Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengarusutamaan Gender adalah proses untuk menjamin perempuan dan laki -


laki mempunyai akses dan kontrol terhadap sumber daya, memperoleh manfaat
pembangunan dan pengambilan keputusan yang sama di semua tahapan proses
pembangunan dan seluruh proyek, program, dan kebijakan pemerintah (Inpres
9/2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional).
Kesetaraan gender dalam kebijakan pembangunan menjadi indikator yang yang
cukup signifikan, karena kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara
untuk berkembang, mengurangi kemiskinan dan memerintah secara efektif.
Semakin tinggi apresiasi gender dalam proses perencanaan pembangunan, maka
semakin besar upaya suatu negara untuk menekan angka kemiskinan, dan
sebaliknya rendahnya apresiasi dimensi gender dalam pembangunan akan
meningkatkan angka kemiskinan.
Kesepakatan global dalam merespon kesenjangan gender, yaitu : CEDAW
(Convention on the Elimination of Discrimination against Women ), yakni
kesepakatan hak asasi internasional yang secara khusus di rancang untuk
melindungi hak-hak perempuan dan pemajuan kesetaraan dan keadilan gender (laki-
laki dan perempuan), Beijing Platform of Action, yakni teridentifikasinya 12 bidang
yang harus menjadi perhatian dalam pemajuan pemberdayaan perempuan dan
kesetaraan gender (antara lain kemiskinan, ekonomi, pengambilan keputusan,
lingkungan hidup) dan Millenium Development Goals (MDG‟s) : persamaan gender
dalam pengertian kesetaraan dan keadilan gender ditetapkan sebagai salah satu dari
delapan sasaran pembangunan MDG‟s. Hal ini telah melahirkan pengarus-utamaan
gender secara global.
Tujuan utama pengarusutamaan gender adalah mengagendakan secara eksplisit
hal-hal yang menjadi masalah bagi tenaga kerja laki-laki dan perempuan saat
penyusunan agenda dan intervensi pembangunan. Hal ini membuat agenda
kesetaraan menjadi lebih eksplisit, tidak seperti kebijakan-kebijakan “universal‟
yang diklaim telah mengagendakan secara implisit halhal yang menjadi kepentingan
laki-laki dan perempuan. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki luas 3.185,80 km2
ini terdiri atas satu kota dan empat kabupaten, yang terbagi lagi menjadi 78
kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2010 memiliki
jumlah penduduk 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-laki dan 1.746.986
perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.084 jiwa per km2. Hasil
Sensus Penduduk 2010 mencatat jumlah penduduk DIY mencapai 3.457.491 jiwa,
dengan komposisi 49,43 persen laki-laki dan 50,57 persen perempuan. Penduduk
tersebut tersebar di lima kabupaten/kota dengan populasi terbesar terdapat di
Kabupaten Sleman dan diikuti oleh Kabupaten Bantul dan Gunungkidul. Untuk

1
jumlah rumah tangga di DIY ada sebanyak 959.885 yang terdiri dari populasi
lakilaki sebanyak 1.568.096 populasi perempuan sebanyak 1.588.133 jiwa, jumlah
total penduduk 3.156.229 dengan jumlah penduduk perempuan lebih banyak dari
laki- laki sebanyak 20.037 jiwa (0, 63%). Rasio yang berpendidikan, penduduk
perempuan yang tidak/belum pernah sekolah juga lebih banyak dari laki-laki dengan
perbandingan masing - masing untuk perempuan 19,92% untuk perempuan dan
8,35% untuk laki- laki.
Sementara itu, mengenai partisipasi anggota DPRD Provinsi DIY terhadap
kesetaraan gender dalam proses pembangunan tergolong rendah. Pada dimensi
kesetaraan gender dengan indikator partisipasi politik masih terbatas pada tataran
wacana dan konsep belaka, pada iplementasinya belum menunjukkan suatu tindakan
yang benar-benar memberikan jaminan terwujudnya kesetaraan gender.
Jenis kelamin juga dapat mempengaruhi salah satu aspek yakni kekerasan
secara gender yang disebabkan oleh bias gender atau gender related violence.
Bahwa kekerasan ini terjadi akibat adanya ketidaksetaraan kekuatan di
masyarakat, misalnya pemerkosaan terhadap perempuan, kekerasan dalam rumah
tangga, bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ vital, kekerasan dalam
bentuk pelacuran (prostitusi), kekerasan dalam bentuk pornografi, kekerasan dalam
bentuk sterilisasi atau pemasangan alat Keluarga Berencana (KB), kekerasan
terselubung, pelecehan seksual. Pentingnya regulasi atau produk hukum yang
mengatur keseteraan gender dalam pemerintahan menjadi satu tugas penting.
Dimana produk kebijakan terpenting yaitu Perda khusus untuk melindungi dan
mengakomodir kepentingan perempuan sama sekali belum ada.
Pembelaan terhadap hak - hak perempuan mulai di berlakukan dengan
terbentuknya WOMEN in DEVELOPMENT (WID) dan merupakan pemecahan
masalah perempuan DuniaKetiga. Namun setelah berjalan selama sepuluh tahun,
program ini menuai kritik keras dari aktivis feminisme. Karena dianggap sebagai
alat propaganda Agenda Dunia Pertama untuk mendominasi Negara Dunia Ketiga.
Agenda utama WID adalah bagaimana melibatkan perempuan dalam kegiatan
pembangunan.
Karena menurutnya penyebab keterbelakangan perempuan disebabkan mereka
tidak berpartisipasi dalam pembangunan.
Konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang di kontruksi secara sosial maupun kultural (Mansour Fakih :8).
Misalnya bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan.
Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Terbentuknya
perbedaan gender antara manusia jenis laki-laki dan perempuan karena dibentuk,
disosialisasikan, diperkuat dan dikonstruksikan secara social atau kultural mealui
ajaran keagamaan atau negara.
Kesenjangan gender di Indonesia masih relatif lebih besar dibanding negara
ASEAN lainnya. Selain itu, tantangan lainnya adalah kemiskinan yang dialami oleh
kaum perempuan yang ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peran
perempuan, terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih

2
rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender (Gender-related Development
Index) dan angka Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment
Measurement).
Persentase anggota parlemen wanita di Indonesia setelah periode tahun 2002-
2003 mengalami kecenderungan meningkat.
Tahun 2008, Indonesia menjadi negara yang persentase anggota parlemen
wanita paling rendah, sedangkan Vietnam tertinggi. Angka partisipasi perempuan
dalam pendidikan tingkat menengah di Indonesia pada tahun 2007 hanya sebesar
66.0 %, lebih rendah dibandingkan negara-negara tetangga ASEAN lainnya,
sementara itu, Thailand telah mencapai 88.0%, Malaysia 72.0%, dan Filipina
mencapai angka 88.0%, meskipun demikian, ada peningkatan 6% dari tahun
sebelumnya. Angka partisipasi perempuan dalam pendidikan tingkat tinggi di
Indonesia pada tahun 2007 meningkat 3% dibandingkan tahun 2006, tetapi terendah
bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga ASEAN lainnya.
Caplan (1987) dalam The Cultural Constrution of Sexuality mengatakan bahwa
perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologis, namun
melalui proses social dan kultural. Oleh karena itu gender dapat berubah dari waktu
ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis
kelamin tidak.

B. Tujuan

Adapun tujuan makalah ini adalah sebagai berikut:

1 Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan Pengarusutamaan Gender dan


hambatan yang ditemui.
2 Untuk mengetahui Implementasi Instruksi Presiden No 9 Tahun 1999 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan sosial.

C. Manfaat

Adapun manfaat makalah ini adalah sebagai berikut:

1 Secara akademis, makalah ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu


pengetahuan khususnya pada kajian dalam bidang Gender dan Politik terutama
dalam pengembangan dan mengaplikasikan bidang Ilmu Hubungan
Internasional,

2 Secara praktis, makalah ini bermanfaat untuk menjadi sebuah masukan dan
juga rekomendasi terhadap perkembangan Gender Internasional.

3
D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian tersebut, dalam masalah ini diuraikan pertanyaan sebagai


berikut :

1 Bagaimana pelaksanaan Pengarusutamaan Gender ?


2 Bagaimana hambatan hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan
Pengarusutamaan Gender?

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengarusutamaan Gender (PUG)

1 Kebijakan Pengarusutamaan Gender


Terkait dengan Pengarusutamaan Gender (PUG), terdapat beberapa isitilah yang
dapat kita temukan, antara lain dalam :
a. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
Pembangunan Nasional.
“Komponen kunci keberhasilan pengarusutamaan gender ditentukan oleh
adak tidaknya komitmen politik dan kerangka kebijakan pemerintah dalam
mendukung pembangunan berperspektif gender, sumber daya manusia yang
memiliki gender analysis skill dan sumber dana yang memadai, data dan
statistik gender, alat dan sistem monitoring dan evalusi, media KIE, serta
peran serta masyarakat”

b. Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG


dalam Pembangunan di Daerah.
“Dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan
masyarakat di daerah, masih terdapat ketidaksetaraan dan ketidakadilan
gender, sehingga diperlukan strategi pengintegrasian gender melalui
perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pengangguran, pemantauan, dan
evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan pembangunan daerah” Dalam
Inpres No. 9 Tahun 2000, tujuan pengarusutamaan gender antara adalah :

1) Membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang


responsif gender.
2) Memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok yang
mengalami marginalitas, sebagai akibat dari bias gender.
3) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak baik pemerintah
maupun non pemerintah untuk melakukan tindakan yang sensitif gender
dibidang masing-masing.

”Dalam Sasongko (2009), Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah suatu


strategiuntuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender melalui kebijakan
dan programyang memperhatikan kepentingan laki-laki dan perempuan
secara seimbang mulaidari tahap penegakan hak-hak laki-laki dan
perempuan untuk mendapatkankesempatan, pengakuan dan perhargaan
yang sama di masyarakat.

5
Menurut United Nation Economic and Social Council (1997) dalam Dewi
(2006),Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah :

“mengarusutamakan persepektif gender adalah proses memeriksa


pengaruhterhadap perempuan dan laki-laki setelah dilaksanakannya sebuah
rencana,termasuk legislasi dan program-program dalam berbagai bidang
dalam semuatingkat. PUG merupakan sebuah strategi untuk membuat
masalah danapengalaman perempuan dan laki-laki menjadi bagian yang
menyatu denganrencana, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian kebijakan
dan program dalamsemua aspek politik, ekonomi, dan sosial agar
perempuan dan laki-lakimendapatkan manfaat dan ketidaksetaraan
(inequality) tidak berlanjut. Tujuanakhirnya adalah kesetaraan gender.”

Dalam pandangan Nugroho (2008), proses untuk mengintegrasikan


pertimbangangender dalam pembangunan merupakan hal mendasar dalam
pengarusutamaan gender yang berarti

2. Faktor Kesenjangan Gender

Nugroho (2004) berpendapat bahwa pada awalnya kebijakan publik adalah netral
gender, namun bias gender dalam implementasinya. Dampak dari bias gender
dapat berpotensi menimbulkan faktor kesenjangan antara perempuan dan laki-
laki baik sebagai objek maupun subyek pembangunan. Dalam konteks kebijakan
kesehatan terdapat empat faktor yang dimaksud (UNFPA, 2010), yaitu :
a. Akses
Ditujukan untuk mengetahui kesenjangan kebutuhan kesehatan perempuan
dan laki-laki dalam hal kemudahan mendapatkan upaya kesehatan (promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif). Akses terhadap upaya kesehatan dapat
dilihat dari empat dimensi, yaitu :
(i) Ketersediaan sarana dan atau upaya kesehatan,
(ii) Keterjangkauan dari sisi geografis dan transportasi (jarak dan
waktu),
(iii) Affordability atau keterjangkauan secara ekonomi,
(iv) Keterjangkauan secara psikis dan sosiokultural.

Akses juga dapat dilihat dari sisi keterjangkauan terhadap sumberdaya,


baik sumberdaya yang bersifat tangibles (kentara atau nyata)maupun
intangibles (tidak kentara atau tidak nyata).

b. Partisipasi
Ditujukan untuk mengetahui keterwakilan dan keterlibatan aktif perempuan
dan laki-laki dalam upaya kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif) baik dari sisi beneficieries (penerima manfaat) maupun
provider (penyedia layanan kesehatan).

6
c. Kontrol
Ditujukan untuk mengetahui siapa (laki-laki atau perempuan) yang
menentukan keputusan terhadap pengalokasian dan penggunaan sumberdaya
yang tersedia di tingkat rumah tangga, komunitas, pemerintahan yang
berhubungan dengan upaya kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif).

d. Manfaat
Ditujukan untuk mengetahui apakah laki-laki dan perempuan diuntungkan
dalam upaya kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) baik
dari sisi beneficieries (penerima manfaat) maupun provider (penyedia
layanan kesehatan).
Manfaat pelayanan kesehatan dari perspektif gender dapat dilihat dari sisi
Practical Gender Needs (kebutuhan praktis gender) maupun Strategic
Gender Need (kebutuhan stretegis gender).

B. Analisis Gender

Analisis Gender adalah proses menganalisis data dan informasi secara sistematis
tentang laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasikan dan mengungkapkan
kedudukan, fungsi, peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, serta faktor-
faktor yang mempengaruhinya. Secara umum analisis gender bertujuan untuk
menyusun kebijakan program dan kegiatan pembangunan dengan memperhitungkan
situasi, kondisi dan kebutuhan gender.
Analisis Gender digunakan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi kebijakan program dan kegiatan dalam berbagai aspek pembangunan.

Analisis Gender Bidang Kesehatan adalah proses mengidentifikasi, menganalisis, dan


memberikan informasi untuk melakukan tindakan dalam rangka memperbaiki ketidak
seimbangan yang timbul dari perbedaan peran gender perempuan dan laki-laki atau
ketidaksetaraan kekuasaan diantara keduanya, serta konsekuensinya terhadap
kehidupan mereka, status kesehatan dan kesejahteraannya.

Analisis Gender bidang kesehatan menekankan pentingnya ketidaksetaraan gender


terhadap rendahnya status kesehatan perempuan, hambatan yang dihadapi perempuan
dalam memperoleh pelayanan kesehatan dan bagaimana caranya mengatasi
permasalahan tersebut.

Analisis gender juga berupaya mengungkap faktor risiko kesehatan dan permasalahan
yang dihadapi laki-laki sehubungan dengan peran gender mereka (WHO, 1999). Ada
berbagai macam instrument analisis gender, seperti Problem Based Approach, Moser
Gender Analysis, Gender Analysis Pathway (GAP), dan lain-lain.

7
Gender Analysis Pathway merupakan salah satu alat analisis yang dapat digunakan
untuk mereview kebijakan program dan kegiatan bidang kesehatan.

1 Gender Analysis Pathway (GAP)

Gender Analysis Pathway (GAP) atau yang sering disebut juga sebagai alur kerja
analisis gender, merupakan model/alat analisis gender yang dikembangkan oleh
Bappenas bekerjasama dengan Canadian International Development Agency
(CIDA) dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
untuk membantu para perencana melakukan pengarusutamaan gender.

Gender Analysis Pathway (GAP) memiliki beberapa keunggulan, antara lain


analisis gender dilakukan secara sekuensial mulai dari tahap identifikasi tujuan,
analisis situasi, penentuan rincian kegiatan, sampai monitoring dan evaluasi.

Karena tahapan siklus perencanaan tersebut disajikan dalam matriks yang sama,
akan memudahkan perencana kesehatan untuk melihat relevansi dan konsistensi
antara tahapan satu dengan tahapan lainnya sehingga membentuk sekuensial
yang utuh dari kebijakan atau program dan kegiatan sehingga responsif gender.

Keunggulan lainnya adalah Gender Analysis Pathway (GAP) mempunyai


fleksibilitas yang tinggi dalam penggunaannya. Analisis ini dapat digunakan
pada level kebijakan, baik kebijakan strategis, kebijakan manajerial, maupun
kebijakan operasional. Alat analisis ini dapat juga digunakan pada level program
dan atau kegiatan, bahkan sampai pada level output dan sub output.

2 Teknik Analisis Gender Dengan Metode Gender Analysis Pathway (GAP)

Metode Analisis Gender Analysis Pathway (GAP) menggunakan 9 langkah


sebagai berikut :

a. Memilih kebijakan program/kegiatan yang ada atau yang sedang


disusun/didesain untuk dianalisis; yakni proses mengidentifikasi dan
menuliskan tujuan dari kebijakan/program/kegiatan yang baru.Gender
Analysis Pathway (GAP) dapat digunakan pada level dibawah kegiatan.
b. Menyiapkan Data pembuka wawasan; yakni penyajian data yang terpilah
menurut jenis kelamin secara kuantitatif dan kualitatif. Data dan informasi
dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif atau gabungan keduanya.
Data dan informasi yang ditulis mempunyai relevansi dengan akses,
partisipasi, manfaat dan kontrol.

8
3 Mengenali isu gender dan faktor kesenjangan. Faktor kesenjangan dapat dirinci
sebagai berikut :

a. Akses, terdapat empat (4) dimensi akses;


(i) Ketersediaan sarana dan atau upaya kesehatan;
(ii) Aksesibilitas dari sisi geografis dan transportasi (jarak dan waktu);
(iii) Affordability atau akses secara ekonomi;
(iv) Akses secara psikis dan sosiokultural.

b. Partisipasi, ditujukan untuk mengetahui kesenjangan partisipasi perempuan


dan laki-laki, mulai pada tahap desain kebijakan dan program, implementasi,
monitoring dan evaluasi.

c. Manfaat, ditujukan untuk mengetahui kesenjangan manfaat upaya kesehatan


yang diterima oleh perempuan dan laki-laki sesuai dengan kebutuhan
kesehatannya. Manfaat pelayanan keesehatan dari perspektif gender dapat
dilihat dari sisi practical gender need maupun strategic gender need.

d. Kontrol, ditujukan untuk mengetahui kesenjangan perempuan dan laki-laki


dalam menentukan keputusan dan pemilihan alternatif sejumlah keputusan
terhadap pengalokasian sumberdaya kesehatan dan sumber daya ditingkat
rumah tangga, komunitas, pemerintahan dan pasar yang mempunyai
relevansi dengan bidang kesehatan.

4 Mengidentifikasi penyebab kesenjangan internal.


Sumber penyebab kesenjangan gender secara internal dapat berbentuk : produk
hukum, kebijakan, desain program dan kegiatan sesuai siklus perencanaan dan
siklus manajemen program, pemahaman pengelola program tentang konsep
gender yang masih kurang baik pada pengambil keputusan maupun pelaksana
kebijakan. Political will dari pengambil keputusan, dukungan penelitian dan
pengembangan kesehatan, dll.

5 Mengindentifikasi Penyebab kesenjangan Eksternal.


Sumber penyebab kesenjangan gender secara eksternal (diluar lembaga/institusi
kesehatan) dapat terjadi pada level rumah tangga, komunitas, pemerintahan dan
pasar, bahkan isu internasional. Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender dapat
disebabkan oleh budaya patriarki, peran dan relasi gender, diskriminasi gender
(stereotipe, subordinasi, marginalisasi, beban ganda serta kekerasan terhadap
perempuan) yang terjadi di rumah tangga, komunitas, pemerintahan dan pasar.

6 Menetapkan kembali tujuan kebijakan/program/kegiatan pelayanan kesehatan


sehingga responsive gender. Reformulasi tujuan : yakni merumuskan kembali

9
tujuan kebijakan/program/kegiatan sehingga menjadi responsive gender. Tujuan
kebijakan yang baru menjamin kesetaraan dan keadilan perempuan dan laki-laki
dalam bidang kesehatan. Reformulasi tujuan dapat pula menambahkan tujuan
baru (intermediate objectives) yang fokus pada tercapainya kesetaraan dan
keadilan gender.
Pada saat menyusun tujuan sebaiknya mempertimbangkan ketersediaan
sumberdaya yang ada seperti ketersediaan anggaran, SDM, sara dan oprasarana
pendukung, dukungan kebijakan dan waktu yang tersedia.

7 Menyusun kembali rincian kegiatan yang responsive gender: Rencana aksi


merupakan detil kegiatan atau intervensi bidang kesehatan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan sebagaimana.
Tujuan dari rencana aksi adalah mendukung tercapainya target kinerja program
dan kegiatan sekaligus menghilangkan kesenjangan gender dalam bidang
kesehatan.

8 Pengukuran hasil; mencakup penetapan data dasar (baseline) indicator


responsive gender. Baseline indikator ditujukan untuk mengetahui kemajuan
intervensi kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendukung pencapaian tujuan
yang responsive gender. Baseline digunakan sebagai titik awal capaian kinerja.
Baseline indikator dapat saja berasal dari data pembuka wawasan.

9 Pengukuran hasil. Indikator gender. Tetapkan indikator gender untuk menilai


apakah isu kesenjangan gender bidang kesehatan telah berkurang atau
menghilang. Indikator gender difokuskan pada alat ukur terhadap keberhasilan
rencana aksi. Indikator dapat berupa data kuantitatif maupun kualitatif. Indikator
dapat berada pada level input, proses, output maupun outcome, tetapi
menggambarkan kesetaraan dan keadilan gender dalam bidang kesehatan. Jika
berada pada level outcome maka evaluasi atau pengukurannya dilakukan jangka
menengah, tetapi jika berada pada level input, proses dan output, pengukuran
dilakukan setiap tahun, sebagaimana evaluasi indikator kinerja program.
Sebaiknya indikator yang ditetapkan adalah indikator yang mempunyai relevansi
dengan isu akses, partisipasi, manfaat dan control atau isu practical gender need
dan strategic gender need.

C. Beberapa Istilah dan Pengertian

Sebagaimana telah dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2002


tentang Perlindungan Anak, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 67 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman
Umum Pengarusutamaan Gender di daerah dan Peraturan menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan republic Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 tentang

10
Penyelenggaraan Data Gender dan Anak, telah dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan :
1 Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk
anak yang masih dalam kandungan;
2 Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik
fisik, mental, spiritual, maupun social;
3 Analisis gender adalah analisis untuk mengidentifikasi dan memahami
pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses control terhadap sumber-
sumber daya pembangunan, partisipasi dalam proses pembangunan dan manfaat
yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
timpang, yang dalam pelaksanaannya memperhatikan factor lainnya seperti kelas
social, ras, dan suku bangsa;
4 Anggaran Berspektif Gender (Gender Budget) adalah penggunaan atau
pemanfaatan anggaran yang berasal dari berbagai sumber pendanaan untuk
mencapai kesetaraan dan keadilan gender;
5 Bias Gender adalah kebijakan / program/ kegiatan atau kondisi yang
menguntungkan pada salah satu jenis kelamin yang berakibat munculnya
permasalahan gender;
6 Data Gender adalah data mengenai hubungan relasi dalam status, peran dan
kondisi antara laki-laki dan perempuan;
7 Data Terpilah adalah data menurut jenis kelamin dan status dan kondisi
perempuan dan laki-laki diseluruh bidang pembangunan yang meliputi
kesehatan, pendidikan, ekonomi dan ketenagakerjaan, bidang politik dan
pengambilan keputusan, bidang hukum dan social budaya dan kekerasan.
8 Diskriminasi terhadap perempuan adalah setiap pembedaan, pengucilan atau
pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh
atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau
penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang
politik, ekonomi, social, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum
perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara
laki-laki dan perempuan;
9 Focal point PUG adalah aparatur SKPD uang mempunyai kemampuan untuk
melaksanakan pengarusutamaan gender di Unit kerjanya masing-masing;
10 Gender adalah konsep yang mengacu pada pembedaan peran dan tanggung
jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat diubah/berubah
oleh keadaan social dan budaya masyarakat;
11 Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara;
12 Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender (Pokja PUG) adalah wadah
konsultasi bagi pelaksana dan penggerak pengarusutamaan gender dari berbagai
instansi/lembaga di daerah;
13 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau
suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau

11
keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat
ketiga;
14 Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi social
dan/atau organisasi kemasyarakatan;
15 Pekka (perempuan kepala keluarga) adalah permpuan yang menjadi tulang
punggung keluarganya, baik perempuan yang sudah tidak mempunyai suami,
atau permpuan yang bersuami tetapi suaminya tidak bisa memberikan nafkah,
atau perempuan yang bersuami namun penghasilan suaminya tidak bisa
mencukupi kebutuhan ekonomi keluarganya, dan atau perempuan yang belum
menikah tetapi sudah bekerja untuk menghidupi keluarganya;
16 Pengarusutamaan Gender adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan
gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan, program, dan kegiatan
pembangunan;
17 Pengarusutamaan Hak Anak adalah strategi yang mengintegrasikan isu-isu dan
hak-hak anak kedalam setiap tahapan pembangunan yang meliputi perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas peraturan perundang-
undangan, kebijakan, program, kegiatan dan anggaran dengan menerapkan
prinsip kepentingan terbaik bagi anak;
18 Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manisia, agar mampu berperan
dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan
dan keamanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan;
19 Keadilan Gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan
perempuan;
20 Perlindungan Perempuan adalah segala upaya yang ditujukan untuk melindungi
perempuan dan memberikan rasa aman dalam pemenuhan hak-haknya dengan
memberikan perhatian yang konsisten dan sistematis yang ditujukan untuk
mencapai kesetaraan gender;
21 Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembangdan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;
22 Perencanaan Berspektif Gender adalah perencanaan untuk mencapai keadilan
dan kesetaraan gender,yang dilakukan melalui pengintegrasian pengalaman,
aspirasi, kebutuhan, potensi, dan penyelesaian permasalahan perempuan dan
lakilaki;
23 Pendamping adalah pekerja social yang mempunyai kompetensi professional
dalam bidangnya;
24 Perlindungan Khusus adalah perlindungan yyang diberikan kepada anak dalam
keadaan situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban

12
penyalahgunaan narkotika, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza),
anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik
fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran;
25 Penyelenggaraan data gender dan anak adalah suatu upaya pengelolaan data
pembangunan yang meliputi : pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian
data yang sistematis, komprehensif dan berkesinambungan yang dirinci menurut
jenis kelamin, dan umur, serta data kelembagaan terkait unsur-unsur prasyarat
pengarusutamaan gender dan pengerusutamaan hak anak untuk digunakan dalam
upaya peaksanaan pengarusutamaan gender dan pengarusutamaan hak anak;
26 Pengolahan data adalah proses operasi sistematis terhadap data yang meliputi
verifikasi, pengorganisasian data, pencarian kembali, transformasi,
penggabungan, pengurutan, penghitungan/kalkulasi ekstrasi data untuk
membentuk informasi, yang dirinci menurut jenis kelamin, umur dan wilayah;
27 Penyajian data adalah kegiatan menyajikan data yang telah diolah dan dianalisis
bermakna informasi dan bermanfaat bagi keputusan manajerial;
28 Responsive gender adalah kebijakan/program/kegiatan pembangunan yang sudah
memperhatikan berbagai pertimbangan untuk terwujudnya kesetaraan dan
keadilan, pada berbagai aspek kehidupan antara laki-laki dan perempuan;
29 Sensitif gender adalah kemampuan dan kepekaan seseorang dalam melihat atau
menilai hasil pembangunan serta aspek kehidupan lainnya dari perspektif gender.

D. Program Making Pragnancy Safer (MPS)

Making Pregnancy Safer (MPS) atau kehamilan yang aman merupakan kelanjutan
dari program Safe Motherhood, dengan tujuan melindungi hak reproduksi dan hak
asasi manusia dengan cara mengurangi beban kesakitan, kecacatan dan kematian
yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan yang sebenarnya tidak perlu
terjadi.

Making Pregnancy Safer (MPS) fokus pada pendekatan perencanaan sistematis dan
terpadu dalam intervensi klinis dan sistem kesehatan serta penekanan pada kemitraan
antar institusi pemerintah, lembaga donor, dan peminjam, swasta, masyarakat, dan
keluarga. Perhatian khusus diberikan pada penyediaan pelayanan yang memadai dan
berkelanjutan dengan penekanan pada ketersediaan penolong persalinan terlatih.
Aktivitas masyarakat ditekankan pada upaya untuk menjamin bahwa wanita dan bayi
baru lahir memperoleh akses terhadap pelayanan (Kementerian Kesehatan RI, 2010).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa Strategi Making Pregnancy Safer (MPS) memiliki
tiga pesan kunci, yaitu setiap persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih;
setiap komplikasi obstetrik dan neonatal mendapatkan pelayanan yang memadai; dan
setiap wanita usia subur mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang
tidak diinginkan dan penanganan komplikasi keguguran.

13
Empat strategi utama dalam Making Pregnancy Safer (MPS) yaitu;

1) meningkatkan akses dan cakupan pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir
yang berkualitas;
2) membangun kemitraan yang efektif melalui kerja sama lintas program, lintas
sektor dan mitra lainnya; 3) mendorong pemberdayaan perempuan dan juga
keluarga melalui peningkatan pengetahuan; dan 4) mendorong keterlibatan
masyarakat dalam menjamin penyediaan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan
ibu dan bayi baru lahir.
Terdapat beberapa prinsip dasar dalam pelaksanaan program Making Pregnancy
Safer (MPS), yaitu:

a. Program ditujukan untuk semua sasaran yang meliputi golongan miskin,


daerah terpencil dan kelompok masyarakat di penampungan;
b. Pemerintah Kabupaten/Kota merupakan unit utama pelaksana program;
c. Program Making Pregnancy Safer (MPS) dilaksanakan dalam konteks
system pelayanan kesehatan yang sudah ada/sudah berjalan;
d. Program Making Pregnancy Safer (MPS) mencakup pelayanan kesehatan
dasar maupun pelayanan kesehatan rujukan;
e. Program Making Pregnancy Safer (MPS) mengharuskan adanya kemitraan
dan sinergisitas dengan pihak terkait dalam hal penyediaan dan pemanfaatan
pelayanan;
f. Program Making Pregnancy Safer (MPS) menuntut partisipasi perempuan,
keluarga, masyarakat termasuk suami (laki-laki) guna memastikan
keberhasilan MPS.

14
BAB III

CONTOH KASUS

Contoh kasus di Indonesia:

The Impact of Women’s Participation in the Aqua

-Danone AdvocacyProgramme. A Case Study in Klaten District, Central Java


Challenges(Sumber: Gender, Water and Sanitation Case Studies on Best
Practices,United Nations. 2006)

Sebuah pabrik minuman kemasan dibuka pada 2002 oleh Aqua-Danonedi daerah Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah. Indonesia. Perusahaan tersebutmenghasilkan air pegunungan dalam
jumlah yang besar yang dihasilkan olehmata air Sigedang 20 meter jaraknya dari mata air
Sigedang. Mata air Sigedangsendiri merupakan sumber air utama di daerah tersebut. Setiap
bulannya, pabriktersebut menghasilkan 15-18 juta liter minuman kemasan, yang
mengakibatkanberkurangnya suplay air minum bagi masyarakat di daerah tersebut.
Sejakdibukanya pabrik tersebut, penduduk setempat yang kebanyakan merupakanpetani
kesulitan memenuhi kebutuhan irigasinya. Tidak hanya itu, tetapimembuat pompa air untuk
irigasi membuat sumur-sumur penduduk lamakelamaan mengering. Beberapa kalangan
petani beralih profesi menjadi pekerjakonstruksi atau pekerja pasar.

Program

Untuk memecahkan permasalahan ini beberapa kalangan masyarakatdan LSM membuat


program yang terkait dengan pemecahan masalah air olehanggota komunitas pada 2003 yang
diberi nama KRAKED (Koalisi Rakyat Klatenuntuk Keadilan).

Koalisis ini membuat wanita Klaten berkesempatan untukmelakukan advokasi. Tujuan


jangka pendek dari terbentuknya KRAKED iniadalah untuk menutup pabrik Aqua-Danone
di Klaten. Hal ini dimulai daridikuranginya jumlah air yang diekstrak oleh pabrik dan
melakukan monitoringterhadapnya.

Penduduk wanita menggunakan air untuk kebutuhan sehari haridan penggunaan sehari hari.
Wanita memiliki peran tradisional dan pengambilankeputusan biasa dilakukan oleh ayah,
suami dan saudara laki-laki dalamkeluarga tersebut. Dengan adanya KRAKED, para wanita
merasa termotivasiuntuk berpartisipasi dalam program tersebut karena ada kemungkinan
bagimereka untuk mengambil keputusan sendiri. Pada awalnya para wanita hanyaterlibat
sebagai penyedia konsumsi saja, namun KRAKED meluncurkan proyekriset untuk memotret
gambaran dampak pabrik bagi masyarakat sekitar. Delapanorang wanita dan sepasang pria
terpilih untuk melaksanakan proyek tersebut

15
secara sukarela. Proyek ini juga menargetkan adanya advokasi di tingkatpemerintahan lokal
dan anggota dewan, jurnalis dan para pegawai pabrik AquaDanone. KRAKED meminta
setiap anggotanya untuk berbagi informasi danpengetahuan tentang kelangkaan air di antara
anggotanya sebanyak mungkin.

Hasil

Informasi, mobilisasi dan capacity building :

1 Lebih banyak anggota masyarakat yang mengetahui dan menyadarimasalah kelangkaan


air berkat metode pembagian informasi KRAKED.Pendekatan individual menghasilkan
hasil yang baik pada komunitaslokal.
2 Adanya peningkatan kemampuan masyarakat untuk mempresentasikanargumen yang
kuat untuk berdialog dengan Stakeholders advokasi lainnya. Dampak pada tujuan
program advokasi:
3 Stakeholders seperti pemerintah lokal dan Aqua-Danone, mulaimempertimbangkan dan
melibatkan KRAKED dalam pertemuan dandiskusi mereka.
4 Pada 7 Maret 2005 yang bertepatan dengan ulang tahun KRAKED,pemerintah lokal
meminta KRAKED untuk duduk bersama mengevaluasiizin pengambilan air Aqua-
Danone. Aqua-Danone sendiri memintaperpanjangan izin pengambilan air diperpanjang.
Akibat dari peristiwatersebut KRAKED menerima banyak publisitas dan respons
darimasyarakat luas.

Riset pada aspek gender dalam diseminasi informasi:

1 Partisipasi wanita dalam proses ini membuat advokasi yang dilakukanKRAKED meraih
audiens yang luas. Hal ini menyadarkan semua pihak,bahwa laki-laki dan wanita
memiliki cara yang berbeda dalammendapatkan dan berbagi informasi dan
menggunakan perbedaan iniuntuk meningkatkan kepedulian mereka.
2 Secara umum, wanita terlihat lebih efektif berbagi informasi di dalamkeluarganya
maupun dalam jaringan informal sedangkan laki-laki berbagiinformasi di luar
keluarganya dan menggunakan jaringan komunikasiformal.

Perkembangan peningkatan keterampilan wanita dan pemberdayaan:

1 Partisipasi dalam program advokasi telah meningkatkan kepercayaan diriyang tinggi


pada wanita dan keahliannya. Para wanita telah belajar untukmelakukan riset, membagi
informasi advokasi dan berdiskusi secaraefektif dengan anggota yang lainnya.
2 Wanita dalam komunitas lebih mengenal masalah sumber daya air danmengapresiasi
dengan lebih baik dan efisien penggunaan air dalamkehidupannya. Mereka juga lebih
mengenal dan termotivasi untuk terlibat dalam wilayah „publik,‟ yang berkaitan dengan
masalah ketidakseimbangan gender.

16
3 Wanita yang terlibat di KRAKED tertarik untuk berpartisipasi dalamproyek advokasi
dan riset yang memungkinkan mereka untuk memilikikesempatan yang sama dengan
laki-laki.
4 Para laki-laki di KRAKED menyadari bahwa baik perempuan maupun laki-laki
menderita dampak negatif yang sama dalam pengoperasian pabrik Aqua-Danone,
sehingga keduanya harus bekerja sama secara efektifdalam proses advokasi.

Faktor Kunci kesuksesan

Pengalaman terdahulu dalam kerja organisasi:

1 Kebanyakan para wanita telah memiliki usaha kecil yang dapat digunakansebagai
jaringan komunikasi.
2 Wanita memiliki akses yang independen secara finansial karena merekaadalah para
pengusaha warung dan bukan saja sebagai ibu rumahtangga.

Dukungan dari anggota keluarga dan anggota laki-laki dalam komunitas:

1 Sangat penting untuk wanita dalam aktivitas advokasi dibantumengerjakan dan berbagi
pekerjaan-pekerjaan „domestik‟ nya dari anggota keluarganya yang lain.
2 Anggota KRAKED yang laki laki bersedia untuk memberi kesempatanpada wanita
untuk berpartisipasi dalam inisiatif advokasi dan melihatmereka sebagai mitra kerja

Evaluasi dari seluruh anggota komunitas:

1 Pengumpulan data dilakukan kebanyakan dengan menggunakan metode focus group


discussions dan wawancara mendalam dengan berbagai stakeholders yang berbeda, baik
yang terlibat dalam KRAKED maupun yang tidak. Latar belakang informasi selalu
diikutsertakan.

Hambatan utama

1. Pada awalnya pembagian kerja dan dan tanggungjawab di KRAKED tidak gender-
balanced Wanita berpartisipasi hanya pada pelayanan dan diskusi, sedangkan pada
pengambilan keputusan sepenuhnya dilakukan oleh laki-laki.
2. Aspek negatifnya adalah para wanita menjadi lebih banyak mencurahkan waktunya
dalam kerja advokasi dan mengabaikan usahanya sehingga pendapatannya menurun.

17
Saran ke depan

Penyediaan kesempatan yang sama bagi wanita dan laki-laki untuk berpartisipasi dalam
pembangunan merupakan hal yang penting sehingga dibutuhkan pelatihan sensitivitas gender
yang dapat memberdayakan baik laki laki maupun perempuan.

18
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Pengenalan dan pengembangan pengarusutamaan gender yang dilakukan Departemen


Tenaga Kerja dan Transmigrasi cukup memadai. Sosialisasi dan pelatihan-pelatihan
internal telah dilakukan secara kontinyu. Berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan
pembangunan ketenagakerjaan (program APBN), dinilai masih kurang memberi
manfaat bagi pengembangan PUG. Kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk
pengarusutamaan gender masih sangat terbatas. Belum banyak kegiatan program
ketenagakerjaan yang mengarusutamakan gender. Hal ini disebabkan karena
pendekatan yang digunakan dalam kegiatan pengarusutamaan gender menggunakan
pendekatan proyek. Keterbatasan konsep pemahaman berwawasan gender para
pelaksana di lapangan menjadikan kendala dalam pengarusutamaan gender. Sehingga
dampak yang diperoleh kurang berarti dalam pembangunan gender di sektor
ketenagakerjaan.
Pelembagaan “Strategi Pengarusutamaan Gender” kedalam proses pembangunan
secara umum adalah suatu bentuk ideal dari pembangunan yang merupakan
pengharapan dimasa mendatang. Namun tidak dapat disangkali bahwa hal ini
memerlukan suatu proses pembelajaran dan adaptasi yang panjang dari seluruh agen
pembangunan yang terlibat di dalamnya, terutama dalam hal ini adalah para
perencana dan pengambil keputusan. Dengan demikian, pelaksanaan PUG di
Indonesia yang walaupun secara resmi telah dimulai pada tahun 2000 namun pada
penerapannya di tingkat tingkat lembaga/instansi pelaksana baru mulai berjalan
sekitar tahun 2002-2003, dapat dikatakan masih baru pada tahap awal
pelembagaannya.
Meskipun demikian, hasil evaluasi pelaksanaan PUG ini menyingkapkan bahwa
secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan PUG di 9 sektor pembangunan
telah mulai berjalan. Piranti-piranti kelembagaan yang memungkinkan pelaksanaan
PUG secara ideal telah mulai tertanam walaupun penuh dengan kekurangan dan
kelemahan disana-sini. Kesembilan sektor yang dievaluasi secara de jure telah
memiliki seluruh atau hampir seluruh aspek utama yang menjadi prasyarat ideal
sebuah lembaga melakukan PUG, yaitu adanya dukungan politik, ada dan telah
dilaksanakannya kebijakan-kebijakan yang responsif gender, adanya dukungan
kelembagaan berupa focal point atau unit kerja gender, adanya sistem informasi yang
mendukung pelaksanaan PUG, serta adanya sumber daya manusia yang memahami
konsep PUG dan mampu melaksanakan PUG.
Secara umum, kesimpulan dari hasil evaluasi pelaksanaan PUG di 9 sektor
pembangunan adalah sebagai berikut:
1. Aspek dukungan politik
2. Aspek kebijakan

19
3. Aspek kelembagaan
4. Aspek sistem informasi
5. Aspek sumber daya manusia

B. SARAN

Semoga dengan tersusunnya makalah Pengarusutamaan Gender ini, memberikan


manfaat bagi kita semua, dan dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Alston, M. 2006.Gender mainstreaming in practice: A view from rural Australia.

NWSA Journal, 18 (2), 123-147.Beveridge, F. dan S. Nott. 2002.

Mainstreaming:acasefor optimism andcynicismFeminist Legal Studies, 10, 299-311.Crespi,


I. 2009. Gender differences and equality issues in Europe: critical aspectsof gender
mainstreaming policies.

InternationalReview of Sociology: RevueInternationale de Sociologie,19(1), 171-


188.Hubeis, AVS. (2010).

Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa. Bogor: IPBPress.Loemban Tobing-Klein, I.


2009.Some remarks on gender mainstreaming .GlobalWatch, 4 (1), 3-10.Radoi, C. 2012.

Theoretical Debates on the Concept of “Gender Equality .

Journalof Community Positive Practices, 12 (1), 5-17.Tripathy, J. 2009.

The truncated narrative of gender and development .

International Journal of Development Issues, 8 (1), 4-17.United Nations. 1995.

UN Fourth World Conference on Women, Platform for Action.

http://www.un.org/womenwatch/daw/beijing/platform/decision.htm.

Diakses 26 September 2014.--------------, 1997.

Report of the Economic and Social Council for 1997 .

(<http://www.un.org/documents/ga/docs/52/plenary/a52-3.htm.

Diakses 26September 2014.---------------,. 2006.

Gender, Water and Sanitation Case Studies on BestPractices

.http://www.un.org/esa/sustdev/sdissues/water/casestudies_bestpractices.pdf .

Diakses 26 September 2014.

21
Soal :

1. Setiap pembedaan,pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jeniskelamin,


yang mempunyai pengaruh atau tujuan untukmengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan ataupenggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-
kebebasanpokok di bidang politik, ekonomi, social, budaya, sipil atauapapun
lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari statusperkawinan mereka, atas dasar
persamaan antara laki-laki danperempuan, merupakn pengertian dari...
a. Diskriminasi terhadap perempuan
b. Anggaran Berspektif Gender (Gender Budget)
c. Focalpoint PUG
d. Gender

2. Tujuan dari Program Making PragnancySafer (MPS) adalah...


a. Melindungi hak reproduksi dan hak asasi manusia dengan cara
mengurangi beban kesakitan, kecacatan dan kematian yang
berhubungan dengan kehamilan dan persalinan yang sebenarnya tidak
perlu terjadi.
b. untuk terwujudnya kesetaraan dan keadilan, padaberbagai aspek kehidupan
antara laki-laki dan perempuan.
c. untukmencapai keadilan dan kesetaraan gender, yang dilakukanmelalui
pengintegrasian pengalaman,aspirasi, kebutuhan,potensi, dan penyelesaian
permasalahan perempuan dan lakilaki.
d. untuk menjadi adilterhadap laki-laki dan perempuan

3. Komponen kunci keberhasilan pengarusutamaan gender ditentukan oleh


adatidaknya komitmen politik dan kerangka kebijakan pemerintah
dalammendukung pembangunan berperspektif gender,sumber daya manusia
yangmemiliki gender analysisskill dan sumber dana yang memadai, data
danstatistik gender, alat dan sistem monitoring dan evalusi, media KIE, sertaperan
serta masyarakat” merupakan istilah dari..
a. Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan
PUGdalam Pembangunan di Daerah
b. INPRES No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG)
dalamPembangunan Nasional.
c. Peraturan menteri Negara Pemberdayaan Perempuan republicIndonesia
Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Data Gender danAnak.
d. Menurut United NationEconomicandSocialCouncil (1997) dalam Dewi
(2006),Pengarusutamaan Gender (PUG).

4. factor darikesenjangan gender adalah…


a. Akses, partisipasi, control
b. Manfaat, partisipasi, analisis gender
c. Analisis gender, control, akses
d. Akses, analisis gender, manfaat
e.

22
5. Dalam Inpres No. 9 Tahun 2000, tujuan pengarusutamaan gender antara adalah…
a. Tidak memberikan perhatian khusus kepada kelompok-kelompok yang
mengalami marginalitas, sebagai akibat dari bias gender.
b. Tidak membentuk mekanisme untuk formulasi kebijakan dan program yang
responsif gender
c. Meningkatkan pemahaman dan kesadaran semua pihak baik
pemerintah maupun non pemerintah untuk melakukan tindakan yang
sensitif gender dibidang masing-masing
d. Untuk tidak mencapai keadilan dan kesetaraan gender melalui kebijakan dan
program yang memperhatikan laki-laki dan perempuan secara seimbang

6. Perencanaan Berspektif gender adalah perencanaan untuk mencapai...


a. Sensitif gender
b. Responsive gender
c. Keadilan dan kesetaraan gender
d. Pengarusutamaan gender

7. Yang bukan merupakan faktor kesenjangan gender adalah...


a. Akses
b. Kontrol
c. Partisipasi
d. Pengolahan data

8. MPS singkatan dari...


a. Making Pregnancy Safer
b. Making Productive Safer
c. Making Pregnancy Swift
d. Making Pregnancy Supportive

9. Sebutkan faktor kesenjangan gender menurut (UNFPA 2010), kecuali...


a. Akses
b. Partisipasi
c. Kesehatan
d. Kontrol

10. Sebutkan prinsip dasar dalam pelaksanaan proses making pregnancy safer (MPS),
kecuali...
a. Program di tujukan untuk semua sasaran yang meliputi golongan miskin,
daerah terpencil, dan kelompok masyarakat di penampungan
b. Pemerintah kabupaten atau kota merupakan unit utama pelaksaaan program
c. Rt/Rw sebagai pengawas
d. Program making pregnancy safer (MPS) mencakup pelayanan kesehatan
dasar maupun pelayanan kesehatan rujukan

23
11. Yang bukan dari macam - macam instrument analisis gender adalah….
a. Problem Based Approach
b. Moser Gender Analysis
c. Gender Analysis Pathway
d. Unresolved Issues

12. Ditujukan untuk mengetahui apakah laki-laki dan perempuan diuntungkan dalam
upaya kesehatan (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif) baik dari sisi
beneficieries (penerima manfaat) maupun provider (penyedia layanan kesehatan).
Manfaat pelayanan kesehatan dari perspektif gender dapat dilihat dari sisi Practical
Gender Needs (kebutuhan praktis gender) maupun Strategic Gender Need
(kebutuhan stretegis gender). Merupakan konteks kebijakan kesehatan merupakan
faktor yang mana....
a. Akses
b. Partisipasi
c. Kontrol
d. Manfaat

13. Berikut adalah pengertian dari Anggaran Berspektif Gender (Gender Budget).....
a. Penggunaan atau pemanfaatan anggaran yang berasal dari berbagai
sumber pendanaan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender
b. Data mengenai hubungan relasi dalam status, peran dan kondisi antara laki-
laki dan perempuan.
c. Anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental,
spiritual, maupun social.
d. Aparatur SKPD uang mempunyai kemampuan untuk melaksanakan
pengarusutamaan gender di Unit kerjanya masing-masing

14. Teknik Analisis Gender Dengan Metode Gender Analysis Pathway (GAP)
Metode Analisis Gender Analysis Pathway (GAP) menggunakan berapa langkah ?
a. 7 langkah
b. 8 langkah
c. 9 langkah
d. 10 langkah

15. Program Making Pregnancy Safer (MPS) menuntut partisipasi perempuan,


keluarga, masyarakat termasuk suami (laki-laki) guna memastikan ?

a. Keuntungan MPS
b. Kebijakan MPS
c. Pemanfaatan MPS
d. Keberhasilan MPS

24

Anda mungkin juga menyukai