Anda di halaman 1dari 6

Pendahuluan

Latar belakang

Dahulu sebuah fenomena alam, perubahan iklim, serta isu lingkungan lainnya merupakan isu
fatamorgana yang sangat jauh dari telinga masyarakat negara berkembang seperti Indonesia. Tak
banyak yang menggubris apalagi peduli. Kemudian merasa aman sendiri tanpa punyai kewajban mitigasi
atas apa yang akan terjadi. Padahal isu lingkungan adalah isu global yang penting untuk dikaji terutama
keseriusan penanganannya dan terkait regulasi. Ketika negara-negara di berbagai dunia telah
memasukkan ketentuan tentang lingkungan ke dalam konstitusinya sejak lama, Indonesia baru
menciptakan undang-undang perlindungan terhadap lingkungan pada tahun 1982.[1] Pengaturan terkait
lingkungan mutlak diperlukan karena berkaitan dengan fenomena alam dalam upaya melindungi hajat
hidup orang banyak secara jangka panjang, dalam artian membantu masa depan dunia untuk
keberlangsungan hidup manusia.

Teori pembangunan merupakan salah satu teori besar yang juga dikenal dengan istilah ideologi
developmentalisme. Sesuai namanya, teori ini berporos pada aspek pembangunan, lebih khususnya
pembangunan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi. Gagasan inti teori pembangunan adalah asumsi
bahwa pertumbuhan ekonomi merupakan motor penggerak terciptanya kesejahteraan sosial dan
progres politik.

Kesejahteraan sosial dicapai dibawah naungan sistem kapitalisme. Sedangkan progres politik dicapai
dengan diterapkannya sistem demokrasi. Pembangunan melalui kapitalisme akan membawa masyarakat
dari tradisional, terbelakang, dan tribal menuju masyarakat yang modern, maju, dan progress. Apabila
masyarakat mengalami transformasi menjadi masyarakat yang modern, aspek politik akan bergerak ke
arah demokrasi.

Rumusan masalah

1. Apa itu fenomena alam ?

2.apa itu teori pembangunan ?

3. Berpengaruh kah fenomena alam ( bencana alam ) dalam teori pembangunan ?

Pembahasan

Sedikit bergeser kepada fenomena alam berupa bencana yang terjadi sebagai kilas balik pada tahun
2019 yang dicatat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di berbagai wilayah Indonesia.
Terdapat 3.200 kali bencana terdiri atas 1.010 kali puting beliung, 680 kali banjir, 688 karhutla, 651 kali
tanah longsor, 121 kali kekeringan, 26 kali gempa bumi, 17 kali gelombang pasang/abrasi dan 7 kali
letusan gunung api.[2] Karhutla menjadi fenomena yang paling disoroti berkaitan dengan rusaknya
ekosistem hutan di Indonesia dan kerugian yang dialami negara tetangga dengan kabut asap yang
ditimbulkannya. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan paru-paru dunia dan berfungsi
sebagai penghasil oksigen dan pembantu dalam menyeimbangkan iklim di tengah isu pemanasan global.
Hutan mempunyai fungsi yang melimpah dan sangat vital.[3] Jika hutan Indonesia terus terbakar dan
kehilangan fungsinya, lalu apa kabar dunia?

Belum lagi masih awal tahun kemarin fenomena banjir Jabodetabek menyebabkan kerugian harta benda
dan korban nyawa.[4] Banjir seolah menjadi bencana menahun yang tak mampu diobati oleh
pemerintah. Namun, kesalahan bukan berarti sepenuhnya milik pemerintah karena penanganan
terhadap banjir adalah sebuah mega proyek yang nyatanya harus dilakukan pula oleh masyarakat. Lalu
Penyambutan tahun baru yang seharusnya meriah tetapi malah diiringi oleh bencana air bah, siapa yang
salah? Desas – desus amarah warga Jakarta akibat pemotongan anggaran banjir oleh Gubernur Anies
Baswedan nyatanya mendapat pro dan kontra. Karena sekali lagi bencana yang berasal dari alam berarti
tidak hanya melibatkan tangan manusia sebagai penyebab, tetapi pemerintah pun sebagai pengambil
kebijakan bukannya tetap harus mengambil solusi?

Maka dari itu, Pleads FH Unpad terdorong untuk melakukan kajian mengenai hukum dan fenomena
alam berkaitan dengan bagaimana suatu regulasi hukum dapat menyelamatkan masa depan alam
sebagai lingkungan yang ditinggali oleh subjeknya. Lalu muncul pertanyaan apakah peran hukum
dibutuhkan dalam mengatasi fenomena alam? Setelah terjawab pertanyaan ini, kemudian adakah
regulasi konkret yang dimiliki Indonesia dalam upaya mengatasi fenomena alam?

Hukum dan Fenomena Alam

Menurut Mattias Finger femonena alam dan krisis lingkungan hidup yang mendunia setidaknya
disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya yaitu : kebijakan yang salah dan gagal, teknologi yang tidak
efisien bahkan cenderung merusak, rendahnya komitmen politik, gagasan, dan ideologi yang akhirnya
merugikan lingkungan, tindakan dan tingkah laku menyimpang aktor-aktor negara, merebaknya pola
kebudayaan seperti konsumerisme dan individualisme serta individu yang tidak terbimbing dengan baik.
Beranjak dari masalah tersebut, maka pada umumnya jalan yang ditempuh untuk mengatasi
permasalahan lingkungan akan dilakukan melalui pembuatan kebijakan yang lebih baik, teknologi baru
dan berbeda, penguatan komitmen politik dan publik, menciptakan gagasan dan ideologi baru yang pro-
lingkungan (green thinking), penanganan terhadap aktor-aktor yang dianggap menyimpang dan
mengubah kebudayaan, tingkah laku serta kesadaran tiap-tiap individu.[5]

Bila disoroti kepada penyebab krisis lingkungan yaitu karena kebijakan yang salah dan gagal serta
rendahnya komitmen serta adanya tindakan menyimpang dari aktor negara tentunya hal ini sesuai.
Nyatanya pengaturan tentang lingkungan belum sepenuhnya diatur secara tegas dalam konstitusi.
Karena walaupun suatu permasalahan lingkungan berasal dari alam tetapi peran manusia sebagai aktor
yang ikut merusak/memperparah keadaan pun patut diperhitungkan dan ditangani. Maka jika hukum
dipegang oleh oknum aktor negara yang menyimpang tentunya akan sangat membahayakan, tentunya
fakta dapat dilihat dari bencana yang terjadi yang telah disinggung dalam pendahuluan.

Sebenarnya pengaturan tentang lingkungan beserta fenomena alam telah ada dalam peraturan
perundang-undangan yaitu dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air,
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Nomor 18
Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan terdapat pula Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut
dalam Undang-undang tersebut. Namun, keberadaan undang-undang belum dapat mengakomodir
masalah lingkungan secara sepenuhnya dikarenakan tidak semua masalah lingkungan tidak mengatur
secara menyeluruh mengenai lingkungan dan fenomena alam.

Kemudian dalam UUD 1945 sudah mengatur pula tentang upaya perlindungan terhadap
lingkungan, akan tetapi norma-norma konstitusi tersebut masih diposisikan sebagai faktor subsidair atau
pendukung dalam pemenuhan hak asasi manusia dan perekonomian nasional. Karena bukan merupakan
suatu norma yang berdiri sendiri maka pengaturannya pun dirasa kurang tegas dibuktikan dengan masih
banyaknya permasalahan lingkungan yang ada terlepas dari faktor terbesar penyebabnya adalah alam
sendiri ataupun manusia. Seperti undang-undang perubahan iklim yang pengaturannya belum ada dan
masih menjadi wacana mengenai pembentukannya[6]. Sedangkan jika melihat negara-negara lain
seperti AS dan Australia sudah mempunyai UU tersendiri mengenai perubahan iklim.

Konsep Ekokrasi dalam Konstitusi

Konstitusionalisasi norma lingkungan dilakukan pasca perubahan terakhir UUD 1945 tahun 2002,
banyak pihak yang mulai menaruh perhatian terhadap fenomena yang bersentuhan dengan
permasalahan lingkungan yang salah satunya disebabkan fenomena alam. Termaktub dalam Pasal 28 H
ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, sudah sedikit menjelaskan adanya perlindungan konstitusi
(constitutional protection), baik terhadap warga negaranya untuk memperoleh lingkungan hidup yang
memadai maupun jaminan terjaganya tatanan lingkungan hidup yang lestari.[7]

Tak hanya ketentuan nasional, ekokrasi pun didukung pula oleh hukum internasional yaitu Pasal
25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ((DUHAM) yang menyatakan “everyone has the right to
standart of living adequate for health and well-being of himself and of his family.” Bahwa kebutuhan
hidup warga negara juga harus terpenuhi secara memadai baik kesehatannya maupun hal-hal lain yang
menyokong kehidupan seseorang. Selain harus terjaganya fungsi lingkungan yang menyokong manusia,
diperlukan adanya pembangunan berkelanjutan yang menurut World Commission on Environment and
Development (WCED) definisinya adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan sekarang
tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan.[8] Pembangunan berkelanjutan
sebagai suatu tafsir konstitusi yang perlu digalakkan yang harus berwawasan lingkungan untuk
mewujudkan ekokrasi.

Gagasan mengenai ekokrasi (ecocracy) sudah banyak muncul di berbagai negara. kemunculannya
pertama kali dalam the Brundtland Report. Menurut Henryk Skolomowski, konsepsi ekokrasi berbentuk
pengakuan terhadap kekuatan alam dan kehidupan yang ada di dalamnya, terdapat pemahaman
mengenai keterbatasan lingkungan, elemen kerjasama dengan alam, serta penciptaan sistem ekologi
yang berkelanjutan dengan penghormatan terhadap bumi beserta isinya dan tidak melakukan perusakan
alam, perampasan secara ekslpoitatif[9], pencemaran, dan lain-lain.

Menurut Jacquieline Aloisi de Larderel dalam “Living in an Ecocracy” menggambarkan ekokrasi sebagai
sistem aktivitas yang diukur melalui standar internasional mengenai perlindungan terhadap lingkungan
dan alam, artinya konsep ini ditujukan untuk mengintegrasikan kembali kehidupan antara makhluk
hidup di dunia, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dalam lingkungan yang ramah alam.[10] Namun,
pembentukan konsep ekokrasi bukan tanpa halangan , oleh karena itu para pegiat lingkungan harus
secara terus-menerus dan bertahap memberikan pencerahan terhadap gagasan tersebut. salah satu
cara yang paling efektif adalah dengan menjalankan green policy yang dimuat dalam berbagai kebijakan
baik oleh organisasi internasional maupun pemerintahan nasional. Padahal adanya konsep ekokrasi
dalam konstitusi dapat membantu program pemerintah yang setiap tahun menaikan anggaran untuk
mitigasi bencana dalam rangka menyiapkan masyarakat ketika menghadapi bencana.

Pernyataan diatas didukung oleh pendapat Jimly Asshiddiqie ahli hukum tata negara yang pertama kali
memepopulerkan istilah “Green Constitusion” di Indonesia, yaitu adanya UUD 1945 sebagai konstitusi
formal masih sangat terbatas dalam melakukan perlindungan terhadap lingkungan[11], berbeda jauh
dengan negara lain seperti Konstitusi di Equador yang memberikan hak terhadap lingkungan sebagai
subyek hukum sederajat dengan hak asasi manusia[12] dan Perancis dengan deklarasi Piagam
Lingkungan Hidup (Charter for the Environment) yang mengandung nilai-nilai konstitusi sejak tahun
2005.[13] Oleh karennya untuk memperkuat hubungan hukum dengan alam sebagai lingkungan
manusia tinggalnya dalam lingkup konstitusi diperlukan beberapa langkah yang sebelumnya telah
dijabarkan oleh Prof. Jimly Asshidiqqie, yaitu :

Pertama, meskipun beberapa ketentuan tentang lingkungan sudah tercantum dalam UUD 1945 akan
tetapi bila dibandingkan dengan negara lain akan jauh terlihat perbedaannya dimana Indonesia masih
belum mengatur secara tegas prinsip-prinsip lingkungan dalam ranah konstitusi. Apabila terjadi
amandemen UUD 1945 yang kelima, perlu diformulasikan norma-norma perlindungan terhadap
lingkungan dengan adanya alasan dan dampak negative atas permasalahan lingkungan. Kedua,
sosialisasi terhadap konstitusionalisasi norma lingkungan hidup yang dapat diberikan kepada penentu
kebijakan negara di setiap tingkatan pemerintahan, tak terkecuali para hakim. Diharapkan kesadaran
ekologis (ecology awareness) di antara para pengambil kebijakan maka dapat turut memberikan
pencerahan kepada warga negara secara bertahap dan menyeluruh.

Penutup

Sadarkah kita banyaknya fenomena alam yang terjadi terutama mengenai bencana baik alam
maupun sosial menjadi tanda bahwa sudah sepatutnya kita mementingkan lingkungan sebagai tempat
tinggal kita. Penanganan isu lingkungan bukan hanya mengandalkan teknologi canggih tetapi juga harus
melibatkan aspek sosial dan juga hukum sebagai ‘alat pemaksa’ agar manusia dapat berbuat baik
terhadap lingkungannya. Mengapa gerakan dalam hukum harus dikembangkan dalam upaya
penyelamatan lingkungan? Karena gerakan sosial dan hukum dapat diikuti oleh seluruh masyarakat
secara gotong royong berbeda dengan hanya mengandalkan teknologi yang hanya dapat dilakukanoleh
para ahli.

Hukum sebagai suatu intsrumen penting dalam setiap aspek kehidupan manusia tak terkecuali
lingkungan, tentunya pengaturannya harus dapat dibumikan untuk semua bidang kehidupan agar
tercipta keadilan. Fenomena alam berupa bencana kedatangannya sulit diprediksi dan penyebabnya
bukan hanya oleh alam melainkan juga oleh campur tangan manusia. Maka dari itu dibutuhkan
penanganan yang tepat agar perilaku manusia tidak terus menyimpang merusak alam dan alam dapat
terus dijaga serta dilestarikan keberadaanya.
Fungsi hukum dapat dijadikan sebagai pencegah dan secara tidak langsung dapat menjadi pengendali
fenomena alam. Langkah yang dilakukan dengan membuat aktor-aktor negara mempunyai landasan
untuk membuat suatu kebijakan yang mengatur secara utuh tentang lingkungan. Kemudian produk
hukum yang dihasilkan dapat disosiaisasikan dan diterapkan bersama dengan masyarakat. Hal ini
bertujuan agar tercipta kesadaran terhadap lingkungan dan sefala fenomena alam yang terjadi. Karena
bukan zamannya lagi gerakan perubahan iklim hanya dilakukan melalui teknologi tetapi juga harus
digalakan secara sosial dengan landasan hukum yang kuat.

Saat ini memang sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
lingkungan dan fenomena alam namun dasar konstitusinya belum secara tegas berdiri sendiri mengatur
secara khusus mengenai lingkungan. Maka dari itu, bila memang akan ada amandemen ke 5 Undang-
Undang Dasar 1945 perlu dimasukan pengaturan hukum lingkungan agar produk hukum seperti undang-
undang terkait secara spesifik dapat ikut mengatur segala permasalahan lingkungan dan fenomena alam
secara komprehensif. Diharapkan upaya tersebut akan menyelamatkan lingkungan secara perlahan
melalui juga sosialisasi peraturan terkait dan penyadaran masyarakat tentang pentingnya isu lingkungan
dan penanganan fenomena alam berupa bencana.

Anda mungkin juga menyukai