Bahan - Hati Nurani Saja 2018
Bahan - Hati Nurani Saja 2018
Pengantar:
“Petunjuk moral sbg norma-norma objektif moralitas dapat dibandingkan dengan papan-papan
penunjuk di pinggir jalan; mereka menunjuk arah yang harus ditempuh seorang petualang agar dapat
sampai ke tujuannya. Namun adanya papan penunjuk itu saja belum cukup. Ia membutuhkan indra yang
dapat memahami tanda tersebut dan memilih tanda yang bermakna baginya dari antara petunjuk-
petunjuk itu, indra yang juga membantu dia di tempat di mana tidak ada petujuk. Dia juga membutuhkan
pengetahuan tentang tujuan yang hendak dicapainya. Indra ini adalah hati nurani manusia. Hati nurani
merupakan suatu kemampuan moral yang dapat mengatakan secara subyektif kepada seorang pribadi
akan apa yang baik dan yang jahat dan apa yang menjadi kewajiban moralnya.” (Pesckhe, hlm. 181).
Namun acuan pada hati nurani juga memunculkan beberapa pertanyaan. Atas nama hati nurani
orang menggugat negara dan UU. Atas nama nurani orang meninggalkan tatanan nilai dalam masyarakat.
Atas nama nurani orang melepaskan diri dari tradisi dan tidak menaati petunjuk-petunjuk yang diajarkan
oleh otoritas. Kita melihat munculnya kecenderungan “privatisasi” hati nurani, yakni merujuk semata
pada “tanggungjawab pribadi” dengan melandaskan diri pada kenyataan bahwa hati nurani tidak
bertanggungjawab pada orang lain, dan juga tidak dapat diuji. Konsep yang tersebar luas adalah bahwa
keputusan moral merupakan urusan pribadi seseorang. Dengan demikian hati nurani menjadi suatu
konsep alternatif dari norma dan hukum moral. Timbul kesan juga bahwa norma-norma hanya ada untuk
mereka yang belum dewasa, sedangkan hati nurani berlaku bagi mereka yang sudah dewasa. Dalam
konteks ini, menonjolkan hati nurani lantas menjadi alibi paling enteng untuk menolak pengujian dan
koreksi terhadap diri, dan sebagai alat untuk mengamakan kedegilan hati, yang terutama ditemukan
pada semua pembenaran ideologis. Singkat kata, hati nurani merupakan gejala dan realitas yang
kompleks.
Dalam moral kristiani tidak ada pemecahan yang sudah selesai dan tinggal pakai. Perlu selalu orientasi
akan sesama, Tuhan, dan diri sendiri.
III. Beberapa ungkapan yang mendekati gagasan hati nurani: “hati” dan “kebijaksanaan”.
A. Hati (kardia)
1. Dalam Injil:
a. lukisan-lukisan psikologis: penyesalan Petrus, putus asa Yudas
b. ungkapan hati: menjauhkan legalisme, menonjolkan pentingnya sikap batin.
Para penginjil tidak bersandar pada paham hatinurani filsafat popular Stoa yg lebih menonjolkan segi
pengetahuan hatinurani, melainkan pada ungkapan hati Perjanjian Lama yang lebih dikaitkan dengan
hati.
- hati sbg saksi nilai moral perbuatan: Luk 16:15
- hati sbg sumber hidup moral: Mrk 7:21-22
2. Dalam teks-teks lain: dalam teks Paulus dan teks-teks lain:
hati sbg saksi nilai moral perbuatan: 1Yoh 3:20-21, Kis 1:24
Hati sbg sumber hidup moral: Kis 5:4
Hati sbg penangkap nilai-nilai moral: Kis 7:51; 9:9
B. Kebijaksanaan
1. Dalam Injil:
a. Yesus menganjurkan kebijaksanaan: Luk 6:8; Mat 25:1-13
b. kebijaksanaan sejati: Luk 12:16-20, Mat 6:33
2. dalam teks-teks lain:
a. Paulus: Kebijaksanaan perlu untuk menentukan apa yang harus dilakukan: 1Kor 10:1-13.
b. teks lain: Yak 1:5; 3:17; 1Ptr 1:13 dst.
III. GEJALA & TAFSIRAN HATINURANI DI JAMAN BARU DAN ABAD XIX-XX
Kecenderungan yg menonjol: individualisme.
Di luar Gereja: filsafat idealisme Jerman: I. Kant.
4
a. arti hatinurani: instansi otonom yg menyodorkan diri kpd manusia sbg „kategori imperatif“ sbg
tuntutan mutlak.
b. kritik: pahan hatinurani Kant terlalu formal. Pada Kant hanya berfungsi sbg norma normans. Selain itu,
dimensi transenden tidak tampak.
Sementara itu dalam Gereja/teologi katolik, ajaran tentang HN masih ikut ajaran skolastik abad
pertengahan. Tapi ada desakan kebutuhan utk praktek. Ini dipengaruhi oleh:
a. perselisihan tentang „sistem-sistem moral“: berhubungan dgn soal hatinurani yg ragu-ragu, atau lebih
tepat mengenai tese „lex dubia non obligat“ (hukum yang diragukan berlakunya tidak mewajibkan).
b. pengaruh kasuistik: Kemerosotan mutu teologi moral: pembahasan bersemangat yuridis-kasuistis-
minimalis.
Ajaran mengenai HN yang lebih mendalam ditemukan dalam Konsili Vatikan II: GS, NA, DH. Ajaran yang
sangat mendasar dirumuskan dalam GS 16:
„ Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya
sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan
melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu
menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia
menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu ... Hati
nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama
Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib
hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama. Atas
kesetiaan terhadap hati nurani Umat kristiani bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari
kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak persoalan moral, yang
timbul baik dalam hidup perorangan maupun dalam hidup kemasyarakatan. Oleh karena itu
semakin besar pengaruh hati nurani yang cermat, semakin jauh pula pribadi-pribadi maupun
kelompok-kelompok menghindar dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka
berusaha untuk mematuhi norma-norma kesusilaan yang objektif. Akan tetapi tidak jaranglah
terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi, tanpa kehilangan
martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang orang, yang tidak peduli untuk mencari
apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir
menjadi buta“ (GS 16)
Beberapa unsur yang ditonjolkan:
- seruan hatinurani untuk berbuat baik, dan kewajiban manusia untuk taat kepada seruan itu.
- dasar HN terletak pada Tuhan. Martabat manusia terletak dalam ketaatan kepadanya
- ciri dialogis HN ditonjolkan
- ikatan oleh HN diri sendiri bagi semua orang
- kewajiban menyesuaikan HN dengan norma obyektif
- kesesatan hatinurani tak boleh diremehkan
- ditekankan perlunya pembinaan HN dan Peranan Gereja dalam pembentukan HN.
2. Di luar Gereja: pengaruh penafsiran hati nurani dalam psikologi, terutama psikologi analitis dari Freud,
Adler, Jung dll.
1. PENGERTIAN HATINURANI.
5
Hati nurani merupakan gejala dan realitas yang kompleks. Hakekat hatinurani tidak dapat diungkapkan
dengan satu pengertian saja. Juga tidak dapat ditangkap tanpa memperhatikan tahap-tahap
perkembangannya. Dkl. Hati nurani bukanlah suatu realitas yang statis, ditangkap satu kali dan
selamanya demikian. Hati nurani yang baik dan benar adalah dibentuk dan dibina terus menerus seumur
hidup.
Apa yang diterjemahkan dengan „hati nurani“ sebetulnya menyangkut dua hal:
Conscientia habitualis: pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum dan pertama. Ini suatu yang habitual,
yakni berupa kemudahan/kesediaan untuk mengenal prinsip-prinsip yang pertama yang evident.
Conscientia actualis: pengetahuan pribadi konkret tentang baik buruknya sesuatu sekarang dan di sini;
ini umumnya suatu aplikasi synderesis pada situasi konkret.
Hati nurani dalam arti yang lebih langsung dan lebih sempit mengacu pada conscientia actualis ini.
2. Hati nurani tumpul dan buta: keduanya hampir sama, hanya perbedaan gradasi.
HN tumpul terjadi bila tingkat kekurangpekaan itu begitu tinggi/parah sehingga dikatakan sudah tumpul
(menjadi tumpul = pernah cukup tajam). Bila belum pernah peka/tajam, maka dapat disebut buta sama
sekali.
Ketumpulan atau kebutaan HN dapat menyeluruh, dapat pula sektoral, artinya hanya dalam bidang-
bidang tertentu atau dalam perkara-perkara tertentu. Dapat pula bukan hanya individual (satu dua
orang), tetapi secara kolektif (seluruh kelompok, bangsa, jaman).
Tidak dimaksudkan kesalahan kolektif (sebab kesalahan itu pada hakekatnya bersifat personal).
Melainkan, untuk menunjukkan kemungkinan dan fakt ada hatinurani dari jaman tertentu, manusia
kelompok tertentu yang buta/tumpul terhadap nilai-nilai tertentu.
Contoh: sikap thd perbudakan jaman dulu, budaya korupsi dll jaman sekarang.
B. CONSCIENTIA ACTUALIS:
Hakekatnya: pengetrapan synderesis (conscientia habitualis) untuk situasi konkret di sini sekarang ini.
Dua aspek yang berkaitan: proses pengambilan keputusan dan keputusan itu sendiri.
Proses Pengambilan keputusan: Pada umumnya dalam hal-hal biasa, pengambilan keputusan terjadi
hampir secara “otomatis” atau dengan sendirinya tanpa pertimbangan lama. Hanya bila timbul kesulitan
karena keadaan yang luar biasa maka pengambilan keputusan membutuhkan proses pertimbangan yang
lebih masak.
Prosesnya: bila ada hal yang tidak jelas, budi akan mempertimbangan pro dan kontra, kemudian hati
nurani akhirnya akan menentukan keputusan terakhir untuk suatu situasi konkret yang dihadapi.
Biasanya melalui suatu silogisme, tetapi bisa juga unsur-unsur intuitif, emosi dan segi-segi afektif
mempengaruhi. Proses ini termasuk suatu yang personal-formal sehingga tanggungjawab moral
dibebankan sepenuhnya pada pribadi.
Hal keputusan/perintah hati nurani (dictamen conscientiae): pada dasarnya merupakan sesuatu dari
budi, tetapi tak selalu berarti pertimbangan tapak demi tapak dari budi, melainkan dapat juga pengertian
yang lebih bersifat intuitif.
Hati nurani berperan dalam tahap-tahap pengambilan keputusan konkret pribadi:
- pada tahap sebelum pelaksanaan (conscientia habitualis tampil ke depan forum pertimbangan).
- pada tahap pengambilan keputusan
- pada tahap pelaksanaan perbuatan.
Sebutan ini dapat menimbulkan salah paham, seolah-olah dalam hatinurani ditangkap scr magis inspirasi
Tuhan. Selain itu bisa timbul kesulitan sehubungan dengan kasus hati nurani yang tersesat: mungkinkah
suara Tuhan juga bisa tersesat? Juga ada bahaya terlalu cepat melibatkan Tuhan secara naif.
Di pihak lain, ungkapan ini bermaksud untuk mengingatkan dan mencetuskan segi religius-dialogis hati
nurani!
Ungkapan ini adalah bahasa metafor (kiasan) utk menunjukkan bahwa HN bukanlah melulu sesuatu yang
immanent (dari dunia manusia belaka), melainkan mempunyai segi religius-dialogis. HN merupakan
forum pertemuan dengan Tuhan. GS 16.
Hubungan antara Tuhan dan manusia bersifat dialogis, dan moral kristiani bersifat responsoris: manusia
dipanggil dan menjawab melalui hidup/tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, dalam
hatinuraninya manusia bertanggungjawab di hadapan Tuhan: ia melaksanakan kehendak Tuhan seperti
yang ditangkap dalam hatinuraninya lewat proses yang bisa jadi berbelit-belit, kompleks.
Inilah sebabnya adalah bukan jaminan bahwa isi hati nurani atau keputusan hatinurani seorang pribadi
selalu sesuai dengan kehendak Allah.
Tetapi, di atas itu semua, tetap dipahami bahwa hubungan antarpribadi ini bersumberkan pada
kehendak baik yang timbul dari lubuk hati manusia: memang dapat tersesat, tetapi kebaikan pribadi
tetap.
3. DAYA IKAT HN
Prinsip-prinsip mengenai daya ikat HN dalam keadaan-keadaan tertentu:
Dalam kehidupan, HN sering berada dalam keadaan-keadaan tertentu yang kemudian menimbulkan soal
mengenai bagaimana daya ikat HN dalam keadaan-keadaan tsb.
Terutama dibahas 2 keadaan: HN sesat dan HN ragu-ragu.
Prinsip umum: conscientia vera dan certa sbg norma terdekat dan ideal!
Norma moral subyektif seharusnya ialah conscientia vera (HN yg benar) dan HN yang pasti.
Semua pribadi manusia mempunyai tugas/kewajiban untuk mempunyai HN yang demikian.
Soal kepastian: tidak dituntut kepastian 100%, melainkan kepastian moral dalam arti luas.
Setiap pribadi wajib berusaha mendapatkan conscientia certa.
Namun ini tidak boleh ditafsirkan terlalu ketat, sebab tidak jarang suatu masalah belum dapat
dijernihkan secara total/sangat memuaskan sementara keputusan tak dapat ditangguhkan.
Bagaimana dengan kasus perpleksif (=berbuat atau tidak, ini atau itu, selalu tampak salah)?
Jalan keluar:
- menunda keputusan
- bila tak dapat ditunda, maka boleh memilih “minus malum” (keburukan yang lebih kecil)
- bila inipun tak bisa ditentukan, orang bebas memilih salah satu dari kemungkinan-kemungkinan.
Dalam skolastik, prudentia bertugas sbg penuntun keutamaan-keutamaan pokok lainnya, untuk
mengkoordinir perbuatan, menyesuaikannya dengan situasi.
Segi-segi prudentia:
- pertimbangan dan konsultasi
- menilai situasi dan menyuruh
Prinsip Epikeia:
adalah prinsip yg bertugas untuk menjembatani jurang yang ada antara hukum-hukum umum dan situasi
konkret serta perbuatan-perbuatan yang terikat oleh kondisi-kondisi konkret.
Tugas ini dilakukan dengan memberikan penafsiran yang sewajarnya tentang hukum.
Apabila ketaatan pada hukum menurut bunyi kata-katanya (harafiah) itu malahan berlawanan dengan
maksud atau arti hukum itu sendiri, maka menurut penafsiran berdasarkan epikeia orang dibebaskan
dari daya-wajib hukum.
Epikeia mengandaikan dan membutuhkan prudentia.
Penutup:
Hati nurani bukan sesuatu yang statis.
Ia harus dibentuk terus menerus menuju HN yang baik dan benar. Di sinilah disadari perlunya pendidikan
moral menuju kedewasaan kristiani dalam bidang moral.
Disarikan dari:
GO, Piet OCarm, Teologi Moral Fundamental (diktat), Malang: STFT Widya Sasana, 1999.
GO, Piet OCarm, Teologi Moral Dasar, Malang: Dioma, 2007.