TESIS
WIDA HERBINTA
NPM 1006767273
TESIS
WIDA HERBINTA
1006767273
Universitas Indonesia
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang
NPM :1006767273
Tanda Tangan :
Tanggal : l2Juni20l4
Universitas lndonesia
PENGUJI
'w,
Penguji :Prof Darto Satoto, SpAn-I(AR
,aw
Penguji : Prof. Ruswan Dachlan, SpAn-KIC
Ditetapkan di : Jakarta
Puji Syukur saya panjatkan kepada Allah, SWT karena berkat rahmat-Nya saya
dapat menyelesaikan proposal penelitian ini. Penulisan proposal penelitian ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Dokter
Spesialis Anestesiologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Saya mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM-K, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan
2. dr. Aries Perdana, SpAn-K, selaku Kepala Departemen Anestesiologi dan
pembimbing tesis yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
mengarahkan saya dalam penyusunan tesis.
3. dr. Riyadh Firdaus, SpAn, selaku pembimbing tesis yang telah menyediakan
waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis.
4. dr. Ratna Farida Soenarto, SpAn-K selaku Ketua Program Studi Program
Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM
dan dr. Adhrie Sugiarto, SpAn selaku Sekretaris Program Studi Program
Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM
atas bantuan dan perhatian kepada penulis.
5. dr. Andi Ade Wijaya, SpAn-K, selaku Kepala Instalasi Gawat Darurat RSCM
yang telah memberikan bantuan dan fasilitas kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis.
6. Istri saya, Puspitaningrum dan kedua anak saya, Anabita Diara Syakila dan
Diandra Resi Sadewa yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada
penulis dalam menjalani studi.
7. Kedua orang tua dan keluarga besar saya yang selalu memberikan doa dan
semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian.
8. Keluarga besar parestesi dan teman sejawat yang selalu memberikan doa dan
partispasinya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan proposal
penelitian ini.
iv Universitas Indonesia
Wida Herbinta
v Universitas Indonesia
NPM .1046767273
Program Studi : Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas :Kedokleran
Jenis Karya : Tesis
Dibuat di . Jakarta
Pada tanggal .12 luni2014
Yang Menyatakan
[*,,
Wida Herbinta
vl Universitas Indonesia
1. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................ 3
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
1.4.1 Tujuan Umum .................................................................................... 3
1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................. 4
1.5.1 Manfaat Bidang Akademik ............................................................... 4
1.5.2 Manfaat Bidang Pelayanan ............................................................... 4
1.5.3 Manfaat Bagi Pengembangan Penelitian ........................................... 4
3 METODOLOGI PENELITIAN................................................................... 24
ix Universitas Indonesia
5 PEMBAHASAN ............................................................................................ 34
x Universitas Indonesia
xi Universitas Indonesia
1 Universitas Indonesia
merupakan standar baku dalam manajemen jalan nafas pada saat RJP dan sudah
digunakan sejak tahun 1970. Namun, keterampilan untuk melakukan intubasi
endotrakea sulit untuk didapatkan dan harus terus dilatih.6,7 Terdapat kontroversi
mengenai tindakan intubasi yang dilakukan oleh tenaga medis bukan dokter
anestesiologi, karena didapatkan tingkat kegagalan mencapai lebih dari 30% dan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan dan memasang alat
intubasi endotrakea.8 Kesalahan penempatan pipa endotrakea yang dilakukan oleh
personil paramedis prarumah sakit yang kurang berpengalaman dapat
menyebabkan bahaya iatrogenik dan kematian pasien. Pada penelitian Katz dkk
didapatkan lebih dari 25% kegagalan penempatan pipa endotrakea yang dilakukan
paramedis pada sistem pelayanan kesehatan emergensi.6
Teknik manajemen jalan nafas alternatif yang masuk dalam pedoman
resusitasi American Heart Association (AHA) tahun 2010 adalah Supraglottic
Airway Device (SAD). SAD adalah alat untuk mempertahankan jalan nafas tetap
terbuka dan memfasilitasi ventilasi. Bertolak belakang dengan intubasi
endotrakea, SAD telah terbukti memiliki keunggulan dalam hal kecepatan dan
kemudahan pemasangan bila dilakukan oleh personil dengan keterbatasan
pengalaman dalam melakukan manajemen jalan nafas.6,10 Laryngeal Mask (LM)
adalah salah satu bentuk SAD yang masuk dalam pedoman RJP. Pemasangan LM
tidak seperti intubasi endotrakea yang memerlukan visualisasi glotis, sehingga
keahlian untuk pemasangan LM lebih mudah didapatkan. Karena tidak
memerlukan tindakan untuk visualisasi glotis, sehingga mengurangi interupsi
pada saat kompresi dada.9 Pada penelitian Bassiakou dkk didapatkan paramedis
lebih mudah melakukan manajemen jalan nafas pada manekin dengan
menggunakan LM dibandingkan dengan intubasi endotrakea pada simulasi RJP.7
Sejak ditemukan pada tahun 1988 oleh dr. Archie Brain, LM telah
mengalami perkembangan dan telah tercipta berbagai bentuk. LM Unique dan LM
Supreme merupakan salah satu bentuk LM yang saat ini sering digunakan. LM
Unique adalah LM generasi pertama dan bentuk sekali pakai dari LM Klasik yang
perannya dalam resusitasi sudah diteliti dan masuk dalam pedoman resusitasi. LM
Supreme adalah LM generasi kedua sekali pakai terbaru yang memiliki komponen
pipa jalan nafas rigid dengan kelengkungan yang mengikuti bentuk anatomi
Universitas Indonesia
orofaring, sungkup laring dan pipa drainase esofagus untuk mengurangi risiko
aspirasi dan regurgitasi. Karakteristik yang dimiliki LM Supreme membuat
pemasangannya menjadi mudah dan memiliki peran penting dalam situasi
emergensi.10
Perawat sebagai penolong pertama pada kejadian henti jantung didalam
rumah sakit yang melakukan manajemen jalan nafas saat RJP dan perkembangan
dan masuknya LM dalam pedoman resusitasi maka dibuatlah penelitian yang
ditujukan untuk mengetahui kemudahan pemasangan LM Supreme dan LM
Unique yang dilakukan oleh perawat pada manekin. Penelitian ini dilakukan pada
manekin karena penelitian pemasangan LM oleh tenaga medis bukan dokter
anestesiologi langsung ke pasien bila dilakukan di Indonesia belum memenuhi
kaidah etik.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
5 Universitas Indonesia
merupakan hal yang sangat penting pada saat RJP prarumah sakit maupun di
dalam rumah sakit karena akan meningkatkan peluang pasien untuk bertahan
hidup.10 Henti jantung mendadak sebagian besar ditemukan pertama kali oleh
orang disekitar yang pertama kali melihat kejadian (layperson) atau tenaga medis
emergency medical services (EMS) yang berupaya mengembalikan kehidupan
dengan melakukan RJP.2 Pengetahuan tentang penatalaksanaan awal pasien henti
jantung bagi tenaga medis (paramedis) dan masyarakat awam menjadi hal yang
krusial.
Universitas Indonesia
dan ruang perawatan di rumah sakit yang berada pada gedung yang berbeda atau
lantai yang berbeda pada satu gedung menyebabkan dokter yang berpengalaman
melakukan RJP tidak dapat dengan cepat berada di lokasi kejadian, sehingga
perawat yang berada di lokasi memiliki tanggung jawab melakukan RJP yang
optimal yaitu dengan melakukan kompresi dada dan manajemen jalan nafas untuk
memberikan ventilasi dan oksigenasi.5
Pada saat RJP perawat dan berperan menjadi anggota tim resusitasi sampai
menjadi pimpinan resusitasi. Ketika menjadi pimpinan resusitasi, perawat dapat
menjalani peran tersebut dengan baik. Giligan dkk melaporkan perawat terlatih
dalam melakukan bantuan hidup lanjut memiliki performa yang sama dengan
dokter junior saat RJP pada simulasi henti jantung.14
Perawat harus mendapatkan pendidikan dan pelatihan RJP sebelum
menjalani perannya tersebut. Pelatihan mengenai bantuan hidup dasar harus
dikuasai sebelum kontak dengan pasien di ruang rawat. Namun, terdapat jurang
pemisah antara bantuan hidup dasar dengan bantuan hidup lanjut. Pada bantuan
hidup dasar tidak dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan menggunakan
peralatan manajemen jalan napas lanjut dan obat-obatan resusitasi. Pelatihan
mengenai bantuan hidup lanjut termasuk manajemen jalan napas harus diberikan
kepada perawat sehingga memungkinkan perawat melakukan inisiasi RJP
sebelum tim resusitasi datang. Hal ini akan berdampak pada kelangsungan hidup
pasien yang mengalami henti jantung.14
Universitas Indonesia
Karakteristik alat manajemen jalan nafas saat resusitasi adalah alat yang
dapat mempertahankan terbukanya jalan nafas dalam waktu yang cepat, serta
dapat memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Karakteristik lain yang diharapkan
adalah dapat memberikan ventilasi tekanan positif dan dapat mencegah terjadinya
regurgitasi.15 Walaupun intubasi endotrakea sudah digunakan sejak tahun 1970
pada resusitasi dan masih menjadi standar baku dalam manajemen jalan nafas,
namun keterampilan untuk melakukan intubasi endotrakea sulit untuk didapatkan
dan harus terus dilatih.6,7,16 Terdapat kontroversi mengenai tindakan intubasi yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan bukan dokter anestesiologi, karena didapatkan
tingkat kegagalan mencapai lebih dari 30% dan membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk mempersiapkan dan memasang alat intubasi endotrakea.8 Kesalahan
penempatan pipa endotrakea yang dilakukan oleh personil paramedis pra rumah
sakit yang kurang berpengalaman dapat menyebabkan bahaya iatrogenik dan
kematian pasien. Pada penelitian Katz dkk didapatkan lebih dari 25% kegagalan
penempatan pipa endotrakea yang dilakukan paramedis pada sistem pelayanan
kesehatan emergensi.6 Kegagalan menempatkan pipa endotrakea ke trakea
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.17 Berdasarkan penelitian Wang
dkk didapatkan data manajemen jalan nafas yang dilakukan oleh paramedis EMS
memiliki persentase keberhasilan intubasi endotrakea sebesar 77% dan persentase
keberhasilan penggunaan alat jalan nafas alternatif termasuk LM sebesar 87,2%.18
Bertolak belakang dengan intubasi endotrakea, Supraglottic Airway
Device (SAD) telah terbukti memiliki keunggulan dalam hal kecepatan dan
kemudahan pemasangan bila dilakukan oleh personil dengan keterbatasan
pengalaman dalam manajemen jalan nafas, sehingga pada pedoman resusitasi
tahun 2010 mengurangi penekanan intubasi endotrakea awal dengan mendukung
penggunaan SAD untuk mengurangi waktu pemasangan.9,15 SAD yang sudah
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
untuk melakukan evakuasi isi lambung. Pipa jala nafas yang keras memungkinkan
pemasangan tanpa menggunakan bantuan jari maupun stilet. Pada bagian
proksimal pipa jalan nafas terdapat bagian keras yang dapat berfungsi sebagai bite
block.10,22
Bentuk cuff yang dapat dikembangkan dari LM supreme diciptakan sesuai
bentuk anatomi hipofaring dengan lumen pipa jalan nafas tepat menghadap pintu
laring. Bentuk cuff juga menawarkan seal pressure yang lebih tinggi dibandingkan
pada LM Unique. Karakteristik yang dimiliki LM Supreme membuat pemasangan
oleh personil dengan pengalaman minimal menjadi lebih mudah.10,22
Rongga faring dibatasi pada bagian anterior oleh mulut dan choana,
Universitas Indonesia
superior oleh palatum mole dan dasar tengkorak, inferior oleh lidah bagian
belakang dan posterior oleh otot konstriktor faring. Pada bagian inferior faring
bergabung dengan laring yang berada dibagian anteriornya dan biasa disebut
dengan hipofaring atau laringofaring.23,24
2.7 Ukuran LM
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penggunaan dari LM secara
umum sangat tergantung kepada pemilihan ukuran yang sesuai. Dalam keseharian
praktek klinis, metode yang paling banyak digunakan berdasarkan berat
badan.23,24
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
jalan nafas pada saat resusitasi jantung paru pra rumah sakit sejak tahun 1970.
Saat ini menjadi hal yang menjadi perhatian mengenai kegagalan intubasi,
kesalahan menempatkan pipa endotrakea dan waktu yang memanjang untuk
intubasi membuat manfaatnya berkurang. Kegagalan menempatkan pipa
endotrakea ke trakea merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.17,26
Pemasangan LM tidak seperti intubasi endotrakea yang memerlukan
visualisasi glotis, sehingga keahlian untuk pemasangan LM lebih mudah
didapatkan. Karena tidak memerlukan visualisasi glotis, interupsi pada saat
kompresi dada tidak mengalami interupsi.9 Pada november 2005 konsil eropa
memasukan penggunaan alat jalan nafas supra glotis untuk manajemen jalan
nafas pada saat resusitasi jantung paru.8 Pedoman dari American Heart
Association tahun 2010 menunjukkan bahwa LM merupakan alternatif dari
intubasi endotrakea yang dapat diterima untuk penanganan jalan nafas pada
pasien dengan henti jantung (Kelas IIa).9
e. Penggunaan umum lain
Pasien yang sulit ditangani menggunakan teknik sungkup wajah, operasi
mata, endoskopi, penggantian ET, operasi pada kepala dan leher, pasien anak,
penyanyi profesional, operasi laser, laparoskopi, operasi abdomen bagian
bawah, bedah saraf, pada pasien dengan vertebra servikal yang tidak stabil,
ekstubasi, pada kondisi dimana diperlukan akses ke saluran gastrointestinal
bagian atas, prosedur ESWL.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.12 Komplikasi
Komplikasi pemasangan SAD dapat terjadi pada saat insersi, selama anestesia dan
pelepasan SAD meliputi laringobronkospasme (2-3%), batuk saat pemasangan (6-
11%), noda darah setelah pelepasan SAD (13-22%), dan nyeri daerah
laringofaringeal (22-44%).6,30
Keluhan laringofaring pasca bedah yang sering dilaporkan adalah nyeri
tenggorokan dengan kekerapan antara 22-44% dan bersifat ringan dan belum
diketahui penyebab yang pasti. Keluhan yang lain adalah nyeri menelan dan suara
serak.31 Beberapa hal yang potensial menyebabkan nyeri tenggorokan adalah:
Universitas Indonesia
a. Keterampilan individu
b. Teknik insersi
Teknik pemasangan dengan alat bantu memberikan kekerapan nyeri
tenggorokan yang lebih rendah dibanding teknik baku.23 Teknik pemasangan
baku memiliki keberhasilan pemasangan yang lebih baik dibanding dengan
teknik inflasi cuff sebelum insersi, meskipun tidak memiliki perbedaan
terhadap rasa tidak nyaman tenggorokan.32
c. Jenis lubrikan
Cairan salin memiliki keunggulan dengan komplikasi pasca bedah lebih rendah
dibanding jel lidokain 2%. Karena itu jel lidokain bukan lubrikan yang
dianjurkan pada pemasangan LM. Penelitian lain membuktikan bahwa
pemakaian pelumas jel tanpa lidokain memiliki kekerapan gangguan menelan
pasca pemasangan LM yang lebih kecil (4,4%) dibandingkan dengan jel
lidokain (20%).33
d. Durasi Insersi
Folley dkk meneliti lamanya paparan LM meningkatkan kekerapan keluhan
rasa tidak enak pada tenggorokan pasca operasi.34
e. Humidifikasi
Humidifikasi hangat sirkuit meningkatkan risiko terjadinya suara serak dan
nyeri tenggorokan masing-masing 1,4 dan 1,8 kali lebih besar dibanding tanpa
humidifikasi, baik pada penggunaan LM maupun intubasi endotrakea.
Penelitian lain mendapatkan adanya peningkatan keluhan pada tenggorokan
pasca operasi pada penggunaan LM dengan humidifikasi.35,36
f. Volume dan tekanan intra cuff
Walaupun belum sepenuhnya dianggap sebagai penyebab nyeri tenggorokan
pasca bedah, tetapi penelitian dengan mengeluarkan gas intra cuff sampai pada
tekanan efektif minimum menurunkan kekerapan nyeri tenggorokan pasca
bedah. Selama pemeliharaan tekanan intra kaf bervariasi. N2O dan CO2 dapat
berdifusi ke dalam cuff, sehingga tekanan intra cuff dan volumenya meningkat.
Peningkatan itu dapat menghilang sendiri setelah periode 1 sampai 2 jam.37
Universitas Indonesia
Kegawatdaruratan Kardiorespirasi
Kesulitan
intubasi ETT
X
Teknik Airway
management alternatif
Universitas Indonesia
Usia
Tingkat
pendidikan
Karakteristik
LM Unique
Faktor alat
Karakteristik
LM Supreme
Kemudahan Pemasangan LM
Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Hubungan yang diteliti
Universitas Indonesia
24 Universitas Indonesia
(3.1)
Universitas Indonesia
Pembekalan materi
Randomisasi
Kelompok A : Kelompok B :
Pertama pemasangan LM unique Pertama pemasangan LM supreme
dilanjutkan LM supreme dilanjutkan LM unique
Pencatatan data
Keberhasilan pemasangan LM
Jumlah upaya pemasangan
Waktu pemasangan
Analisis data
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
g. Subyek penelitian yang masuk dalam kriteria penolakan adalah perawat yang
telah mengikuti pelatihan dan pengalaman pemasangan LM baik pada
manekin maupun pada manusia.
h. Subyek penelitian yang masuk dalam kriteria pengeluaran adalah perawat
yang tidak kooperatif setelah menandatangani surat persetujuan penelitian
seperti tidak mengikuti pembekalan materi dan pelatihan pemasangan LM,
tidak menggunakan teknik baku pemasangan LM.
i. Teknik baku pemasangan LM unique yaitu dengan mengempiskan cuff
sebelum dipasang,memberikan pelumas pada bagian posterior sungkup,
memegang LM seperti memegang pensil dan memasang dengan menyusuri
palatum dengan diarahkan oleh jari telunjuk sampai terdapat tahan,
kembangkan cuff dengan udara sebanyak 20cc.
j. Teknik baku pemasangan LM supreme yaitu dengan mengempiskan cuff LM,
berikan pelumas pada bagian posterior, memegang bagian distal LM supreme,
ujung cuff dimasukan kedalam rongga mulut dan ditempelkan ke palatum
durum, LM diteruskan masuk ke faring dengan mengikuti bentuk kurvatura
menyusuri palatum durum dan palatum mole sampai terdapat tahanan,
kembangkan cuff dengan udara sebanyak 20cc.
Universitas Indonesia
Penelitian dilakukan pada bulan Maret dan April 2014 dengan rancangan
penelitian uji intervensi tersamar tunggal untuk membandingkan kemudahan
pemasangan LM Supreme dan LM Unique oleh perawat pada manekin. Penelitian
ini diikuti oleh 86 peserta sebagai subyek penelitian yang terbagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok A (n=43) yang melakukan pemasangan LM Unique
pada manekin terlebih dahulu, dilanjutkan pemasangan LM Supreme dan
Kelompok B (n=43) yang melakukan pemasangan LM Supreme pada manekin
terlebih dahulu dilanjutkan pemasangan LM Unique. Tidak ada subyek penelitian
yang dikeluarkan dari penelitian kami.
Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1. Jumlah total
subyek penelitian adalah 86 perawat yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat
RSCM terdiri 16 laki-laki (18,60%) dan 70 perempuan (81,40%) dengan umur 20-
56 tahun (32). Jabatan dari subyek penelitian terdiri dari perawat harian (65,12%),
perawat primer (23,26%) dan kepala perawat/supervisor (11,63%).
30 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Subyek penelitian adalah perawat yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat (IGD)
RSCM. Semua subyek yang dipilih belum memiliki pengetahuan dan pengalaman
melakukan manajemen jalan nafas lanjut dengan menggunakan LM. Sebelum
dilakukan pengambilan data penelitian, pembekalan materi yang diberikan berupa
teori anatomi dan fisiologi jalan nafas, teori manajemen jalan nafas dasar dan
lanjut dengan menggunakan LM Supreme dan LM Unique, demonstrasi
pemasangan dan melakukan praktek pemasangan sampai peserta dapat melakukan
pemasangan kedua LM yang dibandingkan. Waktu pengukuran data penelitian
dilakukan setelah pelatihan selesai.
Mekanisme randomisasi dilakukan dengan menggunakan amplop tertutup
yang membagi subyek penelitian menjadi 2 kelompok. Tujuan randomisasi adalah
untuk menghindari bias dari efek pembelajaran terhadap pemasangan alat yang
pertama. Keberhasilan randomisasi dapat dilihat pada uji statistik yang
menunjukan tidak adanya perbedaan yang bermakna dari hasil semua variabel
pada kedua kelompok randomisasi.
Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap hipotesis sederhana, apakah
pemasangan LM Supreme yang dilakukan perawat pada manekin lebih mudah jika
dibandingkan dengan pemasangan LM Unique. Subyek penelitian melakukan
pemasangan kedua LM yang dibandingkan sesuai dengan kelompok randomisasi,
sehingga karakteristik subyek penelitian dianggap sama. Data yang didapatkan
pada penelitian berupa keberhasilan pemasangan, jumlah upaya pemasangan dan
waktu pemasangan. Penelitian ini tidak membutuhkan membutuhkan persetujuan
komite etik karena penelitian menggunakan manekin.
Hasil penelitian kami menunjukan pemasangan LM Supreme lebih mudah
dibandingkan dengan LM Unique jika dilakukan oleh perawat pada menekin.
Kemudahan pemasangan didapatkan dari tiga variabel yaitu, keberhasilan
pemasangan, jumlah upaya pemasangan < 2 kali dan waktu pemasangan < 30
detik. Dari data penelitian didapatkan hasil pemasangan LM Supreme yang mudah
sebesar 82 pemasangan dari 86 sampel dan LM Unique sebesar 74 pemasangan
34 Universitas Indonesia
dari 86 sampel. Uji statistik dengan Chi Square menunjukan perbedaan yang
bermakna secara statistik dalam hal kemudahan pemasangan LM (p<0,05).
Pada variabel jumlah upaya menunjukan hasil keberhasilan pemasangan
pada upaya pertama LM Supreme (95,35%) lebih besar jika dibandingkan dengan
LM Unique (88,37%) dan data tambahan yang kami dapatkan dari penelitian ini
adalah waktu rerata pemasangan kedua LM dengan hasil waktu rerata
pemasangan LM Supreme 13,05 detik (7,54-38,06) lebih cepat jika dibandingkan
waktu pemasangan rerata LM Unique 15,28 detik (7,87-40,80). Uji statistik
dengan menggunakan uji Chi Square menunjukan perbedaan yang bermakna (p <
0,05).
Hasil penelitian kami memiliki hasil yang sama dengan hasil penelitian-
penelitian sebelumnya. Chloros, dkk yang melakukan penelitian dengan dengan
membandingkan kecepatan pemasangan LM Unique dan LM Supreme oleh tenaga
medis bukan dokter anestesiologi (dokter dan perawat) dengan pengalaman
manajemen jalan nafas minimal yang dilakukan pada manekin. Hasil penelitian
Chloros, dkk menunjukan hasil pemasangan LM Supreme lebih cepat
dibandingkan dengan LM Unique dengan keberhasilan pemasangan LM Supreme
pada upaya pertama sebesar 96% dan LM Unique sebesar 90%.10
Penelitian yang bertujuan membandingkan LM Supreme dengan
Supraglottic Airway Device (SAD) lainnya telah dilakukan. Fischer dkk
melakukan perbandingan LM Supreme dengan SAD lain (I-Gel, LM Unique dan
LM Proseal) oleh mahasiswa kedokteran tahun ketiga dengan hasil LM Supreme
dan I-Gel memiliki angka keberhasilan tertinggi pada upaya pertama dan waktu
pemasangan lebih cepat jika dibandingkan dengan LM Unique dan LM Proseal.40
Ragazzi, dkk melakukan perbandingan pemasangan LM Supreme dan I-Gel pada
pasien yang menjalani anestesia umum dilakukan oleh tenaga medis non-
anestesiologis (dokter bedah, perawat, mahasiswa dan pekerja sosial) yang
mendapatkan pelatihan terlebih dahulu. Hasil penelitian tersebut adalah LM
Supreme memiliki keunggulan dalam hal keberhasilan pemasangan pada upaya
pertama, angka kegagalan yang lebih sedikit, dan segel dari sungkup yang lebih
baik jika dibandingkan dengan I-Gel.6
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Sesuai dengan syarat yang diajukan oleh The Joint Commission bahwa
semua staf rumah sakit termasuk perawat yang bertanggung jawab melakukan
perawatan pasien harus dibekali dengan keterampilan melakukan bantuan hidup
dasar. Selain itu perawat merupakan salah satu anggota dari tim medis reaksi
cepat (TMRC) yang dibentuk sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan
angka survival pasien yang mengalami henti jantung di dalam rumah sakit.3
Pada saat melakukan RJP, perawat dapat berperan menjadi anggota tim
resusitasi sampai dengan menjadi pimpinan resusitasi. Giligan dkk melaporkan
perawat terlatih dalam melakukan bantuan hidup lanjut memiliki performa yang
sama dengan dokter junior saat RJP pada simulasi henti jantung. Hal ini
menunjukan bahwa saat menjadi pimpinan resusitasi, seorang perawat dapat
menjalani peran tersebut dengan baik. 14
Kami menyadari bahwa penelitian kami banyak memiliki kekurangan
yaitu penelitian ini dilakukan pada manekin bukan pada manusia, situasi tidak
menggambarkan kondisi RJP yang sebenarnya dan tidak ada pengukuran
kuantitatif seperti seal pressure dan volume tidal dari kefektifan ventilasi pada
manekin. Keberhasilan ventilasi hanya kami lihat dari paru yang mengembang,
sehingga hasil penelitian tidak dapat sesuai dengan situasi sebenarnya.
Kekurangan lain dari penelitian ini adalah pelatihan dan pengukuran data
penelitian dilakukan oleh peneliti sendiri sehingga dapat menjadi bias jika peneliti
memiliki tendensi terhadap hasil dari salah satu LM yang dibandingkan.
Untuk meningkatkan hasil akhir dalam situasi emergensi, diharapkan
semua tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat dapat mengamankan jalan
nafas dengan alat dan teknik yang ada. Kesulitan yang terdapat dalam melakukan
teknik intubasi endotrakea membuat LM menjadi alat yang sangat membantu
terutama bagi tenaga medis (perawat atau dokter) yang tidak selalu menghadapi
situasi emergensi dan keterampilan minimal untuk mengamankan jalan nafas.
Kemudahan penggunaan sebuah alat manajemen jalan nafas sebaiknya
memenuhi kriteria kecepatan waktu untuk memberikan ventilasi dan keberhasilan
yang tinggi. Dengan pertimbangan perawat sering menjadi orang yang pertama
kali menghadapi pasien yang mengalami henti jantung di dalam rumah sakit, hasil
penelitian kami dapat dijadikan salah satu landasan bahwa seorang perawat yang
Universitas Indonesia
telah mendapatkan pelatihan dapat memulai dan memberikan RJP yang optimal
termasuk manajemen jalan nafas dengan menggunakan LM sebelum tim resusitasi
datang, sehingga resusitasi yang diberikan tidak tertunda. Kekurangan yang
terdapat dalam penelitian ini membutuhkan penelitian lebih lanjut sebelum alat ini
digunakan dalam praktik klinis sehari-hari.
Universitas Indonesia
6.1 Kesimpulan
1. Pemasangan LM Supreme oleh perawat pada manekin lebih mudah
dibandingkan dengan pemasangan LM Unique
2. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada persentase keberhasilan
pemasangan LM Supreme dan LM Unique oleh perawat pada manekin
3. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada persentase jumlah upaya < 2 kali
pemasangan LM Supreme dan LM Unique oleh perawat pada manekin
4. Terdapat perbedaan bermakna pada persentase waktu <30 detik
pemasangan LM Supreme dan LM Unique oleh perawat pada manekin
5. Waktu rerata pemasangan LM Supreme lebih cepat dibandingkan dengan
LM Unique oleh perawat pada manekin
6.2 Saran
1. LM Supreme dapat dijadikan alternatif alat manajemen jalan nafas pada
saat RJP jika dilakukan oleh perawat atau tenaga medis dengan
pengalaman dan keterampilan melakukan manajemen jalan nafas yang
minimal.
2. Adanya penelitian lebih lanjut mengenai kemudahan pemasangan LM oleh
tenaga medis bukan dokter anestesiologi dengan pengalaman manajemen
jalan nafas minimal pada simulasi RJP menggunakan manekin dengan
kompresi dada.
3. Adanya penelitian lebih lanjut mengenai kemudahan pemasangan LM oleh
tenaga medis bukan dokter anestesiologi yang dilakukan pada pasien sehat
yang menjalani anestesia umum.
39 Universitas Indonesia
40 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
22. Verghese C, Ramaswamy B. LMA Supreme a New Single Use LMA with
Gastric Access : a Report on Its Clinical Efficacy. Brithis Journal of
Anesthesia. 2008; 10:1-6
23. Airway Management. In : Butterwoorth JF, Mackey DC, Wasnick JD, eds.
Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed. New York:McGraw-Hill
Education. 2013: 309-342
24. Campo SL, Denman WT. The Laryngeal Mask Airway: Its Role in the
Difficult Airway. International Anesthesiology Clinics. 2000; 38(3):29–45
25. American Society of Anesthesiologist: Practice Guidelines for Management of
the Difficult Airway: An Update Report. Anesthesiology 2013;118:251-270
26. Jindal p, Rizvi AA, Khurana G, Sharma JP. Safety and Eficacy of Insertion of
Supraglottic Devices in Anesthetised Patient by First-time Users. South Africa
Journal Anesthesiology Analgesia. 2010;16(4):23-26
27. Zeleznik MW, Dunn PF. Airway Evaluation and Management. In : Dunn PF,
Alston TA, Baker KH, Davidson JK, Kwo J, Rosow CE, eds. Clinical
Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital 7th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007:208-227
28. Butler KH, Clyne B. Management of the Difficult Airway: Alternative Airway
Techniques and Adjuncts. Emergency Medical Clinics of North America.
2003; 21 : 259–289
29. Henderson JJ, Popat TM, Latto IP, Pearce AC. Difficult Airway Society
Guidelines for Management of the Unanticipated Difficult Intubation.
Anaesthesia, 2004; 59:675–694
30. Gatward JJ, Cook TM, Seller C, Handel J, Simpson T, Vanek V, et al.
Evaluation of the Size 4 I-Gel Airway in One Hundred Non-Paralized
Patients. Journal of Ascosiation of anesthetist of Great Britain and Ireland.
2008; 63:1124-1130
31. Sondari D, Haryono A, Ghozali M, Randy A, Suharjo KA, Ariyadi B, et al.
Pembuatan Elastomer Termoplastik Menggunakan Inisiator Kalium Persulfat
dan Ammonium Peroksi Disulfat. Jurnal Kimia Indonesia. 2010;5:22-26
32. Roodneshin F, Agah M, Novel Technique for Placement of Laryngeal Mask
Airway in Difficult Pediatric Airways. Tanaffos. 2011;10(2):56-58
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dummy Table
1. Data Demografik
2. Keberhasilan pemasangan LM
LM unique
Berhasil Tidak berhasil
LM supreme Berhasil
Tidak berhasil
Total
LM unique
< 2 kali ≥2 kali
LM supreme < 2 kali
≥ 2 kali
Total
Universitas Indonesia
4. Waktu pemasangan LM
LM unique
< 30 detik ≥ 30 detik
LM supreme < 30 detik
≥ 30 detik
Total
Universitas Indonesia
LEMBAR PENJELASAN
PERBANDINGAN KEMUDAHAN PEMASANGAN
LARYNGEAL MASK SUPREME DENGAN LARYNGEAL MASK UNIQUE
OLEH PERAWAT PADA MANEKIN
Universitas Indonesia
Nama :
Jenis Kelamin :
Tanggal lahir :
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
___________________________ ________________________
Tanda Tangan Subyek atau cap Jempol Tanggal
___________________________
Nama Subyek
___________________________ ________________________
Tanda tangan saksi/wali Tanggal
___________________________
Nama saksi/wali
Saya telah menjelaskan kepada subyek secara benar dan jujur mengenai maksud
penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, serta risiko dan
ketidaknyamanan potensial yang mungkin timbul (penjelasan terperinci sesuai
dengan hal yang saya tandai diatas). Saya juga telah menjawab pertanyaan-
pertanyaan terkait penelitian dengan sebaik-baiknya.
___________________________
Tanda tangan peneliti Tanggal
(dr. Wida Herbinta)
Universitas Indonesia
LEMBAR PENELITIAN
Kelompok randomisasi
A B
Hari/Tanggal : No sampel :
Nama : Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : perempuan
Unique
Keberhasilan Berhasil Tidak berhasil
Jumlah upaya < 2 kali ≥ 2 kali Upaya ke :
Waktu < 30 detik ≥ 30 detik Waktu :
Supreme
Keberhasilan Berhasil Tidak berhasil
Jumlah upaya < 2 kali ≥ 2 kali Upaya ke :
Waktu < 30 detik ≥ 30 detik Waktu :
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia