Anda di halaman 1dari 22

UAS TEORI EKONOMI MAKRO 1

Laporan Bacaan

Oleh :
AFRIANDI
1910511015

ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG
2020
I.Materi tentang
Tiga model penawaran aggregate dimana output bergantung secara positing pada tingkat
harga dalam jangka pendek

Tentang trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran, dikenal sebagai kurva
philips

-Ketika dalam jangka panjang, permintaan agregat mempengaruhi harga sementara outputnya
alamiah atau sudah mencapai full employment. Lain halnya dengan jangka pendek yang
harganya ticky sehingga mempengaruhi factor produksi.

-Implikasi dari kurva penawaran agregat jangka pendek dapat kita buktikan dengan tradeoff
antara inflasi ekonomi dan penganguran ini bisa kita sebut dengan curva Philips, yang
menyatakan bahwa untuk menurunkan tingkat inflasi para pembuat kebijakan harus secara
sementara memperbesar angka pengangguran, dan untuk mengurangi pengangguran mereka
harus menerima inflasi yang lebih tinggi.

Tiga Model Penawaran Agregat:

1.The sticky-wage model

2.The imperfect-information model

3.The sticky-price model

Ketika model di atas di rumus kan Y = Y+α (P– Pe),  α>0,di mana Y adalah output, Y
adalah tingkat output alami, P adalah tingkat harga, danPeadalah tingkat harga yang diharapkan.
Persamaan ini menyatakan bahwa output menyimpang dari tingkat alamiah, bila tingkat harga
menyimpang dari tingkat harga yang diperkirakan. Parameter α menunjukkan berapa banyak
output merespons terhadap perubahan yang tidak arapkan dalam tingkat harga; 1/α adalah
kemiringan dari kurva penawaran agregat.

1.the sticky wage model (model upah tetap)

 Berasumsi bahwa perusahaan dan pekerja menegosiadikan Kontak dan menetapkan


upah nominal ,sebelum mereka me getahui tingkat harga Yang akan berubah.
 Upah nominal yang ditetapkan adalah produk dari upah roll target dan tingkat harga
Yang diharapkan

W = x. eP

W/p = wx eP

- Jika P = eP , berarti tingkat pengangguran dan output sesuai dengan tingkat


alaminya

- Jika P > eP , jika upah rill kurang dari target,maka menyebabkan perusahaan lebih
banyak mempetkerjakan pekerja dan hasilnya naik di atas tingkat alaminya.

- Upah riil melebihi target, sehingga perusahaan mempekerjakan lebih sedikit


pekerja dan hasilnya turun di bawah tingkat alaminya.

Menyiratkan bahwa upah riil harus kontra-siklus, harus bergerak ke arah yang
berlawanan dengan output selama siklus bisnis: Dalam boom, ketika Ptypically naik, upah
riil harus turun. Dalam resesi, ketika Ptypically jatuh, upah riil seharusnya naik. Prediksi ini
tidak menjadi kenyataan di dunia nyata.

2.Model Informasi tidak sempurna

Asumsi:

 Semua upah dan harga sangat fleksibel, semua pasar jelas.


 Setiap pemasok menghasilkan satu barang, mengkonsumsi banyak barang.
 Setiap pemasok mengetahui harga nominal barang yang ia hasilkan, tetapi tidak tahu
tingkat harga keseluruhan.
 Pasokan setiap barang tergantung pada harga relatifnya: harga nominal barang dibagi
dengan tingkat harga keseluruhan.
 Pemasok tidak mengetahui tingkat harga pada saat dia membuat keputusan
produksinya, jadi gunakan tingkat harga yang diharapkan, Pe. Misalkan Prises tetapi
P e tidak.
 Pemasok berpikir bahwa harga relatifnya telah naik, sehingga ia menghasilkan lebih
banyak.
 Dengan banyak produsen berpikir seperti ini, Ywill naik setiap kali Prises di atas Pe.

Model infomasi tak sempurna mengasumsikan bahwa setiap pemasok dalam


perekonorman memproduksi barang tunggal dan mengkonsumsi banyak barang. Karena
jumlah barang begitu besar, para pemasok tidak dapat mengamati seluruh harga, baik dalam
jangka panjang maupunjangka pendek. Merekamemantau dengan ketat harga barang yang
mereka produksi tetapi kurang memantau harga seluruhbarang yang mereka konsumsi.
Karena informasi yang tidak sempurna itu, mereka kadang-kadang bingung antara perubahan
seluruh tingkat harga dengan perubahan harga relatif. Kebingungan ini menimbulkan
hubungan positif antara tingkat harga dan output dalam jangka pendek.

Ringkasnya, model informasi tak sempurna menyatakan bahwa bila harga aktual
melebihi harga yang diharapkan, para pemasok akan meningkatkan output mereka. Model
tersebut menunjuk-kan kurva penawaran agregat yang sekarang kita kenal:

Y = y + α(P – Pe).

3. Model harga tetap / kaku

Alasan harga kaku:

• kontrak jangka panjang antara perusahaan dan pelanggan

• biaya menu

• perusahaan yang tidak ingin mengganggu pelanggan dengan seringnya perubahan


harga

Perusahaan-perusahaan persaingan secara sempurna adalah penerima harga (price takers)


bukan penentu harga (price setters). Jika kita ingin memperhatikan bagaimana perusahaan
menetapkan harga, adalah wajar untuk mengasumsikan bahwa perusahaan ini setidaknya
mempunyai kendali nionopoli atas harga-harga yang mereka tetapkan.

Harga yang diinginkan perusahaan P tergantung pada dua variabel makroekonomi:


Ø  Tingkat harga keseluruhan P. Tingkat harga yang lebih tinggi menunjukkan bahwa
biaya perusahaan lebih tinggi. Jadi, semakin tinggi tingkat harga keseluruhan, semakin besar
harga yang akan dibebankan perusahaan atas produknya.

Ø  Tingkat pendapatan agregat Y. Tingkat pendapatan yang lebih tinggi meningkatkan


pern-tintaan terhadap produk perusahaan. Karena biaya niaginal naik pada tingkat produksi yang
lebih tinggi, semakin besar permintaan, semakin tinggi harga yang diinginkan perusahaan.

Kita menulis harga yang diinginkan perusahaan sebagai

p = P + α(Y — Y).

Persamaan ini menyatakan bahwa harga yang diinginkan p tergantung pada tingkat harga
keseluruhan P dan pada tingkat output agregat relatif terhadap tingkat alainiah Y — Y.
Parameter α (yang lebih besar dari nol) mengukur berapa besar harga yang diinginkan
perusahaan untuk menanggapi tingkat output agregat.

Penyebab meningkatnya atau jatuh inflasi

-biaya-push inflation: inflasi akibat guncangan pasokan guncangan penawaran yang


biasanya menaikkan biaya produksi dan mendorong perusahaan untuk harga kenaikan gaji,
“Mendorong” inflasi up.

-Inflasi tarikan permintaan: inflasi akibat guncangan permintaan guncangan positif untuk
permintaan agregat menyebabkan pengangguran jatuh di bawah tingkat alaminya, yang
“menarik” tingkat inflasi up.

Mengapa guncangan negatif dapat meningkatkan tingkat alami

-Ketrampilan pekerja siklus pengangguran mungkin memburuk sementara menganggur,


dan mereka mungkin tidak menemukan pekerjaan ketika resesi berakhir.

-Siklispekerja menganggur mungkin kehilangan pengaruh mereka pada upah-setting;


kemudian, orang dalam (pekerja yang bekerja) mungkin tawar-menawar untuk upah yang
lebih tinggi untuk diri mereka sendiri Hasil: The siklis menganggur “orang luar” mungkin
menjadi pengangguran struktural ketika resesi berakhir.
II. Materi bab 13 : Macroeconomic Policy And Aggregate Demand And
Supply Analysis

Tujuan Kebijakan Ekonomi Makro

Kebijakan moneter, dan kebijakan ekonomi makro secara umum, memiliki dua tujuan
utama: menstabilkan kegiatan ekonomi dan menstabilkan inflasi pada tingkat yang rendah.
ekonomi dan menstabilkan inflasi pada tingkat yang rendah
a.Menstabilkan Kegiatan Ekonomi

Tingkat pengangguran sebagai tolok ukur utama kegiatan ekonomi. Hal itu dapat
menyebabkan manusia sengsara dan juga dapat mengurangi output

Tingkat Pengangguran Alamiah

Haruskah pembuat kebijakan menargetkan tingkat pengangguran nol? Faktanya,


perekonomian lebih baik dengan tingkat pengangguran friksional yang kecil dimana pekerja dan
perusahaan membutuhkan waktu untuk membuat pasangan yang cocok. Pengangguran struktural
adalah ketidaksesuaian antara persyaratan pekerjaan dan keterampilan pekerja lokal, pembuat
kebijakan menargetkan tingkat pengangguran di atas nol yang konsisten dengan tingkat
pekerjaan maksimum yang berkelanjutan di mana tidak ada kecenderungan inflasi meningkat
atau menurun.

Tingkat Pengangguran dalam Praktek

Tingkat pengangguran alami adalah antara 5% dan 6% tetapi dapat mengubah waktu
lembur ditentukan oleh lowongan pekerjaan. Secara umum, mencapai tingkat alami sama dengan
menstabilkan ekonomi. Ekonomi bergerak ke tingkat output alami yang disebut output potensial.
Output (Y) bergerak lebih dekat ke output potensial (Y ^ f), sehingga kesenjangan output (Y - Y
^ f) stabil di sekitar nol. Kebijakan moneter yang menstabilkan pengangguran di sekitar tingkat
pengangguran alami juga akan menstabilkan output di sekitar output potensial.
Inflasi Stabilisasi: Stabilitas Harga

Inflasi rendah dan stabil

Atur inflasi dengan sangat hati-hati; - Mengincar inflasi nol meningkatkan risiko inflasi
negatif atau deflasi yang menimbulkan masalah buruknya sendiri. Bank Sentral mengejar inflasi
(π) mendekati level target (πt) yang sedikit di atas nol. Atur πt antara 1% dan 3%. Kebijakan
moneter harus mencoba meminimalkan perbedaan antara (π-πt) yang disebut kesenjangan inflasi

Menetapkan Mandat Hirarki versus Dual

Hierarkis membutuhkan inflasi yang stabil sebagai syarat untuk mencapai tujuan lain.
Mandat Ganda sebagai inflasi yang stabil dan lapangan kerja berkelanjutan maksimum
menunjukkan dua tujuan yang setara.

b.Hubungan Antara Stabilisasi Inflasi dan Stabilisasi Ekonomi

Kebijakan Moneter dan Tingkat Bunga Riil Ekuilibrium

Pada ekuilibrium jangka panjang, ketika ekonomi berproduksi pada potensinya dan
tingkat inflasi konsisten dengan stabilitas harga, kami menyebutnya Equilibrium Interest Rate =
tingkat bunga riil alami = r * (mempertahankan jumlah output yang diminta sama dengan output
potensial, dengan demikian mengurangi kesenjangan output menjadi nol) juga kepentingan riil
ekonomi jangka panjang
“Kurva Kebijakan Moneter dan tingkat bunga riil ekuilibrium, ekuilibrium, ekuilibrium,
r*
Pada poin 1 dalam panel (a), tingkat inflasi berada pada πT dan tingkat bunga riil pada dan
tingkat bunga riil pada dan tingkat bunga riil pada kurva kebijakan moneter berada
pada tingkat bunga riil ekuilibrium ekuilibrium ekuilibrium ekuilibrium r *. Tingkat tingkat
Tingkat tingkat Tingkat tingkat Tingkat tingkat bunga ini menghasilkan ekonomi
berada pada titik 1 di panel (b), di mana kesenjangan output adalah nol dan ekonomi berada
pada ekuilibrium jangka panjang. “

Respons terhadap Guncangan Pasokan Agregat

Ekonomi awalnya di titik 1, di mana output di Yp, inflasi di Andt dan tingkat bunga riil
berada pada tingkat bunga riil ekuilibrium r * 1. Guncangan permintaan negatif menurunkan
permintaan agregat, menggeser AD1 dari ke kiri ke AD2. Pembuat kebijakan dapat menanggapi
guncangan ini dengan dua cara yang mungkin:

Tidak Ada Respons Kebijakan

pada titik 1 => output pada Yp, inflasi pada πT, suku bunga riil berada pada ekuilibrium.
Guncangan permintaan negatif mengurangi permintaan agregat. Jika kurva Kebijakan moneter
tidak berubah pada level MP1, ekonomi bergerak dari titik 1 ke pint 2 di persimpangan kurva
AD2 dan AS1 dalam diagram kedua. Infaltion telah turun dan tingkat bunga juga turun. Ekonomi
kembali ke ekuilibrium panjang dengan inflasi menurun secara permanen
Kebijakan menstabilkan kegiatan ekonomi dalam jangka pendek

Pada Y2 Yp Pembuat kebijakan melonggarkan kebijakan moneter dengan memangkas


suku bunga riil, perekonomian kembali ke keseimbangan jangka panjang dengan inflasi stabil di
πT, kurva permintaan agregat bergeser ke kiri. Kebijakan moneter tidak berdampak pada
ekuilibrium suku bunga riil, yang merupakan tingkat jangka panjang dari suku bunga riil. Dalam
kasus kejutan permintaan agregat, tidak ada trade off antara mengejar stabilitas harga dan
mengejar stabilitas aktivitas ekonomi

Respons terhadap guncangan pasokan permanen

Guncangan pasokan negatif permanen menurunkan potensi keluaran dari YP1 ke YP, dan
kurva penawaran agregat jangka panjang bergeser ke kiri dari LRAS1 ke LRAS3 sementara
kurva penawaran agregat jangka pendek bergeser ke atas dari AS1 ke AS2. Ekonomi bergerak ke
titik 2, dengan inflasi naik ke 2 dan output turun ke Y2. Karena output agregat masih di atas
potensi, kurva penawaran agregat jangka pendek akan terus bergeser sampai gap output nol
ketika mencapai AS3. Ekonomi bergerak ke titik 3, di mana inflasi naik ke 3 sementara output
turun ke Y P3. Dengan kenaikan inflasi dari 1 menjadi 2 menjadi 3, bunga riil rate naik dari r * 1
ke r2 ke r * 3 di panel (a).

Respons terhadap guncangan pasokan sementara

Guncangan pasokan negatif sementara menggeser kurva penawaran agregat jangka


pendek ke atas dari AS1 ke AS2 di panel (b), menggerakkan perekonomian ke titik 2, dengan
inflasi naik ke 2 dan output turun ke Y2. Jika kurva kebijakan moneter tetap pada MP1 di panel
(a), kurva penawaran agregat jangka pendek akan bergeser ke bawah dan ke kanan di panel (b)
dalam jangka panjang, akhirnya kembali ke AS1, dan ekonomi akan bergerak kembali ke poin 1.

c.Aturan Taylor

Bagaimana FED menggeser kurva kebijakan moneter untuk merespons guncangan


ekonomi. Bobot inflasi dan kesenjangan output dipilih sama dengan ½ dan rata-rata historis 2%
(biasanya dinyatakan dengan suku bunga nominal)
r = 2,0 + ½ (π - Πt) +1/2 (Y - YT)

tingkat bunga nominal i = r + π

Tingkat Dana Federal = π + 2.0 + ½ (π - Πt) + ½ (Y - Yp) setelah menambahkan π

Aturan Taylor: Istilah inflasi menunjukkan bahwa FED harus menaikkan suku bunga riil ketika
inflasi naik. Kurva Kebijakan Moneter: MP kurva pergerakan sejak kenaikan suku bunga riil,
pengetatan otonom atau pelonggaran

Aturan Taylor dalam praktiknya

Koefisien tidak mungkin tetap konstan. Aturan Taylor mengabaikan semua seni dan
karenanya tidak mungkin menghasilkan hasil kebijakan moneter terbaik, tetapi juga berguna
sebagai panduan untuk kebijakan moneter

d.Inflasi selalu dan di mana-mana

“Kenaikan di Target inflasi Untuk meningkatkan target inflasi ke πT 3 bank sentral


melakukan moneter otonom pelonggaran kebijakan, pergeseran MP 1 hingga keke MP 3 di
panel (a) dan di panel (a) dan di panel (a) dan di panel (a) dan di panel (a) dan di panel (a) dan
menggeser permintaan agregat untuk melengkung ke kanan ke AD3 di panel dalam panel (b).
Ekonomi kemudian bergerak ke titik 2, dan jangka pendek kurva penawaran agregat bergeser ke
atas dan ke kiri, akhirnya berhenti di AS3, bergerak ekonomi ke poin 3 dengan gap output nol
dan inflasi pada inflasi pada inflasi pada inflasi pada πT 3,sedangkan tingkat bunga riil adalah r*
11 pada point 3 in pada point 3 in panel (a).M.”

Jika bank sentral memilih untuk menaikkan inflasi pada level π3T, itu memudahkan
kebijakan moneter dengan menurunkan tingkat bunga riil (menggeser MP1 ke MP3) pada poin 2,
tingkat bunga riil pada r2 karena output agregat di atas Yp (Y2 - Yp), ketika output gap nol pada
π3T, suku bunga riil naik lagi ke r1 *. Output agregat berada pada output potensial Yp dan inflasi
pada target T1T, tingkat bunga yang lebih rendah mendapatkan permintaan Agregat bergeser ke
AD3, ekonomi bergerak ke titik 3 (titik-temu AD3 dan AS1) dengan tingkat inflasi naik ke π2,
SRAS bergeser ke kiri ke AS3 dengan Inflasi lebih tinggi pada level T3T dan output kembali ke
nol
Penyebab Kebijakan Moneter inflasi

- Target kerja dan inflasi yang tinggi, ada dua jenis inflasi:
1. Inflasi Dorong Biaya: Dari kejutan suplai sementara yang negatif atau dorongan oleh
pekerja untuk kenaikan upah di luar apa yang dapat dibenarkan oleh produktivitas.
2. Permintaan Tarik Hasil inflasi dari pembuat kebijakan mengejar kebijakan yang
meningkatkan AD

Inflasi Dorong Biaya

pada titik 1, perpotongan kurva permintaan agregat AD1 dan kurva penawaran agregat
jangka pendek AS1. Misalkan pekerja berhasil mendorong upah yang lebih tinggi, baik karena
mereka ingin meningkatkan upah riil mereka (upah dalam hal barang dan jasa yang dapat mereka
beli) di atas apa yang dibenarkan oleh kenaikan produktivitas, atau karena mereka mengharapkan
inflasi menjadi tinggi dan berharap mereka upah untuk mengikutinya. Guncangan dorong biaya
ini, yang bertindak seperti guncangan pasokan negatif sementara, menaikkan tingkat inflasi dan
menggeser kurva penawaran agregat jangka pendek ke atas dan ke kiri ke AS2. Jika bank sentral
tidak mengambil tindakan untuk mengubah tingkat bunga ekuilibrium dan kurva kebijakan
moneter tetap tidak berubah, ekonomi bergerak ke titik 2 'di persimpangan kurva penawaran
agregat jangka pendek AS2 dan kurva permintaan agregat AD1. Output menurun ke Y ', di
bawah output potensial, dan tingkat inflasi naik menjadi 2, yang mengarah ke peningkatan
pengangguran. Keberhasilan pekerja mungkin mendorong mereka untuk mencari upah yang
lebih tinggi lagi. Selain itu, pekerja lain mungkin sekarang menyadari bahwa upah mereka telah
turun relatif terhadap upah rekan kerja mereka, yang membuat mereka mencari kenaikan upah.
Akibatnya, akan ada kejutan suplai negatif sementara lainnya yang akan menaikkan level harga,
menyebabkan kejutan suplai agregat jangka pendek

Permintaan Tarik Inflasi

Target pengangguran yang terlalu rendah (target output Yt yang terlalu tinggi)
menyebabkan pemerintah meningkatkan kurva AD hingga AD4 dan seterusnya, karena tingkat
pengangguran di bawah tingkat tingkat alami, upah akan naik dan kurva SRAS bergeser ke kiri
hingga AS4 dan seterusnya. Mengejar target pengangguran yang rendah setara dengan terlalu
tinggi target output mengarah pada kebijakan moneter dan fiskal inflasi.Ketika inflasi tarikan
permintaan menghasilkan tingkat inflasi yang lebih tinggi, inflasi yang diharapkan pada akhirnya
akan naik dan menyebabkan pekerja menuntut upah yang lebih tinggi (inflasi yang didorong oleh
biaya) sehingga upah riil mereka tidak turun.

e.Kebijakan Moneter di Batas Bawah Nol

Tingkat dana federal negatif menyiratkan bahwa lembaga keuangan bersedia untuk
mendapatkan pengembalian yang lebih rendah dengan meminjamkan di pasar dana federal
daripada yang bisa mereka peroleh dengan memegang uang tunai, dengan tingkat pengembalian
nol. Lantai nol pada tingkat kebijakan disebut sebagai batas bawah nol.

-Kebijakan Moneter Non Konvensional dan Pelonggaran Kuantitatif

Pada batas bawah nol, kebijakan moneter ekspansif konvensional tidak lagi menjadi
pilihan karena otoritas kebijakan moneter tidak dapat menurunkan tingkat kebijakan. Dapatkah
kebijakan moneter masih digunakan untuk memperluas ekonomi dan dengan demikian
menghindari spiral yang menurun dalam output dan inflasi yang dijelaskan dalam gambar
sebelumnya? Menggunakan analisis kami terhadap kurva permintaan agregat, kita dapat melihat
bahwa jawabannya adalah ya, karena otoritas moneter memiliki opsi lain untuk mengurangi
kebijakan moneter yang tidak mengharuskan penurunan tingkat kebijakan. Opsi-opsi ini, yang
disebut sebagai kebijakan moneter non-konvensional, mengambil tiga bentuk: penyediaan
likuiditas, pembelian aset, dan manajemen ekspektasi.

-Ketentuan Likuiditas

Kekurangan likuiditas menghasilkan peningkatan tajam dalam gesekan keuangan, yang


meninggalkan kurva permintaan agregat pada AD1, di mana ia memotong kurva penawaran
agregat pada titik 1, titik di mana tingkat kebijakan telah mencapai titik nol dan output di bawah
potensi. Cara langsung untuk menurunkan friksi keuangan adalah bagi bank sentral untuk
meningkatkan fasilitas pinjamannya untuk menyediakan likuiditas bagi pasar yang mengalami
gangguan sehingga mereka dapat kembali ke fungsi normalnya, sehingga menurunkan f term.

-Pembelian Aset
Otoritas moneter juga dapat menurunkan jangka waktu dengan menurunkan spread kredit
melalui pembelian aset pribadi. Ketika otoritas moneter membeli sekuritas yang diterbitkan
secara pribadi, Otoritas moneter juga dapat menurunkan jangka waktu dengan menurunkan
spread kredit melalui pembelian aset pribadi. Ketika otoritas moneter membeli sekuritas yang
diterbitkan secara pribadi, ini berarti bahwa pembelian aset sekuritas pemerintah jangka panjang
(bukan sekuritas jangka pendek, yang merupakan norma) dapat menurunkan tingkat bunga riil
untuk investasi. Ketika Federal Reserve membeli obligasi Treasury jangka panjang AS,
misalnya, ini menaikkan harga dan menurunkan suku bunga jangka panjang, menyebabkan
penurunan dalam f dan tingkat bunga riil untuk investasi pada tingkat inflasi tertentu.

-Pelonggaran Kuantitatif vs. Pelonggaran Kredit (quantitative easing vs. credit easing)

Ketika bank sentral terlibat dalam penyediaan likuiditas atau pembelian aset, neraca
perusahaan perlu diperluas. Perluasan neraca ini disebut pelonggaran kuantitatif, karena itu
menyebabkan peningkatan besar dalam likuiditas dalam perekonomian, yang dapat menjadi
kekuatan yang kuat dalam merangsang ekonomi dalam jangka pendek dan mungkin
menghasilkan inflasi. Namun, ekspansi dalam neraca bank sentral dalam dan dari dirinya sendiri
mungkin tidak merangsang ekonomi. Dalam analisis AD> AS tentang batas bawah nol, kecuali
pelonggaran kuantitatif mampu menurunkan tingkat bunga riil untuk investasi, tidak ada dampak
pada kurva permintaan agregat dan karenanya pada output dan inflasi. Jika program pembelian
aset hanya terdiri dari pembelian surat berharga pemerintah jangka pendek, itu tidak akan
mempengaruhi spread kredit atau spread antara suku bunga jangka panjang dan jangka pendek,
dan dengan demikian akan membuat f dan suku bunga riil untuk investasi tidak berubah.
Hasilnya akan berdampak minimal pada ekonomi agregat. Memang, inilah yang terjadi di Jepang
ketika Bank of Japan mengejar program pembelian aset skala besar, terutama dalam obligasi
pemerintah jangka pendek. Tidak hanya ekonomi tidak pulih, tetapi inflasi juga berubah negatif.
Provisi likuiditas dan program pembelian aset yang mengarah ke ekspansi neraca Fed tidak
diarahkan untuk memperluas neraca Fed. Sebaliknya, program-program The Fed ditujukan untuk
mengubah komposisi neraca Fed untuk menurunkan suku bunga riil untuk investasi. Memang,
III. Situasi Ekonomi Akibat Covid-19

Pandemi corona akan membuat pertumbuhan ekonomi global tumbuh negatif tahun ini.
Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan situasinya bakal lebih buruk dari Depresi
Besar alias Great Depression pada 1930an.

The Economist Intelligence Unit (EIU) memprediksi negara-negara maju dan


berkembang yang tergabung dalam G20 akan mengalami resesi pada 2020. Negara-negara di
Eropa termasuk menjadi wilayah yang paling terdampak Covid-19. Jerman (-5%), Prancis (-5%),
dan Italia (-7%) akan mengalami resesi sepanjang tahun ini.

Bagaimana dengan ekonomi Indonesia?

Situasi ekonomi Indonesia.

Perekonomian Indonesia menurut IMF diprediksi masih tumbuh positif, meski anjlok
4,5% dibandingkan kinerja 2019. Suatu pernyataan disampaikan oleh Baldwin dan Di Mauro
(2020) dalam suatu kurasi tulisan terbaru berjudul “Economics in the Time of COVID-19” dari
VoxEU, yang menyebutkan bahwa COVID-19 tidak hanya merupakan guncangan bagi dunia
kesehatan (health shock), namun juga merupakan guncangan bagi perekonomian (economic
shock).

guncangan ekonomi yang terjadi akibat COVID-19 memengaruhi sisi penawaran (supply
side shock) dan sisi permintaan (demand side shock). Dari sisi penawaran, penyebaran COVID-
19 jelas akan memberikan dampak pada kesehatan tenaga kerja dan akan secara langsung
menurunkan tingkat produktivitas tenaga kerja.

Bagaimana keseimbangan ekonomi akibat covid-19?


“Pada gambar diperlihatkan awalnya perekonomian berada pada keseimbangan di titik
A.Kemudian, dampak dari COVID-19 yaitu kontraksi pada sisi penawaran digambarkan pada
kurva produktivitas yang menurun dan kontraksi pada sisi permintaan digambarkan pada kurva
permintaan yang bergeser ke arah kiri. Pada akhirnya, keseimbangan akibat pengaruh COVID-19
adalah pada titik B, yaitu turunnya produktivitas dan output pada perekonomian. Secara
simultan, penurunan pada tingkat produktivitas membuat tingkat harga dalam perekonomian
mengalami peningkatan.”

Dari kondisi covid-19 yang terjadi membuat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan
angka negative hal ini diperlukan Analisis penyebab laju pertumbuhan ekonomi Indonesia turun
pada triwulan 4 2019 dan cemderung negative pada triwulan 1 2020.

Analisis:

Pertumbuhan ekonomi Indonesia 2019 turun jadi 5,02 persen, dari capaian 2018 yang
mencapai 5,17 persen. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) salah satu penyebabnya adalah
pertumbuhan sektor industri pengolahan yang melemah.Pada 2019, sektor industri pengolahan
hanya tumbuh 3,8 persen, turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 4,27 persen. Sehingga,
kontribusi industri di struktur ekonomi Indonesia turun jadi 19,7 persen, dari tahun sebelumnya
19,86 persen.Dari pertumbuhan 5,02 persen, sektor industri sebenarnya masih menjadi
penyumbang tertinggi dengan angka 0,8 persen. Namun, angka ini terus turun setiap tahun. Dari
0,92 persen pada 2017, lalu 0,91 persen pada 2018.

hanya industri pengolahan, tiga sektor yang memiliki kontribusi besar pada ekonomi
Indonesia juga mengalami penurunan. Keduanya yaitu perdagangan, pertanian, dan
konstruksi.Sektor perdagangan turun dari 4,97 persen pada 2018, menjadi 4,62 persen pada
2019. Sementara sektor pertanian turun dari 3,88 persen jadi 3,64 persen. Lalu konstruksi, turun
dari 6,09 persen jadi 5,76 persen.dari data yang ada menjelaskan bahwa laju pertumbuhan
ekonomi Indonesia terus menurun.

Sedangkan pada triwulan 1 2020 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung


negative, hal ini disebakan oleh adanya penerapan work from home (WFH) dan physical
distancing selama pandemi COVID-19. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi penyebaran
Corona dengan konsekuensi aktivitas di luar rumah sejak pekan kedua Maret 2020 berkurang
drastis.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia Kuartal I (Q1) 2020 hanya mencapai 2,97 persen. Nilai
itu mendarat jauh dari target kuartal I yang diharapkan mencapai kisaran 4,5-4,6 persen.
Kemungkinan pada kuartal 2 2020 laju pertumbuhan ekonomi bisa menjadi lebih buruk.Pada
kuartal 2/2020. Diprediksi pertumbuhan ekonomi akan mengalami kontraksi 0,15 persen dengan
kondisi sangat berat dan minus 0,69 persen pada kondisi sangat berat sekali.Selain itu konsumsi
rumah tangga juga akan terus turun. Kemungkinan pada kurtal 2/2020 konsumsi rumah tangga
bisa menyentuh minus 1,54 persen bahkan minus 2,08 persen jika sangat berat sekali.

Dengan kondisi covi-19 yang menjadi-jadi yang terus mengancam perekonomian


pemerintah melakukan video konferensi demi menyelamatkan perekonomian:

Kesimpulan:

1.Pandemi COVID-19 telah menimbulkan tekanan pada perekonomian seluruh negara


dengan dampak mencapai3% - 16% dari GDP.
2.Isu utama yang perlu menjadi perhatian adalah penanganan kesehatan masyarakat
sehingga dukungan dalam penyediaan alat-alat kesehatan, treatment pasien, riset vaksin
dan obat, serta pencegahan wabah di masa depan menjadi sangat penting.
3. Stabilitas keuangan global menjadi kunci menjaga perekonomian serta kepercayaan
masyarakat.
4. Global trade dan cross border trading perlu direlaksasi agar kegiatan perekonomian
masyarakat tetapterjaga.
5. Global social safety net menjadi tantangan yang juga perlu menjadi perhatian seluruh
negara anggota G20.

6. Negara-negara G20 mendukung komitmen IMF dan World Bank Group untuk
memberikan pembiayaan,baik melalui IMF's SDR allocation, fasilitas swap line, maupun
lending capacity lainnya dengan fokus alokasi kepada negara-negara yang paling terkena
dampak wabah COVID-19 dan paling membutuhkan serta fleksibilitas pembiayaan yang
memadai.

Akibat covid-19 perekonomian global 2020 diproyeksikan tumbuh negatif atau


mengalami resesi.Pasar keuangan global mengalami kepanikan sehingga terjadi pembalikan
modal (capital outflow) membuat tekanan pada mata uang, pasar modal dan surat berharga di
EMDC termasuk Indonesia.

ekonomi Indonesia berisiko turun dalam menjadi 2,3% pada skenario berat dan berlanjut
menjadi -0,4% pada skenario sangat beratAncaman terhadap stabilitas sektor keuangan:
volatilitas pasar saham, surat berharga, depresiasi Rupiah, peningkatan NPL, persoalan
likuiditas, dan insolvency.Stabilitas sektor keuangan saat ini berada pada level normal –siaga.

Pemerintah melakukan beberapa stimulus untuk perekonomian Indonesia:

1.Kebijakan Stimulus I Melalui Belanja Untuk Memperkuat Perekonomian Domestik


Tahun 2020

2.Kebijakan Stimulus ke-2 fokus pada menjaga daya beli masyarakat dan kemudahan
ekspor - impor

3.Refocusing program dan realokasi anggaran menjadi salah satu opsi utama pendanaan
penanganan COVID-19

4.Bauran kebijakan moneter dan sektor keuangan juga dioptimalkan untuk memberi
daya dukung pada perekonomian dan menjaga stabilitas

IV. Quantitative Easing


Pengertian Quantitative Easing
Quantitative Easing merupakan kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral untuk
meningkatkan jumlah uang beredar guna meningkatkan perekonomian dengan cara membeli
aset-aset jangka panjang berupa surat-surat berharga pemerintah maupun bank komersial.
Kebijakan moneter ini diambil untuk menciptakan inflasi sehingga mampu mencegah risiko
deflasi.

Pada kebijakan moneter Quantitative Easing, bank sentral meningkatkan jumlah uang


beredar di pasar dan mendorong bank-bank komersial agar bersedia menggelontorkan pinjaman
atau kredit baik usaha maupun konsumtif kepada perusahaan dan juga masyarakat. Oleh sebab
itu, dalam kebijakan moneter ini terjadi penurunan tingkat suku bunga jangka pendek hingga
mendekati bahkan hingga level 0%. Asumsinya adalah tingkat suku bunga yang rendah akan
menarik perusahaan dan masyarakat untuk mengajukan pinjaman atau kredit. Tingkat kredit
yang tinggi diharapkan mampu meningkatkan ekonomi baik secara mikro maupun makro. Secara
lebih lanjut, tingkat konsumsi masyarakat dan perusahaan juga akan meningkat. Dengan
meningkatnya kegiatan usaha masyarakat dan perusahaan secara luas akan mampu memperbaiki
bahkan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Penerapan Quantitative Easing di Indonesia

Mekanisme QE usulan di Indonesia dilakukan dengan cara Bank Indonesia (BI) membeli
surat utang negara di pasar primer. Artinya, pemerintah dan BI melakukan transaksi secara
langsung: pemerintah menerbitkan surat utang (baru) senilai Rp 1.600 triliun untuk kemudian
dibeli secara langsung oleh Bank Indonesia.

QE adalah kebijakan moneter “luar biasa” yang harus diambil ketika kebijakan moneter
biasa sudah tidak efektif lagi. Dalam keadaan krisis, pertama kali yang dilakukan bank sentral
pada umumnya menurunkan suku bunga. Ketika ekonomi masih belum menunjukkan tanda-
tanda membaik, suku bunga bisa diturunkan terus hingga mendekati 0 persen. Tujuan dari
penurunan suku bunga ini agar biaya pinjaman menjadi lebih murah, meringankan beban bunga
perusahaan, dan juga diharapkan menggairahkan investasi dan konsumsi. Ini merupakan stimulus
ekonomi dari kebijakan moneter.
Dalam situasi suku bunga mendekati 0 persen dan ekonomi masih belum membaik, bank
sentral bisa mengambil kebijakan moneter QE agar bisa lebih efektif untuk lebih menggairahkan
ekonomi. Cara kerja QE ,Bank sentral mengumumkan akan membeli surat utang negara jangka
menengah atau surat utang korporasi di pasar sekunder (open market operations), untuk sejumlah
tertentu.

Sehubungan dengan krisis pandemi Covid-19, the FED sudah menurunkan suku bunga
secara agresif, yaitu 0,5 persen pada 3 Maret 2020 dan 1 persen pada 15 Maret 2020, sehingga
suku bunga the FED mendekati 0 persen. Pada pertengahan Maret 2020.

Apabila ekonomi membaik sesuai target bank sentral, bukan target pemerintah
(eksekutif), QE bisa dihentikan. Apabila kemudian ada ancaman inflasi, bank sentral bisa
menjual kembali surat berharga yang dibeli melalui QE open market operations tersebut.
Tujuannya agar suku bunga naik untuk meredam inflasi.

Proses umum kebijakan moneter QE. Pertama, tingkat suku bunga sudah mendekati 0
persen. Sedangkan suku bunga Bank Indonesia saat ini masih “sangat tinggi”, yaitu 4,5 persen.
Maka, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sangat jauh dari bisa diberlakukan QE. Dalam situasi
ini, BI masih mempunyai ruang gerak yang sangat luas untuk menurunkan suku bunga.

Kedua, QE adalah kondisi di mana bank sentral membeli surat utang negara (dan
korporasi) di pasar sekunder melalui open market operations. Tujuan utama QE adalah untuk
menurunkan suku bunga jangka pendek dan jangka menengah. Oleh karena itu, usulan agar BI
membeli surat utang negara di pasar primer berlawanan dengan mekanisme QE seperti
digambarkan di atas. Pembelian surat utang negara di pasar sekunder melalui open market
operations menunjukkan independensi bank sentral.

Gubernur Bank Indonesia (BI) memaparkan perbedaan kebijakan pencetakan uang dan
quantitative easing yang dilakukan bank sentral. Menurut Perry, skema pencetakan uang itu
seperti zaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dahulu, di mana BI mengedarkan
uang, dan gantinya bank diberikan surat utang pemerintah. Namun, skema ini tidak efektif.
Surat utang pemerintah tidak dapat diperdagangkan 'tradeable' karena suku bunganya
mendekati nol.

Jika kelebihan likuiditas, BI tidak mampu menyerap lagi seperti BLBI dulu. Kondisi
ini terasa ketika inflasi naik karena surat utang tersebut tidak bisa digunakan. Kondisi ini
terjadi pada 1998 dan 1999 ketika inflasi naik hingga 6 - 7 persen. Hal Itu yang disebut
pencetakan uang beda dengan yang kita lakukan sekarang quantitative easing.

Penambahan likuiditas yang nilainya hampir mencapai Rp503,4 triliun di lakukan


dengan quantitative easing melalui pelonggaran giro wajib minimum (GWM) dan Rasio
Intermediasi Makroprudensial (RIM). Dalam operasi moneter di era Covid-19 saat ini.

Quantitative Easing diambil sebagai kebijakan moneter non konvensional

Quantitative easing atau pelonggaran kuantitatif adalah kebijakan moneter non-


konvensional di mana bank sentral meningkatkan jumlah uang yang beredar dengan membeli
surat berharga jangka panjang dari pasar terbuka atau aset keuangan dalam jumlah tertentu dari
bank komersial dan institusi swasta lainnya.

Kebijakan ini diterapkan juga untuk memudahkan pinjaman atau kredit kepada
masyarakat. Hal ini biasanya juga diterapkan ketika kebijakan moneter standar mulai tidak
efektif. Membeli sekuritas ini menambah uang baru bagi perekonomian dan juga berfungsi
menurunkan suku bunga dengan menawar sekuritas pendapatan tetap. Ini juga memperluas
neraca bank sentral.

Untuk melaksanakan quantitative easing , bank sentral meningkatkan jumlah uang yang
beredar dengan membeli obligasi pemerintah dan sekuritas lainnya. Meningkatkan suplai uang
sama dengan meningkatkan suplai aset lainnya. Biaya uang yang lebih rendah berarti suku bunga
juga lebih rendah dan bank dapat meminjamkan dengan persyaratan yang lebih mudah.
Jika pelonggaran kuantitatif itu sendiri kehilangan efektivitas, kebijakan fiskal
(pengeluaran pemerintah) dapat digunakan untuk lebih memperluas pasokan uang. Bahkan,
pelonggaran kuantitatif dapat mengaburkan batas antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal,
jika aset yang dibeli terdiri dari obligasi pemerintah jangka panjang yang dikeluarkan untuk
membiayai pengeluaran defisit. 

Namun quantitative easing memiliki kelemahan, Jika bank sentral meningkatkan jumlah
uang beredar, itu dapat menyebabkan inflasi. Dalam skenario terburuk, bank sentral dapat
menyebabkan inflasi melalui QE tanpa pertumbuhan ekonomi, yang menyebabkan periode yang
disebut stagflasi. Jika peningkatan jumlah uang yang beredar tidak berhasil melalui bank dan
masuk ke dalam perekonomian, maka QE mungkin tidak menjadi efektif kecuali jika digunakan
sebagai hanya untuk memfasilitasi pengeluaran defisit (kebijakan fiskal).

Akibat lainnya yaitu mendevaluasi mata uang domestik. Bagi produsen, ini dapat
membantu merangsang pertumbuhan karena barang yang diekspor akan lebih murah di pasar
global. Namun, penurunan nilai mata uang membuat impor menjadi lebih mahal dan
meningkatkan biaya produksi serta tingkat harga konsumen.

hubungan Quantitative Easing dengan Liquidity trap dan kebijakan fiskal

kebijakan pembelian surat utang (quantitative easing/QE) secara besar-besaran oleh bank
sentral Kebijakan QE secara agresif oleh bank sentral akan memompa likuiditas yang tiba-tiba.
Hal ini berpotensi menimbulkan liquidity trap .

Menurut para penganut mazhab ekonomi Keynes, liquidity trap adalah gagalnya
suntikan dana dari bank sentral ke sistem keuangan untuk menurunkan beban utang dan
menggenjot pertumbuhan ekonomi. Dengan meningkatkan jumlah uang yang dicetak untuk
membeli surat utang baik SUN, obligasi korporasi, maupun sekuritisasi beragun hipotek di pasar
finansial, sehingga akan membuat likuiditas didalamnya meningkat.
Hubungan dengan kebijakan fiskal,kebijakan fiskal sangat diperlukan untuk mengatur
arah kebijakan Quantitative Easing yang dibuat pemerintah akar tidak terjebak kedalam liquidity
trap, kebijakan yang ada harus memiliki koordinasi yang baik.

Anda mungkin juga menyukai