Pasal 23-24
Pasal 23-24
Pasal 23-24
Pasal 23
PERANAN ARGUMENTASI MORAL
UNTUK PEMBENTUKAN NORMA-NORMA MORAL
3. pembedaan antara bonum morale (hal-hal yang baik yg sudah dari segi moral) dan bonum
prae-morale (hal yg baik tetapi sejauh belum diputuskan segi moralnya, juga disebut bonum
physicum):
Perbedaan ini perlu diperhatikan khususnya sehubungan dgn norma: maksud/tujuan baik
tidak membenarkan sarana buruk. Contoh bonum premorale: kesehatan, pengahrgaan,
kekayaan, dsb. Contoh malum premorale: sakit, miskin, tidak tampan/cantik
Malum premoral memang belum malum dalam kualitas moral (belum sama dengan malum
morale). Namun, malum premorale/physicum ini tidak boleh disebabkan begitu saja tanpa
alasan.
I. Argumentasi teleologis.
A. argumentasi teleologis dan moral cinta kasih
1. Moral kristiani sbg moral cinta kasih:
a. Cintakasih Allah sbg dasar moral cintakasih kristiani
b. Yesus Kristus sbg teladan moral kristiani
2. arti cintakasih untuk moral kristiani:
a. cinta kasih sbg ringkasan/intisari moral kristiani (gagasan: ringkasan/intisari,
hukum utama, lebih penting dari apapun juga)
b. arti cinta kasih sbh kehendak dan sbg perbuatan: perlu dibedakan benevolentia
dan beneficientia): sikap batin berkaitan erat dengan perbuatan konkret.
b. Saingan “obyek” (hal-hal yang bernilai) dan penentuan prioritas: cinta kasih
ditentukan oleh obyeknya, oleh nilai-nilai, maka, tata cinta kasih (ordo caritatis/amoris)
ditentukan oleh tata nilai-nilai (ordo bonorum). Kedua ungkapan itu korelatif, berhubungan
3
satu sama lain. Ordo caritatis ada pada pihak perbuatan cintakasih oleh subyek, sedangkan
ordo bonorum pada pihak nilai-nilai yang harus diwujudkan.
2. bentuk argumentasi berdasarkan ciri „tiada hak pada pelaku (= ex defectu iuris)
Dua contoh:
a. larangan mematikan manusia.
b. Larangan bercerai.
Teologi bukanlah ilmu privat belaka, melainkan diwujudkan dalam pangkuan Gereja dan
merupakan fungsi Gereja juga. Karena Gereja hidup dari iman akan karya keselamatan Allah
dalam Yesus Kristus, maka menyelami wahyu Allah serta konsekuensinya adalah termasuk
kehidupan Gereja sbg persekutuan beriman. Kesadaran iman dan kesusilaan memegang
peranan penting untuk teologi moral.
Apakah sumbangan Gereja untuk pembentukan norma moral? (berkaitan dgn norma moral
obyektif, bukan norma subyektif).
Disebut demikian karena segi dinamis moral yang membuat moral seharusnya terbuka
untuk koreksi dan pekembangan selanjutnya. Meskipun tahap pengambilan keputusan
menjadi bagian dari jabatan penggembalaan atau pengajaran, namun keputusan haruslah
mencerminkan perasaan/pengalaman iman umat seluruhnya.
- stricta: tak boleh diperluas. Latar belakang paham tidak ikut dirumuskan.
- konteks historis harus diperhatikan: Sitz im Leben
- jenis sastra juga perlu diperhatikan
- macam-macam petunjuk: perlu kejelasan apakah pernyataan itu langsung keluar
dari ajaran tak dapat sesat? Atau hanya aplikasi ajaran yang tidak diajukan dengan
weweang yang tak dapat sesat? Atau melulu disipliner?
III. Kompetisi/tugas Gereja berhubung dengan hukum kodrat dan hukum positif.
A. kompetensi/tugas Gereja berhubung dengan hukum kodrat:
1. kompetensi Gereja: tidak diragukan, hanya perlu ditanyakan sifat kompetensi itu dan
jangkauannya:
a. termasuk wewenang jabatan penggembalaan atau pengajaran?
Jabatan pengajaran berkisar pada wahyu dan apa yang erat hubungannya dengan wahyu,
maka Gereja dapat menyatakan ajaran tertentu (misalnya filsafat tertentu) sebagai tak
dapat disesuaikan dengan wahyu, demikian juga interpretasi tertentu dari hukum kodrat sbg
tak dapat disesuaikan dengan ajaran wahyu. Jadi fungsi memberi batas negatif. Selebihnya,
yaitu konkretisasi hukum kodrat, merupakan wewenang jabatan penggembalaan yg
memberi petunjuk-petunjuk dan lebih bersifat disipliner.
Gereja sendiri lebih memandang interpretasi hukum kodrat sbg pelaksanaan jabatan
pengajaran.
2. Tugas Gereja:
a. memberi kesaksian tentang paham yang benar tentang manusia: Paham manusia
itu menjadi dasar norma-norma.
b. memberi kesaksian tentang segi-segi religius kehidupan: Gereja merupakan
instansi di tengah dunia ini yg mempunyai tujuan yang transenden, mengatasi dunia
ini.
Gereja harus menunjukkan bahwa segi-segi religus itu mempunyai arti besar, relevan
untuk tata kehidupan manusia di dunia ini.
b. masalah pastoral:
memang perintah-perintah merupakan pertolongan, terutama bagi yang lemah. Tetapi
mengandung bahaya salah paham, yakni legalisme yg keluar dari kebutuhan akan kepastian:
bahaya berhenti pada penghayatan lahiriah tanpa penghayatan sungguh-sungguh.
Pada pihak lain, juga bahaya rigorisme yang lambat lain berubah menjadi laksisme bila
sistem ketat yang ditafsirkan secara rigoristis, dilubangi dengan interpretasi kasuistis dan
praktek dispensasi yang sangat luas. Dalam hal ini, perlu dijelaskan terus ratio legis
(maksud/arti hukum).
========