Anda di halaman 1dari 9

BAHAN KULIAH: HATI NURANI

Pengantar:
“Petunjuk moral sbg norma-norma objektif moralitas dapat dibandingkan dengan papan-papan
penunjuk di pinggir jalan; mereka menunjuk arah yang harus ditempuh seorang petualang agar dapat
sampai ke tujuannya. Namun adanya papan penunjuk itu saja belum cukup. Ia membutuhkan indra yang
dapat memahami tanda tersebut dan memilih tanda yang bermakna baginya dari antara petunjuk-
petunjuk itu, indra yang juga membantu dia di tempat di mana tidak ada petujuk. Dia juga membutuhkan
pengetahuan tentang tujuan yang hendak dicapainya. Indra ini adalah hati nurani manusia. Hati nurani
merupakan suatu kemampuan moral yang dapat mengatakan secara subyektif kepada seorang pribadi
akan apa yang baik dan yang jahat dan apa yang menjadi kewajiban moralnya.” (Pesckhe, hlm. 181).
Namun acuan pada hati nurani juga memunculkan beberapa pertanyaan. Atas nama hati nurani
orang menggugat negara dan UU. Atas nama nurani orang meninggalkan tatanan nilai dalam masyarakat.
Atas nama nurani orang melepaskan diri dari tradisi dan tidak menaati petunjuk-petunjuk yang diajarkan
oleh otoritas. Kita melihat munculnya kecenderungan “privatisasi” hati nurani, yakni merujuk semata
pada “tanggungjawab pribadi” dengan melandaskan diri pada kenyataan bahwa hati nurani tidak
bertanggungjawab pada orang lain, dan juga tidak dapat diuji. Konsep yang tersebar luas adalah bahwa
keputusan moral merupakan urusan pribadi seseorang. Dengan demikian hati nurani menjadi suatu
konsep alternatif dari norma dan hukum moral. Timbul kesan juga bahwa norma-norma hanya ada untuk
mereka yang belum dewasa, sedangkan hati nurani berlaku bagi mereka yang sudah dewasa. Dalam
konteks ini, menonjolkan hati nurani lantas menjadi alibi paling enteng untuk menolak pengujian dan
koreksi terhadap diri, dan sebagai alat untuk mengamakan kedegilan hati, yang terutama ditemukan
pada semua pembenaran ideologis. Singkat kata, hati nurani merupakan gejala dan realitas yang
kompleks.

Pengertian/istilah hati nurani.


Istilah utk hati nurani dlm bhs Latin: conscientia (cum = bersama, scientia = pengetahuan; conscientia =
pengetahuan bersama (yg dimiliki oleh yang lain)
Dlm bahasa Indonesia: Hati nurani (hati yang diterangi oleh cahaya)
Apa yang diterjemahkan dengan „hati nurani“ sebetulnya menyangkut dua hal:
- Conscientia habitualis: pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum dan pertama. Ini suatu yang habitual
(membiasa, melekat pada diri), yakni berupa kemudahan/kesediaan untuk mengenal prinsip-prinsip yang
pertama yang evident.
- Conscientia actualis: pengetahuan pribadi konkret tentang baik buruknya sesuatu sekarang dan di sini;
ini umumnya suatu aplikasi synderesis pada situasi konkret.
Hati nurani dalam arti yang lebih langsung dan lebih sempit mengacu pada conscientia actualis ini.

I. GEJALA DAN TAFSIRAN HATI NURANI DALAM KITAB SUCI


I. Dalam Perjanjian Lama: Tidak ada terminus khusus.
Namun ada beberapa lukisan dan ungkapan untuk pengalaman hati nurani:
1. Gejala hati nurani sbg pengalaman di hadapan Tuhan: bdk Adam dan Hawa
2. pemakaian “lev” (hati) sebagai ungkapan untuk gejala hati nurani:
fungsi “lev” sbg hati nurani:
- hati sbg saksi nilai moral perbuatan
- hati sbg ‘tempat’ interiorisasi hukum
- hati sbg sumber hidup kesusilaan
- hati sbg pengal nilai-nilai kesusilaan
- tobat hati
Di samping itu, hati nurani dikaitkan dengan hikmat-hikmat kebijaksanaan
Hikmat-kebijaksanaan mempunyai peran penting baik dalam bidang profan dan dalam bidang kesusilaan.
Hakekat hikmat-kebijaksanaan: 2 unsur
a. sifat intelektual
b. disposisi moral
2

II. Dalam Perjanjian Baru:


Paulus: memakai kata “syneidesis”:
Namun, menurut para ahli KS, Paulus tidak memakai istilah ini dalam kaitannya dengan dunia filsafat
Yunani, melainkan mengambilnya dari tradisi budaya bangsanya. Sumbangan Paulus:
a. hubungan dengan gagasan hati: identifikasi – Rom 2:14-15
b. dalam cahaya kebebasan kristiani

Menyangkut peranan syneidesis, ada 2 hal:


1. jangkauan syneidesis: berkaitan dengan norma normans (norma yang kemudian menjadi pengukur
norma yang lainnya)
a. syneidesis sbg kesadaran diri pengenal serta pelaku
b. daya wajib hati nurani: daya wajib begitu kuar shg keputusannya harus diikuti, juga bila
tersesat (bdk 1 Kor 8:7).
2. batas-batas peranan hati nurani: berkaitan dengan norma normata (norma yang harus
dikonfrontir/dibatasi dengan norma lain; tetapi terlebih berkaitan dengan hukum cinta kasih yang
mendesak orang kristen untuk memperhatikan orang lain meskipun obyektif ia benar)

Dalam moral kristiani tidak ada pemecahan yang sudah selesai dan tinggal pakai. Perlu selalu orientasi
akan sesama, Tuhan, dan diri sendiri.

III. Beberapa ungkapan yang mendekati gagasan hati nurani: “hati” dan “kebijaksanaan”.
A. Hati (kardia)
1. Dalam Injil:
a. lukisan-lukisan psikologis: penyesalan Petrus, putus asa Yudas
b. ungkapan hati: menjauhkan legalisme, menonjolkan pentingnya sikap batin.
Para penginjil tidak bersandar pada paham hatinurani filsafat popular Stoa yg lebih menonjolkan segi
pengetahuan hatinurani, melainkan pada ungkapan hati Perjanjian Lama yang lebih dikaitkan dengan
hati.
- hati sbg saksi nilai moral perbuatan: Luk 16:15
- hati sbg sumber hidup moral: Mrk 7:21-22
2. Dalam teks-teks lain: dalam teks Paulus dan teks-teks lain:
hati sbg saksi nilai moral perbuatan: 1Yoh 3:20-21, Kis 1:24
Hati sbg sumber hidup moral: Kis 5:4
Hati sbg penangkap nilai-nilai moral: Kis 7:51; 9:9

B. Kebijaksanaan
1. Dalam Injil:
a. Yesus menganjurkan kebijaksanaan: Luk 6:8; Mat 25:1-13
b. kebijaksanaan sejati: Luk 12:16-20, Mat 6:33
2. dalam teks-teks lain:
a. Paulus: Kebijaksanaan perlu untuk menentukan apa yang harus dilakukan: 1Kor 10:1-13.
b. teks lain: Yak 1:5; 3:17; 1Ptr 1:13 dst.

II. GEJALA DAN TAFSIRAN HATI NURANI DALAM SEJARAH


Gejala dan tafsiran tentang hati nurani dapat ditemukan dalam budaya-budaya kuno lainnya. Dalam
Patristik: para Bapa Gereja belum mengajarkan sendiri.
1. Beberapa gagasan:
a. hatinurani sbg saksi dan hakim serta norma yang membimbing
b. subyek yang bertanggungjawab
2. beberapa tokoh utama: di Timur: Origenes, di Barat: St. Agustinus.
Hati nurani menurut St. Agustinus:
- organ religius yg membuat manusia terbuka thd realitas transenden
3

- tempat dialog antara Tuhan dan jiwa


- pembawa kesadaran moral, hatinurani fungsional
- ada keterarahan religius hatinurani
Menurut Hieronimus: synderesis dipakai sbg ganti syneidesis
Pembedaan arti: Synderesis: hati nurani pada umumnya, pengetahuan spekulatif ttg prinsip-prinsip
umum moral, habitual; Syneidesis: hatinurani khusus, aktual sama dengan conscientia.

Dalam jaman skolastik: Ajaran Hati nurani Thomas Aquinas


Pada awal St. Thomas tidak berani berbeda karena wibawa Hieronimus yang kuat; baru dalam ST I q.79
art. 12 berani berbeda dgn menyajikan pendapatnya sendiri.
Apakah synderesis itu? Bagaimana hubungannya dengan hukum kodrat dan conscientia actualis?
1. Synderesis menurut Thomas.
Hakekat synderesis: analogi perbandingan ratio speculativa dan ratio practica.
Kutipan: “Maka haruslah prinsip-prinsip perbuatan merupakan pembawaan natural bagi kita spt prinsip-
prinsip pemikiran. Adapun prinsip-prinsip pertama pemikiran yang adalah pembawaan natural kita tidak
termasuk dalam suatu kemampuan khusus, melainkan merupakan suatu habitus yang disebut pengertian
prinsip-prinsip. Maka dari itu juga prinsip-prinsip perbuatan pembawaan natural kita bukanlah suatu
kemampuan khusus, melainkan suatu habitus natural, yang kita sebut synderesis. Maka synderesis
disebut mengajak kepada apa yang baik dan menegur keburukan, sejauh dengan prinsip-prinsip pertama
itu kita berusaha mencari dan menilai apa yang kita temukan. Maka synderesis bukanlah kemampuan,
melainkan habitus naturalis.”
Catatan: Istilah habitus sukar diterjemahkan: natural, innate skill, ability. Habitus naturalis membuat
manusia sedia, mudah melakukan sesuatu. Jadi menyangkut soal disposisi pembawaan yang sedia,
mudah dsb.

Hubungan antara synderesis, conscientia dan lex naturalis:


sebutan hukum kodrat (lex naturalis) cocok untuk prinsip-prinsip umum hukum
sebutan synderesis untuk habitus yang merumuskan atau kemampuan yang diikutsertakan habitus,
sedangkan sebutan conscientia untuk pengetrapan hukum kodrat untuk suatu perbuatan dengan
menarik kesimpulan. Jadi skemanya:
- lex naturalis dgn prinsip-prinsip umumnya
- synderesis sbg conscientia habitualis
- conscientia sbg aplikasi dan disebut sbg conscientia actualis.
Catatan: Thomas lebih suka mereservir istilah conscientia untuk conscientia actualis.

2. Hal daya ikat hati nurani.


a. persoalan: jaman sebelum Thomas menghadapi dilemma: antara Rom 14:23 dan teks Agustinus
(perintah wibawa yang lebih rendah tidak mengikat bila bertentangan dgn perintah kuasa yang lebih
tinggi, misalnya bila proconsul memerintahkan sesuatu ygn dilarang kaisar)
tiada kesepakatan soal daya ikat hatinurani.
b. pemecahan Thomas:
obyek kehendak ialah bonum (=apa yang baik, kebaikan), tetapi bukan bonum in se begitu saja,
melainkan sejauh disajikan budi. Dalam hal ini, budi memang dapat tersesat, tetapi yang dikehendaki
tetaplah ditinjau dari segi kebaikan (sub ration bonitatis).
Meskipun apa yng diperintahkan hatinurani yg tersesat itu tidak sesuai dengan hukum Tuhan, namun
diterima oleh orang yang sesat sebagai hukum Tuhan sendiri; maka, sebetulnya, bila ia menjauhkan diri
daripadanya, ia menjauhkan diri dari hukum Tuhan; meskipun per accidens ia tidak menjauhkan diri dari
hukum Tuhan.

III. GEJALA & TAFSIRAN HATINURANI DI JAMAN BARU DAN ABAD XIX-XX
Kecenderungan yg menonjol: individualisme.
Di luar Gereja: filsafat idealisme Jerman: I. Kant.
4

a. arti hatinurani: instansi otonom yg menyodorkan diri kpd manusia sbg „kategori imperatif“ sbg
tuntutan mutlak.
b. kritik: pahan hatinurani Kant terlalu formal. Pada Kant hanya berfungsi sbg norma normans. Selain itu,
dimensi transenden tidak tampak.

Sementara itu dalam Gereja/teologi katolik, ajaran tentang HN masih ikut ajaran skolastik abad
pertengahan. Tapi ada desakan kebutuhan utk praktek. Ini dipengaruhi oleh:
a. perselisihan tentang „sistem-sistem moral“: berhubungan dgn soal hatinurani yg ragu-ragu, atau lebih
tepat mengenai tese „lex dubia non obligat“ (hukum yang diragukan berlakunya tidak mewajibkan).
b. pengaruh kasuistik: Kemerosotan mutu teologi moral: pembahasan bersemangat yuridis-kasuistis-
minimalis.

B. Penafsiran gejala HN dalam abad XIX-XX


1. Dalam Gereja:
Sikap/ajaran beberapa paus abad XIX:
- Paus Gregorius VII: kebebasan hatinurani sbg tak masuk akal
- Pius IX: kebebasan hatinurani: kebebasan kemusnahan.

Ajaran mengenai HN yang lebih mendalam ditemukan dalam Konsili Vatikan II: GS, NA, DH. Ajaran yang
sangat mendasar dirumuskan dalam GS 16:
„ Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya
sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyerukan kepadanya untuk mencintai dan
melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana perlu, suara itu
menggemakan dalam lubuk hatinya: jauhkanlah ini, elakkanlah itu. Sebab dalam hatinya manusia
menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah mematuhi hukum itu ... Hati
nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya; di situ ia seorang diri bersama
Allah, yang sapaanNya menggema dalam batinnya. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib
hukum, yang dilaksanakan dalam cinta kasih terhadap Allah dan terhadap sesama. Atas
kesetiaan terhadap hati nurani Umat kristiani bergabung dengan sesama lainnya untuk mencari
kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak persoalan moral, yang
timbul baik dalam hidup perorangan maupun dalam hidup kemasyarakatan. Oleh karena itu
semakin besar pengaruh hati nurani yang cermat, semakin jauh pula pribadi-pribadi maupun
kelompok-kelompok menghindar dari kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka
berusaha untuk mematuhi norma-norma kesusilaan yang objektif. Akan tetapi tidak jaranglah
terjadi bahwa hati nurani tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi, tanpa kehilangan
martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang orang, yang tidak peduli untuk mencari
apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir
menjadi buta“ (GS 16)
Beberapa unsur yang ditonjolkan:
- seruan hatinurani untuk berbuat baik, dan kewajiban manusia untuk taat kepada seruan itu.
- dasar HN terletak pada Tuhan. Martabat manusia terletak dalam ketaatan kepadanya
- ciri dialogis HN ditonjolkan
- ikatan oleh HN diri sendiri bagi semua orang
- kewajiban menyesuaikan HN dengan norma obyektif
- kesesatan hatinurani tak boleh diremehkan
- ditekankan perlunya pembinaan HN dan Peranan Gereja dalam pembentukan HN.

2. Di luar Gereja: pengaruh penafsiran hati nurani dalam psikologi, terutama psikologi analitis dari Freud,
Adler, Jung dll.

IV. PENJELASAN SISTEMATIS:

1. PENGERTIAN HATINURANI.
5

Hati nurani merupakan gejala dan realitas yang kompleks. Hakekat hatinurani tidak dapat diungkapkan
dengan satu pengertian saja. Juga tidak dapat ditangkap tanpa memperhatikan tahap-tahap
perkembangannya. Dkl. Hati nurani bukanlah suatu realitas yang statis, ditangkap satu kali dan
selamanya demikian. Hati nurani yang baik dan benar adalah dibentuk dan dibina terus menerus seumur
hidup.
Apa yang diterjemahkan dengan „hati nurani“ sebetulnya menyangkut dua hal:
Conscientia habitualis: pengetahuan tentang prinsip-prinsip umum dan pertama. Ini suatu yang habitual,
yakni berupa kemudahan/kesediaan untuk mengenal prinsip-prinsip yang pertama yang evident.
Conscientia actualis: pengetahuan pribadi konkret tentang baik buruknya sesuatu sekarang dan di sini;
ini umumnya suatu aplikasi synderesis pada situasi konkret.
Hati nurani dalam arti yang lebih langsung dan lebih sempit mengacu pada conscientia actualis ini.

A. CONSCIENTIA HABITUALIS: SYNDERESIS


adalah sikap natural yang mengarahkan pribadi manusia kepada apa yang obyektif benar dan baik, yang
pada akhirnya pada Allah sendiri.
Budi manusia mengakui bonum (apa yang baik) sebagai tujuan, dan kemudian digerakkan kepada oelh
cinta akan apa yang baik itu dalam kehendak. Di sinilah dinamika synderesis: kesatuan budi dan
kehendak dalam lubuk hati manusia.
Peranan synderesis:
- mengajukan prinsip-prinsip pertama yang diketahui
- menciptakan dalam lubuk hati manusia ajakan utk mengungkapkan keterarahannya kepada
tujuan terakhir (Allah sendiri) dengan perbuatan-perbuatan konkret yang baik.
Hati nurani berkaitan erat dengan pengetahuan moral: manusia hanya dapat melaksanakan kehendak
Tuhan dengan bebas bila ia mengenal/mengetahui kehendak Tuhan itu.
Sumber pengetahuan ini bisa beraneka macam:
- pengetahuan yang diterima dari wahyu
- pengetahuan yang diperoleh karena pengajaran dan pemikiran
- pengetahuan yang bersifat intuitif
peranan budi memang ditonjolkan, tetapi bagi moral katolik, budi yang dimaksud bukanlah budi semata
melainkan budi yang diterangi oleh iman (ratio fide illustrata).

Sifat-sifat conscientia habitualis:


Bisa dibagi menjadi dua kelompok bila dipandang dari sudut kepekaan/keterbukaannya thd nilai-nilai
moral: di satu pihak bisa kurang peka (per defectum), di lain pihak bisa terlalu peka (per excessum).
Hati nurani yang ideal seharusnya tidak terlalu dan tidak kurang, melainkan tepat: conscientia tenera
(halus, tajam) dan vigilans (waspada, berjaga-jaga).
- mempunyai kecakapan (habitus) untuk mengenal (mempunyai pandangan yang tajam) mengenai
perbedaan-perbedaan yang halus, bukan hanya dalam penilaian budi, melaiknkan juga dalam
reaksi total dari pribadi manusia.
- Sekaligus disertai suatu kewaspadaan, yaitu kesediaan untuk menyatakan reaksi/sikap terhadap
nilai-nilai moral.

Ketimpangan-ketimpangan dari conscientia habitualis:


a. Yang berkaitan dengan kekurang pekaan:
1. Hati nurani yang kurang peka, dibedakan:
(i) conscientia lata (luas) : cenderung menyempitkan tuntutan moral, dan meluaskan ruang kebebasan.
(ii) Conscientia laxa : cenderung utk memperbolehkan apa yang terlarang walaupun tanpa alasan yang
cukup, atau menganggap remeh apa yang besar. Bisa diperinci:
- conscientia cauteriata : menekan keputusan hatinurani sejati atau melunakkannya terutama
untuk diri sendiri.
- Conscientia pharisaica: ketat dalam hal-hal remeh, tetapi lembek-murah dalam banyak hal yang
berat.
6

2. Hati nurani tumpul dan buta: keduanya hampir sama, hanya perbedaan gradasi.
HN tumpul terjadi bila tingkat kekurangpekaan itu begitu tinggi/parah sehingga dikatakan sudah tumpul
(menjadi tumpul = pernah cukup tajam). Bila belum pernah peka/tajam, maka dapat disebut buta sama
sekali.
Ketumpulan atau kebutaan HN dapat menyeluruh, dapat pula sektoral, artinya hanya dalam bidang-
bidang tertentu atau dalam perkara-perkara tertentu. Dapat pula bukan hanya individual (satu dua
orang), tetapi secara kolektif (seluruh kelompok, bangsa, jaman).
Tidak dimaksudkan kesalahan kolektif (sebab kesalahan itu pada hakekatnya bersifat personal).
Melainkan, untuk menunjukkan kemungkinan dan fakt ada hatinurani dari jaman tertentu, manusia
kelompok tertentu yang buta/tumpul terhadap nilai-nilai tertentu.
Contoh: sikap thd perbudakan jaman dulu, budaya korupsi dll jaman sekarang.

b. Yang berkaitan dengan “terlalu peka”: HN terlalu peka.


Dikenal dua tipe:
a. conscientia angusta (sempit): disposisi habitual untuk menilai lebih keras/ketat daripada yang
sewajarnya
b. conscientia scrupulosa: pikiran obsesif penuh ketakutan, terlalu takut untuk melakukan
kesalahan, dalam hal-hal kecil sekalipun.

B. CONSCIENTIA ACTUALIS:
Hakekatnya: pengetrapan synderesis (conscientia habitualis) untuk situasi konkret di sini sekarang ini.
Dua aspek yang berkaitan: proses pengambilan keputusan dan keputusan itu sendiri.
Proses Pengambilan keputusan: Pada umumnya dalam hal-hal biasa, pengambilan keputusan terjadi
hampir secara “otomatis” atau dengan sendirinya tanpa pertimbangan lama. Hanya bila timbul kesulitan
karena keadaan yang luar biasa maka pengambilan keputusan membutuhkan proses pertimbangan yang
lebih masak.
Prosesnya: bila ada hal yang tidak jelas, budi akan mempertimbangan pro dan kontra, kemudian hati
nurani akhirnya akan menentukan keputusan terakhir untuk suatu situasi konkret yang dihadapi.
Biasanya melalui suatu silogisme, tetapi bisa juga unsur-unsur intuitif, emosi dan segi-segi afektif
mempengaruhi. Proses ini termasuk suatu yang personal-formal sehingga tanggungjawab moral
dibebankan sepenuhnya pada pribadi.

Hal keputusan/perintah hati nurani (dictamen conscientiae): pada dasarnya merupakan sesuatu dari
budi, tetapi tak selalu berarti pertimbangan tapak demi tapak dari budi, melainkan dapat juga pengertian
yang lebih bersifat intuitif.
Hati nurani berperan dalam tahap-tahap pengambilan keputusan konkret pribadi:
- pada tahap sebelum pelaksanaan (conscientia habitualis tampil ke depan forum pertimbangan).
- pada tahap pengambilan keputusan
- pada tahap pelaksanaan perbuatan.

Sifat-sifat/keadaan conscientia actualis dapat dikelompokkan menjadi dua golongan:


a. dari sudut kesesuaian dengan norma obyektif: dibedakan antara conscientia vera (HN benar) dan
conscientia erronea (HN sesat).
b. Dari sudut tingkat kepastian:
(i) conscientia certa (HN yang pasti)
(ii) conscientia dubia (HN ragu-ragu): keraguan ini bisa menyangkut aturan atau faktanya
(dubium iuris atau dubium facti), bisa bersifat spekulatif atau praktis menyangkut
perbuatan konkret.
(iii) Conscientia probalis (HN probabel, cukup mungkin)
(iv) Conscientia perplexa (apapun yang diperbuat selalu salah)

2. Soal: HATI NURANI = SUARA TUHAN?


7

Sebutan ini dapat menimbulkan salah paham, seolah-olah dalam hatinurani ditangkap scr magis inspirasi
Tuhan. Selain itu bisa timbul kesulitan sehubungan dengan kasus hati nurani yang tersesat: mungkinkah
suara Tuhan juga bisa tersesat? Juga ada bahaya terlalu cepat melibatkan Tuhan secara naif.
Di pihak lain, ungkapan ini bermaksud untuk mengingatkan dan mencetuskan segi religius-dialogis hati
nurani!
Ungkapan ini adalah bahasa metafor (kiasan) utk menunjukkan bahwa HN bukanlah melulu sesuatu yang
immanent (dari dunia manusia belaka), melainkan mempunyai segi religius-dialogis. HN merupakan
forum pertemuan dengan Tuhan. GS 16.
Hubungan antara Tuhan dan manusia bersifat dialogis, dan moral kristiani bersifat responsoris: manusia
dipanggil dan menjawab melalui hidup/tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi, dalam
hatinuraninya manusia bertanggungjawab di hadapan Tuhan: ia melaksanakan kehendak Tuhan seperti
yang ditangkap dalam hatinuraninya lewat proses yang bisa jadi berbelit-belit, kompleks.
Inilah sebabnya adalah bukan jaminan bahwa isi hati nurani atau keputusan hatinurani seorang pribadi
selalu sesuai dengan kehendak Allah.
Tetapi, di atas itu semua, tetap dipahami bahwa hubungan antarpribadi ini bersumberkan pada
kehendak baik yang timbul dari lubuk hati manusia: memang dapat tersesat, tetapi kebaikan pribadi
tetap.

3. DAYA IKAT HN
Prinsip-prinsip mengenai daya ikat HN dalam keadaan-keadaan tertentu:
Dalam kehidupan, HN sering berada dalam keadaan-keadaan tertentu yang kemudian menimbulkan soal
mengenai bagaimana daya ikat HN dalam keadaan-keadaan tsb.
Terutama dibahas 2 keadaan: HN sesat dan HN ragu-ragu.
Prinsip umum: conscientia vera dan certa sbg norma terdekat dan ideal!
Norma moral subyektif seharusnya ialah conscientia vera (HN yg benar) dan HN yang pasti.
Semua pribadi manusia mempunyai tugas/kewajiban untuk mempunyai HN yang demikian.
Soal kepastian: tidak dituntut kepastian 100%, melainkan kepastian moral dalam arti luas.
Setiap pribadi wajib berusaha mendapatkan conscientia certa.
Namun ini tidak boleh ditafsirkan terlalu ketat, sebab tidak jarang suatu masalah belum dapat
dijernihkan secara total/sangat memuaskan sementara keputusan tak dapat ditangguhkan.

Bagaimana dgn conscientia erronea?


Tradisi dan ajaran Gereja spt tercetus dalam KV II mengakui dan menegaskan daya wajib HN sesat (HN
bisa tersesat, tetapi tanpa kehilangan martabatnya).
Kesesatan HN terletak dalam ketidakselarasan antara pemberian arti tertentu pada karya tertentu sejauh
arti itu in se (obyektif) di satu pihak, dan di lain pihak apa artinya bagiku (subyektif). Dkl, ketidakselarasan
antara norma obyektif dan norma subyektif.
Contoh: HN pribadi yang melarang berdoa di muka patung karena dianggap penyembahan berhala
(kesalahannya: pemberian arti mengenai arti doa di muka patung).

Bagaimana dengan conscientia dubia?


Prinsip moral tradisional: tak boleh berbuat bila HN ragu-ragu; orang tidak boleh ambil resiko (bahaya)
berbuat dosa. Tetapi bagaimana bila terpaksa harus memutuskan?
Pemecahan:
- secara langsung: dengan konsultasi pada para ahli atau dalam buku-buku, atau dengan penyelidikan
sendiri.
- secara tidak langsung: melalui prinsip-prinsip refleksi: diambil dari dunia hukum, misalnya lex dubia non
obligat (= hukum yang diragukan tak mengikat); in dubio standum est pro eo, pro quo stat praesumptio (=
dalam keragu-raguan orang harus berpegangan pada apa yang dibenarkan oleh presumsi); in dubio
iudicandum est ex ordinarie contingentibus (= dalam keragu-raguan orang harus menilai/memutuskan
menurut apa yang biasanya terjadi). Semua prinsip itu dapat diringkas menjadi satu prinsip: in dubio
standum est pro quo stat praesumptio (= dalam keragu-raguan orang harus berpegangan pada apa yang
dibenarkan oleh presumsi. Dua ekstrim yng harus dihindari: laxisme dan rigorisme.
8

Prinsip-prinsip refleksi selengkapnya (dari dunia hukum):


1. lex dubia non obligat (= hukum yang diragukan tak mengikat)
2. in dubio standum est pro eo, pro quo stat praesumptio (= dalam keragu-raguan orang harus
berpegangan pada apa yang dibenarkan oleh presumsi)
3. in dubio melior est condicio possidentis (= dalam keragu-raguan posisi orang yang sedang mempunyai
adalah lebih baik)
4. delictum non praesumitur, sed probari debet (= kejahatan tak boleh diandaikan, melainkan harus
dibuktikan)
5. in dubio favendum est pro reo (= dalam keragu-raguan orang harus menguntungkan si tertuduh)
6. in dubio praesumptio stat pro superiore (= dalam keragu-raguan preseumsi berada pada pihak
pembesar)
7. in dubio iudicandum est ex ordinarie contingentibus (= dalam keragu-raguan orang harus
menilai/memutuskan menurut apa yang biasanya terjadi)
8. in dubio standum est pro valore actus (= dalam keragu-raguan orang harus berpegangan pada syah-
nya perbuatan)
9 in dubio favores sunt ampliandi et odia restingenda (= dalam keragu-raguan hal-hal yang
menguntungkan harus diperluas, dan hal-hal yang tak disukai harus dipersempit)
10. in dubiis, quod minimum est tenendum (= dalam keragu-raguan orang harus berpegangan
pada/mempertahankan yang paling kecil.

Bagaimana dengan kasus perpleksif (=berbuat atau tidak, ini atau itu, selalu tampak salah)?
Jalan keluar:
- menunda keputusan
- bila tak dapat ditunda, maka boleh memilih “minus malum” (keburukan yang lebih kecil)
- bila inipun tak bisa ditentukan, orang bebas memilih salah satu dari kemungkinan-kemungkinan.

4. SOAL NORMA UMUM DAN SITUASI KONKRET


Dalam Tradisi, hubungan antara norma umum dan situasi konkret dapat diungkapkan dengan istilah
„pengetrapan/aplikasi“ dari norma umum pada kasus, yang hanyalah salah satu dari ribuan situasi yang
mungkin. Perbedaan antara kasus yang satu dengan yang lain hanyalah soal sampingan. Kasus dapat di
„tampung“ oleh norma umum.
Dalam konteks demikian, metode teologi moral bersifat kasuistis dgn silogisme deduktif.
⮚ Tese mayor: mengandung prinsip umum: dalam situasi ini harus dilakukan X
⮚ Tese minor: menyatakan adanya situasi/kondiri tsb sekarang ini dan di sini
⮚ Conclusio: mengubah mayor menjadi imperatif konkret yang jelas.
Dalam skema ini, HN hanya dipandang sbg fungsi yang mengenakan/mengetrapkan norma umum pada
kasus konkret.

Sarana-sarana tradisional untuk memecahkan soal situasi:


1. teori ttg prinsip penilaian perbuatan konkret “fontes moralitatis” (sumber penilaian: obyek, keadaan,
maksud pelaku). Secara khusus, perlu diperhatikan peran keadaan (circumstantiae): siapa, apa, dimana,
dengan saran apa, mengapa, bagaimana, bilamana. Tujuannya: mengetahui detail situasi konkret suatu
perbuatan konkret.

2. ajaran tentang prudentia (kebijaksanaan) dan epikia.


Prudentia =
- kecakapan untuk menemukan yang tepat/benar dari sudut moral dalam situasi konkret.
- Kesediaan, sikap batin yang membuat manusia siap/cakap/terlatih untuk mengenal kebenaran
dan untuk melakukan apa yang benar itu.
Jadi, bukan melulu kemampuan budi, melainkan juga kesediaan kehendak untuk berfungsi diagnotis dan
mendesak scr inspiratif untuk berbuat yang tepat dalam situasi.
9

Dalam skolastik, prudentia bertugas sbg penuntun keutamaan-keutamaan pokok lainnya, untuk
mengkoordinir perbuatan, menyesuaikannya dengan situasi.
Segi-segi prudentia:
- pertimbangan dan konsultasi
- menilai situasi dan menyuruh

Prinsip Epikeia:
adalah prinsip yg bertugas untuk menjembatani jurang yang ada antara hukum-hukum umum dan situasi
konkret serta perbuatan-perbuatan yang terikat oleh kondisi-kondisi konkret.
Tugas ini dilakukan dengan memberikan penafsiran yang sewajarnya tentang hukum.
Apabila ketaatan pada hukum menurut bunyi kata-katanya (harafiah) itu malahan berlawanan dengan
maksud atau arti hukum itu sendiri, maka menurut penafsiran berdasarkan epikeia orang dibebaskan
dari daya-wajib hukum.
Epikeia mengandaikan dan membutuhkan prudentia.

Penutup:
Hati nurani bukan sesuatu yang statis.
Ia harus dibentuk terus menerus menuju HN yang baik dan benar. Di sinilah disadari perlunya pendidikan
moral menuju kedewasaan kristiani dalam bidang moral.

Disarikan dari:
GO, Piet OCarm, Teologi Moral Fundamental (diktat), Malang: STFT Widya Sasana, 1999.
GO, Piet OCarm, Teologi Moral Dasar, Malang: Dioma, 2007.

Anda mungkin juga menyukai