Anda di halaman 1dari 39

BAGIAN ILMU MATA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2020

UNIVERSITAS HALU OLEO

PTERIGIUM

Oleh:

Masra linda Sari

K1A1 16 055

Pembimbing:

dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
1

HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Masra Linda Sari, S.Ked


NIM : K1A1 16 055
Judul Referat : Pterigium

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada


bagian Ilmu Penyakit Mata Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, September 2020


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Nevita Yonnia Ayu Soraya, Sp.M


2

Pterigium
Masra Linda Sari, Nevita Yonnia Ayu Soraya

A. PENDAHULUAN

Di negara-negara tropis seperti Indonesia, infeksi kornea masih

menempati urutan tertinggi dari infeksi mata pada umumnya, dan bahkan

masih merupakan salah satu penyebab utama kebutaan. Kelainan degeneratif

pada konjungtiva, khususnya pterigium, masih menempati urutan utama

morbiditas penyakit di klinik-klinik mata di negara tropis.4

Kata pterigium sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron, yang

berarti sayap. Pterigium adalah pertumbuhan fibrovaskuler non-maligna

konjungtiva yang biasanya mencapai kornea berbentuk segitiga yang terdiri

dari degenerasi fibroelastis dengan proliferasi fibrotik yang dominan. Faktor

risikonya antara lain: genetik, pajanan sinar matahari, pajanan sinar UV, dan

usia dewasa.1

Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian

pterigium akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai kedua mata.

Pterigium diduga disebabkan iritasi kronis akibat debu, cahaya sinar matahari,

dan udara yang panas.10

Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah

beriklim panas dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan

kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat dengan

ekuator yaitu daerah <37⁰ lintang utara dan selatan dari ekuator. Hubungan

ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan daerah-


3

daerah elevasi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah di bawah

garis lintang utara ini.2

Meskipun etiologi dan patogenesis pterigium masih belum diketahui

secara pasti, beberapa faktor risiko telah dihubungkan dengan pterigium.

Faktor risiko utama pterigium adalah paparan terhadap sinar ultraviolet.

Selain itu, kegiatan di luar ruangan dalam durasi yang lama, trauma

lingkungan berupa angin atau debu dan inflamasi kronik.3

Pilihan utama terapi pterigium adalah pembedahan dimana

komplikasi dari pterigium primer berupa rekurensi sekitar 30-50% dan

simblefaron. Simblefaron adalah perlengketan konjungtiva palpebral ke

konjungtiva bulbar. Rekurensi pterigium dengan simblefaron yaitu

simblefarektomi yang dikombinasikan dengan eksisi pterigium, penutupan

defek dengan teknik tandur konjungtiva dan dengan terapi tambahan seperti

mitomicin C atau fluorouracil.3

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI

Organ visual terdiri atas bola mata dengan berat 7,5 gram dan panjang

24 mm, adneksa atau alat-alat tambahan, serta otot-otot ekstraokular.

Bolamata terletak di dalam suatu rongga skeletal yang disebut orbita. Di

dalam rongga skeletal yang memainkan fungsi proteksi tulang yang keras,

terdapat kumpulan lemak yang memainkan peran sebagai bantalan yang

meredam getaran-getaran yang mungin menciderai mata.4

Selain itu, sistem kavitas orbita ini juga merupakan tempat

terstrukturnya sistem lokomotor bola mata dan adneksanya. Bola mata


4

terletak hampir terbenam di dalam lemak orbita. Namun bola mata tak

memiliki hubungan langsung dengan lemak ini karena keduanya dipisahkan

oleh suatu selubung berwujud fascia yang disebut sebagai kapsul Tenon.

Sementara itu, bola mata juga berhubungan dengan dunia luar melalui celah

yang terbentuk oleh tepi bawah kelopak mata atas dan tepi atas kelopak mata

bawah, celah ini disebut dengan rima palpebra. Walaupun demikian,

tertutupnya rima palpebra adalah suatu cara kelopak mata untuk memisahkan

bola mata dari dunia luar.4

Bola mata dapat dipandang sebagai organ akhir saraf optic yang

merupakan saraf sensoris. Mata menerima rangsang sinar dan mengubahnya

menjadi impuls saraf yang berjalan disepanjang lintasan visual yang terdiri

atas retina, nervus optikus, khiasma optikum, traktus optikus, dan radiasio

optika, yang akhirnya akan mencapai korteks visual di fissura kalkarina

sehingga timbul sensasi melihat.4

Gambar 1. Anatomi Mata.5


5

1. Anatomi Mata

a. Bola Mata (Bulbus oculi)

Bola mata dapat dipandang sebagai suatu sistem dua bola yang

berlainan volume, dimana bola yang lebih kecil terletak di dalam bola

yang lebih besar. Bagian depan dari bola kecil membentuk

segmenanterior mata, sedangkan sebagian besar bola abu-abu

membentuksegmen posterior mata. Segmen anterior dibatasi oleh

kornea yang jernih di depan, serta lensa dan penggantung lensa di

belakang. Sedangkan segmen posterior terletak di belakang lensa.4

Segmen anterior terbagi dua, yang terletak di antara lensa dan

iris disebut sebagai kamera okuli posterior, dan yang di antara iris dan

kornea disebut kamera okuli anterior. Karena lebih kecilnya jari-jari

bola kecil, maka dapat dipahami bahwa kornea memiliki kelengkungan

yang lebih besar daripada sklera. Sifat ini sangat menentukan status

refraksi suatu mata. Kelengkungan yang lebih besar dari normal akan

membuat indeks bias kornea meningkat sehingga bayangan benda yang

dilihat jatuh di depan retina. Sedangkan kornea yang kurang lengkung

akan menyebabkan bayangan jatuh di belakang retina. Keduanya akan

dipersepsi sebagai suatu kekaburan.4

Sistem dua bola ini merupakan satu kesatuan, dimana kornea

merupakan kelanjutan dari sklera. Hanya saja, akibat perbedaan

susunan protein strukturalnya, kornea tampak tembus pandang

sedangkan sklera tampak putih dan tak tembus pandang. Dari luar, batas
6

pertemuan antara kornea dan sklera memiliki jarak tertentu dari titik

pusat kornea. Namun demikian sklera ternyata “maju“ lebih sedikit dan

meng-overlap iris. Keadaan ini menyebabkan terbentuknya sudut antara

sklera dan iris.Walaupun sudut ini terbentuk karena pertemuan sklera

dan iris, secara umum meskipun kurang tepat, sudut ini disebut sebagai

sudut iridokorneal.4

Limbus kornea dan sudut pertemuan antara iris dan sklera ini

berjarak antara 0,5 sampai 1 mm. Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, segmen anterior terbagi menjadi dua bilik, yaitu anterior

dan posterior. Kamera okuli anterior berbatasan dengan lapisan

endotelial kornea di anterior, dengan sudut iridokorneal di tepiannya,

dengan iris dan kapsul anterior lensa di posterior. Apabila pupil tidak

miosis, maka ujung pupiler iris tidak menyentuh kapsul anterior lensa,

sehingga humor aquous di kamera okuli anterior bisa berhubungan

dengan humor aquous di kamera okuli posterior.4

Dengan demikian pupil bisa dianggap sebagai pintu penghubung

antara kamera okulianterior dan posterior. Kamera okuli posterior

berbatasan dengan tepi belakang iris di anterior, dengan kapsul anterior

lensa dan ligament suspensorialentis (zonula) di posterior, dan dengan

perlekatan zonula pada pars plikata badan silier. Sebenarnya zonula

sendiri bukan merupakan batas posterior kamera okuli posterior.4

Hal ini karena sebenarnya humor aquous masuk menyelip ke

antara ligamenta dan bahkan kebelakang zonula (kanalis petit),


7

sehingga humor aquous berbatasan langsung dengan badan kaca.

Kanalis petit ini secara anatomis disebut sebagai ruang retrozonular.

Kutub atau polus anterior adalah titik tengah kornea dan polus posterior

adalah titik tengah di sklera (posterior).4

Jika dua kutub ini dihubungkan dengan garis imajiner, maka

bola mata memiliki poros yang terletak tepat memanjang dari depan ke

belakang. Poros ini disebut juga axis optis. Melalui axis optis inilah,

cahaya yang melewati pertengahan kornea akan merambat lurus dan

jatuh difovea sentralis. Apabila kedua kutub coba dihubungkan dengan

garis-garis yang mengikuti kelengkungan bola mata, maka garis

manapun itu disebut sebagai meridian. Kemudian jika dibuat garis yang

melingkari bola mata, yang jaraknya tepat di tengah-tengah antara

kutub anterior dan posterior, maka garis itu disebut sebagai equator.4

b. Dinding Bola Mata

1) Kornea

Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan

transparan dan avaskular, dengan bentuk seperti kaca arloji. Bentuk

kornea agak elips dengan diameter horizontal 12,6 mm dan diameter

vertikal 11,7 mm. Jari-jari kelengkungan depan 7,84 mm dan jari-jari

kelengkungan belakang 7 mm. Sepertiga radius tengah disebut zona

optik dan lebih cembung, sedangkan tepiannya lebih datar. Tebal

kornea bagian pusat 0,6 mm dan tebal bagian tepi 1 mm. Kornea
8

melanjutkan diri sebagai sklera ke arah belakang, dan perbatasan

antara kornea dan sklera ini disebut limbus.4

Kornea merupakan suatu lensa cembung dengan kekuatan

refraksi (bias) sebesar +43 dioptri. Berbeda dengan sklera yang

berwarna putih, kornea ini jernih. Faktor-faktor yang menyebabkan

kejernihan kornea adalah : (i) letakepitel kornea yang tertata sangat

rapi; (ii) letak serabut kolagen yang tertata sangat rapi dan padat; (iii)

kadar airnya yang konstan;(iv) tidak adanya pembuluh darah.4

Gambar 2. Lapisan Kornea.4

Kornea terdiri dari lima lapisan. Lapisan yang terluar adalah

lapisan epitel (kira-kira 6 lapis). Lapisan ini sangat halus dan tidak

mengandung lapisan tanduk sehingga sangat peka terhadap trauma

walaupun kecil. Sebenarnya hal ini berlawanan dengan nama

“kornea“ yang berarti selaput tanduk. Namun penamaan ini

diberikan karena pada jenazah, kornea tampak putih, tidak jernih,

dan karenanya seperti selaput tanduk.4

Lapisan berikutnya adalah membrana Bowman (lamina

elastika anterior). Ini merupakan selaput tipis yang terbentuk dari


9

jaringan ikat fibrosa. Lapisan ketiga yang terletak di sebelah dalam

membrane bowman adalah stroma. Lapisan ini merupakan lapisan

yang paling tebal, yang terdiri atas serabut kolagen yang susunannya

amat teratur dan padat. Susunan kolagen yang demikian

menyebabkan kornea avaskular dan jernih.4

Setelah stroma, lapisan berikutnya adalah membran

Descemet, atau yang disebut sebagai lamina elastika posterior.

Lapisan terdalam kornea adalah lapisan endotel. Lapisan ini terdiri

atas satu lapis endotel yang sel-selnya tak bisa membelah. Jika ada

endotel yang rusak, maka endotel di sekitarnya akan mengalami

hipertrofi untuk menutup defek yang ditinggalkan oleh endotel yang

rusak tadi. Endotel berperan penting dalam mengatur kadar air

kornea dengan cara mengeluarkan air dari kornea ke kamera okuli

anterior dengan enzim Na+-K+ ATP-ase.4

2) Sklera

Sklera merupakan lanjutan ke belakang dari kornea. Sklera

merupakan dinding bola mata yang paling keras. Sklera tersusun atas

jaringan fibrosa yang padat, yang terdiri dari kolagen tipe 1,

proteoglikan, elastin, dan glikoprotein. Berbeda dengan kornea,

susunan jaringan fibrosa sklera relatif tidak teratur dibandingkan

kornea, sehingga sklera tidak bening seperti kornea. Tebal sklera

pada polus posterior 1 mm dan ekuator 0,5 mm.4


10

Sklera memiliki dua lubang utama yaitu foramen skleralis

anterior dan foramen skleralis posterior. Foramen skleralis anterior

terbentuk sebagai perbatasan dengan kornea, dan merupakan tempat

melekatnya kornea pada sklera (bandingkan kornea dengan kaca

arloji). Foramen skleralis posterior atau kanalis skleralis merupakan

pintu keluar saraf optik. Pada foramen ini terdapat lamina kribrosa

yang terdiri dari sejumlah membran seperti saringan yang tersusun

transversal melintasi foramen skleralis posterior. Serabut saraf optik

melewati lubang ini untuk menuju otak. Disamping kedua foramina

tadi, sklera juga ditembus oleh berbagai kanal yang dilewati oleh

saraf dan pembuluh darah yang keluar masuk bola mata.4

3) Uvea

Uvea terdiri atas iris, badan silier, dan koroid yang secara

anatomis tak terpisah-pisah, namun untuk kepentingan klinis

dipisahkan satu sama lain.4

Uvea merupakan lembaran yang tersusun oleh pembuluh-

pembuluh darah, serabut-serabut saraf, jaringan ikat, otot, dan bagian

depannya (iris) yang berlubang, yang disebut pupil.4

a) Iris

Iris berbentuk membran datar dan merupakan kelanjutan

kedepan dari badan silier. Iris berarti pelangi dan disebut

demikian karena warna iris berbeda-beda sesuai etnik (ras)

manusia. Warna iris menentukan warna mata. Mata biru karena


11

irisnya berwarna biru dan mata coklat karena irisnya berwarna

coklat. Iris terlihat sklerotik dan epitel kapilernya tidak berjendela

(unfenestrated). Apabila iris dipotong, tidak akan ada darah yang

keluar dan juga tidak bisa menyembuh. Pemotongan iris

dinamakan iridektomi.4

Di tengah iris terdapat pupil yang penting untuk

mengatur jumlah sinar yang masuk ke dalam mata. Secara normal

tepi pupil bersentuhan dengan lensa, namun tak melekat dengan

lensa. Pada iris terdapat dua macam otot yang mengatur besarnya

pupil, yaitu Musculus dilatator pupillae (yang melebarkan pupil)

dan Musculus sphincter pupillae (yang mengecilkan pupil).4

Garis tengah pupil normal berkisar antara 3 hingga 4 mm.

Lebar sempitnya pupil dipengaruhi banyak faktor. Pupil kanan

dan kiri yang normal kira-kira sama ukurannya yang disebut

isokoria. Apabila ukuran pupil kiri dan kanan tidak sama maka

disebut sebagai anisokoria. Tepi pupil menyinggung lensa

sehingga lensa bertindak sebagai bantalan iris.4

b) Badan Silier

Badan silier merupakan bagian uvea yang terletak di

antara iris dan koroid. Batas belakangnya adalah ora serrata.

Badan silier banyak mengandung pembuluh kapiler dan

vena,serta badan silier menghasilkan humor aquous.4


12

c) Koroid

Koroid merupakan bagian uvea yang paling luas dan

terletak antara retina dan sklera, terdiri atas anyaman pembuluh

darah. Lapisan koroid dari luar ke dalam berturut-turut adalah

suprakoroid, pembuluh darah koriokapiler, dan membran Bruch.

Karena koroid banyak mengandung pembuluh darah dan retina itu

jernih, maka koroid dapat dilihat dengan oftalmoskop dan tampak

berwarna merah. Refleks fundus merah cemerlang berasal dari

warna koroid.4

4) Retina

Retina melapisi dua pertiga dinding bagian dalam bola

mata.Retina merupakan lapisan terdalam dari bola mata.Lapisan

mata dari luar ke dalam berturut-turut adalah sklera (warna putih),

lapisan koroid, dan yang paling dalam retina. Retina merupakan 2/3

bagian dari dinding dalam bola mata, lapisannya transparan, dan

tebalnya kira-kira 1 mm.4

Retina merupakan membran tipis, bening, berbentuk

seperti jarring (karenanya disebut juga sebagai selaput jala), dan

metabolisme oksigen yang sangat tinggi. Retina sebenarnya

merupakan bagian dari otak karena secara embriologis berasal

dari penonjolan otak.4

Dengan demikian nervus optikus sebenarnya merupakan

suatu traktus dan bukan “nervus” yang sebenarnya. Retina


13

merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima

rangsangan cahaya dan terdiri atas sembilan lapisan, yaitu :4

a) Membran Limitans Interna

Merupakan membran hialin antara retina dan corpus vitreum.

b) Lapisan Serat Saraf

Mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju

nervus opticus.

c) Lapisan Sel Ganglion

d) Lapisan Pleksiform Dalam

Merupakan tempat sinaps sel ganglion dengan sel bipolar dan sel

amakrin.

e) Lapisan Inti Dalam (Nukleus Dalam)

Merupakan tubuh sel muller, sel horizontal, dan sel bipolar.

f) Lapisan Pleksiform Luar

Merupakan tempat sinaps sel fotoreseptor dengan sel horizontal

dan sel bipolar.

g) Lapisan Inti Luar (Nukleus Luar)

h) Membran Limitans Eksterna

i) Lapisan Fotoreseptor

Terdiri atas sel batang dan sel kerucut.

j) Epitel Pigmen Retina

Lapisan ini merupakan lapisan terluar, terdiri atas satu

lapis, dan lebih melekat erat pada koroid dibandingkan pada


14

retina di sebelah dalamnya. Pada ablasi retina terjadi pemisahan

antara lapisan retina sensoris dan epitel pigmen ini. Epitelnya

berbentuk kuboid, dan mengandung pigmen melanin. Di daerah

makula sel-selnya lebih kecil, namun mengandung lebih banyak

melanin.Inilah yang menyebabkan makula tampak lebih gelap

pada pemeriksaan oftalmoskopi. Epitel pigmen retina melekat di

membran basal yang disebut membran Bruch.

Gambar 3. Lapisan-lapisan Retina.4

Adanya struktus 9 lapis secara histologis ini disebabkan

oleh letak sel-sel dan serabut saraf yang membentuk retina

sensoris yaitu sel-sel fotoreseptor, sel-sel bipolar, sel-sel Muller,

dan sel-selhorizontal. Dalam gambar diperlihatkan lapisan sel-sel

secara histologis dan gambar skematis komponen sel-sel yang

membentuk lapisan tadi. Bagian retina yang mengandung sel-sel


15

epitel dan retinasensoris disebut pars optika retina yang artinya

bagian yang berfungsi untuk penglihatan.4

Bagian retina yang mengandung sel-sel epitel pigmen

yang meluas dari ora serrata hingga tepi belakang pupil disebut

sebagai pars seka retina yang berarti bagian “buta”,dan hal ini

harus dibedakan dengan “bintik buta”. Pada retina terdapat daerah

yang penting untuk diskriminasi visual yang disebut makula lutea

(bintik kuning), atau disebut sebagai fovea, yang terletak 3,5 mm

di temporal papil N II.4

Makula lutea mempunyai serabut saraf yang sangat

banyak yang menuju ke papil N II, sehingga makula lebih

terlindung dari kerusakan yang mungkin terjadi pada retina.

Berkas serabut saraf dari makula ke papil disebut sebagai berkas

papilomakular. Makula merupakan daerah yang lebih gelap di

sentral retina. Lapisan retina pada makula tidak selengkap di

daerah lain (perifer), di sini lebih tipis. Ini memungkinkan sinar

yang datang bisa langsung ditangkap oleh sel-sel fotoreseptor.4

Daerah makula merupakan daerah yang paling banyak

mengandung fotoreseptor, sel yang dominan yaitu sel konus. Di

tengah makula ada daerah depresi kecil yang disebut fovea. Fovea

mengadung banyak sel konus dan tidak mengandung basilus. Sel

konus mengandung 3 macam pigmen, pigmen yang sensitif

terhadap gelombang panjang (570 nm), merupakan pigmen yang


16

peka terhadap sinar merah; pigmen yang peka terhadap

gelombang menengah (540 nm), merupakan pigmen yang peka

terhadap sinar hijau dan pigmen yang sensitif terhadap

gelombang pendek (440 nm), merupakan pigmen yang peka

terhadap sinar biru.4

c. Ruang dan Isi Bola Mata

1) Kamera Okuli

Ada dua kamera okuli, yaitu camera okuli anterior (COA)

dan camera okuli posterior (COP), yang keduanya berisi humor

aquous. Kedalaman COA adalah 3,4 mm dan volumenya adalah 0,3

mL. Pada mata miopik kamera ini dalam dan pada mata hiperopik

COA relative dangkal. Pada tepi COA terdapat sudut iridokorneal

dengan kanal Schlemm pada apeks-nya. COA dihubungkan dengan

kanal Schlemm lewat anyaman trabekulum. Kanal Schlem ini

kemudian berhubungan dengan vena episklera lewat kanal-kanal

pembuangan yang disebut sebagai kanal kolektor.4

COP dilewati oleh zonula Zinnii seperti telah dijelaskan

sebelumnya. COA dan COP berhubungan lewat celah melingkar

antara tepi pupil dan lensa. Cairan akuos diproduksi oleh badan

silier, yaitu pada prosesus siliaris yang berjumlah 70 hingga 80 buah.

Humor aquous berjalan dari COP ke COA, kemudian melewati

trabekulum untuk menuju kanal Schlemm, kemudian ke kanal

kolektor, akhirnya ke sistem vena episklera untuk kembali ke


17

jantung. Tekanan intraokular normal adalah 10 – 20 mmHg, dan

TIO ini meningkat pada peningkatan produksi, penurunan drainase,

maupun gabungan keduanya. Kenaikan TIO secara umum disebut

sebagai glaukoma.4

2) Lensa Mata

Lensa merupakan bangunan bikonveks, tersusun oleh epitel

yang mengalami diferensiasi yang tinggi. Lensa terdiri dari 3 bagian

yaitu : (a) kapsul, yang bersifat elastis; (b) epitel, yang merupakan

asal serabut lensa; dan (c) substansi lensa yang lentur dan pada orang

muda dapat berubah, tergantung tegangan kapsul lensa. Diameter

bagian ekuator lensa mata adalah 9 mm. Permukaan posterior

memiliki radius kurvatura lebih besar daripada permukaan anterior.

Secara klinis lensa terdiri dari kapsul, korteks, nucleus embrional,

dan nukleus dewasa. Lensa tergantung ke badan silier oleh

ligamentum suspensorium lentis (zonula Zinnii).4

Panjang lensa manusia pada saat lahir kira-kira 6,4 mm antar

ekuator, 3,5 mm anteroposterior, dan memiliki berat kurang lebih 90

mg. Saat dewasa, bentuk lensa berubah menjadi lebih kurva,

ketebalan korteks lensa bertambah, dan ukuran lensa berubah

menjadi 9 mm antar ekuator, 5 mm anteroposterior, dan memiliki

berat 255 mg.4

d. Adneksa
18

Adneksa atau alat tambahan meliputi palpebra, kelenjar air

mata dan salurannya. Akan dibicarakan juga di sini mengenai

konjungtiva dan otot-otot ekstraokular.

1) Palpebra

Palpebra adalah termasuk komponen eksternal mata yang

berupa lipatan jaringan yang mudah bergerak dan berperan

melindungi bola mata dari depan. Kulit palpebra sangat tipis

sehingga mudah membengkak pada keadaan-keadaan tertentu. Pada

tepi palpebra terdapat bulu mata (silia) yang berguna untuk proteksi

mata terhadap sinar, di samping juga terhadap trauma-trauma minor.

Di dalam palpebra terdapat tarsus, yaitu jaringan ikat padat bersama

dengan jaringan elastik. Lapisan otot palpebra tersusun atas

Muskulus orbikularis okuli, Muskulus levator palpebra, dan

Muskulus tarsalis superior dan inferior.4

Pada palpebra terdapat empat macam kelenjar, yaitu kelenjar

Meibom, Zeis, Moll, dan aksesoria. Kelenjar Meibom (glandula

tarsalis) terdapat di dalam tarsus, bermuara dalam tepi kelopak. Pada

palpebra atas terdapat 25 buah kelenjar dan pada palpebra bawah

terdapat 20 kelenjar. Kelenjar Meibom menghasilkan sebum

(minyak) yang merupakan lapisan terluar air mata. Kelenjar Zeis

berhubungan dengan folikel rambut dan juga menghasilkan sebum.

Kelenjar Moll merupakan kelenjar keringat. Kelenjar lakrimal


19

tambahan (aksesoria) terdiri atas kelenjar Krause dan kelenjar

Wolfring yang keduanya terdapat di bawah konjungtiva palpebra.4

2) Konjungtiva

Konjungtiva merupakan lapisan mukosa (selaput lendir) yang

melapisi palpebra bagian dalam dan sklera. Konjungtiva dibagi

menjadi konjungtiva bulbi, palpebra, dan forniks. Konjungtiva bulbi

melapisi bagian depan berupa lapisan tipis, transparan, dan tampak

pembuluh darah. Konjungtiva palpebra melapisi bagian dalam

palpebra dan melekat erat pada tarsus sehingga tidak dapat

digerakkan. Konjungtiva forniks terletak di antara konjungtiva bulbi

dan palpebra, dan berada pada forniks.4

Lapisan-lapisan konjungtiva dari luar ke dalam tersusun atas

epitel, stroma, dan endotel. Epitel konjungtiva dari luar ke dalam

terdiri atas epitel superfisial dan basal. Pada lapisan epitel superfisial

terdapat sel goblet yang menghasilkan musin yang merupakan

lapisan terdalam air mata. Epitel basal yang terletak di dekat limbus

mengandung pigmen. Di bagian basal sel berbentuk kuboid, makin

ke permukaan berbentuk pipih polihedral. Stroma konjungtiva dari

luar ke dalam terdiri atas lapisan adenoid dan lapisan fibrosa.

Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid sedangkan lapisan

fibrosa terdiri dari jaringan ikat.4


20

Gambar 4. Irisan Melintang Kelopak Mata.4

e. Otot Ekstraokuler Orbita

Bola mata memiliki 2 kelompok otot, yaitu otot intrinsik dan

otot ekstrinsik. Otot intrinsik bersifat involunter, terdiri dari otot siliaris

(sfingter dan dilator iris) dan otot-otot yang terdapat di dalam bola mata

yang berperan dalam mengatur gerakan struktur internal bola mata. Otot

ekstrinsik bersifat volunter, terdiri dari otot-otot ekstraokular yang

berperan dalam mengatur gerakan bola mata.6

Otot ekstraokular terdiri dari 7 otot, yaitu 4 otot rektus, 2 otot

oblik dan 1 otot levator palpebra. Secara umum otot ekstraokular

berperan dalam menggerakkan bola mata, tetapi otot levator palpebra

memiliki fungsi yang berbeda. Otot ini berfungsi untuk elevasi palpebra

superior. Otot ekstraokular terdiri dari 6 otot utama yaitu rektus

superior, rektus medial, rektus inferior, rektus lateral dan 2 otot oblik

yaitu oblik superior dan oblik inferior. Otot-otot ini terletak di dalam
21

rongga orbita dan dikelilingi oleh lemak serta jaringan ikat fibroelastik.

Otot ekstraokular membentuk kerucut otot (musclecone) pada bagian

posterior dari garis ekuator bola mata. Jaringan lemak mengisi bagian

dalam kerucut tersebut.6

Gambar 5. Otot Ekstraokuler.6

Empat otot rektus memiliki origo di cincin tendon yang terletak

di apeks orbita dan disebut Annulus of Zinn. Insersi otot-otot ini terletak

di sklera pada bagiananterior tepatnya 4-8 mm di belakang limbus.

Insersi otot rektus medial, rektusinferior, rektus lateral, dan rektus

superior, secara berurutan terletak semakin menjauh dari limbus

membentuk spiral imajiner yang disebut Spiral of Tillaux.6

Gambar 6. Spiral of Tillaux.6


22

Otot oblik superior berasal dari periosteum tulang sfenoid di

bagian superomedial foramen optik. Otot tersebut memanjang ke

troklea di superonasal rima orbita dan masuk ke sklera di bagian

superior, di bawah insersi otot rektus superior. Otot oblik inferior

berasal dari cekungan dangkal di lempeng orbita tulang maksila, di

sudut anteromedial lantai tulang orbita dekat fossa lakrimalis. Otot

tersebut memanjang ke posterior, lateral dan superior lalu masuk ke

sklera di kuadran posterior inferior temporal.6

2. Fisiologi Penglihatan

a. Proses Refraksi

Sinar berjalan lebih cepat melalui udara daripada media

transparan lain misalnya air dan kaca. Ketika masuk ke suatu medium

dengan densitas tinggi, berkas cahaya melambat (yang sebaliknya juga

berlaku). Arah berkas berubah jika cahaya tersebut mengenai

permukaan medium baru dalam sudut yang tidak tegak lurus.

Berbeloknya berkas sinar dikenal sebagai refraksi (pembiasan). Pada

permukaan melengkung seperti lensa, semakin besar kelengkungan,

semakin besar derajat pembelokan dan semakin kuat lensa. Ketika suatu

berkas cahaya mengenai permukaan lengkung suatu benda dengan

densitas lebih besar maka arah refraksi bergantung pada sudut

kelengkungan. Permukaan konveks melengkung keluar (cembung,

seperti permukaan luar sebuah bola), sementara permukaan konkaf

melengkung ke dalam (cekung, seperti gua).8


23

Permukaan konveks menyebabkan konvergensi berkas sinar,

membawa berkas-berkas tersebut lebih dekat satu sama lain. Karena

konvergensi penting untuk membawa suatu bayangan ke titik fokus,

maka permukaan refraktif mata berbentuk konveks. Permukaan konkaf

membuyarkan berkas sinar (divergensi). Lensa konkaf bermanfaat

untuk mengoreksi kesalahan refraktif tertentu mata, misalnya

berpenglihatan dekat.8

b. Struktur Refraktif Mata

Dua struktur yang paling penting dalam kemampuan refraktif

mata adalah kornea dan lensa. Permukaan kornea yang melengkung,

struktur pertama yang dilewati oleh sinar sewaktu sinar tersebut masuk

mata, berperan paling besar dalam kemampuan refraktif total mata

karena perbedaan dalam densitas pada pertemuan udara-kornea jauh

lebih besar daripada perbedaan dalam densitas antara lensa dan cairan

di sekitarnya. Pada astigmatisme, kelengkungan kornea tidak rata

sehingga berkas sinar mengalami refraksi yang tidak sama.

Kemampuan refraktif kornea seseorang tidak berubah, karena

kelengkungan kornea tidak pernah berubah. Sebaliknya, kemampuan

refraktif lensa dapat diubah-ubah dengan mengubah kelengkungannya

sesuai kebutuhan untuk melihat dekat atau jauh.8

Berkas cahaya dari sumber sinar berjarak lebih dari 20 kaki (= 6

meter) dianggap paralel pada saat berkas tersebut mencapai mata.

Sebaliknya, berkas cahaya yang berasal dari benda dekat masih tetap
24

berdivergensi ketika mencapai mata. Untuk kemampuan refraktif

tertentu mata, diperlukan jarak lebih jauh di belakang lensa untuk

membawa berkas divergen suatu sumber cahaya yang dekat ke titik

fokus daripada membawa berkas paralel suatu sumber cahaya yang jauh

ke titik fokus. Akan tetapi, pada mata tertentu, jarak antara lensa dan

retina selalu sama. Karena itu, tidak terdapat jarak yang lebih jauh

setelah lensa untuk membawa bayangan benda dekat ke fokus.8

Namun, agar penglihatan jelas maka struktur-struktur refraktif

mata harus membawa bayangan dari sumber cahaya jauh atau dekat ke

fokus di retina. Jika suatu bayangan sudah terfokus sebelum mencapai

retina atau belum terfokus ketika mencapai retina, maka bayangan

tersebut akan terlihat kabur. Untuk membawa bayangan dari sumber

cahaya dekat dan jauh jatuh di titik fokus di retina (yaitu dalam jarak

yang sama) maka harus digunakan lensa yang lebih kuat untuk sumber

cahaya dekat.8

C. DEFINISI

Pterigium adalah kelainan pada konjungtiva bulbi, pertumbuhan

fibrovaskular konjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan

ini biasanya terdapat pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal

konjungtiva yang meluas ke daerah kornea. Pterigium berbentuk segitiga

dengan puncak di bagian sentral atau di daerah kornea. Pterigium adalah

pertumbuhan konjungtiva dan jaringan fibrovaskular pada kornea superfisial

yang berbentuk sayap akibat suatu proses degenerasi dan hiperplasia jaringan
25

konjungtiva dan merusak lapisan epitel, membrana bowman dan stroma

superfisial kornea.1,8

D. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi pterigium di dunia adalah sebesar 10,2%, tertinggi di

daerah dataran rendah. Di Indonesia, prevalensi pterigium adalah sebesar

10% pada tahun 2002. Peningkatan kejadian pterigium tercatat di daerah

tropis dan di zona khatulistiwa antara 30° lintang Utara dan Selatan.

Pterigium lebih sering ditemukan di daerah panas dengan iklim kering

prevalensinya dapat mencapai 22% di daerah ekuator. Prevalensi di Riau,

Indonesia, dilaporkan mencapai 17%. Insidens pterigium di Indonesia sebesar

13,1%. Prevalensi dari pterigium usia terbanyak pada 20 – 30 tahun, lebih

banyak pada laki-laki dibandingkan perempuan, faktor pekerjaan di luar

ruangan meningkatkan risiko pterigium. 1,9

Pada tahun 2010 World Health Organization (WHO) mengeluarkan

estimasi global terbaru dimana terdapat 285 juta orang mengalami gangguan

penglihatan dan 39 juta orang diantaranya mengalami kebutaan di dunia.

Angka prevalensi pterigium sangat besar (0,7– 31%), berkisar 1,2%

ditemukan di daerah urban pada orang kulit putih dan 23,4% di daerah tropis

Barbados pada orang kulit hitam. Di Amerika Serikat, angka prevalensi 2%

(bagian Utara) sampai 7% (bagian Selatan). Prevalensi ini berbeda-beda

diantara jenis ras, luas dan lamanya paparan sinar matahari. Umumnya angka

prevalensi pterigium pada daerah tropis lebih tinggi dibandingkan daerah

lainnya.10
26

E. FAKTOR RESIKO

Faktor risiko pterigium bersifat multifaktorial, antara lain pajanan

sinar ultraviolet, pajanan debu atau iritan, peradangan, serta kekeringan pada

mata. Pajanan sinar ultraviolet disebut paling penting namun patofisiologinya

belum jelas, diduga terjadi kerusakan DNA, RNA, dan matriks ekstraseluler.

Sinar ultraviolet dari radikal bebas memicu kerusakan pada DNA, RNA, dan

matriks ekstrasel. Ultraviolet-B memacu ekspresi sitokin dan faktor

pertumbuhan di sel epitelial pterigial. Kekeringan pada mata ditemukan pada

sebagian besar pasien pterigium namun patofosiologinya belum jelas.

Polimorfisme pada DNA perbaikan gen Ku 70 telah dikaitkan dengan

kecenderungan genetik pterigium.1

F. ETIOLOGI

Hingga saat ini, etiologi pasti pterigium masih dalam perdebatan.

Beberapa faktor risiko pterigium antara lain adalah paparan ultraviolet, mikro

trauma kronis pada mata, infeksi mikroba atau virus. Selain itu, beberapa

kondisi kekurangan fungsi lakrimal film baik secara kuantitas maupun

kualitas, konjungtivitis kronis, dan defisiensi vitamin A juga berpotensi

menimbulkan pterigium.4

G. PATOGENESIS

Mekanisme patologi pterigium belum diketahui, telah terdapat banyak

teori patogenesis, antara lain teori pajanan terhadap sinar ultraviolet (UV),

teori growth factor-sitokin pro-inflamasi, dan teori stem cell. Teori pajanan

sinar UV mengungkapkan pajanan terutama terhadap sinar UV-B


27

menyebabkan perubahan sel di dekat limbus, proliferasi jaringan akibat

pembentukan enzim metalloproteinase, dan terjadi peningkatan signifikan

produksi interleukin, yaitu IL-I, IL-6, IL-8, dan TNFα. Beberapa teori

menyatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan mutasi supresor gen tumor

P53, sehingga terjadi proliferasi abnormal epitel limbus.1

Teori growth factor dan pembentukan sitokin pro-inflamasi

mengungkapkan bahwa pada pterigium terjadi inflamasi kronik yang

merangsang keluarnya berbagai growth factor dan sitokin, seperti FGF

(Fibroblast Growth Factor), PDGF(Platelet derived Growth Factor), TGF-β

(Transforming Growth Factor-β), dan TNF-α (Tumor Necrosis Factor-α)

serta VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor) yang akan mengakibatkan

proliferasi sel, remodelling matriks ektra-sel dan angiogenesis.1

Teori stem cell menyatakan bahwa pajanan faktor lingkungan (sinar

ultraviolet, angin, debu) merusak sel basal limbus dan merangsang keluarnya

sitokin pro-inflamasi, sehingga merangsang sumsum tulang untuk

mengeluarkan stem cell yang juga akan memproduksi sitokin dan berbagai

growth factors. Sitokin dan berbagai growth factor akan mempengaruhi sel di

limbus, sehingga terjadi perubahan sel fibroblas endotel dan epitel yang

akhirnya akan menimbulkan pterigium. Penumpukan lemak bisa karena iritasi

ataupun karena air mata yang kurang baik.1

H. GAMBARAN KLINIS

1. Perluasan jaringan stroma pada pterigium pada awalnya atau jika

perluasan yang di sebabkan oleh jaringan stroma yang berasal dari


28

konjungtiva ini mengalami progresifitas tidak cepat maka tidak akan

menimbulkan gelaja. Namun perluasan dari jaringan tersebut akan

mengalami peningkatan sehingga pada penderita pterigium akan di

dapatkan pada bagian skelra tampak iritasi dan adanya jaringan berwarna

kuning sampai putih menutupi sebagian dari sklera dan bisa sampai ke

bagian kornea dari mata penderita. Hal ini lah yang menimbulkan gejala

penurunan fungsi penglihatan karena lesi dapat mengaburkan visual axis

atau merangsang astigmatisme. 11

2. Merasakan adanya sensasi benda asing pada mata.11

I. KLASIFIKASI

Secara umum pterigium dapat diklasifikasikan menjadi tipe 1 yaitu

pterygium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau menginvasi

kornea pada tepinya saja. Tipe 2 disebut juga pterigium primer advanced atau

pterigium rekuren tanpa keterlibatan zona optis. Pada bentuk ini kepala

pterygium terangkat dan menginvasi kornea sampai dengan zona optik. Pada

tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler yang membesar. Tipe 3 adalah

pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Merupakan

bentuk pterigium yang paling berat. Keterlibatan zona optik membedakan

grup ini dari yang lain. Pterigium tipe ini dapat mengancam kebutaan.4

J. GRADING PTERIDIUM

Derajat pterigium sesuai dengan Perhimpunan Dokter Spesialis Mata

Indonesia berdasarkan kriteria gradasi menurut Youngson, derajat

pertumbuhan pterigium dibagi menjadi :


29

1. Derajat I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea.

2. Derajat II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum mencapai

pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea.

3. Derajat III : jika pterigium sudah melebihi derajat II tetapi tidak melebihi

pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar

3-4 mm).

4. Derajat IV :jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga

mengganggu penglihatan.12

Gambar 7. (A) stadium 1, (B) stadium 2,


(C) stadium 3, (D) stadium 4.12
K. DIAGNOSIS

1. Anamnesis

a. Keluhan : Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan

bahkan sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa

keluhan yang sering dialami pasien antara lain :

a) Mata sering berair dan tampak merah

b) Merasa seperti ada benda asing

c) Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan

pterigium tersebut, biasanya astigmatisme with the rule ataupun


30

astigmatisme irreguler sehingga mengganggu penglihatan pada

pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan

aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun.13

b. Faktor risiko :

a) Paparan sinar matahari (ultra violet) UV-B merupakan mutagenik

untuk p53 tumor supressor gen pada stem sel limbal. Tanpa

apoptosis, transforming growth factor-beta over-produksi dan

memicu terjadinya peningkatan kolagenasi, migrasi seluler, dan

angiogenesis. Selanjutnya perubahan patologis yang terjadi adalah

degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovaskuler

subepitelial. Kornea menunjukkan destruksi membran Bowman

akibat pertumbuhan jaringan fibrovaskuler.

b) Iritasi kronik dari lingkungan (udara, angin, debu).13

2. Pemeriksaan Fisik

a) Kemerahan lokalisata di medial atau lateral 2. Iritasi (+/-) 3.

Penglihatan kabur (akibat obstruksi sumbu visual atau

astigmatisme) . Tampak jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga

yang terdiri dari kepala (head) yang mengarah ke kornea dan

badan.13

L. TATALAKSANA

Sebagai tindakan preventif, gunakan kacamata yang dapat memblok

sinar ultraviolet (UV-A dan UV-B) karena faktor risiko utama pterigium

adalah pajanan sinar ultraviolet. Manajemen medikamentosa jika terdapat


31

keluhan. Obat tetes mata artifisial atau steroid jika disertai inflamasi mata.

Medikamentosa tidak akan mengurangi ataupun memperparah pterigium,

hanya mengurangi keluhan.1

Penatalaksanaan medikamentosa di tujukan untuk mengurangi gejala

yang muncul, sehingga diberikan obat antiinflamasi. Pada pterigium yang

ringan tidak perlu diobati Untuk pterigium derajat 1-2 yang mengalami

inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan

steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Diperhatikan juga bahwa penggunaan

kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular

tinggi atau mengalami kelainan pada kornea. Pada pterigium derajat 3-4

dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin setelah

avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi

dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjungtiva bagian superior

untuk menurunkan angka kekambuhan.12

Pada prinsipnya, tatalaksana pterigium adalah dengan tindakan operasi.

Berbagai macam tehnik operasi untuk pterigium telah dikembangkan,

diantaranya adalah tehnik Bare Sclera, McReynold, Transplantasi membran

amnion (TMA), Conjunctival Flap, dan Conjunctival autograft. Operasi pada

pterigium dilakukan atas indikasi kosmetik dan optik. Operasi dianjurkan

apabila pterigium telah mencapai 2 mm ke dalam kornea. Penatalaksanaan

pterigium sering memberikan hasil yang kurang memuaskan baik bagi dokter

ahli mata maupun pasien. Hal ini disebabkan karena adanya kekambuhan yang

masih menjadi masalah penting, sehingga untuk menurunkan angka


32

kekambuhan pterigium pada saat dilakukan tindakan pembedahan pterigium

sering diberikan obat tambahan misalnya mitomisin C. Sampai saat ini tehnik

operasi yang terbaik adalah dengan metode Conjunctival autograft.4

Teknik eksisi antara lain:

1. Bare sclera: ialah teknik eksisi sederhana pada bagian kepala dan

badan pterigium serta membiarkan dasar sklera (scleral bed) terbuka

sehingga terjadi re-epitelisasi. Kerugian teknik ini adalah tingginya

tingkat rekurensi yang dapat mencapai 24-89%.

2. Conjunctival autograft technique: angka rekurensi 2% hingga paling

tinggi 40%.1 Prosedur menggunakan free graft yang biasanya diambil

dari konjungtiva bulbi bagian superotemporal, dieksisi sesuai ukuran

luka kemudian dipindahkan dan dijahit atau difiksasi dengan bahan

perekat jaringan. Faktor yang penting untuk keberhasilan operasi

pterigium adalah kemampuan untuk diseksi graft tipis dan tepat ukuran

untuk menutupi defek konjungtiva dengan inklusi minimal dari

jaringan Tenon.9 Hasil graft yang tipis dan bebas tegangan telah

terbukti tidak terjadi retraksi setelah operasi, menghasilkan hasil

kosmetik yang baik dengan tingkat rekurensi yang rendah. Hirst, dkk.

merekomendasikan insisi luas untuk eksisi pterigium dan graft yang

besar karena dengan teknik ini rekurensinya sangat rendah.

3. Amniotic membrane grafting: digunakan untuk mencegah rekurensi,

bisa digunakan untuk menutupi sklera yang terbuka setelah eksisi

pterigium. Graft ini dianggap memicu kesembuhan dan mengurangi


33

angka rekurensi karena efek anti-inflamasinya, memicu pertumbuhan

epitelial dan sifatnya yang menekan sinyal transformasi TGF-beta, dan

proliferasi fibroblas.10 Tingkat rekurensinya 2,6-10,7% untuk

pterigium primer dan 37,5% untuk pterigium rekuren.1 Membran

amniotik ditempatkan di atas permukaan sklera dengan bagian basis

menghadap ke atas dan stroma menghadap ke bawah. Lem fibrin

berperan membantu membran amniotik agar menempel pada jaringan

episklera.1

Gambar 8. Teknik pembedahan pada pterigium.1

Terapi Tambahan :

Angka rekurensi tinggi yang berkaitan dengan operasi terus menjadi

masalah. Terapi tambahan yang diberikan antara lain:1

Mitomycin-C (MMC). MMC digunakan karena mampu menghambat

fibroblas. Dua cara penggunaan yaitu aplikasi intraoperatif langsung ke

permukaan sklera setelah eksisi pterigium dan aplikasi post-operatif sebagai

terapi tetes mata topikal. Beberapa studi menganjurkan MMC intra-operatif

untuk mengurangi toksisitas.1


34

Terapi iradiasi beta. Terapi ini digunakan untuk mencegah rekurensi

karena dapat menghambat mitosis cepat di dalam sel pterigium.1 Efek

samping radiasi antara lain nekrosis sklera, endoftalmitis, pembentukan

katarak. Akibat efek samping ini, terapi ini tidak banyak digunakan.1

Anti-VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor). Sesuai teori,

VEGF memiliki peran utama dalam angiogenesis dan stimulasi fibroblas.

Bevacizumab, antibodi monoklonal manusia dengan efek anti-angiogenik

mengurangi invasi dan migrasi fibrovaskuler serta mengurangi ekspresi

fibroblas, diberikan dengan cara injeksi subkonjungtival. Cara ini sekarang

dipertanyakan karena pada meta-analisis randomized controlled trial, risiko

perdarahan subkonjungtiva besar dan angka rekurensi lebih tinggi.1

M. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding yang mungkin adalah karsinoma sel skuamosa,

pinguekula, dan pseudopterigium, karena memiliki gejala yang sama dengan

pterigium. Pinguekula terlihat berbentuk kecil, meninggi, kekuningan

beerbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi, lebih sering terjadi pada

iklim sedang dan iklim tropis, angka kejadian pada laki-laki dan perempuan

sama, paparan dari sinar matahari bukan faktor risiko penyebab pinguekula.

Sedangkan pada pseudopterigium terbentuk jaringan parut fibrovaskular yang

timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea, penyebabnya adalah akibat

inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, trauma

bedah atau ulkus perifer kornea dan konjungtivitis sikatrikal. Sedangkan

karsinoma sel skuamosa adalah suatu keganasan konjungtiva primer.


35

Insidensinya bervariasi berdasarkan geografis, ras, usia, dan kaitannya dengan

HIV/AIDS.12

Diagnosis pinguekula dan pseudopterigium dapat disingkirkan karena

pada kasus ini penyebab utama terjadinya keluhan adalah karena paparan

sinar matahari, tidak adanya riwayat trauma pada pasien baik trauma bedah

ataupun bahan kimia. Pada pemeriksaan fisik, selaput berbentuk segitiga yang

dapat dibedakan antara kepala, cap dan badan. Pada pinguekula biasanya

berupa bulatan dan pada pseudopterigium terjadi perlengketan antara

konjungtiva dan kornea namun untuk membedakannya dapat dilakukan

dengan menggunakan tes sonde, biasanya pada pseudopterigium dapat dilalui

dengan sonde karena terdapat celah. Sedangkan untuk karsinoma sel

skuamosa sementara dapat disingkirkan karena keluhan dirasakan sejak 3

tahun tanpa ada pertumbuhan jaringan yang cepat. Namun untuk diagnosis

pasti dari karsinoma sel skuamosa harus dengan dilakukan pemeriksaan

patologi anatomi dari jaringan yang tumbuh untuk mengetahui jenis sel.12

N. KOMPLIKASI

Komplikasi yang muncul baik sebelum dilakukan insisi adalah merah,

iritasi, dapat menyebabkan diplopia. Sedangkan jika sudah dilakukan insisi

adalah dapat terjadi infeksi, diplopia, scar kornea, perforasi bola mata, dan

komplikasi yang terbanyak adalah rekurensi pterigium post operasi.12

O. PROGNOSIS

Prognosis dari pasien adalah quo ad vitam bonam, quo ad fungsionam

dubia ad bonam, quo ad sanationam bonam. Sedangkan secara keseluruhan


36

prognosis pada pasien baik. Didukung oleh kepustakaan yang mengatakan

bahwa kebanyakan kasus kekambuhan dapat dicegah dengan kombinasi

operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.12


DAFTAR PUSTAKA

1. Marcella, M. 2019. Manajemen Pterigium. Continuing Medical Education

46(1): 23-25.

2. Putri, G.C.D. 2015.Pterygium Oculi Dextra Atage III. J Agromed Unila.

Faculty of Medicine, Universitas Lampung. Hal 18-22.

3. Agustina, E. 2019. Manajemen Pterigium Rekuren Dengan Simblefaron.

Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo. Fakultas Kedokteran

Uviversitas Padjadjaran. Bandung. Hal 1-2.

4. Suhardjo dan Hartono. 2007. Ilmu Kesehatan Mata FK UGM. Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Hal 14-43.

5. Mashudi , A. 2013. Pengembangan Media Model Mata Manusia Untuk

Meningkatkan Penguasaan Konsep Optik. Jurnal Pendidikan IPA Indonesia

2(1): 93-101.

6. Rahma, A. 2020. Pemeriksan Gerak Bola Mata. Pusat Mata Nasional Rumah

Sakit Mata Cicendo. Fakultas Kedokteran Uviversitas Padjadjaran. Bandung.

Hal. 1-4.

7. Sherwood, L. Fisiologi Manusia. Ed. 8.Department of Physiology and

Pharmacology School of Medicine West Virginia University. Hal 210-211.

8. Lestari, D.J., Sari, D.V., Mahdi, P.D., dkk. 2017. Pterrygium Derajat IV Pada

Pasien Geriatri. Majority 7(1): 20-25.

9. Triyadi, A. 2020. Tatalaksana Pterigium Rekuren dengan Simblefaron. Pusat

Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo. Fakultas Kedokteran Uviversitas

Padjadjaran. Bandung. Hal. 1-13.


10. Muchtar, H.,W.,Triswanti, N. 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Kejadian Pterygium Pada Pasien Yang Berobat Di Rsud Dr. H.

Abdul Moeloek Provinsi Lampung Tahun 2013-2014. Jurnal Medika

Malahayati 2 (1) : 8-14.

11. Praharsiwi, I. 2017. Karakteristik Penderita Pterygium Yang Berkunjung Di

Balai Kesehatan Mata Masyarakat Di Makassar Tahun 2015. Skripsi.

Makassar. Hal 1-56.

12. Selviana, B.Y., Ibrahim, A. 2019. Pterygium Grade III Pada Oculi Sinistra.

Medula 8(2) : 148-153.

13. Novitasari, A. 2017. Buku Ajar Sistem Indera Mata. Fakultas Kedokteran

Universitas Semarang. Unimus Press. Semarang. Hal 1-61.

Anda mungkin juga menyukai