Anda di halaman 1dari 42

REFERAT

SEPSIS

PEMBIMBING
dr. Afifah ,Sp.PD

PENULIS
Bangkit Yudha Prawira
030.14.025

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE 27 AGUSTUS – 2 NOVEMBER 2018
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN

Referat

Judul:
SEPSIS

Nama Koas :
Bangkit Yudha Prawira
030.14.25

Telah disetujui untuk dipresentasikan


Pada Hari, Senin Tanggal 15 Oktober 2018

Pembimbing

dr. Afifah, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat ALLAH SWT, yang telah


melimpahkan rahmat dan karunianya, sehingga pada akhirnya penulis dapat
mennyelesaika presentasi kasus mata dengan mengambil tema ”SEPSIS”.
Tugas imi merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Mata di
RSUD Budhi Asih. Penyelesaian tugas ini tak lepas dari bantuan dan bimbingan dari
berbagai pihak. Maka dengan segala kerendahan hati penulis haturkan ucapan terima
kasih kepada pembimbing dr. Afifah, Sp.PD.
Penulis sangat menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki, oleh karena itu penulis berharap kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan tugas ini dan sebagai bekal penulis untuk menyusun tugas-tugas
lainnya di kemudian hari. Semoga referat ini banyak memberi manfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.

Jakarta, 15 Oktober 2018

Bangkit Yudha Prawira


030.14.025

iii
DAFTAR ISI
HALAMAN
HALAMAN JUDUL.........................................................................................................i
LEMBAR PERSETUJUAN..............................................................................................ii
KATA PENGANTAR.......................................................................................................iii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................................3


2.1 Definisi Sepsis............................................................................................................3
2.2 Epidemiologi..............................................................................................................3
2.3 Etiologi........................................................................................................................4
2.4 Patofisiologi................................................................................................................5
2.5 Manifestasi klinis........................................................................................................17
2.6 Diagnosis.....................................................................................................................20
2.7 Tatalaksana..................................................................................................................23
2.8 Komplikasi..................................................................................................................31
2.9 Prognosis.....................................................................................................................35

BAB III KESIMPULAN.................................................................................................36

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................37

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi adalah istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang


masuk ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan
kerusakan jaringan disebut penyakit infeksi. Pada penyakit infeksi terjadi jejas
sehingga timbullah reaksi inflamasi. Meskipun proses dasar inflamasi sama, namun
intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi tubuh. Infeksi dapat
disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat disebabkan
oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya disebabkan
produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari
infeksi lokal.1
Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau
toksin dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi.
(infeksi dan inflamasi). Sepsis dibagi dalam derajat Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS), sepsis, sepsis berat, sepsis dengan hipotensi, dan syok septik.2 Dari
jenis-jenis bakteri, penyebab tersering terjadinya sepsis ialah bakteri Gram negatif
sebanyak 20-35%. Namun dari beberapa dekade terakhir dilaporkan peningkatan
bakteri Gram positif pada kultur darah penderita sepsis. 3
Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan
rangsangan endo atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi aktivasi
makrofag, sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil,
sehingga terjadi disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan
trombosit yang menyebabkan gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan
disfungsi/kegagalan organ multipel.3
Sepsis adalah penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan
intensif. Sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya.
Insidennya diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan
peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Syok akibat sepsis merupakan penyebab
kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika Serikat. Penelitian
epidemiologi sepsis di AS menyatakan insiden sepsis sebesar 3/1.000 populasi yang
meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak,
sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun). Angka perawatan sepsis

1
berkisar antara 2 sampai 11% dari total kunjungan ICU. Angka kejadian sepsis di
Inggris berkisar 16% dari total kunjungan ICU.4
Pada penelitian yang dilakukan di Canada tahun 1996 sampai dengan 2007
didapatkan sumber infeksi sepsis dan syok sepsis sebagai berikut: infeksi pernapasan
41,2%, infeksi intra-abdominal 23,1%, infeksi saluran kemih 12,9%, infeksi ja-ringan
lunak 9,5%, infeksi pembuluh darah primer 5,2%, infeksi akibat penggunaan kateter
4,2%, infeksi akibat pembedahan 1,6%, infeksi sistem saraf pusat 1,4%, dan lainnya
1%.5 Pada penelitian yang dilakukan di ICU RSCM Jakarta periode Oktober 2011-
November 2012 didapatkan sumber infeksi sepsis dan syok septik dari saluran napas
67,2%, intraabdomen/saluran cerna 32,7%, kulit/ jaringan lunak 15,4%, saluran kemih
8,6%, intrakranial 4,1%, dan bakterimia 8,2%.6
Kejadian sepsis terus meningkat selama tiga dekade terakhir, dan hampir
15% dari pasien yang dirawat di ruang intensif didiagnosis dengan severe sepsis; dua
pertiga dari pasien-pasien tersebut mengalami syok septik. Sepsis menjadi
penyebab kematian tertinggi dibandingkan dengan penyakit-penyakit umum
lainnya di negara-negara Barat seperti miokard infark, stroke dan trauma.7
Oleh karena itu sangat penting untuk dibahas mengenai sepsis itu sendiri
dimulai dari definisi hingga tatalaksana, bahkan komplikasi serta prognosis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Arti kata sepsis dalam bahasa Yunani adalah pembusukan. Menurut Kamus
Kedokteran Dorland, sepsis adalah adanya mikroorganisme pathogen atau toksinnya
di dalam darah atau jaringan lain.8 Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi
oleh karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap mikroorganisma baik dari
dalam dan luar tubuh. Dipandan dari imunologi sepsis adaah reaksi hipersensitivitas.9
SIRS ( Systemic Inflammatory Response Syndrome ) adalah suatu bentuk respon
inflamasi terhadap infeksi yang ditandai oleh dua atau lebih kriteria berikut ini:
• Suhu > 38 C atau <36 C
• Denyut jantung > 90x/menit
• Respirasi >20x/menit atau PaCO2 <32 mmHg
• Hitung leukosit >12,000/mm3 atau >10% sel imatur.
Sepsis adalah SIRS ditambah dengan adanya tempat infeksi yang ditentukan dengan
biakan positif terhadap organisme di tempat tersebut.9
Sepsis yang berat disertai dengan satu atau lebih tanda disfungsi organ,
hipotensi, atau hipoperfusi seperti menurunnya fungsi ginjal, hipoksemia, dan
perubahan status mental. Syok septik merupakan sepsis dengan tekanan darah arteri
<90 mmHg atau 40 mmHg di bawah tekanan darah normal pasien tersebut selama
sekurang-kurangnya 1 jam meskipun telah dilakukan resusitasi cairan atau dibutuhkan
vasopressor untuk mempertahankan agar tekanan darah sistolik tetap ≥90 mmHg atau
tekanan arterial rata-rata ≥70 mmHg.10

2.2 Epidemiologi

Sepsis menempati urutan ke-10 sebagai penyebab utama kematian di Amerika


Serikat dan penyebab utama kematian pada pasien sakit kritis. Sekitar 80% kasus
sepsis berat di unit perawatan intensif di Amerika Serikat dan Eropa selama tahun
1990-an terjadi setelah pasien masuk untuk penyebab yang tidak terkait. Kejadian
sepsis meningkat hampir empat kali lipat dari tahun 1979-2000, menjadi sekitar
660.000 kasus (240 kasus per 100.000 penduduk) sepsis atau syok septik per tahun di
Amerika Serikat.10

3
Menurut penelitian Greg S, et al selama 22 tahun, total terdapat 10,319,418
kasus sepsis ( terhitung sebanyak 1.3 % dari semua kasus rumah sakit ).Angka pasien
sepsis meningkat per tahun dari 164,072 pada tahun 1979 menjadi 659,935 pada tahun
2000 ( peningkatan 13,7 % per tahun ) . Rata – rata umur wanita terkena sepsis pada
62.1 tahun, sedangkan pada pria rata – rata terjadi pada umur 56,9 tahun. Sebanyak 15
% pasien meninggal tanpa mengalami kegagalan organ, dan 70 % pasien dengan
gagal 3 organ atau lebih meninggal.Organ yang mengalami kegagalan paling sering
pada pasien sepsis adalah paru – paru ( 18 % pasien ) dan ginjal ( 15 % pasien ) ,
sedangkan kegagalan hematologi sebanyak 6 % pasien , kegagalan metabolisme 4 %
pasien, dan kegagalan neurologi 2 % pasien.11

2.3 Etiologi

Sepsis sampai syok septik secara klasik telah diakui penyebabnya adalah
bakteri gram negatif, tetapi mungkin jugadisebabkan oleh mikroorganisme lain, gram
positif, jamur, dam virus. Bakteri gram negatif yang paling sering ditemukan pada
sepsis diantaranya : Eschericia coli pada pielonefritis dan infeksi perut , Klebsiela
pneumonia yang sering menyebabkan infeksi saluran kencing dan infeksi saluran
pernafasan akut, Enterobacter, Nisseria meningitidis yang dapat menyebabkan sepsis
fulminan pada individu normal atau pasien infeksi kronik berulang . Haemophillus
influenza yang merupakan kuman yang paling ditakuti pada anak umur 3 bulan
sampai 6 tahun, Psedomonas aureginosa yang hampir selalu didapat karena infeksi
nosokomial pada penderita penyakit berat, neutropenia, dan luka bakar.12
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi
yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan
panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis yaitu:
1) Infeksi paru-paru (pneumonia)
2) Flu (influenza)
3) Appendiksitis
4) Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5) Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah
dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7) Infeksi pasca operasi

4
8) Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.13
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok
septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70%
isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram positif atau gram negatif saja;
sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain
seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan
etiologi spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin
tidak dapat diakses oleh kultur.14
Sistem pendekatan sepsis dikembangkan melalui suatu sistem tingkatan
Predisposition, Infection, Response,and Organ dysfunction untuk menentukan
pengobatan secara maksimal berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi
gejala dan resiko individual.

Gambar 1. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis (PIRO)

2.4 Patofisiologi
Baik bakteri gram positif maupun gram negatif dapat menimbulkan sepsis. Pada
bakteri gram negatif yang berperan adalah lipopolisakarida (LPS). Suatu protein di
dalam plasma, dikenal dengan LBP (Lipopolysacharide binding protein) yang
disintesis oleh hepatosit, diketahui berperan penting dalam metabolisme LPS. LPS
masuk ke dalam sirkulasi, sebagian akan diikat oleh faktor inhibitor dalam serum
seperti lipoprotein, kilomikron sehingga LPS akan dimetabolisme. Sebagian LPS akan
berikatan dengan LBP sehingga mempercepat ikatan dengan CD14. Kompleks CD14-
LPS menyebabkan transduksi sinyal intraseluler melalui nuklear factor kappaB

5
(NFkB), tyrosin kinase(TK), protein kinase C (PKC), suatu  faktor transkripsi yang
menyebabkan diproduksinya RNA sitokin oleh sel. Kompleks LPS-CD14 terlarut juga
akan menyebabkan aktivasi intrasel melalui toll like receptor-2 (TLR2).1,11,14,15

Gambar 2. Struktur Bakteri Gram Positif dan Negatif


Pada bakteri gram positif, komponen dinding sel bakteri berupa Lipoteichoic acid
(LTA) dan peptidoglikan (PG) merupakan induktor sitokin. Bakteri gram positif
menyebabkan sepsis melalui 2 mekanisme: eksotoksin sebagai superantigen dan
komponen dinding sel yang menstimulasi imun. Superantigen berikatan dengan
molekul MHC kelas II dari antigen presenting cells dan Vβ-chains dari reseptor sel T,
kemudian akan mengaktivasi sel T dalam jumlah besar untuk memproduksi sitokin
proinflamasi yang berlebih. 1,11,14,15

6
Gambar 3. Masuknya kompenen bakteri ke dalam tubuh
2.4.1 Tidak terkontrolnya inflamasi
Teori yang dipopulerkan oleh Lewis Thomas ini menyatakan bahwa sepsis
terjadi akibat respon inflamasi yang tidak terkontrol. Sayangnya teori ini
didasarkan atas penelitian pada binatang percobaan yang belum tentu
mencerminkan gambaran klinis pada manusia. Penelitian menggunakan endotoksin
dosis tinggi, konsekuensinya kadar sitokin dalam sirkulasi lebih tinggi
dibandingkan yang ada pada penderita sepsis. Kegagalan anti-infla-masi seperti
kortikosteroid, antibodi antiendotoksin, antagonis tumor necrosis factor (TNF)-α
dan antagonis reseptor interleukin (IL)-1β menimbulkan pertanyaan apakah benar
kema-tian penderita sepsis akibat inflamasi yang tidak terkontrol. 1,11,14,15

2.4.2 Kegagalan sistem imun: Pergeseran ke sitokin anti-inflamasi


Penderita sepsis memiliki gambaran yang konsisten dengan penderita
imunosupresi be-rupa hilangnya hipersensitivitas, ketidakmam-puan mengatasi
infeksi dan predisposisi men-derita infeksi nosokomial. Mula-mula terjadi
peningkatan jumlah mediator inflamasi, namun ketika sepsis terus berlanjut terjadi
per-geseran menuju keadaan anti-inflamasi imu-nosupresif. 1,11,14,15
Sel T CD4 teraktivasi mensekresi sitokin yang memiliki salah satu dari dua
profil yang berbeda, yakni: (1) sitokin proinflamasi (sel T-helper tipe 1 [Th1]),
meliputi TNF-α, inter-feron (IFN)-γ dan IL-2; dan (2) sitokin anti-inflamasi (sel T-
helper tipe 2 [Th2]), misalnya IL-4 dan IL-10. Faktor yang menentukan apa-kah

7
sel T CD4 memiliki respon Th1 atau Th2 tidak jelas, kemungkinan dipengaruhi
oleh jenis patogen, ukuran bakteri dan tempat infeksi. 1,11,14,15

2.4.3. Kematian Sel Imun


Otopsi pada penderita sepsis yang meninggal menemukan banyak sel imun
yang hilang secara progresif karena apoptosis. Walaupun sel T CD8, sel na-tural
killer (NK) dan makrofag tidak hi-lang, sepsis mengurangi level sel B, sel T dan
sel dendritik secara bermakna. Besar-nya kehilangan limfosit akibat apoptosis yang
terjadi selama sepsis terlihat pada pemeriksaan hitung limfosit penderita. Suatu
penelitian pada penderita sepsis menemukan 15 dari 19 penderita memiliki jumlah
limfosit kurang dari normal (rata-rata 500±270 mm3). 1,11,14,15

2.4.3 Anergi
Anergi adalah keadaan ketidaktanggapan terhadap antigen. Sel T dikatakan
anergik ke-tika ia gagal berproliferasi atau gagal mense-kresi sitokin sebagai
respon terhadap antigen spesifik. Kematian sel secara apoptosis memi cu terjadinya
anergi. Sejumlah besar lim-fosit mati karena apoptosis selama sepsis, kemungkinan
akibat pelepasan glukokor-tikoid endogen yang diinduksi oleh stres. Tipe kematian
sel menentukan fungsi imunologis dari sel-sel imun yang mampu bertahan. Sel
yang mengalami apoptosis juga menginduksi anergi atau sitokin anti-inflamasi
yang dapat mengganggu respon terhadap patogen. Sebaliknya sel yang mengalami
nekrosis juga menstimulasi sistem imun dan meningkatkan pertahanan melawan
bakteri. 1,11,14,15

KONTRIBUSI INFLAMASI PADA PATOFISIOLOGI SEPSIS DAN SYOK


SEPTIK
2.4.4 Respon Imun Bawaan
Sistem imun bawaan pada manusia meru-pakan pertahanan garis pertama
melawan in-vasi patogen. Respon imun bawaan dicetus-kan oleh aktivasi sel yang
dipersiapkan untuk berespon terhadap patogen atau komponen-nya, sel-sel tersebut
antara lain makrofag, monosit, sel NK, sel dendritik dan sel endotel. Sel yang
teraktivasi akan mensekresikan mediator proinflamasi seperti sitokin (TNF-α, IL-1,
IL-6), kemokin (IL-8), prostaglandin dan histamin. Mediator-mediator ini bekerja
pada sel endotel pembuluh darah dan menye-babkan vasodilatasi, peningkatan
permeabili-tas pembuluh darah dan perekrutan neutrofil ke jaringan. Kaskade

8
koagulasi diaktifkan secara lokal melalui up-regulasi faktor jaring-an endotel dan
penurunan trombomodulin ser-ta produk antitrombosisnya. 1,11,14,15
Pada sepsis, respon lokal ini meluas. Vasodilatasi sistemik menyebabkan
hipotensi, shunting dan berkurangnya penghantaran ok-sigen jaringan. Aktivasi
endotel dan apoptosis mengakibatkan hilangnya integritas pembuluh darah,
eksudat proteinasea dan edema. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
mengakibatkan mikrotrombosis pembuluh da rah kecil, deplesi faktor pembekuan
dan koagulopati. Spesies oksigen reaktif diha-silkan oleh neutrofil teraktivasi, efek
ni-tric oxide pada jaringan dan perubahan metabolisme sel akibat induksi sitokin.
Efek kumulatif dari perubahan-perubahan ini meningkatkan keparahan sepsis, dis-
fungsi organ multipel bahkan kematian. 1,11,14,15

2.4.5 Inflamasi Normal


Inflamasi dimaksudkan sebagai respons lokal terhadap infeksi. Pada tempat
yang terinfeksi, endotel melepaskan molekul untuk menarik leukosit. Secara bersa-
maan leukosit polimorfonuklear (PMN) teraktivasi serta melepaskan molekul yang
menyebabkan PMN berkumpul dan membatasi endotel pembuluh darah. Pelepasan
mediator oleh PMN pada tempat yang terinfeksilah yang bertanggung jawab atas
tanda kardinal inflamasi lokal berupa vasodilatasi dan hiperemi setempat serta
peningkatan permeabilitas mikrovaskuler yang mengakibatkan edema. 1,11,14,15
Proses inflamasi lokal yang primitif namun efektif (perlekatan, kemotaksis,
fagositosis, penghancuran bakteri) sangat teratur dalam berbagai level, terutama
me-lalui produksi sitokin oleh makrofag. Sekali makrofag teraktivasi, makrofag
akan mensekresikan sitokin, misalnya TNF-α, dan mediator lain ke dalam
lingkungan mikro sel. Pelepasan TNF-α merupakan suatu proses autokrin (self-
stimulating), peningkatan level sitokin selanjutnya akibat pelepasan berbagai
mediator inflamasi lainnya, misalnya IL-1, platelet activating factor (PAF) dan
IFN-γ, yang akan memicu kesinambungan aktivasi PMN, makrofag dan limfosit
selanjutnya. Selain itu mediator proinflamasi juga merekrut lebih banyak lagi PMN
dan makrofag (proses parakrin). Efeknya adalah pembersihan bakteri dan debris
yang diikuti oleh perbaikan jaringan. 1,11,14,15

9
2.4.6 Inflamasi Pada Sepsis

Gambar 4. Respon inflamasi sepsis


Inflamasi normal melibatkan regulasi perputaran PMN, perlekatan, diapedesis,
ke-motaksis, fagositosis dan penghancuran bakteri penginvasi. Proses ini sangat
terkontrol dengan regulasi melalui mediator proinflamasi dan anti-inflamasi (Tabel
1) yang dile-paskan oleh makrofag teraktivasi. Saat jaring-an terinfeksi, terjadi
pelepasan mediator pro-inflamasi dan anti-inflamasi secara bersamaan.

Tabel 1. Mediator proinflamasi dan anti-inflamasi


ProInflamantory Molecules AntiInflamantory Molecules
TNF-α Thromboxane IL-1 ra
IL-1β Platelet activating factor IL-4
IL-2 Soluble adhesion molecules IL-10
IL-6 Vasoactive neuropeptides
IL-13
IL-8 Phospholipase A2
Type II IL-1 receptor
IL-15 Tyrosine kinase
Transforming growth factor-
Neutrophil elastase Plasminogen activator
β

10
IFN-γ inhibitor-1 Epinephrine
Protein kinase Free radical generation Soluble TNF-α receptors
MCP-1* Neopterin Leukotriene β4-receptor
MCP-2 CD14
antagonism
Leukemia inhibitory Prostacyclin
Soluble recombinant CD-14
factor Prostaglandins
LPS binding protein

Keseimbangan kedua macam mediator ini membantu perbaikan jaringan dan


kesem-buhan. Namun perlukaan pada jaringan se-tempat dapat terjadi jika
keseimbangan ini hilang dan mediator menggunakan efek sis-temiknya.
Konsekuensi reaksi proinflamasi sistemik meliputi kerusakan endotel, disfungsi
mikrovaskuler, gangguan oksigenasi jaringan dan trauma pada organ. Konsekuensi
respon anti-inflamasi yang berlebihan meliputi anergi dan imunosupresi. Selain itu
proses proinflamasi dan anti-inflamasi juga saling mempengaruhi satu sama lain,
menimbulkan perselisihan imunologis yang bersifat destruktif. Mortalitas sepsis
tinggi saat level mediator proinflamasi dan antiinflamasi tinggi. 1,11,14,15

Gambar 5. Respon Jaringan Hipoperfusi

2.4.7 Aktivasi Sitokin

11
Respon sistemik terhadap infeksi diperantarai oleh sitokin yang memiliki
target pada reseptor endorgan dalam responnya terhadap trauma atau infeksi.
Setelah disadari perlunya suatu respon, tubuh akan menghasilkan molekul
proinflamasi yang larut dalam protein dan lipid yang kemudian akan mengaktifkan
pertahanan sel, selanjut-nya dihasilkan molekul anti-inflamasi untuk melemahkan
dan menghentikan respon proinflamasi. Normalnya respon sitokin diatur oleh
mediator proinflamasi dan anti-inflamasi. Respon inflamasi awal terus dicek oleh
down-regulasi produksi dan perlawanan terhadap efek sitokin yang sudah
dihasilkan. Mediator-mediator ini memulai suatu proses yang saling tumpang
tindih yang secara langsung mempengaruhi endotel, kardiovaskuler, hemodinamik
dan me-kanisme koagulasi. Pelepasan berbagai vasoregulator ini umumnya bersifat
lokal.
Efek langsung mikroorganisme penginvasi atau produk toksiknya
berkontribusi terhadap patogenesis sepsis. Faktor yang berpotensi menyerang
adalah endotoksin, komponen dinding sel bakteri (peptido-glikan, muramyl
dipeptide dan asam lipo-teikoat) serta produk bakteri (enterotoksin B stafilokokal,
toksin-1 sindrom syok toksik, eksotoksin A pseudomonas dan protein M
streptokokus hemolitikus grup A). Endotok-sin merupakan mediator eksogen yang
pen-ting dalam sepsis akibat infeksi bakteri gram negatif. Endotoksin, yakni
lipopoli-sakarida (LPS) yang ditemukan pada din-ding sel bakteri gram negatif,
cenderung menghasilkan gambaran sepsis jika disuntikkan pada manusia.

12
Gambar 6. Pengikatan LPS dengan LBP
Pada sepsis gram negatif, monosit mempunyai peran sentral sebagai mediator
LPS. LPS memacu monosit untuk menge-luarkan TNF-α, IL-1 dan IL-6. Aktivasi
monosit oleh LPS terjadi secara bertahap. Mula-mula LPS terikat dengan protein
plas-ma membentuk LPS-binding protein (LBP). Kompleks ini akan berikatan
dengan resep-tor CD-14 pada monosit atau makrofag, CD-14 sendiri sebelumnya
sudah berikatan dengan toll-like receptor (TLR). Saat ini telah diketahui bahwa
TLR-2 berperan da-lam pengenalan bakteri gram positif sedang-kan TLR-4 untuk
bakteri gram negatif. TNF-α dan IL-1 memacu endotel atau mo-nosit untuk
melepaskan tissue factor (TF) dan memacu sistem koagulasi membentuk thrombus.
1,11,14,15

2.4.7 Aktivasi Jalur Non Sitokin


LPS mengaktivasi kaskade koagulasi dan komplemen. Pada kaskade
koagulasi, makrofag mengaktifkan bradikinin melalui faktor XII yang
menyebabkan vasodilatasi dan kebocoran plasma. Makrofag dapat ter-aktivasi
untuk melepaskan TF yang meng-akibatkan deposit fibrin pada sel endotel.
Sedangkan pada kaskade komplemen, anafilatoksin C5a memicu terjadinya
vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Sistem komplemen
sendiri merupa-kan suatu kaskade protein yang membantu pembersihan organisme
patogen. Penelitian pada binatang percobaan menemukan bah-wa penghambatan
kaskade komplemen menurunkan inflamasi dan meningkatkan mor-talitas binatang
percobaan.
Mediator lipid juga berperan dalam pa-togenesis sepsis dan syok septik.
Pelepasan asam arakidonat (eikosanoid) menyebabkan kerusakan pembuluh darah,
agregasi PMN dan oksigen radikal toksik. Tromboksan menyebabkan
vasokonstriksi dan agregasi trombosit. Prostasiklin menyebabkan vasodilatasi dan
edema perivaskuler. Leukotrien menyebabkan vasodilatasi dan kebocoran
pembuluh darah. Nitric oxide yang dilepas oleh sel endotel, hepatosit dan
makrofag menyebabkan hipotensi dan syok septik karena vasoplegi. 1,11,14,15
2.4.8 Aktivasi Sistem Koagulasi
Aktivitas pembekuan darah intrinsik di aktivasi oleh interaksi antara
endotoksin dan faktor koagulasi XII (faktor Hageman). Ketika faktor XII
teraktivasi, hal ini meru-pakan awal terjadinya pembekuan akibat konversi
fibrinogen menjadi fibrin. Endo-toksin baik secara langsung maupun melalui

13
sitokin menginduksi pelepasan faktor ja-ringan oleh monosit dan sel endotel,
serta mengaktivasi faktor VII dan sistem pembe-kuan darah intrinsik. Pembekuan
darah juga terjadi akibat menurunnya kadar anti-trombin III dan tissue
plasminogen activa-tor serta meningkatnya kadar plasminogen activator
inhibitor-1. 1,11,14,15

Gambar 7. Reaksi Koagulasi pada sepsis


Selain itu faktor Hageman juga merangsang perubahan prekalikrein menjadi
kalikrein yang mempengaruhi perubahan kininogen menjadi bradikinin. Bradikinin
menyebabkan hipotensi melalui vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh
darah dan penurunan tahanan vaskuler. Deposit fibrin intravaskuler menimbulkan
DIC, suatu gejala penting pada sepsis selain hipotensi dan syok. Kerusakan dinding
pembuluh darah juga disebabkan oleh enzim elostase yang diproduksi neutrofil dan
bahan toksik metabolisme oksigen. 1,11,14,15
2.4.9 Aktivasi Sistem Komplemen

14
Gambar 8. Aktivasi Sistem Komplemen
Sistem komplemen bersama dengan leukosit fagositosis dan antibodi
merupakan bagian sistem imun seluler dan humoral yang melindungi host dari
infeksi bakteri dan jamur. Sistem komplemen penting dalam mempertahankan
homeostasis, aktivasi berlebihan memprovokasi terjadinya inflamasi dan kerusakan
jaringan. Sistem komplemen diaktivasi melalui dua jalur, jalurklasik dan alternatif.
Aktivasi jalur klasik dimulai dengan C1, sedangkan jalur alternatif dengan C3.
Jalur klasik membutuhkan pengenalan dan pengikatan antigen bakteri oleh antibodi
spesifik, sedangkan jalur alternatif dapat diaktivasi oleh berbagai substansi antara
lain kompleks polisakarida, endotoksin dan beberapa kompleks imun. Jalur
alternatif dapat dipertimbangkan sebagai mekanisme pertahanan pertama melawan
invasi mikro-organisme sebab hal ini berfungsi sebelum adanya antibodi. Dua
komponen dari kom-plemen, yaitu C3a dan C5a, merupakan peptida kation dengan
aktifitas anafilatoksin yang mampu memprovokasi pelepasan his-tamin dari sel
mast dan sel basofil, menye-babkan kontraksi otot polos dan peningkat-an
permiabilitas kapiler sehingga dapat me-nyebabkan hipotensi. 1,11,14,15

2.4.10 Aktifasi Leukosit PMN


Leukosit PMN banyak ditemukan pada penderita sepsis bakterialis. Pelepasan
leu-kosit PMN dari sumsum tulang diinduksi oleh endotoksin, sitokin, komplemen
serta granulocyte colony stimulating factor. Pro-duksi sitokin proinflamasi

15
mengkibatkan terjadinya perlekatan leukosit dengan sel endotel. Selain itu terjadi
stimulasi proses kemotaksis dan fagositosis oleh PMN. Dalam stimulasi leukosit
PMN tersebut dilibat-kan pula TNF-α, IL-1, IL-8, PAF, endothelium derived
releasing factor (EDRF), metabolit asam arakidonat (prostaglandin dan leukotrien)
serta komplemen C5a. Akibat perlekatan leukosit pada endotel, leukosit PMN
memulai proses fagositosis dan menghancurkan mikroorganisme patogen melalui
degranulasi serta pelepasan beberapa enzim proteolitik dan radikal oksigen yang
toksik, proses ini dapat juga menyebabkan kerusa-kan jaringan sekitar serta
kebocoran kapiler. 1,11,14,15
Selama fase akut infeksi, IL-1 merang-sang pelepasan sitokin serta
merangsang sumsum tulang sehingga terjadi neutrofilia, eosinopenia dan
limfopenia. Neutrofil seg-men dilepas lebih dahulu dari pada sel ba-tang, tetapi
bila pelepasan meningkat maka sel batang yang dilepas juga meningkat lebih dari
normal diikuti sel-sel muda yang lain seperti metamielosit, mielosit, promie-losit
dan mieloblast. Peningkatan jumlah sel muda ini juga terjadi akibat penghentian
sementara pematangan sel neutrofil oleh mediator TNF-α sehingga sel muda
neutro-fil menjadi banyak bahkan dapat terjadi peningkatan absolut sel muda
neutrofil. 1,11,14,15
2.4.11 Keseimbangan proinflamasi dan anti-inflamasi
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator
inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan
antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1, interferon γ
yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor
antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini
bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi
proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon
proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi
kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat
gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan
konskuensi dari kelebihan respon antiinflamasi adalah alergi dan
immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga
menciptakan kondisi ketidakharmonisan imunologi yang merusak. 1,11,14,15

16
Gambar 9. Homeostasis pada Sepsis

2.5 Manefestasi Klinis


Gejala klinis sepsis biasanya tidak spesifik dan ditandai oleh gejala demam,
menggigil, lelah, malaise, gelisah dan kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus
untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflmasi non infeksius.
Tempat infeksi yang paling sering adlaah paru , traktus digestifus, traktus urinaris,
kulit, jaringan lunak dan saraf pusat. Sumber infeksi merupakan determinan penting
untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala-gejalann sepsis. Gejala sepsis tersebut akan
menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ
utama. 9
Tanda – tanda MODS dengan terjadinya komplikasi :
- Sindroma distress pernapasan pada dewasa
- Koagulasi intravascular
- Gagal ginjal akut
- Perdarahan usus
- Gagal hati
- Disfungsi system saraf pusat
- Gagal jantung.9
Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak
toksik, takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai
terjadinya sepsis (tersangka sepsis).11
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam,
takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi

17
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka
kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung) atau
vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan anggota
gerak yang biru atau putih dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan
gambaran pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.12

18
Adapun derajat sepsis yang perlu diketahui yaitu seperti pada gambar dibawah ini.

Gambar 10. Derajat Sepsis

19
2.6 Diagnosis
Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk
menilai pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea,
takikardia dengan keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur,
dan perubahan keadaan mental. Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada seperti
pada wanita – wanita dengan resiko tinggi seperti pyelonefritis, korioamnionitis,
endometritis, abortus septik, atau telah menjalani prosudur operasi emergensi.
Diagnosa dan penanganan awal ini sangat menentukan keberhasilan hidup pasien.9
Adapun beberapa kriteria diagnosis dalam menegakan sepsis.

Gambar 11. Kriteria Diagnosis Sepsis NEJM 2013

20
Tabel 2. Kriteria Sepsis Berat SSC 2013
Sepsis berat
Sepsis yang menyebabkan hipotensi
Peningkatan laktat diatas nilai normal
Urine output < 0,5 mg/KgBB/jam setelah 2 jam pemberian cairan yang adekuat
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien yang tidak pneumonia sebagai sumber
infeksinya
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien pneumonia sebagai sumber infeksinya
Kreatinin >2,0 mg/dl
Bilirubin >2 mg/dl
Platelet <100,000 uL
Koagulopati (INR >1,5)
Data laboratorium meliputi Complete Blood Count, hitung diferensial,
urinalisis, faktor koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, fungsi
hati, asam laktat, analisa gas darah. Lalu dapat dilakukan biakan kultur dari darah,
urin, sputum dan tempat lain yang terinfeksi. Lakukan Gram stain pada daerah steril
seperti darah, CSF, dan ruang pleura. Spesimen darah, urin, dan cairan serebrospinal
sebagaimana eksudat lain, abses dan lesi kulit yang terlihat harus dikultur dan
dilakukan pemeriksaan apus untuk menentukan organisme.
Tabel 3. Temuan Klinis Uji Laboratorium pada Keadaan Sepsis
Uji Laboratorium Temuan Keterangan
Hitung leukosit Leukositosis atau Endotoksemia dapat
leukopenia menyebabkan leukopenia dini
Hitung trombosit Trombositosis atau Nilai tinggi dapat timbul pada
trombositopenia respons fase akut. Nilai rendah
ditemukan pada KID
Kaskade koagulasi Defisiensi protein C, Nilai abnormal dapat ditemukan
defisiensi antitrombin, sebelum onset kegagalan fungsi
peningkatan D-dimer, PT & organ tanpa disertai perdarahan.
APTT memanjang
Kadar kreatinin Meningkat Peningkatan sebesar dua kali lipat
nilai normal menandakan gagal
ginjal akut
Kadar asam laktat Meningkat >4 mmol/L Menandakan hipoksia jaringan
(36mg/dL)
Kadar enzim hepar Peningkatan alkalin Menandakan kerusakan
fosfatase, SGOT, SGPT, hepatoselular akibat hipoperfusi
bilirubin
Kadar fosfat serum Hipofosfatemia Berbanding terbalik dengan kadar
sitokin proinflamasi
Kadar protein reaktif Meningkat Menandakan respons fase akut
C(CRP)
Kadar prokalsitonin Meningkat Membedakan antara SIRS
infeksius dan SIRS noninfeksius
Keparahan disfungsi organ telah dinilai dengan berbagai sistem penilaian yang
mengukur kelainan menurut temuan klinis, data laboratorium, atau intervensi
terapeutik. Perbedaan sistem penilaian juga menyebabkan inkonsistensi dalam

21
pelaporan. Skor yang umum digunakan saat ini adalah Sequential Organ Failure
Assessment (SOFA) (awalnya disebut Sepsis-related Organ Failure Assessment )
(Tabel 1).1,4 Skor SOFA yang lebih tinggi dikaitkan dengan peningkatan probabilitas
mortalitas. Namun, variabel laboratorium, yaitu, PaO2, jumlah trombosit, kadar
kreatinin, dan tingkat bilirubin, diperlukan untuk perhitungan penuh. 18
Tabel 4. Skor Sequential (sepsis-related) Organ Failure Assesment18

Oleh karena SOFA lebih dikenal dan lebih sederhana, kelompok kerja SSC 2016
merekomendasikan menggunakan nilai total skor SOFA ≥2 mewakili disfungsi organ.
Skor baseline SOFA harus diasumsikan nol kecuali pasien diketahui memiliki
disfungsi organ sebelum timbulnya infeksi (akut atau kronis). Pasien dengan skor
SOFA ≥2 memiliki risiko kematian sekitar 10% pada populasi yang disangkakan
infeksi di rumah sakit.6 Tingkat kematian ini lebih besar dari tingkat kematian 8,1%
untuk infark miokard ST-segmen elevasi, yang secara luas dianggap sebagai kondisi
mengancam kehidupan masyarakat. Jika Skor SOFA ≥2 maka terdapat peningkatan 2-
25 kali lipat risiko keparahan dibandingkan pasien dengan skor SOFA kurang dari
2.18
Suatu model klinis yang dikembangkan dengan regresi logistik multivariabel
mengidentifikasi bahwa 2 dari 3 variabel klinis seperti Glasgow Coma Scale (GCS)
≤13, tekanan darah sistolik ≤100 mmHg, dan tingkat pernapasan ≥22 kali/menit
memiliki validitas prediktif hampir sama dengan skor penuh SOFA pada keadaan di
luar ICU. Ukuran baru ini disebut sebagai qSOFA (for quick SOFA) yang terdiri dari
variabel gangguan kesadaran, tekanan darah sistolik ≤100 mm Hg, dan tingkat

22
pernapasan ≥ 22/menit, memberikan kriteria bedsite yang sederhana untuk
mengidentifikasi pasien dewasa dengan dugaan infeksi yang kemungkinan memiliki
hasil yang buruk .
Meskipun qSOFA kurang kuat dibanding skor SOFA ≥2 di ICU, namun skor ini
tidak memerlukan tes laboratorium dan dapat dinilai dengan cepat dan berulang-
ulang. Satuan tugas menunjukkan bahwa kriteria qSOFA dapat digunakan oleh dokter
untuk menilai disfungsi organ dengan cepat, memulai atau meningkatkan terapi yang
sesuai, dan untuk mempertimbangkan rujukan ke perawatan kritis atau meningkatkan
frekuensi pemantauan, jika belum dapat dirujuk. Kriteria qSOFA positif harus juga
menjadi pertimbangan adanya kemungkinan infeksi pada pasien yang belum dianggap
sebagai infeksi.18
Tabel 5. Skor quick Sequential Organ Failure Assesment (qSOFA)18
Tingkat respirasi ≥ 22x/menit
Gangguan kesadaran GCS <15
Tekanan darah sistolik ≤100 mmHg
2.7 Tatalaksana16-17
Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman
dalam mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi
penyebab (berdasarkan pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai
panduan dalam memberikan terapi antimikroba empirik.

23
Adapun protokol manajemen panatalaksanaan sepsis berdasarkan SSC 2013

Gambar 12. protokol manajemen panatalaksanaan sepsis berdasarkan SSC 2013


a. Resusitasi awal
Resusitasi awal diberikan pada pasien sepsis yang mengalami
hipoperfusi jaringan. Target resusitasi awal pada keadaan ini adalah :
 CVP 8-12 mmHg
 MAP > 65 mmHg
 Urine output > 0,5 mL/KgBB/jam
 Saturasi oksigen vena cava superior 70% atau saturasi oksigen vena
gabungan 65%.

Resusitasi awal juga ditujukan untuk mengembalikan nilai laktat ke


batas normal sebagai indikator keberhasilan perfusi pada jaringan.
b. Skrining sepsis
Dilakukan untuk mengevaluasi pasien dalam kondisi sepsis setelah
pemberian resusitasi awal berhasil hingga tidak pasien tidak menjurus ke
keadaan sepsis berat.

24
c. Diagnosis
Kultur diambil sebelum pemberian antibiotik atau kurang dari 45 menit
setelah pemberian antibiotik. Setidaknya 2 sampel darah (aerobik dan
anaerobik) didapatkan secara perkutaneus dan 1 sampel dari akses vaskular.
Bila dicurigai terdapat infeksi kandidiasis maka dapat dilakukan
pemerikasaan 1,3 beta-D-glucan, antibodi mannan dan antimannan. Dapat
dikonfirmasi dengan pemeriksaan imaging untuk memastikan sumber infeksi.
d. Terapi antimikroba
Antimikroba intravena dalam 1 jam pertama dapat diberikan pada
pasien syok sepsis dan sepsis berat tanpa syok.
Diberikan satu obat antimikroba empirik atau lebih untuk menghambat
aktivitas patogen. Terapi antimikroba dapat diberikan dalam dosis harian dan
dapat dideskalasi. Terapi kombinasi antimikroba tidak boleh diberikan lebih
dari 3-5 hari. Deeskalasi harus segera dilakukan setelah penyebab infeksinya
diketahui. Pemberian obat antimikroba lebih dari 7-10 hari dapat
menyebabkan bakteremia dan gangguan imunologik.
Terapi antivirus dapat diberikan pada pasien sepsis berat atau syok sepsis
yang diakibatkan oleh infeksi virus.

Tabel. Pemilihan terapi antibiotik untuk sepsis dari sumber infeksi


Suspek sumber infeksi Antibiotik yang dianjurkan
Tidak diketahui Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus
selama 4 jam
Atau
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Intraabdominal Ampisilin/ Sulbaktam 3 gr IV per 6 jam
Atau
Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus
selama 4 jam
Atau
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Atau
Metronidazole 500 mg IV per 8 jam ditambah
Siprofloksasin 400 mg IV setiap 12 jam
Traktus urinarius Siprofloksasin 400 mg IV setiap 12 jam
Atau
Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus
selama 4 jam
Atau
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Atau
Ampisilin 2 gr IV per 6 jam ditambah Gentamisin
Kulit atau jaringan : Staphylococcus sp Vancomisin
Atau

25
Linezolid 600 mg IV per 12 jam
Atau
Daptomisin 4mg/kgBB per 24 jam
Atau
Oxacillin 2 gr IV per 4 jam
Kulit atau jaringan : Clostridium perfringers Penisilin G 6 juta unit IV per 4 jam
Ditambah
Klindamisin 900 mg IV per 8 jam
Direkomendasikan untuk segera melakukan
debridement
Kulit atau jaringan : nekrotik polimikroba Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Direkomendasikan untuk segera melakukan
debridement
Community Acquired Pneumonia – tanpa faktor Seftriakson 1 gr ( 2 gr jika BB > 80 kg) IV per 24
resiko pseudomonas jam
Kombinasi dengan
Moksifloksasin 400 mg IV per 24 jam
Atau
Azitromisin 500 mg IV per 24 jam
Community Acquired Pneumonia – dengan Cefepime 1 g IV per 6 jam atau
faktor resiko pseudomonas piperacillin 3,375 g IV infus selama 4 jam
atau
meropenem 500 mg IV per 6 jam
ditambah
siprofloksasin 400 mg IV per 8 jam
atau
Aminoglikosida gentamisin 5-7 mg/kgBB per 24
jam
Dengan
Azitromisin 500 mg PO/IV per 24 jam

Hospital Acquired Pneumonia (HAP) Vancomisin 15 mg/kg BB per 12 jam ditambah


Ventilator Acquired Pneumonia (CAP) Cefepime 1 g
IV per 6 jam
Meropenem 500 mg IV per 6 jam
Ditambah
Gentamisin 5-7 mg/kg IV perhari atau
Tobramisin 5-7 mg/kgBB perhari atau
Sifrofloksasin 400 mg IV per 8 jam

e. Pengontrolan sumber infeksi


Lakukan intervensi dalam waktu 12 jam setelah diagnosis.

f. Pencegahan infeksi
 Dekontaminasi oral dan digestif untuk menurunkan angka insidensi
pneumonia karena ventilator.
 Klorheksidin glukonat oral dapat digunakan untuk dekontaminasi oral
pada pasien sepsis berat di ICU.

g. Terapi cairan untuk sepsis berat

26
 Pemberian cairan kristaloid.
 Albumin diberikan bersamaan dengan resusitasi cairan jika pasien
membutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak.

h. Vasopresor
 Merupakan terapi awal untuk mencapai target MAP > 65 mmHg.
 Pilihan pertamanya adalah norepinefrin.
 Norepinefrin diberikan untuk mengatur tekanan darah yang adekuat.

i. Inotropik
Dobutamin 20 mcg/kgBB/menit diberikan pada pasien dengan
disfungsi miokardium, terdapat tanda hipoperfusi, meskipun volume
intravaskularnya adekuat dan tercapainya MAP yang adekuat.
j. Kortikosteroid
Kortikosteroid (hidrokortison) intravena dengan dosis 200 mg/hari
hanya diberikan pada pasien yang tidak stabil dengan pemberian resusitasi
cairan.

k. Penggunaan Produk Darah


 Setelah hipoperfusi tertangani dan tidak ada kondisi penyulit seperti
hipoksemia berat, perdarahan akut, atau penyakit jantung iskemik, tranfusi
sel darah merah diberikan hanya jika konsentrasi hemoglobin turun hingga
<7,0g/dL dengan nilai target 7,0-9,0g/dL.
 Penggunaan eritropoietin tidak dianjurkan dalam mengatasi anemia terkait
sepsis berat.
 Fresh frozen plasma tidak dianjurkan untuk memperbaiki abnormalitas
nilai uji hemostasis laboratorium jika tidak ada perdarahan atau rencana
tindakan invasif.
 Pada pasien sepsis berat, pemberian transfusi trombosit profilaktit
dilakukan pada kadar <10.000/mm3 tanpa perdarahan; pada <20.000/mm3
bila terdapat risiko perdarahan signifikan; pada >=50.000/mm3 bila
terdapat perdarahan aktif, pembedahan, atau tindakan invasif.

l. Immunoglobulin

27
Penggunaan immunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan sepsis
berat atau syok sepsis tidak dianjurkan.
m. Selenium
Penggunaan selenium dalam penatalaksaan sepsis berat tidak dianjurkan.
n. Ventilasi mekanik pada Acute Respiratory Distress Syndrome terinduksi Sepsis
(ARDS)
 Target volume tidal 6mL/kgBB
 Tekanan puncak pada paru pasien ARDS yang terinflasi secara pasif
ditargetkan =<30cmH20
 Untuk mencegah alveolus kolaps pada akhir ekspirasi, bisa digunakan
pemberikan positive end-expiratory pressure (PEEP).
 Penggunaan PEEP dengan nilai yang lebih tinggi digunakan pada pasien
yang mengalami ARDS sedang atau berat akibat sepsis.
 Kepala pasien sepsis yang terpasang ventilator diposisikan terangkat 30-45
derajat untuk mengurangi risiko aspirasi dan pneumonia terkait ventilator.
 Ventilasi masker noninvasif digunakan hanya jika diyakini manfaatnya
lebih banyak daripada risikonya.
 Protokol penyapihan ventilator dilakukan pada pasien sepsis berat untuk
mengevaluasi kemampuan bernapas spontan, dimulai ketika a) merespons
terhadap rangsangan, b) hemodinamik stabil tanpa vasopressor, b) tidak
ada kondisi yang berpotensial mebahayakan, c) tidak membutuhkan
tekanan ventilasi dan akhir ekspirasi yang tinggi, dan e) kebutuhan FIO2
yang rendah dan dapat dicapai menggunakan sungkup wajah atau kanul
hidung. Bila napas spontan berhasil dicapai, pertimbangkan untuk
ekstubasi.
 Kateter arteri pulmoner sebaiknya tidak digunakan secara rutin pada
pasien yang mengalami ARDS akibat sepsis.
 Terapi cairan konservatif dan terencana diutamakan daripada pemberian
cairan secara bebas pada pasien ARDS akibat sepsis yang tidak mengalami
hipoperfusi jaringan.
 Bila tidak terdapat indikasi spesifik, seperti bronkospasme, pemberian beta
2-agonis dalam penanganan ARDS akibat sepsis tidak dianjurkan.

p. Sedasi, Analgesi, dan Blokade Neuromuskular pada Sepsis

28
 Sedasi kontinu atau intermiten dapat dikurangi pada pasien sepsis yang
menggunakan ventilator, dengan target akhir titrasi spesifik.
 Obat-obat neuromuscular blocking agents (NMBA) sebaiknya dihindari
pada pasien sepsis tanpa ARDS karena risiko blokade neuromuskular
diperpanjang dapat terjadi setelah pemberhentian pemberian obat.
 Pemberian NMBA tidak lebih dari 48 jam pada pasien dengan ARDS
akibat sepsis dengan Pao2/FIO2 < 150 mmHg.

q. Kontrol Glukosa
 Protokol manajemen glukosa pada pasien ICU dengan sepsis berat
menggunakan insulin diberikan ketika ditemukan kadar gula darah
>180mg/dL dalam 2 kali pemeriksaan konsekutif. Target protokol ini
adalah kadar gula darah <180 mg/dL.
 Kadar glukosa darah diawasi setiap 1-2 jam sampai kadar glukosa dan laju
infus insulin mencapai stabil, kemudian dilanjutkan setiap 4 jam sekali.
 Kadar glukosa yang didapat dari darah kapiler sebaiknya diinterpretasi
dengan hati-hati karena kemungkinan tidak merepresentasikan kadar
glukosa darah arteri atau plasma secara akurat.

r. Terapi Pengganti Fungsi Ginjal


 Terapi pengganti fungsi ginjal kontinu dan hemodialisis intermiten
memiliki efektivitas yang setara bagi pasien sepsis berat dan gagal ginjal
akut.
 Penggunaan terapi untuk memfasilitasi manajemen keseimbangan cairan
dianjurkan pada pasien sepsis dengan hemodinamik yang tidak stabil.

s. Bikarbonat
Penggunaan natrium bikarbonat tidak dianjurkan untuk memperbaiki
hemodinamikk atau mengurangi kebutuhan vasopressor pada pasien dengan
asidosis laktat (pH>7,15) akibat hipoperfusi jaringan.
t. Profilaksis Trombosis Vena Dalam (DVT)
 Pasien dengan sepsis berat menerima farmakofilaksis harian untuk
mencegah tromboembolisme vena. Hal ini dicapai menggunakan
pemberian LMWH subkutan harian. Bila pembersihan kreatinin <30

29
mL/menit, gunakan dalteparin atau LMWH jenis lain yang memiliki
metabolisme ginjal yang lebih rendah.
 Pasien dengan sepsis berat ditangani dengan kombinasi terapi
farmakologis dan alat kompresi pneumatik intermiten bila memungkinkan.
 Pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi penggunaan heparin tidak
diberikan farmakofilaksis namun diberikan tatalaksana profilaktik
mekanik, seperti stocking kompresi atau alat kompresi intermiten, kecuali
terdapat kontraindikasi. Ketika risiko berukurang, gunakan
farmakofilaksis.

u. Profilaksis Stress Ulcer


 Profilaksis stress ulcer menggunakan H2 blocker atau proton pump
inhibitor diberikan pada pasien dengan sepsis berat/syok septik yang
memiliki faktor risiko perdarahan.
 Penggunaan proton pump inhibitor sebagai profilaksis stress ulcer lebih
diutamakan daripada H2RA.
 Pasien tanpa faktor risiko tidak perlu diberikan profilaksis.

v. Nutrisi
 Nutrisi diberikan secara oral atau enteral sebisa mungkin daripada
membiarkan puasa total atau pemberian glukosa intravena dalam 38 jam
pertama setelah penegakan diagnosis sepsis berat atau syok septik.
 Dalam pekan pertama perawatan, asupan kalori harian diberikan dalam
kadar rendah, ditingkatkan hanya ketika dapat ditoleransi.
 Pemberian glukosa intravena disertai nutrisi enteral atau nutrisi parenteral
disertai enteral pada 7 hari pertama setelah penegakan diagnosis sepsis
berat/syok septik lebih diutamakan dari pada pemberian nutrisi parenteral
total.
 Berikan nutrisi tanpa suplementasi immunomodulasi spesifik daripada
nutrisi yang memiliki efek immunomodulasi spesifik pada pasien sepsis
berat.

30
Gambar 13. Algoritma tatalaksana sepsis

2.8 Komplikasi9
Insidensi komplikasi yang diakibatkan oleh SIRS dan sepsis adalah
sebagai berikut :
 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sebanyak 8-18%
 Adult Respiratory Disease Syndrome (ARDS) sebanyak 2-8%
 Acute Renal Failure (ARF) sekitar 9-23%
 Gastrointestinal bleeding
 Gagal hati (12%)
 Disfungsi sistem saraf pusat (19%)
 Gagal jantung
 Kematian

31
Sepsis dapat menyebabkan Multiple organ dysfunctions (MODS). MODS
disebabkan oleh adanya gangguan perfusi jaringan yang mengalami hipoksia sehingga
terjadi nekrosis dan gangguan fungsi ginjal dimana pembuluh darah memiliki andil
yang cukup besar dalam patogenesis ini.

 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)


Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin
yang merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya
menghasilkan suatu gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain
mengaktifkan tissue factor juga menggangu proses fibrinolisis melalui
pengaktifan IL-1 dan TNFα dan memproduksi suatu plasminogen activator
inhibitor-1 yang kuat menghambat fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga
mengaktifkan activated protein C (APC) dan antitrombin. Protein C
sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif tetapi karena adanya
trombin dan trombomodulin, protein C berubah menjadi enzyme-activated
protein C. Sedangkan APC dan co-factor protein S mematikan produksi
trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak
terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja plasminogen activator
inhibitor-1 yang menghambat pembentukkan plasminogen menjadi plasmin
yang sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin.
Semua proses ini menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang
bermanisfestasi perdarahan yang dikenal dengan Disseminta Intravascular
Coagulation (DIC) yang merupakan salah satu kegawatan sepsis yang
mengancam jiwa. 11,13

32
Gambar 7. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi
 Acute Respiratory Disease Syndrome (ARDS)
Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada
aliran darah kapiler dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat
mengakibatkan edema interstitial dan alveolar. Neutrofil yang terperangkap
dalam mirosirkulasi paru menyebabkan kerusakan pada membran kapiler
alveoli. Edema pulmonal akan mengakibatkan suatu hipoksia arteri sehingga
akhirnya akan menyebabkan Adult Respiratory Disease Syndrome (ARDS).

Gambar 8. Patofisiologi sepsis menyebabkan ARDS

33
 Gagal ginjal akut

Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus ginjal,


vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi
yang menyebabkan gangguan fungsi organ ginjal. 11

Gambar. 9. Patogenesis sepsis menyebabkan gagal ginjal akut

 Gastrointestinal :

Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan
terpasang intubasi dan tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang
dalam saluran pencernaan dan mungkin juga dapat menyebabkan suatu
pneumonia nosokomial akibat aspirasi. Abnormalitas sirkulasi pada sepsis
dapat menyebabkan penekanan pada barier normal dari usus, yang akan
menyebabkan bakteri dalam usus translokasi ke dalam sirukulasi (mungkin
lewat saluran limfe).

 Gangguan Hati
Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik, dengan
peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase. Fungsi sintetik
biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai status hemodinamik
yang tidak stabil dalam waktu yang lama.

34
 Gagal Jantung
Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok septik, dengan
mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah kerja langsung
molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis
memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu
sindroma koronaria akut (ACS) atau infark miokardium (MCI), terutama pada
pasien usia lanjut. Dengan demikian obat inotropic dan vasopressor (yang
paling sering menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati
bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.9

2.9 Prognosis

Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan
sekarang rata-rata 40% (sekitar 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien).
Hasil yang buruk sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya,
dalam waktu 6 jam dari diagnosa dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan
asidosis metabolik decompensated menjadi mapan, terutama dalam hubungannya
dengan kegagalan multiorgan, syok septik cenderung ireversibel dan fatal.11

35
BAB III
KESIMPULAN

SIRS ( Systemic Inflammatory Response Syndrome ) adalah suatu bentuk


respon inflamasi terhadap infeksi yang ditandai oleh dua atau lebih kriteria berikut
ini:Suhu > 38 C atau <36 C; Denyut jantung > 90x/menit ; Respirasi >20x/menit atau
PaCO2 <32 mmHg; Hitung leukosit >12,000/mm3 atau >10% sel imatur. Sepsis
adalah SIRS ditambah dengan adanya tempat infeksi yang ditentukan dengan biakan
positif terhadap organisme di tempat tersebut.
Sepsis adalah respons inflamasi sistemik yang dicetuskan oleh infeksi. Sepsis
merupakan penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan intensif. Syok
akibat sepsis merupakan penyebab kematian tersering di unit pelayanan intensif di
Amerika Serikat. Sepsis sering disebabkan karena infeksi dari bakteri Gram negatif.
Dengan patofisiologi begitu rumit, Meskipun memiliki banyak komplikasi dan bisa
menimbulkan kematian. Tatalaksana terhadap sepsis dan penyulitnya harus dilakukan
secara terencana dan sesegera mungkin untuk menghindari terjadinya penyulit
maupun kematian.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Singer M, Deutchman C, Seymour WC, Manu Shankar-Hari, Djillali Annane


D, Bellomo R, et al. The Third International Consensus Defini-tions for sepsis
and septic shock (Sepsis-3). JAMA. 2016;315(8):804-6.
2. Nainggolan J, Kumaat L, Laihad M. Gambaran Sumber Terjadinya Infeksi
pada Penderita Sepsis dan syok Septik di ICU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado Periode Agustus 2016 sampai dengan September 2017. Jurnal e-
Clinic (eCl), Volume 5, Nomor 2, Juli-Desember 2017
3. Honore PM, Jacobs R, Joannes-Boyau O, De Regt J, Boer W, De Waele E, et
al. Septic AKI in ICU patients, diagnosis, pathophysiology and treat-ment
type, dosing, and timing: a comprehensive review of recent and future
develop-ments. Ann Intensive Care. 2011;1:32..
4. Martin GS. Sepsis, Severe Sepsis and Septic Shock: Changes In Incidence,
Pathogens and Outcomes. Expert Rev Anti Infect Ther. 2012 Jun; 10(6): 701-
706.
5. Kumar A, Zarychanski R, Light B, Parrillo J, Maki D, Simon D, et al. Early
combination antibiotic therapy yields improved survival compared with
monotherapy in septic shock: A propensity-matched analysis. Crit Care.
2010;38(9):1776.
6. Sejati A, Pitoyo CW, Suhendro, Abdullah M. Faktor-faktor prognostik
mortalitas pasien sepsis berat fase lanjut di Unit Perawatan Intensif Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Jakarta: FKUI/RSCM. Available from:
www.indonesia journalchest.com/.../Faktor-Faktor%20 Prognostik%.
7. Barsten A, Soni N. Oh’s Intensive Care Manual (6 ed). China: Butterworth
Heinemann Elsevier, 2009.
8. Kamus Kedokteran Dorland . Jakarta . ECG Jakarta 2016
9. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Stiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam jilid I ed VI. Jakarta: InternaPublishing; 2014: hal 692-9.
10. Runge MS, Greganti MA. Netter’s Internal Medicine. 2nd ed. Philadelphia
USA: Saunders Elsevier; 2009. p. 644-9
11. The epidemiology of sepsis in the United States from 1979 through
2000 –NEJM (internet ). ( cited 2012 Dect ) . Available from : http : //
www.nejm.org / doi / full / 10.1056 / NEJ Moa 022139.

37
12. Caterino JM, Kahan S. Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia: Binarupa
Aksara Publisher; 2012
13. National health service United Kingdom. Sepsis [Internet]. [cited 2018 Oct
14]. from:http://www.nhs.uk/Conditions/Blood-poisoning/Pages/Causes.aspx
14. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Loscalzo J, et al. Harrison's Principles Of
Internal Medicine. McGraw-Hill Medical Publishing Division ed 16 th. p. 1606-
17
15. Oematan Y, Manoppo J, Runtunuwu A. Peran Inflamasi Dalam Patofisiologi
Sepsis Dan Syok Septik. Jurnal Biomedik, Volume 1, Nomor 3, November
2009, hlm. 166-173
16. Surviving Sepsis Campaign. International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine Februari 2013;
41(2): 585-636
17. American College of Chest Physicians. Early Goal-Directed Therapy in
Severe Sepsis and Septic Shock REvisited: Concepts, Controversies, and
Contemporary Findings. Chest 2009; 130: 1579-1595
18. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Ferrer R, Kumar A. Surviving
Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of Sepsis and
Septic Shock: 2016. Crit Care Med. 2017. Doi:
10.1097/CCM.0000000000002255.

38

Anda mungkin juga menyukai