Anda di halaman 1dari 16

Geopolitik dan geostrategi

Isu global dan nasional

Di susun oleh :

Syafira subli mahalmi

(1201180020)

Program studi : ilmu politik (pagi)

semester 5

Fakultas ilmu sosial dan politik

Dosen : Harsen Tampo Muri, MA

1
Isu global india-pakistan (sengketa wilayah kashmir)

Latar belakang isu

Latar belakang terjadinya perang India dengan Pakistan berawal dari konflik politik,
yaitu tentang perebutan wilayah Kashmir.

Hal ini bermula pada tahun 1941, yaitu ketika Gulab Singh dan penggantinya
menguasai Kashmir. Dan pada sensus tahun 1941, wilayah Kashmir memiliki jumlah
penduduk sebesar 4.021.698 orang, serta 3.101.247 diantaranya adalah beragama
Muslim. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa pada wilayah yang bergejolak di
Kashmir, 94% penduduknya beragama Muslim.

Pada saat itu rakyat Kashmir bangkit melawan kekuasaan Penguasa Kashmir. Hal
ini dipicu oleh sikap penguasa yang terkenal dengan kekejamannya, terutama pada
saat proses penumpasan pemberontakan yang terjadi pada tahun 1931. Kemudian
pada tahun 1932, Sheikh Abdullah membentuk sebuah paratai politik di Kashmir
yang dikenal dengan the Jammu & Kashmir Muslim Conference (yang kemudian
dirubah namanya menjadi National Conference pada tahun 1939).

Dan pada akhirnya, pada tahun 1934, penguasa Kashmir melunak sehingga beliau
member kesempatan kapada rakyat untuk berdemokrasi namun secara terbatas,
yaitu dengan didirikannya DPR. Namun, rakyat tetap bersikeras untuk tetap
memperjuangkan keinginannya, yaitu keinginan untuk lepas dari kekuasaan
Penguasa Kashmir.

Kemudian berdasarkan instrument pembagian India, penguasa wilayah diberikan


pilihan kepada untuk menentukan kemana mereka akan bergabung, ke India atau
Pakistan. Namun, mereka disarankanuntuk menjadi wilayah tersendiri, hal ini sesuai
dengan mempertimbangankan wilayah geografi dan masalah etnik. Sesuai dengan
pemaparan tadi, maka dari sinilah dimulainya konflik antara India dengan Pakistan.

Konflik antara India dan Pakistan telah terjadi sejak terpisahnya wilayah Pakistan
dari India pada tahun 1947. Sejak pemisahan tersebut, India dan Pakistan memiliki
hubungan yang fluktuatif. Terjadi beberapa kerjasama dalam banyak bidang, namun
kedua negara juga saling bersaing untuk menjadi yang paling kuat serta
berpengaruh di kawasan Asia Selatan termasuk di antaranya terkait dengan wilayah
Kashmir. Kashmir adalah salah satu wilayah di antara India dan Pakistan yang
2
penduduknya didominasi oleh umat Muslim. Setelah pemisahan kedua negara,
Kashmir menjadi wilayah yang paling diperebutkan kedua negara karena secara
geografis, Kashmir memiliki banyak kelebihan dan keunikan. Kashmir merupakan
wilayah yang secara geografis memiliki keunggulan yakni letaknya yang strategis.
Letak geografis Kashmir sangat strategis karena berbatasan langsung dengan
beberapa negara besar. Batas-batas negara bagian Jammu-Kashmir yakni sebelah
utara berbatasan dengan Rusia dan China, sebelah timur berbatasan dengan China
Sinkiang dan Tibet, sebelah barat berbatasan dengan Afghanistan dan Pakistan,
sebelah selatan berbatasan dengan India. Selain keunggulan geografis, Kashmir
juga memiliki kelebihan lain yaitu melimpahnya Sumber Daya Alam (SDA). Wilayah
Kashmir sangat terkenal dengan keindahan alamnya karena pegunungan dan
lembah-lembah hijau yang belum pernah tersentuh.Terdapat beberapa sungai besar
yang melewati dan mengaliri lembah Kashmir seperti sungai Indus, Zanskar dan
Jhelum. Sungai Indus merupakan sungai utama yang mengalir dari Kashmir ke
Pakistan sehingga menjadi keuntungan tersendiri bagi India yang menguasai
Kashmir. Kashmir juga merupakan tanah yang kaya akan hasil bumi seperti emas.
Selain emas, hasil bumi lainnya juga melimpah berupa batu zamrud dan batu delima
yang berpotensi bagi peningkatan ekonomi India di Kashmir.

Potensi-potensi yang ditawarkan Kashmir beserta kepentingan kedua negara


terhadapnya inilah yang akhirnya menjadi pemicu utama tidak terselesaikannya
konflik Kashmir. Kedua negara saling melancarkan beberapa aksi untuk mengancam
satu sama lain hingga terjadi perang sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1947,
1965, 1971 dan 1999. Konflik Kashmir semakin mengalami eskalasi hingga menjadi
sorotan internasional pada bulan Januari 1948,namun kemudian kasus tersebut
mereda setelah muncul indikasi bahwa kedua negara yakni India dan Pakistan mulai
cenderung menyelesaikan permasalahan sengketa Kashmir lewat diplomasi dan
dialog bilateral. Penduduk Kashmir mayoritas terdiri dari masyarakat Muslim yang
proPakistan. Sementara itu, para penguasa di Kashmir didominasi kaum Hindu
sehingga lebih cenderung pro-India. Hal ini menjadikan masalah sengketa sulit
mencapai kesepakatan permanen sebab dari internal Kashmir sendiri sering terjadi
pemberontakan, terorisme, dan penyerangan bersenjata. Secara historis Kashmir
merupakan wilayah integral dari negara India. Setelah Pakistan memisahkan diri,
Kashmir menjadi wilayah yang diperebutkan. Pakistan terus menerus mengklaim

3
Kashmir dengan alasan bahwa Kashmir dan Pakistan memiliki landasan agama
yang sama. Sejak terpisahnya India dan Pakistan, Pakistan berusaha untuk
mengklaim Kashmir secara penuh dari India dengan alasan masyarakat Kashmir
didominasi oleh muslim. Melalui resolusi PBB pada tahun 1948, baik India maupun
Pakistan telah sama-sama memiliki wilayah atas Kashmir. Pakistan memegang
wilayah Azad Kashmir beserta bagian utara Kashmir, sedangkan India memegang
wilayah Jammu dan Kashmir serta wilayah lainnya di mana mayoritas penduduknya
adalah masyarakat Muslim yang lebih memihak Pakistan dan memilih untuk
merdeka daripada berada di bawah pemerintahan India.

Proses terjadinya perang india-pakistan

Perang India-Pakistan, merupakan perang yang terjadi sejak bulan Agustus 1947,
perang ini terjadi antara India dengan Pakistan. Peristiwa ini memiliki empat kejadian
perang, tiga diantranya merupakan perang utama dang yang lainya merupakan
perang kecil yang terjadi dianyara kedua Negara. Tiap kasus perang yang terjadi,
penyebab utamanya ialah perebutan wilayah Kashmir, kecuali perang yang terjadi
antara India-Pakistan pada tahun 1971 yang disebabkan oleh masalah wilayah
Pakistan Timur.

Perang yang terjadi :

 Perang India-Pakistan 1947: Pakistan merbut 1/3 Kashmir (Pakistan


mengklaim Kashmir sebagai wilayahnya) dengan bantuan Pashtun. Hindu
dan Sikhs dihilangkan dari Kashmir Pakistan. India membalas dengan
mengirim pasukan ke Gurdaspur.
 Perang India-Pakistan 1965: Pasukan Pakistan berusaha memasuki teritori
Kashmir India untuk memicu pemberontakan oleh Kashmir. Rencana ini gagal
dan penyusup dapat ditemukan, sehingga India membalas hal ini. Perang ini
diakhiri dengan gencatan senjata, dan India dapat merebut sedikit teritori
Pakistan.
 Perang India-Pakistan 1971: Bangladesh meminta kemerdekaan dari
Pakistan. Tentara Pakistan melakukan pembunuhan dan pemerkosaan besar
di Bangladesh dan genoside penduduk Bengali. Jutaan pengungsi pindah ke

4
India. India membantu Mukti-Bahini Bangladesh dan menaklukan Pakistan,
sehingga Bangladesh merdeka dan Pakistan menyerah seluruhnya.
 Perang India-Pakistan 1999, juga disebut “Perang Kargil”: Tentara Pakistan
dan beberapa pemberontak Kashmir merebut pos tentara India. India
membalas dan merebut kembali pos itu. Tekanan internasional terhadap
Pakistan membuatnya mundur. Perang berakhir dengan India merebu Kargil
dan isolasi diplomatik Pakistan.

Tahun 1989 hingga 1990-an terjadi konflik di Kashmir yang disebabkan oleh
separatis Kashmir yang menolak keberadaan umat Hindu atau Kashmiri Pandit
(Kashmiri Hindu). Kashmiri Pandit diusir secara paksa melalui berbagai
serangan, di antaranya penyiksaan, pemerkosaan, pencurian, serta
penganiayaan oleh separatis Kashmir terhadap masyarakat Hindu yang berada
di Kashmir pada saat itu. Sebanyak 200.000 hingga 300.000 umat Hindu yang
dipaksa keluar dari wilayah tempat tinggalnya di Kashmir akhirnya mengungsi ke
India bahkan ke luar negeri, salah satunya China. Kurang lebih sebanyak
100.000 orang telah tewas dalam pemberontakan separatis di Kashmir yang
diklaim India didukung oleh Pakistan. Lebih lanjut, tahun 2015, melalui Bharatiya
Janata Party Pemerintah India mengeluarkan kebijakan untuk membangun
pemukiman Hindu dan memukimkan kembali puluhan ribu umat Hindu yang
pernah terusir pada tahun 1989 di Kashmir. Partai Hindu yang mendominasi
pemerintahan di Kashmir, yaitu Bharatiya Janata Party yang berkoalisi dengan
pemerintah setempat telah mengumumkan rencana untuk mendirikan
pemukiman dengan keamanan ketat bagi umat Hindu yang dahulu terusir atau
pergi dari Kashmir, sehingga harus tinggal di wilayah lain di India maupun luar
negeri.

Solusi konflik antara india-pakistan

a. PBB
Penanganan dalam resolusi konflik dapat dilakukan oleh kedua belah pihak
yang bertikai ataupun dengan adanya pihak ketiga yang menengahi konflik
ini. Pihak ketiga yang dimaksud dapat berupa negara ataupun organisasi
internasional. Kasus konflik internasional yang diangkat dalam penelitian ini

5
adalah konflik Kashmir. Konflik Kashmir yaitu konflik kedaulatan atas wilayah
Jammu Kashmir, berada di India Utara yang diperebutkan oleh India dan
Pakistan semenjak tahun 1947 hingga saat ini. Dalam studi kasus konflik
Kashmir, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) bertindak sebagai pihak ketiga
yang memberikan upaya-upaya resolusi konflik. Dalam penelitian ini, peneliti
berfokus kepada upaya resolusi yang dilakukan oleh PBB, yaitu dari awal isu
Kashmir dibawa ke dunia internasional oleh India pada tahun 1947, hingga
penanganan terakhir yang dilakukan oleh komisi khusus yang berada di
bawah wewenang Dewan Keamanan. Adapun masalah yang menjadi bahan
penelitian diantaranya sumber permasalahan konflik Kashmir dan upaya-
upaya penyelesaian konflik oleh pihak ketiga, yaitu PBB. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik
pengumpulan data studi pustaka. Teori yang digunakan dalam analisa
penelitian ini yaitu Teori Resolusi Konflik, berupa Alternative Dispute
Resolution (ADR) dengan didukung oleh Teori Tahapan Resolusi Konflik
untuk membantu dalam menjelaskan upaya yang dilakukan oleh PBB. Hasil
dari penelitian ini menjabarkan bahwa upaya yang diambil oleh PBB berupa
pembentukan komisi khusus dan membentuk suatu garis batas antar wilayah
yang membagi kedaulatan kedua negara tersebut. PBB pun berperan menjadi
pengawas atas aksi gencatan senjata yang disetujui oleh India dan Pakistan
dalam resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan. Dalam prakteknya,
PBB memiliki wewenang melalui komisi khusus yang berada di bawah Dewan
Keamanan sebagai penengah yang melakukan berbagai mediasi yang
dianggap berhasil, diantaranya dikenal dengan Perjanjian Karachi dan
Perjanjian Shimla.
b. Amerika serikat
Amerika Serikat (AS) mengatakan, pihaknya memiliki "perhatian besar"
tentangsituasi di Kashmir, tetapi mengisyaratkan bahwa pihaknya tidak akan
berusaha menengahikonflik wilayah Himalaya antara Pakistan dan India itu.
Para pejabat yang jarang berbicara secara terbuka tentang Kashmir yang
India anggapsatu masalah domestik. Namun, Pakistan mengajukan masalah
itu secara tegas dalam perundingan-perundingan tingkat pejabat tinggi
dengan Amerika Serikat yang bertujuanuntuk meningkatkan kemitraan kedua
negara yang sering terganggu itu. Dalam konflik Kashmir ini, AS malah
6
mendampingi Rusia membantu India. Disinilah kepentingan politik AS
bermain. Ketika kelompok Islam yang dijadikan sasaran,maka AS akan
dengan gencar memberikan dukungan.Amerika Serikat sebagainegara
adidaya, memiliki tingkat pressure yang sangat kuat, sehingga mampu
menundukkanmantan Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif. Dalam
pernyataanya, Nawaz Sharifmenjanjikan akan menarik pasukan Pakistan dari
wilayah Kashmir. Tentu saja pernyataanSharif tersebut mendapat tanggapan
keras, baik dari para pejuang Kashmir maupun darimasyakat Pakistan.Dus,
akhirnya Nawaz Sharif terguling dalam sebuah kudeta tak berdarahyang
dipimpin Jenderal Pervez Musharraf.
c. Indonesia
Indonesia menganut politik luar negeri bebas aktif, sehingga Indonesia
selalumendukung penyelesaian konflik dengan jalan damai dan tidak
memihak salah satu pihakyang bersengketa. Dalam konflik Kashmir,
Indonesia diminta oleh Pakistan untuk membujuk India untuk mengakhiri
konflik tersebut. Pemerintah Indonesia tetap mendukung segala bentuk
penyelesaian konflik dengan damai.

Menurut saya solusi konflik antara india dan pakistan adalah solusi dari konflik yang
berdampak kepada banyak umat beragama dan nasionalis ini harus diselesaikan
dengan dialog antara India, Pakistan, dan rakyat Kashmir. Agar tidak terjadinya
perang yang berkelangsungan dan agar tidak banyaknya korban jiwa yang tewas
dalam perang tersebut.

7
Isu nasional (konflik ambalat di perairan sulawesi antara indonesia-
malaysia)

Latar belakang isu

Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia memiliki batas-batas


wilayah yang mayoritas batas-batas wilayah tersebut adalah wilayah perairan.
Wilayah perairan tersebut tentu tidak memiliki patok-patok batas layaknya di
daratan. Hal ini yang membuat rawannya terjadi konflik antar-negara yang
memperebutkan batas-batas wilayahnya masing-masing. Konflik perairan terbanyak
yang dialami oleh Indonesia adalah konflik dengan negara tetangga serumpun kita
yaitu Malaysia. Perebutan perairan Ambalat adalah salah satu konflik terbesar
antara Indonesia dengan Malaysia. Ambalat merupakan blok dasar laut yang
berlokasi di sebelah timur Pulau Borneo (Kalimantan). Konflik Blok Ambalat
merupakan konflik yang memperebutkan klaim atas perairan di wilayah Sulawesi
yang menyimpan kekayaan Migas yang cukup besar. Ambalat telah lama menjadi
wilayah sengketa Indonesia dan Malaysia. Blok laut seluas 15.235 kilometer persegi
yang terletak di Selat Makassar itu menyimpan potensi kekayaan laut yang luar
biasa. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari berbagai sumber, ada satu titik
tambang di Ambalat yang menyimpan cadangan potensial 764 juta barel minyak dan
1,4 triliun kaki kubik gas (Sihite, 2015). Data yang disebutkan masih sebagian kecil,
sebab Ambalat memiliki titik tambang tak kurang dari sembilan. Kandungan minyak
dan gas yang melimpah disana tentu dapat menjadi keuntungan besar bagi negara
manapun yang menguasai Ambalat.

Malaysia sudah mengincar Ambalat sejak tahun 1979, ketika negeri itu memasukkan
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang berada di perairan Ambalat sebagai titik
pengukuran Zona Ekonomi Ekslusif mereka. Dalam peta itu, Malaysia mengklaim
bahwa Ambalat adalah milik mereka. Hal ini tentu memancing protes dari Indonesia.
Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa Ambalat adalah bagian dari wilayahnya
sebab dari segi historisnya, Ambalat merupakan wilayah Kesultanan Bulungan di
Kalimantan Timur yang jelas masuk wilayah Indonesia. Dan yang lebih penting dari
itu, berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah
diratifikasi RI dan tercantum pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1984, Ambalat
8
diakui dunia sebagai milik Indonesia Sengketa tersebut mendapat perhatian besar
dari masyarakat Internasional khususnya negara-negara ASEAN lain karena sedikit
banyak akan menimbulkan pengaruh terhadap negara-negara di kawasan tersebut.
Oleh karena itu, perlu upayaupaya menyelesaikan sengketa antar kedua negara
dengan menggunakan prinsipprinsip hukum internasional yang berlaku. Disamping
itu juga perlu upaya-upaya ke depan bagi kedua negara dalam rangka menjaga
hubungan kedua negara berkaitan dengan wilayah laut yang berada di perbatasan.
Sengketa yang terjadi antara Indonesia dengan Malaysia bermula dari diberikannya
konsensi dan hak eksplorasi kepada The Royal Dutch/Shell Group Companies
(perusahaan minyak patungan Belanda-Inggris) oleh perusahaan minyak Malaysia
yakni Petronas melalui kontrak bagi hasil (production sharing contract) pada tanggal
16 Februari 2005 di Kuala Lumpur. Konsensi dan hak eksplorasi dilakukan di
wilayah laut yang mereka beri nama Blok ND 6 (Y) dan ND 7 (Z). Sedangkan
Indonesia sendiri juga telah memberi konsesi pengeboran di wilayah laut yang sama
namun dengan menggunakan nama “Blok Ambalat” kepada perusahaan Italia (ENI)
tahun 1999 dan “Blok Ambalat Timur” (East Ambalat) kepada perusahaan minyak
asal Amerika (Unocal) pada tahun 2004. Penandatanganan kontrak bagi hasil
(Production Sharing Contract/PSC) dilakukan 12 Desember 2004, dengan komitmen
eksplorasi sebesar US$ 1,5 juta dengan bonus penandatanganan sebesar US$ 100
ribu. (Ir.Renfiyeni, 2010). Dengan demikian terjadilah tumpang tindih terhadap
pemberian konsensi dan hak eksplorasi pada ladang minyak yang berada di wilayah
laut tersebut. Oleh karena itu, ketika pemerintah Malaysia melakukan klaim sepihak
melalui Menteri Luar Negeri Malaysia terhadap Blok Ambalat dan Blok Ambalat
Timur di Laut Sulawesi yang mereka nyatakan berada di dalam batas landas
kontinen Malaysia seperti yang termuat dalam peta wilayah perairan dan perbatasan
Kontinen Malaysia tahun 1979,langsung mendapat bantahan dari Indonesia.

Situasi semakin memuncak ketika angkatan laut Indonesia dan angkatan laut
Malaysia mengerahkan kekuatan militer di sekitar kawasan minyak tersebut.
Ditambah lagi dengan tindakan Malaysia yang menghentikan pembuatan mercusuar
di Karang Unarang dengan alasan bahwa ini termasuk dalam wilayah Malaysia
(KEMLU, 2014). Akar persoalan kasus sengketa Ambalat ini terjadi akibat tidak
adanya kesepakatan atau perjanjian menyangkut garis batas landas kontinen antara
Indonesia dan Malaysia di Laut Sulawesi. Sedangkan kesepakatan garis batas

9
antara Indonesia dan Malaysia yang pernah dibuat hanyalah mengenai Selat Malaka
dan Laut Cina Selatan sehingga dalam kesepakatan itu jelas kawasan apa saja yang
menjadi kepemilikan Indonesia. Disamping itu, Blok tersebut diprediksikan
menyimpan cadangan minyak dan gas yang cukup besar sehingga semakin
meningkatkan keinginan dari masing-masing negara untuk memiliki kawasan
tersebut.

Dari aspek politik dan pertahanan keamanan, masalah sengketa Blok Ambalat harus
dipandang dengan cermat dengan belajar dari kasus sengketa kepemilikan Pulau
Sipadan dan Ligitan di tahun 2003, dimana kedua pulau tersebut berhasil jatuh ke
tangan Malaysia sehingga menimbulkan aspek politik yang kuat dalam masyarakat.
Maka dari itu sudah saatnya pemerintah untuk lebih memperhatikan pulau-pulau
kecil terluar dan wilayah Laut Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara
tetangga. Ketegangan kembali terjadi pada tanggal 25 Mei 2009 ketika adanya
kejadian pelanggaran kedaulatan yang dilakukan oleh pihak Malaysia yang terulang
kembali. Pelanggaran kedaulatan yang terjadi saat kapal perang TNI AL KRI Untung
Surapati872 berhasil mengusir kapal perang Tentara Laut Diraja Malaysia (TLDM),
KD YU3508 yang mencoba memasuki wilayah kedaulatan Republik Indonesia di
perairan Blok Ambalat. KRI Untung Surapati-872 dengan komandan Mayor Laut (P)
Salim sedang melaksanakan operasi penegakan kedaulatan di laut wilayah RI,
khususnya di Laut Sulawesi dan sekitarnya. Seketika itu juga, anak buah kapal KRI
Untung Surapati-872 melakukan perang tempur bahaya permukaan mencoba
melakukan kontak komunikasi lewat radio. Dari hasil komunikasi itu diperoleh
informasi bahwa kapal TLDM tersebut akan ke Tawau, namun haluan kapal
bertentangan dengan yang dikatakannya, bahkan justru mencoba memasuki wilayah
Indonesia semakin jauh dan menambah kecepatan. Akhirnya, KRI Untung Surapati-
872 yang merupakan salah satu kapal perang TNI AL jenis korvet kelas Parchim eks
Jerman melakukan pengejaran untuk menghalau KD YU-3508 sekaligus
memberikan perintah agar segera keluar dari wilayah kedaulatan Republik
Indonesia. Setelah diberikan peringatan dengan tegas, KD YU-3508 melakukan
diam radio dan keluar dari wilayah NKRI.

Sehari sebelumnya, KRI Hasanudin-366 juga mengusir KD Baung-3509 dan


helikopter milik Malaysia yaitu Malaysian Maritime Enforcement Agency serta
pesawat beechraft yang juga mencoba memasuki wilayah Blok Ambalat. Berdasar

10
data TNI AL pelanggaran wilayah oleh unsur laut dan udara TLDM maupun Police
Marine Malaysia di Perairan Kalimantan Timur, khususnya di Perairan Ambalat dan
sekitarnya, pada periode Januari hingga April 2009, tercatat sembilan kali
pelanggaran yang dilakukan oleh Malaysia terhadap wilayah kedaulatan Indonesia
(KEMHAN, 2010). Dalam menjaga wilayah perbatasan khususnya wilayah perairan,
Indonesia tidak cukup tangkas apabila hanya mengandalkan kapal laut dalam
melakukan patroli saja. Karena kecepatan kapal laut yang terbatas, Air Power militer
Indonesia adalah opsi satu-satunya dalam membantu menjaga wilayah perbatasan
khususnya wilayah perairan. Untuk melaksanakannya dilakukanlah sebuah gerakan
melalui program Minimum Essential Force (MEF) yang di inisiasi oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 melalui SDR (Strategic Defense
Review), yaitu pembahasan strategi pertahanan dalam segala aspek yang berkaitan
dengan pertahanan nasional seperti alutsista, sumber daya prajurit, training camp,
dll, yang diimplementasikan pada Peraturan Menteri Pertahanan Nomor 2 Tahun
2010 (KEMHAN, 2012). Program Minimum Essesntial Force dilakukan melalui tiga
tahap jangka waktu yang disusun dalam Rencana Strategis (Renstra). Renstra I
dimulai pada tahun 2009-2014, Restra II dimulai pada tahun 2015-2019, dan
Renstra III dimulai pada tahun 2020 – 2024. Salah satu wujud dari pelaksanaan
strategi pemenuhan alutsista TNI adalah melalui pembelian alutsista secara impor
sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku. Dalam perjalanannya,
Indonesia pernah membeli persenjataan militer dari produsen senjata terbesar dunia
yaitu Amerika Serikat. Namun, setelah Amerika mengenakan sanksi embargo
senjata terhadap Indonesia, Indonesia membuka lembaran baru kerja sama
pertahanan militer dengan negara lain dalam hal pengadaan alutsista. Dalam
melakukan upaya preventif terhadap ancaman yang diberikan Malaysia di Ambalat
lalu, negara Indonesia melakukan pembelian alutsista berupa Air Force. Pembelian
alutsista tersebut merupakan program pembangunan kekuatan pertahanan untuk
mewujudkan kekuatan pokok minimum/MEF (KEMHAN, 2012). Pada tahun 2010,
dilakukan kontrak pembelian Pesawat Super Tucano sebanyak satu skuadron dan di
datangkan sebanyak 4 unit tiap tahun dimulai sejak 2012 yang silam. Lalu pada
tahun 2015, 6 unit Super Tucano EMB-314 mendarat di Bandara Juwata, Tarakan,
Kalimantan Utara. Dengan pendaratan 4 unit Super Tucano.

11
Solusi konflik ambalat

Penyelesaian sengketa diatur dalam Bab XV tentang Settlement of Disputes, Pasal


279 pada intinya menyebutkan bahwa negara-negara pihak diberi kebebasan yang
luas untuk memilih prosedur yang diinginkan sepanjang itu disepakati bersama.
Pasal ini mengarahkan penyelesaian sengketa seperti yang dianjurkan dalam Pasal
33 (1) Piagam PBB. Pasal 33 (1) Piagam PBB menyebutkan jika terjadi
persengketaan hendaknya diselesaikan dengan cara negotiation, enquiry, mediation,
conciliation, arbitration, judicial settlement resort to regional agencies or
arranggements or other peaceful means on their own choice. Hubungannya dengan
persengketaan yang terjadi antara Indonesia – Malaysia, kedua negara memilih
untuk menggunakan metode negotiation atau perundingan diplomatis sebagai
langkah awal untuk menyelesaikan persengketaan mereka. Hal ini terlihat dari
pertemuan – pertemuan yang sudah dilakukan oleh perwakilan kedua negara,
bahkan rencananya pada tanggal 23 – 24 Maret 2005 akan diadakan pertemuan tim
teknis kedua negara di Jakarta ( tulisan ini selesai sebelum pertemuan tersebut
terlaksana). Melihat sejarah hubungan Indonesia – Malaysia, cara negosiasi ini
merupakan langkah yang tepat dalam menyelesaikan sengketa. Indonesia –
Malaysia adalah dua negara besar di kawasan Asia Tenggara yang bersahabat, dan
persahabatan inilah yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan sebuah
perundingan negosiasi dalam rangka mencari solusi yang tepat. Menteri Luar negeri
Malaysia, Syed Hamid Albar, dalam pernyataannya di media cetak nasional
Indonesia mengatakan bahwa Indonesia dan Malaysia memiliki hubungan yang
sangat dekat dan akrab, tidak ada hal yang tidak bisa diselesaikan dengan duduk
bersama untuk mendiskusikan sebuah persoalan. Sejarah membuktikan banyak
sengketa antara Indonesia – Malaysia yang upaya penyelesaiannya ditempuh
dengan cara perundingan. Permasalahan TKI ditempuh dengan cara perundingan,
penyelesaian sengketa perebutan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan pada awalnya
ditempuh dengan cara perundingan, baik perundingan antar kepala negara, tingkat
menteri pembentukan kelompok kerja sampai pada tingkat perundingan antar wakil
– wakil khusus (special representative), walau pada akhirnya upaya perundingan
tersebut tidak berhasil dan penyelesaian akhir sengketa dilakukan melalui
Mahkamah Internasional. Pada dasarnya metode penyelesaian sengketa melalui

12
mekanisme perundingan ini adalah cara konvensional yang selalu digunakan dalam
rangka upaya penyelesaian sengketa oleh pihak manapun yang bersengketa. Cara
ini terkadang memerlukan waktu yang sangat lama, sebagai contoh perundingan
sengketa Pulau Sipadan – Ligitan memerlukan waktu lebih dari 10 tahun. Hal ini
bisaterjadi karena dalam perundingan dimungkinkan para pihak tetap bersikeras
dengan pendapatnya dan berusaha untuk mematahkan argumentasi argumentasi
yang diberikan pihak lawan kadang hal ini dilakukan sebagai implementasi dari
kedaulatan yang dimiliki oleh masing – masing pihak, sehingga susah untuk mencari
titk temu penyelesaian.

Waktu yang lama adalah resiko yang harus diterima oleh para pihak jika menempuh
cara ini, akan tetapi metode negosiasi atau perundingan mempunyai sisi positif,
kedaulatan dari para pihak tetap terjaga. Metode penyelesaian sengketa melalui
perundingan ini termasuk metode penyelesaian nonyurisdiksional, dimana tidak
mengikat para pihak yang bersengketa. Dalam sengketa perebutan Blok Ambalat ini,
dimungkinkan akan memakan waktu perundingan yang tidak cukup sekali dua kali
perundingan, mengingat baik Indonesia maupun Malaysia bersikeras bahwa Blok
Ambalat masuk dalam wilayah teritorial mereka. Sekarang tinggal bagaimana
kemampuan diplomasi dari masing – masing pihak disertai bukti – bukti yang ada
untuk meyakinkan pihak lawan bahwa Blok Ambalat secara hukum memang menjadi
bagian dari wilayah teritorial mereka. Cara lain seperti mediasi (mediation) juga
dapat ditempuh oleh Indonesia dan Malaysia dalam menyelesaikan persengketaan
mereka. Mediasi ini adalah cara penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak
ketiga untuk ikut membantu menyelesaikan persengketaan. Sejarah menyebutkan
bahwa Indonesia pernah menempuh cara ini dalam menyelesaikan sengketanya.
Mediasi Komisi Tiga Negara (Australia, Belgia dan USA) yang dibentuk PBB bulan
Agustus 1997 sangat efektif dalam rangka mencari penyelesaian sengketa antara
Indonesia dan Belanda, bahkan juga ikut membantu perumusan Perjanjian Renville
(Boer Mauna,2000:192). Mediasi juga banyak digunakan negara-negara lain sebagai
salah satu upaya dalam menyelesaikan persengketaan yang mereka hadapi.

Dalam hal tidak tercapainya suatu penyelesaian dengan cara yang tersebut diatas,
Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai metode penyelesaian sengketa yang tidak
mengikat (non- yurisdiksional) lainnya, yaitu dengan metode konsiliasi (conciliation)
seperti yang diatur dalam Pasal 284 dan teknisnya diatur dalam Lampiran V

13
Konvensi Hukum Laut 1982. Cara penyelesaian perselisihan menurut prosedur
konsiliasi ini dimulai dengan pemberitahuan dari salah satu pihak yang berselisih
kepada pihak lainnya (pasal 1 Annex V UNCLOS’82). Sekjen PBB akan memegang
nama-nama dari konsiliator (juru damai) yang ditunjuk negara-negara peserta
Konvensi dimana setiap negara dapat menunjuk 4 konsiliator dengan persyaratan
bahwa orang-orang tersebut mempunyai reputasi tinggi, kompeten dan memiliki
integritas (pasal 2 Annex V UNCLOS ’82). Komisi konsiliasi terdiri dari 5 (lima)
anggota, 2 dipilih oleh masingmasing pihak (sebaiknya dari namanama yang ada
dalam daftar) dan yang kelima dipilih dari daftar oleh keempat anggota dan akan
menjadi ketua Komisi (Chairman). Jika penunjukan ini tak dapat terlaksana, maka
Sekjen PBB akan menunjuknya dari dalam daftar setelah mengadakan konsultasi
dengan pihak-pihak yang bersangkutan (pasal 3 Annex V UNCLOS ’82). Keputusan-
keputusan tentang masalah proseduril, laporan-laporan dan rekomendasi dari
Komisi, dilaksanakan dengan pemungutan suara terbanyak (pasal 4 Annex V
UNCLOS ’82). Komisi akan mendengar pihakpihak yang berselisih, memeriksa klaim
mereka, serta keberatan-keberatan yang diajukan dan menyiapkan usul-usul untuk
penyelesaian secara damai (pasal 6 Annex V UNCLOS ’82). Komisi akan
memberikan suatu hasil telaahan (report) di dalam waktu 12 bulan sejak komisi
terbentuk. Report akan mencatat setiap persetujuan yang dicapai, persetujuan yang
gagal, kesimpulan-kesimpulan atas semua fakta dan hukumnya, yang penting bagi
masalah yang diperselisihkan dan rekomendasi yang dipandang komisi bermanfaat
untuk penyelesaian perdamaian. Report akan disimpan dikantor Sekjen PBB dan
akan segera diteruskan ke masing-masing pihak. Report ini tidak mengikat pihak-
pihak yang bersangkutan (pasal 7 Annex V UNCLOS ’82). Konsiliasi akan berakhir
apabila penyelesaian telah tercapai, pada waktu pihak-pihak yang bersangkutan
menerima atau salah satu pihak pihak menolak report dengan nota tertulis yang
dialamatkan ke Sekjen PBB atau apabila jangka waktu 3 bulan telah lewat sejak
report disampaikan kepada para pihak (pasal 8 Annex V UNCLOS ’82). Uang jasa
dan pengeluaranpengeluaran Komisi dibebankan pada pihak yang berselisih (pasal
9 Annex V UNCLOS ’82) Akhirnya jika melalui prosedur yang telah tersebutkan
diatas, para pihak belum dapat menyelesaikan sengketanya, maka diterapkan
prosedur selanjutnya yaitu menyampaikan ke salah satu badan peradilan yang
disediakan oleh konvensi sesuai dengan Pasal 287 Konvensi Hukum Laut 1982,
yaitu :
14
1. Mahkamah / Tribunal Internasional Hukum Laut;

2. Mahkamah Internasional;

3. Tribunal Arbitrase;

4. Tribunal Arbitrasi khusus


Lembaga-lembaga tersebut mempunyai yurisdiksi atas perselisihan yang diajukan
kepadanya tentang interpretasi dan penerapan ketentuan-ketentuan Konvensi ini.
Khusus untuk Arbitrase Khusus, prosedurnya ditentukan dalam Annex VIII serta
diperuntukkan bagi perselisihan tentang :

1. perikanan;

2. perlindungan dan pemeliharaan lingkungan kelautan;

3. riset ilmiah lautan;

4. navigasi termasuk polusi kapal dari dumping.

Adapun lembaga – lembaga yang tersebut diatas adalah lembaga yang mempunyai
keputusan mengikat (binding decisions). Setiap keputusan yang dikeluarkan oleh
lembaga tersebut merupakan putusan akhir (final decisions). Indonesia dan Malaysia
pernah menggunakan metode penyelesaian sengketa mengikat ini (melalui
Mahkamah Internasional) sewaktu menyelesaikan sengketa perebutan Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan. Pada akhirnya dapat di lihat bahwa banyak cara yang
bisa ditempuh oleh Indonesia – Malaysia dalam rangka menyelesaikan
persengketaan mereka, baik secara non – yurisdiksional ataupun yang bersifat
yurisdiksional selama itu merupakan kesepakatan bersama dan dalam kerangka
penyelesaian sengketa secara damai.

15
16

Anda mungkin juga menyukai