakit bronchospastik. Refleks
takikardi setelah pemberian nifedipine bawah lidah dihubungkan dengan iskemia
miokardium dan efek antihipertensinya memiliki onset yang lambat. Nitroprusside masih
merupakan obat paling efektif dan cepat untuk pengobatan intraoperasi terhadap hipertensi
yang moderat sampai berat. Nitrogliserin mungkin kurang efektif tetapi juga bermanfaat
dalam mengobati atau mencegah iskemia miokardium. Fenoldopam juga suatu obat yang
bermanfaat dan dapat memperbaiki atau memelihara fungsi ginjal. Hydralazine membantu
pengendalian tekanan darah tetapi juga mempunyai onset yang lambat dan dapat
menyebablkan refleks takikardia. Terakhir yang jarang terlihat labetalol oleh karena
memiliki kombinasi penghambat α dan β-adrenergik.

Tabel 20–7. Obat Parenteral untuk Pengobatan Cepat Hipertensi

17
Obat Dosis Onset Durasi
Nitroprusside 0.5–10 g/kg/min 30–60 1–5 min
Nitroglycerin 0.5–10 g/kg/min 1 min 3–5 min
Esmolol 0.5 mg/kg lebih dari 1 min; 50–300 g/kg/min 1 min 12–20 min
Labetalol 5–20 mg 1–2 min 4–8 jam
Propranolol 1–3 mg 1–2 min 4–6 jam
Trimethaphan 1–6 mg/min 1–3 min 10–30 min
Phentolamine 1–5 mg 1–10 min 20–40 min
Diazoxide 1–3 mg/kg perlahan 2–10 min 4–6 jam
Hydralazine 5–20 mg 5–20 min 4–8 jam
Nifedipine (sublingual) 10 mg 5–10 min 4 jam
Methyldopa 250–1000 mg 2–3 jam 6–12 jam
Nicardipine 0.25–0.5 mg 1–5 min 3–4 jam
5–15 mg/h
Enalaprilat 0.625–1.25 mg 6–15 min 4–6 jam
Fenoldopam 0.1–1.6 mg/kg/min 5 min 5 min

MANAJEMEN POSTOPERASI
Hipertensi sesudah operasi (lihat Bab 48) biasa terjadi dan harus diantisipasi pada
pasien-pasien yang tensinya kurang terkontrol. Monitoring ketat tekanan darah harus
dilanjutkan di ruang pemulihan dan periode awal sesudah operasi. Pada iskemia miokardium
dan gagal jantung kongestif, dengan peningkatan tekanan darah yang menetap dapat
berperan untuk pembentukan hematoma dan pecahnya pembuluh darah pada tempat jahitan.
Hipertensi pada periode penyembuhan sering disebabkan banyak faktor dan
diperkuat oleh kelainan pernapasan, nyeri, kelebihan volume cairan, atau distensi kandung
kencing (lihat Bab 48). Penyebab yang menyokong harus dikoreksi dan obat antihipertensi
parenteral diberikan jika perlu. Labetalol intravena terutama bermanfaat dalam
mengendalikan tekanan darah tinggi dan takikardia, sedangkan nicardipine bermanfaat
dalam mengendalikan tekanan darah pada kondisi denyut jantung yang lambat, terutama jika
dicurigai iskemia myokard atau terdapat bronkospasme. Ketika pasien mulai boleh makan
per oral, pengobatan yang diberikan sebelum operasi harus dimulai kembali.

PENYAKIT JANTUNG ISKEMIK

Pertimbangan preoperasi

18
Iskemia miokardium ditandai oleh kebutuhan oksigen untuk metabolisme melebihi
penyediaan oksigen (lihat Bab 19). Oleh karena itu iskemia dapat diakibatkan oleh
peningkatan kebutuhan metabolisme jantung, pengurangan pasokan oksigen jantung, atau
kombinasi keduanya. Penyebabnya termasuk hipertensi berat atau takikardia (terutama pada
hipertropi ventrikel); vasospasme atau obstruksi anatomi arteri coroner; hipotensi yang
berat, hipoxemia, atau anemia; dan stenosis atau regurgitasi aorta yang berat.
Sampai saat ini penyebab iskemia miokardium yang paling sering adalah
atherosclerosis arteri koroner. CAD bertanggung jawab atas lebih dari sepertiga kematian
pada masyarakat Barat dan penyebab utama morbiditas dan mortalitas perioperatif. Insidensi
keseluruhan dari CAD pada pasien bedah diperkirakan antara 5% sampai 10%. Faktor risiko
mayor untuk CAD termasuk hiperlipidemia, hipertensi, kencing manis, perokok, usia lanjut,
laki-laki, dan ada riwayat sakit serupa pada keluarga. Yang termasuk faktor risiko lainnya
adalah obesitas, terdapat riwayat penyakit pembuluh darah cerebrovaskuler atau perifer,
menopause, penggunaan kontrasepsi estrogen oral yang tinggi (pada wanita perokok), pola
hidup yang lebih banyak duduk/jarang bergerak, dan pola perilaku yang menyebabkan
mudah mendapat serangan jantung. Pada usia 65 tahun, insidensi CAD kurang lebih 37%
pada pria dibandingkan dengan 18% untuk wanita.
Manifestasi klinik CAD dapat berupa gejala-gejala dari nekrosis myokard (infark),
iskemia (biasanya angina), arrhythmias (termasuk meninggal tiba-tiba), atau disfungsi
ventrikel (gagal jantung kongestif). Ketika gejala-gejala dari gagal jantung kongestif
mendominasi, istilah kardiomyopati iskemik sering digunakan. Tiga sindroma klinis yang
utama dikenal: MI, unstable angina, dan stable angina kronis. Akut MI dibahas di Bab 49.

Unstable Angina
Unstable angina didefinisikan sebagai (1) satu peningkatan dalam beratnya penyakit,
frekuensi (lebih dari tiga kali per hari), atau lamanya serangan (angina crescendo), (2)
angina saat istirahat, atau (3) serangan baru angina (dalam 2 bulan terakhir) dengan episode
yang berat atau sering (lebih dari tiga kali per hari). Episode angina sering tidak
berhubungan dengan faktor pencetus yang ada. Unstable angina dapat juga terjadi setelah
MI atau dipercepat oleh kondisi-kondisi medis yang tidak berhubungan dengan jantung
(termasuk anemia yang berat, demam, infeksi, thyrotoxicosis, hypoxemia, dan distress
emosional) pada pasien-pasien yang sebelumnya stabil.
Unstable angina, terutama yang berkaitan dengan perubahan signifikan dari segmen-
ST saat istirahat, biasanya mencerminkan penyakit koroner yang berat dan sering
mendahului MI. Rusaknya plaque dengan agregasi trombosit atau thrombus dan vasospasm
adalah proses patologis yang sering berkaitan. Stenosis yang kritis pada satu atau lebih arteri
koroner utama ada pada lebih dari 80% pasien. Pasien dengan unstable angina perlu datang
ke unit peraatan koroner untuk evaluasi dan pengobatan. Antikoagulasi dengan heparin
biasanya dimulai, bersama-sama dengan aspirin, nitrogliserin intravena, β-blockers, dan,
mungkin, Ca chanel blockers. Jika iskemia itu tidak membaik dalam 24–48 jam, pasien
dievaluasi dengan angiografi koroner untuk angioplasti atau revaskulerisasi dengan
pembedahan darurat.

Stable Angina Kronis

19
Nyeri dada paling sering dirasakan substernal, exersional, menyebar ke leher atau
tangan, dan berkurang dengan istirahat atau nitrogliserin. Variasi yang biasa ditemukan,
nyeri di ulu hati (epigastrium, di punggung, atau leher atau nafas pendek yang temporer dari
disfungsi ventrikel (anginal equivalen). Iskemia non exersional dan silent iskemia
(asimptomatik) dikenali sebagai kejadian-kejadian biasa yang wajar. Insidensi silent iskemia
relatif tinggi pada diabetes.
Gejala-gejala biasanya tidak muncul sampai lesi atherosklerotik menyebabkan oklusi
sebesar 50–75% pada sirkulasi koroner. Ketika suatu segmen yang stenosis mencapai 70%
oklusi, dilatasi kompensasi yang maksimum biasanya terjadi di bagian distal: aliran darah
biasanya cukup adekuat saat istirahat tetapi menjadi tidak adekuat saat kebutuhan metabolik
meningkat. Suplai darah kolateral yang luas membuat beberapa pasien relatif asimptomatik
kendati penyakit yang berat. Vasospasme koroner juga menyebabkan iskemia transmural
yang temporer dalam beberapa pasien; 90% dari episode vasospastik terjadi pada lesi
stenosis yang ada sebelumnya pada pembulah darah epikardial dan sering dipercepat oleh
bermacam faktor-faktor, termasuk kekecewaan emosional dan hiperventilasi (angina
Prinzmetal). Spasme koroner paling sering ditemukan pada pasien yang mempunyai angina
dengan bermacam-macam tingkat aktivitas atau dengan stres emosional (variabel-treshold);
sisanya angina exertional yang klasik (fixed-treshold).
Prognosis pasien dengan CAD berkaitan dengan jumlah dan beratnya obstruksi
koroner seperti juga fungsi ventrikel.

Pengobatan Penyakit Jantung Iskemik


Pendekatan yang menyeluruh dalam mengobati pasien-pasien dengan penyakit jantung
iskemik meliputi 5 hal :
 Koreksi faktor-faktor risiko jantung koroner dengan harapan akan memperlambat
perkembangan penyakit.
 Modifikasi gaya hidup pasien itu untuk menghilangkan stres dan memperbaiki toleransi
aktivitas.
 Koreksi penyulit kondisi medis yang dapat memperburuk iskemia, seperti hipertensi,
anemia, hipoxemia, tirotoxikosis, demam, infeksi, atau efek samping obat.
 Manipulasi farmakologis terhadap hubungan suplai dan kebutuhan oksigen dari
miokardium (lihat Bab 19).
 Koreksi lesi koroner dengan intervensi koroner perkutaneus atau PCI (angioplasty
dengan atau tanpa stent, atau atherectomy) atau operasi bypass arteri koroner.

Tiga pendekatan yang terakhir berkaitan langsung dengan ahli anestesi. Prinsip-prinsip
yang sama harus diterapkan dalam perawatan pasien-pasien ini baik di ruang operasi
maupun di unit perawatan intensif (ICU).
Obat-obat farmakologi yang sering digunakan adalah nitrat, β-blocker, dan Calcium
chanel bloker. Obat-obat ini juga mempunyai efek sirkulasiyang kuat, yang dibandingkan di
Tabel 20–8. semua obat ini dapat digunakan untuk angina yang ringan. Calcium chanel
bloker adalah obat pilihan untuk pasien-pasien dengan gejala predominannya angina
vasospastik, sedangkan penghambat β-adrenergik biasanya digunakan pada pasien dengan
exertional angina dan fungsi ventrikel yang adekuat. Nitrat baik untuk kedua jenis angina.

20
Tabel 20–8. Perbandingan Obat-obat Antiangina. 1

Calcium Channel Blockers


Nifedipine
Parameter Kardiak Nitrates -Blockers
Verapamil Nicardipine Diltiazem
Nimodipine
Preload — — — —/
Afterload —/
Contractility — —
SA node automaticity /— /—
AV conduction — —
Vasodilation
  Coronary —/
  Sistemic —/
1
SA, sinoatrial; AV, atrioventricular; , peningkatan; —, tidak berubah; , penurunan.

NITRAT
Nitrat merelaksasi semua otot polos pembuluh darah tetapi efeknya terhadap
pembuluh darah vena lebih besar daripada arteri. Turunnya tonus vena dan berkurangnya
venous return ke jantung (preload jantung) mengurangi tegangan dinding dan afterload. Efek
ini cenderung untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung. Efek utama dilatasi vena
menjadikan nitrat obat yang baik ketika gagal jantung kongestif juga ditemukan.
Hal yang sama pentingnya, nitrat mendilatasi arteri koroner. Walaupun tingkat
dilatasinya kecil pada lokasi yang stenosis namun cukup untuk meningkatkan aliran darah,
karena aliran darah berbanding lurus dengan radius pangkat 4. Vasodilatasi koroner karena
pengaruh nitrat diharapkan dapat meningkatkan aliran darah subendocardial pada daerah
yang iskemik. Redistribusi yang baik dari aliran darah koroner ke area yang iskemik
tergantung pada adanya kolateral pada sirkulasi koroner.
Nitrat dapat digunakan baik untuk pengobatan iskemia maupun profilaksis terhadap
episode angina yang sering. Tidak seperti β-bloker dan calcium chanel bloker, nitrat tidak
mempunyai efek inotropi negatif – siatu kondisi yang diinginkan pada disfungsi ventrikel..
Nitrogliserin intravena dapat juga digunakan untuk anestesia hipotensi yang terkontrol (lihat
Bab 13).

CALCIUM CHANNEL BLOCKERS


Efek dan penggunaan calcium chanel bloker yang paling sering digunakan
diperlihatkan pada tabel 20–8 dan 20–9. Calcium chanel bloker mengurangi kebutuhan
oksigen jantung dengan mengurangi afterload jantung dan meningkatkan penyediaan

21
oksigen dengan meningkatkan aliran darah (vasodilasi koroner). Verapamil dan diltiazem
juga mengurangi kebutuhan oksigen dengan menurunkan denyut jantung.
Tabel 20–9. Perbandingan Calcium Channel Blocker.

Clinical Use
1
Agent Route Dosage Half-life Angina Hypertension Serebral Supraventricular
Vasospasm Tachycardia
Verapamil PO 40–240 mg 5 h + + +

  IV 5–15 mg 5h + +

Nifedipine PO 30–180 mg 2 h + +

  SL 10 mg 2h + +

Diltiazem PO 30–60 mg 4h + + +

  IV 0.25–0.35 4h + +
mg/kg

Nicardipine PO 60–120 mg 2–4 h + +

  IV 0.25–0.5 2–4 h + +
mg/kg

Nimodipine PO 240 mg 2h +

Bepridil2 PO 200–400 24 h + +
  mg

Isradipine PO 2.5–5.0 mg 8 h +

Felodipine PO 5–20 mg 9h +

Amlodipine PO 2.5–10 mg 30–50 h + +


1
Total dosis oral perhari dibagi menjadi tiga dosis kecuali pada keadaan tertentu.
2
Juga memiliki komponen antiaritmia.

Efek kuat Nifedipine pada tekanan darah sistemik dapat memicu hipotensi, refleks
takikardi, atau keduanya; sediaan onset cepatnya (misalnya, sublingual) telah dimanfaatkan
untuk MI pada beberapa pasien. Kecenderungannya untuk menurunkan afterload umumnya
menyeimbangkan berbagai efek inotropik negatif. Nifedipin lepas lambat mempunyai reflek
takikardi yang lebih sedikit dan lebih cocok dibanding obat lain untuk pasien-pasien dengan
disfungsi ventrikel. Amlodipine, yang mempunyai profil serupa dengan nifedipine tetapi
hampir tidak ada pengaruh terhadap denyut jantung, juga digunakan pada pasien dengan
disfungsi ventrikel. Sebaliknya, verapamil dan diltiazem mempunyai efek lebih besar pada
kontraktilitas jantung dan konduksi antrioventrikular (AV) oleh karenanya harus digunakan
dengan hati-hati, pada pasien-pasien dengan disfungsi ventrikel, kelainan konduksi, atau
bradiaritmia. Diltiazem lebih ditoleransi dibanding verapamil pada pasien dengan fungsi
ventrikel yang terganggu. Nicardipine dan nimodipine umumnya mempunyai efek yang
sama seperti nifedipine; nimodipine terutama digunakan untuk mencegah vasospasm

22
serebral setelah perdarahan subarachnoid, sedangkan nicardipine digunakan sebagai
vasodilator arteri yang diberikan intravena.
Calcium chanel bloker dapat berinteraksi dengan obat-obat anestesi. Semua obat
memperkuat obat pelumpuh otot baik depolarizing maupun nondepolarizing dan efek
sirkulasi dari obat-obat volatile. Verapamil dapat mengurangi pemberian obat anestesi.
Verapamil dan diltiazem, keduanya dapat memperkuat efek depresi obat anestesi volatile
terhadap kontraktilitas jantung dan konduksi pada AV node. Nifedipine dan obat sejenis
dapat memperkuat vasodilasi sistemik obat volatile dan obat-obat intravena.

OBAT-OBAT PENGHAMBAT -ADRENERGIK


Obat-obat ini menurunkan kebutuhan oksigen jantung dengan mengurangi denyut
jantung dan kontraktilitasnya dan, dalam beberapa hal, mengurangi afterload (melalui efek
antihipertensinya). Blokade optimal menghasilkan denyut jantung istirahat antara 50 dan 60
x/min dan mencegah peningkatan karena aktifitas OR(<20 x/min meningkat selama OR).
Obat –obat yang tersedia dibedakan berdasarkan selektifitasnya terhadap reseptor, aktivitas
simpatomimetik intrinsik (agonis parsial), dan kemampuan menjaga stabilitas membran
(Tabel 20–10). Stabilisasi membran, sering digambarkan sebagai suatu pengaruh seperti
kuinidina, mengakibatkan aktivitas antiaritmia. Obat-obat dengan simpatomimetik intrinsik
lebih diterima oleh pasien-pasien dengan disfungsi ventrikel ringan sampai moderat. Dosis
rendah β-blockers telah menunjukan keuntungan pada beberapa pasien dengan gagal
jantung kongestif yang kompensata. Penghambat reseptor-β non selektif kontraindikasi
untuk pasien dengan disfungsi ventrikel, kelainan konduksi, atau penyakit bronkospastik.
Blokade reseptor β2-adrenergik juga dapat menutupi gejala hipoglikemi pada pasien diabetes
yang sadar, memperlambat pemulihan metabolik dari hipoglikemi, dan menghambat
penanganan kadar kalium yang besar (lihat Bab 28). Penghambat yang tak selektif dapat
juga secara teoritis memperhebat vasospasme koroner pada beberapa pasien sehingga
kontraindikasi pada pasien dengan angina vasospastik. Obat yang kardioselektif (specific
β1-receptor) masih dapat digunakan dengan hati-hati pada pasien-pasien dengan jalan nafas
yang reaktif, karena selektifitasnya tergantung dosis. Asebutolol mungkin paling bermanfaat
pada pasien-pasien dengan penyakit jalan nafas bronkospastik, karena mempunyai β1-
selektif dan aktivitas simpatomimetik intrinsik.

23
Tabel 20–10. Perbandingan obat Penghambat -Adrenergik.

1-Receptor -Receptor Membrane


Agent Half-life Sympathomimetic
Selectivity Blockade Stabilizing
Acebutolol + 2–4 h + +
Atenolol ++ 5–9 h
Betaxlol ++ 14–22 h
Esmolol ++ 9 min
Metoprolol ++ 3–4 h ±
Bisoprolol + 9–12 h
Oxprenolol 1–2 h + +
Alprenolol 2–3 h + +
Pindolol 3–4 h ++ ±
Penbutolol 5h + +
Carteolol 6h +
Labetalol 4–8 h + ±
Propranolol 3–6 h ++
Timolol 3–5 h
1
Sotalol 5–13 h
Nadolol 10–24 h
Carvedilol 6–8 h + ±
1
Juga memeiliki komponen antiaritmia yang unik.l

OBAT-OBAT LAIN
ACE inhibitor terbukti memperpanjang daya tahan pasien-pasien dengan gagal jantung
kongestif atau disfungsi ventrikel kiri. Digoksin bermanfaat untuk pasien-pasien dengan
atrial fibrilasi dengan respon ventrikular cepat (rapid ventrikular respon) dan pasien dengan
kardiomegali, terutama jika terdapat gejala gagal jantung. Pengobatan dengan aspirin yang
lama mengurangi kejadian serangan jantung bahkan pada pasien-pasien dengan CAD yang
asimptomatik. Pengobatan antiaritmia pada pasien-pasien dengan ectopy ventrikel kompeks
yang mempunyai CAD dan disfungsi nemtrikel kiri harus dipandu dengan pemeriksaan
elektrofisiologi. Pasien-pasien yang mudah terjadi ventrikel takikardi atau ventrikel fibrilasi
mungkin dapat menggunakan cardioverter-defibrillator internal yang otomatis (Autumatic
Internal Cardioverter-Defibrilator, ICD). Pengobatan ektopi ventrikel (kecuali takikardi
ventrikel) pada pasien-pasien dengan fungsi ventrikel yang baik tidak memperbaiki daya
tahan dan meningkatkan kematian. Sebaliknya, ICD terbukti memperbaiki daya tahan pada
pasien-pasien dengan kardiomiopati lanjut (Fraksi ejeksi <30%) meskipun tidak didapatkan
aritmia

TERAPI KOMBINASI
Angina yang moderat sampai berat sering memerlukan pengobatan kombinasi dengan dua
atau ketiga kelompok obat. Pasien dengan disfungsi ventrikel mungkin tidak dapat
dikombinasikan dengan efek inotropik negatif dari β-bloker dan calcium chanel bloker

24
bersama-sama; ACE inhibitor lebih diterima dan memperbaiki daya tahan. Efek tambahan
dari β-bloker dan calcium chanel bloker pada AV node dapat memicu blok jantung pada
pasien-pasien yang peka. Kombinasi amlodipine dan nitrat kerja panjang umumnya diterima
baik oleh pasien dengan disfungsi ventrikel tetapi dapat menyebabkan vasodilasi berlebihan
pada beberapa pasien.

MANAJEMEN PREOPERASI

Pentingnya penyakit jantung iskemik –terutama riwayat IM- sebagai faktor risiko
kesakitan dan kematian perioperasi telah dibahas dibagian sebelumnya. Penelitian terbanyak
menunjukan hasil akhir perioperasi berkaitan dengan beratnya penyakit ini dan fungsi
ventrikel. Pasien-pasien dengan penyakit arteri koroner yang luas (tiga pembuluh darah atau
cabang kiri utama), mempunyai riwayat IM (infark miokardium), atau kelainan fungsi
ventrikel merupakan risiko yang terbesar untuk timbulnya komplikasi jantung. Besarnya
risiko sama saja baik IM yang transmural ataupun subendocardial. Risiko perioperatif
setelah timbulnya IM tergantung dengan jumlah sisa iskemia yang menetap (menambah
risiko jantung untuk terjadinya infark) Meskipun kebanyakan kejadian IM perioperasi yang
dilaporkan adlah infark yang non Q-wave, angka kematian untuk infark perioperasi pada
beberapa penelitian lama mendekati 50%. Gambar 20–2 menunjukan Guidelines dari
American College of Cardiology/American Heart Association Task Force untuk manajemen
preoperasi bagi pasien yang mempunyai prediksi klinik mayor terhadapa peningkatan risiko
kardiovaskuler (Tabel 20-1) Penelitian menunjukan pemeriksaan preoperasi bagi pasien-
pasien risiko tinggi dengan revaskulerisasi pembedahan (bypass koroner) sebelum operasi
aorta abdominal, meningkatkan daya tahan jangka pendek dan panjang. Data serupa pada
PCI preoperasi untuk mengurangi komplikasi kardiovaskuler pada pasien risiko tinggi
adalah lemah. Prosedur operasi harus ditunda paling sedikit 2 minggu setelah PCI untuk
mencegah perdarahan posoperasi karena pasien mendapat pengobatan antiplatelet untuk
mencegah trombosis stent.
Stable angina yang kronis (ringan sampai moderat) tidak meningkakan risiko
perioperasi. Hal yang sama juga pada riwayat operasi bypass arteri koroner sebelumnya
atau angioplasti koroner saja tidak meningkatkan risiko perioperasi. Skema manajemen
sederhana untuk pasien dengan prediksi intermediat dan minor ditampilkan pada Tabel 20-2
dan gambar 20-1. Penghambat reseptor β terbukti mengurangi kematian perioperasi dan
insidensi komplikasi kardiovaskuler postoperasi.

25
Gambar 20–2.

Pengelolaan pasien-pasien dengan prediksi mayor untuk peningkatan risiko kardiovaskuler periopersi. Dengan catatan
pemeriksaan dilakukan hanya jika hasilnya bermanfaat untuk perawatan pasien.
(Dari ACC/AHA Guideline Update on Perioperatif Cardiovaskuler Evaluation for Noncardiac Surgery.)

Anamnesa
Anamnesa adalah hal yang penting pada pasien dengan penyakit jantung iskemik.
Pertanyaan harus mencakup gejala-gejala, Pengobatan yan sedang berlangsung dan yang
sudah, komplikasi dan hasil pemeriksaan sebelumnya. Informasi ini biasanya cukup untuk
memperkirakan beratnya penyakit dan fungsi ventrikel.
Gejala paling penting yang harus diketahui meliputi nyeri dada, sesak nafas,
toleransi aktifitas OR yang kurang, sinkope, atau hampir sinkope. Hubungan antara gejala
dan tingkat aktivitas harus ditegakkan. Aktivitas harus diuraikan dalam kegiatan sehari-hari
seperti berjalan atau menaiki tangga. Kemampuan untuk melakukan pekerjaan ringan di
rumah atau menaiki satu anak tangga dengan lambat sebanding dengan 4 metabolic
equivalent (METs) dan ini merupakan salah satu kriteria penting untuk menentukan perlu
tidaknya pemeriksaan jantung noninvasif (Gambar 20-1 dan abel 20-2). Pasien-pasien
dengan penyakit yang berat mungkin relatif tidak bergejala (asimptomatik) disebabkan gaya
hidup yang terlalu banyak duduk. Pasien diabetes cenderung untuk silent iskemia (Bab 36).

26
Gambaran nyeri dada pada pasien diperkirakan kebanyakan karena vasospasme (Variable-
treshold angina). Mudah lelah dan nafas pendek menunjukan gangguan fungsi ventrikel.
Riwayat angina unstable atau IM harus meliputi waktu terjadinya dan apakah disertai
dengan aritmia, gangguan konduksi, atau gagal jantung. Pasien dengan infark anterior
sebelumnya cenderung mempunyai penyakit lebih berat daripada yang infark inferior
sebelumnya. Penentuan lokasi dari area iskemia adalah penting berdasarkan lead
elektrokardiografi pada monitor intraoperasi. Aritmia dan kelainan konduksi biasanya
ditemukan pada pasien dengan riwayat infark sebelumnya dan fungsi ventrikel yang buruk.
Kelompok pasien ini sering menggunakan ICD.

Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium Rutin


Pemeriksaan pasien CAD serupa dengan pasien hipertensi. Memang, keduanya
sering ditemukan bersamaan pada pasien yang sama. Pemeriksaan laboratorium untuk
pasien yang mempunyai riwayat angina unstable yang baru dan akan dilakukan operasi
emergensi harus meliputi kadar serum enzim jantung. Kadar serum dari troponin spesifik
jantung (T atau I), kreatine kinase (isoenzim MB), dan laktat dehidrogenase (isoenzim tipe
1) berguna untuk menyingkirkan IM. Digoksin serum dan kadar antiaritmia lainnya juga
berguna untuk menyingkirkan toksisitas obat.
EKG awal normal pada 25-50% pasien dengan CAD tapi tidak jika sebelumnya
terdapat IM. Segmen ST yang datar dikaitakan dengan penyakit jantung koroner; Segmen
ST yang normal secara bertahap melekuk mulai dari komplek QRS dan gelombang T.
Tanda iskemik pada EKG sering tampak jelas hanya selama nyeri dada. Kelainan yang
sering timbul pada kondisi awal adalah Segmen ST non spesifik dan perubahan gelombang
T. Infark yang terjadi sebelumnya sering ditandai dengan gelombang Q atau tidak adanya
gelombang R pada lead yang terdekat dengan infark. AV blok derajat 1, bundle branch
block atau hemiblok dapt ditemukan. Elevasi segmen ST yang persisten setelah IM
seringkali menunjukan adanya aneurisma ventrikel kiri. Koreksi QT interval yang
memanjang (QTc > 0,44) mencerminkan adanya iskemia, keracunan obat (biasanya obat
antiaritmia kelas 1a, antidepresan, atau penotiazine), kelainan elektrolit (hipokalemia atau
hipomagnesemia), disfungsi otonom, prolap katup mitral, atau yang lebih jarang, kelainan
kongenital. Pasien-pasien dengan interval QT memanjang mempunyai risiko terjadinya
aritmia ventrikel –terutama takikardi ventrikel polimorfik (torsade de pointes), yang dapat
mengawali timbulnya fibrilasi ventrikel. Interval QT yang memanjang menunjukan
pemanjangan yang tidak sama dari repolarisasi ventrikel dan pasien cenderung memasuki
fenomena reentri (lihat Bab 19). Operasi harus ditunda sampai keracunan obat dan
ketidakseimbangan elektrolit dapat diatasi. Kebalikan dari aritmia ventrikel polimorfik
dengan interval QT yang normal, yang berespon dengan obat antiaritmia konvensional (lihat
Bab 19 dan 47), takiaritmia polimorfik dengan interval QT yang memanjang biasanya
mempunyai respon yang baik terhadap pacing atau magnesium. Psien dengan pemanjangan
kongenital biasanya memebrikan respon terhadap pemberian penghambat β-adrenergik.
Blokade ganglion stelata kiri (lihat Bab 18) juga efektif dan memebrikan kesan
ketidakseimbangan otonom berperan penting pada kelompok pasien ini.
Foto toraks merupakan pemeriksaan skreening yang berguna untuk menyingkirkan
kardiomegali atau kongesti pembuluh darah paru akibat disfungsi ventrikel, Walupun
jarang, kalsifikasi koroner , aorta atau katup aorta dapat terlihat.

27
Pemeriksaan khusus

Saat digunakan sebagai pemeriksaan skreening pada masyarakat umum, noninvasive


stress test mempunyai kemampuan prediksi yang lemah pada pasien normal, tetapi cukup
dapat dipercaya pada pasien dengan perkitraan penyakit jantung koroner (dalil Bayes).
Interpretasi preoperasi yang benar terhadap pemeriksaan ini adalah penting, terutama pada
pasien dengan perkiraan CAD. Holter monitoring, excercise elektrokardiografi, skan
perfusi miokardium, dan ekokardiografi adalah penting dalam menentukan risiko preoperasi
dan kebutuhan akan angiografi koroner. Tetapi pemeriksaan ini hanya diindikasikan jika
hasilnya dapat berguna untuk perawatan pasien.

HOLTER MONITORING
Memonitor elektrokadiografi yang dapat dibawa pasien secara kontinyu (holter) berguna
dalam mengevaluasi aritmia, pengobatan dengan antiaritmia, dan berat serta frekuensi
episode iskemik. Episode iskemik yang tenang/silent (asimptomaik) sering ditemukan pada
pasien dengan CAD. Lebih dari itu, kejadian preoperasi dari episode iskemik yang sering
pada holter monitoring berkaitan dengan iskemia intraoperasi dan postoperasi. Holter
monitoring dapat menjadi pemeriksaan skrining yang baik sebab mempunyai nilai prediksi
negatif yang sangant baik untuk komplikasi jantung postoperasi.

EXERCISE ELECTROCARDIOGRAPHY
Kegunaan pemeriksaan ini terbatas pada pasien dengan kelainan awal pada segmen ST dan
mereka yang tidak bisa meningkatkan denyut jantungnya (>85% dari perkiraan maksimal)
disebabkan katrena lelah, sesak dan pengobatan. Sensitivitasnya 65 % dan spesifisitasnya
90 %. Pemeriksaan paling sensitif (85 %) pada pasien dengan CAD tiga pembuluh darah
atau bagian kiri. Penyakit yang terbatas pada arteri cicumflexy kiri juga dapat keliru sebab
iskemia pada daerah ini tidak tampak jelas pada EKG permukaan yang standar.
Pemeriksaan yang normal tidak perlu disingkirkan tapi mungkin bukan penyakit yang berat.
Tingkat depresi segmen ST , bentuk dan berat ringannya, waktu timbulnya saat
pemeriksaan, dan saat kembali normal adalah hal yang penting. Respon iskemik
miokardium pada aktivitas yang ringan menunjukan peningkatan risiko yang signifikan
akan komplikasi preoperasi dan serangan jantung jangka panjang. Hasil penting lainnya
meliputi perubahan tekanan darah dan kejadian aritmia. Iskemia kemungkinan merupakan
tanda adanya ketidakstabilan elektrik pada sel jantung. Faktor-faktor yang berkaitan dengan
penyakit pembuluh darah yang berat dapat dilihat pada tabel 20-11.
Tabel 20–11. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Severe
Multivessel Disease selama Exercise Electrocardiography.

ST depression horizontal atau down-sloping > 2 mm


Early onset dari ST depression dengan beban kerja yang ringan
ST depression yang persisten setelah aktivitas OR > 5 min
Penurunan ( 10 mm Hg) Tekanan darah selama aktivitas OR
Gagal mencapai denyut jantung maksimum > 70% dari prediksi

28
Disrithmia ventrikel yang sering atau komplek pada denut jantung yang lambat

MIOKARDIUM PERFUSION SCANS


Gambaran perfusi jantung dengan Thalium-201 atau technetium-99m digunakan untuk
mengevaluasi pasien-psien yang tidak bisa dapat melakukan aktivitas OR (seperti penyakit
pembuluh darah perifer) atau yang mempunyai kelainan EKG yang menghalangi
interpretasi selama aktivitas OR (misalnya Left bundle branch block). Jika pasien tidak
dapat melakukan aktivitas OR, gambar diambil sebelum dan sesudah penyuntikan obat
yang mendilatasi koroner intravena, misalnya, dipyridamole atau adenosine, untuk
menghasilkan respon hiperemik seperti saat aktivitas OR. Pemeriksaan perfusi jantung
setelah aktivitas OR atau setelah injeksi dipyridamole atau adenosine mempunyai ingkat
sensitivitas tinggi tetapi sensitifitas yang agak baik hanya untuk mendeteksi CAD. Hasil
terbaik untuk mendeteksi penyakit pada dua atau tiga pembuluh darah. Hasil skan dapat
menentukan lokasi dan luas area yang mengalami iskemia atau parut dan membedakan
keduanya. Kekurangan/defek perfusi yang nampak pada fase redistribusi mennjukan
iskemia, bukan infark yang sebelumnya. Nilai prediksi negatif dari skan perfusi yang
normal kurang lebih 99%.

EKOKARDIOGRAFI
Teknik ini memberikan informasi mengenai fungsi ventrikel regional maupn global, dan
dapat dilaksnakan saat istirahat, sesudah aktivitas OR, atau dengan pemberian dobutamin.
Kelainan pergerakan dinding regional yang dapat dideteksi dan Fraksi ejeksi ventrikel kiri
yang diperoleh berkorelasi dengan hasil angiografi. Lebih dari itu, ekokardiografi dengan
stres dobutamin menjadi alat prediksi yang dpat dipercaya untuk memperkirakan kompliksi
jantung yang merugikan pada pasien yang tidak dapat melakukan aktivitas OR. Kelainan
pergerakan dinding yang baru atau memburuk setelah infus dobutamin menunjukan
iskemia yang signifikan. Pasien dengan fraksi ejeksi kurang dari 50% cenderung memiliki
penyakit yang lebih berat peningkatan kesakitan perioperasi. Dobutamin stress
ekokardiografi, bagaimanapun, dapat tidak dipercaya pada pasien dengan LBBB sebab
pergerakan septumnya dapat abnormal meskipun tanpa left anterior descending CAD pada
beberapa pasien.

ANGIOGRAFY KORONER
Angiografi koroner masih menjadi gold standar dalam mengevaluasi CAD dan berhubungan
dengan tingkat komplikasi yang rendah (<1 %). Meskipun demikian, angiografi koroner
dilakukan hanya untuk menentukan apakah pasien mendapat keuntungan dari angioplasti
koroner perkutaneus atau CABG sebelum operasi non jantung. Lokasi dan beratnya oklusi
dapat ditentukan, dan vasospasme koroner juga dapat diamati saat angiografi. Saat
mengevaluasi lesi stenosis yang terfiksasi, oklusi yang lebih besar dari 50-75 % biasanya
dianggap signifikan. Perkiraan persentase oklusi dapat menyesatkan (terutama antara 40 –
80 %) disebabkan perbedaan pengamat dan dugaan tipe oklusinya konsentrik padahal
seringnya eksentrik. Beratnya penyakit sering tampak sesuai dengan jumlah pembuluh
darah koroner yang terkena (satu, dua atau tiga pembuluh darah yang sakit) . Stenosis pada
LMCA yang signifikan merupakan hal yang kurang baik sebab mengenai hampir seluruh
ventrikel kiri. Selain itu, meskipun oklusinya sebesar 50 – 75% pada LMCA dapat
signifikan secara hemodinamik.

29
Ventrikulografi dan pengukuran tekanan intrakardiak juga meberikan informasi penting.
Yang paling penting adalah pengukuran fraksi ejeksi. Indikator disfungsi ventrikel yang
penting meliputi Fraksi ejeksi kurang dari 0,5%, Tekanan diastolik akhir ventrikel kiri (Left
ventrikel end diastolik) lebih dari 18 mmHg setelah penyuntikan kontras, indeks kardiak
kurang dari 2,2 L/m2, dan kelainan pergerakan dinding yang jelas atau multipel.

Premedikasi

Menghilangkan rasa takut, cemas dan rasa sakit pre operasi adalah sasaran yang
diinginkkan pada psien dengan CAD. Premedikasi yang memuaskan mencegah aktivasi
simpatis, yang mempunyai pengaruh merugikan terhadap keseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen jantung. Overmedikasi juga sama merugikannya, bagaimanapun harus
dihindari karena hal ini dapat mengakibatkan hipoksemia, asidosis respirasi, dan
hipotension. Benzodiazepin, dengan atau tanpa kombinasi dengan opioid, sering digunakan
(lihat Bab 8). Hasil yang memuaskan juga dicapai dengan kombinasi morfin, 0,1-0,15
mg/kg, dan skopolamin, 0,2-0,4 mg, intramuskular. Bersamaan dengan itu pemberian
oksigen via kanul nasal membantu mencegah hipoxemia setelah premedikasi. Pasien
dengan fungsi ventrikel yang buruk dan disertai penyakit paru harus dikurang dosisnya.
Pengobatan preoperasi biasanya dilanjutkan sampai waktu operasi. Obat tersebut dapat
diberikan secara oral dengan seteguk air, intramuskular, intravena, sublingual, atau
transdermal. Penghentian mendadak obat antiangina perioperasi –terutama - dapat memicu
peningkatan episode iskemia yang tiba-tiba (rebound). Selain itu, profilaksis dengan
penghambat β-adrenergik telah menunjukan pengurangan insidensi episode iskemia
intraoperasi dan postoperasi dan yang superior pencegahan dengan calcium chanel blocker.
Banyak klinisi yang memberikan nitrat intravena atau transdermal untuk pencegahan pada
pasien dengan CAD pada periode perioperasi. Meskipun hal ini secara teori
menguntungkan, pada pasien yang sebelumnya tidak mendapat pengobatan nitrat jangka
panjang dan tanpa tanda-tanda iskemik yang sedang berlangsung tidak memberikan hasil
yang baik. Absorpsi transdermal nitrogliserin tidak dapat ditentukan hasilnya pada periode
perioperasi, sementara pemberian intravena dapat menurunkan preload jantung secara
signifikan. Yang dapat menyebabkan hipotensi segera jika tidak dikompensasi dengan
cairan intravena.

MANAJEMEN INTRAOPERASI
Periode intraoperasi biasanya berhubungan dengan beberapa faktor dan peristiwa yang
dapat memberikan pengaruh buruk terhadap hubungan suplai dan kebutuhan oksigen
jantung. Aktivasi sistem simpatis mempunyai peran utama. Hipertensi dan peningkatan
kontraktilitas dapat meningkatkan kebutuhan oksigen jantung, sementara takikardi
meningkatkan kebutuhan dan mengurangi suplai (lihat Bab 19). Meskipun iskema
miokardium biasanya dikaitkan dengan takikardia, hal ini dapat terjadi tanpa gangguan
hemodinamik yang jelas.
Tujuan

Prioritas utama dalam mengelola pasien dengan penyakit jantung iskemik adalah
memelihara hubungan suplai dan kebutuhan jantung yang baik. Peningkatan denyut jantung
dan tekanan darah akibat pengaruh otonom harus dikontrol dengan anestesia yang dalam
atau dengan penghambat adrenergik, dan penurunan tekanan perfusi koroner yang besar

30
(lihat Bab 19) atau kandungan oksigen arteri harus dihindari. Meskipun batasan yang jelas
sulit diprediksi, tekanan diastol arteri seharusnya dijaga pada 50 mmHg atau diatasnya.
Tekanan diastol yang lebih tinggi lebih disukai padapasien dengan oklusi koroner derajat
tinggi. Peningkatan yang besar –seperti yang disebabkan oleh kelebihan cairan- pada
tekanan diastol akhir ventrikel kiri (levt ventricular end diastolic pressure harus dihindari
sebab meningkatkan tekanan dinding ventrikel (afterload) dan dapat mengurangi perfusi
subendokard (lihat Bab 19). Konsentrasi hemoglobin darah yang adekuat (> 9-10 mg/dl)
dan tekanan oksigen arteri (> 60 mmHg) seharusnya dijaga.
Monitoring
Monitoring tekanan darah intra arteri disarankan untuk semua pasien dengan CAD yang
berat dan disertai Faktor risiko kardiak mayor oatau multipel (lihat tabel 20-1) Central
venous pressure atau arteri pulmonary pressure harus dimonitor selama operasi yang lama
atau sulit yang melibatkan perpindahan cairan atau kehilangan darah yang besar. (lihat Bab
6). Monitoring tekanan arteri pulmonar cocok untuk pasien dengan disfungsi ventrikel yang
signifikan. (Fraksi ejeksi < 40 – 50%) Transesofageal ekokardiografi (TEE) dapat
memberikan informasi yang berguna, baik kualitatif maupun kuantitatif, mengenai
kontraktilitas dan ukuran rongga ventrikel (preload). Penting untuk dicatat bahwa meskipun
pengalaman klinik memberikan kesan sebaliknya, monitoring tekanan arteri pulmonal
ataupun monitoring TEE, keduanya belum menunjukan secara jelas peningkatan hasil pada
kebanyakan penelitian klinik.

Deteksi iskemia intraoperasi tergantung kepada pengenalan terhadap perubahan


elektrokardiografi, manifestasi hemodinamik, atau kelainan pergerakan dinding regional
pada TEE. TEE doppler juga dapat mendeteksi onset regurgitasi mitral yang disebabkan
oleh disfungsi otot papillary yang iskemik.

ELEKTROKARDIOGRAFI
Perubahan iskemik dini tidak nampak jelas dan sering dapat diabaikan. Meliputi perubahan
morfologi gelombang T, terdiri dari terbalik (inversi), bentuk seperti tenda (enting), ataiu
keduanya. (gambar 20-3). Iskemia yang lebih jelas dapat dilihat pada bentuk depresi
segmen ST. ST depresi yang down sloping (miring ke bawah) dan yang horizontal
(mendatar) lebih spesifik untuk iskemia daripada depresi yang up-sloping (miring ke atas).
Segmen ST elevasi yang baru jarang terjadi selama operasi nonjantung dan menunjukan
iskemia berat, vasospasme, atau infark. Yang perlu dicatat adalah ST elevasi minor yang
hanya terdapat di mid-precordeal lead (V3 dan V4) dapat merupakan variasi normal pada
pasien muda. Iskemia juga dapat tampak sebagai aritmia atrial atau ventrikular intraoperasi
yang sulit diterangkan atau timbulnya gangguan konduksi yang baru. Sensitivitas EKG
dalam mendeteksi iskemia tergantung jumlah lead yang dipakai untuk memonitor.
Penelitian menganjurkan bahwa lead V5, V4, II, V2 dan V3 (pada penurunan sensitifitas)
paling beguna. Idealnya paling sedikit 2 lead harus terus meneru dimonitor. Biasanya, lead
II untuk memonitor iskemia pada diniding infrior dan aritmia dan V5 untuk iskemia dinding
anterior. Lead esophagus juga dapat berguna untuk pasien dengan iskemia dinding
posterior. Ketika hanya satu chanel yang dapat dimonitor, lead V 5 yang dimodifikasi
mempunyai sensitivitas paling tinggi (lihat Bab 6).

Gambar 20–3.

31
Tanda tanda iskemia pada EKG . Gambaran iskemia dan kerusakan jaringan (injury)
(Modified and reproduced, with permission, from Schamroth L: The 12 Lead Electrocardiogram. Blackwell,
1989.)

HEMODYNAMIC MONITORING
Kelainan hemodinamik yang paling sering ditemukan selama episode iskemik adalah
hipertensi dan takikardia. Keduanya hampir selalu menjadi penyebab dibandingkan akibat
iskemia. Hipotensi adalah manifestasi akhir dan tidak menyenangkan dari disfungsi
ventrikel. Hemodinamika paling sensitif yang berkaitan dengan hal ini berasal dari
monitoring tekanan arteri pulmonal. Kemunculan yang tiba-tiba dari gelombang v yang jelas
pada wedge waveform biasanya menunjukan regurgitasi mitral akut disfungsi otot papillary
yang iskemik atau pelebaran ventrkel kiri akut.

TRANSESOFAGEAL EKOKARDIOGRAFI
TEE dapat sangat menolong dalam mendeteksi disfungsi jantung global maupun regional
dan juga fungsi valve (katup) pada pasien tertentu. Selain dari itu, deteksi kelainan
pergerakan dinding yang baru meripakan indikator yang cepat dan lebih sensitif bagi
iskemik jantung daripada EKG. Pada penelitian hewan dimana aliran darah koroner
berkurang secara bertahap, kelainan pergerakan dinding regional terjadi sebelum perubahan
EKG. Meskipun kejadian adanya kelainan intraoperasi yang baruberkaitan dengan infark
miokardium posoperasi pada beberpa penelitian, tidak semua kelainan itu merupakan
iskemik yang penting. Kelainan global maupiun regional dapat disebabkan oleh perubahan

32
denyut jantung, perubahan konduksi, preload, afterload atau perubahan kontraktilitas yang
diebabkan oleh obat. Penurunan tebal dinding saat sistolik dapat menjadi petunjuk iskemia
yang lebih dipercaya daripada hanya pergerakan dinding endocardial. Sayangnya, TEE
membutuhkan peralatan yang mahal dan perlu pengenalan teknik yang baik agar dapat
menginterpretasikan dengan benar dan cepat intra operasi.

Manajemen Internal Cardioverter-Defibrillator


Jumlah pasien dengan CAD dan ICD otomatis yang datang untuk operasi
meningkat. Pasien biasanya mempunyai penyakit kardiomiopati lanjut dan atau riwayat
takikardia atau fibrilasi ventrikel simptomatik. ICD, yang dapat bertindak sebagai
pacemaker dan juga defibrilator, menimbulkan masalah karena penggunaaan electrokauter
bedah. Hal ini dapat menyebabkan (1) ICD aktif sebab alat menginterpretasikan
elektrokauter sebagai fibrilasi ventrikel, (2) menghambat fungsi pacemaker dikarenakan
artefak kauter, (3) Peningkatan pacing rate diaktifkan oleh rate-responsif sensor. Dan (4)
Kadang-kadang atau permanen menyetel ulang untuk back up atau mode reset. Penggunaan
kauter bipolar, penempatan pad untuk grounding yang jauh dari alat ICD, dan membatasi
penggunaan kauter hanya untuk short burst membantu mengurangi kemungkinan masalah
tapi tidak menghilangkan.
Alat ICD harusnya telah diprogram off (berhenti) fungsi defibrilatornya segera
sebelum operasi diprogram nyala kembali segera setelahnya. Pad defibrilator external
digunakan dan disambungkan dengan mesin external intra operasi. Monitoring dengan hati-
hati denyut arteri dengan pulse oximetri atau bentuk gelombang arteri diperlukan untuk
memastikan pacemaker tidak dihambat dan terdapat perfusi arteri selama ada artefak EKG
dari kauter bedah. Pabrik pembuat harus dihubungi untuk menentukan metode terbaik
penaganan alat (misalnya, pemrograman ulang atau penggunaan magnet) sebelum operasi.
Sejumlah besar model ICD digunakan. Namun kebanyakan menghilangkan fungsi
antitakikardinya dalam merespon magnet dan kebiasaanya bervariasi tergantung model.

PILIHAN ANESTESIA
ANESTESIA REGIONAL
Meskipun penelitian mengenai kelebihan anestesi regional dibanding anestesia umum
kurang, anestesi regional sering menjadi pilihan yang baik prosedur operasi di ekstremitas,
perineum, dan mungkin abdomen bawah. Penurunan tekanan darah setelah anestesi spinal
atau epidural harus cepat diatasi dengan dosis kecil fenilefrin (25 – 50 μg) atau obat sejenis
untuk mengembalikan tekanan perfusi koroner sampai cairan intravena yang cukup
diberikan. Dosis kecil efedrin (5 – 10 μg) dapat diberikan saat timbul bradikardi. Hipotensi
biasanya dapat dihindari engan memberikan loading cairan sebelumnya (lihat Bab 16).
Hipotensi yang tidak berespon terhadap fenilefrin atau efedrin dapt diatasi dengan epinefrin
(2 – 10 μg).
Pasien dengan gagal jantung kongestif kompensata biasanya tahan terhadap simpatectomi
herannya tetap baik dan tidak memerlukan loading cairan preoperasi. Anestesi operasi yang
tidak sempurna atau tidak komplit atau sedasi yang berlebihan selama anestesi regional
mengalahkan tujuan pemilihan teknik regional, menimbulkan stres yang tidak perlu bagi
pasien, dan dapat memicu iskemia miokardium. Merubah anestesi regional menjadi anestesi

33
umum adalah langkah yang sesuai untuk beberapa contoh kasus dan mengoreksi beberapa
kondisi yang sering terjadi – kipertensi, takikardi, hipoksia dan hiperkapnia.

ANESTESI UMUM
Induksi
Prinsip umum yang sama seperti yang diterapkan pada pasien dengan hipertensi juga
digunakan pada sebagian pasien dengan penyakit jantung iskemik. Banyak, atau sebagian
besar, pasien dengan penyakit jantung koroner (PJK) juga memiliki hipertensi. Teknik
induksi pada pasien dengan PJK yang sedang hingga berat (’three-vessel disease, penyakit
cabang utama kiri, atau fraksi ejeksi < 40%) memerlukan beberapa modifikasi. Tindakan
induksi harus memiliki efek hwmodinamik yang minimal, menghasilkan penurunan
kesadaran yang diinginkan, dan kedalaman anestesi yang sesuai untuk mencegah respon
vasopresor terhadap tindakan intubasi (jika intubasi diperlukan); bagaimanapun, pada
beberapa kasus, hipertensi ringan hingga sedang lebih dapat ditoleransi dibandingkan
hipotensi. Terlepas dari obat anestesi yang digunakan, tujuan-tujuan ini dapat dicapai
dengan lebih konsisten dengan teknik lambat yang terkontrol. Induksi dengan obat terpilih
dalam dosis kecil yang ditambah perlahan biasanya menghindarkan penurunan tekanan
darah yang dapat terjadi pada pemberian dengan bolus besar. Titrasi dari obat terpilih, baik
untuk menghilangkan kesadaran maupun untuk mengatasi penurunan tekanan darah,
memiliki respon individual yang bervariasi. Selain itu, kedalaman anestesi yang sesuai
untuk intubasi endotrakeal juga dapat dicapai dengan depresi kardiovaskuler yang lebih
sedikit dibanding dengan depresi yang disebabkan oleh teknik bolus.
Penggunaan pelemas otot (segera setelah reflek bulu mata hilang) dan ventilasi
terkontrol menjamin oksigenasi yang adekuat selama induksi. Hiperkarbia seringkali
dikaitkan dengan hipertensi. Intubasi endotrakeal dilakukan setelah kedalaman anestesi
yang sesuai telah dicapai atau saat tekanan darah arteri mencapai batas terendah yang masih
dapat diterima. Tekanan darah, denyut jantung, dan EKG harus selalu dinilai di setiap
langkah selama tindakan induksi.
 
Pemilihan Obat Anestesi
OBAT INDUKSI
Pemilihan obat yang spesifik tidak diperlukan bagi sebagian besar pasien. Propofol,
barbiturat, etomidat, benzodiazepine, opioid, dan kombinasi dari obat-obat ini biasanya
sering digunakan. Ketamin adalah kontraindikasi relatif jika digunakan secara tunggal
karena memiliki efek simpatomimetik indirek yang dapat mempengaruhi keseimbangan
kebutuhan dan suplai oksigen miokardium. Namun jika dikombinasikan dengan
benzodiazepin atau propofol, bagaimanapun, ketamin tidak terlalu meningkatkan aktivitas
simpatis dan kemudian akan menghasilkan hemodinamik yang relatif stabil dengan depresi
miokardium yang minimal. Kombinasi  benzodiazepin dengan ketamin, sangat berguna bagi
pasien dengan fungsi ventrikel yang sangat kurang (fraksi ejeksi < 30%).
Anestesi dengan opioid dosis tinggi telah digunakan lebih dulu secara luas pada pasien
dengan disfungsi ventrikular yang bermakna. Kecuali meperidin (dalam dosis besar),
penggunaan opioid tunggal umumnya dikaitkan dengan depresi jantung yang minimal atau
bahkan tidak ada. Kombinasi dengan obat intravena lainnya (terutama benzodiazepin),
bagaimanapun, menghasilkan depresi jantung yang tergantung dosis secara bermakna.
Depresi jantung yang nyata juga dapat timbul pada induksi dengan opioid murni dosis tinggi

34
(lihat Bab 21); hal ini biasanya menunjukkan efek putus obat pada ambang tonus simpatis
yang meningkat. Pasien dengan fungsi ventrikel yang buruk seringkali tergantung pada
peningkatan tonus simpatis untuk mempertahankan curah jantung (lihat Bab 19) dan tidak
dapat mengkompensasi bahkan dengan penggunaan anestesi opioid murni dosis tinggi.
Selain itu, opioid yang digunakan sebagai obat tunggal dapat tidak berperan sebagai anestesi
secara utuh karena tingginya kejadian pasien yang sadar (recall) intraoperatif dan hipertensi
(lihat Bab 21); depresi pernafasan yang diperpanjang pada teknik ini juga tidak sesuai untuk
sebagian besar operasi non kardiak. Sebagian besar klinisi selalu menggunakan tambahan
obat intravena atau anestesi volatil dosis kecil pada tindakan anestesi dengan menggunakan
opioid.
Kontrol terhadap respon adrenergik terhadap intubasi endotrakeal telah didiskusikan di
bagian hipertensi.

OBAT PEMELIHARAAN
Pada umumnya teknik anestesi yang digunakan pada sebagian besar pasien adalah
teknik opioid-volatil. Pasien dengan fraksi ejksi kurang dari 40% dapat sangat sensitif pada
efek depresan dari obat volatil yang poten atau opioid dosis besar (bolus). Nitrit oksida,
terutama dalam penggunaan opioid, juga dapat menghasilkan depresi jantung yang
bermakna.
Efek dari obat volatil poten pada sirkulasi koroner didiskusikan di Bab 19. Seluruh
obat volatil umumnya memiliki efek menguntungkan pada keseimbangan oksigen
miokardium, lebih menurunkan kebutuhan daripada suplai. Isofluran mendilatasi arteri
intramiokardium lebih dari pembuluh epikardium yang terbesar, namun hanya sedikit bukti
yang menunjukkan bahwa isofluran menyebabkan fenomena steal intrakoroner pada pratik
klinis.
Deteksi iskemia intraoperatif  harus langsung diikuti dengan pencarian faktor
presipitasi dan inisiasi intervensi untuk mengatasinya. Oksigenasi dan kadar hematolrit (atau
hemoglobin) harus diperhatikan dan abnormalitas hemodinamik (hipotensi, hipertensi, atau
takikardi) harus diatasi. Hematokrit kurang dari 28% sering dikaitkan dengan iskemia
perioperatif  dan komplikasi postoperatif, terutama pada pasien yang menjalani operasi
vaskuler. Kegagalan untuk mengidentifikasi penyebab atau mengatasi manifestasi iskemik
merupakan indikasi untuk memulai pemberian nitrogliserin intravena. Agar optimal,
nitrogleserin biasanya membutuhkan insersi jalur arteri, dan pada beberapa pasien (yang
memiliki gangguan ventrikular sedang hingga berat), membutuhkan insersi kateter
pulmonal. Pasta nitrogliserin dapat digunakan jika nitrogliserin intravena tidak dapat
digunakan, tetapi hal ini biasanya menunjukkan adanya onset yang lebih lambat dan
absorpsi yang bervariasi.

PELEMAS OTOT
Efek samping pada sirkulasi yang minimal umumnya menyebabkan rokuronium,
vekuronium, pipekuronium, dan doksakurium menjadi pelemas otot yang baik pada pasien
dengan penyakit jantung iskemik. Bradikardia berat pernah dilaporkan pada pemakaian
vekuronium (dan atrakurium), namun pada hampir seluruh kasus hal ini dikaitkan dengan
penggunaan opioid sintetik. Jika digunakan dengan tepat, pelemas otot lainnya (lihat Bab 9)
juga dapat digunakan dengan aman pada pasien dengan PJK. Selain itu, efek samping
terhadap sirkulasi dapat dimanfaatkan untuk menyeimbangkan efek samping dari obat-obat

35
yang lain, contohnya bagian vagolitik dari pankuronium dapat melawan efek vagotonik dari
opioid poten (lihat Bab 8). Atrakurium pada dosis kurang dari 0,4 mg/kg dan mivakurium,
pada dosis hingga 0,15 mg’kg, yang diberikan secara perlahan juga memiliki efek
hemodinamik yang minimal. Efek sirkulasi dari suksinil kolin disebabkan oleh stimulasi
ganglia otonom dan reseptor muskarinik jantung dan dapat menghasilkan efek yang
bervariasi pada denyut jantung dan tekanan darah. Efek utamanya dipengaruhi oleh tonus
simpatis dan para simpatis, premedikasi dengan antikolinergik, dan blokade β-adrenergik.
Bradikardi dapat terjadi setelah penggunaan suksinil kolin pada pasien  yang mengkonsumsi
obat penghambat β-adrenergik.
Pembalikan  (reverse) dari paralisis otot dengan obat standar tidak menunjukkan
adanya efek yang tidak diinginkan pada pasien dengan PJK. Penggunaan glikopirolat
sebagai pengganti atropin dapat menurunkan kecenderungan terjadinya transient takikardi
(lihat Bab 10).
 
MANAJEMEN POST-OPERATIF
Pemulihan dari anestesi dan periode sesaat postoperative masih dapat menyebabkan
stres pada miokardium. Pasien harus mendapatkan tambahan oksigen hingga oksigenasi
adekuat telah tercapai. Pasien biasanya dapat mengigil pada penggunaan meperidin, 20-30
mg intravena; obat lain yang pernah dilaporkan diantaranya clonidin 75 mg, atau butorfanol,
1-2 mg intravena. Hipotermi harus diatasi dengan penggunaan penghangat. Nyeri
postoperative harus dikontrol dengan analgesic atau teknik anestesi regional (lihat Bab 18).
Jika terdapat kecurigaan adanya overload cairan, atau jika pasien memiliki riwayat fungsi
ventrikular yang buruk, foto thoraks postoperatif dapat membantu. Bendungan paru dapat
dengan segera diterapi dengan furosemid, 20-40 mg intravena, atau dengan terapi
vasodilator intravena (biasanya nitrogliserin).
Risiko postoperatif terbesar pada pasien-pasien seperti ini adalah iskemia yang tidak
terdeteksi. Walaupun sebagian besar gelombang Q pada infark miokardium perioperatif
timbul dalam 3 hari pertama setelah operasi (biasanya setelah 24-48 jam), sejumlah
bermakna dari infark non- gelombang Q timbul dalam 24 jam pertama. Karena kurang dari
50% pasien mengeluhkan nyeri dada, pemeriksaan EKG dengan 12 lid postoperatif penting
untuk mendeteksi kejadian ini. Manifestasi yang sering ditemukan adalah hipotesi yang
tidak dapat dijelaskan. Manifestasi lain, diantaranya gagal jantung kongestif dan perubahan
status mental. Hampir seluruh pasien yang mengalami komplikasi ini berusia lebih dari 50
tahun. Diagnosis biasanya berdasarkan pada penemuan EKG dan pemeriksaan enzim
jantung, atau ,jarang, dengan pemeriksaan radionuklida. Ekokardiografi transthorakal atau
transesofageal (TEE)  juga dapat dipergunakan.

36
PENYAKIT KATUP JANTUNG
Pemeriksaan Umum pada Pasien
 Terlepas dari kelainan atau penyebabnya, evaluasi preoperatif harus selalu
diperhatikan untuk menentukan derajat keparahan kelainan dan pengaruh hemodinamik,
fungsi ventrikular residu, dan adanya efek sekundernya terhadap fungsi paru-paru, ginjal,
dan hati. PJK yang menyertai juga harus mendapat perhatian, terutama pada pasien dengan
usia lanjut dan mereka yang memiliki faktor risiko (lihat diatas). Iskemia miokardium juga
dapat timbul tanpa adanya oklusi bermakna pada arteri koroner pada pasien dengan stenosis
atau regurgitasi aorta yang berat.      
Anamnesa
Anamnesa preanestesi lebih difokuskan pada gejala yang berkaitan dengan fungsi
ventrikel dan dihubungkan dengan data laboratorium. Perlu ditanyakan juga mengenai
toleransi saat latihan, kelelahan (fatigue), dan edema kaki dan nafas yang pendek-pendek
(dyspneu) saat berbaring (ortopneu), atau pada malam hari (paroxysmal nocturnal dyspneu).
Klasifikasi fungsional penyakit jantung Asosiasi Jantung New York -The New York Heart
Association Functional Classification- (Tabel 20-12) dapat digunakan untuk menentukan
derajat keparahan gagal jantung secara klinis, membandingkan pasien, dan menilai progosis.
Pasien juga harus ditanya mengenai nyeri dada dan gejala neurologis. Beberapa kelainan
katup dikaitkan dengan fenomena tromboemboli. Prosedur yang pernah dialami sebelumnya
seperti valvotomi atau penggantian katup dan efeknya juga harus didokumentasi dengan
baik.
 

Tabel 20–12. Modifikasi Klasifikasi Fungsional Penyakit Jantung Asosiasi Jantung New York
Kelas Deskripsi
I Tidak ada gejala kecuali saat aktivitas berat
II Gejala timbul saat aktivitas sedang
III Gejala timbul saat aktivitas ringan
IV Gejala timul saat istirahat
 
Riwayat pengobatan juga perlu ditanyakan, bagaimana efek dan efek samping yang
ditimbulkannya, obat yang banyak digunakan diantaranya digoksin, diuretik, vasodilator,
penghambat ACE, antiaritmia, dan antikoagulan. Digoksin umumnya paling efektif untuk
mengontrol denyut ventrikel pada pasien dengan fiblrilasi atrial. Denyut ventrikel harus
kurang dari 80-90 kali/menit saat istirahat dan tidak boleh lebih dari 120 kali/menit saat
stres atau latihan. Tanda toksisitas digoksin dapat ditemukan pada jantung (aritmia),
gastrointestinal (mual atau muntah), neurologis (bingung), atau penglihatan (gangguan
persepsi warna atau skotoma). Aritmia yang disebabkan digoksin timbul dari kombinasi
antara automatisasi yang diperkuat dan konduksi yang menurun pada sel-sel khusus di
atrium, ventrikel, dan sinus AV dan SA. Terapi vasodilator preoperatif dapat dilakukan
untuk menurunkan preload, afterload, atau keduanya. Penggunaan vasodilator yang
berlebihan akan memperburuk toleransi latihan dan seringkali dimanisfestasikan dengan
hipotensi postural.

37
Pemeriksaan Fisik
Tanda yang paling penting yang harus dicari pada pemeriksaan fisik adalah tanda-
tanda gagal jantung kongestif. Tanda gagal jantung kiri (S3 gallop atau ronkhi paru) dan juga
tanda gagal jantung kanan (distensi vena jugular, refluks hepatojugular, hepatosplenomegali,
atau edema pedis) dapat ditemukan. Auskultasi dapat mengkonfirmasi disfungsi katup
(Tabel 20-13), namun pemeriksaan EKG dapat lebih dipercaya. Defisit neurologis, yang
biasanya terjadi sebagai akibat sekunder dari fenomena emboli juga harus dicatat.

Table 20–13. Pengaruh Manufer Diagnostik terhadap Murmur Jantung (Tanpa pengaruh variabel) .1
Murmur Sistolik Murmur Diastolik
Manufer
PS TR HCM MVP MR VSD AS PR TS AR MS
Inspirasi              

Valsalva          

Berdiri                

Jongkok atau menggenggam tangan        

Meninggikan kaki            

Oklusi arteri Transient                

Inhalasi Amyl nitrit


1
, increases; , decreases; PS, pulmonary stenosis; TR, tricuspid regurgitation; HCM, hypertrophic cardiomyopathy;
MVP, mitral valve prolapse; MR, mitral regurgitation; VSD, ventricular septal defect; AS, aortic stenosis; PR, pulmonary
regurgitation; TS, tricuspid stenosis; AR, aortic regurgitation; MS, mitral stenosis.

Pemeriksaan Laboratorium
Sebagai tambahan dari pemeriksaan laboratorium pada pasien dengan hipertensi dan
PJK, pemeriksaan fungsi hati (lihat Bab 34) dapat digunakan untuk menilai disfungsi hati
yang disebabkan oleh bendungan hati pasif pada pasien dengan gagal jantung kanan yang
berat atau kronis. Analisa gas darah arteri juga perlu diperiksa pada pasien dengan gejala
paru yang bermakna. Revers pada pasien yang menggunakan antikoagulan harus dinilai
dengan protrombin time dan partial tromboplastin time sebelum operasi.
Pemeriksaan EKG umumnya kurang spesifik. Hasil pemeriksaan diantaranya
menunjukkan perubahan gelombang T atau segmen ST, aritmia, abnormalitas konduksi,
atau deviasi aksis QRS yang menunjukkan hipertrofi ventrikel. Interval P-R yang
memanjang dapat menunjukkan adanya toksisitas digoksin. Aritmia yang dikaitkan dengan
toksisitas digoksin termasuk (dalam urutan frekuensi yang semakin jarang) ektopi ventrikel,
takikardi atrial paroksismal, takikardi dengan 2:1 blok AV, blok AV, sinus bradikardi
menetap, ritme atrial atau junctional  AV yang rendah, dan disosiasi AV.
Foto thoraks dapat membantu untuk menilai ukuran jantung dan bendungan pembuluh
darah paru. vPembesaran ruang jantung secara spesifik juga dapat dinilai (Gambar 20-4).

Gambar 20–4.

38
Lokalisasi secara radiology dari ruang dan struktur jantung pada foto toraks frontal

Pemeriksaan Khusus
Ekokardiografi, angiografi radionuklida, dan kateterisasi jantung menyediakan informasi
diagnostik dan prognosis yang penting mengenai kelainan katup. Seringkali ditemukan lebih
dari satu kelainan katup. Dalam beberapa kasus, pemeriksaan non-invasif  dapat
menyingkirkan perlunya kateterisasi jantung. Hasil dari pemeriksaan-pemeriksaan ini paling
baik diintrepertasi oleh seorang kardiologis. Pertanyaan-pertanyaan berikut harus dapat
dijawab:
 Kelainan katup mana yang paling penting secara hemodinamik?
 Bagaimana tingkat keparahan dari kelainan tersebut?
 Bagaimana derajat gangguan ventrikel yang ada?
 Apa pengaruh hemodinamik bermakna dari kelainan lain yang diidentifikasi?
 Adakah bukti adanya PJK?
           
Premedikasi
Premedikasi dengan obat yang umum digunakan dalam dosis standar (lihat Bab 8)
dapat digunakan dan ditoleransi dengan baik pada pasien dengan fungsi ventrikel yang
normal atau mendekati normal. Pasien dengan fungsi ventrikel yang buruk, di sisi lain,
cenderung untuk lebih sensitif terhadap sebagian besar obat, dan dosis premedikasi harus
dikurangi tergantung pada gangguan ventrikel yang dideritanya. Pasien harus tetap
mendapat obat-obat yang biasanya dikonsumsi pada pagi hari sebelum operasi. Tambahan
oksigen dapat berguna bagi pasien dengan hipertensi pulmonal atau pasien yang memiliki
penyakit paru.

39
 
Antibiotik Profilaksis
Risiko terjadinya endokarditis bervariasi tergantung pada abnormalitas yang terjadi (Tabel
20-14). Risiko endokarditis infektif pada pasien dengan penyakit katup jantung setelah
mengalami kejadian bakteriemi (termasuk infeksi pada operasi dental, orofaring atau
nasofaring, gastrointestinal, atau geniourinari atau pada insisi dan drainase apapun)
seringkali terjadi. Profilaksis harus diberikan sesuai dengan panduan yang
direkomendasikan oleh the American Heart Association (Tabel 20–15).
 
Tabel 20–14. Kondisi Jantung Kaitannya Dengan Endokarditis. 1
High-risk category
Prosthetic cardiac valves, including bioprosthetic and homograft valves
Previous bacterial endocarditis
Complex cyanotic congenital heart disease (eg, single-ventricle states, transposition of the great
arteries, tetralogy of Fallot)
Surgically constructed sistemic pulmonary shunts or conduits
Moderate-risk category
Most other congenital cardiac malformations (other than above and below)
Acquired valvar dysfunction (eg, rheumatic heart disease)
Hypertrophic cardiomyopathy
Mitral valve prolapse with valvar regurgitation and/or thickened leaflets
Negligible-risk category (no greater risk than the general population)
Isolated secundum atrial septal defect
Surgical repair of atrial septal defect, ventricular septal defect, or patent ductus arteriosus (without
residua beyond 6 months)
Previous coronary artery bypass graft surgery
Mitral valve prolapse without valvar regurgitation
Physiological, functional, or innocent heart murmurs
Previous Kawasaki disease without valvar dysfunction
Previous rheumatic fever without valvar dysfunction
Cardiac pacemakers (intravaskuler epicardial) and implanted defibrillators
1
Disadur dari AHA Guidelines.
 

 
Table 20–15. Prophylactic Regimens for Various Procedures. 1
For dental, oral, respiratory tract, or esophageal procedures 2

40
  I. Standard general prophylaxis for patients at risk: 
    Amoxicillin: adults, 2.0 g (children, 50 mg/kg) given orally 1 h before procedure
  II. Unable to take oral medications: 
    Ampicillin: Adults, 2.0 g (children, 50 mg/kg) given IM or IV within 30 min before procedure
  III. Amoxicillin/ampicillin/penicillin allergic patients:  
    Clindamycin: adults, 600 mg (children, 20 mg/kg) given orally 1 h before procedure or
    Cephalexin3 or Cefadroxil3: adults, 2.0 g (children, 50 mg/kg) orally 1 h before procedure or
    Azithromycin or Clarithromycin: adults, 500 mg (children, 15 mg/kg) orally 1 h before procedure
  IV. Amoxicillin/ampicillin/penicillin allergic patients unable to take oral medications: 
    Clindamycin: adults, 600 mg (children, 20 mg/kg) IV within 30 min before procedure or
    Cefazolin3: adults, 1.0 g (children, 25 mg/kg) IM or IV within 30 min before procedure
For genitourinary/gastrointestinal procedures: 
  I. High-risk patients: 
    Ampicillin plus gentamicin: ampicillin (adults, 2.0 g; children, 50 mg/kg) plus gentamicin 1.5 mg/kg
(for both adults and children, not to exceed 120 mg) IM or IV within 30 min before starting procedure;
6 h later, ampicillin (adults, 1.0 g; children, 25 mg/kg) IM or IV, or amoxicillin (adults, 1.0 g; children,
25 mg/kg) orally
  II. High-risk patients allergic to ampicillin/amoxicillin: 
    Vancomycin plus gentamicin: vancomycin (adults, 1.0 g; children, 20 mg/kg) IV over 1–2 h plus
gentamicin 1.5 mg/kg (for both adults and children, not to exceed 120 mg) IM or IV; complete
injection/infusion within 30 min before starting procedure
  III. Moderate-risk patients: 
    Amoxicillin: adults, 2.0 g (children, 50 mg/kg) orally 1 h before procedure or
    Ampicillin: adults, 2.0 g (children, 50 mg/kg) IM or IV within 30 min before starting procedure
  IV. Moderate-risk patients allergic to ampicillin/amoxicillin:  
    Vancomycin: adults, 1.0 g (children 20 mg/kg) IV over 1–2 h; complete infusion within 30 min of
starting the procedure
1
Based on AHA Guidelines.
2
Follow-up dose no longer recommended. Total children's dose should not exceed adult dose.
3
Cephalosporins should not be used in patients with immediate-type hypersensitivity reaction to penicillins.
 

Manajemen Antikoagulasi
Pasien yang mendapat terapi antikoagulan umumnya dapat menghentikan
pengobatannya selama 1-3 hari perioperatif. Insidensi komplikasi tromboembolik meningkat
dengan riwayat emboli dan adanya trombus, fibrilasi atriel, atau katup mekanis prostetik.
Risiko tromboemboli tertinggi pada penggunaan prostetis mekanis caged-ball (Starr-
Edward), terutama pada posisi mitral atau trikuspid, risiko menengah pada katup tiltingdisc
(St. Jude), dan risiko yang terendah pada penggunaan bioprostesis (katup dari jaringan babi
atau sapi). Sebagian besar pasien dapat dengan aman menghentikan pemakaian warfarin 3
hari sebelum operasi dan memulai kembali pemakaiannya 2-3 hari post operasi. Jika risiko
tromboemboli sangat tinggi, maka antikoagulasi dapat dihentikan sehari sebelum operasi

41
dan diganti dengan vitamin K atau fresh frozen plasma; terapi heparin intravena dapat
dimulai 12-24 jam postoperasi saat hemostasis telah adekuat.
 
Kelainan Katup Khusus
Stenosis Mitral
Pertimbangan Preoperatif
Stenosis mitral hampir selalu muncul sebagai komplikasi lambat dari demam rematik
akut. Dua pertiga pasien dengan stenosis mitral adalah perempuan. Proses stenotik
diperkirakan dimulai minimal 2 tahun setelah penyakit akut dan dihasilkan dari fusi yang
progresif dan kalsifikasi daun katup. Gejala biasanya timbul setelah 20-30 tahun kemudian,
saat orifium katup mitral berkurang dari normalnya 4-6 cm 2 menjadi kurang dari 2 cm2.
Kurang dari 50% pasien memiliki stenosis mitral yang terisolasi; sisanya juga memiliki
mitral regurgitasi, dan sampai 25% pasien juga memiliki keterlibatan rematik pada katup
aorta (stenosis atau regurgitasi).
 
Patofisiologi
Proses rematik menyebabkan daun katup menebal, mangalami kalsifikasi, dan berubah
menjadi bentuk terowongan; kalsifikasi annular juga dapat ditemukan. Komisura mitral
bergabung, chorda tendinae bergabung dan memendek, dan kemudian katup menjadi rigid;
akibatnya, daun katup tampak membusur atau melengkung saat diastol pada kokardiografi.
Restriksi aliran darah yang bermakna melalui katup mitral menyebabkan adanya
perbedaan (gradien) tekanan transvalvular yang tergantung pada curah jantung, denyut
jantung (waktu siatolik), dan ada atau tidaknya kick atrial yang normal. Peningkatan baik
pada curah jantung atau denyut jantung (penurunan waktu diastolik) menyebabkan aliran
yang lebih besar melalui katup mitral dan menghasilkan gradien tekanan transvalvular yang
lebih tinggi lagi. Atrium kiri seringkali mengalami dilatasi menetap dan menyebabkan
takikardi supraventrikular, terutama fibrilasi atrial. Aliran darah yang stasis di atrium
menyebabkan pembentukan trombus, biasanya di ujung atrium kiri. Hilangnya sistol atrial
yang normal (yang bertanggung jawab untuk 20-30% pengisian ventrikel) menghasilkan
aliran diastolik yang semakin tinggi melalui katup mitral untuk mempertahankan curah
jantung  yang sama dan meningkatkan gradien transvalvular.
Peningkatan mendadak pada tekanan atrium kiri ditransmisikan dengan cepat ke
kapiler pulmonal. Jika tekanan kapiler pulmonal rata-rata meningkat hingga diatas 25
mmHg, transudasi dari cairan di kapiler menyebabkan terjadinya edema pulmonal.
Peningkatan kronik pada tekanan kapiler pulmonal dikompensasi secara parsial dengan
peningkatan aliran limfe pulmonal namun kemudian menyebabkan perubahan vaskuler paru
yang kemudian menyebabkan peningkatan tahanan pembuluh darah pulmonal yang
ireversibel dan hipertensi pulmonal. Penurunan komplians paru dan peningkatan kerja nafas
sekunder menghasilkan dyspneu kronik. Gagal ventrikel kanan seringkali dipresipitasi oleh
peningkatan afterload ventrikel kanan yang akut atau kronis. Dilatasi menetap ventrikel
kanan dapat berakibat pada regurgitasi katup trikuspidalis atau katup pulmonal.
Kejadian emboli seringkali terjadi pada pasien dengan stenosis mitral dan fibrilasi
atrial. Bekuan darah dari atrium kiri menyebabkan emboli sistemik, seringkali menuju ke
sirkulasi serebral. Juga terjadi peningkatan kejadian emboli pulmonal, infark pulmonal,
hemoptisis, dan bronkhitis rekuren. Hemoptisis seringkali disebabkan oleh ruptur pada

42
sambungan vena pulmonal dan bronkhial. Nyeri dada timbul pada 10-15% pasien dengan
stenosis mitral, walaupun tanpa ateroskelosis koroner; seringkali etiologinya tidak dapat
dijelaskan namun mungkin berupa emboli di sirkulasi koroner atau peningkatan tekanan
ventrikel kanan yang akut. Pasien mungkin mengeluh serak sebagai akibat dari penekanan
nervus laringeal rekuren kiri oleh atrium kiri yang membesar.
Fungsi ventrikel kiri tetap normal pada sebagian besar pasien yang hanya mengalami
stenosis mitral (Gambar 20-5), tetapi fungsi ventrikel kiri yang terganggu ditemukan pada
25% pasien dan tampaknya menunjukkan adanya kerusakan sisa dari miokardiumitis
rematik atau hipertensi atau penyakit jantung iskemik.
 
 Figure 20–5.

Pressure–volume loops in patients with valvular heart disease. A, normal; B, mitral stenosis; C,
aorta stenosis; D, mitral regurgitation (chronic); E, aorta regurgitation (chronic). LV , left
ventricular.
(Reproduced, with permission, from Jackson JM, Thomas SJ, Lowenstein E: Anesthetic
management of patients with valvular heart disease. Semin Anesth 1982;1:239.)

 
Perhitungan Luas Katup Mitral & Gradien Transvalvular
Hubungan antara curah jantung, luas katup, dan gradien transvalvular dapat
ditunjukkan dengan persamaan Gorlin:

43
 K adalah konstanta tekanan hidrolik. Aliran katup mitral dinyatakan dalam mL/detik,
tekanan dalam mmHs, dan luas katup dalam cm 2, K=38. Aliran katup mitral dapat dihitung
sebagai berikut:
 

Ekokardiografi dua dimensi dan Doppler dapat digunakan untuk menghitung tekanan
pada katup yang stenotik dan pada luas katup. Berdasarkan asumsi bahwa kecepatan aliran
darah lebih besar di distal dibandingkan di proksimal  obstruksi, persamaan Bernoulli dapat
disederhanakan:

P adalah gradien tekanan (mmHg) dan V adalah kecepatan aliran darah (m/s) di distal dari
obtruksi. Orifisium katup dapat dihitung dari waktu yang dibutuhkan dari gradien tekanan
puncak awal untuk turun menjadi setengah nilai originalnya, waktu paruh tekanan (T 1/2).
Hubungan ini dapat dihitung dengan:
 

A adalah orifisium katup (cm2) dan T1/2 adalah waktu dari kecepatan aliran puncak (V max) ke
Vmax (Vmax/1.4). Hubungan ini didasarkan pada penelitian bahwa T1/2 relatif konstan pada
perbedaan aliran yang besar. Waktu paruh tekanan 220ms berkorespondensi dengan 1 cm 2
luas katup mitral. Luas katup juga dapat dihitung dengan planimetri pada aksis pendek dari
ventrikel kiri (lihat Bab 21). Jika tidak terdapat regurgitasi mitral yang bermakna, luas katup
mitral (MVA) dapat juga dihitung dari persamaan kontinuitas (lihat bagian stenosis aorta)
 SVmv adalah isi sekuncup (transmitral) dan VTIMS-jet adalah kecepatan integral waktu dari
sinyal Doppler pada jet stenosis mitral, isi sekuncup dapat dihitung dari pengukuran luas
cross-sectional dan kecepatan waktu integral Doppler pada jalur outflow ventrikel kiri (lihat
bagian stenosis aorta).

Luas katup mitral kurang dari 1 cm2 biasanya dikaitkan dengan gradien transvalvular
sebesar 20 mmHg saat istirahat dan dsypneu dengan aktivitas minimal. Pasien dengan luas
katup mitral kurang dari 1 cm2 seringkali menunjukkan stenosis mitral yang kritis. Pasien
dengan luas katup mitral antara 1.5-1.0 cm2 umumnya tidak menunjukkan gejala dan hanya
menunjukkan gejala ringan saat aktivitas. Pada pasien dengan luas katup mitral antara 1 dan
1.5 cm2, sebagian besar pasien menunjukkan gejala pada aktivitas ringan hingga sedang.
Walaupun curah jantung dapat normal saat istirahat, namun biasanya gagal meningkat
secara memadai pada aktivitas karena penurunan preload ventrikel kiri.
 
Terapi

44
Waktu dari onset timbulnya gejala sampai keadaan ketidakberdayaan berkisar antara
5-10 tahun. Pada tingkat ini, sebagian besar pasien meninggal dalam 2-5 tahun. Oleh karena
itu koreksi pembedahan (valvuloplasti terbuka) biasanya dilaksanakan bila timbul gejala
yang bermakna. Stenosis mitral rekuren setelah valvuloplasti biasanya diatasi dengan
penggantian katup. Valvuloplasti balloon transeptal perkutan dapat digunakan pada dewasa
muda dengan kondisi tertentu atau pada pasien hamil, begitu juga pada pasien orang tua
yang bukan merupakan kandidat operasi yang baik. Manajemen medikasi ditujukan pada
manajemen suportif dan termasuk pembatasan aktivitas fisik, restriksi sodium, dan diuretik.
Digoksin hanya bermanfaat pada pasien dengan fibrilasi atrial dan respon ventrikel yang
cepat. Dosis kecil dari obat penghambat -adrenergic mungkin dapat digunakan untuk
mengontrol denyut jantung pada pasien dengan gejala ringan hingga sedang. Pasien dengan
riwayat emboli dan mereka dengan risiko tinggi (lebih dari 40 tahun, atrium yang besar
dengan fibrilasi atrial kronik) biasanya diberikan antikoagulan.
 
Manajemen Anestesi
Tujuan
Tujuan hemodinamik dasar adalah untuk mempertahankan sinus ritmik (bila ada pada
preoperatif) dan untuk menghindari takikardi, peningkatan besar curah jantung, dan
hipovolemi maupun kelebihan cairan akibat terapi cairan.
 
Monitoring
Monitoring hemodinamik secara menyeluruh (tekanan intraarteri direk dan tekanan
arteri pulmonal) umumnya diindikasikan pada seluruh prosedur operasi mayor, terutama
pada yang berhubungan dengan perpindahan cairan yang besar. Terapi penggantian cairan
yang berlebihan dapat mempresipitasi terjadinya edema pulmonal pada pasien dengan
penyakit berat. Tekanan arteri pulmonal di posisi wedge harus dimonitor dengan ketat.
Pengukuran tekanan kapiler pulmonal pada stenosis mitral menunjukkan gradien
transvalvular dan tekanan end-diastol ventrikel kiri. Gelombang a yang menonjol dan
descent y yang menurun biasanya timbul pada kurva tekanan kapiler pulmonal di posisi
wedge pada pasien dengan sinus ritmik. Gelombang cv yang menonjol pada gelombang
tekanan vena sentral biasanya mengindikasikan regurgitasi trikuspid. Gambaran EKG
biasanya menunjukkan gelombang P yang tajam pada pasien dengan sinus ritmik.
 
Obat pilihan
Pasien dapat sangat sensitif terhadap efek vasodilatasi dari anestesi spinal dan
epidural. Epidural lebih dipilih daripada anestesi spinal karena onset blokade simpatisnya
yang lebih gradual. Ketamin sebagai obat tunggal umumnya merupakan induksi yang
kurang memuaskan karena stimulasi simpatisnya. Begitu juga dengan takikardi yang
disebabkan oleh pankuronium juga harus dihindari. Dalam pertimbangan pemilihan obat
anestesi, opioid mungkin merukapan pilihan yang lebih baik dibanding obat volatil. Volatil
dapat menyebabkan vasodilatasi yang tidak diinginkan atau mempresipitasi ritmik
junctional yang menyebabkan hilangnya kick atrial yang efektif. Diantara seluruh obat
volatil, mungkin halotan adalah obat yang paling dipilih karena memiliki efek menurunkan
tekanan darah dan memiliki efek vasodilatasi yang paling minimal, akan tetapi obat volatil
lainnya pun telah digunakan dengan aman. Pengunaan nitrit oksida harus lebih hati-hati
karena nitrit oksida dapat meningkatkan tahanan vaskuler pulmonal pada beberapa pasien.

45
Takikardia intraoperatif dapat dikontrol dengan menambah kedalaman anestesi dengan
opioid (kecuali meperidin) atau penghambat-â (esmolol atau propanolol). Pada pasien
dengan fibrilasi atrial, denyut ventrikel dapat dikontrol dengan diltiazem atau digoksin.
Verapamil tidak menjadi pilihan karena efek vasodilatasi yang dihasilkan. Deteorasi
hemodinamik yang nyata dari takikardi supraventrikular akut menunjukan
cardioversi. Fenilefrin lebih dipilih sebagai vasopresor dibanding efedrin karena
fenilefrin memiliki aktivitas agonis âadrenergik yang lebih sedikit. Terapi untuk
hipertensi akut atau reduksi afterload dengan vasodilator poten hanya boleh dilakukan
dengan monitoring hemodinamik secara menyeluruh.
 

REGURGITASI MITRAL
Pertimbangan Preoperatif
Regurgitasi mitral dapat timbul dengan akut maupun perlahan sebagai hasil dari
banyaknya kelainan yang diderita. Reguritasi mitral yang kronik biasanya merupakan akibat
dari demam rematik (seringkali disertai dengan stenosis mitral); kelainan kongenital atau
gangguan pertumbuhan aparatus katup, atau dilatasi, destruksi, atau kalsifikasi anulus mitral.
Regurgitasi mitral akut biasanya disebabkan oleh iskemia atau infark miokardium (disfungsi
otot papiler atau ruptur chorda tendinea), infeksi endokarditis, atau trauma thoraks.
 
Patofisiologi
Kelainan mendasar adalah penurunan isi sekuncup akibat aliran arah balik ke atrium
kiri selama sistol. Ventrikel kiri menkompensasi dengan berdilatasi dan meningkatkan
volume end-diastolik (gambar 20-5). Regurgitasi melalui katup mitral mengurangi afterload
ventrikel kiri, yang seringkali memperkuat kontraktilitas. Volume end-diastolik tetap normal
namun pada akhirnya akan meningkat seiring progresivitas penyakitnya. Dengan
meningkatkan volume end-diastolik, ventrikel kiri yang kelebihan volume dapat
mempertahankan curah jantung walaupun fraksi ejeksinya menurun. Seiring dengan waktu,
pasien dengan regurgitasi mitral kronis pada akhirnya akan menghasilkan hipertrofi
ventrikel kiri (lihat Bab 19) dan gangguan kontraktilitas progresif, seperti yang ditunjukkan
dengan penurunan fraksi ejekti (<50%). Pada pasien dengan regurgitasi mitral yang berat,
volume regurgitan dapat melebihi isi sekuncup.
Volume regurgitan yang melewati katup mitral ditentukan oleh ukuran orifisium katup
mitral (yang bervariasi sesuai ukuran ruang ventrikel), denyut jantung (waktu sistol), dan
gradien tekanan antara ventrikel dan atrium kiri selama sistol. Faktor yang terakhir
dipengeruhi oleh tahanan relatif  dari dua jalur outflow dari ventrikel kiri, yaitu, tahanan
pembuluh darah sistenmik dan komplians atrium kiri. Penurunan tahanan pembuluh darah
sistemik atau peningkatan tekanan atrium kiri akan mengurangi volume regurgitan.
Komplians atrium juga menentukan manifestasi klinis yang dominan. Pasien dengan
komplians paru normal atau berkurang (regurgitasi mitral akut) biasanya memiliki
bendungan paru dan edema. Pasien dengan peningkatan komplians atrial (regurgitasi mitral
yang lama yang berakibat atrium kiri yang berdilatasi dengan hebat) biasanya menunjukkan
tanda-tanda dari curah jantung yang rendah. Sebagian besar pasien berada diantara dua
keadaan ekstrim dan memiliki gejala bendungan paru maupun curah jantung yang rendah.
Pasien dengan fraksi regurgitasi kurang dari 30% dari isi sekuncup total umumnya
menunjukkan gejala ringan. Fraksi regurgitasi diantara 30-60% umumnya menimbulkan

46
gejala sedang, sedangkan fraksi yang lebih besar dari 60% dihubungkan dengan penyakit
yang berat.
Ekokardiografi, terutama ekokardiografi transesofageal (TEE), sangat bermanfaat
untuk menggambarkan patofisiologi regurgitasi mitral yang mendasarinya dan juga untuk
memberikan panduan dalam terapi. Gerakan daun katup mitral digambarkan sebagai
normal, berlebih (prolaps), atau restriktif (Gambar 20-6). Pergerakan yang berlebihan atau
prolaps ditunjukkan dengan pergerakan sistolik dari daun katup dibawah katup mitral dan
menuju atrium kiri (lihat bagian berikutnya mengenai prolaps katup mitral). Jet regurgitan
yang eksentrik pada aliran Doppler yang berwarna pada ekokardiografi sangat khas
pada katup yang prolaps, dimana jet sentral lebih khas untuk regurgitasi dengan
gerakan katup yang normal atau restriktif.

 Figure 20–6.

Classification of mitral valve leaflet motion (as seen from transesofageal ekokardiografi). Note that with
prolapse, the free edge of the leaflet(s) extends beyond the plane of the mitral annulus producing an eccentric
jet. With restricted motion, the leaflets fail to coapt resulting in a central jet.

Perhitungan Fraksi Regurgitasi

47
Untuk menghitung fraksi regurgitasi (RF), isi sekuncup (SV), dan volume isi sekuncup
regurgitan (RSV) harus diukur. Walaupun keduanya bisa didapatkan dari data kateterisasi,
ekokardiografi Doppler denyut dapat memberikan perhitungan yang lebih baik. Isi sekuncup
diukur pada jalur outflow ventrikel kiri (LVOT) dan pada katup mitral (MV), dimana

Waktu kecepatan integral (TVI) adalah luas kecepatan dibandingkan waktu yang dibutuhkan
sinyal Doppler denyut (lihat Bab 21). Lalu,

dan

 RSV yang lebih besar dari 65 ml umumnya menunjukkan korelasi dengan regurgitasi mitral
yang berat.
 
Terapi
         Terapi medikasi termasuk digoksin, diuretic, dan vasodilator – termasuk penghambat
ACE. Reduksi afterload sangat menguntungkan pada sebagian besar pasien dan bahkan
dapat menyelamatkan hidup pasien dengan regurgiasi mitral yang akut. Reduksi tahanan
pebuluh darah sistemik meningkatkan isi sekuncup dan menurunkan volume regurgitan.
Terapi pembedahan umumnya diperlukan pada pasien dengan gejala menengah dan berat.
Pembedahan valvuloplasti dilakukan untuk menghindari masalah yang berhubungan dengan
penggantian katup (contohnya tromboemboli, perdarahan, dan pemasangan prostetik yang
gagal). 
 
Manajemen Anestesi
tujuan
Manajemen anestesi harus dibedakan tergantung pada tingkat keparahan regurgitasi
mitral dan  fungsi ventrikel kiri. Faktor yang mengeksaserbasi regurgitasi, misalnya denyut
jantung yang lambat (sistol memanjang) dan peningkatan mendadak pada afterload, harus
dihindari. Bradikardi dapat meningkatkan volue reguritan dengan meningkatkan volume
end-diastol ventrikel kiri dan mendilatasi anulus mitral dengan akut. Denyut jantung harus
dipertahankan pada jumlah ideal 80-100 kali/menit. Peningkatan akut pada afterload
ventrikel, seperti yang terjadi pada intubasi endotrakeal dan stimlasi pembedahan, harus
segera diatasi namun tanpa depesi miokardiumiium yang berlebihan. Ekspansi volume yang
berlebihan juga dapat memperburuk regurgitasi dengan mendilatasi ventrikel kiri.
Monitoring

48
Pengawasan dilakukan terhadap keparahan disfungsi ventrikel juga terhadap prosedur
yang dilakukan. Monitoring tekanan arteri pulmonal sangat bermanfaat pada pasien
denganpenyakit yang simptomatis. Reduksi afterload intraoperatif dengan penggunaan
vasodilator memerlukan monitoring hemodinamik menyeluruh.
Regurgitasi mitral dapat dikenali pada kurva arteri pulmonal di posisi wedge sebagai
gelombang v yang besar dan descent y yang cepat (Gambar 20-7). Ketinggian gelombang v
berbanding terbalik dengan komplians pembuluh darah artrial dan pulmonal namun
berbanding lurus dengan aliran darah pulmonal dan volume regurgitan; dengan demikian
gelombang v tidak selalu nyata pada pasien dengan regurgitasi mitral kronik kecuali pada
keadaan deteorasi akut. Gelombang v yang sangat besar seringkali tampak dengan jelas pada
kurva tekanan arteri pulmonal tanpa perlu merubah kateter pada posisi wedge. Ekokardigrafi
transesofageal Doppler dengan aliran yang berwarna dapat digunakan untuk menilai
kuantitas keparahan regurgitasi dan memandu intervensi terapeutik pada pasien dengan
regurgitasi mitral yang berat (Tabel 20-16). Dapat dipastikan, aliran darah akan kembali ke
vena pulmonal selama fase sistolik pada pasien dengan mitral regurgitasi yang berat.
 
Table 20–16. Echocardiographic Assessment of Regurgitant Lesions by Color-Flow Doppler.
Grade Description Criterion
0 None No regurgitation into receiving chamber
1+ Mild Regurgitant flow limited to luas immediately near valve
2+ Mild to moderate Regurgitant flow occupies up to one-third of receiving chamber
3+ Moderate to severe Regurgitant flow occupies up to two-thirds of receiving chamber
4+ Severe Regurgitant flow occupies most of receiving chamber and flow reversal
is present1 
 

1
For atrioventricular valves flow reversal occurs proximally in the veins filling the atrium; for semilunar valves
flow reversal occurs distally in the great vessels.
 Figure 20–7.

The pulmonary capillary wedge waveform in mitral regurgitation, demonstrating a large v wave.
Pemilihan obat
Pasien dengan fungsi ventrikel yang relative baik cenderung memberikan hasil yang
baik pada penggunaan sebagian besar teknik anestesi. Anestesi epidural dan spinal dapat

49
ditoleransi dengan baik, selam abradikardi dapat dihindarai. Pasien dengan gangguan
ventrikel sedang hingga berat seringkali sangat sensitif pada efek depresan dari obat
volatile. Anestesi berbasis opioid tampaknya lebih sesuai untuk pasien-pasien ini, juga
apabila bradikardi dapat dihindari. Pemilihan pankuronium sebagai pelemas otot pada
tindakan anestesi dengan opioid dapat berguna untuk kepentingan ini.

PROLAPS KATUP MITRAL


Pertimbangan Preoperatif
Prolaps katup mitral dikarakterisasi secara klasik dengan click mid-diastolik dengan
atau tanpa murmur sistolik lambat di apeks jantung pada auskultasi. Hal ini adalah
abnormalitas yang biasa ditemukan pada 5% populasi. Diagnosis didasarkan pada hasil
pemeriksaan auskultasi dan dikonfirmasi dengan ekokardiografi, yang menunjukkan prolaps
sistolik dari daun katup mitral ke atrium kiri. Pasien dengan murmur seringkali
menunjukkan adanya regurgitasi mitral. Daun katup mitral posterior lebih sering terkena
dibandingkan daun anterior. Anulus mitral juga dapat mengalami dilatasi. Secara patologis,
sebagian besar pasien mengalami redundansi atau degenerasi miksomatus dari daun-daun
katup. Sebagian besar kasus prolaps katup mitral adalah kasus sporadik atau familial, yang
menyerang pada individu normal. Insidensi prolaps katup mitral yang tinggi ditemukan pad
apasien dengan kelainan jaringan ikat (terutama sindrom Marfan).
Sebagian besar pasien dengan prolaps katup mitral tidak menunjukkan gejala, namun
pada persenatsi yang kecil, degenerasi miksomatus dapat terjadi secara progresif.
Manifestasi yang ada, kalau terjadi, dapat berupa nyeri dada, aritmia, emboli, regurgitasi
mitral, endokarditis infetif, dan sangat jarang, kematian mendadak. Diagnosis dapat
ditegakkan preoperatif melalui penemuan click yang karakteristik pada auskultasi namun
perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan ekokardiografi. Prolaps dapat diperkuat dengan
manuver yangmenurunkan volume ventrikel (preload). Pemeriksaan EKG biasanya normal,
namun pada beberapa pasien dapat menunjukkan gelombang T terbalik atau bifasik atau
perubahan segmen ST inferior. Aritmia atrialmaupun ventrikular juga sering terjadi.
Walaupun bradi aritmia juga pernah dilaporkan, takikardi supraventrikular paroksismal
paling sering ditemukan. Peningkatan insidensi jalur bypass AV yang abnormal (lihat Bab
19)  dilaporkan pada pasien dnegan prolaps katup mitral.
Sebagian besar pasien memiliki hidup yang normal. Sekitar 15% mengalami
regurgitasi mitral. Persentasi yang lebih kecil mengalami fenomena emboli atau
endokarditis infektif. Pasien dengan click dan murmur sistolik tampaknya memiliki risiko
yang lebih besar untuk mengalami komplikasi. Obat antikoagulan atau antiplatelet dapat
digunakan pada pasien dengan riwayat emboli, sedangkan obat penghambat -adrenergic
lebih sering digunakan pada pasien dengan aritmia.
 
Manajemen Anestesi
Manajemen pada pasien dengan kelainan ini didasarkan apda penampilan klinisnya.
Sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala dan, selain antibiotik profilaksis, tidak
memerlukan pengobatan khusus. Pasien dengan murmur sistolik memiliki risiko terbesar
untuk mengalami endokarditis infektif. Aritmia ventrikular dapat terjadi intraoperatif,
terutama setelah stimulasi simpatis, dan umumnya akan memberikan respon terhadap
lidokain atau obat penghambat -adrenergic. Anestesi yang relatif dalam dengan

50
menggunakan obat volatil biasanya menurunkan kecenderungan aritmia intraoperatif.
Regurgitasi mitral yang disebabkan oleh prolaps umumnya dieksaserbasi oleh penurunan
ukuran ventrikel. Oleh karena itu, hipovolemi dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pengosongan ventrikel, seperti peningkatan tonus simpatis atau penurunan afterload, harus
dihindari. Vasopresor yang memiliki aktivitas agonis -adrenergic (misalnya fenilefrin)
lebih dipilih dibandingkan vasopresor yang memiliki efek agonis -adrenergic (misalnya
efedrin).

STENOSIS AORTA
Pertimbangan Preoperatif
Stenosis katup aorta adalah penyebab obstruksi outflow ventrikel kiri yang paling
sering. Obstruksi outflow ventrikel kiri lebih jarang disebabkan oleh kardiomiopati
hipertrofi, stenosis subvalvular kongenital , rematik, atau degeneratif. Abnormalitas jumlah
katup (paling seringpada katup tricuspid) atau kelainan bentuk katup menghasilkan
turbulensi yang akan menimbulkan trauma pada katup dan pad akhirnya akan menimbulkan
stenosis. Stenosis rematik aorta jarang terisolasi, kelainan ini lebih sering terjadi bersamaan
dengan regurgitasi aorta atau kelainan katup mitral. Dalam bentuk degeneratif yangpaling
sering ditemukan, stenosis aorta yang mengalami kalsifikasi, wear and tear yang
menghasilkan penumpukan deposit kalsium pada katup yang normal, menghambat katup-
katup tersebut untuk membuka,
 
Patofisiologi
Berbeda dengan obstruksi outflow ventrikel kiri, yang mendilatasi ventrikel dengan
cepat dan menurunkan isi sekuncup (lihat Bab 21), obstruksi yang disebabkan oleh stenosis
katup aorta hamper selalu bersifat gradual, memberikan kesempatan bagi ventrikel untuk,
setidaknya, mencoba untuk mengkompensasi dan mempertahankan isi sekuncup. Hipertrofi
ventrikel konsentris memungkinkan ventrikel kiri untuk mempertahankan isi sekuncup
dengan menimbulkan gradient transvalvular yang bermakna dan mengurangi stres pada
dinding ventrikel (Gambar 20-5).
Stenosis aorta kritis timbul saat orifisium katup aorta berkurang hingga 0.5–0.7 cm 2
(normal 2.5–3.5 cm2). Dalam derajat stenosis seperti ini, pasien biasanya memiliki gradien
transvalvular sekitar 50 mmHg pada saat istirahat (pada curah jantung normal) dan tidak
mampu meningkatkan curah jantung. Kemudian, peningkatan gradien transvalvular yang
lebihlanjut tidak meningkatkan isi sekuncup dengan bermakna.luar katup aorta antara 0.7
and 0.9 cm2 umumnya dihubungkan dengan gejala ringan hingga sedang. Pada stenosis
aorta yang lama, kontraktilitas miokardium mendetorasi secara progresif dan kemudian
menurunkan fungsi ventrikel kiri. Sebagian pasien dengan stenosis aorta memiliki periode
laten antara 30-60 tahun (tergantung pada penyebabnya) sebelum timbul gejala yang
bermakna.
Secara klasik, pasien dengan stenosis aorta tingkat lanjut mengalami trias dyspne saat
beraktivitas, angina, dan sinkop ortostatik atau pada saat latihan. Gambaran yang nyata pada
stenosis aorta adalah penurunan komplians ventrikel kiri sebagai akibat dari hipertrofi (lihat
Bab 19). Disfungsi diastolik diakibatkan oleh peningkatan massa otot ventrikel, fibrosis,
atau iskemia miokardium. Berbeda dengan volume end-diastolik ventrikel kiri, yang tetap
normal hingga pada fase akhir daripenyakit, tekanan end-diastolik ventrikel kiri meningkat

51
lebih awal. Penurunan gradien tekanan diastolik antara atrium dan ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pengisian ventrikel, yang kemudian akan menjadi tergantung pada
kontraksi atrium normal. Hilangnya sistol atrial akan mempresipitasi terjadinya gagal
jantung kongestif atau hipotensi pada pasien dengan stenosisi aorta. Curah jantung mungkin
normal saat istirahat pad apasien yang memiliki gejala, namun tidak tidak dapat meningkat
dengan baik pada saat aktivitas. Pasien dapat mengeluhkan adnya angina walaupun tidak
mengalami PJK. Kebutuhan oksigen meningkat karena hipertrofi ventrikel, sementara suplai
oksigen justru menurun sebagai akibat dari kompresi pembuluh darah intramiokardium
akibat tekanan sistolik yang tinggi dalam ruang ventrikel (hingga 300 mmHg). Sinkop atau
keadaan hampir sinkop pada saat beraktivitas mungkin disebabkan oleh ketidakmampuan
untuk mentoleransi vasodilatasi pada jaringan otot selama aktivitas. Aritmia menyebabkan
hipoperfusi yang lebih berat yang juga dpat menyebabkan sinkop dan kematian mendadak
pada beberapa pasien. Emboli kalsium kadang-kadang menyebabkan komplikasi neurologis.
 
Perhitungan Luas Katup Aorta & Gradien transvalvular
Seperti pada stenosis mitral luas katup bias didapatkan dari data kateterisasi karena
gradient transvalvular seimbang dengan curah jantung. Dengan menggunakan persamaan
Gorlin:

         Aliran katup aorta dinyatakan dalam mL/detik, tekanan dinyatakan dalam mm Hg, dan
luas katup dalam cm2; K = 44. Aliran katup aorta dapat ditentukan sebagai berikut:

 Seperti pada stenosis mitral, gradien tekanan yang melalui katup aorta bisa didapatkan
dengan menggunakan ekokardiografi Doppler kontinyu yang noninvasive:
 

 P adalah gradient tekanan puncak (mmHg) dan V adalah kecepatan aliran darah puncak
(m/detik) di distal dari obstruksi. Kecepatan puncak yang lebih dari 4.5 m/detik umumnya
mengindikasikan stenosis yang berat. Lebih lanjut lagi, jika luas proksimal dari stenosis
(LVOT) dapat diukur, persamaan kontinuitas dapat diaplikasikan untuk menilai luas katup.
Baik TVI maupun kecepatan maksimum dapat digunakan:

 A2 adalah luas katup, A1 adalah luas cross-sectional dari LVOT, V1 adalah kecepatan
maksimum aliran darah pada LVOT, dan V2 adalah kecepatan maksimum aliran yangmelalui
katup aorta. Adanya regurgitasi aorta tidak mempengaruhi kekuratan perhitungan ini.
 

Terapi
Begitu gejala yang bermakna timbul, sebagian besar pasien, tanpa tindakan operasi,
meninggal dalam 2-5 tahun. Pasien dengan gagal jantung kongestif diterapi dengan

52
digoksin, restriksi sodium, dan diuretik dosis kecil. Valvuloplasti balloon perkutan
umumnya digunakan pada pasien yang lebihmuda dengan stenosis aorta kongenital;
tindakan ini juga dapat digunakan pada pasien usia tua dengan stenosis aorta yang
mengalami kalsifikasi yang bukan merupakan kandidat yang baik untuk penggantian katup.
Efikasi pada kelompok pasien usia tua ini tidak bertahan lama, bagaimanapun, restenosis
biasanya muncul dalam 6-12 bulan.
 
Manajemen Anestesi
tujuan
pemeliharaab sinus ritmik, denyut jantung, dan volume intravaskuler yang normal sangat
penting pada pasien dengan stenosis aorta. Hilangnya waktu sistol atrium seringkali
menyebabkan deteorasi yang cepat, terutama jika berhubungan dengan takikadi. Kombinasi
dengan fiblrilasi atrial mengganggu pengisian ventrikel dengan serius dan mengharuskan
cardioversi segera. Penurunan komplians ventrikel juga menyebabkan pasien menjadi
sangat sensitif pada perubahan mendadak pada volume intravaskuler. Lebih banyak pasien
yang menunjukkan isi sekuncup menetap dibandingkan dengan hidrasi yang adekuat; pada
keadaan ini curah jantung menjadi sangat tergantung pada denyut jantung. Oleh karena itu,
bradikardia (<50 kali/menit) menghasilkan toleransi yang sangat buruk. Denyut jantung
yang optimal bagi sebagian besar pasien adalah sekitar 60 dan 90 kali/menit.
 
Monitoring
Monitoring EKG dan tekanan darah dengan ketat sangatlah penting. Monitoring iskemia
ditunjukkan dengan abnrmalitas segmen ST dan gelombang T. Monitoring tekanan
intraarteri sangat dianjurkan pada pasien dengan stenosis aorta yang berat, karena banyak
dari pasien-pasien ini yang tidak dapat mentoleransi episode hipotensi bahkan yang singkat
sekalipun. Kateterisasi pulmonal juga dapat bermanfaat, akan tetapi hasil yang didapatkan
harus diintrepertasi dengan hati-hati. Tekanan kapiler pulmonal yang lebih tinggi dari nilai
normal seringkali diperlukan untuk mempertahankan volume end-diastol ventrikel kiri dan
curah jantung yang adekuat. Gelombang á yang menonjol seringkali terlihat pada kurva
tekanan arteri pulmonal. Vasodilator umumnya hanya perlu diberikan pada pasien dengan
kateter pulmonal, karena pasien seringkali sangat sensitive pada vasodilator. Ekokardiografi
transeofageal dapat bermanfaat pada pasien-pasien ini untuk memonitor iskemia, preload
ventrikel, kontraktilitas, fungsi katup, dan efek intervensi terapi.
 
pemilihan obat
Pasien dengan stenosis aorta ringan hingga sedang (umumnya tidak menunjukkan
gejala) dapat menjalani anestesi spinal atau epidural. Teknik ini harus dilaksanakan dengan
sngat hati-hati, karena bagaimanapun, hipotensi dapat timbul kapan saja karena reduksi
preload, afterload,  atau keduanya. Anestesi epidural lebih dipilih dibanding anestesi spinal
karena memiliki onset hipotensi yang lebih lambat, sehingga memungkinkan tindakan
koreksi yang lebih agresif. Anestesi spinal dan epidural menjadi kontraindikasi pada pasien
dengan stenosis aorta yang berat.
Pemeilihan obat anestesi umum sangat pentingpad pasien dengan gejala (sedang
hingga berat) stenosis aorta. Pada pasien-pasien ini, teknik anestesi yang menggunakan
dasar opioid umumnya menghasilkan depresi jantung yang minimal; induksi yang sesuai
dengan obat nonopioid temasuk etomidat dan kombinasi  ketamin dan benzodiazepin. Jika

53
menggunakan obat volatil, konsentrasi yang dipergunakan harus dikontrol dengan hati-hati
untuk menghindari depresi miokardium yang berlebihan, vasodilatasi, atau hilangnya sistol
atrial yangnormal. Takikardi dan hipertensi, yang dapat mempresipitasi iskemia, harus
diatasi dengan menambah kedalaman anestesi. Jika akan menggunakan obat penghambat  -
adrenergik, esmolol dapat menjadi pilihan karena waktu hipunya yang pendek. Sebagian
besar pasien dengan stenosis aorta umumnya sensitif terhadap vasodilator. Selanjutnya,
akibat ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen yang telah ada sebelumnya, pasien-
pasien ini tidak dapat mentoleransi keadaan hipotensi bahkan yang ringan sekalipun.
Hipotensi umumnya harus diatasi dengan fenilefrin dosis kecil (25-50 μg). Takikardi
supraventrikular intraoperatif dengan kompromi hemodinamik harus diatasi segera dengan
cardioversi tersinkronisasi. Ektopi ventrikel yang sering terjadi (yang seringkali
menggambarkan iskemia) umumnya tidak dapat ditoleransi dengan baik secara
hemodinamik dan harus diatasi dengan lidokain intravena. amiodaron umumnya cukup
efektif untuk aritmia supraventrikular maupun ventrikular.

KARDIOMIOPATI HIPERTROPI
Petimbangan preoperasi
Kardiomiopati hipertropi dapat herediter (biaanya dengan berbagai macam penetransi) atau
terjadi secara sporadik. Ini telah dijasikan rujukan untuk berbagai nama : stenosis subaorta
hipertropi idiopatik, hipertropi septal asimetrik, kardiomiopati obstruksi hipertropik, dan
stenosis subaorta muscular. Ini ditandai dengan hipertropi ventrikel kiri yang heterogen
dengan sebab yang tidak jelas. Tipe otot yang hipertropi menunjukan arsitektur sel yang
abnormal.
Pasien hipertropi kardiomiopati menunjukan tanda-tanda disfungsi diastolik yang
tampak dari peningkatan tekanan akhir diastol ventrikel kiri meskipun fungsi ventrikel
sering hiperdinamik. Kekakuan diastolik (diastolik stiffness) kemungkinan disebabkan oleh
kelainan otot yang hipertropi, yang cenderung terletak di atas septum interventrikular
dibawah katup aorta; jarang hanya melibatkan apex ventrikel. Pada 25 % pasien, hipertropi
menyebabkan obstruksi dinamis aliran ventrikel kiri selama sistol. Obstruksi dihasilkan
oleh penyempitan area subaorta yang disebabkan oleh pergerakan anterior saat sistol
(systolic anterior motion/SAM) dari katup mitral anterior bag anterior yang melawan
pembesaran septum. SAM mungkin menyebabkan gambaran efek venturi pada katup
anterior selama a ejeksi yang cepat dari ventrikel yang hipertropi. Sebaliknya pada
obstruksi yang tetap (stenosis katup aorta), obstruksi yang dihasilkan (dan perbedaan
tekanan) dinamis dan mencapai puncaknya pada pertengahan sampai akhir sistol. Selain
dari itu, tingkat obstruksi dapat berbeda dari denyut ke denyut. Fktor-faktor yang
snenderung memperburuk obstruksi meliputi peningkatan kontraktilitas, penurunan volume
ventrikel, dan penurunan afterload ventrikel kiri. Regurgitasi mitral akibat SAM
disebabkan oleh kegagalan katup mitral untuk menutup secara normal pada akhir sistol
biasanya mengakibatkan timbulnya arus balik ke arah posterior. Penelitian anatomis juga
memberkan hasil sebagian besar pasien mempunyai kelainan katup mitral; daun katup
mitral, khususnya yang anterior sering lebih panjang daripada normal.
Sebagian besar pasien tidak menunjukan gejala. Pasien yang mempunyai gejala
biasnya mengeluhkan sesak saat beraktifitas, tetapi mereka juga dapat mengeluh lelah,
sinkop/ pingsan, ha,mpir pingsan atau angina. Gejala tidak perlu berkaitan dengan adanya
atau beratnya obstruksi aliran ventrikel kiri . Kematian karena jantung yang tiba-tiba sering
merupakan manifestasi gangguan yang pertama pada pasien yang lebih muda dari 30 tahun
dan merupakan penyebab kematian terbanyak. Aritmia supraventrikel dan ventrikel

54
biasanya ditemukan Pasien dengan obstruksi mempunyai ciri murmur sistolik yang kasar
(lihat Tabel 20-13). Gambaran EKG menunjukan hipertropi ventrikel kiridan gelombang Q
yang dalam dan lebar. Diagnosis dapat ditegakan dengan EKG. Mskipun tidak bergejala
pasien dapat menunjkan kekurangan perfusi miokardium pada skan dengan thalium-201.
Perbedaan tekanan puncak dapat diukur dengan EKG Doopler dengan menentukan
kecepatan puncak pada LVOT (lihat bagian sebelumnya pada stenosis aorta).
Pengobatan denngan β-adrenergik dan calcium chanel blocking. Keduanya menurunkan
kontraktilitas dan dapat mencegah peningkatan perbedaan tekanan subaorta pada pasien
dengan obstruksi. Calcium chanel blocker dapat meningkatkan kapasitas diastol (relaksasi).
Amiodarone umumnya efektif baik pada aritmia supraventrikel dan aritmia ventrikel.
Nitrat, digoksin, dan diuretik dihindari karena dapat mempeburuk obstruksi ventrikel kiri.
Operasi myomectomi/myotomi dilakukan pada pasien dengan gejala-gejala sedang sampai
berat; TEE merupakan alat bantu yang sangat bernilai pada operasi tersebut.

Pengelolaan Anestesi
Evaluasi preoperasi pada pasien-pasien dengan kardiomiopati hipertropi fokusnya pada
mengevaluasi kemungkinan adanya obstruksi dinamik yang bermakna, aritmia malignan,
dan iskemia miokardium. Hasil ekokardiografi (atau angiografi) dan Holter monitoring
sebaiknya dinilai ulang bersama ahli jantung. Tujuan anestesi untuk meminimalisasi
aktivitas simpatis, menambah volume intravaskuler untuk menghindari hipovolemia, dan
meminimalisasi penurunan pada afterload ventrikel kiri.
Keperluan monitoring tergantung beratnya obstruksi dan prosedur operasi. Monitoring ketat
hemodinamik biasanya diperlukan untuk memandu terapi cairan pada pasien dengan
kapasitas ventrikel yang abnormal. Bentuk gelombang tekanan arteri pada pasien dengan
obstruksi dapat berupa bifid (pulsa bisferien): Puncak pertama menunjukan awal ejeksi
ventrikel yang tidak obstruksi, sementara penurunan berikutnya dan puncak kedua
dihasilkan oleh obstruksi dinamik.
Pada pasien dengan obstruksi yang jelas, sedikit depresi jantung biasanya disukai dan dapat
dicapai dengan menggunakan obat anestesi volatile, khususnya halotane dan enflurane.
Obat β-adenergik juga berguna untuk menetralkan pengaruh aktivasi simpatis dan
penurunan obstruksi. Anestesia regional dapat memperburuk obstruksi aliran ventrikel kiri
dengan menurunkan preload dan afterload jantung. Fenilefrin dan agonis α-adrenergik
murni lainnya adalah vasopresor ideal pada pasien pasien ini karena memperkuat
kontraktilitas tetapi meningkatkan SVR (afterload ventrikel).

REGURGITASI AORTA
Pertimbangan Preoperasi

55
Regurgitasi aorta biasanya terbentuk perlahan dan terus menerus (kronis), tetapi dapat juga
terbentuk cepat (akut). Regurgitasi aorta kronik disebabkan oleh kelainan katup aorta,
pembuluh aorta, atau keduanya. Kelainan katup biasnya kongenital (katup bikuspid) atau
akibat demam rematik. Penyakit pada aorta ascenden menyebabkan regurgitasi dengan
mendilatasi anulus aorta; diantaranya sifilis, ektasia annuloaorta, nekrosis medial cystic
(dengan atau tanpa Marfan syndrome), spondilitis ankilosing, rematoid arthritis dan
psoriatik artritis, dan bermacam-macam gangguan jaringan konektif. Insufisiensi aorta akut
biasanya paling sering terjadi setelah endokarditis infeksi,trauma, atau diseksi aorta.

Patofisiologi
Tanpa melihat sebab, regurgitasi aorta menghasilkan overload volume di ventrikel kiri
(Gambar 20-5). Stroke Volume (SV) aliran ke depan yang efektif berkurang disebabkan
aliran balik (regurgitan) darah ke ventrikel kiri selama diastol. Tekanan diastol arteri
sistemik dan SVR menjadi rendah. Penurunan afterload jantung membantu memudahkan
ejeksi ventrikel. Stroke Volume Total adalah penjumlahan stroke volume efektif dengan
volume regurgitan. Volume reurgitan tergantung kepada denyut jantung (waktu diastol)
dan perbedaan tekanan diastol yang melalui katup aorta (Tekanan diastol aorta dikurangi
tekanan diastole akhir ventrikel kiri). Denyut jantung yang lambat meningkatkan regurgitasi
sebab berkaitan dengan peningkatan ketidakseimbangan saat waktu diastole (lihat Bab 19),
dimana peningkatan tekanan diastole arteri menambah volume regurgitan melalui
peningkatan perbedaan tekanan yang meningkatkan aliran balik.
Dengan regurgitasi aorta yang kronis, ventrikel kiri membesar (dilatasi) secara progresif dan
mengalami hipertropi eccentrik. Pasien-pasien dengan regurgitasi aorta berat mempunyai
volume akhir diastol yang terbesar diantara berbagai penyakit jantung; dilatasi jantung yang
masif sering dianggap sebagai jantung sapi. Hasil peningkatan volume akhir diastole
menjaga stroke volume efektif sebab volume akhir sistolik tidak berubah. Berbagai
peningkatan volume regurgitan dikompensasi oleh peninkatan volume akhir diastole.
Tekanan akhir diastole ventrikel kiri biasanya normal atau sedikit meningkat, sebab
pkapasitas ventrikel bertambah. Pada akhirnya, seiring dengan memburuknnya fungsi
ventrikel, fraksi ejeksi menurun, dan mengganggu pengosongan ventrikel yang
manifestasinya berupa peningkatan bertahap pada tekanan akhir diastol dan volume akhir
sistol.
Ketidakmampuan katup aorta yang timbul tiba-tiba tidak membuat timbulnya kdilatasi
kompensasi atau hipertropi ventrikel kiri. Stroke volume efektif menurun sebab ukuran
normal ventrikel tidak mampu mengakomodasi volume regurgitan yang membesar tiba-tiba.
Peningkatan tiba-tiba pada tekanan akhir diastol ventrikel kiri dikirimkan kembali ke
sirkulasi pulmonar dan menyebabkan kongesti paru akut.
Regurgitasi aorta akut mempunyai ciri adanya onset mendadak edema paru dan hipotensi,
sementara regurgitasi yang kronis biasanya terdapat gagal jantung kongestif. Gejala yang
muncul biasanya minimal (pada yang kronis) ketik volume regurgitan masih dibawah 40 %
dari stroke volume tetapi menjadi betrat ketika melebihi 60 %. Angina dapat terjadi tanpa
adanya penyakit jantung koroner. Kebutuhan oksigen jantung meningkat pada otot yang
hipertropi dan dilatasi, sementara suplai darah jantung berkurang karena rendahnya tekanan
diastol pada aorta akibat adanya regurgitasi.

Perhitungan Fraksi Regurgitan dan Pengukuran lainnya

56
Seperti regurgitasi mitral, RSF dan RF untuk regurgitasi aorta dapat diperkirakan dengan
ekokardiografi Dopler. Stroke volume diukur pada sistem pengeluaran ventrikel kiri (Left
Ventrikel Outflow tract/LVOT) dan pada katup mitral (MV)

dan

Waktu paruh tekanan (T1/2, lihat pada bagian stenosis mitral) dari regurgitan kegunaan lain
dari parameter ekokardiografi untuk perhitungan klinis akan beratnya regurgutasi aorta.
Makin pendek waktu paruh makin makin berat regurgitasi; Regurgitasi berat yang secara
cepat meningkatkan tekanan diastole ventrikel dan menghasilkan keseimbangan tekanan
yang lebih cepat. Sayangnya T1/2 tidak hnaya mengenai area orificium regurgitan tapi juga
tekanan aorta dan ventrikel. Cairan regurgitasi aorta dengan T1/2 kurang dari 240 ms berarti
regurgitasi berat.

Pengobatan
Kebanyakan pasien dengan regurgitasi aorta kronis masih tidak mempunyai gejala selama
10-20 tahun. Sekali gejala yang jelas terbentuk perkiraan waktu hidupnya sektar 5 tahun
jika tanpa penggantian katup. Digitalis, diretik dan pengurangan afterload, khususnya
dengan ACE inhibitor biasanya bermanfat untuk pasien dengan regurgitasi aorta kronis yang
lanjut. Penurunan tekanan darah arteri mengurangi perbedaan diastolik untuk regurgitasi.
Pasien dngan kregurgitasi aorta kronis harus dioperasi sebelum terjadinya disfungsi
ventrikel yang ireversibel.
Pasien dengan regurgitasi aorta akut memerlukan inotropik intravena (dopamin atau
dobutamin) dan pemberian vasodilator (nitroprusid). Pembedahan dini diindikasikan untuk
psien dengan regurgitasi aorta akut: pengelolaan medis saja berkaitan dengan angka
kematian yang tinggi.

Pengelolaan Anestesi
Tujuan

Denyut jantung harus dijaga dalam batas -batas yang normal (80-100 x/m). Bradikardi
dan peningkatan SVR meningkatkan volume regurgitanpada pasien dengan regurgitasi aorta,
sementara takikardi berperan untuk menyebabkan iskemia miokardium. Depresi jantung
yang besar sebaiknya dihindari. Kompensasi peningkatan preload jantung harus dijaga,
tetapi pengantian cairan yang terlalu bersemangat dapat menimbulkan edema paru yang
segera.

Monitoring
Monitoring ketat hemodinamika seharusnya dilakukan untuk seluruh pasien dengan
regurgitasi akut dan pasien regurgitasi kronis yang beat. Penutupan prematur dari katup

57
mitral sering terjadi selama regurgitasi aorta terjadi dan dapat menyebabkan PCWP
memberikan perkiraan yang salah tekanan akhir diastol ventrikel kiri. Munculnya
gelombang v yang besar menunjukan regurgitsi mitral timbul akibat dilatasi ventrikel kiri.
Gelombang tekanan ateri pada psien dengan regurgitasi aorta mempunyai tanda tekanan
nadi yang lebar. Nadi bisferians juga dapat ditemukan pada beberapa pasien dan mungkin
akibat ejeksi yang cepat dari stroke voluime yang besar. TEE Doppler berwarna dapat
sanagat bermanfaat dalam menghitung beratnya regurgitasi dan memandu intervensi
pengobatan (lihat Tbel 20-16). Arus balik darah ada pada aorta selama diastol (holodiastol)
dengan regurgitasi aorta berat.

Pemilihan Obat
Kebanyakan pasien menerima anestesia spinal dan epidural, volume intravaskulernya
terpelihara. Ketika anestesi umum diperlukan, isofluran dan desfluran mungkin merupakan
obat ideal sehubungan dengan vasodilatasinya. Teknik anestesi umum berbasis opioid lebih
cocok pada pasien dengan depresi fungsi ventrikel. Pancuronium meupakan pilihan yang
baik untuk teknik General anestesia sebab sering mencegah takikardia. Pengurangan
afterload intraoperasi dengan nitroprusid memerlukan monitoring ketat yang optimal.
Efedrin biasanya digunakan sebagai vasopresor untuk mengatsi hipotensi. Dosis kecil
fenilefrin (25-50 μg) dapat digunakan ketika hipotensi disebabkan vasodilatais yang hebat.
Dosis besar fenilefrin dapat meningkatkan SVR (dan tekanan diastol arteri) dan dapat
memperburuk regurgitasi.

REGURGITASI TRIKUSPID

Pertimbangan Preoperasi
70 – 90 % pasien mempunyai regurgitasi trikuspid ringan pada ekokardiografi; volume
regurgitan pada kasus-kasus ini hampir selalu tidak signifikan. Secara klinis regurgitasi
trikuspid, bagaimanapun, kebanyakan disebabkan oleh dilatasi ventrikel kanan akibat
hipertensi pulmoner yang berkaitan dengan kegagalan ventrikel kiri. Regurgitasi trikuspid
juga dapat terjadi setelah endokarditis infeksi (biasanya pada pengguna narkotik dengan
menggunakan injeksi), demam rematik, sindroma karsinoid, atau truma dada atau akibat
anomali Ebstein (Letak katup kebawah karena kelainan letak daun katup).

Patofisiologi
Kegagalan ventrikel kiri yang kronis sering mengawali peningkatan tekanan pembuluh
darah paru-paru. Peningkatan afterload yang kronis menyebabkan dilatasi yang progresif
dari bagian dinding yang tipis ventrikel kanan, dan dilatasi yang berlebihan dari anulus
trikuspid akhirnya menimbulkan regurgitasi. Peningkatan volume akhir diastol membuat
ventrikel kanan melakukan kompensasi terhadap volume regurgitan dan menjaga arus ke
depan tetap efektif. Oleh karena atrium kanan dan vena kava dapat mengakomodasi
kelebihan cairan, tekanan vena sentral dan atrium kanan rata-rata biasanya hanya sedikit
meningkat. Peningkatan akut dan jelas pada tekanan arteri pulmonal meningkatkan volume
regurgitan dan terlihat pada peningkatan CVP. Selain itu, Peningkatan tiba-tiba afterload

58
ventrikel kanan mengurangi output ventrikel kanan, mengurangi preload ventrikel kiri dan
memicu hipotensi sistemik.
Hipertensi vena kronik menyebabkn kongesti pasif hati disfungsi hepar progresif, yang
pada akhirnya menyebabkan chirosis hepar. Kegagalan ventrikel kanan yang berat dengan
beban jantung kiri yang rendah dapat menyebabkan Rhigth to Left shunting melalui forman
ovale yang menutup tidak sempurna, yang menimbulkan hipoxemia.

Perhitungan Volume Regurgitan dan Tekanan Arteri Pulmoner


Untuk menghitung volume regurgitan, stroke volume dinilai pada katup trikuspid dan pada
tempat lain (yang tidak terkena) seperti pada LVOT atau katup mitral (lihat pada bagian
regurgitasi mitral) :

Dimana ATV adalah area katup tricuspid dan VTITV adalah integral kecepatan waktu dari
arus yang melewati katup tricuspid. Dengan regurgitasi tricuspid yang berat aliran masuk
sistolik normal yang masuk ke atrium kanan dikembalikan dan aliran balik juga diamati
pada vena hepatika.
Tekanan arteri pulmoner sistol (PAS) dapat diperkirakan dari kecepatan puncak regurgitan :

dimana P adlah perbedaan tekanan sistol (mmHg) antara venrikel kanan dan atrium
kanan dan V adalah puncak kecepatan aliran darah (m/s) dari cairan regurgitan. Jika CVP
diketahui atau diperkirakan, maka

Pengobatan
Regurgitasi trikuspid biasanya ditoleransi baik oleh kebanyakan pasien. Tanpa hipertensi
pulmonar, banyak yang dapat menoleransi operasi dengan excisi seluruh katup trikuspid.
Karena penyakit yang mendasari umumnya lebih penting daripada regurgitasi tricuspid
sendiri, pengobatan ditujukan untuk proses penyakit yang mendasari. Pada regurgitasi
moderat dan berat, dilakukan anuloplasti tricuspid yang dilanjutkan penggantian katup lain.

Manajemen Anestesia
Tujuan
Sasaran hemodinamik seharusnya ditujukan terhadap penyakit yang mendasarinya.
Hipovolemia dan faktor-faktor yang meningkatkan afterload ventrikel kanan, seperti hipoxia
dan asidosis, seharusnya dihindari untuk menjaga stroke volume ventrikel kanan yang
efektif dan preload ventrikel kiri. PEEP dan tekanan jalan nafas yang tinggi diharapkan
selama ventilasi mekanik sebab mengurangi venous return dan menambah afterload
ventrikel kanan.

Monitoring

59
Pada pasien-pasien ini, monitoring tekanan vena sentral dan arteri pulmoner sangat
bermanfaat. Yang kedua tidak selalu memungkinkan, aliran regurgitasi yang besar
membuat pergerakan kateter arteri pulmoner melalui katup trikuspid sulit. CVP sangat
berguna dalam mengikuti perkembangan fungsi ventrikel kanan, sementara tekanan arteri
pulmoner dapat mengukur afterload dan preload ventrikel kiri. CVP yang meningkat
menunjukan perburujan disfungsi ventrikel kanan. Tidak adanya penunrunan gelombang x
dan gelombang cv prominen yang biasanya ada pada gelombang CVP. Pengukuran kardiak
output dengan termodilusi meningkat palsu karena adanya regurgitasi trikuspid. TEE
doppler berwarna berguna untuk mengevaluasi beratnya regurgitasi dan kelainan lain yang
berkaitan.

Pemilihan Obat
Pemilihan obat anestesi seharusnya berdasarkan kepada kelainan yang mendaarinya.
Kebanyakan pasien mentoleransi dengan baik anestesia spinal dan epidural. Koagulopati
yang timbul karena disfungsi hepar harus dapat disingkirkan sebelum melakkan beberapa
teknik regional. Selama anestesia N2O daapt memperburuk hipertensi pulmonal dan harus
diberikan dengan hati-hati,

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

PERTIMBANGAN PRE-OPERASI
Penyakit jantung bawaan disertai dengan berbagai kelainan yang bisa dideteksi pada
masa bayi, masa anak-anak, atau lebih jarang, pada masa dewasa. Insidensi penyakit jantung
bawaan pada bayi yang lahir hidup mencapai 1%. Riwayat alamiah untuk beberapa defek,
bahwa beberapa pasien sering bertahan hingga dewasa (Tabel 20-17). Lebih lanjut, jumlah
orang dewasa yang bertahan hidup dengan penyakit jantung bawaan terlihat meningkat
secara konstan, kemungkinan hal ini adalah akibat dari kemajuan ilmu kedokteran. Jumlah
pasien dengan penyakit jantung bawaan yang meningkat bisa jadi ditemukan selama operasi
non-jantung dan persalinan obstetris.

Table 20–17. Common Congenital Heart Defects in Which Patients


Typically Survive to Adulthood Without Treatment.
Bicuspid aorta valve
Coarctation of the aorta
Pulmonic valve stenosis
Ostium secundum atrial septal defect
Ventricular septal defect
Patent ductus arteriosus

Kekompleksan dan patofisiologi yang bervariasi dari penyakit jantung bawaan


membuat pengklasifikasian menjadi sulit. Skema-skema yang biasa digunakan disajikan
dalam tabel 20-18. Kebanyakan pasien mengalami sianosis, gagal jantung kongestif, atau

60
kelainan yang asimtomatik. Sianosis adalah khas merupakan hasil dari komunikasi intra-
jantung yang abnormal sehingga menyebabkan darah yang tidak teroksigenasi mencapai
sirkulasi arterial sistemik (right-to-left shunting). Gagal jantung kongestif lebih
terkarakteristik dengan defek yang bisa menghambat keluaran ventrikel kiri atau ditandai
dengan peningkatan volume darah paru. Gejala sisanya biasanya berasal dari kelainan
jantung yang mengakibatkan pengembalian darah teroksigenasi ke jantung sebelah kanan
(left-to-right shunting). Walaupun pintasan dari kanan-kiri biasanya menurunkan aliran
darah paru, beberapa lesi yang kompleks justru meningkatkan aliran darah paru,walaupun
terdapat pintasan kanan-kiri. Pada beberapa kasus, lebih dari satu lesi yang bisa ditemukan.
Faktanya, mampu bertahan hidup dengan beberapa kelainan (seperti transposisi, total
anomalous venous return, dan atresia paru) bergantung pada kehadiran shunting lesion
lainnya ( seperti patent ductus arteriosus, patent foramen ovale, dan ventrikuler septal
defect). Hipoksemia kronik pada pasien dengan penyakit jantung sianosis biasanya berakibat
eritrositosis. Peningkatan jumlah sel darah merah ini, yang merupakan akibat dari
peningkatan sekresi eritropoetin dari ginjal, bisa mengembalikan perfusi jaringan menjadi
normal. Sialnya, viskositas darah bisa meningkat pula pada suatu titik yang dapat
mengganggu hantaran oksigen. Lebih lanjut lagi, defisiensi besi bisa mengakibatkan hiper
viskositas dengan mengubah sel darah merah menjadi lebih kaku dan kurang fleksibel pada
mikrosirkulasi. Ketika oksigenisasi jaringan kembali normal, hematokrit stabil (biasaya <
65%) dan gejala-gejala dari sindrom hiperviskositas tidak ada, pasien dikatakan mengalami
eritrositosis kompensata. Pasien dengan eritrositosis tidak terkompensasi tidak mencapai
keseimbangan; mereka mengalami gejala-gejala hiperviskositas dan berisiko untuk
timbulnya penyulit thrombosis, terutama stroke. Stroke ini diperberat dengan dehidrasi dan
defisiensi besi. Anak-anak yang kurang dari 4 tahun mempunyai risiko terbesar untuk
timbulnya stroke. Faktor-faktor yang bisa menjadi pencetus stroke pada orang dewasa
adalah phlebotomy yang berlebihan dan aspirin atau terapi antikoagulasi. Phlebotomy tidak
disarankan apabila tidak ada gejala hiperviskositas dan hematokrit < 65%.

Table 20–18. Classification of Congenital Heart Disease.

Lesions causing outflow obstruction 


  Left ventricle
    Coarctation of the aorta
    Aorta stenosis
  Right ventricle
    Pulmonic valve stenosis
Lesions causing left-to-right shunting 
  Ventricular septal defect
  Patent ductus arteriosus
  Atrial septal defect
  Endocardial cushion defect
  Partial anomalous pulmonary venous return
Lesions causing right-to-left shunting 
  With decreased pulmonary blood flow

61
    Tetralogy of Fallot
    Pulmonary atresia
    Tricuspid atresia
  With increased pulmonary blood flow
    Transposition of the great vessels
    Truncus arteriosus
    Single ventricle
    Double-outlet right ventricle
    Total anomalous pulmonary venous return
    Hypoplastic left heart

Kelainan koagulasi sering pada pasien dengan penyakit jantung sianosis. Hitung
trombosit cenderung rendah-normal, dan beberapa pasien memiliki defek kaskade koagulasi
yang ringan ataupun berat. Phlebotomy bisa meningkatkan hemostasis pada beberapa
pasien. Hiperurisemia sering terjadi karena peningkatan reabsorbsi urat sekunder daripada
hipoperfusi renal. Gout arthritis jarang terjadi, tetapi hiperurisemia bisa mengakibatkan
gagal ginjal yang progresif.
Echokardiografi Doppler preoperasi tidak banyak membantu dalam memperjelas
defek anatomi, memastikan ataupun menyingkirkan adanya lesi lain ataupun komplikasi,
signifikansi fisiologis dan efek dari terapi intervensi.

MANAJEMEN ANESTESI
Pasien-pasien ini mencakup empat kelompok : mereka yang telah menjalani operasi
perbaikan jantung dan tidak membutuhkan operasi selanjutnya, mereka yang hanya
menjalani operasi paliatif, mereka yang belum menjalani operasi jantung dan mereka
dengan kondisi yang tidak mungkin untuk dioperasi dan mungkin menunggu transplantasi
jantung. Walaupun manajemen dari pasien grup pertama bisa seperti pasien normal lainnya
(kecuali pada pertimbangan terapi antibotik profilaktif, lihat tabel 20-15), perawatan
kelompok lainnya memerlukan pengertian tentang patofisiologi kompleks defek-defek
tersebut. Bahkan pasien-pasien yang telah menjalani operasi perbaikan jantung masih rentan
untuk terjadinya masalah-masalah peri operatif (tabel 20-19). Beberapa prosedur bedah
mampu mengeliminir risiko endokarditis, sedangkan prosedur lainnya bisa meningkatkan
risiko tersebut dengan penggunaan katup buatan atau CONDUIT atau pembuatan pintasan
baru. Pasien dengan defek septum atrial ostium secundum dan mereka dengan stenosis
pulmonic ringan memiliki risiko yang paling rendah.

62
Table 20–19. Common Problems in Survivors of Surgery
for Congenital Heart Defects.

Arrhythmias
Hypoxemia
Pulmonary hypertension
Existing shunts
Paradoxical embolism
Bacterial endocarditis

Penatalaksanaan pasien untuk operasi jantung dan selama persalinan obstetris


didiskusikan pada bab 21 dan 43. Penatalaksanaan secara umum untuk pasien pediatrik
didiskusikan pada bab 44.
Untuk tujuan manajemen anestesi, defek jantung bawaan bisa digolongkan menjadi
lesi obstruktif, predominan left-to-right shunts, atau predominan right-to-left shunts (lihat
tabel 20-18). Pada kenyataannya, pintasan bisa juga dua arah dan mungkin berbalik pada
beberapa kondisi.

LESI OBSTRUKTIF
Stenosis aorta bawaan telah dibahas di atas (lihat pada bagian stenosis aorta) dan
koarktasio aorta dibahas pada bab 21.

STENOSIS PULMONAL
Stenosis katup pulmonal dapat menghambat curah ventrikular kanan dan
menyebabkan hipertrofi ventrikel kanan konsentrik. Obstruksi yang berat umumnya timbul
pada periode neonatus, sedangkan obstruksi yang lebih ringan bisa jadi tidak terdeteksi
hingga dewasa. Katup biasanya mengalami deformitas, dan baik pada katup bikuspid
ataupun trikuspid. Daun katup sering bergabung sebagian dan memperlihatkan kubah
sistolik saat ekokardiografi. Ventrikel kanan mengalami hipertropi dan dilatasi poststenosis
pada arteri pulmonal sering didapakan. Gejala-gejalanya adalah sama dengan gagal jantung
kanan. (lihat Bab 19). Gejala-gejala pada pasien mudah merasa lelah, sesak, dan sianosis
perifer dengan aktivitas sebagai akibat aliran darah paru yang terbatas dan peningkatan
pengunaan oksigen oleh jaringan. Dengan stenosis yang berat, perbedaan tekanan katup
pulmonal melebihi 60 – 80 mmHg, tergantung paa usia pasien. Right to Left shunt juga
dapat terjadi pada pasien yang mempunyai patent framamen ovale atau atrial septal defect.
Kardiak output sangat tergantung kepada peningkata denyut jantung , tetapi peningkatan
yang lebih berat akhirnya akan mengganggu pengisian ventrikel. Valvuloplasti balon
perkutaneus biasanya merupakan pengobatan awal yang dipilih untuk kebanyakan pasien
dengan gejala stenosis pulmonal. Pengelolaan anestesi pada pasien yang mengalami operasi
harus menjaga denyut jantung yang normal atau sediit tinggi, menambah preload, dan
menghindari faktor-faktor yang dapat meningkatkan PVR (lihat Bab 22).

63
Shunt dengan arah dominan Kiri ke Kanan (Sederhana)
Shunt sederhana dibatasi pada hubungan yang abnormal antara sisi kanan dan sisi kiri
jantung. Karena tekanan di sisi kiri normalnya lebih tinggi, darah biasanya megalir dari kiri
ke kanan, dan aliran darah yang melewati jantung kanan dan paru-paru meningkat.
Tergantung kepada ukuran dan lokasi hubungan, ventrikel kanan juga mendapat tekanan
sisi kiri yang lebih tinggi, mengakibatkan overload tekanan dan volume cairan. Afterload
ventrikel kanan normalnya 5 % dari ventrikel kiri, meskipun perbedaan tekanan kiri dan
kanan kecil, hal ini dapat menghasilkan peningkatan yang besar pada aliran darah pulmoner.
Rasio aliran darah pulmoner dengan sistemik dapat dihitung dari saturasi oksigen pada
waktu kateterisasi dengan persamaan berikut:

Dimana CaO2 adalah aliran darah arteri sistemik, C O2 adalah aliran darah vena campuran,
CpvO2 adalah kandungan oksigen dari darah vena –vena pulmoner (misalnya, pada vena
pulmonalis), dan CpaO2 adalah kandungan oksigen pada darah arteri pulmoner.
Rasio yang lebih besar dari 1 biasanya menunjukan suatu shunt dari kiri ke kanan,
sementara rasio yang kurang dari 1 menunjukan shunt dari kanan ke kiri. Rasio sama
dengan 1 menunjukan tidak ada shunt atau terdapat shunt dua arah dari kekuatan yang
berlawanan.
Peningkatan yang besar dari aliran darah pulmoner menghasilkan kongesti pembuluh darah
pulmoner meningkatkan cairan paru ekstravaskuler. Terakhir bercampur dengan pertukaran
gas , menurunkan kapasitas paru (lung complience), dan meningkatkan usaha pernafasan.
Distensi atrium kiri juga menekan bronkus kiri, sedangkan distensi pembuluh darah paru
menekan bronki yang lebiah kecil.
Setelah eberapa tahun, peningkatan aliran darah pulmoner yang kronis menghasilkan
perbahan perubahan pembuluh darah yang meningkatkan PVR yang ireversibel.
Peningkatan afterload ventrikel kanan menyebabkan hipertropi dan tekanan sisi kanan
jantung meningkat secara progresif. Sesuai dengan perkembangan penyakit,tekanan di
jantung kanan dapat melebihi tekanan di jantung kiri. Pada kondisi ini, shun pada jantung
berbalik dan menjadi shunt dari kanan ke kiri (eisenmenger syndrome)

ketika lubangnya kecil, aliran shunt dipengaruhi terutama oleh ukuran lubang (shunt
yang terbatas). Pada lubang yang besar (shunt yang tidak terbatas), aliran shunt terhantung
kepada keseimbangan relatif antara PVR dan SVR. Peningkatan relatif SVR dari PVR
menimbulkan shunt dari kanan ke kiri, sementara peningkatan relatif PVR dari SVR
menimbulkan shunt dari kanan ke kiri. Lesi ruang yang sering terjadi (misalnya single
atrium, single ventrikel, trunkus arteriosus) sama dengan shunt dari kanan ke kiri yang tidak
terbatas. Aliran shunt pada lesi ini adalah dua arah dan akhirnya tergantung perubahan
relatif pada afterload ventrikel.

Adanya aliran shunt antara sisi kiri dan kanan jantung, tanpa tergantung arah aliran
darah, mengharuskan pencegahan timbulnya gelembung udara atau bekuan darah dari cairan
vena untuk mencegah emboli paradoks pada serebral atau sirkulasi koroner.

Defek Septum Atrial


Defek septum atrial ostium secundum (ASDs) adalah jenis yang paling sering dan biasanya
terjadi sebagai lesi terbatas pada daerah fossa ovalis. Defek kadang-kadang dihubungkan

64
dengan kelainan pada venous return vena pulmoner, paling sering terjadi pada vena
pulmonalis kanan atas. ASD sekundum menghasilkan lubang single atau multipel
(fenestrasi) antara atrium. Tipe lain kelainan jantung yang jarang yaitu sinus venosus dan
ASD ostium primum. Defek pada sinus venosus terletak apda septum interatrial sebelah
atas dekat dengan vena kav superior.; satu atau lebih vena pulmonalis sering mempunyai
kelainan yaitu bermuara ke vena kava superior. Sebaliknya, ASD ostium primum terletak
pada septum anteratrial bagan bawah dan bertmpang tindih dengan katup mitral dan
trikuspid, kebanyakan pasien juga mempunyai celah pada daun anterior katup mitral dan
beberapa mempunyai daun septum pada katup trikuspid.

Kebanayakan anak-anak dengan ASD mempunyai sedikit gejala; beberapa mendapat infeksi
paru berulang. Gagal jantung kongestif dan hipertensi pulmonal sering ditemukan pada
orang dewasa dengan ASD. Pasien dengan defek ostium primum sering mempunyai shunt
yang besar dan juga terdpat regurgitasi mitral yang signifikan. Tanpa gagal jantung,
responanestesi terhadap obat inhalasi dan obat intravena umumnya tidak menimbulkan
perubahan berarti pada pasien dengan ASD. Peningkatan SVR harus dihindari sebab
dapat memperburuk shunt kiri ke kanan.

Defek Septum Ventrikel


Defek septum ventrikel (VSD) merupakan defek jantung bawaan paling sering, lebih dari 25
– 35 % dari penyakit jantung bawaan. Defek ini paling sering ditemukan pada bagian
membranosa dari septum interventrikuler (VSD membranosa atau infrakristal) pada posisi
posterior dan anterior dari daun katup bagian septum dari katup trikuspid. VSD muskularis
adalah tipe paling sering berikutnya dan berlokasi di bagian tengah atau apical dari septum
interventrikuler, yang dapat berupa defek tunggal atau multipel (menyerupai keju Swiss).
Defek di daerah septum subpulmoner (suprakrista) sering disertai regurgitasi aorta sebab
cusp koroner kanan dapat menonjol ke dalam VSD. Defek septum di jalan masuk ventrikel
biasanya mirip dalam perkembangan dan letaknya dengan defek septum AV (lihat bagian
berikut).
Kelainan fungsi yang dihasilkan pada VSD dipengaruhi ukuran defek, PVR, dan ada
tidaknya kelainan lain. VSD yang kecil, khususnya jenis yang muskuler, sering menutup
pada waktu anak-anak. Defek yang terbatas berkaitan dengan shunt kiri ke kanan yang kecil
(Rasio aliran darah Pulmoner dan sistemik kurang dari 1,75 : 1). Defek yang besar
menghasilkan shunt kiri ke kanan yang besar ( shunt lebih besar dari 2 : 1) yang
perubahannya berhubungan langsung dengan SVR dan tidak langsung dengan PVR. Infeksi
paru berulangdan gagal jantung kongestif dengan rasio aliran pulmoner dengan sistemik 3 –
5 : 1. Pasien dengan VSD kecil dapat diobati dan diikuti perkembangannya dengan EKG
(untuk melihat tanda-tanda hiperropi ventrikel kanan)dan dengan ekokardiografi.
Penutupan dengan pembedahanbiasanya dilakukan pada pasien dengan VSD yang besar dan
Eisenmenger terbentuk secara fisiologi. Seperti defek etrium, tanpa gagal jantung, respon
anestesi terhadap obat inhalasi dan obat intravenabiasanya tidak mengalami perubahan yang
bermakna. Begitu juga, peninkatan SVR memperburuk shunt dari kiri ke kanan. Ketika
terjadi shun dari kanan ke kiri, adanya peningkatan PVR dan penurunan SVR tidak
dapat ditoleransi.
Defek Septum Atrioventrikuler
Defek pada bantalan endokardial (kanal AV) menghasilkan defek septum atrium dan
ventrikel bersamaan yang sering disertai katup AV yang sangat tidak normal. Lesi ini

65
sering ditemukan pada Down syndrome (lihat Bab 44). Defek dapat menimbulkan shunt
yang besar baik di atrum maupun di ventrikel. Regurgitasi mitral dan trikuspid
menyebabkan kelebihan volume di ventrikel. Awalnya shunting mempunyai arah dominan
dari kiri ke kanan, namun seiring dengan peningkatan hipertensi pulmonal, sindroma
eisenmenger dengan sianosis yang jelas terbentuk.
Patent Ductus Arteriosus
Hubungan yang persisten antara arteri pulmoner dengan aorta menghasilkan shunt dari kiri
ke kanan yang restrktif ataupun yang tidak restriktif. Kelainan ini sering menjadi penyebab
kelainan kardiopulmoner pada bayi prematur, dan kadang kadang muncul pada usia lebih
besar. Tujuan anestesi ssama dengan anestesi pada ASD dan VSD.
Kelainan parsial Venous Return
Defek ini muncul ketika satu atau lebih vena pulmonalis bermuara ke sisi kanan jantung,
vena anomali ini biasanya berasal dari paru kanan. Kemungkinan posisi masuk yang
anomali ini meliputi atrium kanan, vena kava superior atau inferior dan sinus koronarius.
Kelainan ini menghasilkan bermacam-macam shunt dari kiri ke kanan . Perjalanan klinik
dan prognosa biasanya baik dan serupa dengan ASD secundum. Sinus koronarius yang
sangat besar pada TEE menyebabkan kelainan drainase ke dalam sinus koronarius, yang
dapat mempersulit pengelolaan kardioplegi selama operasi jantung (lihat Bab 21)

Shunt yang dominan dari kanan ke kiri (kompleks)


Lesi padagrup ini (kadang disebut juga lesi campuran) sering mengakibatkan obstriuksi dan
shunt pada aliran ventrikel. Obstruksi menyebabkan aliran shunt terjadi pada sisi yang tidak
obstruksi. Pada obstruksi yang relatif ringan, jumlah shunt dipengaruhi oleh rasio SVR dan
PVR, tapi peningkatan derajat obstruksi memperbaiki arah dan kekuatan dari shunt.
Atresia dari salah satu katup jantung menunjukan adanya bentuk ekstrem dari obstruksi.
Shun terjadi sebelah proksimal dari katup yang mengalami atresia dan
tidak berubah. Kemampuan bertahan tergantung kepada adanya shunt dibagian distal.
(biasanya PDA, patent foramen ovale, ASD atau VSD) dimana darah mengalir ke arah
yang berlawanan. Defek-defek ini dapat juga dibagi berdasarkan adanya peningkatan atau
penurunan aliran darah pulmoner (lihat tabel 20-18)
Tetralogy of Fallot
Tetralogi ini secara klasik meliputi obstruksi ventrikel kanan, hipertropi ventrikel kanan,
dan VSD dengan overriding aorta. Obstruksi ventrikel kanan pada kebanyakan pasien
disebabkan stenosis infundibular, yang disebabkan oleh hipertropi otot subpulmonik (krista
ventrikularis). Sedikitnya 20-25% dari pasien ini juga memiliki stenosis pulmonal dan
sebagian kecil juga memiliki obstruksi supravalvular. Katup pulmonal seringnya menjadi
bikuspid atau terkadang atretik. Obstruksi infundibular mungkin ditingkatkan oleh tonus
simpatis dan oleh karenanya dinamis; obstruksi ini nampaknya bertanggung jawab pada
serangan hipersianotik yang tampak pada pasien yang masih sangat muda. Kombinasi
obstruksi ventrikel kanan dan VSD menghasilkan ejeksi darah yang tidak
teroksigenisasi dari ventrikel kanan seperti halnya darah ventrikel kiri yang
teroksigenisasi ke aorta. Shunt dari kanan ke kiri melalaui VSD mempunyai komponen
yang tetap atau variabel. Komponen yang tetap ditentukan oleh beratnya obstrikso entrikel
kanan, sedangkan komponen yang variabel tergantung pada SVR dan PVR.
Neonatus dengan obstruksi ventrikel kanan berat dapat berubah cepat sesuai dengan
penurunan aliran darah pulmoner saat PDA mulai menutup. Prostaglandin E 1 intravena

66
(0,05-0,2 μg/kg/min) digunakan untuk mencegah penutupan duktus pada beberapa masalah.
Bedah paliatif dengan shunt sistemik dari kiri ke kanan atau koreksi komplet biaanya
dilakukan. Modifikasi shunt Blalock-Taussig (arteri subklavian kiri – pulmoner) sering
digunakan untuk meningkatkan aliran darah pulmoner. Pada operasi ini, Graft sintetis
dihubungkan antara arteri subclavia dan arteri pulmoner yang sesisi. Koreksi komplit
meliputi penutupan VSD, mengangkat otot infundibular yang obstruksi, valvuloplasti atau
valvulotomi pulmonal, jika diperlukan.

Tujuan pengelolaan anestesia pada pasien dengan Tetralogi Fallot harus menjaga
volume intravasuler dan SVR. Peningkatan PVR, misalnya yang terjadi karena asidosis
atau tekanan jalan nafas yang berlebih, seharusnya dihindari. Ketamin (intavaskuler atau
intravena) sering digunakan sebagai obat induksi sebab dapat meningkatkan SVR
dan tidak memperburuk shunt kanan ke kiri. Pasien dengan tingkat shunt lebih ringan
umumnya dapat dilakukan induksi inhalasi dengan halotan. Shunt dari kanan ke kiri
cenderung memperlambat pengambilan (uptake) obat anestesi inhalasi (lihat Bab 7);
sebaliknya, hal ini dapat mempercepat onset obat intravena. Oksigenasi sering
meningkatkan induksi anestesia berkutnya. Pelumpuh otot yang melepaskan histamin harus
dihindari. Hypersianotik spell dapat diatasi dengan cairan intravena dan fenilefrin (5).
Propanolol (0,1 μg/kg) juga efektif untuk menguranoi spasme infundibulum. Sodium
bikarbonat, memperbaiki asidosis metabolik yang terjadi, juga dapat membantu ketika
hipoxemia berat dan memanjang.
Atresia Trikuspid
Pada atresia trikuspid , darah dapat dapat keluar dari atrium kanan hanya melalui patent
foramen ovale (atau ASD). Selain itu, PDA (atau VSD) diperlukan agar darah dapat
mengalir dari ventrikel kiri ke sirkulasi pulmoner. Sianosis biasanya terjadi saat lahir dan
beratnya tergantung pada jumlah aliran darah pulmoner yang dicapai. Kemampuan
bertahan awal tergantung kepada infus prostaglandin E1 dengan atau tanpa perkutaneus,
septostomi atrium balon Rashkind. Sianosis berat memerlukan modifikasi shunt Blalock-
Taussig di awal kehidupan. Pengelolaan bedah yang dianjurkan adalah modifikasi prosedur
Fontan, dimana atrium kanan dihubungkan dengan arteri pulmoner kanan. Di beberapa
center shunt dari vena kava superior ke arteri pulmoner (bidirectional Glenn) dilakukan
terlebih dahulu sebelum atau bersamaan dengan prosedur Fontan. Dengan kedua tindakan
tersebut, darah dari vena sistemik mengalir ke atrium kiri disebabkan oleh perbedaan
tekanan. Keberhasilan dari prosedurini tergantung kepada tekanan vena sistemik yang
tinggi dan menjaga PVR yang rendah dan tekanan atrium kiri yang rendah. Transplantasi
jantung mungkin diperlukan untuk prosedur Fontan yang gagal.
Transposisi Arteri Besar
Pada pasien dengan transposisi arteri besar (Transposition of the Great Arteries/TGA),
aliran venous return pulmoner dan sistemik normalnya kembali ke atrum kanan dan kiri,
masing-masing, tetapi aorta muncul dari ventriel kanan dan arteri pulmoner muncul dari
ventrikel kiri. Hal ini berarti, darah yang deoksigenisasi kembali ke sirkulasi sistemik dan
darah yang sudah teroksigenisasi kembali ke paru-paru. Kemungkinan bertahan hidup
hanya dnegan adanya percampuran antara darah yang teroksigenisasi dengan yang
deoksigenisasi melaui foramen ovaledan PDA. Adanya VSD menambah pencampuran dan
mengurangi tingkat hipoxemia. Infus prostaglandin E1 biasanya diperlukan. Septostomi
Rashkind mungkin diperlukan jika koreksi bedah ditunda. Koreksi bedah meliputi prosedur
pemindahan arteri dimana aorta dipisahkan dan dihubungkan kembali dengan ventrikel kiri
dan arteri plmoner dipisahkan dan dihubungkan kembali dengan ventrikel kanan. Arteri

67
koroner juga harus diimplantasi ulang ke pangkal arteri pulmoner yang lama. Jika terdapat
VSD ditutup. Jika pemindahan arteri tidak memungkinkan, prosedur pertukaran atrium
(Seening) dilakukan. Pada prosedur yang jarang dilakukan ini, saluran intraatrium dibuat
dari dinding atrium dan darah dari vena pulmonalis mengalir melalui ASD menuju ventrikel
kanan, dari sana darah kemudian dipompa ke sirkulasi sistemik.
Transposisi pembuluh darah besar dapat terjadi bersama dengan VSD dan stenosis
pulmonal. Kombinasi ini mirip dengan Tetralogi of Faloot; namun obstruksinya terdapat di
ventrikel kiri bukan di ventrikel kanan. Koreksi bedah meliputi penambalan VSD,
mengarahkan aliran darah dari ventrikel kiri ke aorta, meligasi bagian proximal arteri
pulmonal, dan menghubungkan aliran keluar dari ventrikel kanan ke arteri pulmoner
dengan saluran yang berkatup (Prosedur Rastelli).

Anomali Total Venous Return


Tidak adanya hubungan langsung antara vena pulmoner dan atrium kiri menghasilkan
anomali total venous return. Bercampurnya darah yang tidak teroksigenasi dengan yang
teroksigenasi terjadi pada atau sebelum atrium kanan sebab vena pulmoner biasanya
bermuara ke vena cava superior atau inferior, sinus coronarius, atau duktus venosus. Darah
biasanya mencapai arium kiri melalui foramen ovale atau ASD. Obstruksi venous return
pulmoner, dapat terjadi keika darah bermuara ke dalam duktus venosus dan mulai
menutup, sehingga terjadi kongesti pulmoner berat. Koreksi bedah meliputi reanastomosis
trunkus vena pulmoner komunis dengan atrum kiri dan menutup ASD.
Truncus Arteriosus
Pada defek trunkus arteriosus, sebuah trunkus arteri memberikan suplai sirkulasi pulmoner
dan sistemik. Trunkus selalu mengesampingkan VSD, membuat kedua ventrikel memompa
darah ke dalamnya. Seiring dengan penurunan PVR setelah lahir, aliran darah pulmoner
meningkat semakin besar sehingga menyebabkan gagal jantung. Jika lambat ditangani,
PVR meningkat dan sianosis terbentuk kembali bersama-sama dengan fisiologi
Eisenmenger. Koreksi bedah menutup VSD, memisahkan arteri pulmoner dari trunkus, dan
menghubungkan entrikel kanan denngan arteri pulmoner dengan saluran yang berkatup
(perbaikan Rastelli).
Sindroma Jantung Kiri Hipoplasik (Hypoplastic Left Heart Syndrome)
Sindroma ini merupakan kumpulan defek yang ditandai oleh adanya ventrikel kiri yang
kurang berkembang. Hal ini sering dihubungkan dengan kelainan kongenital nonkardiak
mayor lainnya. Ventrikel kanan merupakan ruang pemompaan utama bagi sirkulasi
sistemik maupun pulmoner. Biasanya dia memompa ke dalam arteri pulmoner dan semua
(atau hampir semua) darah yang memasuki aorta biasanya berasal dari PDA. Pilihan
pembedahan adalah antar palliatif dengan prosedur Norwood yang sangat sulit atau
transplantasi jantung. Prosedur Norwood dilaksanakan dalam 3 tahap.

68
PASIEN DENGAN JANTUNG TRANSPLANTASI

Pertimbangan Preoperasi
Jumlah pasien dengan jantung transplantasi meningkat sebab adanya peningkatan frekuensi
transplantasi dengan rata-rata peningkatan kemampuan bertahan hidup. Pasien-pasien ini
dapat datang ke ruang operasi lebih awal pada periode post operasi explorasi mediastinum
atau retransplantasi, atau mereka dapat datang kemudian untuk incisi dan drainase infeksi,
operasi ortopedi, atau prosedur yang tidak berhubungan.

Jantung yang dicangkok secara total didenervasi, maka pengaruh-pengaruh otonom


secara langsung tidak ada. Pembentukan impuls jantung dan konduksinya normal, tetapi
tidak adanya pengaruh vagal menyebabkan denyut jantung istirahatnya relatif tinggi (100-
120 x/m). Meskipun serabut simpastis terputus, respon terhadap katekolamin sirkulasi
normal atau meningkat datar karena sensitifitas denercasi (peningkatan densitas reseptor).
Persyarafan sebagian dapat terjadi pada beberpa pasien setelah beberapa waktu. Kardiak
output cenderung normal rendah dan meningkat relatif lambat dalam merespon aktivitas
olahraga sebab respon ini tergantung kepada peningkatan katekolamin sirkulasi. Karena
hubungan hukumStarling antara volume end diastol dan kardiak output (lihat Bab 19)
normal, jantung transplantasi juga sering dikatakan tergantung preload. Otoregulasi koroner
terpelihara.
Evaluasi preoperasi harus terfokus kepada evaluasi status fungsional dari organ yang
ditransplantasi dan mencari komplikasi imunosupresi. Insidensi penolakan tertinggi terjad
dalam 3 bulan pertama. Setelah itu Rata-rata penolakan sekitar satu pasien pertahun.
Penolakan dapat ditandai dengan aritmia (dalam 6 bulan pertama) atau penurunan toleransi
aktivitas olah raga karena penurunan progresif performa jantung. Evaluasi ekokardiografi
secara periodik biasanya digunakan untuk memonitor penolakan, tetapi teknik yang paling
dapat dipercaya adlah dengan biopsi endomiokardium. Atherosklerosis yang timbul pada
cangkokan sering terjadi dan merupkan masalah serius yang membatasi kemampuan hidup
organ yang dicangkok. Selain itu, iskemia miokardium dan infark sering selalu tidak
diketahui karena dilakukannya denervasi. Oleh karena itu, pasien harus dievaluasi secara
periodik, termasuk angiografi, untuk aterosklerosis koroner.

Terapi immunosupresif biasanya meliputi cyclosporine, azathioprine, dan prednison. Efek


samping penting diantaranya nefrotoxik, supresi sumsum tulang, hepatotoxik, infeksi
oportunistik dan osteoporosis. Hipertensi dan retensi cairan sering terjadi dan biasanya
memerlukan pengobatan dengan diuretik dan ACE inhibitor. Dosis kuat kortikosteroid
diperlukan ketika dilakukan operasi besar.

Pengelolaan anestesi
Hampir semua teknik anestesi, termasuk anestesi regional berhasil dilakukan pada pasien
pasien yang menjalani transplantasi. Fungsi jantung yang ditransplantasi tergantung pada
preload membuat preload jantung yang normal atau tinggi lebih diharapkan untuk

69
pemeliharaan selama anestesi. Selain itu, tidak adanya refleks peningkatan denyut jantung
dapat membuat pasien kurang sensitif terhadap vasodilasi cepat. Vasopresor indirek seperti
efedrin dan dopamin kurang efektif dibandingkan vasopresor yang beaksi langsung karena
ketiadaan cadangan katekolamin pada syaraf miokardium (lihat Bab 12). Isoproterenol atau
larutan epinefrin (10 g/mL) harus tersedia untuk meningkatkan denyut jantung bila
diperlukan. Bradikardia karena pengaruh opioid dan penghambat kolinesterase tidak
ditemukan. Hal yang sama, peningkatan denyut jantung tidak ditemukan pada penggunaan
antikolinergik, pancuronium atau meferidin. Antikolinergik harus tetap diberikan untuk
menetralkan pelumpuh otot untuk menghambat efek muskarinik non kardiak dari
asetilkolin.
Monitoring elektrokardiografi yang cermat pada iskemia diperlukan. EKG biasanya
memperlihatkan dua gelombang P, satu yang berasal dari SA node resipien (utuh sebelah
kiri) dan yang lain menunjukkan SA node donor. SA node resipien mungkin masih
dipengaruhi oleh otonom, tapi tidak mempengaruhi fungsi jantung. Monitoring tekanan
darah arteri (invasif), vena sentral, dan arteri pulmonalis harus dilakukan pada operasi besar,
tindakan asepsis yang ketat harus dilakukan selama pemasangan.

70
DISKUSI KASUS:
FRAKTUR PANGGUL PADA WANITA LANJUT USIA YANG TERJATUH
Seorang wanita berumur 71 tahun datang untuk menjalani ORIF karena fraktur panggul
kiri. Dia mengatakan mengalami dua episode pusing (perasaan ringan di kepala) beberapa
hari sebelum terjatuh hari ini. Ketika ditanyakan tentang jatuhnya, dia hanya dapat
mengingat sewaktu berdiri sambil menggosok gigi di kamar mandi dan saat sadar sudah ada
di lantai dengan nyeri panggul. EKG preoperasi menunjukan irama sinus dengan interval P-
R 220 ms dan gambaran Right bundle branch block (RBBB).
Mengapa seorang ahli anestesi harus memperhatikan riwayat pingsan (sinkope) ?
Riwayat pingsan pada pasien usia lanjut selalu meningkatkan kemungkinan aritmia dan
adanya latar belakang penyakit jantung. Meskipun aritmia dapat terjadi tanpa adanya
penyakit jantung, keduanya sering berkaitan. Sinkop/pingsan karena gangguan jantung
biasanya berasal dari aritmia yang tiba-tiba mengganggu kardiak output dan mengganggu
perfusi otak. Pusing, presinkop, menunjukan tingkat yang lebih ringan dari gangguan
serebral. Baik bradiaritmia maupun takiaritmia (lihat Bab 19) dapat menimbulkan sinkop.
Tabel 20-20 memuat daftar penyebab sinkop karena jantung dan bukan jantung.
Tabel 20-20. Penyebab Sinkop
Jantung
Aritmia
Takiaritmia (biasanya > 180 x/m)
Bradiaritmia (biasanya < 40 x.m)
Gangguan ejeksi ventrikel kiri
Stenosis aorta
Kardiomiopati hipertropi
Infark miokardium massif
Mixoma atrium
Gangguan output ventrikel kanan
Tetralogi Fallot
Hipertensi pulmonal primer
Emboli pulmonal
Stenosis katup pulmonal
Gangguan biventrikular
Tamponade jantung
Infark miokardium masif
Bukan Jantung
Refleks-refleks yang kuat
Refleks yang menyebabkan vasodepres (misalnya, sinkop vasovagal)
Hipersensitifitas sinus karotis
Neuralgia
Hipotensi postural
Hipovolemia
Simpatektomi
Disfungsi otonom
Manufer valsava yang bertahan
Penyaki cerebrovaskuler
Kejang
Metabolik

71
Hipoksia
Hipokapne
Hipoglikemia
Bagaimana Bradiaritmia Biasanya Timbul ?
Bradiaritmia dapat timbul dari disfungsi SA node ataupun konduksi AV dari impuls
jantung yang abnormal. Pelambatan atau hambatan pada impuls dapat terjadi dimana saja
antara nodus SA sebelah distal sistem His-Purkinje (lihat Bab 19). Kelainan yang reversibel
dapat disebabkan tonus vagal yang abnormal, gangguan elektrolit, keracunan obat,
hipotermia, atau iskemia miokardium. Kelainan yang ireversibel, awalnya mungkin hanya
kadang-kadang sebelum jadi menetap, bisa menunjukan kelainan pada sistem konduksi
saja atau penyakit jantung yang mendasari (paling sering hiperensif, arteri koroner, atau
penyakit katup jantung).

Bagaimana Patofisiologi Disfungsi Nodus Sinus ?


Pasien dengan disfungsi nodus sinus dapat memiliki EKG 12 lead awal yang normal tapi
tiba-tiba aktifitas nodus SA dapat terhenti (Sinus arrest) atau kadang-kadang konduksi
impuls SA menuju jaringan sekitar terhambat (exit block). Gejala biasanya muncul ketika
berhentinya memanjang (> 3 detik) atau denyut ventrikuler efektif kurang dari 40 x/m.
Pasien dapat mengalami pusing, sinkop, bingung, lelah, atau pendek nafas. Gejala disfungsi
nodus SA, atau sick sinus syndrome, sering tertutup oleh obat penghambat β-adrenergik,
calcium chanel blocker, digoksin, atau quinidine. Sindroma takikardi-bradikardi sering
digunakan ketika pasien mengalami paroxismal takiaritmia (biasanya atrial flutter atau atrial
fibrilasi) diikuti henti sinus atau bradikardia. Bradikardi mungkin menunjukan kegagalan
nodus SA untuk kembali normal secara otomatis setelah supresi oleh takiaritmia. Diagnosa
harus berdasarkan kepada rekaman EKG yang dibuat selama timbul gejala (Holter
monitoring) atausetelah tes profokatif (stimulasi baroreseptor karotis atau rapid atrial
pacing)

Bagaimana Kelainan konduksi AV Tampak pada EKG 12 Lead ?


Kelainan konduksi AV biasanya tamapak sebagai depolarisasi ventrikel yang
abnormal(bundle-branch block), pmanjanagan interval P-R (AV Block derajat I), kegagalan
beberapa impuls atrium untuk mendepolarisasi ventrikel (AV block derajat II) atau disosiasi
AV (AV Block derajat III; disebut juga blok jantung komplit).

Bagaimana menentukan signifikansi kelainan konduksi ini ?


Signifikansi kelainan sistem konduksi tergantung kepada lokasinya, kemungkinan menjadi
complete heart block, dan makin distal letak pacemaker akan lebih mudah menjaga irama
lepas (escape rhythm) yang stabil dan adekuat (> 40 x/m). Bundel Hiss normalnya terletak
pada area terendah pada sistem koduksi yang dapat menjaga irama yang stabil (biasanya 40-
60 x/m). Ketika terjadi kegagalan konduksi dimanapun diatasnya, Bundel Hiss yangnormal
dpat mengambil alih fungsi pacemaker jantung dan menjaga kompleks QRS yang normal
kecuali terdapat defek pada konduksi intraventrikel bagian distal. Ketika escape rhythm
timbul di tempat palingjauh pada sistem His-purkinje, irama biasanya lebih lambat (<40
x/m) dan seringkali tidak stabil; menghasilkan kompleks QRS yang lebar.

72
Apa Signifikansi dari Bundle Branch Block terisolasi dengan interval P-R yang normal
?
Konduksi melambat atau terhambat pada cabang berkas syaraf kanan menghasilkan
gambaran QRS RBBB pada EKG permukaan (bentuk M atau rSR’ di V 1) dan menunjukan
kelainan kongenital atau penyakit dasar jantung. Sebaliknya pelambatan atau hambatan pada
main left bundle-branch menghasilkan gambaran QRS left bundle branch block (LBBB) – R
lebar dengan upstroke yang melambat di V5) dan hampir selalu menunjukan penyakit dasar
jantung. Istilah hemiblock sering digunakan jika hanya satu atau dua fasciculus dari left
bundle branch yang diblok (hemiblock left anterior atau left posterior). Ketika interval P-R
normal – dan tanpa akut infark miokardium- hambatan konduksi pada cabang kiri ataupun
kanan jarang menjadi complete heart block.

Dapatkah lokasi AV Block selalu ditentukan dari EKG 12 lead?


Tidak. AV block derajat I (interval P-R > 200 ms) dapat menunjukan konduksi abnormal
dimanapun antara atrium dan sistem His-Purkinje bagian distal. AV Block derajat II tipe
Mobitz I, yang ditandai dengan pemanjangan progresif dari interval P-R sebelum
gelombang P tidak dihantarkan (QRS tidak mengikuti gelombang P), biasanya disebabkan
blok pada nodus AV, dan dapat disebabkan karena keracunan digitalis atau iskemia
miokardium; jarang berkembang menjadi AV block derajat III.
Pada pasien dengan AV block derajat II Mobitz tipe II, impulse atrium tidak dihantarkan
secara periodik ke ventrikel tanpa pemanjangan progesif dari interval P- R. Hambatan
konduksi hampir selalu pada atau di bawah bundel Hiss dan sering berkembang menjadi AV
block komplet (derajat III), terutama setelah infark miokardium anteroseptal akut. QRS
biasanya lebar.
Pada pasien dengan AV block derajat III, rata-rata denyut depolarisasi atrium dan ventrikel
adalah masing-masing (disosiasi AV) sebab impuls atrium seluruhnya gagal mencapai
ventrikel. Jika lokasi hambatan di nodus AV. Irama Bundelll Hiss yang stabil dapat
dihasilkan denngan kompleks QRS yang normal dan denyut ventrikel akan sering meningkat
setelah pemberian atropin. Jika hambatan termasuk juga Bundel Hiss, irama ventrikel
berasal dari tempat yang lebih distal, menghasilkan kompleks QRS yang lebar. Komplek
QRS yang lebar tidak perlu mengeluarkan His Bundel yang normal, sebagaimana hal ini
menunjukan hambatan ynag makin distal pada salab satu cabang bubdell.

Dapatkah Disosiasi AV Terjadi tanpa Blok AV ?


Ya. Disosiasi AV sering terjadi selama anestesia dengan obat-obat volatile tanpa blok AV
dan berasal dari sinus bradikardi atau irama junction AV. Selama disosiasi isoritmik,
atrium dan ventrikel berdenyut masing-masing dengan denyut yang hampir sama.
Gelombang P sering mendahului atau mengikuti kompleks QRS, dan hubungannya biasanya
terpelihara. Sebaliknya interferensi disosiasi AV berasal dari irama junction yang lebih
cepat daripada denyut sinus.- hl seperti ini karena impuls dari sinus selalu menemukan
penyembuhan nodus AV>

Bagaimana Blok Bifasikuler dan Trifsikuler Timbul ?

73
Blok bifasikuler timbul ketika dua atau tiga cabang utama bundel Hiss (kanan, anterior kiri ,
atau posterior kiri) terhambat sebagian atau komplet. Jika sebuah fasikulus terhambat
komplet dan yang lainnya terhambat sebagian, gambaran bundle branch block berhubungan
dengan AV blok derajat I atau II. Jika ketiganya terkena, blok trifasikuler dikatakan ada.
Pelambatan atau blok sebagian pada tiga fasikulus menghasilkan pemanjangan interval P-R
(AV Blok derajat I) atau LBBB dan RBBB bergantian. Blok yang komplet pada 3 fasikulus
menghasilkan AV Blok derajat III.

Apakah signifikansi hasil EKG pada pasien ini ?


Hasil EKG (Av blok derajat I dan RBBB) memberi kesan blok bifasikuler. Kemungkinan
penyakit yang luas pada sistem konduksi . Selain itu, episode sinkop atau hampir sinkop
pada pasien memberi kesan bahwa dia mempunyai bradiaritmia yang berrisiko
mengancam hidup (AV blok derajat III). Rekaman EKG inytrakardiak diperlukan untuk
mengkonfirmasi letak pelambatan konduksi.

Apakah Pengelolaan yang Cocok untuk Pasien ini ?


Evaluasi jantung diperlukan sebab blok bifasikuler yang mempunyai gejala-gejala. Satu
atau dua pendekatan dapat direkomendasikan, tergantung urgensi dilakukannya operasi.
Jika opersi benar-benar emergensi, temporary transvenous pacing catheter diindikasikan
dilakukan sebelum induksi pada anestesi umum atau anestesia regional. Jika operasi dapat
ditunda 24 – 48 jam (seperti pada kasus ini) monitoring EKG yang kontinyu, EKG 12 lead
serial dan pengukuran isoenzim jantung diperlukan untuk menyingkirkan iskemia
miokardium atau infark miokardium dan mencoba untuk mendapat rekaman selama gejala
timbul. Selain itu , pemeriksan singkat dari bundle His dapat berguna dalam menentukan
perlunya pacemaker permanen jika diagnosa klinik dari bradikardi simtomaik tidak dapat
dibuat. Jika interval AV normal atau 60 – 100 ms, pacing yang permanen tidak diperlukan,
tapi akses vena central (jugular inteerna) dan akses yang siap pakai untuk peralatan pasing
masih disarankan pada riwayat sinkop.

Apakah Indikasi Perioperasi untuk Temporary Pacing ?


Indikasi yang dianjurkan meliputi hal berikut : semua bradiaritmia simtomatik yang
tercatat, Bundle branch block yang baru, AV blok derajat I-II (tipe 1) atau AV Block derajat
III yang berkaitan denganInfark miokardium;block bifaikuler pada pasien koma
(kontroversial);takiaritmia supraventrikuler refraktori.
Tiga indikasi yang awal biasanya disarankan untuk pacing ventrikel, sementara yang ke
empat mesarankan untuk pennggunaan elektrode pacing atrium dan generator denyut atrium
yang dapt diprogram (programmabel Rapid Atrial Pulse Generator)

Bagaimana Temporary Cardiac Pacing dilakukan ?


Pacing dapat dilaksanakan melalui elektroda transvena, transcutaneus, epikardial,atau
transoesophageal. Metode yang paling dapat diterima biasanya elektrode pacing
transvenous dalam bentuk kabel pacing atau kateter pacing yang berujung balon. Kabel
pacing harus diposisikan dengan fluoroscopy, tetapi kateter pacing yang diarahkan aliran
darah dapat ditempatkan di ventrikel kanan dengan monitoring tekanan. Kabel pacing harus
diubakan ketika aliran darah berhenti. Jika pasien mempunyai irama, rekaman EKG

74
intrakardiak menunjukan elevasi segmen ST ketika elektrode mulai kontak dengan
endokardium ventrikel kanan mengaskan penempatan elektrode. Kateter aretri pulmoner
yang didesain khusus mempunyai port tambahan untuk masuknya kabel pacing ventrikel
kanan. Kateter ini khususnya berguna untuk pasien dengan LBBB, yang dapat menjadi
komplet hart blosk selama penempatan kateter. Transcutaneus ventrikuler pacing juga
memungkinkan melalui stimulating adhesive pads yang dipasang di dada digunakan ketika
transvenous pacing tidak didapatkan. Electroda epcardial biasanya digunakan selama bedah
jantung. Pacing atrium kiri melalui elektroda esofagus adalah sederhana, merupakan teknik
yang relatif tidak invasif, tapi berguna hanya untuk sinus bradikardi yang simtomatis dan
untuk mengakhiri beberapa takiaritmia supraventrikuler.
Begitu terpasang, elektrode diubungkan dengan generator pulsa elektrik yang secara
periodik mengirimkan impuls dengan kecepatan dan kekuatan yang telah diset. Kebanyakan
generaor pacemaker juga dapat merasakan aktivitas listrik spontan jantung (biasanya
ventrikel) : Ketika aktivitas ini terdeteksi, generator menekan impulse berikutnya. Dengan
mengubah generaor sensing treshold, generator pacemaker dapat berfungsi pada mode tetap
(asinkron) atau pada mode yang sesuai kebutuhan (dengan meningkatkan sensitifitas).
Gambaran LBBBdiobservasi ketika elektrode pacing didalam ventrikel kanan, sebab
ventrikel kanan secara langsung mendapat depolarisasi, sedangkan ventrikel kiri
didepolarisasi kemudian dengan konduksi myang melewati miokardium, bukan sistem
konduksi normal.

Apakah AV Sequential Pacing itu ?


Pacing ventrikel sering mengurangi Kaardiak output sebab kontribusi atrium untuk
pengisian vnetrikel menghilang. Ketika sistem konduksi AV sakit, kontraksi atrium masih
dapat dijaga dengan stimulasi sekuensial dengan elektrode atrium dan ventrikel yang
terpisah. Interval P-R dapat bervariasi dengan menyetel jeda antara impuls atrium dan
ventrikel (biasanya disetel pada 150 – 200 ms)

Bagaimana Pacemaker diklasifikasikan ?


Pacemaker dikelompokan berdasarkan kode lima huruf, sesuai dengan chamber paced,
chamber sensed, response to sensing, programmability dan arrhythmia function (Tabel 20-
21). Mode pacing yang paling sering digunakan adalah VVI dan DDD (dua huruf terakhir
sering dihilangkan)
Tabel 20–21. Klasifikasi Pacemaker
Response to Antitachyarrhythmia
Chamber-Paced Chamber-Sensed Programmability
Sensing Function
O = none O = none O = none O = none O = none
A = atrium A = atrium T = triggered P = simple P = pacing
M=
V = ventricle V = ventricle I = inhibited S = shock
multiprogrammable
D = dual
D = dual (atrium D = dual (atrium D = dual (pacing and
(triggered and C = communicating
and ventricle) and ventricle) shock)
inhibited)
      R = rate  

75
modulation

Jika Pacemaker Dipasang pada Pasien Ini, Bagaimana Fungsinya Dievaluasi ?


Jika irama asal pasien lebih lambat dari kecepatan yang dibutuhkan pacemaker, pacing spike
harus terlihat pada EKG. Kecepatan spike sesuai dengan yang diprogram (pacemaker
permanen biasanya 72 x/m) atau set kecepatan pacemaker (kadang-kadang); kecepatan
yang lebih rendah bisa menunjukan batere lemah. Setiap pacing spike harus diikuti oleh
kompleks QRS (100 %). Selain itu, setiap impulse harus diikuti oleh denyut nadi yang
dapat diraba. Jika pasien mempunyai temporay pacemaker, escape rhytm dapat dibuat
dengan memperlambat tempo dari kecepatan pacing atau menurunkan output arus.
Ketika denyut jantung pasien lebih cepat daripada seting kecpetan pacemaker, pacing spike
tidak terlihat jikagenerator mempunyai komponen sensing. Pada kasus ini, Tangkapan
ventrikel tidak dapat dievaluasi kecuali kecepatan pacemaker meningkat atau denyut jantung
spontan menurun. Yang terakhir dapat diselesaikan dengan meningkatkan tonus vagal untuk
sementara (manuver Valsava atau stimulasi karotis). Untungnya jika batere lemah, sensor
biasnaya dipengaruhi sebelum kardiak output turun. Foto thoraks berguna untuk
menyingkirkan fraktur atau penempatan lead pacing yang slah. Jika malungsi pacemaker
diperkirakan terjadi, konsultasi jantung doperlukan.

Apakah Kondisi Intraoperasi Yang Dapat Menyebabkan Pacemaker Tidak Berfungsi


Baik?
Pengaruh listrik dari unit elktrokauter bedah dapat diinterpretasikan sebagai
aktifitas listrik otot jantung dan dapat menekan generator pacemaker. Masalah
dengan elektrokauter dapat diminimalisasi dengan membatasi penggunaan untuk
pembakaran singkat, membatasi output kekuatannya, menempatkan plat groundingnya
sejauh mungkin dari generator pacemaker, dan mengunakan kauter bipolar. Selain itu
monitoring yang kontinyu gelombang denyut arteri (pessure, plehysmogram,atau sinyal
oximetri) diawasi untuk meyakinkan perfusi berlangsung terus selama penggunaan
elektrokauter. Miopotensial yang menguat kaitannya dengan fasikulasi yang disebabkan
suksinilkholin atau menggigil posoperasi dapat mensupresi generator pacemaker.
Baik hipokalemia maupun hiperkalemia dapat merubah treshold elektrode pacing untuk
mendepolarisasi otot jantung dan dapat menyebabkan impuls pacing gagal mendepolarisasi
ventrikel. Iskemia miokardium, infark atau ketakutan juga dapat meningkatkan treshold
elektrode dan menyebabkan kegagalan peangkapan oleh venrikel.

Apakah Ukuran yang tepat jika Pacemaker tidak berfungsi intraoperasi?


Jika pacemaker tidak berfungsi sementar intraoperasi, konsentrasi oksigen inspirasi harus
ditingkatkan sampai 100 %. Semua hubungan dan baterai generator harus diperiksa.
Kebanyakan unit mempunyai indikator level baterei dan lampu yang menyala setiap
impulse. Generator harus diset ke mode asinkron, dan output ventrikel harus diset
maximum. Kegagalan temporary transvenous electrode untuk mencapai ventrikel biasanya
disebabkan penempatan elektrode jauh dari endokardium venrikel; meperdalam kateter atau
kabel dengan pelan-pelan dan hati hati saat pacing sering berhasil. Pengelolaan dengan
obat-obatan (atropin, isoproterenol atau epinefrin) dapat berguna samapai masalah
diselesaikan. Jika tekanan darah arteri yang adekuat tidak dapat dijaga dengan adrenergik

76
agonis, resusitasi kardiopulmonal dilakukan sampai elektrode pacing lainnya ditempatkan
atau generator baru didapatkan.
Jika pecemaker permanen tidak berfungsi (seperti pada penggunaan eltrokuter, lat harus
dialihkan ke mode asinkron. Beberap unit dapat memprogram sendiri secara otomatis
menjadi mode asinkron jika malfunsi terdeteksi. Unit pacemaker lainnya harus diprogram
ulang dengan menempatkan magnet external atau lebih baik dengan alat pemrogram .
Pengaruh magnet external pada beberapa pacemaker –khususnya selama penggunaan
elektrokauter – sulit diperkirakan dan umumnya ditentukan sebelum penbedahan.

Manakah Obat Anestesi Yang Cocok Untuk Pasien Yang Menggunakan Pacemaker?
Semua obat anestesi aman digunakan pada pasien yang selalu menggunakan pacmaker.
Bahkan obat volatile tidak mempengaruhi treshold elektrode pacing. Anestesi lokal dengan
sedasi ringan intravena biasanya digunakan untuk m67emasang pacemaker permanen.

Ketika Lead Pacemaker Transvenous Permanen Dipasang, Bagaimana Memeriksa


Fungsinya?
Fungsi lead permanen pada posisi terakhirnya dianalisa dengan alat pemeriksa external yang
mengukur voltase treshold, impedansi lead, dan amplitudo dari potensial yang digunalkan.
Dengan outpot voltase awal 5 mV dan durasi pulsa 0,5 ms, kecepatan pacing ditngkatkan
sampai terjadi penyerapan 100 %. Pada titik tersebut, voltase output ditutunkan pelahan
untuk mendapatkan voltase minmum yang dapat menghasilkan 100% penyerapan (trshold
voltase). Treshold voltase vemtrikel seharusnya < 0,8 mV dan treshold voltase atrium
seharusnya < 1,5 mV. Impedansi lead seharusnya 250 – 1000 pada output 5 V.
Amplitudo pada potensial yang digunakan biasnya > 6 mV dan > 2 mV untuk elektrode
ventrikel dan atrium.

77
BACAAN YANG DIANJURKAN

1. Amar D: Perioperatif atrial tachyarrhythmias. Anestesiology 2002;97:1618. [PMID:


12459693]
2. Atlee JL, Bernstein AD: Cardiac rhythm management devices (part I). Indications,
device selection, and function. Anestesiology 2001;95:1265. [PMID: 11684999]
3. Atlee JL, Bernstein AD: Cardiac rhythm management devices (Part II). Perioperatif
management. Anestesiology 2001;95:1492. [PMID: 11748411]
4. Braunwald E, Zipes DP, Libby P: Heart Disease, 6th ed. W.B. Saunders, 2001.
5. Chassot PG, Delabays A, Spahn DR: Preoperasi evaluation of patients with, or at risk
of, CAD undergoing non-cardiac surgery. Br J Anaesth 2002;89:747. [PMID:
12393774]
6. Eagle KA, Berger PB, Calkins H, et al: ACC/AHA guideline update for perioperatif
cardiovaskuler evaluation for noncardiac surgery—Executive summary. Anesth Analg
2002;94:1052.
7. Howell SJ, Sear JW, Foex P: Hypertension, hypertensive heart disease and perioperatif
cardiac risk. Br J Anaesth 2004;92:570.
8. Kaplan JA, Reich DL, Kronstadt SN: Cardiac Anestesia, 4th ed. W.B. Saunders, 1999.
9. Lake CL: Pediatric Cardiac Anestesia, 3rd ed. McGraw-Hill, 1998.
10. Otto CM: Valvular Heart Disease, 2nd ed. W.B. Saunders, 2003.
11. Otto CM: Textbook of Clinical Ekokardiografi, 3rd ed. W.B. Saunders, 2004.
12. Park KW: Preoperasi cardiac evaluation. Anesth Clin North Am 2004;22:199. [PMID:
15182865]

78

Anda mungkin juga menyukai