Anda di halaman 1dari 17

Mata kuliah : Keperawatan Kritis

Dosen Pembimbing : Ns.Estefina Makausi,S.Kep,M.MKes

Semester : VII ( Tujuh)

MAKALAH

DI Susun Oleh Kelompok II :

Isabela Sambur
Tri Fosya Dias
Thias Suleman
Militia Ella
Eliseba Yesnat
Alisia Mentang

UNIVERSITAS SARI PUTRA INDONESIA TOMOHON


FAKULTAS KEPERAWATAN
T.A
2018/2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Instalasi Gawat Darurat (IGD) di sebuah rumah sakit mempunyai peran yang sangat penting
yaitu menyelenggarakan pelayanan asuhan medis dan asuhan keperawatan darurat bagi pasien
(Ali, 2014). Kondisi pasien yangdatang ke IGD bervariasi dengan kondisi yang mengancam jiwa
maupun yang menjelang ajal. Pasien dengan kondisi mengancam nyawa berfokus pada tindakan
resusitasi, sedangkan pada pasien yang menjelang ajal lebih berfokus pada perawatan End of
Life..End  of  Life Care diberikan pada pasien yang menjelang meninggal atau fase kritis dengan
menerapkan Teori Peaceful  End of Life. (Ruland & Moore,1998 dalam Aligood & Tomey,
2014). Teori ini terdiri dari konsep persiapan yang baik dalam menghadapi kematian. Intervensi
dalam konsep teori ini dilakukan yang bertujuan pasien merasa bebas dari rasa nyeri, merasa
nyaman,merasa dihargai, dihormati dan berada dalam kedamaian dan ketenangan juga merasa
dekat dengan orang yang merawatnya.
Menurut Beckstrand et al (2015) menyatakan bahwa perawat mengalami kesulitan dalam
memberikan pelayanan End of Life yang baik pada pasien ,khususnya pada pasien yang tidak
mempunyai identitas. Perawat yang bertugas di IGD merasa bahwa pendampingan end of
life pada pasien terlantar bukan merupakan prioritas, mereka masih memprioritaskan
pasien dengan kondisi emergency Berdasarkan hasil penelitian Ose, Ratnawati & Lestari (2017)
menyatakan bahwa perawat yang bertugas di IGD terkait pengalaman merawat pasien terlantar
menjelang ajal yaitu Merasakan hati tersentuh pada pasien terlantar menjelang ajal
2.Tidak membedakan perlakuan pada pasien terlantar dengan pasien lain yang menjelang ajal 
3. Menghargai harkat dan martabat pasien
4.Memastikan tidak ada kecurangan pemberian nota dinas
5. Memilih perawatan suportif sebagai tindakan terbaik
6. Terpaksa meninggalkan pasien tanpa pendampingan spritual 
7. Mengalami konflik dalam menempatkan pasien terlantar yang menjelang ajal
8. Mengharapkan situasi lingkungan kerja yang mendukung.Beberapa kesulitan perawat dalam
pendampingan pasien terlantar yang menjelang ajal yaitu banyaknya pasien yang dalam kondisi
emergency yang dilakukan tindakan terlebih dahulu. Perawatan pasien dalam tahap  End of Life
yang membutuhkan penanganan yang bertujuan untuk memberikan rasa nyaman, ketenangan,
kedekatan suport sosial (Beckstrand et.al, 2012, Decker,et.al, 2015).Perawatan pasien yang
menjelang fase End of Life melibatkan berbagai displin yang meliputi pekerja sosial, ahli agama,
perawat, dokter (dokter ahli atau dokter umum yang berfokus pada perawatan yang holistic
meliputi fisik, emosional, sosial, dan spiritual. (Hockenberry &Wilson, 2005).Perawat harus
tetap bersikap profesional menghormati harkat danm martabat pasien dalam memberikan 
perawatan. Konflik batin, emosi, perasaan hatitersentuh muncul dengan melihat kondisi pasien
terlantar menjelang ajal.
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
End Of Life End of life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan
kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichikyo,2016). End of life care adalah
perawatan yang diberikan kepada orang-orangyang berada di bulan atau tahun terakhir
kehidupan mereka (NHSChoice,2015). End of life akan membantu pasien meninggal
dengan bermartabat.Pasien yang berada dalam fase tersebut biasanya menginginkan perawatanya 
maksimal dan dapat meningkatkan kenyamanan pasien tersebut.End of life merupakan bagian
penting dari keperawatan paliatif yangdiperuntukkan bagi pasien yang mendekati akhir
kehidupan.End of life care bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik- baiknya dan
meninggal dengan bermartabat (Curie, 2014). End of life care adalah salah satu kegiatan
membantu memberikan dukungan psikososial dan spiritual (Putranto,2015). Jadi dapat
disimpulkan bahwa End of life care merupakan salah satu tindakan keperawatan yang difokuskan
pada orang yang telah berada di akhir hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat orang
hidup dengan sebaik- baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan bermartabat.

B. Prinsip-Prinsip End Of Life Menurut NSW Health (2005)


Prinsip End Of Life antara lain :
1.Menghargai kehidupan dan perawatan dalam kematianTujuan utama dari perawatan
adalah menpertahankan kehidupan,namun ketika hidup tidak dapat dipertahankan, tugas
perawatan adalah untuk memberikan kenyamanan dan martabat kepada pasien yang sekarat, dan
untuk mendukung orang lain dalam melakukannya.
2. Hak untuk mengetahui dan memilih Semua orang yang menerima perawatan kesehatan
memiliki hak untuk diberitahu tentang kondisi mereka dan pilihan pengobatan mereka.
Mereka memiliki hak untuk menerima atau menolak pengobatan dalam memperpanjang 
hidup.Pemberi perawatan memiliki kewajiban etika dan hukum untuk mengakui dan
menghormati pilihan- pilihan sesuai dengan pedoman.
3. Menahan dan menghentikan pengobatan dalam mempertahankan hidup Perawatan end of life
yang tepat harus bertujuan untuk memberikan pengobatan yang terbaik untuk individu. 
Ini berarti bahwa tujuan utama perawatan untuk mengakomodasi kenyamanan dan martabat,
Maka menahan atau menarik intervensi untuk mempertahankan hidup mungkin diperbolehkan
dalam kepentingan terbaik dari pasien yang sekarat.
4. Sebuah pendekatan kolaboratif dalam perawatan Keluarga dan tenaga kesehatan memiliki
kewajiban untuk bekerja sama untuk membuat keputusan bagi pasien yang kurang bisa dalam
pengambilan keputusan,dengan mempertimbangkan keinginan pasien.
5. Transparansi dan akuntabilitas Dalam rangka menjaga kepercayaandari penerima 
perawatan,dan untuk memastikan bahwa keputusan yang tepat dibuat, maka proses pengambilan
keputusan dan hasilnya harus dijelaskan kepada para pasien dan akurat didokumentasikan
6. Perawatan non diskriminatif Keputusan pengobatan pada akhir hidup harusnon-diskriminatif
dan harus bergantung hanya pada faktor-faktor yang relevan dengan kondisi medis, nilai-nilai
dan keinginan pasien.
7. Hak dan kewajiban tenaga kesehatanTenaga kesehatan tidak berkewajiban untuk memberikan
perawatan yang tidak rasional, khususnya, pengobatan yang tidak bermanfaat bagi pasien.Pasien
memiliki hak untukmenerima perawatan yang sesuai, dan tenaga kesehatan memiliki tanggung
Jawab untuk memberikan pengobatan yang sesuai dengan norma-norma profesional dan standar
hokum
8. Perbaikan terus-menerus Tenaga kesehatan memiliki kewajiban untuk berusaha dalam
memperbaiki intervensi yang diberikan pada standar perawatan end of life baik kepada pasien
maupun kepada keluarga.

C. Kriteria The Peaceful End of Life


Teori Peacefull EOL ini berfokus pada beberapa kriteria utama dalam perawatan end of life
pasien yaitu :
1.Terbebas dari Nyeri Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah halyang utama
diinginkan pasien dalam pengalaman EOL (The Peaceful EndOf Life). Nyeri merupakan
ketidaknyamanan sensori atau pengalaman emosi yang dihubungkan dengan aktual atau
potensial kerusakan jaringan(Lenz, Suffe, Gift, Pugh, & Milligan, 1995; Pain terms, 1979).
2.Pengalaman Menyenangkan Nyaman atau perasaan menyenangkan didefinisikan secara
inclusive oleh Kolcaba (1991) sebagai kebebasan dari ketidaknyamanan, keadaan tenteram dan
damai.
ASPEK PSIKOSOSIAL DALAM MERAWAT PASIEN KRITIS

1.Pendahuluan
Ruang Intensif Care Unit (ICU) merupakan ruangan khusus untuk merawat pasien yang dalam
keadaan kritis. Ruangan ini digambarkan sebagai ruangan yang penuh stress tidak hanya bagi
pasien dan keluarganya, tetapi juga bagi tenaga kesehatan yang bekerja di ruangan tersebut(Jastremski, 2000).
Karena itu bagi perawat dan tenaga kesehatan lainnya yangbekerja di ruangan ICUperlu 
memahami tentang stressor (penyebab stress) di ruangan ini dan juga tentang bagaimana
mengatasi stress tersebut.Ketika merawat pasien kritis perawat dituntut untuk secara seimbang
memenuhi kebutuhanfisik dan emosional dirinya maupun pasien dan keluarganya. Untuk
mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai pengetahuan tentang bagaimana
keperawatan kritis yang dialami mempengaruhi kesehatan psikososial pasien, keluarga dan
petugas kesehatan Dalam keperawatan, keadaan sehat dan sakit jiwa merupakan suatu rentang
yang dinamis darikehidupan seseorang. Keadaaan penyakit kritis sangat besar pengaruhnya
terhadap kedinamisan dari rentang sehaT sakit jiwa karena dalam keadaan mengalami penyakit
kritis,seseorang mengalami stress yang berat dimana pasienmengalami kehilangan kesehatan,
kehilangan kemandirian, kehilangan rasa nyaman dan rasa sakit akibat penyakit yang
dideritanya. Semua keadaan tersebut bisa memperburuk status kesehatan mereka.Sebagai
seorang perawat kritis, perawat harus mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan pasien
termasuk masalah psikososialnya. Perawat tidak boleh hanya berfokus pada masalah fisik yang
dialami pasien. Kegagalan dalam mengatasi masalah psikososial pasien bisa berdampak pada
semakin memburuknya keadaan pasien karena pasien mungkin akan mengalami kecemasan yang
semakin berat dan menolak pengobatan.

2.ICU as a stressfull envirotmnet


Menurut Kep MenKes RI Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU), yang dimaksud dengan ICU adalah
sebagai berikut:
suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri atau sebuah instalasi di bawah direktur pelayanan yang
mempunyai perlengkapan dan staf yang khusus yang di tujukan untuk observasi, perawatan dan terapi
pasien-pasien yang menderita penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa
atau potensial mengancam nyawa.Peralatan yang digukana di ruangan ICU sangat komplek dan
canggih. Secara garis besar alat- alat dalam ruangan ICU terdiri dari dua kelompok yaitu alat-alat
pemantau (monitor) seperti:ECG, EEG, monitor tekanan intravaskuler dan intrakranial, komputer
cardiac output,oksimeter nadi, monitor faal paru, bedside dan monitor sentral, analiser
karbondioksida,fungsi serebral/monitor, monitor temperatur, analisa kimia darah, analisa gas dan
elektrolit,radiologi ( X-ray viewers, portable X-ray machine, Image intensifier ), alat-alat
respirasi (ventilator, humidifiers, terapi oksigen, alat intubasi (airway control equipment ), dan alat-
alat pembantu termasuk alat bantu nafas (ventilator, humidifiers, terapi oksigen, alat intubasi
(airway control equipment ), resusitator otomatik), hemodialisa dan berbagai alat lainnya termasuk
defebrilator.

1.Ruang ICU sudah ada sejak tahun 1950 yang pada awalnya ruangan ini dirancang untuk merawat pasien
dengan kondisi yang tidak stabil. Akan tetapi dengan meningkatnya kebutuhan akan peralatan
dan ruangan yang dibutuhkan oleh pasien – pasien yang dirawat diruangan tersebut, maka
ruangan ICU menjadi semakin komplek yang menyebabkan ruanganini penuh stress
(Jastremski, 2000)
Peralatan yang begitu beragam dan kompleks ditambah dengan ketergantungan pasien yang sangat tinggi
terhadap perawat dan dokter, dimana setiap perubahan yang terjadi pada pasien harus di analisa
secara cermat untuk mendapat tindakan yang tepat dan cepat, menyebabkan adanya keterbatasan
ruang gerak pelayanan termasuk kunjungan keluarga. Pembatasan kunjungan keluarga ini juga
sebenarnya dilematis. Disatu sisi kunjungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien sebagai
dukungan emosional, disisi lain kunjungan keluarga bisa mempengaruhi pekerjaan perawat dan
dokter yang harus bekerja secara serius menangani pasiennya.
Hingga saat ini sudah banyak yang membicarakan bahwa ruang ICU merupakan tempat atau
ruangan yang penuh stress(stressful place) tidak hanya bagi pasien yang dirawat tetapi juga bagi
keluarga dan perawat ICU berkaitan dengan berbagai macam prosedur yang dilakukan diruang
ICU,peralatan yang ada diruang ICU,keadaan penyakit,suasana lingkungan di ICU dan
kecemasan akan ancaman kematian (Jastremski,2001).
Sebuah penelitian tentang persepsi pasien dan perawat tentang stressor di ICU yang dilakukan
oleh Cornock (1998) di Amerika serikat dengan menggunakan sample 71 perawat dan 71 pasien
dengan menggunakan the ICU Environmental Stressor Scale menemukan bahwa baik perawat maupun
pasien mempersepsikan ruang ICU sebagai ruangan yang stressfull (penuhstres). Beberapa faktor
lingkungan ICU yang menjadi stressor menurut pasien adalah adanya slang dihidung dan
dimulut, tempat tidur yang tidak nyaman, keterbatasan gerak karena banyaknya alat yang
dipasang di tubuh mereka, sulit tidur, tidak mampu berkomunikasi,mendengar pembicaraan
orang (perawat dan dokter), kurangnya kunjungan, lampu yang terang dan hidup terus menerus,
kebisingan yang tidak familiar dan tidak biasa di dengarnya.Disamping hal – hal diatas, perawat
menambahkan beberapa stressor seperti alarm dari monitor, mesin - mesin yang canggih dan
asing, ada laki laki dan perempuan dalam satu ruangan, dan tidak ada  privacy . Cornock (1998)
menyimpukan perlu dipikirkan bagaimana mengatasi lingkungan ICU yang tidak bersahabat
tersebut.
Penelitian lain oleh Simpson, Lee dan Cameron (1996) di Amerika dengan 102 pasien pasca
operasi jantung yang masuk ICU, tentang persepsinya terhadap faktor - faktor yang
menyebabakan mereka sulit tidur menemukan bahwa nyeri dan kesulitan mendapatkan rasa
nyaman sebagai faktor utama yang menyebabkan mereka tidak bisa tidur. Faktor lain termasuk
tidak bisa melakukan ritual sebelum tidur, suara bising, lampu yang terang, alarm,ada orang yang
bicara di malam hari, dan suara intercom.Sebuah penelitian di Norwegia yang mereview
beberapa penelitian kualitatif tentang menemukan 3 tema besar antara lain: pasien yang dirawat
di ruang ICU mengalami stressyang berkaitan dengan tubuh mereka, dengan ruangan ICU serta
Relationship dengan oranglain. Stres yang berkaitan dengan tubuh antara lain reaksi stres tubuh,
menurunnya kontrol terhadap diri sendiri, reaksi emosi berkaitan dengan prosedur tindakan, dan
loss of meaning (kehilangan makna hidup). Stres yang berkaitan dengan ruangan antara lain
berkaitan dengan situasi dan kondisi yang terjadi di ruangan ICU dan yang berkaitan dengan relationship
yaitu perpisahan dengan orang yang penting dalam hidupnya.
Hidupnya.
Penelitian lain oleh Dyson (1996) dan Dyson (1999) menemukan bahwa pasien yang dirawatdi
ICU mengalami ICU psychosis dengan gejala fatigue, distractibility, confusion (bingung),
disorientasi, kesadaran berkabut, inkoheren, cemas, halusinasi dan delusi. Keadaan ICU
psychosis ini disebabkan oleh ketidak mampuan perawat melakukan komunikasi yang efektif
dengan pasien dan kesulitan perawat dalam membangun hubungan yang therapeutik dengan
pasiennya, sehingga menyebabkan kecemasan bagi pasien, menigkatkan ketakutannya sampai mengalami
psikosa.
Konsep interdisiplin juga berdampak pada pasien dan ini juga bisa menjadi stressor tersendiri
bagi pasien. Banyaknya tenaga profesi yang keluar masuk dan melakukan pengkajian atau
intervensi dan seringnya mereka mendiskusikan tentang penyakit pasien bisa menyebabkan
stress bagi pasien yang sedang dirawat. Pasien mungkin akan merasa cemas, semakin takut dan
bahkan merasa putus asa terhadap penyakitnya
(Jastremski, 2000)
Hal lain yang merupakan stressor bagi pasien yang dirawat di ICU adalah kurangnya kontak
dengan keluarga mereka padahal mereka sangat membutuhkan kehadiran keluarganya dalam keadaan mereka
yang kritis seperti itu (Davis-Martin,1994). Keluarga membutuhkan informasi tentang
perkembangan pasien. Pada umumnya ICU masih membatasi kunjungan keluarga
(Jastremski, 2000)

3.Caring pada pasien kritis

Perawat harus mengatasi dulu masalahnya sendiri Sebelum mampu mengatasi stress pada pasien yang
dirawat, seorang perawat ICU harus mampu mengatasi stressnya sendiri. Perawat yang bertugas di
ruang ICU mempunyai stress yang lebih tinggi daripada perawat yang bertugas di ruangan lain.
Menurut hasil penelitian pakar ICU dari Texas Amerika Serikat, Barr dan Bush (1998), ada 4
faktor yang dapatmendukung perawat untuk mengatasi stressnya.
Pertama adalah : dukungan dari teman, atasan dan keluarga. Seorang perawat ICU akan merasa
berarti kalau mendapatkan pujian dari temannya atau atasannya. Pujian - pujian kecil setiap hari
bisa menyemangati teman atau kolega. Seperti misalnya “wah, kamu melakukannya dengan baik
hari ini”. Atau“tadi kamu berkomunikasi dengan baik dengan keluarga”. Dengan saling
mendukung tentunya sesame perawat ICU akan merasa tidak sungkan untuk saling meminta dan
menerima advice (Barr &Bush,1998).
Kedua adalah : adanya perawat yang menjadi model. Seorang perawat senior tentu bisa menjadi
model bagi perawat lainnya. Seorang role model mempunyai sikap yang baik terhadap
pekerjaannya dan pasiennya. Mereka biasanya mempunyai sikap kind, emphatic and thoughtful
tentang pasien dan orang lain disekitarnya. Ketika dia punya masalah dia tidak
memperlihatkannya kepada temanya dan juga pasiennya.
Ketiga adalah : melihat perkembangan pasien yang positif dan interaksi yang positif dengan
pasien dan keluarga. Seorang perawat mengatakan bahwa sebaiknya keluarga lebih sering
berkunjung sehingga kita lebih bisa memahami kebutuhan pasien. Mengizinkan seorang istri
untuk melakukan perawatan mulut bagi suaminya merupakan suatu contoh bagaimana caranya
melibatkan keluarga dalam merawat pasien dan memberikan waktu mereka untuk bersama yang
membuat mereka merasa spesial. Mengizinkan keluarga untuk menyentuh pasien dan bicara
singkat dengan pasien. Menjelaskan keadaan pasien, prosedur dan peraturan rumah sakit kepada
keluarga.
Keempat adalah : perawat ICU harus mendapatkan saleri yang pantas sesuai dengan
tanggung jawabnya. Jika penghasilannya kecil maka performance mereka menjadi menurun.

Upaya untuk mengatasi masalah psikososial pasien kritis


Setelah perawat mampu mengatasi stressnya sendiri, baru dia bisa berupaya mengatasi stress
pasien dan keluarga. Berikut adalah beberapa tindakan yang bisa dilakukan oleh perawat untuk
menurunkan stress pada pasien di ruang ICU.
 
Modifikasi lingkungan
Pertama adalah merubah lingkungan ICU. Lingkungan ICU sebaiknya senantiasa dimodifikasi supaya lebih
fleksibel walaupun menggunakan banyak sekali peralatan dengan teknologi canggih, serta
meningkatkan lingkungan yang lebih mendukung kepada proses recovery (penyembuhan pasien)
(Jastremski, 2000). Konsep pelayanan yang berfokus pada pasien memungkinkan untuk
mempromosikan the universal room. Ketersediaan alat yangportable dan lebih kecil meningkatkan
keinginan untuk mendekatkan pelayanan pada pasien dari pada pasien yang datang ke tempat
pelayanan. Kemungkinan untuk membuat work station kecil (decentralization of nursing
activities) untuk tiap pasien akan mengurangi stress bagipasien (Jastremski, 2000). Peralatan
yang super canggih seperti remote monitoring untuksemua pasien melalui monitor pada semua
tempat tidur pasien yang bisa dimonitor lewat TV.Jadi perawat bisa memonitor pasien Bed 1
walau sedang berada dekat pasien Bed 2(Jastremski, 2000).
Disamping menggunakan tekhnologi canggih seperti diatas untuk efisiensi dan efektifitas
pelayanan kepada pasien, lingkungan yang menyembuhkan (healing environtment) juga perlu
diciptakan. Fleksibilitas dari lingkungan tempat tidur (bedside environtment) bisa dimaksimalkan
ketika semua lingkungan yang terkontrol disedikan di ruangan pasien.

Thermostats, light switches, sound systems, window blinds dan lain 2 harus bisa dikontrol secara
terpisah untuk setiap pasien (Jastremski, 2000). Pengontrollen level suara (noise) dan promoting
normal sleep penting sebagai pengaturan fluid intake.
 
Terapi music
Disamping modifikasi lingkungan seperti diuraikan diatas, cara lain untuk menurunkan stress
pada pasien yang dirawat di ICU adalah terapi musik. Tujuan therapy musik adalah menurunkan
stress, nyeri, kecemasan dan isolasi. Beberapa penelitian telah meneliti efekmusik pada
physiology pasien yang sedang dirawat dan menemukan bahwa terapi music dapat menurunkan
heart rate, komplikasi jantung dan meningkatkan suhu ferifer padapasien AMI. Juga ditemukan
bahwa terapi musik dapat menurunkan stress pasien (Jastremski, 2000; Harvey, 1998; White,
1999). Musik yang digunakan bisa berupa suaraair, suara hujan, suara angin atau suara alam
(Jastremski,1998). Masing - masing pasien diberikan headset untuk mendengarkannya.
Pengurangan cahaya di malam hari juga akanmengurangi stressor bagi pasien.
 
Melibatkan kelurga dan memfasilitasi keluarga dalam perawatan pasien kritis
Lingkunga ICU harus mampu mengakomodasi kebutuhan pasien dan keluarganya (Jastremski,
2000). Pasien tentunya sangat mengharapkan dukungan emosional dari keluarganya (Olsen,
Dysvik & Hansen, 2009) karenanya jam besuk harus lebih fleksibel.Selama ini jam bezuk hanya
2 kali sehari. Hal ini perlu dimodifikasi terutama untuk seseorang yang sangat berarti bagi
pasien. Disamping itu keluarga perlu diberikan ruangan tunggu yang nyaman dengan fasilitas
kamar mandi, TV dan internet connection (Hamilton,1999).
Komunikasi terapeutik
Perawat dan tenaga kesehatan lainnya sering lupa atau kurang perhatian terhadap masalah
komunikasinya dengan pasien dan keluarganya. Berdasarkan sistematic review yang dilakukan oleh Lenore
& Ogle (1999) terhadap penelitian tentang komunikasi perawat pasien di ruang ICU di Australia
menemukan bahwa komunikasi perawat di ruang ICUmasih sangat kurang meskipun mereka
mempunyai pengetahuan yang sangat tinggi tentangkomunikasi terapeutik. Hal ini juga dialami
oleh teman dekat penulis ketika anaknya dirawat di ICU. Dia merasa perawat ICU di rumah sakit
tersebut sangat tidak mempertimbangkan perasaan dia dan pasien ketika berkomunikasi. Sangat
tidak supportive dan cenderung apathy. Penelitian lain oleh McCabe (2002) di Ireland dengan
pendekatan phenomenology juga menunjukkan hal yang sama. Akan tetapi, perawat bisa
melakukan komunikasi yang baik dan efektif dengan pasien ketika perawat menggunakan
pendekatanperson-centered care.
-Person-centred care adalah istilah yang digunakan dalam pelayanan kesehatan untuk
menggambarkan pendekatan pilosofis untuk a particular mode of care (model tertentu dalam
keperawatan). Konsep utama dari person-centred care adalah sebuah komitmen untuk
menemukan kebutuhan pelayanan keperawatan individu dalam konteks pengalaman sakit,
kepercayaan pribadi, budaya, situasi keluarga, gaya hidup dan kemampuan untuk memahami apa
yang sedang dirasakan oleh pasien. Pendekatan ini membutuhkan perawat untuk pindah dari
sekedar hanya memenuhi kebutuhan kesehatan pasien kepada kemampuan untuk memahami dan
responsif terhadap the inner world of the individual –  their personal world of experiences and what this means
to them  (Hasnain, et al., 2011;Clift, 2012).

4.Kesimpulan
Pasien – pasien yang dirawat diruangan ICU adalah pasien –  pasien yang sedang mengalami keadaan
kritis. Keadaaan kritis merupakan suatu keadaan penyakit kritis yang mana pasien sangat
beresiko untuk meninggal. Pada keadaan kritis ini pasien mengalami masalah psikososial yang
cukup serius dan karenanya perlu perhatian dan penanganan yang seriuspula dari perawat dan tenaga
kesehatan lain yang merawatanya. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien kritis
ini, perawat harus menunjukkan sikap professional dan tulus dengan pendekatan yang baik serta
berkomunikasi yang efektif kepada pasien.
EFEK KONDISI TERHADAP PASIEN DAN KELUARGA :
Sebuah penelitian di Norwegia yang mereview beberapa penelitian kualitatif pada pasien yang
dirawat diruang ICU menemukan bahwa pasien mengalami stres yang berhubungan dengan 3
tema besar, yaitu:
1. Stres berkaitan dengan tubuh mereka
2. Stres berkaitan dengan ruangan ICU
3. Stres berkaitan dengan relationship dengan orang lain
(Jastremski, 2000 dalam Suryani, 2012)
Efek Kondisi terhadap keluarga :
1.Psikologis
2.Non Psikologis
Efek Psikologis :
1. Stres akibat kondisi penyakit pasien (anggota keluarga), prosedur penanganan
2. Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian pada pasien (anggota keluarga)
3. Pengingkaran terhadap kondisi kritis pasien (anggota keluarga) (Hudak & Gallo, 1997

Efek Non Psikologis :


1. Perubahan pelaksanaan fungsi peran dalam keluarga
2. Terbatasnya komunikasi dan waktu bersama
3. Perubahan struktur peran dalam keluarga
4. Masalah financial keluarga
5. Perubahan pola hidup keluarga
(Hudak & Gallo, 1997) *(Morton et al, 2011)

Kecemasan pada pasien dan keluarga yang menjalani perawatan di unit perawatan kritis terjadi
karena adanya ancaman ketidakberdayaan kehilangan kendali, perasaan kehilangan fungsi dan
harga diri, kegagalan membentuk pertahanan, perasaaan terisolasi dan takut mati. Kecemasan
tersebut berpengaruh terhadap anggota keluarga lainnya (Hudak & Gallo, 1997).
DAFTAR PUSTAKA

Mardiyono. 2018.
  Perawatan End of Life  Instalasi  Gawat Darurat Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
http://blog.umy.ac.id/ararindjani/2018/09/04/perawatan-end-of-life-di-instalasi-gawat-
darurat/diakses pada tanggal 22 mei 2019

Barr W.J. & Bush H.A.(1998). Four factors of nurse caring in the ICU
. Dimensions ofCritical Care Nursing, 17(4), 214-223Cornock M (1998). Stress and the intensive
care patient: Perceptions of patients and nurses.
 Jounal of Advand Nursing, 27,18.Davis-Martin S (1994). Perceived needs of families of long-
term critical care patients: A briefreport.
Heart Lung, 23, 515Dyson M. (1996). Modern critical care unit design: Nursing implications in
modern criticalcare unit design.

Nursing Critical Care 1,194,


Dyson M. (1999). Intensive care unit psychosis, the therapeutic nurse-patient relationship andthe
influence of the intensive care setting: Analysis of interrelating factors.
 Journal ofClinical Nursing, 8, 284Hamilton K. (1999): Design for flexibility in critical care.
 New Horizon, 7, 205Harvey M.A. (1998): Critical care unit bedside design and furnishing:
Impact on nosocomialinfection.
 Infection Control Hospital Epidemiology, 19, 597,Jastremski, C. A. (2000) ICU bedside
environtment: a Nursing perspective.
Critical CareClinics,16 (4), 723 – 734.McCabe, C. (2004). Nurse 
patient communication: an exploration of patients’ experiences.
 Journal of Clinical Nursing, 13, 41– 49Simpson T, Lee ER, Cameron C (1996). Patients'
perceptions of environmental factors thatdisturb sleep after cardiac surgery.
 American Journal of Critical Care

Anda mungkin juga menyukai