Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Konservasi sumberdaya hayati perairan adalah kegiatan perlindungan
terhadap sumberdaya hayati perairan agar dapat dimanfaatkan secara
berkelanjutan. Kegiatan ini meliputi perlindungan habitat dan organisme-
organisme perairan. Sebagai salah satu sumberdaya hayati perairan, hutan
mangrove merupakan ekosistem yang unik dan rawan. Ekosistem ini mempunyai
fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain
pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat
mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery
ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan serta
sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain
penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri dan penghasil
bibit.
Berdasarkan uraian tersebut, maka peranan konservasi dan mengkonservasi
sumberdaya ekosistem mangrove sangat penting untuk dilakukan karena
mengingat fungsi dan peranan ekosistem mangrove yang begitu besar terhadap
kehidupan makhluk hidup terutama organisme akuatik yang mendiami ekosistem
mangrove.
Tujuan konservasi ialah (a) melestarikan contoh-contoh perwakilan habitat
dengan tipe-tipe ekosistemnya, (b) melindungi jenis-jenis biota yang terancam
punah, (c) mengelola daerah yang penting bagi pembiakan jenis-jenis biota yang
bernilai ekonomi, (d) memanfaatkan daerah tersebut untuk usaha rekreasi,
pariwisata, pendidikan dan penelitian, (e) sebagai bahan untuk melakukan
pelatihan di bidang pengelolaan sumberdaya alam, (f) sebagai tempat pembanding
bagi kegiatan monitoring tentang akibat manusia terhadap lingkungannya.
1. 2 Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Mengetahui latar belakang ditetapkannya kawasan mangrove Kampung
Bahowo sebagai kawasan konservasi
2. Mengetahui keanekaragaman flora dan fauna pada ekosistem mangrove
Kampung Bahowo
3. Menentukan tipe kawasan konservasi pada ekosistem mangrove Kampung
Bahowo
4. Mengetahui pembagian atau penetapan zonasi pada kawasan konservasi
Kampung Bahowo
5. Mengidentifikasi kendala yang dihadapi dalam usaha konservasi mangrove
Kampung Bahowo
6. Mengetahui peran serta atau keterlibatan pemerintah dalam melakukan usaha
konservasi mangrove Kampung Bahowo
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Hutan Mangrove
2.1.1. Pengertian Hutan Mangrove
Hutan mangrove dapat didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh
di daerah pasang surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai)
yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap kadar garam. Ekosistem
mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme (tumbuhan dan
hewan) yang berinteraksi dengan faktor lingkungan dan dengan sesamanya di
dalam suatu habitat mangrove (Kusuma, 2009).
Mangrove merupakan suatu tipe hutan tropik dan subtropik yang khas,
tumbuh di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut
air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari
gempuran ombak dan daerah dan daerah yang landai. Mangrove tumbuh optimal
di wilayah pesisir yang memiliki muara sungai besar dan delta yang aliran airnya
banyak mengandung lumpur. Sedangkan di wilayah pesisir yang tidak bermuara
sungai, pertumbuhan vegetasi mangrove tidak optimal. Mangrove sukar tumbuh
di wilayah pesisir yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang surut kuat,
karena kondisi ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur yang
diperlukan sebagai substrat bagi pertumbuhannya (Dahuri, 2003).
Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, dan merupakan
komunitas yang hidup di dalam kawasan lembap dan berlumpur serta dipengaruhi
oleh pasang surut air laut. Mangrove disebut juga sebagai hutan pantai, hutan
payau, atau hutam bakau. Pengertian mangrove sebagai hutan pantai (pesisir),
baik daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut maupun wilayah daratan
pantai yang dipengaruhi oleh ekosistem pesisir. Sedangkan pengertian mangrove
sebagai hutan payau atau hutan bakau adalah pohon-pohonan yang tumbuh di
daerah payau pada tanah aluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar
muara sungai. Pada umumnya formasi tanaman didominasi oleh jenis-jenis
tanaman bakau. Oleh karena itu, istilah bakau hanya untuk jenis-jenis tumbuhan
dari genus Rizhopora, sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala
tumbuhan yang hidup di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi
pasang surut air laut (Harahab, 2010).

2.1.2. Fungsi Hutan Mangrove


Wilayah mangrove mempunya sifat khas dan unik. Sifat unik mangrove
disebabkan oleh luas vertikal pohon dengan organisme daratan menempati bagian
atas dan organisme lautan menempati bagian bawah. Kondisi pencampuran antara
antara organisme daratan dan lautan ini menggambarkan suatu rangkaian dari
darat ke laut dan sebaliknya. Secara ekologis mangrove memegang peranan kunci
dalam perputaran nutrien atau unsur hara pada perairan pantai di sekitarnya yang
dibantu oleh pergerakan pasang surut air laut. Interaksi vegetasi mangrove dengan
lingkungannya mampu menciptakan kondisi iklim yang sesuai untuk
kelangsungan proses biologi beberapa organisme akuatik, yang termasuk
melibatkan sejumlah besar mikroorganisme dan makroorganisme. Dapat
dikatakan apabila terdapat mangrove berarti disitu pula merupakan daerah
perikanan yang subur, karena terdapat hubungan yang positif dan signifikan
antara hutan mangrove dengan tingkat produksi perikanan (Ghufran dan Kordi,
2012).
Nilai penting mangrove lainnya adalah dalam bentuk fungsi ekologisnya
sebagai penyeimbang tepian sungai dan pesisir, serta memberikan dinamika
pertumbuhan di kawasan pesisir. Dinamika tersebut adalah pengendalian abrasi
pantai, menjaga stabilitas sedimen dan bahkan turut berperan dalam menambah
luasan lahan daratan dan perlindungan garis pantai. Selain itu juga berperan
penting dalam memberikan manfaat untuk ekosistem sekitarnya, termasuk tanah-
tanah basah pesisir terumbu karang, dan lamun. Manfaat mangrove selain ditinjau
dari fungsi ekologisnya, juga diketahui memiliki nilai ekonomis yang mendorong
kegiatan eksploratif, sehingga mangrove rawan terhadap kerusakan (Saputro, dkk,
2009). Maka dari itu, setidaknya ada tiga fungsi utama ekosistem mangrove yaitu:
1. Fungsi fisik : Pencegah abrasi, perlindungan terhadap angin, peredam
gelombang, penahan dan perangkap sedimen, pencegah intrusi garam, dan
sebagai penghasil energi serta hara.
2. Fungai biologis : Sebagai habitat alami biota dan tempat bersarang jenis
aves.
3. Fungsi ekonomi : Sebagai sumber bahan bakar (kayu bakar dan arang),
bahan bangunan (balok, atap), perikanan, pertanian, makanan, minuman,
bahan baku kertas, keperluan rumah tangga, tekstil, serat sintesis
penyamakan kulit, dan obat-obatan (Ghufran dan Kordi, 2012).

2.1.3. Karakteristik Hutan Mangrove


Menurut Arief (2003) hutan mangrove umumnya tumbuh pada daerah yang
jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir. Daerahnya tergenang air laut
secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada pasang saat
purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove,
menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat melalui aliran air sungai, serta
terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat.
A. Struktur Vegetasi dan Daur Hidup Mangrove
Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak, vegetasi hutan
Mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, dengan
jumlah jenis tercatat sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis
palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Namun hanya terdapat
kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang termasuk jenis mangrove.
B. Zonasi Ekosistem Mangrove
Menurut Sukardjo (1993) dalam Ghufran dan Kordi (2012) terdapat lima
faktor utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di kawasan pantai tertentu,
yaitu gelombang yang menentukan frekuensi tergenang, salinitas yang berkaitan
dengan hubungan osmosis mangrove, substrat, pengaruh darat seperti aliran air
masuk dan rembesan air tawar, dan keterbukaan terhadap gelombang yang
menentukan jumlah substrat yang dapat dimanfaatkan. Sedangkan MacNae (1968)
dalam Supriharyono (2000) membagi zona mangrove berdasarkan jenis pohon ke
dalam enam zona, yaitu:
1. Zona perbatasan dengan daratan
2. Zona semak-semak tumbuhan Ceriops
3. Zona Hutan Bruguiera
4. Zona hutan Rhizophora
5. Zona Avicennia yang menuju ke laut
6. Zona Sonneratia
Zonasi mangrove juga dilakukan berdasarkan salinitas, sebagaimana
dikembangkan oleh de Haan (1931) dalam Supriharyono (2000) yang terbagi
kedalam dua divisi yaitu zona air payau ke laut dengan kisaran salinitas antara 10-
30 ppt, dan zona air tawar ke air payau dengan salinitas antara 0-10 ppt pada
waktu air pasang.

2. 2 Pelestarian Hutan Mangrove


Pelestarian merupakan kegiatan/upaya, termasuk didalamnya pemulihan dan
penciptaan habitat dengan mengubah sistem yang rusak menjadi yang lebih stabil.
Pemulihan merupakan suatu kegiatan untuk menciptakan suatu ekositem atau
memperbaharuinya untuk kembali pada fungsi alamiahnya. Namun demikian,
pelestarian mangrove sering diartikan secara sederhana, yaitu menanam mangrove
atau membenihkan mangrove lalu menanamnya tanpa adanya penilaian yang
memadai dan evaluasi terhadap keberhasilan penanaman dan level ekosistem
(Sunito, 2012).
2.2.1 Pola pembangunan hutan mangrove
Pola pembangunan hutan mangrove menurut Departemen Kehutanan dan
Perkebunan (1999) terbagi atas tiga macam pola sebagai berikut:
1. Pola Swadaya
Hutan mangrove pola swadaya adalah hutan mangrove yang dibangun oleh
kelompok atau perorangan dengan modal dan tenaga kelompok atau
perorangan sendiri.
2. Pola subsidi
Hutan mangrove pola subsidi adalah hutan mangrove yang dibangun dengan
subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya.
Subsidi diberikan oleh pemerintah melalui inpres penghijauan, padat karya,
atau dana yang lainnya. Hutan mangrove yang secara hidro-orologis kritis
dan dan masyarakatnya mempunyai keterbatasan pengetahuan dan
kemampuan.
3. Pola kemitraan
Hutan mangrove pola kemitraan adalah hutan yang dibangun atas kerjasama
perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat
dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan adalah perusahaan memerlukan
bahan baku dan rakyat memerlukan bantuan modal.
Kerusakan dan kepunahan ekosistem mangrove akan berdampak pada
kehidupan manusia, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Karena itu,
pengelolaan ekosistem mangrove tentu diupayakan untuk melestarikan ekosistem
mangrove. Menurut Ghufran dan Kordi (2012) bentuk-bentuk pelestarian
ekosistem mangrove adalah sebagai berikut:
1. Konservasi Ekosistem Mangrove
Pemerintah Republik Indonesia (melalui Departemen Kehutanan) telah
menetapkan sejumlah kawasan konservasi lautan. Inti dari konservasi lautan
adalah perlindungan terhadap kelangsungan proses ekologis beserta sistem-
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman plasma nutfah,
pelestarian dan pemanfaatan jenis ekosistemnya.
2. Pengembangan Ekowisata Mangrove
Untuk menekan kerusakan ekosistem mangrove maka pariwisata mangrove
diarahkan pada pengembangan ekowisata pesisir dan laut. Ekowisata adalah
perpaduan antara pariwisata ke wilayah-wilayah alami, yang melindungi
lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat.
3. Pengembangan Akua-forestri
Akua-forestri atau lebih dikenal sebagai silvofishery merupakan kombinasi
pengelolaan sumberdaya alam secara terpadu, yaitu kehutanan dan
perikanan. Pengembangan sistem ini dapat dilakukan tanpa merusak
ekosistem mangrove. Budidaya kepiting dengan menggunakan hampang
atau keramba di bagian-bagian terbuka secara alami, tanpa perlu menebang
vegetasi hutan mangrove.
4. Rehabilitasi Ekosistem Mangrove
Rehabilitasi hutan mangrove melalui penanaman kembali ekosistem
mangrove yaang rusak telah menjadi program nasional, yang didukung oleh
dunia internasional. Bahkan sejak tahun 2005, penanaman mangrove
mengalami peningkatan. Penanaman mangrove mulai melibatkan berbagai
kelompok masyarakat, tidak hanya masyarakat pesisir dan pulau-pulau.
Penanaman mangrove juga dilakukan oleh seluruh kalangandari mulai anak-
anak, remaja, dewasa, hingga orang tua.

2. 3 Kelompok Masyarakat
Menurut Horton (1999) dalam Torang (2012) kelompok adalah sejumlah
orang yang memiliki persamaan ciri-ciri tertentu, sejumlah orang yang memiliki
pola interaksi yang terorganisir dan terjadi secara berulang-ulang, dan setiap
kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling
berinteraksi. Suatu kelompok dapat didefinisikan sebagai unit sosial yang terdiri
dari sejumlah individu pada suatu waktu tertentu dengan peranan hubungan
tertentu satu sama lain dan secara eksplisit atau implisit memiliki seperangkat
norma atau nilai yang mengatur perilaku para anggotanya, paling tidak dalam hal
konsekuensi terhadap kelompok. Sedangkan Dahama (1980) dalam Torang
(2012) mengungkapkan bahwa dinamika kelompok meliputi banyak kegiatan
untuk menunjukkan bagaimana kelompok dapat berbuat sebaik mungkin agar
setiap anggota kelompok dapat memberikan sumbangan yang maksimal terhadap
kelompoknya.

2. 4 Pengertian Partisipasi
Menurut Wardoyo (1992) partisipasi adalah keikutsertaan masyarakat baik
dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan. Keikutsertaan tersebut terbentuk
sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu atau kelompok
masyarakat yang lain dalam pembangunan. Soekanto (2009) juga menyatakan
bahwa partisipasi mencakup tiga hal, yaitu:
1. Partisipasi meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau
tempat seseorang dalam masyarakat.
2. Partisipasi adalah suatu konsep perilaku yang dapat dilaksanakan oleh
individu-individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
3. Partisipasi juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu, yang penting
bagi sosial masyarakat.

2. 5 Tipe-Tipe Kelembagaan Partisipatif


Tipe kelembagaan partisipatif menurut International Institute of Rural
Reconstruction (IIRR) (1998) dibedakan menjadi:
1. Partisipasi Pasif
Partisipasi masyarakat dengan diberitahu tentang hal-hal yang sudah terjadi.
Hal ini merupakan tindakan sepihak dari ketua kelompok tanpa menghiraukan
tanggapan anggota.
Kriteria:
 Dalam pelaksanaan kegiatan, tidak melibatkan masyarakat selain anggota
kelompok.
 Pengambilan keputusan dilakukan oleh ketua kelompok secara sepihak.
2. Partisipasi dalam pemberian informasi
Partisipasi masyarakat dengan menjawab pertayaan-pertanyaan yang
diajukan peneliti dengan menggunakan kuisioner atau pendekatan serupa.
Masyarakat tidak memiliki kesempatan mempengaruhi cara kerja karena temuan-
temuan peneliti tidak dibagikan kepada mereka.
Kriteria:
 Memberikan banyak informasi tentang kelompok dan hutan mangrove
kepada peneliti, mahasiswa, dsb.
 Memberi arahan dan data-data yang dibutuhkan oleh peneliti.
3. Partisipasi Konsultatif
Partisipasi dengan melibatkan masyarakat dalam analisis, merumuskan
permasalahan, dan mengumpulkan informasi. Akan tetapi, bentuk konsultasi
tersebut tidak melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, dan
pihak luar tidak berkompeten mewakili pandangan masyarakat.
Kriteria:
 Masyarakat ikut terlibat dalam memberikan saran, pandangan, dan
masukan kepada kelompok terhadap suatu hal/masalah tertentu.
 Pengambilan keputusan tetap ditangan kelompok dan tidak ada campur
tangan masyarakat lain.
 Dalam pelaksanaan kegiatan melibatkan masyarakat.
4. Partisipasi dengan Imbalan Material
Partisipasi masyarakat dengan cara memberikan kontribusi sumberdaya
yang dimiliknya, misalnya sebagai tenaga kerja untuk memperoleh imbalan
makanan, uang tunai maupun imbalan material lainnya. Masyarakat boleh
menyediakan lahan dan tenaga kerjanya, namun tidak terlibat dalam proses
eksperimentasi dan proses pembelajaran. Proses inilah yang selama ini lazim
disebut sebagai partisipasi. Dalam konteks seperti ini, masyarakat tidak memiliki
pijakan melanjutkan kegiatannya tatkala imbalan dihentikan.
Kriteria:
 Dalam pelaksanaan kegiatan, masyarakat mengharapkan imbalan dalam
bentuk material.
 Tidak akan ada kegiatan selanjutnya jika imbalan ditiadakan.
 Mengedepankan kepentingan material diatas kepentingan kelestarian hutan
mangrove.
 Tidak merasa memiliki sehingga tidak harus menjaga sumberdaya yang
tersedia.
5. Partisipasi Fungsional
Partisipasi masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek
yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan masyarakat tidak hanya pada
tahap awal proyek atau perencanaan, tetapi juga setelah keputusan pokok dibuat
pihak luar. Kelompok masyarakat cenderung tergantung terhadap pemrakarsa dan
fasilitator luar, tetapi menjadi mandiri.
Kriteria:
 Suatu instansi/lembaga melibatkan masyarakat dalam kegiatan.
 Intansi/lembaga sebagai pelindung dan membentuk kelompok masyarakat
untuk keberlajutan kegiatan.
 Segala bentuk kegiatan dari awal perencanaan sampai pelaksanaan
diserahkan kepada kelompok masyarakat dengan lembaga/intansi terkait
memberikan arahan terlebih dahulu.
6. Partisipasi Interaktif
Partisipasi masyarakat dalam tahap analisis, pengembangan rencana
kegiatan pembentukan dan pemberdayaan institusi lokal. Partisipasi dipandang
sebagai hak, dan bukan sebagai cara mencapai tujuan proyek. Proses tersebut
melibatkan metodologi multidisiplin yang membutuhkan perspektif majemuk
serta membutuhkan proses pembelajaran yang sistematik dan terstruktur. Sebagai
kelompok, masyarakat memegang kendali sepenuhnya atas keputusan lokal,
sehingga masyarakat memiliki kewenangan yang jelas untuk memelihara struktur
kegiatannya.
Kriteria:
 Anggota kelompok tidak harus terlibat dalam kegiatan kelompok.
 Adanya transparasi tentang segala bentuk rumah tangga kelompok, baik
kepada anggota maupun pada lokasi sekitar kegiatan.
7. Mobilisasi Swakarsa
Partisipasi masyarakat dengan mengambil inisiatif secara mandiri untuk
melakukan perubahan sistem. Masyarakat membangun hubungan konsultatif
dengan lembaga eksternal mengenai masalah sumberdaya dan masalah teknikal
yang mereka butuhkan, namun memegang kendala pendayagunaan sumberdaya.
Kriteria:
 Membentuk kelompok secara mandiri.
 Adanya koordinasi atau kerjasama dengan pihak luar untuk menunjang
keberhasilan kelompok.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1. Lokasi dan Waktu Praktikum


Praktikum ini dilakukan di Kampung Bahowo, Kelurahan Tongkaina,
Kecamatan Bunaken, Sulawesi Utara. Praktikum ini dilaksanakan pada tanggal 27
Januari 2017.

3.2. Alat dan Bahan Praktikum


Alat dan bahan yang diperlukan dalam praktikum ini sebagai berikut :
Tabel 1. Alat dan Bahan Praktikum
No
Nama Alat dan Bahan Unit / Jumlah Kegunaan
.
1 Kertas HVS A4 1 rim Untuk pendataan
2 ATK 1 paket Untuk pendataan
3 Lembaran data 1 paket Menulis data
4 Komputer 1 bh Analisis data
5 Kamera digital 1 bh Dokumentasi
6 Tape recordes 1 bh Wawancara
Peraturan perundangan
7 1 paket Referensi data
terkait
8 Pustaka terkait Referensi data

3.3. Pendekatan Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan dalam praktikum ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui observasi di lokasi
praktikum meliputi data kawasan konservasi mangrove Kampung Bahowo,
keanekaragaman flora dan fauna, pembagian zonasi, kendala konservasi serta
peran pemerintah dalam usaha konservasi mangrove Kampung Bahowo.
Selain itu digunakan metode wawancara untuk menganalisis upaya
pengelolaan ekosistem mangrove dengan pertimbangan bahwa responden adalah
masyarakat atau penduduk kampung Bahowo maupun anggota kelompok yang
melakukan aktivitas pengelolaan mangrove Kampung Bahowo. Sedangkan data
sekunder diperoleh secara tidak langsung melalui studi kepustakaan, tulisan, atau
laporan literatur dan referensi lainnya yang berhubungan dengan praktikum.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kawasan Konservasi Mangrove Kampung Bahowo


Hutan mangrove yang masih tersisa di Manado daratan adalah di kampung
Bahowo. Bahowo merupakan salah satu dari empat lingkungan setingkat RT di
Kelurahan Tongkaina, Kecamatan Bunaken, Kota Manado. Berbeda dengan
masayarakat di tiga lingkungan lainnya, warga Kampung Bahowo memang
menggantungkan hidup mereka dari laut. Karena memang kondisi geografis
kampung ini yang berada di pinggiran pantai. Melihat potensi hilangnya kekayaan
alam daerah mereka akibat proyek reklamasi pemerintah, masyarakat Kampung
Bahowo justru menyadari arti pentingnya keberadaan mangrove.
Kawasan konservasi mangrove Kampung Bahowo dikelola atas dasar
kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran ekosistem mangrove terhadap
sumberdaya perikanan. Dengan adanya kegiatan penyuluhan dari pemerintah
ataupun instansi terkait misalnya LSM Manengkel Solidaritas, menimbulkan
kesadaran masyarakat untuk melindungi mangrove serta tidak melakukan
penebangan pohon mangrove, sehingga terjadi peningkatan stok sumberdaya ikan
di kawasan mangrove Kampung Bahowo yang dapat langsung dirasakan oleh
warga. Kesadaran akan pentingnya mangrove di Kampung Bahowo didukung oleh
PT. Tirta Investama Aqua dan NGO Burung Indonesia. PT. Tirta Investama
memberikan dukungan dalam bentuk dana sehingga terbentuklah kelompok
bentukan masyarakat Kampung Bahowo yang berjumlah 15 orang serta
didampingi oleh LSM Manengkel Solidaritas, PT. Tirta Investama Aqua dan
NGO Burung Indonesia.
Keberadaan mangrove di Bahowo memang punya arti penting tak hanya
bagi warga di kampung itu, tapi ikut menyokong kelestarian Taman Nasional
Bunaken (TNB). Ini dikarenakan posisi Bahowo yang terletak berhadapan
langsung dengan Pulau Bunaken, serta pulau lain yang masuk dalam kawasan
TNB.

4.2. Keanekaragaman Flora dan Fauna Ekosistem Mangrove Kampung Bahowo


Habitat mangrove adalah sumber produktivitas yang bisa dimanfaatkan baik
dalam hal produktivitas perikanan dan kehutanan ataupun secara umum
merupakan sumber alam yang kaya sebagai ekosistem tempat bermukimnya
berbagai flora dan fauna.
Ekosistem mangrove merupakan habitat bagi berbagai fauna, yaitu fauna
khas mangrove dan fauna yang berasosiasi dengan mangrove. Fauna tersebut
menjadikan mangrove sebagai tempat tinggal, mencari makan, bermain atau
tempat berkembang biak. Jenis fauna yang dapat dijumpai pada kawasan
mangrove Kampung Bahowo seperti jenis Ikan Bubara, Baronang, Malalugis dan
Kakatua. Umumnya nelayan Kampung Bahowo melakukan kegiatan penangkapan
ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Alat tangkap yang
biasanya dipakai oleh penduduk kampung adalah pancing tangan (handline) dan
jaring paka-paka. Seiring berjalannya waktu, banyak penduduk kampung yang
lebih memilih membeli ikan dan kebutuhan lainnya dari penjual yang membawa
jualannya ke kampung ini. Hal ini membuat aktivitas penangkapan ikan di
Kampung ini menjadi menurun.
Kelompok fauna perairan yang menempati substrat keras (akar dan batang
mangrove) maupun lunak (lumpur) yang dijumpai pada kawasan mangrove
Kampung Bahowo adalah Kepiting Bakau. Oleh kelompok kampung ini bersama-
sama dengan LSM Manengkel Solidaritas direncanakan akan membuat
pembibitan kepiting bakau pada bulan Februari. Juga ditemukan beberapa
kelompok burung yang hidup berasosiasi di mangrove.
Jenis mangrove yang umumnya dijumpai di Kampung Bahowo antara
lain : Avicennia alba, Bruguiera gymnorrhiza, Rhizophora apiculata, Rhizophora
mucronata, Rhizophora stylosa, Sonneratia alba dan Sonneratia ovata. Substrat
dasar pada ketiga stasiun ini adalah pasir berlumpur. Jenis mangrove yang paling
mendominasi adalah jenis Sonneratia sp dan Rhizophora sp. Kerapatan mangrove
di kawasan ini cukup padat dengan keanekaragaman sedang.
Jenis-jenis mangrove yang ditanam di kawasan mangrove Kampung
Bahowo adalah Bruguiera gymnorhiza, Rhizaphora apiculata, Ceriops tagal, dan
Rhizaphora mucronata. Jenis-jenis mangrove ini termasuk dalam flora mangrove
mayor (flora mangrove sebenarnya), yakni flora yang menunjukkan kesetiaan
terhadap habitat mangrove, berkemampuan membentuk tegakan murni dan secara
dominan mencirikan struktur komunitas, secara morfologi mempunyai bentuk-
bentuk adaptif khusus (bentuk akar dan viviparitas) terhadap lingkungan
mangrove dan mempunyai mekanisme fisiologis dalam mengontrol garam.
Kegiatan pembibitan mangrove baru dimulai pada bulan Mei 2016.
Kawasan Mangrove di Kampung Bahowo dikerjakan oleh LSM Manengkel
Solidaritas berkat kerjasama dengan pemerintah setempat yang mendapat
dukungan dari PT. Tirta Investama Aqua dan NGO Burung Indonesia, saat ini
bibit yang dihasilkan masyarakat dijual dengan harga Rp. 1.500 – 2.000 per bibit
dan hal ini membuat pendapatan masyarakat Kampung Bahowo meningkat.

4.3. Struktur Komunitas Mangrove Vegetasi Kampung Bahowo


4.3.1. Indeks Keragaman
Indeks keanekaragaman (H’)digunakan untuk mengetahui tingkat
keanekaragaman jenis yang diteliti pada suatu daerah tertentu.Suatu komunitas
dikatakan mempunyai keanekaragaman jenis tinggi, jika komunitas itu disusun
oleh banyak jenis dengan kelimpahan tiap jenis yang sama atau hampir sama.
Sebaliknya, jika komunitas itu disusun oleh sangat sedikit jenis dan hanya sedikit
saja jenis yang dominan, maka keanekaragaman jenisnya rendah (Soegianto, 1994
dalam Taqwa, 2010). Indeks ini dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu jumlah
spesies dan jumlah individu masing-masing spesies.
Nilai indeks keanekaragaman mangrove Bahowo seperti yang terlihat
padaGambar 3adalah 1,27 dimana nilai indeks ini tergolong dalam kategori
keanekaragaman sedang karena nilai H’ lebih besar dari 1 dan lebih kecil dari 3,
ini berarti produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, dantekanan
ekologis sedang (Restu, 2002).
Indeks Keanekaragaman spesies tertinggi didapati pada Rhozophora
apiculatadengan nilai indeks 0,36 dan terendah ada pada tiga spesies yaitu
Sonneratia ovata yang memiliki nilai indeks yaitu 0,05. Perbedaan
keanekaragaman dapat disebabkan oleh distribusi dan jumlah spesies (Nybakken,
1992).

1.40
1.20
1.00
0.80
1.27
0.60
0.40
H'

0.20 0.36 0.30 0.26


0.14 0.07 0.08 0.05
0.00
a za a a a a a )
alb hi lat n at los alb v at l (Ʃ
r u y a
ia
no
r ic
uc
ro st tia ao To
t
e nn m a ap
m ora era r ati h
ic y r a h n e la
Av r ag p ho
h or zop So S on Jum
e o i
ui iz p Rh
r ug Rh hizoJenis-jenis Spesies
B R Gambar 1.
Keanekaragaman Mangrove di Bahowo

4.3.2. Densitas (Kerapatan)


Kerapatan mangrove di Bahowo seperti terlihat pada Gambar 2 yakni 0,099
ind/m2. Kerapatan tertinggi ditempati oleh Rhizophora apiculata dengan nilai
indeks 0,053 ind/m2 dengan kerapatan relatif 53% sedangkan kerapatan terendah
terdapat 3 spesies yaitu Sonneratia ovata dengan nilai indeks 0,001 ind/m2 dan
nilai kepadatan relatif 1%. Nilai kerapatan suatu jenis menunjukan kelimpahan
jenis dalam suatu ekosistem dan nilai ini dapat menggambarkan bahwa jenis
dengan kepadatan tertinggi memiliki pola penyesuaian yang besar. Kerapatan
sangat dipengaruhi oleh jumlah ditemukannya spesies dalam daerah penelitian.
Semakin banyak suatu spesies, maka kepadatan relatifnya semakin tinggi.
0.100 Jenis mangrove
0.080
0.060
0.099
0.040
0.053
0.020
0.020 0.015
0.005 0.002 0.003 0.001
0.000
a a a a a a a
alb hi
z lat n at lo
s
alb v at lah
ia r r icu o y o m
no uc
r st tia a Ju
enn m a ap
m ora era r ati
ic y or n
Av ag or
a
op
h
So ne
ier o ph h iz So
u iz p Rh
r ug Rh hizo
B R

Gambar 2. Kerapatan Mangrove di Bahowo

Kerapatan Relatif

15% 1% 5% 2% Avicennia alba


Bruguiera gymnorrhiza
Rhizophora apiculata
Rhizophora mucronata
20% Rhizophora stylosa
Soneratia alba
53% Soneratia ovata

3%

Gambar 3. Kerapatan Relatif Mangrove di Bahowo

4.3.3. Frekuensi
Frekuensi kemunculan dan frekuensi relatif dihitung untuk mengetahui
jumlah plot yang terisi oleh suatu jenis mangrove terhadap jumlah total plot. Nilai
frekuensi kemunculan individu mangrove di Bahowo berkisar antara 0,133-0,667
(Gambar 4). Jenis yang memiliki nilai frekuensi kehadiran tertinggi yakni
Rhizophora apiculata dan Sonneratia alba yakni 0,667 dengan nilai kemunculan
relative 26,32% dan terendah yaitu Avicennia alba, Bruguiera gymnorrhiza dan
Sonneratia ovata dengan nilai indeks 0,133 dan nilai kemunculan relative 5,26%.

0.700
Frekuensi Kemunculan (F)

0.600
0.500
0.400
0.667 0.600 0.667
0.300
0.200
0.100 0.133 0.133 0.200 0.133
0.000
a iza a ta sa a ta
lb at na lo alb va
iaa r rh icul r o ty a o
no s ati tia
nn aa
p uc ra er ra
iv ce ym r
ra
m h o n e
A ag ph
o
ho
p So So
n
ier z o p h izo
u i
ug Rh izo R
Br Rh

Gambar 4.

Frekuensi Kemunculan Mangrove Bahowo

4.3.4. Dominansi
Nilai dominansi relatif (Gambar 5) menerangkan bahwa 52 % mangrove di
Bahowo didominasi oleh Sonneratia alba.

Dominansi Relatif
Rhizophora stylosa Avicennia alba Rhizophora apiculata
Sonneratia alba Bruguiera gymnorhiza Rhizophora mucronata
Sonneratia ovata

21% 2% 16%
3%
4%
3%

52%

Gambar 5. Dominansi Relatif Mangrove Bahowo


4.3.5. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks nilai penting adalah besaran yang menunjukan kedudukan suatu
spesies terhadap spesies lain dalam suatu komunitas dan merupakan penjumlahan
dari kerapatan relative, dominansi relative dan frekuensi relative. Berdasarkan
analisis yang dilakukan didapati Indeks Nilai Penting tertinggi ditemukan pada
Sonneratia albadengan nilai sebesar 93,81 %, sedangkan Indeks Nilai Penting
terendah ditemukan pada Bruguiera gymnorrhizadengan nilai 9,94 % (Gambar 6).
Mueller Dumbois dan Ellenberg (1974) mengemukakan bahwa besarnya
Indeks Nilai Penting berkisar antara 0-300 %, dimana semakin besar nilai indeks
berarti spesies yang bersangkutan semakin besar berperan di dalam komunitas
tersebut. Berdasarkan Indeks Nilai Penting tersebut jelaslah bahwa Sonneratia
albamemiliki pengaruh besar terhadap komunitas hutan mangrove di Bahowo.

100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00 93.81
82.59
40.00
30.00 46.00
INP

20.00 26.45 27.14


10.00 9.94 14.11
0.00
a

za

a
a

sa

a
lat

at

at
alb

alb
hi

lo

ov
on
icu

ty
rr
ia

tia
cr

as
no

tia
nn

ap

ra
u
m

ra
or
am
ice

ne
ra
gy

ne
ph
o
Av

So
or
ph

So
a

izo
ier

ph
izo

Rh
gu

izo
Rh
u

Rh
Br

Jenis-jenis Spesies
Gambar 6. Indeks NIlai Penting Mangrove Bahowo
4.4. Pembagian Zonasi Kawasan Mangrove Kampung Bahowo
Keanekaragaman vegetasi mangrove setelah dianalisis masuk dalam
kategori sedang, memberikan peluang kepada Bahowo untuk pengembangan
potensi ekowisata bahari. Program Mangrove Park merupakan ide terbaik agar
hutan mangrove di Bohowo dapat diatur sedemikian rupa berdasarkan zonasi
mengingat rendahnya nilai kerapatan dan frekuensi.
Pembagian zonasi mangrove yang dapat dilakukan antara lain :
a) Zona pariwisata ; dimana pengujung dapat diajak berjalan-jalan
menggunakan perahu, menikmati keanekaragaman tumbuhan dan
biota yang berasosiasi dalam hutan mangrove.
b) Zona education ; dimana pengunjung dapat belajar mengidentifikasi
dan sadar akan mangfaat mangrove.
c) Zona rehabilitasi ; karena terdapat bekas tambak di Bahowo yang
sudah tidak produktif lagi dan saat ini menjadi lahan kritis.
d) Zona pemanfaatan ; dimana masyarakat dapat mengembangkan usaha
budidaya kepiting bakau atau pembibitan mangrove.
e) Zona inti ; zona larangan (no take zone) sebagai sumber penopang
hasil laut.

4.5. Kendala Konservasi Mangrove Kampung Bahowo


Faktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove di Bahowo yaitu karena
faktor manusia, dimana aktifitas masyarakat yang menebang pohon dari hasil
wawancara sebanyak 31% responden menyampaikan hal tersebut. Di Bahowo
sendiri terdapat dua lahan bekas tambak masing-masing ukurannya sekitar 3
hektar, yang dulunya lahan tersebut merupakan hutan mangrove. Ada 19%
responden yang menjawab salah satu foktor kerusakannya yaitu pengambilan
sebagai kayu bakar.
Faktor Penyebab Kerusakan

31% 19%
Pengambilan sebagai kayu
bakar
Pembukaan tambak
Pemukiman
19% Penebangan pohon
Tidak tahu
31%

Gambar 7. Faktor Penyebab Kerusakan Mangrove

Dampak pembangunan fisik di wilayah pesisir Kecamatan Bunaken


terutama dengan pengembangan reklamasi tahap kedua, memberikan dampak
lingkungan terhadap pola ruang dan struktur ruang. Oleh karena itu perlu
pemahaman masyarakat dalam mengantisipasi agar tidak terjadi benturan sosial
dan kesenjangan akibat pelaksanaan pembangunan di kemudian hari. Potensi
ekosistem mangrove dan laut yang masih baik, namun disisi lain mulai bergeser
akibat laju pembangunan yang mengarah ke perusakan lingkungan hidup yang
mengancam ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang dan
perikanan, termasuk lokasi pencaharian masyarakat nelayan.

4.6. Peran Pemerintah dalam Usaha Konservasi Mangrove Kampung Bahowo

Setiap hari Jumat dikoordinasi oleh pemerintah, masyarakat Kampung Bahowo


selalu melakukan pembersihan
BAB V
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Arief, A, 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta. Kanisius


Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Restu, I.W. 2002. Kajian Pengembangan Wisata Mangrove di Taman Hutan Raya Ngurah
Rai Wilayah Pesisir Selatan Bali. (Tesis). Bogor: Program Pascasarjana, Institut
PertanianBogor
Taqwa, A. 2010. Analisis Produktifitas Primer Fitoplankton Dan Struktur Komunitas
Fauna Makrobenthos Berdasarkan Kerapatan Mangrove Di Kawasan Konservasi
Mangrove Dan Bekantan Kota Tarakan Kalimantan Timur (Tesis). Program
Pascasarjana Universitas Diponogoro, Semarang.
Supriharyono. 2000. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R & D. Alfabeta.
Bandung

Anda mungkin juga menyukai