Pasal 23-24

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 8

1

Pasal 23
PERANAN ARGUMENTASI MORAL
UNTUK PEMBENTUKAN NORMA-NORMA MORAL

BEBERAPA PEMBEDAAN YANG PERLU:


1. pembedaan antara keyakinan-keyakinan tentang nilai di satu pihak, dan argumentasi
serta keputusan moral di lain pihak: Keyakinan merupakan prasyarat logis untuk
argumentasi serta keputusan moral, tetapi keputusan tentang nilai belumlah merupakan
keputusan moral.

2. perbedaan antara bona (= hal-hal yang bernilai) dan valores (nilai-nilai):


Bona = hal-hal yang riil yang ada dan tak tergantung dari pemikiran dan kehendak, tetapi
justru mendahului perbuatan kita. Misal: kehidupan, kesehatan, keutuhan tubuh dll
Valores = sikap-sikap dasar yang hanya riil ada sebatas kualitas kehendak, misal: kesetiaan,
solidaritas, dll.
Keduanya memang belum sbg keputusan moral, tetapi tak bisa diabaikan begitu saja,
melainkan harus diperhatikan benar-benar. Bona bisa jadi dikurbankan, tetapi valores tidak.

3. pembedaan antara bonum morale (hal-hal yang baik yg sudah dari segi moral) dan bonum
prae-morale (hal yg baik tetapi sejauh belum diputuskan segi moralnya, juga disebut bonum
physicum):
Perbedaan ini perlu diperhatikan khususnya sehubungan dgn norma: maksud/tujuan baik
tidak membenarkan sarana buruk. Contoh bonum premorale: kesehatan, pengahrgaan,
kekayaan, dsb. Contoh malum premorale: sakit, miskin, tidak tampan/cantik

Malum premoral memang belum malum dalam kualitas moral (belum sama dengan malum
morale). Namun, malum premorale/physicum ini tidak boleh disebabkan begitu saja tanpa
alasan.

4. perbedaan antara kalimat/keputusan analitis dan sintetis.


Kalimat analitis: predikat sudah terkandung dalam subyek (pokok kalimat) dan hanya
„diuraikan“, dikeluarkan daripadanya. Contoh: jangan membunuh (= mematikan atau
membiarkan mati tanpa alasan seimbang adalah buruk. Kalimat demikian bukanlah
argumentasi melainkan parainese.
Kalimat sintetis: predikat belum termasuk, masih membutuhkan penambahan faktor-faktor
dari luar, yaitu kondisi-kondisi yang menentukan lebih lanjut norma moral tertentu.
Perlu diperhatikan bahwa pokok kalimat, yaitu perbuatan atau sikap yg harus dinilai tak
boleh sudah mengandung penilaian/keputusan yg masih harus dibuktikan. Untuk
argumentasi moral dibutuhkan kalimat sintetis. Pada kalimat sintetis, pokok kalimat harus
merupakan perkataan yang melulu deskriptif. Bila tidak demikian maka hanya akan menjadi
tautologi semata.
Contoh: perbedaan antara membunuh dan pematian: ”membunuh tak diperbolehkan“
(adalah jelas karena membunuh itu sudah perbuatan buruk), „menyebabkan kematian tak
diperbolehkan“ (belum jelas keburukannya, masih butuh faktor-faktor/kondisi yang lain
untuk menilai keburukannya: karena membela diri? Karena kesalahan tidak sengaja?).

5. perbedaan antara parainese dan argumentasi.


2

6. perbedaan antara argumentasi teleologis dan deontologis.


Keduanya sering dibedakan secara kontradiktoris.
Teleologis : semua dinilai menurut akibatnya
Deontologis: tidak semua dinilai melulu oleh akibatnya; ada yang harus atau dilarang karena
halnya sendiri.

I. Argumentasi teleologis.
A. argumentasi teleologis dan moral cinta kasih
1. Moral kristiani sbg moral cinta kasih:
a. Cintakasih Allah sbg dasar moral cintakasih kristiani
b. Yesus Kristus sbg teladan moral kristiani
2. arti cintakasih untuk moral kristiani:
a. cinta kasih sbg ringkasan/intisari moral kristiani (gagasan: ringkasan/intisari,
hukum utama, lebih penting dari apapun juga)
b. arti cinta kasih sbh kehendak dan sbg perbuatan: perlu dibedakan benevolentia
dan beneficientia): sikap batin berkaitan erat dengan perbuatan konkret.

B. Argumentasi teleologis dalam moral cinta kasih.


1. kelakuan/cintakasih menurut kodrat subyek dan obyek:
a. menurut kodrat „obyek“ dan subyek pada umumnya:
kodrat „obyek“ sbg dasar dan ukuran cinta kasih: nilai atau kebaikan dari suatu
makhluk tidaklah identik dengan tuntutan agar dicintai atau dihargai, melainkan merupakan
dasar untuk tuntutan itu sendiri.
cinta kasih menurut kodrat subyek: menurut subyek yang berakal budi. Manusia
berkelakuan menurut kodrat subyek bila ia – sesuai dengan penilaian akal budinya –
memperhatikan kodrat „obyek“ dan berkelakuan menurut kodrat obyek itu (mencintai
obyek menurut kodrat obyek).

b. menurut kodrat „obyek“ dan subyek dalam hal keterbatasan:


- obyek-obyek dapat bersaingan, maka perlu diperhatikan kebutuhan obyek dan
tingkatan nilai-nilai.
- kemampuan subyek juga terbatas: manusia hanya wajib melakukan apa yang
menurut kemampuannya.

2. prioritas berdasarkan „ordo bonorum/ordo caritatis“:


a. keterbatasan subyek dan pembagian tugas dalam konteks sosial.
Catatan: Adalah suatu fakta: terkondisikan, keterbatasan. Penilaian perbuatan harus
dilakukan dengan memperthatian kondisi-kondisi itu serta nilai-nlai yang mungkin saling
bersaingan. Tugas manusia: persoalan mencari/menentukan nilai yang harus didahulukan:
prioritas. Perlu diperhatikan bahwa norma yang berlaku dengan kondisi-kondisi tertentu
adalah sungguh mengikat, maka tidak sembarangan atau terserah pada pelaku belaka.

b. Saingan “obyek” (hal-hal yang bernilai) dan penentuan prioritas: cinta kasih
ditentukan oleh obyeknya, oleh nilai-nilai, maka, tata cinta kasih (ordo caritatis/amoris)
ditentukan oleh tata nilai-nilai (ordo bonorum). Kedua ungkapan itu korelatif, berhubungan
3

satu sama lain. Ordo caritatis ada pada pihak perbuatan cintakasih oleh subyek, sedangkan
ordo bonorum pada pihak nilai-nilai yang harus diwujudkan.

II. Argumentasi deontologis. (to deon = kewajiban)


Maksudnya: Tidak semua perbuatan dintentuka melulu oleh akibatnya. Ada perbuatan yang
pada hakekatnya bertentangan dengan moral, lepas dari keadaan apapun atau
bagaimanapun akibatnya. Mis: Pembunuhan itu selalu buruk.

A. Bentuk-bentuk argumentasi deontologis:


1. berdasarkan ciri „bertentangan dengan kodrat“ (contra naturam).
Dua contoh:
a. larangan menyatakan tak benar (falsilocutio) – berkaitan dengan larangan menipu.
b. Larangan anti-konsepsi – berkaitan dengan tujuan prokreatif seksualitas.

2. bentuk argumentasi berdasarkan ciri „tiada hak pada pelaku (= ex defectu iuris)
Dua contoh:
a. larangan mematikan manusia.
b. Larangan bercerai.

B. Usaha membendung akibat-akibat negatif argumentasi deontologis: dengan interpretasi


restriktif, yakni dengan menyempitkan bidang pemakaiannya, menyempitkan definisi suatu
perbuatan yang dinilai deontologis dengan memasukkan banyak kondisi.
Contoh: Mak 2:29-41 – soal hukum sabat (boleh bertempur pada hari sabat bila
diserang)

Beberapa contoh hasil usaha pembendungan:


1. sehubungan dengan argumentasi “contra naturam”
a. berkaitan dengan hal “menyatakan yang tak benar” (falsilocutio): tradisi memberi
jalan keluar: restrictio mentalis (= ungkapan bahasa yang karena keadaan dapat mendapat
makna lain sehingga dapat menyesatkan). Tidak dihitung sbg dusta. Dimunculkan kondisi-
kondisi: soal ada tidaknya hak si penanya utk kebenaran. Selain itu juga dituntut syarat
kebebasan.
b. berkaitan dengan soal “antikonsepsi”: pengijinan penggunaan pil dalam konteks
kerusuhan di Kongo
2. sehubungan dengan argumentasi deontologis „ex defectu iuris“:
a. berkaitan dengan larangan mematikan manusia
b. berkaitan dengan larangan bercerai

III. Beberapa soal berhubung dengan argumentasi teleologis dan deontologis.


A. Beberapa soal berhubung dengan argumentasi teleologis:
1. argumentasi teleologis: utilitarisme/konsekuensialisme, eudaimonisme dan
hedonisme?
2. beberapa keberatan dari pihak deontologis:
a. prinsip Kaifas?
b. nilai-nilai dasar adalah inkommensurabel (tak dapat diukur)?

B. Kritik terhadap argumentasi deontologis


4

1. Keberatan-keberatan pada umumnya terhadap argumentasi deontologis


a. legalisme yang tak dapat disesuaikan dengan cintakasih
b. soal perbuatan intrinsik buruk
2. analisa kritis mengenai argumentasi deontologis:
a. contra naturam?
b. ex defectu iuris?
==
Pasal 24
PERANAN GEREJA UNTUK PEMBENTUKAN NORMA-NORMA MORAL

Teologi bukanlah ilmu privat belaka, melainkan diwujudkan dalam pangkuan Gereja dan
merupakan fungsi Gereja juga. Karena Gereja hidup dari iman akan karya keselamatan Allah
dalam Yesus Kristus, maka menyelami wahyu Allah serta konsekuensinya adalah termasuk
kehidupan Gereja sbg persekutuan beriman. Kesadaran iman dan kesusilaan memegang
peranan penting untuk teologi moral.
Apakah sumbangan Gereja untuk pembentukan norma moral? (berkaitan dgn norma moral
obyektif, bukan norma subyektif).

I. Peranan Gereja sbg keseluruhan.


Kita menyadari bahwa kehendak Allah tidaklah terletak dalam kumpulan teks KS, semboyan-
semboyan rumusan hukum kodrat yg diteruskan scr mekanis dari generasi ke generasi, dan
juga tidak dalam pengalaman belaka atau pemikiran manusia saja. Kabar gembira tentang
Kerajaan Allah harus tercetus dalam cinta kasih. Adapun cinta kasih ini harus dikonkretisasi
untuk kita sekarang dan di sini (hic et nunc). Tugas konkretisasi itu adalah tugas Gereja
sebagai keseluruhan.
a. Tugas ini sudah dilakukan sejak awal mula. Praktek Gereja Purba sudah menunjukkan ini.
Sudah dimulai pembentukan norma-norma.
b. Perlu disadari daya paradigmatis karya konkretisasi Gereja Purba:
adalah fakta bahwa konkretisasi = penyesuaian menurut tempat dan waktu. Maka tidak
mengherankan bila hasil kondretisasi Gereja Purba bisa tidak sesuai lagi untuk jaman kita.
Tetapi perlu diketahui bahwa usaha Gereja Purba ini mempunyai daya paradikmatis untuk
Gereja dewasa ini di sini. Artinya, seperti Gereja Purba dahulu membentuk norma-norma
moral untuk jamannya, demikian pula Gereja dewasa ini mempunyai tugas untuk
membentuk norma-norma untuk jaman kita.
Daya paradigmatis ini tidak terbatas pada hal melanjutkan tugas pembentukan norma-
norma, melainkan juga cara Gereja melakukannya sejauh berkaitan dengan kesetiaan pada
ajaran Kristus di satu pihak dan menolong manusia di lain pihak.
Tidak sedikit gagasan yang dahulu berlaku, mungkin sekarangpun masih berlaku pula.

Tugas konkretisasi dari Gereja dewasa ini pada umumnya?


meskipun pada umumnya masih dipandang penting peranan Gereja, tetapi di kalangan
tertentu Gereja telah kehilangan kepercayaan. Soalnya bukan hanya Gereja sendiri kadang
kurang bijaksana, melainkan juga karena harapan dan peranan yang ditujukan kepada
Gereja sering berlainan.
Ada 2 hal sehubungan dengan tugas konkretisasi ini:
a. menghindari defaitisme dan triumphalisme.
5

- defaitisme = sikap yg mengharapkan agar Gereja turut campur tangan dalam


segala. Gereja dituduh mengabaikan tugasnya bila Gereja diam saja (yang
dimaksudkan Gereja di sini ialah Gereja sbg jabatan pimpinan). Sikap ini terutama
pada awam.
- triumphalisme = sikap yang mengira bahwa Gereja mempunyai wewenang dalam
segala hal dan juga mempunyai keahlian untuk memecahkan segala masalah. Sikap
ini terutama pada rohaniwan.
Keduanya sebetulnya sama saja, yakni berat sebelah: memperkirakan kemungkinan/
kemampuan Gereja terlalu tinggi, kurang melihat batas-batas
kemampuan/kompetensi Gereja.
b. perlunya memperhatikan unsur-unsur lokal.
Bagi kita ini berarti bahwa Gereja harus memperhatikan keadaan di Indonesia
(adaptasi, indonesianisasi). Kesukaran: adalah fakta bahwa Gereja beserta tradisinya
berasal dari barat dan mencerminkan pemikran barat.
Contoh kesukaran: soal sikap terus terang di barat dan perasaan sungkan di timur:
mempengaruhi definisi tentang “dusta.”

Tugas seluruh gereja.


Penemuan/pembentukan norma-norma moral merupakan tugas menyejarah dan suatu
proses yg menuntuk keikutsertaan seluruh Gereja.
Seluruh Gereja = dari awam biasa sampai ke puncak pimpinan.
1. pengalaman iman seluruh gereja.
a. ajaran Vatikan II: LG 12.
Konsili Vatikan II menekankan peranan sensus fidei (=perasaan iman) seluruh umat.
Beberapa hal yang perlu ditonjolkan:
- Gereja sbg keseluruhan sbg subyek iman
- Perasaan iman (sensus fidei) yang lebih berhubungan dgn penghayatan iman
daripada melulu soal pengetahuan iman
- Harus dibedakan kesepatakan iman (consensus fidei) dan perkaranya (iman dan
kesusilaan)

b. arti pengalaman iman seluruh Gereja.


Pengalaman iman tak kalah pentingnya utk membentuk norma-norma moral yg erat
hubungannya dengan iman serta penghayatannya. Pengalaman iman yang otentik dari
seluruh Gereja tak boleh diabaikan begitu saja oleh pimpinan bila merumuskan norma-
norma moral.

2. tugas Gereja yang tersusun.


Memang seluruh Gereja berperanan, tetapi ada susunan tugas.
a. pencarian norma dari „bawah“: dalam tahap pertimbangan.
Harus ada pencarian/pembentukan norma-norma “dari bawah”, dari umat Kristiani.
Memang kelakuan faktis hanya tak langsung dalam mempengaruhi pembentukan norma-
norma. Namun yang terpenting ialah keyakinan yang ada dalam kelakuan faktis itu dan yang
dihayati. Pada umumnya pencarian norma dari bawah ini terjadi dalam tahap pertimbangan
yang diikuti oleh tahap pengambilan keputusan.

b. pengambilan keputusan oleh pimpinan: tahap terakhir sementara.


6

Disebut demikian karena segi dinamis moral yang membuat moral seharusnya terbuka
untuk koreksi dan pekembangan selanjutnya. Meskipun tahap pengambilan keputusan
menjadi bagian dari jabatan penggembalaan atau pengajaran, namun keputusan haruslah
mencerminkan perasaan/pengalaman iman umat seluruhnya.

II. Kompetensi/tugas khas dari jabatan pengajaran/penggembalaan.


A. hubungan iman dan kesusilaan.
1. hubungan antara iman dan kesusilaan:
a. ungkapan „fides et mores“: mores dapat mempunyai arti luas, tetapi juga dipakai dalam
arti sempit (sungguh-sungguh moral, bukan hanya suatu kebiasaan atau disiplin): DS 3079
(Vatikan I) dan LG 12.
b. pengaruh timbal balik antara fides dan mores:
Proses manusiawi dalam bidang moral dapat mempengaruhi paham iman, juga bahkan
memperdalamnya. Moral dapat menjadi sarana pencetusan iman. Sebaliknya, moral adalah
berdasarkan, berinspirasikan pada iman yang dapat mengubah keseluruhannya, atau
memberinya konteks religius, dsb. Iman dan moral dalam praktek terpadu sangat erat.
Meskipun demikian, perbedaan antara iman dan moral tak boleh dihapuskan, terutama
mengenai segi rasional moral.

2. pengetrapan iman pada moral (LG 25).


a. fungsi kritis iman: iman harus mengelakkan ideologi yg cenderung membuat norma-
norma contingens (terbatas) menjadi absolut. Iman justru membebaskan moral dari
pendewaan nilai-nilai yang contingens, dan juga membebaskan sikap pesimistis yang
menjelek-jelekkan ciptaan.
b. iman meneguhkan isi dan memperdalam motivasi/pendasaran moral:
Jabatan pengajaran (magisterium) bertugas menjamin nilai-nilai yg diteguhkan dan
diperdalam motivasi/pendasarannya oleh iman. Tetapi nilai-nilai itu tidak memperoleh sifat
absolutnya hanya karena dijamin ileh jabatan pengajaran/penggembalaan. Nilai-nilai dan
norma-norma tetap berlaku kenurut kondisi-kondisi yang ada.

B. beberapa pembedaan yang patut diperhatikan:


1. jabatan penggembalaan dan jabatan pengajaran:
a. pembedaan: jabatan pengajaran (LG 25, CD 12) berkisar pada kebenaran yang
diwahyukan (depositum fidei). Ini mengikat teologis, minta persetujuan, pengiyaan.
Sedangkan jabatan penggembalaan (Lg 25, CD 16) dalam arti luas merangkum jabatan
pengajaran, tetapi dalam arti sempit, sejauh dibedakan, berkisar pada tata tertib (disiplin)
Gereja dan kehidupan Gereja. Lebih bersifat disipliner, minta ketaatan.
b. hubungan: tak boleh dipisahkan. Jabatan pengajaran merupakan bagian dari jabatan
penggembalaan.

2. otentik-privat dan dapat-tidak dapat sesat


a. otentik dibedakan dari privat, dari bahasa hukum. Maksud: diberi kuasa Kristus (LG 25).
Jadi, ajaran resmi, bukan privat. Otentik belum mengatakan apa-apa tentang dapat-tak
dapat sesat. Sedangkan, dapat – tak dapat sesat: bila dimaksudkan tak dapat sesat, harus
jelas.

b. prinsip interpretasi ajaran Gereja:


7

- stricta: tak boleh diperluas. Latar belakang paham tidak ikut dirumuskan.
- konteks historis harus diperhatikan: Sitz im Leben
- jenis sastra juga perlu diperhatikan
- macam-macam petunjuk: perlu kejelasan apakah pernyataan itu langsung keluar
dari ajaran tak dapat sesat? Atau hanya aplikasi ajaran yang tidak diajukan dengan
weweang yang tak dapat sesat? Atau melulu disipliner?

III. Kompetisi/tugas Gereja berhubung dengan hukum kodrat dan hukum positif.
A. kompetensi/tugas Gereja berhubung dengan hukum kodrat:
1. kompetensi Gereja: tidak diragukan, hanya perlu ditanyakan sifat kompetensi itu dan
jangkauannya:
a. termasuk wewenang jabatan penggembalaan atau pengajaran?
Jabatan pengajaran berkisar pada wahyu dan apa yang erat hubungannya dengan wahyu,
maka Gereja dapat menyatakan ajaran tertentu (misalnya filsafat tertentu) sebagai tak
dapat disesuaikan dengan wahyu, demikian juga interpretasi tertentu dari hukum kodrat sbg
tak dapat disesuaikan dengan ajaran wahyu. Jadi fungsi memberi batas negatif. Selebihnya,
yaitu konkretisasi hukum kodrat, merupakan wewenang jabatan penggembalaan yg
memberi petunjuk-petunjuk dan lebih bersifat disipliner.
Gereja sendiri lebih memandang interpretasi hukum kodrat sbg pelaksanaan jabatan
pengajaran.

b. alasan-alasan kompetensi Gereja:


- karena hukum kodrat diteguhkan oleh wahyu
- karena hukum kodrat berhubungan secara organis dgn wahyu
- karena hukum kodrat dikandung wahyu
- karena hukum kodrat disempurnakan oleh wahyu
- karena hukum kodrat merupakan bagian integral moral wahyu.

2. Tugas Gereja:
a. memberi kesaksian tentang paham yang benar tentang manusia: Paham manusia
itu menjadi dasar norma-norma.
b. memberi kesaksian tentang segi-segi religius kehidupan: Gereja merupakan
instansi di tengah dunia ini yg mempunyai tujuan yang transenden, mengatasi dunia
ini.
Gereja harus menunjukkan bahwa segi-segi religus itu mempunyai arti besar, relevan
untuk tata kehidupan manusia di dunia ini.

B. Tugas Gereja berhubung dengan hukum positif.


Tak jarang hukum positif erat hubungannya dengan moral, maka Gereja tak dapat acuh tak
acuh thd pembentukan hukum positif.
1. dalam Gereja sendiri: berkaitan dengan hukum gereja.
Lima perintah gereja: merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh jabatan penggembalaan,
timbul dalam abad pertengahan sehubungan dengan praktek pengakuan dosa. Diteguhkan
oleh konsili Trente. Bentuknya dewasa ini (merayakan hari-hari wajib, ekaristi mingguan,
puasa dan pantang, pengakuan dosa tahunan, komuni Paska) berasal dari Katekismus Petrus
Kanisius.
8

a. maksud dan arti perintah-perintah Gereja: ubi societas, ibi lex.


Kehidupan kristiani tidak mengenal batas ke atas, artinya mengandung dinamika menuju ke
tingkat yang lebih sempurna. Tetapi bahwa manusia lemah dan butuh bimbingan, maka ada
baiknya umat Katolik diberi petunjuk-petunjuk/tuntutan minimum.
Perlu diperhatikan bahwa meskipun perintah-perintah itu berasal dari kehendak Gereja, toh
tidak sembarangan atau melulu karena kehendak Gereja, melainkna mempunyai dasar
dalam perkaranya sendiri, artinya: bukan hanya baik karena diperintahkan, melainkan juga
diperintahkan oleh Gereja karena baik!

b. masalah pastoral:
memang perintah-perintah merupakan pertolongan, terutama bagi yang lemah. Tetapi
mengandung bahaya salah paham, yakni legalisme yg keluar dari kebutuhan akan kepastian:
bahaya berhenti pada penghayatan lahiriah tanpa penghayatan sungguh-sungguh.
Pada pihak lain, juga bahaya rigorisme yang lambat lain berubah menjadi laksisme bila
sistem ketat yang ditafsirkan secara rigoristis, dilubangi dengan interpretasi kasuistis dan
praktek dispensasi yang sangat luas. Dalam hal ini, perlu dijelaskan terus ratio legis
(maksud/arti hukum).

2. sumbangan Gereja untuk pembentukan hukum positif negara:


Umat katolik hidup dalam negara dan masyarakat yang diatur oleh undang-undang (hukum
positif) yang tidak jarang bersentuhan dengan soal-soal agama dan moral. Maka Gereja
tidak dapat acuh tak acuh terhadap pembentukan hukum positif dalam negara. Tetapi,
Gereja tidak mempunyai tugas secara langsung dalam urusan negara. Gereja dapat
berperan melalui partisipasai warga negara katolik.
Gereja juga tidak jarang dimintai pendapat oleh pemerintah.
a. pada umumnya: GS 76
b. pada khususnya: GS 76: bila menyangkut pelanggaran hak-hak asasi.

========

Anda mungkin juga menyukai