Anda di halaman 1dari 64

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN KEMUDAHAN PEMASANGAN


LARYNGEAL MASK SUPREME DENGAN LARYNGEAL MASK
UNIQUE OLEH PERAWAT PADA MANEKIN

TESIS

WIDA HERBINTA
NPM 1006767273

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
JAKARTA
JUNI 2014

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN KEMUDAHAN PEMASANGAN


LARYNGEAL MASK SUPREME DENGAN LARYNGEAL MASK
UNIQUE OLEH PERAWAT PADA MANEKIN

TESIS

WIDA HERBINTA
1006767273

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA


PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
JAKARTA
JUNI 2014

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang

dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Wida Herbinta

NPM :1006767273

Tanda Tangan :

Tanggal : l2Juni20l4

Universitas lndonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh:


Nama Wida Herbinta
NPM : 1006767273
Anestesiologi dan Terapi Intensif
Judul Tesis : Perbandingan Kemudahan Pemasangan Laryngeal
Mask Supreme dengan Laryngeal Mask Unique oleh
Perawatpada M*nekin

Telah diterima di hadapan Dewan Penguji

Pembimbing I : dr. Aries Perdana, SpAn-K

Pembimbing II: dr. Riyadh Firdaus, SpAn

PENGUJI
'w,
Penguji :Prof Darto Satoto, SpAn-I(AR

,aw
Penguji : Prof. Ruswan Dachlan, SpAn-KIC

Penguji : dr. Indro Muljono, SpAn-KIC

Penguji : Dr. dr. Aida Rosita Tantri, SpAn-K

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 12 Juni 2014

llr Universitas lndonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan kepada Allah, SWT karena berkat rahmat-Nya saya
dapat menyelesaikan proposal penelitian ini. Penulisan proposal penelitian ini
dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Dokter
Spesialis Anestesiologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Saya mengucapkan terimakasih kepada:
1. Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM-K, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan
2. dr. Aries Perdana, SpAn-K, selaku Kepala Departemen Anestesiologi dan
pembimbing tesis yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
mengarahkan saya dalam penyusunan tesis.
3. dr. Riyadh Firdaus, SpAn, selaku pembimbing tesis yang telah menyediakan
waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan tesis.
4. dr. Ratna Farida Soenarto, SpAn-K selaku Ketua Program Studi Program
Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM
dan dr. Adhrie Sugiarto, SpAn selaku Sekretaris Program Studi Program
Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI/RSCM
atas bantuan dan perhatian kepada penulis.
5. dr. Andi Ade Wijaya, SpAn-K, selaku Kepala Instalasi Gawat Darurat RSCM
yang telah memberikan bantuan dan fasilitas kepada penulis dalam
menyelesaikan tesis.
6. Istri saya, Puspitaningrum dan kedua anak saya, Anabita Diara Syakila dan
Diandra Resi Sadewa yang selalu memberikan dukungan dan doa kepada
penulis dalam menjalani studi.
7. Kedua orang tua dan keluarga besar saya yang selalu memberikan doa dan
semangat kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan proposal penelitian.
8. Keluarga besar parestesi dan teman sejawat yang selalu memberikan doa dan
partispasinya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan proposal
penelitian ini.

iv Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


Akhir kata saya berharap kepada Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, Maret 2014

Wida Herbinta

v Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS
AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:
Nama : Wida Herbinta

NPM .1046767273
Program Studi : Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas :Kedokleran
Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ihnu pengetahuan, menyetujui untuk rnemberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
F'ree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Perbandingan Kemudahan Pemasangan


Laryngeal Mask Supreme dengan Laryngeal Mask Unique
oleh Perawat pada Manekin

Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak


menyimpan, mengalihmedia, mengelola dalam bentuk pangkalan data (databa.se),
merawat, dan mempublikasikan tulisan saya selama tetap mencanturnkan nama
saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di . Jakarta
Pada tanggal .12 luni2014
Yang Menyatakan

[*,,
Wida Herbinta

vl Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


ABSTRAK

Nama : Wida Herbinta


Program Studi : Anestesiologi dan Terapi Intensif
Judul : Perbandingan Kemudahan Pemasangan Laryngeal Mask Supreme
dengan Laryngeal Mask Unique oleh Perawat pada Manekin

Latar Belakang Manajemen jalan nafas alternatif dengan menggunakan


Laryngeal Mask (LM) yang dilakukan perawat sebagai
penolong pertama yang melakukan resusitasi jantung paru
(RJP) pada situasi henti jantung didalam rumah sakit sebelum
tim resusitasi datang. Penelitian ini meneliti perawat dengan
pengalaman minimal melakukan manajemen jalan nafas akan
lebih mudah melakukan pemasangan Laryngeal Mask Supreme
pada manekin dibandingkan dengan pemasangan Laryngeal
Mask Unique.

Metode Sebanyak 86 perawat dengan pengalaman manajemen jalan


nafas minimal ikutserta sebagai subyek penelitian. Materi
tentang anatomi jalan nafas, teknik, demonstrasi dan latihan
pemasangan LM Supreme dan LM Unique pada manekin
diberikan sampai subyek penelitian mampu memasang alat
tersebut. Data penelitian diambil setelah pemberian materi
selesai. Kemudahan pemasangan ditentukan jika memenuhi
semua kriteria dari variabel keberhasilan pemasangan, jumlah
upaya pemasangan < 2 kali dan lama waktu pemasangan < 30
detik.

Hasil Pemasangan LM Supreme yang mudah didapatkan sebesar 82


(52,6%) dan LM Unique 74 (47,4%). Pemasangan LM
Supreme yang tidak mudah didapatkan sebesar 4 (25,0%) dan
LM Unique 12 (75,0%). Uji statistik dengan uji Chi Square
didapatkan perbedaan bermakna dalam hal kemudahan
pemasangan (p<0,05).

Kesimpulan Pemasangan LM Supreme yang dilakukan oleh perawat pada


manekin lebih mudah dibandingkan dengan pemasangan LM
Unique

Kata Kunci Perawat, manajemen jalan nafas, LM Supreme, LM Unique,


kemudahan pemasangan

vii Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


ABSTRACT

Name : Wida Herbinta


Study Program: Anesthesiology and Intensive Care
Title : Comparison of Ease of Laryngeal Mask Supreme Insertion with
Laryngeal Mask Unique by Nurses on Manikins

Background Alternative airway management using the Laryngeal Mask by


nurses who performed the first cardiac pulmonary resuscitation
(CPR) on the situation in hospital cardiac arrest before
resuscitation teams arrived. This study examined nurses with
minimal experience doing airway management will be easier to
perform the insertion of the Laryngeal Mask Supreme on manikins
compared with Laryngeal Mask Unique insertion.

Methods Eighty six nurses with minimum experience of airway management


were participate in the study. The material on airway anatomy,
technique of insertion, demonstration and practice insertion of
Supreme Laryngeal Mask and Unique Laryngeal Mask on the
manikins is given until subjects were able to insert the tool. The
data were taken after the administration of the material is complete.
Ease of installation is determined if it meets all the criteria of the
variable success of the insertion, the number of attempts <2 times
and installation time <30 sec

Results Insertion of the Supreme Laryngeal Mask easily obtained for 82


(52.6%) and Unique Laryngeal Mask 74 (47.4%). Insertion
Supreme Laryngeal Mask that is not easy to come by 4 (25.0%)
and LM Unique 12 (75.0%). Statistical test Chi Square test found a
significant difference in terms of ease of insertion (p <0.05).

Conclusion Insertion of the Laryngeal Mask Supreme performed by nurses on


a manikins easier than the insertion of the Laryngeal Mask Unique

Key word Nurses, airway management, Laryngeal Mask Supreme, Laryngeal


Mask Unique, ease of insertion

viii Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................... vi
ABSTRAK .......................................................................................................... vii
ABSTRACT .......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xi
DAFTAR TABEL................................................................................................ xii

1. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 3
1.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................ 3
1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
1.4.1 Tujuan Umum .................................................................................... 3
1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................................... 3
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................. 4
1.5.1 Manfaat Bidang Akademik ............................................................... 4
1.5.2 Manfaat Bidang Pelayanan ............................................................... 4
1.5.3 Manfaat Bagi Pengembangan Penelitian ........................................... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 5


2.1 Sejarah Resusitasi Jantung Paru (RJP) ................................................... 5
2.2 Peran Perawat Saat RJP ......................................................................... 6
2.3 Manajemen Jalan Napas saat RJP .......................................................... 7
2.4 Perkembangan Supraglottic Airway Device (SAD) ............................... 9
2.5 Karakteristik LM supreme dan LM unique ............................................ 10
2.6 Anatomi Jalan Napas .............................................................................. 11
2.7 Ukuran LM ............................................................................................. 12
2.8 Indikasi dan kontraindikasi .................................................................... 13
2.8.1 Indikasi .............................................................................................. 13
2.8.2 Kontraindikasi ................................................................................... 14
2.9 Peran LM dalam Manajemen Jalan Nafas Sulit ..................................... 15
2.9.1 LM dan Algoritma Jalan Nafas Sulit ASA ........................................ 15
2.9.2 LM dan Algoritma Jalan Nafas Sulit DAS ........................................ 16
2.10 Teknik Pemasangan LM ......................................................................... 18
2.11 Evaluasi Posisi ........................................................................................ 20
2.12 Komplikasi.............................................................................................. 20
2.13 Kerangka Teori ...................................................................................... 22
2.14 Kerangka konsep ................................................................................... 23

3 METODOLOGI PENELITIAN................................................................... 24
ix Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


3.1 Rancangan Penelitian.............................................................................. 24
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian................................................................. 24
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian.............................................................. 24
3.4 Kriteria Penerimaan, Penolakan dan Pengeluaran ................................ 24
3.4.1 Kriteria Penerimaan .......................................................................... 24
3.4.2 Kriteria Penolakan ............................................................................ 24
3.4.3 Kriteria Pengeluaran ......................................................................... 25
3.5 Perkiraan Besar Sampel ......................................................................... 25
3.6 Kerangka Kerja ...................................................................................... 26
3.7 Alat dan Bahan Kerja ............................................................................ 27
3.7.1 Alat yang digunakan ......................................................................... 27
3.7.2 Bahan yang digunakan ...................................................................... 27
3.8 Cara Kerja Penelitian ............................................................................. 27
3.9 Batasan Operasional ............................................................................... 28
3.10 Analisis Data .......................................................................................... 29
3.11 Etik Peneltian ......................................................................................... 29

4 HASIL PENELITIAN .................................................................................. 30

5 PEMBAHASAN ............................................................................................ 34

6 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 39


6.1 Kesimpulan ............................................................................................ 39
6.2 Saran ...................................................................................................... 39

DAFTAR REFERENSI ....................................................................................... 40


LAMPIRAN ......................................................................................................... 44

x Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Bentuk LM Supreme dan LM Unique ............................................... 11


Gambar 2.2. Anatomi jalan nafas ………………………………………………… 12
Gambar 2.3. ASA Difficult Airway Algorithm 2013 …………………...……….. 17
Gambar 2.4. Difficult Airway Society Algorithm 2004 …………………...…….. 18
Gambar 2.5. Teknik pemasangan LM Unique ……………………………..…….. 19
Gambar 2.6. Teknik pemasangan LM Supreme ..................................................... 20

xi Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Ukuran LM berdasarkan berat badan …................................................ 12


Tabel 4.1. Karakteristik subyek penelitian ……………………………………….. 30
Table 4.2. Hubungan variabel dengan kelompok randomisasi ………………….... 31
Table 4.3. Data penelitian ……………………………………………………….... 32
Table 4.4. Waktu pemasangan LM ……………………………………………….. 33

xii Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Henti jantung mendadak merupakan salah satu penyebab kematian terbesar di
dunia. Henti jantung mendadak dapat terjadi pada semua orang di mana saja baik
didalam rumah sakit maupun diluar rumah sakit.1 Insiden henti jantung didalam
rumah sakit diperkirakan berkisar 1-5 kejadian per 1000 angka masuk rumah
sakit. Hal yang menjadi perhatian adalah angka survival henti jantung didalam
rumah sakit tidak jauh berbeda dengan henti jantung diluar rumah sakit 2
Berbagai strategi telah dikembangkan untuk meningkatkan angka survival
pasien yang mengalami henti jantung didalam rumah sakit. Salah satu strategi
yang digunakan adalah pembentukan Medical Emergency Team (MET).3
Pembentukan Tim Medis Reaksi Cepat (TMRC) telah dilakukan di lingkungan
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM. Tim inti TMRC dalam melakukan
tindakan kegawatdaruratan ataupun resusitasi terdiri dari 1 orang dokter TMRC
(residen anestesiologi) yang bertugas sebagai team leader dan 4 perawat dengan
tugas yang ditetapkan dalam standar prosedur operasional.4
Data TMRC RSCM menyebutkan selama bulan Maret sampai dengan
Desember 2013 terdapat 505 kasus pemanggilan tim TMRC. Pemanggilan tim
TMRC yang menangani kasus henti jantung di ruang perawatan sebanyak 312
kasus dengan 183 kasus mengalami kematian di ruangan. Hal ini dapat
disebabkan karena keterbatasan dokter yang bertugas serta ruang perawatan di
rumah sakit yang berada pada gedung yang berbeda atau lantai yang berbeda pada
satu gedung menyebabkan dokter TMRC yang bertugas tidak dapat dengan cepat
berada di lokasi kejadian merupakan salah satu penyebab RJP terlambat diberikan.
Penyebab lainnya adalah resusitasi yang tidak adekuat yang diberikan oleh
perawat sebagai tenaga medis yang pertama kali berada di lokasi kejadian
sebelum tim resusitasi datang.5
Komponen RJP yang berkualitas adalah melakukan kompresi dada dan
manajemen jalan nafas untuk memberikan ventilasi dan oksigenasi. Manajemen
jalan nafas selalu menjadi bagian terintegrasi dari RJP. Intubasi endotrakea

1 Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


2

merupakan standar baku dalam manajemen jalan nafas pada saat RJP dan sudah
digunakan sejak tahun 1970. Namun, keterampilan untuk melakukan intubasi
endotrakea sulit untuk didapatkan dan harus terus dilatih.6,7 Terdapat kontroversi
mengenai tindakan intubasi yang dilakukan oleh tenaga medis bukan dokter
anestesiologi, karena didapatkan tingkat kegagalan mencapai lebih dari 30% dan
membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mempersiapkan dan memasang alat
intubasi endotrakea.8 Kesalahan penempatan pipa endotrakea yang dilakukan oleh
personil paramedis prarumah sakit yang kurang berpengalaman dapat
menyebabkan bahaya iatrogenik dan kematian pasien. Pada penelitian Katz dkk
didapatkan lebih dari 25% kegagalan penempatan pipa endotrakea yang dilakukan
paramedis pada sistem pelayanan kesehatan emergensi.6
Teknik manajemen jalan nafas alternatif yang masuk dalam pedoman
resusitasi American Heart Association (AHA) tahun 2010 adalah Supraglottic
Airway Device (SAD). SAD adalah alat untuk mempertahankan jalan nafas tetap
terbuka dan memfasilitasi ventilasi. Bertolak belakang dengan intubasi
endotrakea, SAD telah terbukti memiliki keunggulan dalam hal kecepatan dan
kemudahan pemasangan bila dilakukan oleh personil dengan keterbatasan
pengalaman dalam melakukan manajemen jalan nafas.6,10 Laryngeal Mask (LM)
adalah salah satu bentuk SAD yang masuk dalam pedoman RJP. Pemasangan LM
tidak seperti intubasi endotrakea yang memerlukan visualisasi glotis, sehingga
keahlian untuk pemasangan LM lebih mudah didapatkan. Karena tidak
memerlukan tindakan untuk visualisasi glotis, sehingga mengurangi interupsi
pada saat kompresi dada.9 Pada penelitian Bassiakou dkk didapatkan paramedis
lebih mudah melakukan manajemen jalan nafas pada manekin dengan
menggunakan LM dibandingkan dengan intubasi endotrakea pada simulasi RJP.7
Sejak ditemukan pada tahun 1988 oleh dr. Archie Brain, LM telah
mengalami perkembangan dan telah tercipta berbagai bentuk. LM Unique dan LM
Supreme merupakan salah satu bentuk LM yang saat ini sering digunakan. LM
Unique adalah LM generasi pertama dan bentuk sekali pakai dari LM Klasik yang
perannya dalam resusitasi sudah diteliti dan masuk dalam pedoman resusitasi. LM
Supreme adalah LM generasi kedua sekali pakai terbaru yang memiliki komponen
pipa jalan nafas rigid dengan kelengkungan yang mengikuti bentuk anatomi

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


3

orofaring, sungkup laring dan pipa drainase esofagus untuk mengurangi risiko
aspirasi dan regurgitasi. Karakteristik yang dimiliki LM Supreme membuat
pemasangannya menjadi mudah dan memiliki peran penting dalam situasi
emergensi.10
Perawat sebagai penolong pertama pada kejadian henti jantung didalam
rumah sakit yang melakukan manajemen jalan nafas saat RJP dan perkembangan
dan masuknya LM dalam pedoman resusitasi maka dibuatlah penelitian yang
ditujukan untuk mengetahui kemudahan pemasangan LM Supreme dan LM
Unique yang dilakukan oleh perawat pada manekin. Penelitian ini dilakukan pada
manekin karena penelitian pemasangan LM oleh tenaga medis bukan dokter
anestesiologi langsung ke pasien bila dilakukan di Indonesia belum memenuhi
kaidah etik.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang perawat sebagai penolong pertama pada
kejadian henti jantung didalam rumah sakit yang melakukan manajemen jalan
nafas saat RJP dan perkembangan dan masuknya LM dalam pedoman resusitasi
sehingga kami merumuskan masalah : Apakah pemasangan LM Supreme yang
dilakukan oleh perawat pada manekin lebih mudah dibandingkan dengan
pemasangan LM Unique?

1.3 Hipotesis Penelitian


Pemasangan LM supreme yang dilakukan oleh perawat pada manekin lebih
mudah dibandingkan dengan pemasangan LM unique

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbandingan kemudahan pemasangan LM Supreme dengan LM
Unique yang dilakukan oleh perawat pada manekin.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui perbandingan persentase keberhasilan pemasangan LM
Supreme dengan LM Unique oleh perawat pada manekin.

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


4

2. Mengetahui perbandingan persentase jumlah upaya pemasangan kurang


dari 2 kali pada pemasangan LM Supreme dengan LM Unique yang
dilakukan oleh perawat pada manekin.
3. Mengetahui perbandingan persentase waktu kurang dari 30 detik pada
pemasangan pada pemasangan LM Supreme dengan LM Unique yang
dilakukan oleh perawat pada manekin.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Bidang Akademik
Penelitian ini sebagai salah satu syarat pendidikan spesialis di Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif serta bermanfaat sebagai sarana pelatihan dan
bekal untuk membuat pelatihan manajemen jalan nafas dalam bidang
kegawatdaruratan dan pelatihan dalam membuat suatu penelitian.

1.5.2 Manfaat Bidang Pelayanan


Penelitian ini dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bagi perawat
dalam manajemen jalan nafas pada saat RJP dan menjadi landasan penggunaan
LM tidak terbatas pada dokter Anestesiologi namun dapat juga digunakan oleh
tenaga kesehatan lain terutama pada kondisi di luar ruang operasi seperti pada saat
RJP.

1.5.3 Manfaat Bagi Pengembangan Penelitian


Data hasil penelitian ini dapat menjadi dasar untuk dilakukannya penelitian lebih
lanjut mengenai pemasangan LM oleh tenaga kesehatan lain selain dokter
anestesiologi sehingga penggunaan LM tidak terbatas pada dokter anestesiologi
serta dapat memberikan masukan mengenai metode penelitian yang baik yang
dapat digunakan pada penelitian berikutnya.

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Resusitasi Jantung Paru (RJP)


Henti jantung mendadak umumnya mengacu pada kematian tak terduga akibat
penyebab kardiovaskular pada orang dengan atau tanpa penyakit jantung yang
sudah ada sebelumnya. Henti jantung mendadak masih merupakan salah satu
penyebab kematian terbesar di dunia dan dapat terjadi pada semua orang di mana
saja baik di dalam rumah sakit maupun di luar rumah sakit.1
Tatalaksana henti jantung mendadak adalah dengan memberikan resusitasi
jantung paru (RJP). RJP optimal dengan kompresi dada, manajemen jalan napas
dan ventilasi yang baik akan meningkatkan kesempatan pasien untuk bertahan
hidup.2 Sejarah RJP dimulai pada tahun 1700-an. Pada tahun 1741 Akademi Ilmu
Pengetahuan Paris secara resmi merekomendasikan bantuan nafas dari mulut ke
mulut untuk resusitasi pasien tenggelam. Lebih dari seratus tahun kemudian,
tahun 1891 dr. Friedrich Maass melakukan demonstrasi pertama kompresi dada
pada manusia. Tahun 1960 sebuah grup resusitasi pertama yang terdiri dari Drs
Peter Safar, James Jude, dan William Bennet Kouwenhaven melakukan kombinasi
antara bantuan nafas mulut ke mulut dengan kompresi dada untuk tindakan
penyelamatan hidup yang saat ini kita kenal dengan RJP.
Sejak teknik RJP diperkenalkan, RJP telah mengalami evolusi dan
perkembangan. Pada tahun 1966 pedoman RJP AHA pertama dikeluarkan dan
selalu mengalami perbaikan sampai dengan tahun 2010 AHA mengeluarkan
pedoman RJP terbaru dengan tetap mempertahankan komponen mnemonic ABCD
RJP yang terdiri dari Airway, Breathing, Circulation dan Defibrilation, namun
pada pedoman tahun 2010 urutan langkah resusitasi telah diganti dari ABC
menjadi CAB dengan melakukan kompresi dada lebih awal untuk
mempertahankan sirkulasi.9,13
Komponen dalam tindakan RJP saling berkaitan yang terdiri dari
mnemonic ABC, Airway, Breathing dan Circulation. Walaupun urutan tindakan
sudah berubah dari ABC menjadi CAB, namun manajemen jalan nafas/Airway
merupakan bagian terintegrasi dari RJP. Keberhasilan manajemen jalan nafas

5 Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


6

merupakan hal yang sangat penting pada saat RJP prarumah sakit maupun di
dalam rumah sakit karena akan meningkatkan peluang pasien untuk bertahan
hidup.10 Henti jantung mendadak sebagian besar ditemukan pertama kali oleh
orang disekitar yang pertama kali melihat kejadian (layperson) atau tenaga medis
emergency medical services (EMS) yang berupaya mengembalikan kehidupan
dengan melakukan RJP.2 Pengetahuan tentang penatalaksanaan awal pasien henti
jantung bagi tenaga medis (paramedis) dan masyarakat awam menjadi hal yang
krusial.

2.2 Peran Perawat saat RJP


Data statistik American Heart Association (AHA) tahun 2013 menyatakan angka
kejadian henti jantung diluar rumah sakit di Amerika sebesar 359.400 kejadian
dalam satu tahun dan angka kejadian henti jantung didalam rumah sakit sebesar
209.000 kejadian dalam satu tahun.1 Data Tim Medis Reaksi Cepat (TMRC)
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo menyebutkan lebih dari 300 kejadian henti
jantung di ruang perawatan selama bulan maret sampai desember 2013.
Tatalaksana henti jantung adalah dengan melakukan resusitasi jantung
paru (RJP). RJP adalah usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan fungsi
jantung yang berhenti serta mengatasi penyebab henti jantung tersebut. Sampai
saat ini teknik RJP selalu mengalami perkembangan. Respon cepat dalam
melakukan tindakan RJP yang berkualitas dengan kompresi dada dan ventilasi
pada pasien akan meningkatkan kesempatan pasien untuk bertahan hidup.2
Berbagai strategi telah dikembangkan untuk meningkatkan keberhasilan
RJP. Salah satu strategi untuk meningkatkan survival pasien yang mengalami
henti jantung didalam rumah sakit adalah dengan pembentukan Tim Reaksi
Cepat/Rapid Respond Team (RRT) atau dikenal juga dengan nama Medical
Emergency Team (MET). RRT adalah tim medis yang melakukan penilaian dan
terapi pada pasien di luar ruang rawat intensif (ICU) yang mengalami perburukan
kondisi klinis. RRT terdiri dari dokter yang memiliki pengetahuan dan
pengalaman dalam melakukan RJP, perawat, terapis dan farmasi.3
Pada saat kejadian henti jantung perawat merupakan tenaga medis yang
pertama kali berada dilokasi. Keterbatasan dokter yang mampu melakukan RJP

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


7

dan ruang perawatan di rumah sakit yang berada pada gedung yang berbeda atau
lantai yang berbeda pada satu gedung menyebabkan dokter yang berpengalaman
melakukan RJP tidak dapat dengan cepat berada di lokasi kejadian, sehingga
perawat yang berada di lokasi memiliki tanggung jawab melakukan RJP yang
optimal yaitu dengan melakukan kompresi dada dan manajemen jalan nafas untuk
memberikan ventilasi dan oksigenasi.5
Pada saat RJP perawat dan berperan menjadi anggota tim resusitasi sampai
menjadi pimpinan resusitasi. Ketika menjadi pimpinan resusitasi, perawat dapat
menjalani peran tersebut dengan baik. Giligan dkk melaporkan perawat terlatih
dalam melakukan bantuan hidup lanjut memiliki performa yang sama dengan
dokter junior saat RJP pada simulasi henti jantung.14
Perawat harus mendapatkan pendidikan dan pelatihan RJP sebelum
menjalani perannya tersebut. Pelatihan mengenai bantuan hidup dasar harus
dikuasai sebelum kontak dengan pasien di ruang rawat. Namun, terdapat jurang
pemisah antara bantuan hidup dasar dengan bantuan hidup lanjut. Pada bantuan
hidup dasar tidak dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan menggunakan
peralatan manajemen jalan napas lanjut dan obat-obatan resusitasi. Pelatihan
mengenai bantuan hidup lanjut termasuk manajemen jalan napas harus diberikan
kepada perawat sehingga memungkinkan perawat melakukan inisiasi RJP
sebelum tim resusitasi datang. Hal ini akan berdampak pada kelangsungan hidup
pasien yang mengalami henti jantung.14

2.3 Manajemen Jalan Nafas Saat RJP


Prinsip manajemen jalan nafas pada pedoman resusitasi 2010 mengalami
beberapa perubahan diantaranya mengurangi aplikasi intubasi endotrakea kecuali
dilakukan oleh personil berpengalaman untuk mengurangi interupsi pada saat
kompresi dada. Peningkatan penggunaan kapnograf sebagai alat konfirmasi dan
alat monitoring secara terus menerus posisi pipa jalan nafas, kualitas RJP dan
indikator sirkulasi dengan Return Of Spontaneus Circulation (ROSC).9,13,15
Pasien yang memerlukan resusitasi sering mengalami sumbatan jalan
nafas. Membuka jalan nafas dapat dilakukan dengan Triple Airway Manuever
yaitu head tilt dan chin lift atau jaw thrust. Alat jalan nafas sederhana seperti

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


8

nasopharyngeal dan oropharyngeal airway menjadi penting dan esensial untuk


mempertahankan jalan nafas tetap terbuka. Berikan oksigen dengan fraksi tinggi
sampai ROSC. Berikan bantuan ventilasi pada pasien dengan nafas spontan yang
tidak adekuat atau tidak bernafas. Bantuan ventilasi dapat diberikan dengan
menggunakan bagging yang dihubungkan ke sungkup, pipa endotrakea atau SAD.
9,13,15

Karakteristik alat manajemen jalan nafas saat resusitasi adalah alat yang
dapat mempertahankan terbukanya jalan nafas dalam waktu yang cepat, serta
dapat memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Karakteristik lain yang diharapkan
adalah dapat memberikan ventilasi tekanan positif dan dapat mencegah terjadinya
regurgitasi.15 Walaupun intubasi endotrakea sudah digunakan sejak tahun 1970
pada resusitasi dan masih menjadi standar baku dalam manajemen jalan nafas,
namun keterampilan untuk melakukan intubasi endotrakea sulit untuk didapatkan
dan harus terus dilatih.6,7,16 Terdapat kontroversi mengenai tindakan intubasi yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan bukan dokter anestesiologi, karena didapatkan
tingkat kegagalan mencapai lebih dari 30% dan membutuhkan waktu yang lebih
lama untuk mempersiapkan dan memasang alat intubasi endotrakea.8 Kesalahan
penempatan pipa endotrakea yang dilakukan oleh personil paramedis pra rumah
sakit yang kurang berpengalaman dapat menyebabkan bahaya iatrogenik dan
kematian pasien. Pada penelitian Katz dkk didapatkan lebih dari 25% kegagalan
penempatan pipa endotrakea yang dilakukan paramedis pada sistem pelayanan
kesehatan emergensi.6 Kegagalan menempatkan pipa endotrakea ke trakea
merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.17 Berdasarkan penelitian Wang
dkk didapatkan data manajemen jalan nafas yang dilakukan oleh paramedis EMS
memiliki persentase keberhasilan intubasi endotrakea sebesar 77% dan persentase
keberhasilan penggunaan alat jalan nafas alternatif termasuk LM sebesar 87,2%.18
Bertolak belakang dengan intubasi endotrakea, Supraglottic Airway
Device (SAD) telah terbukti memiliki keunggulan dalam hal kecepatan dan
kemudahan pemasangan bila dilakukan oleh personil dengan keterbatasan
pengalaman dalam manajemen jalan nafas, sehingga pada pedoman resusitasi
tahun 2010 mengurangi penekanan intubasi endotrakea awal dengan mendukung
penggunaan SAD untuk mengurangi waktu pemasangan.9,15 SAD yang sudah

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


9

direkomendasikan dalam pedoman resusitasi International Liaison Committe of


Resuscitation (ILCOR) adalah Laryngeal Mask (LM) dan Combitube. Pada
penelitian Bassiakou dkk didapatkan paramedis lebih mudah melakukan
manajemen jalan nafas dengan menggunakan LM dibandingkan dengan intubasi
endotrakea pada simulasi RJP.7 Pada penelitian Boyle dan Flavel didapatkan
kesimpulan bantuan ventilasi dengan menggunakan LM lebih efektif
dibandingkan dengan Bag Valve Mask (BVM).12

2.4 Perkembangan Supraglottic Airway Device (SAD)


Sebelum tahun 1990 hanya sungkup muka dan pipa endotrakeal yang menjadi
alat-alat jalan nafas yang biasa digunakan. Alat intubasi endotrakea ditemukan
pada tahun 1880 oleh Sir Wiliam Macewen. Sejak saat itu penempatan pipa
endotrakea telah menjadi standar baku dalam manajemen jalan nafas.13 Setelah
penemuan pipa endotrakea berkembang kelompok Supraglottic Airway Device
(SAD) yang dimulai dengan penemuan laryngeal Mask (LM) oleh Dr Archie
Brain di United Kingdom (UK) pada tahun 1981 dan diperkenalkan ke dunia pada
tahun 1988. SAD adalah alat minimal invasif yang dapat memberikan oksigenasi
dan ventilasi di atas level pita suara.19
SAD dibagi berdasarkan perkembangannya menjadi generasi pertama
yang merupakan airway tube sederhana meliputi LM klasik, LM unique, cobra
perilaryngeal airway dan generasi kedua dengan modifikasi pada penambahan
pipa drainase lambung untuk mengurangi risiko terjadinya kompilkasi aspirasi
seperti LM proseal, LM supreme, i-gel, laryngeal tube.20
SAD memiliki keunggulan dibandingkan dengan pipa endotrakeal (ETT)
dengan kemudahan pemasangan dan gejolak hemodinamik yang lebih rendah.
Karena kemudahannya penggunaan SAD ini tidak hanya terbatas pada dokter
anestesiologi, akan tetapi pada perawat, paramedis dan orang awam terlatih serta
ruang lingkup meliputi penggunaan di ruang operasi, ICU, ruang emergensi dan
ruang perawatan sampai penggunaan pada saat pertolongan prarumah sakit.13
Penggunaan SAD meningkat dari pemahaman lama bahwa dapat meningkatkan
resiko aspirasi lalu menjadi alat alternatif pada algoritme manajemen jalan nafas
rutin maupun sulit. Perkembangan SAD dengan berbagai kelebihannya membuat

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


10

SAD direkomendasikan sebagai alternatif intubasi endotrakea pada resusitasi


jantung paru 6,8,20
Variasi yang luas mengenai tempat dan petugas yang menggunakan SAD,
menyebabkan riset aspek kemudahan, kecepatan dan keberhasilan pemasangan
SAD terus menerus dilakukan. Sampai saat ini pun riset mengenai jenis, ukuran,
bentuk dan modifikasi SAD terus dikembangkan. Perkembangan ini ditunjukkan
dengan pengenalan berbagai SAD baru yang merupakan inovasi ataupun
modifikasi dan penyempurnaan dari alat sebelumnya, sehingga diharapkan
tercapai SAD yang ideal.21
Laryngeal Mask (LM)/Sungkup Laring adalah salah satu bentuk SAD
modern yang pertama kali ditemukan pada tahun 1988. LM pertama adalah LM
Klasik yang terdiri dari sungkup dan pipa. Sungkup berada diatas laring dengan
cuff yang dikembangkan untuk membuat seal sehingga dapat memberikan
ventilasi. Pipa berada dari sungkup sampai luar mulut dan dapat dihubungkan
dengan BVM. Berbagai penelitian telah dilakukan dengan hasil keberhasilan
pemasangan pada upaya pertama, ventilasi yang baik dan waktu pemasangan yang
cukup baik. LM yang telah diciptakan dan sering digunakan adalah LM Unique
dan LM Supreme.16

2.5 Karakteristik LM supreme dan LM unique


LM Unique adalah SAD yang merupakan bentuk sekali pakai dari LM Klasik.
LM Unique terdiri dari 3 komponen utama yaitu sebuah pipa jalan nafas, sungkup
yang dapat dikembangkan dan saluran untuk mengembangkan sungkup. Pipa jalan
napas semirigid LM unique dibuat sedikit melengkung untuk mengikuti bentuk
anatomi orofaring dan menfasilitasi pemasangan atraumatik.20
LM Supreme merupakan SAD steril generasi kedua yang inovatif sebagai
alat manajemen jalan nafas. LM Supreme merupakan kombinasi bentuk dasar LM
Proseal dan LM Fastrach memiliki akses fungsional yang memisahkan jalan
nafas dan saluran pencernaan. Bentuk elips pipa sesuai dengan anatomi jalan
nafas dan sungkup laring sesuai dengan anatomi laring serta pada bagian ujung
distal berakhir pada katup esofagus bagian superior. Pipa drainase dapat
digunakan untuk memasukan pipa nasogastrik ke lambung sehingga lebih mudah

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


11

untuk melakukan evakuasi isi lambung. Pipa jala nafas yang keras memungkinkan
pemasangan tanpa menggunakan bantuan jari maupun stilet. Pada bagian
proksimal pipa jalan nafas terdapat bagian keras yang dapat berfungsi sebagai bite
block.10,22
Bentuk cuff yang dapat dikembangkan dari LM supreme diciptakan sesuai
bentuk anatomi hipofaring dengan lumen pipa jalan nafas tepat menghadap pintu
laring. Bentuk cuff juga menawarkan seal pressure yang lebih tinggi dibandingkan
pada LM Unique. Karakteristik yang dimiliki LM Supreme membuat pemasangan
oleh personil dengan pengalaman minimal menjadi lebih mudah.10,22

Gambar 2.1. Bentuk LM Supreme dan LM Unique

2.6 Anatomi Jalan Nafas


Jalan nafas manusia dimulai di dua tempat yaitu mulut yang menuju orofaring dan
hidung yang menuju nasofaring. Kedua jalur ini dipisahkan oleh palatum, namun
bersatu di rongga faring. Rongga mulut dan faring merupakan ruang anatomi yang
terdiri dari struktur jaringan lunak dan tulang. Rongga mulut dibatasi pada bagian
anterior oleh bibir, lateral oleh pipi, superior oleh palatum durum, dan inferior
oleh mukosa yang menutupi permukaan superior lidah dan otot-otot yang melekat
pada bagian dalam dari mandibula, termasuk geniohyoid, mylohyoid, dan
digastrik.23

Rongga faring dibatasi pada bagian anterior oleh mulut dan choana,
Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


12

superior oleh palatum mole dan dasar tengkorak, inferior oleh lidah bagian
belakang dan posterior oleh otot konstriktor faring. Pada bagian inferior faring
bergabung dengan laring yang berada dibagian anteriornya dan biasa disebut
dengan hipofaring atau laringofaring.23,24

Gambar 2.2. Anatomi Jalan Nafas

2.7 Ukuran LM
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan penggunaan dari LM secara
umum sangat tergantung kepada pemilihan ukuran yang sesuai. Dalam keseharian
praktek klinis, metode yang paling banyak digunakan berdasarkan berat
badan.23,24

Tabel 2.1. Ukuran LM Berdasarkan Berat Badan


(Sumber : LMA The laryngeal mask company limited. www.lmana.com)

Ukuran Pasien Berat badan (Kg)


1 Neonatus 0-5
1,5 Infant 5-10
2 Pediatrik kecil 10-20
2,5 Pediatrik Besar 20-30
3 dewasa Kecil 30-50
4 Dewasa Sedang 50-70
5 Dewasa Besar 70+

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


13

2.8 Indikasi dan Kontra indikasi


2.8.1 Indikasi
Indikasi penggunaan LM secara umum sebagai alat manajemen jalan nafas baik
rutin maupun darurat, selama tindakan resusitasi, dan sebagai saluran untuk
intubasi dengan bimbingan fiberoptik. LM dalam prosedur sehari-hari dapat
digunakan dalam banyak hal, yaitu:
a. Sebagai alat jalan nafas untuk ventilasi mekanik untuk operasi elektif
LM merupakan alat jalan nafas alternatif yang dapat diterima dari
penggunaan anestesia masker di kamar operasi. Peralatan ini sering
digunakan untuk melakukan prosedur yang tidak membutuhkan intubasi
endotrakea.19
b. LM sebagai airway definitif
Penggunaan LM sebagai alat bantu jalan nafas definitif tergantung dari
keputusan layak atau tidaknya alat tersebut oleh dokter Anestesiologi. Pada
pasien yang menjalani anestesia umum dan tidak dapat menjalani intubasi
endotrakea namun paru-parunya dapat memperoleh ventilasi melalui
sungkup. LM digunakan untuk kasus jalan nafas sulit pada berbagai usia yang
tidak dapat dilakukan intubasi endotrakea. Algoritma manajemen jalan nafas
sulit dari American Society of Anesthesiologists (ASA) dan Difficult Airway
Society (DAS) telah memasukan LM sebagai alat alternatif dalam melakukan
manajemen jalan nafas.19,22,25
c. LM sebagai alat bantu intubasi
LM dapat berfungsi dengan baik sebagai saluran untuk intubasi trakea pada
pasien yang menjalani anestesia seperti pada pasien dalam kondisi terjaga
karena LM mencegah jatuhnya lidah ke faring. LM dapat digunakan untuk
menyediakan akses yang mudah ke plika vokalis dan trakea, dan kemampuan
untuk melakukan ventilasi dan oksigenasi pada pasien saat melakukan
intubasi.19
d. Penggunaan LM dalam resusitasi
Pada situasi kegawatdaruratan seperti pada saat resusitasi jantung paru
keberhasilan manajemen jalan nafas merupakan salah satu prioritas utama.2
Intubasi endotrakea telah digunakan dan menjadi standar baku manajemen

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


14

jalan nafas pada saat resusitasi jantung paru pra rumah sakit sejak tahun 1970.
Saat ini menjadi hal yang menjadi perhatian mengenai kegagalan intubasi,
kesalahan menempatkan pipa endotrakea dan waktu yang memanjang untuk
intubasi membuat manfaatnya berkurang. Kegagalan menempatkan pipa
endotrakea ke trakea merupakan komplikasi yang paling sering terjadi.17,26
Pemasangan LM tidak seperti intubasi endotrakea yang memerlukan
visualisasi glotis, sehingga keahlian untuk pemasangan LM lebih mudah
didapatkan. Karena tidak memerlukan visualisasi glotis, interupsi pada saat
kompresi dada tidak mengalami interupsi.9 Pada november 2005 konsil eropa
memasukan penggunaan alat jalan nafas supra glotis untuk manajemen jalan
nafas pada saat resusitasi jantung paru.8 Pedoman dari American Heart
Association tahun 2010 menunjukkan bahwa LM merupakan alternatif dari
intubasi endotrakea yang dapat diterima untuk penanganan jalan nafas pada
pasien dengan henti jantung (Kelas IIa).9
e. Penggunaan umum lain
Pasien yang sulit ditangani menggunakan teknik sungkup wajah, operasi
mata, endoskopi, penggantian ET, operasi pada kepala dan leher, pasien anak,
penyanyi profesional, operasi laser, laparoskopi, operasi abdomen bagian
bawah, bedah saraf, pada pasien dengan vertebra servikal yang tidak stabil,
ekstubasi, pada kondisi dimana diperlukan akses ke saluran gastrointestinal
bagian atas, prosedur ESWL.

2.8.2 Kontra Indikasi


a. Kontraindikasi absolut (pada semua kondisi, termasuk kedaruratan).18,26
1. Tidak dapat membuka mulut
2. Obstruksi total pada jalan nafas atas
b. Kontraindikasi relatif (pada kondisi elektif). 19,27
1. Peningkatan risiko aspirasi
i. Penggunaan ventilasi bag-valve-mask jangka panjang
ii. Obesitas morbid
iii. Kehamilan trimester kedua atau ketiga
iv. Pasien yang belum puasa sebelum memperoleh ventilasi

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


15

v. Perdarahan pada saluran gastrointestinal bagian atas


2. Dicurigai atau diketahui memiliki abnormalitas anatomi supraglotis
3. Memerlukan tekanan tinggi pada jalan nafas

2.9 Peran LM dalam Manajemen Jalan Nafas Sulit


LM memiliki peran penting pada kasus tidak dapat dilakukan intubasi endotrakea.
Pemasangan LM tidak seperti intubasi endotrakea yang memerlukan visualisasi
glotis, sehingga keahlian untuk pemasangan LM lebih mudah didapatkan.9
kemudahan pemasangan LM tidak bergantung pada klasifikasi Mallampati.
Klasifikasi Mallampati didesain untuk menentukan kesulitan visualisasi pada saat
laringoskopi. Penempatan LM dan keberhasilan ventilasi juga tidak ditentukan
oleh skor Mallampati, pada pasien-pasien dengan skor Mallampati 3 pemasangan
LM berhasil dalam satu kali percobaan dan pada pasien dengan skor Mallampati 4
dapat terjadi kesulitan dalam melewati LM di sekitar dasar lidah, namun bila
teknik insersinya benar hal ini tidak menjadi masalah.28,29
Pada saat terjadi kesulitan melakukan intubasi endotrakea, LM dapat
menjadi alternatif untuk mempertahankan tebukanya jalan nafas dan melakukan
ventilasi pasien. Kelebihan LM dalam situasi ini adalah, LM dapat memberikan
jalan nafas yang lebih baik untuk ventilasi dan oksigenasi jika dibandingkan
dengan sungkup konvensional dan naso-orofaringeal, penggunaan LM akan
membebaskan tangan dokter Anestesiologi untuk melakukan tugas penting lain
dan LM dapat menjadi saluran untuk melakukan intubasi fiberoptik. 19,22
Algoritma manajemen jalan nafas sulit dari American Society of
Anesthesiologists (ASA) dan Difficult Airway Society (DAS) telah memasukan
LM sebagai alat alternatif dalam melakukan manajemen jalan nafas sulit.

2.9.1 LM dan Algoritma Jalan Nafas Sulit ASA


Terdapat berberapa bagian dalam penggunaan LM pada algoritma manajemen
jalan nafas sulit dari ASA, yaitu :25,28
a) Pada bagian awake intubation penggunaan LM dipertimbangkan jika
terjadi kegagalan melakukan melakukan intubasi non-invasif.

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


16

b) Pada bagian intubasi setelah induksi anestesia umum, penggunaan LM


dipertimbangkan pada saat percobaan pertama intubasi endotrakea
mengalami kegagalan dan ventilasi dengan menggunakan sungkup muka
tidak adekuat.
c) Setelah percobaan intubasi pertama mengalami kegagalan namun ventilasi
dengan sungkup muka masih adekuat, intubasi dapat dilakukan dengan
teknik lain seperti video laringoskopi, fiberoptik dan penggunaan ukuran
bilah laringoskopi dan penggunaan LM sebagai saluran intubasi trakea
dengan ataupun tidak menggunakan fiberoptik.
d) Setelah menggunakan berbagai macam teknik alternatif namun masih
mengalami kegagalan melakukan intubasi, LM dapat menjadi salah satu
alternatif sebagai alat manajemen jalan nafas.

2.9.2 LM dan Algoritma Jalan Nafas Sulit DAS


Terdapat dua tempat penggunaan LM dalam algoritma manajemen jalan nafas
sulit dari DAS, yaitu :
a) Plan B: Secondary tracheal intubation plan. Saat laringoskopi direk gagal
diperlukan pendekatan lain untuk tetap dapat melakukan ventilasi dan
oksigenasi selama percobaan intubasi maupun antar percobaan intubasi.
LM dapat digunakan pada kondisi ini. LM yang direkomendasikan adalah
LMA classic dan ILMA, dapat digunakan dengan teknik blind maupun
dengan bronkoskopi fiberoptik.29
b)
Plan D: Rescue techniques for ‘can’t intubate, can’t ventilate’ situation.
Situasi ini dapat terjadi secara cepat, kadang setelah kegagalan intubasi
setelah percobaan berulang sebelumya. Pasien akan jatuh dalam keadaan
hipoksia. Dalam keadaan ventilasi melalui sungkup gagal untuk
melakukan oksigenasi, jalan nafas bagian atas cukup patent untuk jalan
nafa, LM dapat digunakan untuk ventilasi dan oksigenasi sebelum
melakukan prosedur invasif.29

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


17

Gambar 2.3. ASA Difficult Airway Algorithm 2013


(Sumber : American Society of Anesthesiologist: Practice Guidelines for Management of the
Difficult airway: an Update Report. Anesthesiology 2013)

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


18

Gambar 2.4. Difficult Airway Society Algorithm 2004


(Sumber : Difficult Airway Society guidelines for management of the unanticipated difficult
intubation. Anaesthesia, 2004)

2.10 Teknik Pemasangan LM


Teknik pemasangan LM unique adalah dengan menggunakan teknik baku/teknik
digital.19
a. Sebelum dipasang, kempiskan cuff LM sampai maksimal, dan berikan
pelumas pada bagian belakang namun tidak pada bagian depan karena
dapat menyumbat LM.
b. Posisikan kepala pasien pada posisi netral seperti saat melakukan intubasi
c. Pegang LM seperti memegang sebuah pensil

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


19

d. Masukan LM menyusuri palatum dengan jari telunjuk untuk


mengarahkan dan menekan LM agar tetap menempel dengan palatum.
e. Setelah LM masuk kedalam rongga orofaring, kembangkan cuff
secukupnya.

Gambar 2.5. Teknik Pemasangan LM Unique

Teknik pemasangan LM supreme adalah dengan menggunakan teknik baku.


a) Sebelum dipasang, kempiskan cuff LM sampai maksimal, dan berikan
pelumas pada bagian belakang namun tidak pada bagian depan karena
dapat menyumbat LM.
b) Berdiri pada posisi diatas kepala atau disamping pasien
c) Posisikan kepala pasien pada posisi netral seperti saat melakukan intubasi
d) Pegang dan masukan LM dengan ujung distal menekan bagian dalam
gigi atas dan menyusuri palatum.
e) Lanjutkan menyusuri palatum dan sambil menggerakan tangan memutar
ke dalam mengikuti bentuk kurvatura alat berada dibelakang lidah.
f) Kembangkan cuff secukupnya.

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


20

Gambar 2.6. Teknik pemasangan LM supreme

2.11 Evaluasi Posisi


Posisi LM dapat dipastikan secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung dapat memakai bronkoskopi fiberoptik, lightwand maupun esophageal
detector device sedangkan secara tidak langsung dengan melakukan penilaian
fungsi yang dicapai yaitu:19
a. Mengobservasi gerakan dada, auskultasi dada dan leher, kapnograf, peak
airway pressure, saturasi oksigen, dan tidal volume ekspirasi atau dikenal
menilai kapabilitas ventilasi
b. Melihat ada tidaknya kebocoran orofaring atau seal dengan saluran respirasi
c. Menilai seal pressure

2.12 Komplikasi
Komplikasi pemasangan SAD dapat terjadi pada saat insersi, selama anestesia dan
pelepasan SAD meliputi laringobronkospasme (2-3%), batuk saat pemasangan (6-
11%), noda darah setelah pelepasan SAD (13-22%), dan nyeri daerah
laringofaringeal (22-44%).6,30
Keluhan laringofaring pasca bedah yang sering dilaporkan adalah nyeri
tenggorokan dengan kekerapan antara 22-44% dan bersifat ringan dan belum
diketahui penyebab yang pasti. Keluhan yang lain adalah nyeri menelan dan suara
serak.31 Beberapa hal yang potensial menyebabkan nyeri tenggorokan adalah:
Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


21

a. Keterampilan individu
b. Teknik insersi
Teknik pemasangan dengan alat bantu memberikan kekerapan nyeri
tenggorokan yang lebih rendah dibanding teknik baku.23 Teknik pemasangan
baku memiliki keberhasilan pemasangan yang lebih baik dibanding dengan
teknik inflasi cuff sebelum insersi, meskipun tidak memiliki perbedaan
terhadap rasa tidak nyaman tenggorokan.32
c. Jenis lubrikan
Cairan salin memiliki keunggulan dengan komplikasi pasca bedah lebih rendah
dibanding jel lidokain 2%. Karena itu jel lidokain bukan lubrikan yang
dianjurkan pada pemasangan LM. Penelitian lain membuktikan bahwa
pemakaian pelumas jel tanpa lidokain memiliki kekerapan gangguan menelan
pasca pemasangan LM yang lebih kecil (4,4%) dibandingkan dengan jel
lidokain (20%).33
d. Durasi Insersi
Folley dkk meneliti lamanya paparan LM meningkatkan kekerapan keluhan
rasa tidak enak pada tenggorokan pasca operasi.34
e. Humidifikasi
Humidifikasi hangat sirkuit meningkatkan risiko terjadinya suara serak dan
nyeri tenggorokan masing-masing 1,4 dan 1,8 kali lebih besar dibanding tanpa
humidifikasi, baik pada penggunaan LM maupun intubasi endotrakea.
Penelitian lain mendapatkan adanya peningkatan keluhan pada tenggorokan
pasca operasi pada penggunaan LM dengan humidifikasi.35,36
f. Volume dan tekanan intra cuff
Walaupun belum sepenuhnya dianggap sebagai penyebab nyeri tenggorokan
pasca bedah, tetapi penelitian dengan mengeluarkan gas intra cuff sampai pada
tekanan efektif minimum menurunkan kekerapan nyeri tenggorokan pasca
bedah. Selama pemeliharaan tekanan intra kaf bervariasi. N2O dan CO2 dapat
berdifusi ke dalam cuff, sehingga tekanan intra cuff dan volumenya meningkat.
Peningkatan itu dapat menghilang sendiri setelah periode 1 sampai 2 jam.37

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


22

2.13 Kerangka Teori

Kegawatdaruratan Kardiorespirasi

Resusitasi Jantung Paru (RJP

Airway (A) Breathing (B) Circulation (C)

Manajemen jalan nafas

Intubasi ETT Kegagalan intubasi

Kesulitan
intubasi ETT

Tenaga tidak Teknik Situasi


terlatih Intubasi emergensi

X
Teknik Airway
management alternatif

Perkembangan Supraglotic LM supreme


Airway Device (SAD) LM unique

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


23

2.14 Kerangka Konsep

Usia

Faktor perawat Pengalaman


kerja

Tingkat
pendidikan

Karakteristik
LM Unique
Faktor alat

Karakteristik
LM Supreme

Kemudahan Pemasangan LM

Keberhasilan Upaya Waktu Pemasangan


Pemasangan Pemasangan < 2 < 30 detik
kali

Keterangan :
: Variabel yang diteliti
: Hubungan yang diteliti

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian


Penelitian yang akan dilakukan adalah uji intervensi tersamar tunggal untuk
membandingkan kemudahan pemasangan LM Supreme dan LM Unique oleh
perawat pada manekin.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di ruang pertemuan Instalasi Gawat Darurat (IGD)
RSCM. Waktu penelitian adalah waktu setelah didapatkannya persetujuan panitia
tetap penilai etik penelitian FKUI-RSCM, persetujuan tertulis dari tenaga
sukarelawan (perawat) sampai jumlah sampel terkumpul.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian


Populasi target penelitian ini adalah semua perawat. Populasi terjangkau adalah
perawat yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSCM pada bulan April –
Mei 2014.

3.4 Kriteria Penerimaan, Penolakan, dan Pengeluaran


3.4.1 Kriteria penerimaan
a. Perawat bekerja di IGD RSCM pada bulan April - Mei 2014
b. Perawat bersedia menjadi peserta penelitian, kooperatif, dan memenuhi
aturan-aturan penelitian yang dikonfirmasi dengan memberikan tanda
tangan pada surat persetujuan sebagai peserta penelitian/informed
consent.

3.4.2 Kriteria penolakan


Tenaga sukarelawan sudah pernah mengikuti pelatihan teknik pemasangan
dan melakukan pemasangan LM.

24 Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


25

3.4.3 Kriteria pengeluaran


a. Peserta penelitian tidak kooperatif pada saat pemberian pembekalan
materi dan pelatihan
b. Peserta penelitian tidak menggunakan teknik baku pada saat pemasangan
LM
c. Terjadi kebocoran cuff pada saat dilakukan pemasangan LM pada
manekin

3.5 Perkiraan Besar Sampel


Perkiraan jumlah sampel pada penelitian ini dihitung menggunakan rumus sampel
penelitian untuk analitik komparatif kategorik berpasangan sebagai berikut

(3.1)

Berdasarkan dari penelitian yang dilakukan Stroumpoulis dkk didapatkan angka


keberhasilan insersi LM unique pada kesempatan pertama sebesar 63,8%, maka
didapatkan :
Zα = kesalahan tipe I ditetapkan sebesar 5%, hipotesis dua arah
Zα = 1,96
Zβ = kesalahan tipe II ditetapkan sebesar 20%
Zβ = 0,84
P2 = proporsi keberhasilan pemasangan LM unique Berdasarkan kepustakaan
adalah 0,64
P1-P2 = perbedaan minimal yang dianggap bermakna sebesar 0,2
P1 = P2 + 0,2 = 0,64 + 0,2 = 0,84
f = proporsi diskordan didapatkan dengan rumus
f = P1(1-P2) + P2(1-P1) (3.2)
f = 0,64(1-0,84) + 0,84(1-0,64) = 0,1 + 0,3 = 0,4

Dengan memasukkan nilai-nilai diatas pada rumus, diperoleh :

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


26

Perkiraan drop out sebesar 10%


Besar sampel setiap kelompok dibulatkan menjadi 86 orang.

3.6 Kerangka Kerja

Perawat di lingkungan Rumah Sakit Cipto


Mangunkusumo

Seleksi subyek penelitian berdasarkan kriteria


penerimaan dan kriteria penolakan

Pembekalan materi

 Teori tentang anatomi dan fisiologi sistem respirasi,


manajemen jalan napas dasar dan Laryngeal Mask (LM)
 Demo teknik pemasangan LM di manekin dan video
 Praktikum manajemen jalan napas dasar dan
pemasangan LM sampai perawat dapat melakukan
dengan benar

Randomisasi

Kelompok A : Kelompok B :
Pertama pemasangan LM unique Pertama pemasangan LM supreme
dilanjutkan LM supreme dilanjutkan LM unique

Pencatatan data
 Keberhasilan pemasangan LM
 Jumlah upaya pemasangan
 Waktu pemasangan

Analisis data

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


27

3.7 Alat dan Bahan


3.7.1 Alat yang digunakan
a. LM supreme dan LM unique no 3
b. Spuit 20 cc
c. Manekin tipe Laerdal Adult Airway Management Trainer
d. Sarung tangan
e. Alat tulis dan formulir penelitian
f. stopwatch

3.7.2 Bahan yang digunakan


a. PDI Lubricating Jelly

3.8 Cara Kerja


a. Melakukan penilaian kepada perawat sebagai subyek penelitian berdasarkan
kriteria penerimaan dan pengeluaran
b. Menjelaskan cara penelitian kepada perawat yang terseleksi dan meminta
untuk menandatangani surat persetujuan penelitian
c. Memberikan pembekalan materi dengan pemberian kuliah mengenai anatomi
dan fisiologi sistem pernafasan, manajemen jalan nafas dasar dan Laryngeal
Mask (LM)
d. Memberikan demo teknik pemasangan LM Unique dan LM Supreme pada
manekin dengan teknik baku dan video.
e. Memberikan kesempatan kepada setiap perawat untuk melakukan manajemen
jalan nafas dasar dan pemasang LM pada manekin sampai perawat dapat
melakukannya dengan benar.
f. Melakukan randomisasi. Urutan sampel yang telah dirandomisasi dimasukan
ke dalam amplop tertutup. Perawat yang akan melakukan tindakan membuka
amplop dan melakukan urutan pemasangan LM sesuai dengan kelompoknya
yang telah dirandomisasi.
g. Menyediakan LM yang telah diberikan pelumas disamping manekin
h. Subyek penelitian melakukan pemasangan LM unique dan LM supreme
menggunakan teknik baku.

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


28

i. Teknik baku pemasangan LM unique yaitu dengan mengempiskan cuff


sebelum dipasang,memberikan pelumas pada bagian posterior sungkup,
memegang LM seperti memegang pensil dan memasang dengan menyusuri
palatum dengan diarahkan oleh jari telunjuk sampai terdapat tahan,
kembangkan cuff dengan udara sebanyak 20cc.
j. Teknik baku pemasangan LM supreme yaitu dengan mengempiskan cuff LM,
berikan pelumas pada bagian posterior, memegang bagian distal LM supreme,
ujung cuff dimasukan kedalam rongga mulut dan ditempelkan ke palatum
durum, LM diteruskan masuk ke faring dengan mengikuti bentuk kurvatura
menyusuri palatum durum dan palatum mole sampai terdapat tahanan,
kembangkan cuff dengan udara sebanyak 20cc.
k. Melakukan pencatatan keberhasilan pemasangan LM
l. Melakukan pencatatan jumlah upaya pemasangan LM
m. Melakukan pencatatan waktu pemasangan LM yang dilakukan oleh peneliti
dengan menggunakan stopwacth.

3.9 Batasan Operasional


a. Kemudahan pemasangan LM supreme dan LM unique ditentukan jika
memenuhi semua variabel dari keberhasilan pemasangan LM, jumlah upaya
pemasangan < 2 kali dan lama waktu pemasangan < 30 detik.
b. LM supreme dan LM unique adalah SAD sekali pakai, diproduksi oleh
Laryngeal Mask Company Limited
c. Manekin adalah boneka peraga dengan bentuk sesuai dengan anatomi
manusia.
d. Keberhasilan pemasangan LM adalah keberhasilan menempatkan LM pada
posisi yang tepat berada di depan pintu laring ditandai dengan paru yang
mengembang pada saat dilakukan ventilasi.
e. Jumlah upaya pemasangan dinilai berupa jumlah upaya pemasangan LM
sampai berada diposisi yang tepat.
f. Waktu pemasangan diukur sejak LM mulai dipegang untuk pemasangan
sampai LM berada diposisi yang tepat.

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


29

g. Subyek penelitian yang masuk dalam kriteria penolakan adalah perawat yang
telah mengikuti pelatihan dan pengalaman pemasangan LM baik pada
manekin maupun pada manusia.
h. Subyek penelitian yang masuk dalam kriteria pengeluaran adalah perawat
yang tidak kooperatif setelah menandatangani surat persetujuan penelitian
seperti tidak mengikuti pembekalan materi dan pelatihan pemasangan LM,
tidak menggunakan teknik baku pemasangan LM.
i. Teknik baku pemasangan LM unique yaitu dengan mengempiskan cuff
sebelum dipasang,memberikan pelumas pada bagian posterior sungkup,
memegang LM seperti memegang pensil dan memasang dengan menyusuri
palatum dengan diarahkan oleh jari telunjuk sampai terdapat tahan,
kembangkan cuff dengan udara sebanyak 20cc.
j. Teknik baku pemasangan LM supreme yaitu dengan mengempiskan cuff LM,
berikan pelumas pada bagian posterior, memegang bagian distal LM supreme,
ujung cuff dimasukan kedalam rongga mulut dan ditempelkan ke palatum
durum, LM diteruskan masuk ke faring dengan mengikuti bentuk kurvatura
menyusuri palatum durum dan palatum mole sampai terdapat tahanan,
kembangkan cuff dengan udara sebanyak 20cc.

3.10 Analisis Data


Data dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam formulir penelitian, diolah dan
disajikan dalam bentuk tabel dan teks. Analisis statistik akan diolah dengan
program SPSS. Data tergolong data kategorik akan diuji statistik dengan batas
kemaknaan yang digunakan untuk semua uji adalah p<0,05.

3.11 Etik Penelitian


Persetujuan etik penelitian akan diperoleh dari Komite Etik Penelitian Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia sebelum subyek mulai diikutsertakan dalam
penelitian. Persetujuan tertulis/informed consent akan diminta dari subyek setelah
sebelumnya dijelaskan mengenai tujuan, prosedur, manfaat, serta risiko penelitian.

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


BAB 4
HASIL PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada bulan Maret dan April 2014 dengan rancangan
penelitian uji intervensi tersamar tunggal untuk membandingkan kemudahan
pemasangan LM Supreme dan LM Unique oleh perawat pada manekin. Penelitian
ini diikuti oleh 86 peserta sebagai subyek penelitian yang terbagi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok A (n=43) yang melakukan pemasangan LM Unique
pada manekin terlebih dahulu, dilanjutkan pemasangan LM Supreme dan
Kelompok B (n=43) yang melakukan pemasangan LM Supreme pada manekin
terlebih dahulu dilanjutkan pemasangan LM Unique. Tidak ada subyek penelitian
yang dikeluarkan dari penelitian kami.

Tabel 4.1 Karakteristik Subyek Penelitian


Karakteristik N %
Jenis Kelamin
Laki-laki 16 18,60
Perempuan 70 81,40
Kelompok Jabatan
Perawat Harian 56 65,12
Perawat Primer 20 23,26
Supervisor dan kepala perawat 10 11,63
Randomisasi
Unique-Supreme (A) 43 50,00
Supreme-Unique (B) 43 50,00
Umur, median(min-max), tahun 32 (20-56)

Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 4.1. Jumlah total
subyek penelitian adalah 86 perawat yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat
RSCM terdiri 16 laki-laki (18,60%) dan 70 perempuan (81,40%) dengan umur 20-
56 tahun (32). Jabatan dari subyek penelitian terdiri dari perawat harian (65,12%),
perawat primer (23,26%) dan kepala perawat/supervisor (11,63%).

30 Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


31

Tabel 4.2 Hubungan Variabel dengan Kelompok Randomisasi


Variabel Kelompok A Kelompok B P
(Unique- (Supreme-
Supreme) Unique)
Keberhasilan Pemasangan
Berhasil 43 43 N/A
Tidak berhasil 0 0
LM Unique Jumlah Upaya
< 2 kali 39 37 0,356
≥ 2 kali 4 6
Waktu Pemasangan
< 30 detik 40 37 0,483
≥ 30 detik 3 6
Keberhasilan Pemasangan
Berhasil 43 43 N/A
Tidak berhasil 0 0
LM Supreme Jumlah Upaya
< 2 kali 41 41 1,000
≥ 2 kali 2 2
Waktu Pemasangan
< 30 detik 42 42 1,000
≥ 30 detik 1 1
Chi Square

Hubungan variabel dengan kelompok randomisasi dapat dilihat pada tabel


4.2 yang menunjukan bahwa jika di uji secara statistik tidak didapatkan perbedaan
bermakna antara hasil pada setiap variabel pada kedua kelompok baik pada LM
Unique maupun LM Supreme.
Data penelitian dapat dilihat pada tabel 4.3. Keberhasilan pemasangan LM
adalah keberhasilan menempatkan LM pada posisi yang tepat berada di depan
pintu laring ditandai dengan paru yang mengembang pada saat dilakukan
ventilasi. Pada variabel keberhasilan pemasangan didapatkan keberhasilan
pemasangan LM Unique sebesar 86/86 (100%) dan LM Supreme sebesar 86/86
(100). Secara statistik menggunakan uji Chi Square variabel keberhasilan
pemasangan tidak menunjukan perbedaan bermakna (p = N/A).
Jumlah upaya pemasangan dinilai berupa jumlah upaya pemasangan LM
sampai berada diposisi yang tepat. Pada variabel jumlah upaya didapatkan jumlah
upaya pemasangan < 2kali untuk LM Unique sebesar 76/86 (88,37%) dan LM
Supreme sebesar 82/86 (95,35%). Secara statistik menggunakan uji Chi Square
variabel upaya pemasangan tidak menunjukan perbedaan bermakna (p>0,05).
Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


32

Waktu pemasangan diukur sejak LM mulai dipegang untuk pemasangan


sampai LM berada diposisi yang tepat. Pada variabel waktu pemasangan < 30
detik untuk LM Unique sebesar 78/86 (90,96%) dan LM Supreme sebesar 84/86
(97,67%). Secara statistik menggunakan uji Chi Square variabel waktu
pemasangan menunjukan perbedaan bermakna (p<0,05).

Tabel 4.3 Data Penelitian


Variabel LM Unique LM Supreme
N % N % P
Keberhasilan Pemasangan
Berhasil 86 100,00 86 100,00 N/A
Tidak berhasil 0 0,00 0 0,00
Upaya Pemasangan
< 2 kali 76 88,37 82 95,35 0,094
≥ 2 kali 10 11,63 4 4,65
Waktu Pemasangan
< 30 detik 78 90,69 84 97,67 0,029
≥ 30 detik 8 9,31 2 2,33
Kemudahan Pemasangan
Mudah 74 47,4 82 52,6 0,036
Tidak Mudah 12 75,0 4 25,0
Chi square

Kemudahan pemasangan LM Supreme dan LM Unique ditentukan jika


memenuhi semua kriteria dari variabel keberhasilan pemasangan, jumlah upaya
pemasangan < 2 kali dan lama waktu pemasangan < 30 detik. Data kemudahan
pemasangan LM dapat di lihat pada tabel 4.3. Jumlah pemasangan yang mudah
untuk LM Unique 74 (47,4%) dan LM Supreme 82 (52,6%). Jumlah pemasangan
LM yang tidak mudah untuk LM Unique 12 dan LM Supreme 4. Analisis data
dilakukan dengan menggunakan uji Chi Square, secara statistik menunjukan hasil
perbedaan yang bermakna (p < 0,05).

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


33

Tabel 4.4 Waktu Pemasangan LM


Waktu
LM Median Min-max P
Unique 15,28 7,87-40,80 0,002
Supreme 13,05 7,54-38,06
Chi Square

Pada tabel 4.4 didapatkan waktu pemasangan rerata LM Supreme 13,05


detik (7,54-38,06) lebih cepat jika dibandingkan waktu pemasangan rerata LM
Unique 15,28 detik (7,87-40,80). Analisis data menggunakan uji Chi Square
menunjukan perbedaan yang bermakna (p < 0,05).

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


BAB 5
PEMBAHASAN

Subyek penelitian adalah perawat yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat (IGD)
RSCM. Semua subyek yang dipilih belum memiliki pengetahuan dan pengalaman
melakukan manajemen jalan nafas lanjut dengan menggunakan LM. Sebelum
dilakukan pengambilan data penelitian, pembekalan materi yang diberikan berupa
teori anatomi dan fisiologi jalan nafas, teori manajemen jalan nafas dasar dan
lanjut dengan menggunakan LM Supreme dan LM Unique, demonstrasi
pemasangan dan melakukan praktek pemasangan sampai peserta dapat melakukan
pemasangan kedua LM yang dibandingkan. Waktu pengukuran data penelitian
dilakukan setelah pelatihan selesai.
Mekanisme randomisasi dilakukan dengan menggunakan amplop tertutup
yang membagi subyek penelitian menjadi 2 kelompok. Tujuan randomisasi adalah
untuk menghindari bias dari efek pembelajaran terhadap pemasangan alat yang
pertama. Keberhasilan randomisasi dapat dilihat pada uji statistik yang
menunjukan tidak adanya perbedaan yang bermakna dari hasil semua variabel
pada kedua kelompok randomisasi.
Penelitian ini melakukan evaluasi terhadap hipotesis sederhana, apakah
pemasangan LM Supreme yang dilakukan perawat pada manekin lebih mudah jika
dibandingkan dengan pemasangan LM Unique. Subyek penelitian melakukan
pemasangan kedua LM yang dibandingkan sesuai dengan kelompok randomisasi,
sehingga karakteristik subyek penelitian dianggap sama. Data yang didapatkan
pada penelitian berupa keberhasilan pemasangan, jumlah upaya pemasangan dan
waktu pemasangan. Penelitian ini tidak membutuhkan membutuhkan persetujuan
komite etik karena penelitian menggunakan manekin.
Hasil penelitian kami menunjukan pemasangan LM Supreme lebih mudah
dibandingkan dengan LM Unique jika dilakukan oleh perawat pada menekin.
Kemudahan pemasangan didapatkan dari tiga variabel yaitu, keberhasilan
pemasangan, jumlah upaya pemasangan < 2 kali dan waktu pemasangan < 30
detik. Dari data penelitian didapatkan hasil pemasangan LM Supreme yang mudah
sebesar 82 pemasangan dari 86 sampel dan LM Unique sebesar 74 pemasangan

34 Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


35

dari 86 sampel. Uji statistik dengan Chi Square menunjukan perbedaan yang
bermakna secara statistik dalam hal kemudahan pemasangan LM (p<0,05).
Pada variabel jumlah upaya menunjukan hasil keberhasilan pemasangan
pada upaya pertama LM Supreme (95,35%) lebih besar jika dibandingkan dengan
LM Unique (88,37%) dan data tambahan yang kami dapatkan dari penelitian ini
adalah waktu rerata pemasangan kedua LM dengan hasil waktu rerata
pemasangan LM Supreme 13,05 detik (7,54-38,06) lebih cepat jika dibandingkan
waktu pemasangan rerata LM Unique 15,28 detik (7,87-40,80). Uji statistik
dengan menggunakan uji Chi Square menunjukan perbedaan yang bermakna (p <
0,05).
Hasil penelitian kami memiliki hasil yang sama dengan hasil penelitian-
penelitian sebelumnya. Chloros, dkk yang melakukan penelitian dengan dengan
membandingkan kecepatan pemasangan LM Unique dan LM Supreme oleh tenaga
medis bukan dokter anestesiologi (dokter dan perawat) dengan pengalaman
manajemen jalan nafas minimal yang dilakukan pada manekin. Hasil penelitian
Chloros, dkk menunjukan hasil pemasangan LM Supreme lebih cepat
dibandingkan dengan LM Unique dengan keberhasilan pemasangan LM Supreme
pada upaya pertama sebesar 96% dan LM Unique sebesar 90%.10
Penelitian yang bertujuan membandingkan LM Supreme dengan
Supraglottic Airway Device (SAD) lainnya telah dilakukan. Fischer dkk
melakukan perbandingan LM Supreme dengan SAD lain (I-Gel, LM Unique dan
LM Proseal) oleh mahasiswa kedokteran tahun ketiga dengan hasil LM Supreme
dan I-Gel memiliki angka keberhasilan tertinggi pada upaya pertama dan waktu
pemasangan lebih cepat jika dibandingkan dengan LM Unique dan LM Proseal.40
Ragazzi, dkk melakukan perbandingan pemasangan LM Supreme dan I-Gel pada
pasien yang menjalani anestesia umum dilakukan oleh tenaga medis non-
anestesiologis (dokter bedah, perawat, mahasiswa dan pekerja sosial) yang
mendapatkan pelatihan terlebih dahulu. Hasil penelitian tersebut adalah LM
Supreme memiliki keunggulan dalam hal keberhasilan pemasangan pada upaya
pertama, angka kegagalan yang lebih sedikit, dan segel dari sungkup yang lebih
baik jika dibandingkan dengan I-Gel.6

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


36

Kohama dkk melakukan penelitian perbandingan LM Supreme dan LM


Soft Seal oleh dokter dengan pengalaman minimal dengan hasil keberhasilan
pemasangan LM Supreme hampir 100% dan waktu pemasangan lebih cepat
dibandingkan dengan LM Soft Seal.41 Hasil penelitian-penelitian di atas
menunjukkan bahwa LM Supreme lebih unggul dalam hal kecepatan dan
keberhasilan pemasangan pada upaya pertama jika dibandingkan dengan SAD
jenis lain.
Kemudahan dan kecepatan pemasangan LM Supreme disebabkan karena
karakteristik yang dimiliki seperti pipa jalan nafas yang kaku (rigid) dengan
kelengkungan yang mengikuti bentuk anatomi orofaring dan ujung cuff LM
Supreme yang dikempiskan terletak lebih anterior jika dibandingkan dengan LM
Unique sehingga tidak mudah terlipat pada saat pemasangan. Pipa yang kaku
membuat pemasangannya tidak membutuhkan bantuan jari untuk mengarahkan
sungkup ke depan pintu laring. LM Unique yang memiliki pipa semirigid dengan
kelengkungan lebih kurang dibandingkan LM Supreme membuat pemasangannya
lebih sulit karena membutuhkan bantuan jari saat pemasangan.
Beberapa teknik pemasangan LM Unique yang dimodifikasi telah
dianjurkan seperti pendekatan lateral, pendekatan rotasi, mengembangkan cuff
sebagian (parsial) dan menggunakan laringoskop. Namun, teknik ini tidak lebih
baik dibandingkan teknik baku. Cuff yang dikembangkan sebagian dapat
menghindari terlipatnya cuff pada saat pemasangan, namun memiliki kekurangan
karena dapat mendorong epiglotis ke bawah.42 Keuntungan lain dari LM Supreme
sebagai LM generasi kedua adalah adanya pipa drainase esofagus, sehingga dapat
mengurangi risiko aspirasi dan regurgitasi.10
Peserta yang ikut pada penelitian-penelitian sebelumnya berbeda dengan
penelitian kami, namun memiliki hasil penelitian yang sama yaitu angka
keberhasilan pemasangan yang mencapai 100%. Penelitian Ragazzi, dkk
menyebutkan angka keberhasilan pemasangan LM yang dilakukan tenaga medis
bukan dokter anestesiologi sama dengan dokter anestesiologi.6 Hal ini
menunjukan bahwa tenaga medis baik dokter atau perawat yang telah
mendapatkan pelatihan mampu memasang LM dengan baik.

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


37

Sesuai dengan syarat yang diajukan oleh The Joint Commission bahwa
semua staf rumah sakit termasuk perawat yang bertanggung jawab melakukan
perawatan pasien harus dibekali dengan keterampilan melakukan bantuan hidup
dasar. Selain itu perawat merupakan salah satu anggota dari tim medis reaksi
cepat (TMRC) yang dibentuk sebagai salah satu strategi untuk meningkatkan
angka survival pasien yang mengalami henti jantung di dalam rumah sakit.3
Pada saat melakukan RJP, perawat dapat berperan menjadi anggota tim
resusitasi sampai dengan menjadi pimpinan resusitasi. Giligan dkk melaporkan
perawat terlatih dalam melakukan bantuan hidup lanjut memiliki performa yang
sama dengan dokter junior saat RJP pada simulasi henti jantung. Hal ini
menunjukan bahwa saat menjadi pimpinan resusitasi, seorang perawat dapat
menjalani peran tersebut dengan baik. 14
Kami menyadari bahwa penelitian kami banyak memiliki kekurangan
yaitu penelitian ini dilakukan pada manekin bukan pada manusia, situasi tidak
menggambarkan kondisi RJP yang sebenarnya dan tidak ada pengukuran
kuantitatif seperti seal pressure dan volume tidal dari kefektifan ventilasi pada
manekin. Keberhasilan ventilasi hanya kami lihat dari paru yang mengembang,
sehingga hasil penelitian tidak dapat sesuai dengan situasi sebenarnya.
Kekurangan lain dari penelitian ini adalah pelatihan dan pengukuran data
penelitian dilakukan oleh peneliti sendiri sehingga dapat menjadi bias jika peneliti
memiliki tendensi terhadap hasil dari salah satu LM yang dibandingkan.
Untuk meningkatkan hasil akhir dalam situasi emergensi, diharapkan
semua tenaga kesehatan baik dokter maupun perawat dapat mengamankan jalan
nafas dengan alat dan teknik yang ada. Kesulitan yang terdapat dalam melakukan
teknik intubasi endotrakea membuat LM menjadi alat yang sangat membantu
terutama bagi tenaga medis (perawat atau dokter) yang tidak selalu menghadapi
situasi emergensi dan keterampilan minimal untuk mengamankan jalan nafas.
Kemudahan penggunaan sebuah alat manajemen jalan nafas sebaiknya
memenuhi kriteria kecepatan waktu untuk memberikan ventilasi dan keberhasilan
yang tinggi. Dengan pertimbangan perawat sering menjadi orang yang pertama
kali menghadapi pasien yang mengalami henti jantung di dalam rumah sakit, hasil
penelitian kami dapat dijadikan salah satu landasan bahwa seorang perawat yang

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


38

telah mendapatkan pelatihan dapat memulai dan memberikan RJP yang optimal
termasuk manajemen jalan nafas dengan menggunakan LM sebelum tim resusitasi
datang, sehingga resusitasi yang diberikan tidak tertunda. Kekurangan yang
terdapat dalam penelitian ini membutuhkan penelitian lebih lanjut sebelum alat ini
digunakan dalam praktik klinis sehari-hari.

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


BAB 6
KESIMPULAN

6.1 Kesimpulan
1. Pemasangan LM Supreme oleh perawat pada manekin lebih mudah
dibandingkan dengan pemasangan LM Unique
2. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada persentase keberhasilan
pemasangan LM Supreme dan LM Unique oleh perawat pada manekin
3. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada persentase jumlah upaya < 2 kali
pemasangan LM Supreme dan LM Unique oleh perawat pada manekin
4. Terdapat perbedaan bermakna pada persentase waktu <30 detik
pemasangan LM Supreme dan LM Unique oleh perawat pada manekin
5. Waktu rerata pemasangan LM Supreme lebih cepat dibandingkan dengan
LM Unique oleh perawat pada manekin

6.2 Saran
1. LM Supreme dapat dijadikan alternatif alat manajemen jalan nafas pada
saat RJP jika dilakukan oleh perawat atau tenaga medis dengan
pengalaman dan keterampilan melakukan manajemen jalan nafas yang
minimal.
2. Adanya penelitian lebih lanjut mengenai kemudahan pemasangan LM oleh
tenaga medis bukan dokter anestesiologi dengan pengalaman manajemen
jalan nafas minimal pada simulasi RJP menggunakan manekin dengan
kompresi dada.
3. Adanya penelitian lebih lanjut mengenai kemudahan pemasangan LM oleh
tenaga medis bukan dokter anestesiologi yang dilakukan pada pasien sehat
yang menjalani anestesia umum.

39 Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


DAFTAR REFERENSI

1. Deo R, Albert CM. Epidemiology and Genetics of Sudden Cardiac Death.


Circulation. 2012;125:620-637
2. Cooper JA, Cooper JD, Cooper JM. Cardiopulmonary Resuscitation: History,
Current Practice and Future Practice. Circulation. 2006; 114:2839-2849
3. Morrison LJ, Neumar LW, Zimmerman JL, Link MS, Newby K, McMullan
PW, et al. Strategies dor Improving Survival After In-Hospital Cardiac Arrest
in United States : 2013 Consensus Recomendation : A Consensus Statement
From the American Heart Association. Circulation. 2013; 127:1538-1563
4. Buku Panduan Pedoman Pelayanan Resusitasi Tim Medis Reaksi Cepat.
RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. 2012 : 1-16
5. Dorges V, Wenzel V, Neubert E, Schmucker. Emergency Airway
Management by Intensive Care Unit Nurses with the Intubating Laryngeal
Mask Airway and the Laryngeal Tube. Critical Care. 2000;4:369-376
6. Ragazzi R, Finessi L, Farrinelli, Alvisi R, Volta CA. LMA Supreme vs I-Gel –
A Comparison of Insertion Success in Novices. Journal of The Association of
Anesthetist of Great Britain and Ireland. 2012;67:384-388
7. Bassiakou E, Stroumpoulis K, Xanthos T. Paramedics Manage the Airway
Easier with Laryngeal Mask Airway than with Intubation during Simulated
CPR Scenarios. International Scholarly Research Network, ISRN Emergency
Medicine. 2012; 132514:1-4
8. Wharton N, Gibbison B, Gabbot DA, Haslam JA, Muchatuta M, Cook TM. I-
Gel Insertion by Novices in Manikin and Patients. Journal of The Association
of Anesthetist of Great Britain and Ireland. 2010;63:991-995
9. Neumar RW, Otto CW, Link MS, Kronick SL, Schuster M, Callaway CW, et
al. Adult Advanced Cardiovascular Life Support: 2010 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. Part 8. Circulation. 2010;122:S729-S767
10. Chloros T, Xanthos T, Lacovidou N, Bassiakou E. Supreme Laryngeal Mask
Airway Achieves Faster Insertion Time than Classic LMA during Chest

40 Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


41

Compresion in Manekins. American Journal of Emergency Medicine. 2014;


32: 156-159
11. Berg RA, Hemphill R, Abella BS, Auderheide TA, Cave DM, Hazinki MF, et
al. Adult Basic Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Part 5.
Circulation. 2010;122:S685-S705
12. Flavell E, Boyle MJ. Which is more Effective for Ventilation in the
Prehospital Setting during Cardiopulmonary Resuscitation, the Laryngeal
Mask Airway or the Bag-Valve-Mask? – A Review of the Literature. Journal
of Emergency Primary Health Care (JEPHC). 2010;3:1-10
13. Giesecke M, Hosur S. Cardiopulmonary Rescusitation. In : Butterwoorth JF,
Mackey DC, Wasnick JD, eds. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology
5th ed. New York:McGraw-Hill Education. 2013:1231-1255.
14. Heng KWJ, Fong MK, Wee FC, Anantharaman V. The Role of Nurses in the
Resuscitation of In-Hospital Cardiac Arrest. Singapore Medical Journal.
2011;52:611-615
15. Deakin CD, Nolan JP, Soar J, Sunde K, Koster RW, Smith GB, et al.
European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010. Section 4.
Adult Advance Life Support. Resuscitation. 2010; 81:1305–1352
16. Cook TM, Hommers C. New airways for resuscitation?. Resuscitation. 2006;
69 : 371—387
17. Polack VC. Noninvasive Ventilatory Support in the Emergency Department.
In : Walls RM, eds. Manual of Emergency airway management.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins. 2004: 97-109
18. Henry EW, Clay MN, Mearsc G, Jacobson K, Yealy DM. Out-of-Hospital
Airway Management in the United States. Resuscitation 2011;82:378–385
19. Sood J. Laryangeal Mask Airway and Its Variants. Indian Journal of
Anesthesia 2005; 49:275-280
20. Vaida S. Airway management – Supraglottic devices. Timisoara. 2004; 57-60
21. Cook T, Howes B. Supraglottic Airway Devices : Recent Advances. British
Journal of Anesthesia. 2010; 11:56-61

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


42

22. Verghese C, Ramaswamy B. LMA Supreme a New Single Use LMA with
Gastric Access : a Report on Its Clinical Efficacy. Brithis Journal of
Anesthesia. 2008; 10:1-6
23. Airway Management. In : Butterwoorth JF, Mackey DC, Wasnick JD, eds.
Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology 5th ed. New York:McGraw-Hill
Education. 2013: 309-342
24. Campo SL, Denman WT. The Laryngeal Mask Airway: Its Role in the
Difficult Airway. International Anesthesiology Clinics. 2000; 38(3):29–45
25. American Society of Anesthesiologist: Practice Guidelines for Management of
the Difficult Airway: An Update Report. Anesthesiology 2013;118:251-270
26. Jindal p, Rizvi AA, Khurana G, Sharma JP. Safety and Eficacy of Insertion of
Supraglottic Devices in Anesthetised Patient by First-time Users. South Africa
Journal Anesthesiology Analgesia. 2010;16(4):23-26
27. Zeleznik MW, Dunn PF. Airway Evaluation and Management. In : Dunn PF,
Alston TA, Baker KH, Davidson JK, Kwo J, Rosow CE, eds. Clinical
Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital 7th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007:208-227
28. Butler KH, Clyne B. Management of the Difficult Airway: Alternative Airway
Techniques and Adjuncts. Emergency Medical Clinics of North America.
2003; 21 : 259–289
29. Henderson JJ, Popat TM, Latto IP, Pearce AC. Difficult Airway Society
Guidelines for Management of the Unanticipated Difficult Intubation.
Anaesthesia, 2004; 59:675–694
30. Gatward JJ, Cook TM, Seller C, Handel J, Simpson T, Vanek V, et al.
Evaluation of the Size 4 I-Gel Airway in One Hundred Non-Paralized
Patients. Journal of Ascosiation of anesthetist of Great Britain and Ireland.
2008; 63:1124-1130
31. Sondari D, Haryono A, Ghozali M, Randy A, Suharjo KA, Ariyadi B, et al.
Pembuatan Elastomer Termoplastik Menggunakan Inisiator Kalium Persulfat
dan Ammonium Peroksi Disulfat. Jurnal Kimia Indonesia. 2010;5:22-26
32. Roodneshin F, Agah M, Novel Technique for Placement of Laryngeal Mask
Airway in Difficult Pediatric Airways. Tanaffos. 2011;10(2):56-58

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


43

33. Syukriati, Gangguan Menelan Pasca Pemasangan SL pada Pembedahan:


Perbandingan antara Pelumas Jeli Lidokain dengan Jeli tanpa Lidokain.
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI-RSUPNCM, 2000.
34. Folley EP, O’neill BL, Chang AS, The Effect of Duration LMA Exposure on
the Incident of Post-operative Pharyngeal Complaints, Anesthesia-Analgesia,
1995; 80: S130.
35. Rose K, Cohen MM, Sore Throat and Hoarse Voice in Post-Operative Patient.
Anesthesia-Analgesia. 1994;78:S367.
36. O’Neill BL, Folley EP, Chang A. Effect of Humidification of Inspired Gases
with the Laryngeal Mask Airway. Anesthesia-Analgesia 1994; 81: A52.
37. Quinn Ac, Samaan E, McAteer EM, Moss E, Vucecic M. The Reinforced
Laryngeal Mask Airway for Dento-alveolar Surgery. British Journal of
Anesthesia. 1996;77:185-188.
38. Burgard G, Muellhoff T, Prien T. The Effect of LMA Cuff Pressure on Post-
Operative Sore Throat Incidence. Journal Clinic of Anesthesia. 1996; 8:198-
201
39. Stroumppoulis K, Isaia C, Bassiakou E, Pantazopaulus I, Troupis G,
Mazarakis A, et al. A Comparisson of the I-Gel and Classic LMA Insertion in
Manikins by Experienced and Novice Physicians. Europe Journal of
Emergency Medicine. 2012; 19:24-27
40. Kohama H, Kornasawa N, Ueki R, Samma A, Nakagawa M, Nishi S,
Kaminoh Y.Comparison of Supreme and Soft Seal Laryngeal Mask for
Airway Management During Cardiopulmonary Resuscitation in Novice
Doctors : a Manikin Study. Journal of Aneshtesia. 2011;25:98-103
41. Fischer H, Hochbrugger E, Fast A, Hager H, Steinlechner B, Koinig H, et al.
Performance of Supraglottic Airway Devices and 12 Month Skill Retention : a
Randomized Controlled Study with Manikins. Resuscitation. 2011;82:326-331
42. Asai T, Morris S. The Laryngeal Mask Airway : Its Features, Effects and
Role. Canadian Journal Anesthesia. 1994; 41(10): 930-960

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


Lampiran 1 : Dummy Table

Dummy Table
1. Data Demografik

Karakteristik Perawat Jumlah Persen (%)


1. Jenis Kelamin
a. Laki-Laki
b. Perempuan
2. Pendidikan
a. S1
b. D4
c. D3
d. SPK
3. Status Keperawatan
a. Manajer
b. Supervisor
c. Kepala perawat
d. Perawat Primer
e. Perawat Harian

2. Keberhasilan pemasangan LM

LM unique
Berhasil Tidak berhasil
LM supreme Berhasil
Tidak berhasil
Total

3. Jumlah upaya pemasangan LM

LM unique
< 2 kali ≥2 kali
LM supreme < 2 kali
≥ 2 kali
Total

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


(Lanjutan)

4. Waktu pemasangan LM

LM unique
< 30 detik ≥ 30 detik
LM supreme < 30 detik
≥ 30 detik
Total

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


Lampiran 2 : Lembar Penjelasan

LEMBAR PENJELASAN
PERBANDINGAN KEMUDAHAN PEMASANGAN
LARYNGEAL MASK SUPREME DENGAN LARYNGEAL MASK UNIQUE
OLEH PERAWAT PADA MANEKIN

Teman sejawat yang terhormat


Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI-RSCM saat ini
sedang mengadakan penelitian perbandingan kemudahan pemasangan Laryngeal
Mask (LM) Supreme dengan LM unique oleh perawat pada manekin. LM
Supreme dan LM Unique merupakan Supraglotic Airway Device (SAD) yaitu alat
untuk mempertahankan terbukanya jalan nafas dan sudah masuk dalam pedoman
Resusitasi Jantung Paru (RJP) karena aspek kecepatan dan kemudahan
pemasanganya. Penggunaan SAD tidak terbatas dalam skenario di ruang operasi
namun dapat juga digunakan di ICU, ruang emergensi dan ruang perawatan
sampai penggunaan pada saat pertolongan pra rumah sakit dalam skenario
resusitasi sebagai alternatif dari Bag Valve Mask (BVM) dan pipa endotrakea.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan kemudahan
pemasangan LM supreme dengan LM unique oleh perawat pada manekin dan
bermanfaat sebagai dasar penggunaan LM oleh perawat pada situasi RJP.
Sebagai tenaga sukarelawan yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian
ini, saudara akan mendapatkan pembekalan mengenai anatomi jalan nafas dan
latihan teknik pemasangan LM. Saudara berhak untuk menolak berpartisipasi
dalam penelitian ini atau mengundurkan diri bila anda telah memutuskan ikut
dalam penelitian ini dan bertanya tentang semua hal yang berhubungan dengan
penelitian ini dengan cara menghubungi dr. Wida Herbinta (wida) di Departemen
Anestesiologi dan Terapi Intensif dengan nomor HP 081281687520. Semua data
penelitian ini akan diberlakukan secara rahasia sehingga tidak memungkinkan
untuk disalahgunakan oleh orang lain.
Terima Kasih
dr. Wida Herbinta

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


Lampiran 3 : Lembar Persetujuan Mengikuti Penelitian

Nama :
Jenis Kelamin :
Tanggal lahir :

FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN


(FORMULIR INFORMED CONSENT)
Peneliti Utama : dr. Wida Herbinta
Pemberi informasi : dr. Wida Herbinta
Penerima informasi
Nama Subyek :
Tanggal Lahir (Umur) :
Jenis Kelamin :
Alamat :
No. Telp (HP) :

JENIS ISI INFORMASI TANDAI


INFORMASI
1. Judul Penelitian PERBANDINGAN KEMUDAHAN
PEMASANGAN LARYNGEAL
MASK SUPREME DENGAN
LARYNGEAL MASK UNIQUE
OLEH PERAWAT PADA
MANEKIN
2. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbandingan
kemudahan pemasangan Laryngeal
Mask (LM) Supreme dengan LM
Unique yang dilakukan oleh perawat
pada manekin
3. Metodologi Uji Intervensi Acak tersamar
Penelitian Tunggal
4. Risiko & Efek Penelitian ini tidak menggunakan
samping dalam pasien, sehingga risiko dan efek
penelitian samping diharapkan tidak ada
5. Manfaat penelitian Penelitian ini dapat menjadi landasan
termasuk manfaat penggunaan LM tidak terbatas pada
bagi subjek penelitian dokter anestesiologi namun dapat
juga digunakan oleh tenaga
kesehatan lain terutama pada kondisi
di luar ruang operasi seperti di ruang
rawat pada saat resusitasi jantung
paru

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


(Lanjutan)

6. Prosedur Penelitian Subyek penelitian akan diberikan


pembekalan materi dan teknik
pemasangan sebelum dilakukan
penilaian
7. Ketidaknyamanan Tidak ada
subyek penelitian
(potential discomfort)
8. Alternatif penelitian Tidak ada
9. Penjagaan Semua data penelitian ini akan
kerahasiaan data diberlakukan secara rahasia sehingga
tidak memungkinkan untuk
disalahgunakan oleh orang lain
10. Kompensasi bila Penelitian ini adalah penelitian
terjadi efek samping pengamantan, sehingga tidak ada
efek samping dari penelitian ini.
11. nama dan alamat Dr. Wida Herbinta
peneliti serta nomor Jl. Nusa Indah Rt 004/002 No.18
telepon yang dapat Kelurahan Baru, Pasar Rebo, Jakarta
dihubungi Timur
HP: 081281687520
12. Jumlah subyek 86 subyek penelitian
13. Bahaya Potensial Tidak ada
14. Biaya yang timbul Subyek penelitian tidak dikenakan
biaya apapun
15. Insentif bagi subyek Tidak ada

Setelah mendengarkan penjelasan pada halaman 1 dan 2 mengenai penelitian yang


akan dilakukan oleh dr. Wida Herbinta dengan judul: PERBANDINGAN
KEMUDAHAN PEMASANGAN LARYNGEAL MASK SUPREME DENGAN
LARYNGEAL MASK UNIQUE OLEH PERAWAT PADA MANEKIN, informasi
tersebut telah saya pahami dengan baik.

Dengan menandatangani formulir ini, saya menyetujui untuk diikutsertakan dalam


penelitian diatas dengan suka rela tanpa paksaan dari pihak manapun. Apabila
suatu waktu saya merasa dirugikan dalam bentuk apapun, saya berhak
membatalkan persetujuan ini.

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


(Lanjutan)

___________________________ ________________________
Tanda Tangan Subyek atau cap Jempol Tanggal
___________________________
Nama Subyek

___________________________ ________________________
Tanda tangan saksi/wali Tanggal
___________________________
Nama saksi/wali

Saya telah menjelaskan kepada subyek secara benar dan jujur mengenai maksud
penelitian, manfaat penelitian, prosedur penelitian, serta risiko dan
ketidaknyamanan potensial yang mungkin timbul (penjelasan terperinci sesuai
dengan hal yang saya tandai diatas). Saya juga telah menjawab pertanyaan-
pertanyaan terkait penelitian dengan sebaik-baiknya.

___________________________
Tanda tangan peneliti Tanggal
(dr. Wida Herbinta)

Inisial Subyek ___

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


Lampiran 4 : Lembar Penelitian

LEMBAR PENELITIAN
Kelompok randomisasi

A B

PERBANDINGAN KEMUDAHAN PEMASANGAN


LARYNGEAL MASK SUPREME DENGAN LARYNGEAL MASK UNIQUE
OLEH PERAWAT PADA MANEKIN

Hari/Tanggal : No sampel :
Nama : Jenis Kelamin :  Laki-laki
Umur :  perempuan

Pendidikan :  S1 Jabatan :  Manajer


 D4  Supervisor
 D3  Kepala Perawat
 SPK  Perawat Primer
 Perawat Harian

Unique
Keberhasilan  Berhasil  Tidak berhasil
Jumlah upaya  < 2 kali  ≥ 2 kali Upaya ke :
Waktu  < 30 detik  ≥ 30 detik Waktu :

Supreme
Keberhasilan  Berhasil  Tidak berhasil
Jumlah upaya  < 2 kali  ≥ 2 kali Upaya ke :
Waktu  < 30 detik  ≥ 30 detik Waktu :

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014


Lampiran 5 : Lembar Kaji Etik

Universitas Indonesia

Perbandingan kemudahan ..., Wida Herbinta, FK UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai