Anda di halaman 1dari 26

Developmentally Appropriate Practice (DAP) dan Penerapannya di TK

dan SD

Pendidikan adalah faktor penting dalam pembangunan


suatu bangsa. Kualitas suatu sistem pendidikan dapat
memengaruhi kualitas suatu bangsa di masa depan. Ketika suatu
bangsa mengalami keterpurukan dan diperparah dengan kualitas
SDM yang rendah biasanya sering dikaitkan dengan lemahnya
peran pendidikan dalam membantuk manusia yang unggul.
Saat ini sudah semakin disadari bahwa pendidikan sangat
penting bahkan dimulai sejak anak lahir. Bahkan yang lebih
menarik lagi, pendidikan dapat dimulai semenjak anak masih
dalam kandungan. Pentingnya pendidikan sejak dini karena
didorong oleh berbagai teori belajar yang menyebutkan bahwa
pada usia tersebutlah berbagai aspek perkembangan mengalami
masa yang sangat cepat dan menentukan.
Perkembangan berbagai aspek dari seorang individu anak
tidak terjadi secara terpisah tetapi berjalan secara holistik serta
dipengaruhi oleh berbagai faktor internal dan eksternal. Faktor
internal adalah berbagai aspek perkembangan yang dimiliki oleh
anak, sementara faktor eksternal adalah guru, keluarga, dan
berbagai sumber belajar yang lainnya. Jika anak telah masuk
pada suatu program pendidikan, maka satu hal yang tidak kalah
penting adalah kurikulum yang diterapkan oleh sekolah.
Pendidikan yang dilaksanakan seharusnya disesuaikan
dengan tahap perkembangan anak serta bagaiamana anak
belajar. Sehingga pendidikan pada anak tidak berarti sebagai
program ”pemaksaan” terhadap anak untuk melakukan sesuatu
atau untuk memiliki suatu kemamuan sesuai keinginan orang
dewasa tanpa mempertimbangkan kondisi anak. Salah satu
konsep yang relevan dengan pendekatan pembelajaran yang
sesuai dengan anak adalah konsep Developmentally Appropriate
Practice (DAP) atau dalam bahasa Indonesia berarti ”Pendidikan
yang patut sesuai dengan tahapan perkembangan anak”.
Berdasarkan konsep ini, para pendidikan harus mengerti
bahwa setiap anak adalah unik mempunyai bakat, minat,
kelebihan, dan kekurangan, dan pengalaman yang berbeda-beda.
Oleh karena itu, para pendidikan hendaknya dapat menyesuaikan
diri dengan keunikan-keunikan tersebut.
Konsep atau pendekatan DAP ini telah menjadi acuan dalam
pelaksanaan program pendidikan anak usia dini dan dalam
pengembangan selanjutnya diadaptasi dalam program
pendidikan dasar terutama untuk kelas rendah.
Dalam tulisan ini penulis mencoba membahas tentang teori
DAP dari berbagai literature serta bagaimana menerapkannya
pada sistem pendidikan anak usia dini dan sekolah dasar.
Sebelum lebih jauh dalam pembahsan ini terlebih dahulu
kita lihat tentang lahirnya konsep DAP. Konsep DAP muncul
karena banyaknya kurikulum yang dikembangkan di sekolah-
sekolah Amerika pada kurun waktu tahun 1960-an sampai 1970-
an yang tidak sesuai dengan tahapan perkembangan anak,
khususnya untuk anak usia di bawah 8 tahun. Kurikulum-
kurikulum tersebut dianggap telah gagal menghasilkan siswa
yang dapat berpikir kritis dan dapat menyelesaikan berbagai
permasalahan dalam kehidupan (Bredekamp, et.al., 1992, dalam
Megawangi, 2005).
Kritikan terhadap kurikulum terus berlanjut pada tahun
1980-an terutama dipelopori oleh para pakar yang terhimpun
dalam organisasi NAEYC (National Association for the Education
of Young Children) yang menganggap telah mematikan semangat
dan kecintaan anak untuk belajar. NAEYC akhirnya membuat
sebuat petisi untuk mereformasi pendidikan agar sesuai dengan
konsep DAP, yang dimotori oleh Sue Bredekamp. Oleh karena itu,
sejak tahun 1980-an sekolah-sekolah di AS sudah melakukan
perbaikan untuk menerapkan konsep lama. NAEYC
mengembangkan prinsip-prinsip pelaksanaan DAP untuk rentang
usia sampai 8 tahun. Prinsip-prinsip ini kemudian dikembangkan
oleh NAEYC seiring dengan perkembangan dan penerapan
konsep DAP dalam program-program pendidikan anak usia
dini.

Pengertian dari Konsep DAP


Menurut Sue Bredekamp (1987), konsep dari DAP memiliki
dua dimensi, yiatu : patut menurut usia (age appropriate) dan
patut menurut anak sebagai individu yang unik (individual
appropriate). Sementara Gary Glassenapp (Megawangi, 2005)
menambahkan 1 dimensi lagi, yaitu : patut menurut lingkungan
dan budaya.
1. Patut menurut usia (age appropriate)
Penelitian tentang perkembangan manusia menunjukkan
bahwa proses perkembangan bersifat universal serta urutan
perkembangan dapat diprediksikan dan ini terutama terjadi pada
anak usia sampai 9 tahun (Bredekamp, 1987). Perkembangan
yang dapat diprediksikan ini terjadi pada seluruh domain
perkembangan seperti fisik, emosi, sosial, dan kognitif.
Pengetahuan tentang berbagai ciri perkembangan anak pada
berbagai jenjang usia atau program pendidikan akan
memberikan kerangka kerja bagi guru. Secara umum, tahapan
perkembangan anak dapat memberikan pengetahuan tentang
aktivitas, materi, pengalaman, dan interaksi sosial apa saja yang
sesuai, menarik, aman, mendidik, dan menantang bagi anak.
Dalam hal ini, peran guru adalah menyiapkan lingkungan belajar
serta merencanakan pengalaman yaang patut bagi anak.
2. Patut menurut anak sebagai individu yang unik
(individual appropriate)
Setiap anak adalah pribadi yang unik berikut dengan pola
dan jadwal perkembangannya, seperti kepribadian, gaya belajar,
dan latar belakang keluarga. Baik kurikulum dan interaksi orang
dewasa dengan anak harus memperhatikan perbedaan individu.
Belajar bagi anak-anak adalah hasil dari interaksi antara cara
berpikir anak dengan pengamalan bersama benda konkrit,
pendapat (ide), dan orang lain. Pengalaman seperti itu harus
sesuai dengan perkembangan kemampuannya, dan juga harus
mendorong siswa menjadi tertarik dan paham. Para pendidikan
juga harus memahami keunikan setiap anak, oleh karena itu,
para pendidikan hendaknya dapat menyesuaikan diri dengan
keunikan-keunikan tersebut.
3. Patut menurut lingkungan dan budaya.
Para pendidik harus mengetahui latar belakang sosial dan
budaya anak karena latar belakang sosial dan budaya anak dapat
menjadi bahan acuan guru dalam mempersiapkan materi
pelajaran yang relevan dan berarti bagi kehudipan anak. Selain
itu, guru juga dapat mempersiapkan anak menjadi individu yang
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan kehidupan
sosialnya.

Dasar Teori Perkembangan pada Konsep DAP


Memahami teori perkembangan anak adalah penting
untuk menyusun program pendidikan sesuai dengan konsep DAP.
Berikut ini adalah sekilas teori perkembangan anak yang relevan
dengan konsep DAP, seperti yang uraikan dalam Megawangi
(2005).
1. Teori Perkembangan Kognitif (Jean Piaget)
Piaget (1896 – 1980) sangat terkenal dengan teorinya tentang
bagaimana seorang anak belajar melalui tindakan yang
dilakukannya. Menurutnya, pemahaman anak dibangun
(constructed) melalui action, sehingga teori ini sering disebut
juga dengan teori ”constructivism”. Seorang anak dapat
memahami suatu konsep melalui pengalaman konkrit.
Hal yang tepenting dari teori Piaget adalah bahwa setiap
individu termasuk mengalami 4 tahapan perkembangan kognitif.
Tahapan perkembangan tersebut adalah :
- Tahap sensorimotor (usia 0 – 18 bulan)
- Tahap preoperasional (usia 18 bulan – 6 atau 7 tahun)
- Tahap operasional konkrit (usia 8 – 12 tahun)
- Tahap formal operasional (usia 12 tahun – usia dewasa)
2. Teori Perkembangan Emosi (Erik Erikson)
Erik Erikson (1902 – 1994) berpendapat bahwa perkembangan
emosi positif sangat penting dalam perkembangan jiwa anak, dan
ini sangat tergantung pada peran orang tua dan guru. Setiap
anak akan dihadapkan pada dua keadaan yang saling bertolak
belakang : emosi positif dan emosi negatif. Pada setiap tahapan
perkembangan, seseorang akan mengalami konflik tarik menarik
antara kedua emosi tersebut, keberhasilan dalam mengelola
konflik ini terwujud apabila anak dapat mencapai emosi positif.
Ada empat tahapan perkembangan emosi anak yang relevan
dengan konteks DAP yaitu :
- Tahap percaya vs tidak percaya (0 - 18 tahun)
- Tahap kemandirian vs malu/ragu (18 bulan – 3,5 tahun)
- Tahap inisiatif vs merasa bersalah (3,5 tahun – 6 tahun)
- Tahap berkarya/etos kerja vs minder (6 tahun – 10 tahun)
3. Teori Sosio Kultural (Vigotsky)
Vigotsky (1896 – 1934) berpendapat sama dengan Piaget
bahwa cara belajar yang efektif melalui praktek nyata (action).
Anak-anak akan lebih mudah memahami konsep baru ketika
mereka mencoba memecahkan suatu masalah dengan objek
konkrit.
Menurut Vigotsky, perkembangan intelktual anak mencakup
bagaimana mengaitkan bahasa dengan pikiran. Pada awal
perkembangan anak, antara bahasa dan pikiran tidak ada
keterkaitan. Misalnya anak yang megoceh tanpa memahami
artinya. Selanjutnya, secara bertahap, anak mulai mengaitkan
bahasa dengan pikiran. Pada usia sekolah dasar anak akan
memakai bahasa dalam proses belajar. Piaget dan Vigotsky
bersama-sama disebut sebagai tokoh aliran konstruktivism.
Bedanya, konstruktivisme Piaget adalah bersifat individu
sementara Vigotsy adalah konstruktivisme sosial.
4. Teori Perkembangan Moral (Kohlberg dan Thomas
Lickona)
Kohlberg adalah seorang pionir dalam menyususn tahapan
perkembangan moral anak dengan memodifikasi teori Piaget.
Sedangkan Thomas Lickona mengembangan lebih lanjut teori ini
sampai pada bagaimana metode pendidikan karakter dapat
dijalankan secara konkrit bagi orang tua dan guru. Secara singkat
tahapan perkembngan moral yang relevan untuk pengembangan
DAP adalah sebagai berikut:
- Tahap berpikir egosentris - self oriented morality (1 tahun – 4
atau 5 tahun)
- Tahap patuh tanpa syarat – authority oriented morality (4,5
tahun – 6 tahun)
- Tahap balas – membalas – exchange stage (6,5 tahun – 8 tahun)
- Tahap memenuhi harapan lingkungan – peer oriented morality (8
tahun sampai 13/14 tahun)
5. Teori Ekologi dan Kontekstual (Bronfenbrenner)
Bronfenbrenner mengembangkan teori perkembngan anak
yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang melingkupi
kehidupan manusia. Perkembangan dipengaruhi oleh :
- Konteks mikrosistem, yaitu : keluarga, sekolah dan kawan-kawan
- Konteks mesosistem, yaitu : hubungan antara keluarga dengan
sekolah, sekolah dengan peer group, atau keluarga dengan peer
group yang semuanya memeprngaruhi individu
- Konteks ekosistem, seperti pekerjaan orang tua dana kebijakan
pemerintahan
- Konteks makrosistem, yaitu : pengaruh lingkungan budaya,
norma agama, dan lingkungan sosial dimna individu dibesarkan.
6. Brain Based Learning
Manusia mempunyai kemampuan alami untuk belajar,
asalkan tidak bertentangan dengann prinsip bekerjanya struktur
dan fungsi otak. Sistem sekolah tradisional sering tidak sesuai
dengan prinsip alami ini, sehingga justru menghambat proses
belajar. Perhatian terhadap otak dan fungsinya tidak hanya
diarahkan pada bagian-bagian otak yang memiliki fungsi
berbeda-beda, tetapi kepada sistem otak itu sendiri sebagai satu
kesatuan.
Menurut Barbara K. Given (2007), berdasarkan berbagai hasil
penilitian, otak mengembangkan lima sistem pembelajaran, yaitu
: sistem pembelajaran emosional, sistem pembelajaran sosial,
sistem pembelajaran kognitif, sistem pembelajaran fisik dan
sistem pembelajaran reflektif. Pembelajaran yang baik, adalah
pembelajaran yang memperhatikan lima sistem pembelajaran
sebagai suatu kesatuan sistem.
7. Multiple Intelligences (Howard Gardner)
Cara tradisional mengukur kepandaian seseorang adalah
dengan tes IQ. Padahal ukuran IQ hanya terbatas pada
kemampuan kognitif dan verbal saja. Akan tetapi, pandangan
tersebut mulai bergeser seiring dengan hasil penelitian tentang
cara kerja otak dimana setiap individu memiliki keunikan cara
belajar. Howard Gardner kemudian mengenalkan istilah
kecerdasan majemuk (multiple intlligences) yang berarti bahwa
manusia belajar dan berhasil melalui berbagai kemampuan
kecerdasan yang tidak terukur melalui IQ. Menurut Gardner
(Megawangi, 2005), kecerdasan adalah kemampuan
memecahkan masalah atau kemampuan berkarya menghasilkan
sesuatu yang berharga untuk lingkungan sosial, budaya atau
lingkungannya. Ada delapan kecerdasan menurut Gardner yang
kemudian dalam Megawangi (2005) ditambah satu, yaitu
kecerdasan spiritual. Sembilan kecerdasan tersebut adalah :
- Picture Smart (Kecerdasan Gambar/Spasial)
- People Smart (Kecerdasan Interpersonal)
- Body Smart (Kecerdasan Kinestetik atau Fisik)
- Word Smart (Kecerdasan Bahasa)
- Self Smart (Kecerdasan Interpersonal – Mengenal Diri)
- Sound Smart (Kecerdasan Musik)
- Nature Smart (Kecerdasan Mempelajari Alam)
- Number Smart (Kecerdasan Logika – Matematika)
- Spiritual Smart (Kecerdasan Spiritual)
Prinsip dan Praktek DAP

Berdasarkan teori-teori di atas walaupun masih banyak


teori pendukung DAP yang tidak disajikan, maka didasarkan pada
yang dikembangkan oleh Bredekamp et. al (dalam Megawangi,
2005) adalah sebagai berikut:
1. Belajar paling efektif bagi anak-anak adalah ketika kebutuhan
fisiknya sudah terpenuhi, dan ketika secara psikologis merekea
merasa aman dan nyaman
Prakteknya: DAP memperhatikan kebutuhan biologis anak. Pada
usia TK dan SD anak-anak memerlukan aktivitas fisik yang
membuat mereka aktif, sehingga dapat membantu pembentukan
kepercayaan dirinya. Contohnya, anak tidak disuruh duduk,
menulis, dan mendengarkan ceramah guru dalam waktu yang
lama. DAP memberikan peluang bagi anak untuk aktif, bermain,
waktu tenag, belajar, dan beristirahat secara seimbang. Anak-
anak akan lebih cepat mempelajari suatu konsep dengan
keterlibatannya secara aktif, misalnya bekerja dengan obyek
nyata/tiruannya atau kerja tangan, daripada hanya disuruh
mendengarkan guru. Lingkungan belajar juga harus aman
sehingga semua anak merasa aman dan diterima oleh
lingkungannya.
2. Anak-anak membangun pengetahunnya
Prakteknya: Pengetahuan anak yang dibangun merupkan hasil
dari interaksi dinamis antara individu, dengan lingkungan fisik
dan sosialnya. Artinya, anak mendapatkan pengetahuan melalui
eksplorasi dan eksperimen aktif. Salah satu eksperimen yang
berharga adalah membuat kesalahan yang konstruktif yang
merupakan hal yang penting bagi perkembangan mentalnya,
yaitu belajar dari kesalahan. Anak-anak perlu membangun
hipotesanya dengan mengadakan percobaan dan berbagai
bentuk manipulasi, mengamati apa yang terjadi, membandingkan
hasilnya, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari
jawabannya.
3. Anak-anak belajar melalui interaksi sosial dengan para orang
dewasa di sekitarnya dan teman-teman sebayanya
Prakteknya: Contoh terpenting adalah hubungan antara orang
tua dan anak. Para guru akan mendorong agar hubungan dapat
terjalin lebih kuat, termasuk dengan kawan sebayanya dan orang
dewasa lainnya, sehingga proses belajaran akan lebih efektif.
Tugas guru adalah memberi dukungan, mengarahkan, dan
memberikan motivasi, sehingg anak dapat belajar berinteraksi
dan menjadi individu mandiri. Kurikulum DAP akan memberikan
kesempatan bagi anak untuk mengerjakan suatu pekerjaan
berkelompok, sehingga anak dapat belajar berkomunikasi dan
berinteraksi dengan kawan-kawannya. Termasuk juga diskusi di
kelas yang dipandu langsung oleh gurunya.
4. Anak-anak belajar melalui bermain
Prakteknya: Bermain dapat memberikan kesempatan pada anak
untuk berekspresi, bereksperimen, memanipulasi, yang
semuanya adalah hal yang paling penting untuk membangun
pengetahuan dan membangun kemampuan berpikir
representatif. Ketika bermain, anak-anak dapat belajar mengkaji
dan meningkatkan daya pikirnya melalui respon yang diperoleh
dari lingkungan fifik dan sosialnya. Melalui bermainlah anak-anak
dapat mengembangkan daya imajinasi dan kreativitasnya. Pada
usia SD, permainan anak-anak menjadi lebih berorientasi pada
peraturan dann dapat meningkatkan kemandirian dan kerjasama,
sehingga dapat mendukung perkembangan sosial, emosi, dan
intelektualnya.
5. Ketertarikan anak-anak terhadap sesuatu, dan rasa ingin
tahunya yang tinggi dapat memotivasi belajar anak
Prakteknya: Anak-anak membutuhkan pengalaman yang
mempunyai arti penting bagi mereka. Dalam kelas yang sesuai
dengan DAP, para guru akan mencari cara dan strategi untuk
membuat anak tertarik dan memberikan peluang bagi anak
untuk memecahkan persoalan secara bersama. Guru akan
mencari berbagai aktivitas dan kegiatan yang dapat menarik
minat anak, sehingga motivasi anak untuk belajar akan
meningkat. Hal ini akan menumbuhkan kecintaan anak untuk
belajar, rasa ingin tahu, perhatian, dan motivasi dari dalam diri
anak untuk terus mencari pnegetahuan.

Pelaksanaan DAP di TK/PAUD dan SD


Konsep DAP dapat diterapkan pada program TK/PAUD dan
SD sesuai dengan karakter perkembangannya. Berikut ini adalah
contoh pembelajaran dengan cara patut di TK/PAUD dan SD.
a. Di TK dan PAUD
Matematika: Anak memahami konsep berhitung dengan
menggunakan benda konkrit (anak harus disuguhkan benda-
benda nyata)
Menulis: Anak dibiarkan bereksplorasi sendiri mencoba menulis
huruf-huruf atau kata-kata yang ingin ia buat. Guru hanya
memberikan contoh (kalau diperlukan).
Membaca: Anak mengenal huruf lewat tulisan-tulisan yang ada
pada benda-benda yang ada disekitarnya (guru tidak meminta
anak menghafal abjad)
Menggambar: Anak dibiarkan bebas berimajinasi dan
bereksplorasi saat ingin menggambar atau mewarnai sesuatu.
Sains: Guru mengajarkan tentang matahari, bumi, dan planet
lainnya dengan menggunakan gambar dan objek. Anak juga
diperkenalkan dengan kegunaan benda-benda langit tersebut

b. Di Sekolah Dasar (SD)


Matematika: Anak dikenalkan konsep menjumlah atau
mengurang dengan menggunakan objek biji, stik, tusuk gigi,
kancing, dan sebagainya (benda konkrit)
Matematika dihubungkan dengan mata pelajaran lain atau
pengalaman konkrit anak sehingga anak dapat
mengimpelemntasikannya dalam kehidupan sehari-hari
IPS: Kegiatan pembelajaran memberi kesempatan pada anak
untuk bereksplorasi dan beriskusi. Kegitan IPS dipadukan dengan
pelajaran-pelajaran lain seperti seni, musik, menari, drama,
bahasa, keterampilan dan permainan yang relevan.
IPA: Kegiatan IPA dirancang dalam bentuk percobaan yang dapat
dilakukan sendiri oleh anak (bukan anak melihat guru
mendemontrasikan).

Demikianlah sekelumit tulisan ini yang dapat disajikan


mudah-mudahan bermanfaat bagi para pembaca terutama para
guru dan calon guru TK dan SD, agar pendidikan anak usia dini
dan kelas awal di SD dapat lebih baik dan disenangi oleh anak-
anak.

APLIKASI DEVELOPMENTALLY APPROPRIATE PRACTICE


January 28, 2009

Filed under: JURNAL — kampusnugraha @ 12:01 pm


Tags: 3j, age appropriateness, ali nugraha, DAP, eksplorasi, interaksi, intrapersonal,
Joyful Learning Services Indonesia, kecerdasan interpersonal, kecerdasan jamak,
kecerdasan spasial, Pendidikan Anak Usia Dini, spontan
Oleh Ali Nugraha
Master Trainer Bidang Pendidikan Anak Usia Dini
Dari Joyful Learning Services Indonesia
———————————————————————————————————
—————————–
Anak adalah anugrah terbesar yang diberikan Tuhan kepada kita. Untuk itu perlu
disyukuri dengan bermakna. Salah satu perwujudan rasa syukur yang utama adalah
dengan menerima keutuhannya dan bersedia mengembangkan segenap potensinya
dengan sebaik-baiknya.
Potensi anak dari manapun dia berasal (termasuk anak-anak Indonesia)
berdasarkan riset terkini diyakini sangat luar biasa dan menakjubkan (sarwa potensi),
sehingga cukup tepat disebut golden ages priority. Gambaran tentang potensi anak yang
diyakini terpercaya, secara sederhana saat ini salah satunya ditunjukkan dengan teori
multiple intelligences (kecerdasan jamak) yang diajukan dan dipopulerkan oleh Howard
Gardner. Untuk sementara, hingga saat ini telah terindentifikasi beberapa ragam
kecerdasan anak, yaitu: kecerdasan linguistik (cerdas kosakata), kecerdasan logika dan
matematika (cerdas angka dan rasional), kecerdasan spasial (cerdas
ruang/tempat/gambar), kecerdasan kinestetika-raga (cerdas raga), kecerdasan musik
(cerdas musik), kecerdasan interpersonal (cerdas orang), kecerdasan intrapersonal (cerdas
diri), kecerdasan naturalis (cerdas alam), serta kecerdasan eksistensial.
Gambaran tersebut memungkinkan bahwa masih banyak potensi tersembunyi
(hidden capacities) dari anak manusia yang belum terungkap secara eksplisit. Walau
demikian, dengan mengacu pada pandangan Gardner terdapat tiga pelajaran mendasar
tentang makna kecerdasan jamak diantaranya:

a. Meskipun kecerdasan itu beragam, tetapi semuanya sederajat, artinya tidak ada
kecerdasan yang lebih baik atau lebih penting dari kecerdasan yang lainnya.

b. Potensi kecerdasan setiap anak kadarnya tidak persis sama, tetapi berpeluang
dieksplorasi, ditumbuhkan, dan dikembangkan secara optimal

c. Semua jenis kecerdasan (MI) ditemukan di semua lintas kebudayaan di seluruh


dunia dan kelompok usia; termasuk pada anak-anak Indonesia

Lepas dari seberapa kompleks kecerdasan yang melekat pada setiap anak, yang
terpenting bagi kita adalah bagaimana dapat mengembangkan setiap dimensinya secara
efektif dan tepat, sehingga dapat mengantarkan setiap anak Indonesia menjadi manusia
yang lebih baik.
Terdapat salah satu rekomendasi umum dalam menfasilitasi anak yang telah teruji dan
dipromosikan diterapkan dibanyak tempat (negara), yaitu dengan penerapan prinsip-
prinsip yang tertuang dalam Developmentally Appropriate Practice (DAP). Dalam
penerapannya mengacu kepada tiga patokan kunci (NAEYC) yang harus diperhatikan
agar semua dimensi kecerdasan jamak anak dapat berkembang secara efektif. Ketiga
patokan utama tersebut, yaitu dalam pengembangan kecerdasan jamak anak hendaklah:
1. Selaras dengan tingkatan usia anak (age appropriateness)
2. Selaras dengan karakteristik individual anak (individual appropriateness)
3. Selaras dengan konteks sosial-budaya anak (cultural and social context
appropriateness)
Pertanyaannya adalah bagaimanakah supaya sukses-efektif dalam menselaraskan
antara pengembangan kecerdasan jamak dengan prinsip DAP? Ada beberapa saran
(anjuran) bagi pendidik, yaitu:
1. Membangun suasana-hubungan yang menunjang terjadinya pengembangan
kecerdasan anak
2. Menciptakan lingkungan belajar yang mendukung pengembangan kecerdasan anak
(aman, sehat, mendorong eksplorasi)
3. Mengupayakan agar program pengembangan kecerdasan anak dari waktu ke waktu
semakin selaras dengan karakteristik setiap anak (perangai, minat, kebutuhan,
budaya, hadiah,dll)
4. Menggunakan hasil penilaian sebagai dasar penyempurnaan pengembangan
kecerdasan anak, sehingga program lebih responsif-efektif dan fleksibel dengan
informasi (masukan) hasil penilaian terkini.
5. Pendidik sangat dianjurkan menjalin kemitraan dengan orang tua sebagai orang yang
paling memahami karakteristik individual anak (parent as an expert) sehingga arah
pencerdasan anak semakin selaras dan mendapat titik temu (disepati bersama)
Tindakan operasional-methodologis yang lebih konkrit tentulah diharapkan terjadi
dalam proses pembelajaran antara pendidik (orang tua) dengan anak usia dini itu sendiri.
Bahkan hal ini merupakan bagian utama yang harus sangat diperhatikan dalam
pengembangan setiap dimensi kecerdasan anak agar senantiasa selaras dengan
perkembangannya. Dengan menghargai anak sebagai individu yang aktif dan memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi (ajaran konstruktivistik), pengakuan atas karakter dasarnya
anak yang berada pada tataran kognitif-konkrit, kesadaran atas proses pelekatan
kecerdasan (memorized) pada anak bersifat akumulatif, tindakan menghormati prinsip
belajar sepanjang hayat (long life education) serta harapan semua dimensi kecerdasannya
dapat berkembang dengan baik (sesuai tujuan internal dan instrumental PAUD), maka
penulis (juga dengan menyimak pada pandangan: Piaget, Vygotsky, Montessori, Erikson,
Smilansky) mengajukan tiga cara utama (strategi umum) yang dapat digunakan para
pendidik untuk mengembangkan kecerdasan jamak pada anak usia dini, yaitu dengan:
1. Memberikan kesempatan eksplorasi yang memadai pada setiap anak
Eksplorasi merupakan kesempatan anak untuk menelusuri dan memanipulasi sesuatu
secara fisik. Kesempatan tersebut merupakan ‘sesuatu’ yang luar biasa untuk
mendapatkan informasi (kecerdasan) melalui segenap inderanya. Dengan fitrah
kekuatan rasa ingin tahu yang tinggi dari setiap anak, maka eksplorasi merupakan
landasan dari sebagian besar pengembangan kecerdasan jamak anak. Agar eksplorasi
menjadi efektif dalam pengembangan potensi kecerdasan jamak setiap anak,
hendaklah pendidik (orang tua):
a. Memberikan keleluasaan dalam mengekplorasi setiap bagian objek (unit objek)
b. Memberikan waktu yang cukup, bahkan lebih kepada anak untuk kegiatan
eksplorasi
c. Berhati-hati dalam mengalihkan anak, jangan sampai merusak fokus
pengembangan kecerdasannya (Penerapan prinsip 3J: Jangan Marah Dulu, Jangan
Melarang Dulu, Jangan Menyuruh Dulu, ilustrasi dan penerapannya dijelaskan pada
saat presentasi)

d. Mendukung dengan lingkungan, material yang lebih kaya, bermakna dan


fungsional
e. Menyediakan diri sebagai ‘fasilitator’ yang signifikan untuk menggenapi
kecerdasan anak.

2. Meningkatkan mutu interaksi pedagogis dengan anak


Interaksi merupakan hubungan timbal-balik dengan anak, yang tentunya pengaruhnya
juga akan bersifat ‘timbal-balik’ dan membekas. Dengan kesadaran bahwa interaksi
akan memberi pengaruh yang membekas dan berdampak pada kecerdasan anak, maka
interaksi merupakan media fungsional dalam mengembangkan dan meningkatkan
kecerdasan jamak anak. Agar interaksi menjadi efektif bagi pengembangan
kecerdasan anak, maka dalam interaksi pendidik (orang tua) hendaklah:
a. Terampil memberi respon yang dapat memperkaya bahasa anak
b. Menggunakan kata-kata atau kalimat yang dapat membangun karakter positif
anak
c. Memelihara bahasa komunikasi dengan ucapan (lafal), makna dan struktur yang
baik dan benar
d. Bersikap dan berperilaku selaras dengan ucapan dan yang semestinya
e. Jangan memutus-memotong tunas potensi bahasa anak, terutama bahasa ekpresif
anak, ilustrasi dan penerapannya dijelaskan pada saat presentasi)

3. Memberikan dukungan logika yang efektif dan tepat


Logika adalah ketepatan dalam berpikir dan merupakan bagian penting yang harus
‘dipahami dan diasah’ karena merupakan dimensi kecerdasan jamak yang utama.
Cara berpikir anak usia dini masih konkrit, untuk itu perlu mendapatkan dukungan
dari pendidik (orang tua) sehingga dapat berkembang dengan baik, cara efektif yang
dapat dilakukan untuk pengembangan logika anak diantaranya:
a. Dengan mengajukan pertanyaan secara efektif (emergence, kontekstual,
mengungkap-menggiring pada menggali yang tersembunyi-tidak nampak)
b. Dengan menunjukkan phenomena-gejala-obyek secara tepat dan fokus; yang
diiringi keyakinan bahwa anak-anak melihatnya/memperhatikannya dengan baik
c. Dengan memberikan penjelasan dan arahan yang sederhana dan mudah dipahami
atau simple ilustration (simplified teaching, exposes, demonstration)
d. Dengan memberikan ilustrasi dan demostrasi pengulangan yang memadai
sehingga fungsi penyimpanan dalam otak (memorized) bekerja dengan efektif.
e. Dengan memberikan kesempatan terlibat dengan dan atau seperti obyek, gejala,
prosedur, dan logika yang diperkenalkan atau yang dikembangkan

Dari tiga strategi utama di atas, secara teknis para pendidik (orang tua) dapat
mengidentifikasi berbagai kegiatan ‘spesifik’ yang dapat didesain secara khusus dan
dapat menjadi bagian terintegrasi dari praktek pengajaran di PAUD, bahkan dengan
menggunakan pendekatan ‘dimensional’ per aspek kecerdasan jamak atau berdasar
parsial setiap jenis kecerdasan jamak, maka kecerdasan anak dapat dikembangkan secara
optimal. Berikut gambaran kegiatan spesifik dan dimensi atau aspek kecerdasan yang
dapat dikembangkannya, misalnya:

Dimensi Fasilitasi Media dan Sumber Orientasi Dewasa


Kecerdasan Pengembangan Belajar Alternatif
Ruang/Gambar • Bermain main puzzle- • Teka-teki • Ahli rancang
(Pandangan) maze • Buku bergambar- gambar
• bercakap-cakap alat tulis, alat lukis • Ahli kerajinan
dengan gambar-foto • Foto-foto • Ahli Mechanik
• Menggambar, • Peta • Therapist
mencoret-coret, • Grafik-diagram • Psychologists
mendesain • Maze • Philosophers
• Kegiatan mind-• Video, film, slide • dll
mapping • Kunjungan ke
• Sediakan perpustakaan museum
gambar • dll
• permainan imajinasi,
• dll
Bahasa • Membaca • Alat tulis-menulis, • Guru-pendidik
• Menulis • Buku • Pengacara
• Bercerita • Kamus • Orator
• Diskusi-debat • Tape • Pembaca Berita
• bermain dgn • Mesin ketik / • Penulis buku-cerita
permainan kata-kata computer pengolah • Pendongeng
(tebak kata) kata • Dalang
• Mendengar kaset • Dll • Pembaca puisi-
cerita sajak
• Monolog • Reporter
• Menuliskan ide • dll
• Mencari kata
• Mendengarkan puisi
• Menonton wayang
• Belajar bahasa kedua
(bahasa asing)
• dll
Logika • Menghitung obyek • Media bermain • Ahli Mathematika
Matematika atau Menghitung di otak berhitung • Insinyur
• Bermain dengan • Kalkulator (Engineers)
strategi • Bahan-bahan • Ahli Fisik
• Latihan mengestimasi untuk melakukan • Ilmuwan
• Melakukan eksperimen, (Scientists)
Eksperimen, • bahan-bahan IPA, • Peneliti-
• Percobaan ilmiah, • kunjungan ke Investigation
• Selesaikan masalah, planetarium dan • Programer
• dll museum IPA komputer
• dll • dll
Fisik dan • Menari • Alat-alat penujang • Atlet, olaragawan
Gerak • Berlari olah raga • Ahli kerajinan
• Membentuk • Perabot rumah (Handicrafts-
• Menyentuh tangga: sendok, Craftsmen)
• Olahraga garpu, dll • Pandai menari
• Gerak tubuh • Perabo (dancers)
• Mainkan drama pertukangan: Palu, • dll
• Relaksasi obeng, dll
• Meraba-utak-atik • Lilin-plastisin
(koordinasi tangan-mata) mainan
• Bermain tebak • Alat-alat menari-
gerakan bermain dama
• Cari ide gerak saat • Media kerajinan
olah raga tangan
• Belajar kerajinan • dll
tangan
• dll
Musik dan • Berdendang- • Koleksi • Penyanyi
Ritme bersenandung musik/lagu • Pemusik
• Bernyanyi sendiri • Radio Tape • Pencipta lagu
atau bersama (teman) • Alat musik • Penilai music
• Memperdengarkan • Teks lagu / bacaan • dll
sebanyak mungkin music Al-Qur’an (lagu
• Bersiul, rohani)
• Mengetuk-ngetuk • dll
dengan kaki dan tangan,
• Mengaji
• dll

Interpersonal • Berlatih berteman • Mainan halma-ular • Politikus


• Diperkenalkan dengan tangga, catur, • Kiai/pendeta,
orang baru monopoli, dll • Pekerja sosial
• Kesempatan bersama • Alat ke pesta • Motivator,
dan bekerja sama, (baju, dll) • Dll
• Kesempatan • Perangkat bermain
memimpin, peran (role play),
• •
Kesempatan mengatur dll
dan bertindak sebagai
penengah
• Berhadapan dengan
bersukaria
• Bermain peran (sosio-
drama)
• dll
Intrapersonal • Menyusun tujuan • Buku harian • Novelist
(cita-cita) • Alat untuk • Therapist
• Membuat pilihan- • Ekspresi diri, • Psychologists
pilihan missal: cermin • Philosophers
• Berperan sebagai • Ruang merenung • dll
penengah • dll
• Mengingat-mencatat
mimpi
• Kesempatan
merenungkan hari-hari
• dll
Alam • Berkebun: menanam • Tumbuhan • Petani/Farmer
benih dan mengamati • Bijian-bijian benih • Pemburu/Hunters
pertumbuhannya, • Lingkungan alam: • Tukang Taman/
• melakukan sawah, kebun, dll Gardeners
penyelidikan terhadap • Binatang • Ahli pertanian
alam, peliharaan /Horticulturist
• Bermain-interaksi • kaca pembesar, • Peternak handal
dengan binatang, teleskop, dll • dll
membesarkan binatang, • Bebatuan
• menetaskan telur, • dll
mengamati burung
• berbaring dihalaman
dan menatap ke langit
• mengumpul bebatuan,
• menghargai planet
bumi
• membaca
buku/majalah ttg alam
• dll
Eksistensial • Mengunjungi- • Teman yang sakit • Pemimpin
menjenguk orang sakit, atau kena musibah • Philosop
• Film atau video • Penemu
• Kesempatan • Ruang atau tempat • Orang bijak
memandang dari sudut merenung • dll
luas atau sudut lain • dll

• Kesempatan
merenung,

• Kesempatan
membandingkan sesuatu

• Dll

Untuk menguasai dengan baik tiga cara utama dan teknis-teknis pengembangan
kecerdasan jamak di atas tentulah setiap pendidik (orang tua) harus terus berlatih dan
berusaha menjadi ‘diri’ yang efektif sebagai ‘agen’ pengembang kecerdasan jamak setiap
anak. Untuk itu mulai sekarang, mulai saat ini harus membiasakan diri :
1. Membiasakan diri merekam-mencatat perangai, perilaku dan dinamika anak dengan
catatan dan keterangan yang terbaca dan memadai.
2. Senantiasa menghargai potensi awal anak (sekecil apapun), sebagai tunas potensi
yang berharga dan luar biasa dalam pengembangan berbagai dimensi kecerdasannya
3. Senantiasa mencocokan tindakan dan fasilitasi sesuai arah perkembangan anak
(Wahai pendidik: ubah dirimu sesuai tuntutan “gambaran’anak-anakmu)
4. Senantiasa mengembangkan kepekaan dan emphatik terhadap kebutuhan perlakuan
sesuai harapan dan arah kecerdasan anak-anak (agar terjadi emphatic teaching-
spontaneous teaching-emergence teaching yang terkendali dan efektif)
5. Senantiasa mencari media, bahan, alat dan sumber belajar yang paling efektif dan
terperbaharui dari waktu ke waktu. Material tersebut sangat melimpah di sekitar kita,
untuk itu bukalah mata dan tingkatkan kreatifitas Anda.
6. Tambahan penyempurna, (jika memungkinkan?!) Kembangkan model-model lesson
study dan classroom action research, sehingga perencanaan, pelaksanaan dan
pengembangan pembelajaran untuk peningkatan kecerdasan anak semakin selaras
dengan tuntutan kecerdasan jamak anak. (ini sebetulnya cukup mudah untuk
diterapkan di PAUD).
Kepustakaan:
Bredekamp, Sue; Copple, Carol (editors). (1997). Developmentally Appropriate Practice
in Early Childhood Programs (revised edition). Washington, DC: National
Association for the Education of Young Children (NAEYC).
Bredekamp, Sue; Rosegrant, Teresa (editors). (1987). Reaching Potentials: Appropriate
Curriculum and Assessment for Young Children, Volume I. Washington, DC:
National Association for the Education of Young Children (NAEYC).
Downs, J., Blagojevic, B., Labas, L., Kendrick, M., & Maeverde, J. (2005). Thoughtful
Teaching: Developmentally Appropriate Practice. In Growing Ideas Toolkit

http://www.ccids.umaine.edu/ec/growingideas/dapres.htm

Apr 1, '08 6:36 AM


STRATEGI DAN INOVASI PEMBELAJARAN SISWA SD
for everyone
STRATEGI DAN INOVASI PEMBELAJARAN SISWA SD

Ibarat seorang jenderal dalam kemiliteran, guru dituntut memiliki siasat atau
strategi dalam melaksanakan tugas mengajarnya. Strategi dalam belajar mengajar
dimaksudkan untuk mensiasati anak didik agar terlibat aktif belajar. Kemampuan guru
dalam memahami dan mengimplementasikan strategi (mengajarnya) merupakan hal yang
sangat penting dalam semua peristiwa belajar mengajar.
Kata Strategi berasal dari kata Strategos (Yunani) atau strategus. Strategos berarti
jenderal atau perwira negara (state officer). Jenderal inilah yang bertanggungjawab
merencanakan suatu strategi dan mengarahkan pasukannya untuk mencapai kemenangan,
begitupun tanggungjawab guru dalam kelas mensiasati anak didik sehingga tercapai
tujuan pembelajaran peserta didiknya.untuk itulah diperlukan inovasi pembelajaran
peserta didik,dalam hal ini pembelajaran untuk siswa SD.
Dalam perkembangannya, konsep strategi telah digunakan dalam berbagai situasi,
termasuk situasi pendidikan.Implementasi konsep strategi dalam kondisi belajar mengajar
ini sekurang – kurangnya melahirkan pengertian berikut.
1. Strategi merupakan suatu keputusan bertindak dari guru dengan menggunakan
kecakapandan sumber daya pendidikanyang tersedia untuk mencapai trujuan
melalui hubungan yang efektif antara lingkungan dan kondisi yang paling
menguntungkan.
2. Strategi merupakan garis besar haluan bertindak dalam mengelola prosese belajar
mengajar untuk mencapaio tujuan pengajaran secara efektif dan efisien.
3. Strategi dalam proses belajar mengajar merupakan suatu rencana yang
dipersiapkan secara seksama untuk mencapai tujuan - tujuan belajar.
4. Strategi merupakan pola umum perbuatan guru-peserta didik didalam
perwujudan kegiatan belajar mengajar .

Perlu dijelaskan pula, bahwa strategi belajar mengajar bukan desain instruksional
seperti PPSI (Prosedur pengembangan sistim instruksional), Satpel (Satuan Pelajaran)
atau sejenisnya, Strategi belajar mengajar lebih luaas dari semua itu. Mempertimbangkan
suatu strategi bearti mencari dan memilih model dan pendekatan proses belajar mengajar
yang didasarkan atas karakteristik dan kebutuhan belajar peserta didik dan kondisi
lingkungan serta tujuan yang akan dicapai.
Dengan kata lain strategi belajar mengajar merupakan siasat guru untuk
mengoptimalkan interaksi antara peserta didik dengan komponen komponen lain dari
sistem instruksional secara konsisten.
Berbicara strategi belajar mengajar, tidak bisa dipisahkan dengan metode
mengajar. Karena metode ini merupakan cara – cara yang ditempuh guru untuk
menciptakan situasi pengajaran yang menyenangkan dan mendukung bagi kelancaran
proses belajar dan tercapainya prestasi belajar anak yang memuaskan. Sunaryo (1995)
menunjukan adanya pola dasar yang menjadi rujukan dalam rangka implemetasi DAP
(Developmentally Appropriate Practice).
Sebenarnya metode mengajar yang dapat dipelajari guru sesuai dengan pola dasar
tersebut adalah demikian banyak. Akan tetapi yang akan diperkenalkan paling tidak
dengan 10 metode mengajar, yaitu metode ceramah, tanya jawab, diskusi, kerja
kelompok, pemberian tugas, demonstrasi, simulasi, inkuiri dan metode pengajaran unit-
pembelajaran terpadu.
Dalam kesempatan ini penulis akan menyampaikan dua metode terakhir yaitu
metode inkuiri dan metode pengajaran unit. Karena metode ini merupakan metode yang
relatif baru yang diperkenalkan kepada guru-guru bersamaan dengan meluasnya CBSA.
Metode inkuiri disebut juga metode penemuan yang sangat penting untuk dilakukan
peserta didik usia sekolah dasar.
Metode inkuiri ini dapat dirancang penggunaannya oleh guru menurut
kemampuan mereka atau menurut tingkat perkembangan intelektualnya. Bukankah
mereka memiliki sifatnya yang aktif ingin tahu yang besar, terlibat dalam suatu situasi
secara utuh dan reflek terhadap sesuatu proses dan hasil-hasil yang ditemukan.
Metode penemuan adalah cara penyajian pelajaran yang memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk menemukan inpormasi dengan aktif tanpa bantuan guru.
Metode penemuan melibatkan peserta didik dalam proses-proses mental dalam rangka
pengembangannya. Metode ini memungkinkan para peserta didik menentukan sendiri
informasi-informasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya.

Adapun tujuan metode penemuan adalah :


1. Meningkatkan keterlibatan peserta didik dalam menemukan dan memproses
bahan pelajarannya.
2. Mengurangi ketergantungan peserta didik pada guru untuk mendapatkan
pengalaman belajarnya.
3. Melatih peserta didik menggali dan memanfaatkan lingkungan sebagai sumber
belajar yang tidak ada habisnya.
4. Memberi pengalaman belajar seumur hidup.

Alasan penggunaan metode penemuan :


1. Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat
2. Belajar tidak hanya dapat diperoleh dari sekolah tetapi dari lingkungan sekitar.
3. Melatih peserta didik untuk memiliki kesadaran sendiri kebutuhan belajarnya.
4. Penanaman kebiasaan untuk belajar berlangsung seumur hidup.

Kekuatan metode penemuan


Kekuatan metode inkuiri adalah :
1. Menekankan kepada proses pengolahan informasi oleh peserta didik sendiri.
2. Membuat konsep diri peserta didik bertambah dengan penemuan-penemuannya
yang diperoleh.
3. Memiliki kemungkinan besar untuk memperbaiki dan memperluas penyediaan
dan penguasaan keterampilan dalam proses kognitif para peserta didik.
4. Penemuan-penemuan yang diperoleh peserta didik dapat menjadi kepemilikannya
dan sangat sulit melupakannya.
5. Tidak menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar karena peserta didik
belajar dengan memanfaatkan berbagai jenis sumber belajar.

Metode Pengajaran Unit


Metode pengajaran unit amatlah sesuai dilihat dari pendekatan DAP karena
melalui pengajaran ini keunikan atau keragaman dan berbagai tingkatan perkembangan
peserta didik dapat diakomodasikan. Pengajaran bisa menjadi lebih terbuka dengan
tersedianya berbagai kesempatan bagi si anak memiliki kegiatan belajar. Suatu
pengajaran unit bisa menjadi ”harinya” bagi si anak.
Pengajaran unit lebih dikenal dengan istilah ”unit teching” merupakan pengajaran
yang mengarahkan kegiatan peserta didik pada pemecahan suatu masalah yang
dirumuskan dahulu secara bersama-sama. Metode pengajaran unit didefinisikan sebagai
cara penyajian pembelajaran yang bertitik tolak dari suatu masalah, kemudian dibahas
dari berbagai segi yang berhubungan sehingga pemecahanya secara keseluruhan dan
bermakna. Dalam perkembangan terakhir ini pengajaran unit sering diungkapkan sebagai
pembelajaran berkorelasi atau pembelajaran terpadu.

Terdapat beberapa jenis pemecahan masalah dalam pengajaran unit yaitu :


1. Keterhubungan antar dua atau lebih masalah, konsep, keterampilan, tugas, atau
ide-ide lain di dalam satu bidang study yang dikenal dalam pembelajaran terpadu
sebagai Model Terhubung. ( Connetec; Model )
2. Jaringan topik yaitu pemecahan masalah yang melibatkan penetapan tema dan
beberapa topik atau sub tema dalam berbagai bidang study, yang dalam
pembelajaran terpadu dikenal sebagai model Jaring Laba-Laba ( Webbel; Model)
3. Lintas bidang study yaitu pemecahan masalah yang melibatkan adanya perioritas
kurikuler dan menemukan pengetahuan atau konsep keterampilan dan sikap yang
tumpang tindih ( Operlapping ) dari bebarapa bidang study yang dalam
pembelajaran terpadu dikenal dengan sebutan Model Terpadu itu sendiri
( Integrated Model).

Adapun tujuan dan penggunaan metode pengajaran unit adalah :


1. Melatih peserta didik berpikir komperehensif dengan cara mengkaji dan
memecahkan permasalahan dari berbagai disiplin ilmu atau berbagai aspek.
2. Melatih peserta didik menggunakan keterampilan proses atau metode ilmiah
dengan pemecahan msalah.
3. Terbentuk sikap kritis, kerjasama, rasa ingin tahu, menghargai waktu dan
menghargai pendapat orang lain.
4. Melatih peserta didik agar memiliki kemampuan merencanakan mengorganisasi
dan memimpin suatu kegiatan.
5. Mengembangkan keterampilan berkomonikasi.

Kekuatan dan Keterbatasan Metode Pengajaran Unit


A. Kekuatan Metode Pengajaran Unit
Berbagai kekuatan penggunaan Metode Pengajaran Unit ini, adalah :
1. Membantu peserta didik lebih berpikir komperehensif.
2. Memperluas wawasan peserta didik dalam ilmu pengetahuan dengan
keanekaragaman sumber informasi.
3. Memperhatikan karaktersitik peserta didik secara khusus.
4. Menciptakan iklim demokratis dalam belajar dimana peserta didik dapat
menentukan rencana bersama guru tentang topik yang akan dibahas.
5. Pengajaran unit disesuaikan dengan tingkat perkembangan minat dan bakat
peserta didik sehingga pengajaran akan lebih bermakna.
B. Keterbatasan Metode Pengajaran Unit
Adapun berbagai keterbatasan kegunaan metode ini adalah :
1. Sulit menentukan topik yang sesuai dengan minat, bakat dan perkembangan anak.
2. Memerlukan kecakapan khusus dalam melaksanakan pengajaran unit.
3. Memerlukan biaya yang cukup besar.
4. Memerlukan waktu yang cukup lama.
5. Kemungkinan pemecahan masalah yang kabur dan dangkal karena ditinjau dari
berbagai disiplin ilmu dan tidak semua disiplin ilmu dapat dikuasai peserta didik
dengan baik.
Demikianlah Strategi Dan Inovasi Pembelajaran Untuk Siswa SD yang penulis sajikan.

Renstra Kemendiknas 2010-2014 lebih manusiawi


Leo Sutrisno

Hakekat manusia dapat didalami melalui tiga aspek, yaitu: sosialitas, historisitas, dan individualitasnya.
Sosialitas manusia mengakui bahwa setiap manusia itu memerlukan relasi dengan yang lain. Setiap
manusia memerlukan hubungan dengan yang lain. Kita tidak hidup sendirian di sebuah pulau. Tetapi, kita
hidup bersama dengan yang lain.

Aspek hitorisitas manusia merujuk pada kenyataan bahwa masa lampau setiap orang
mewarnai masa kininya dan masa kini mengarahkan masa depannya. Itu berarti bahwa
setiap orang merupakan pelaku sejarah. Kita membuat sejarah hidup kita sendiri.

Aspek individualitas manusia menyatakan bahwa setiap orang itu unik dan otonom. Unik
berarti bahwa setiap orang itu tidak ada duanya. Setiap manusia berbeda satu dengan
yang lain. Otonom berarti setiap menusia mempunyai wewenang mengeloloa hidupnya
sendiri. Kita satu sama laim memang berbeda. Kita juga tidak dapat mengarahkan orang
lain. Masing-masing otonom.

Di dalam manusia yang utuh terkandung ketiga aspek itu secara seimbang. Kita selalu berelasi dengan yang
lain. Kita sadar bahwa diri kita masing-masing adalah pembuat sejarah hidup kita. Tetapi, di atas semua itu,
kita adalah kita sendiri, yang unik dan otonom.

Pendidikan yang manusiawi mesti diarahkan untuk membantu setiap peserta didik
menjadi manusia yang utuh itu. Pendidikan yang membuat seseorang menjadi mandiri
[unik dan otonom] yang mampu bersinergi dengan yang lain [berelasi dengan yang lain]
dan visionair [menyejarah ke masa depan].

Hingga saat ini, pendidikan di Indonesia belum mengarah ke sana. Pendidikan di


Indonesia lebih menekankan aspek sosialitas manusia. Atas nama kerukunan, otonomi
seseorang dikesampingkan. Demi kerukunan, dikembangkan sikap untuk tidak terlalu
berbeda dari yang lain, termasuk dalam bertindak tidak jujur. Dengarkan tangisan
masyarakat, ’yang jujur justru yang hancur’.

Walaupun ada mata pelajaran sejarah, pendidikan Indonesia tidak membuat orang
menjadi pelaku sejarah hidupnya masing-masing. Kita bisa saksikan orang beramai-ramai
mengubah dirinya menjadi orang barat. Jika tidak mampu secara mental, yang diubah
fisiknya, misalnya: rambut menjadi pirang. Kita saksikan mereka bukan lagi seorang
Indonesia, tetapi orang Barat yang sawo matang.

Mari kita cermati arti pendidikan yang dinyatakan dalam Undang-undang Sistem
pendidikan Nasional [No. 20 tahin 2003]. Pada Bab I, Pasal 1, Ayat 1 ditulisakan bahwa
pendidkan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

PEMBENTUKAN MANUSIA SEUTUHNYA ATAU MANUSIA PANCASILA


Di Indonesia dikenal pengertian manusia seutuhnya. Menurut Pedoman dan Penghayatan
Pancasila, setiap manusia memounyai keinginan untuk mempertahankan hidup, dan
menjaga kehidupan yang lebih baik. Ini merupakan naluri yang paling kuat dalam diri
manusia.
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa dan Negara memberikan pedoman bahwa
kebahagiaan hidup manusia itu akan tercpai apabila kehidupan manusia itu diselaraskan
dan keseimbangan, baik hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan
masyarakat, dalam hubungan manusia dengan alam, dalam hubungan manusia dengan
bangsa, dan dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, maupun dalam mengejar
kemajuan lahiriah dan kebahagiaan rokhaniah.
Pancasila menempatkan manusia dakam keseluruhan harkat dan martabatnya mahluk
Tuhan Yang Maha Esa. Manusialah yang menjadi titik tolak dari usaha kita untuk
memahami manusia itu sendiri, manusia dan masyarakatnya, dan manusia dengan
segenap lingkungan hidupnya. Adapun manusia yang kita pahami bukanlah manusia
yang luar biasa, melainkan manusia yang disamping memiliki kekuatan juga manusia
yang dilekati dengan kelemahan-kelemahan, manusia yang disamping memiliki
kemampuan-kemampuan juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan, manusia yang
disamping mempunyai sifat-sifat yang baik memounyai sifat-sifat yang kurang baik.
Manusia yang hendak kita pahami bukanlah manusia yang kita tempatkan di luar batas
kemampuan dan kelayakan manusia tadi. Manusia sebagai mahluk Tuhan adalah mahluk
pribadi, sekaligus mahluk social. Sifat kodrati manusia sebagai individu dan sekaligus
sebagai mahluk social merupakan kesatuan bulat. Perlu dikembangkan secara seimbang,
selaras dan serasi.
Perlu disadari bahwa manusia hanya mempunyai arti dalam kaitannya dengan manusia
lain dalam masyarakat. Manusia hanya mempunyai arti dan dapat hidup secara layak
diantara manusia lainnya. Tanpa ada manusia lainnya atau tanpa hidup bermasyarakat ,
seseorang tidak dapat menyeenggararakan hidupnya dengan baik. Dalam
mempertahankan hidup dan usaha mengejar kehidupan yang lebih baik, mustahil hal itu
dikerjakan sendiri oleh seseoarang, tanpa bantuan dan kerjasama dengan orang lain dalam
masyarakat.
Kekuatan manuasia pada ddasarnya tiodak terletak pada kemampuan fisiknya atau
kemampuan jiwanya semata-mata, melainkan terletak pada kemampuannya untuk
bekerjasama dengan manusia lainnya. Dengan manusia lainnya dalam masyarakat itulah
manusia menciptakan kebudayaan, yang pada akhirnya membedakan manusia dari
segenap mahluk hidup yang lain, dan mengantarkan umat manusia ke tingkat mutu,
martabat dan harkatnya sebagaimana manusia yang hidup pada zaman sekarang dan
zaman yang akan datang.
Kesadaran akan hal-hal yang tersebut di atas selanjutnya menumbuhkan kesadaran,
bahwa setiap manusia terpanggil hatinya untuk melakukan apa yang baik untuk orang
lain dan masyarakat. Semuanya itu melahirkan sifat dasar, bahwa untuk mewujudkan
keselarasan, keserasian, dan keseimbanagn dalam hubungan social antar manusia pribadi
dengan masyarakat, manusia perlu mengendalikan diri.
Dalam masyarakat Indonesia yang sangat beranekaragam coraknya, kemauan dan
kemampuan mengendalikan diri pada kepentingan adalah suatu sikap yang mempunyai
arti sangat penting dan merupakan sesuatu yang sangat diharapkan, yang pada gilirannya
akan menumbuhkan keseimbangan dan stabilitas masyarakat. (dalam kaitan ini
hendaknya dibaca 36 butir wujud Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, sebagaimana
ditunjukkan oleh Ketetapan MPR No II/MPR/1978).
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila menegaskan pandangan social yang
berdiri di atas paham keseimbangan tidaklah mengingkari, bahwa masyarakat itu
senantiasa bergerak, berubah, berkembang dan dinamis. Namun demikian, kita
beranggapan, bahwa yang wajar, yang dicari oleh manusia bukanlah perubahan atau
dinamika itu sendiri, melainkan keseimbangan segala sesuatu dalam masyarakat untuk
mencapai tujuan kebahagiaan.
Masalah perubahan social itu merupakan tantangan bagi kita semua, kita pelajari secara
teliti dan kita perhatikan sebagai factor yang mempengaruhi terutama dalam zaman
dimana ilmu dan teknologi telah berkembang sedemikian pesatnya . bagi bangsa
Indonesia, tujuan pengembangan masyarakat adalah manusia seutuhnya dan
pembangunan seluruh rakyat Indonesia.dari sejarah umat manusia secara keseluruhan
diketahui bahwa kebudayaan manusia itu tidak sekaligus jadi, seperti keadaannya
sekarang, melainkan melalui proses evolusiyang memakan waktu ribuan tahun. Demikian
pula halnya perkembangan manusia secara perseoranganpun melalui tahap-tahap yang
memakan waktu belasan atau bahkan puluhan tahun sebelum orang itu menjadi dewasa.
Upaya pendidikan memperhatikan tahap-tahap perkembangan seseorang dalam rangka
memberikan pelayanan yang tepat bagi setiap orang yang sedang menjalani
pendidikannya. Demikianlah, berbagai kekhususan masa-masa perkembanagn tertentu
selanjutnya menjadi bahan pertimbangan bagi usaha-usaha pendidikan dari berbagai
jenjang dan jenis pendidikan. Keberadaan manusia seperti disinggung di atas, membawa
dampak yang besar bagi usaha-usaha pendidikan.
Dalam kaitan ini, usaha pendidikan pada dasarnya diarahkan terhadap pengembangan
kososialan, dimensi kesusilaan dan dimensi keberagaman berbeda dari mahluk-mahluk
lain, manusia sebagai mahluk yang berderajat lebih tinggi, diperlengkapi dengan berbagai
potensi dan susunan tubuh yang memungkinkan ia berkembang menjadi manusia
seutuhnya berkembang dalam berbagai dimensi secara mantap.
Perkembangan dimensi keindividuan memungkinkan seseorang memperkem-bangkan
segenap potensi yang ada pada dirinya secara optimal mengarah pada aspek-aspek
kehidupan yang positif. Minat, bakat, kemampuan dan berbagai fungsi psikis dan biologis
berkembang dalam rangka dimensi keindividualan ini. Perkembangan dimensi
keindividuan memungkinkan seseorang menjadi individu yang mampu tegak berdiri
dengan kepribadiannya sendiri. Perkembangan dimensi kesosialan memungkinkan orang
tersebut mampu berinteraksi , berkomunikasi, bergaul dan hidup bersama orang lain.
Selain makhluk hidup pribadi manusia adalah makhluk sosial. Aspek pribadi dan sosial
itu saling berinteraksi dan dalam interaksi itulah keduanya saling bertumbuh, saling
mengisi dan saling menentukan makna yang sesungguhnya. Pertemuan dimensi
keindividualan, dan dimensi kesosialan menuntut dikembangkannya dimensi yang ketiga
yaitu dimensi kesusilaan. Memang dimensi kesusilaan hanya mungkin dan perlu timbul
apabila seseorang berada berasama orang lain. Moral, estetika dan berbagai aturan
lainnya itulah yang mengatur bagaimana hubungan itu seharusnya dilaksanakan seadanya
saja, apalagi semau gue saja.
Hidup berasama orang lain perlu diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga semua
orang yang berada di dalamnya memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari
kehidupan bersama itu. Dimensi kesusilaan yang lain itu dapat bertemu dalam satu
kesatuan yang bermakna. Dapat dibayangkan bahwa tanpa dimensi kesusilaan
bekembangnnya dimensi keindividualan dan dimensi kesosialan akan tidak serasi, bahkan
dapat saling bertabrakan, yang satu cenderung mengalahkan yang lain.
Perkembangan ketiga dimensi diatas memungkinkan manusia bergerak dalam bidang
kehidupan kemanusiaan. Namun perlu diingat bahwa ketiga dimensi tersebut baru
mampu membentuk bidang kehidupan yang mampu menampung isi kehidupan secara
menyeluruh dan mantap. Perlu pula diperhatikan bahwa bidang kehidupan duniawi
belaka. Dengan demikian, manusia yang hidupnya hanya didasarkan pada perkembangan
ketiga dimensi tersebut, jelas baru menjangkau bidang kehidupan keduniawian semata-
mata.
Manusia seutuhnya pastilah bukan manusia yang semata-mata hidup dalam bidang
keduniaan, melainkan yang juga mampu menjangkau isi hidup keakhiratan. Untuk itu
perlu diperkembangkan dimensi yang keempat, yaitu dimensi keberagamaan. Dalam
dimensi ini manusia memperkembangkan diri dalam kaitannya dengan Allah, Tuhan
Yang Maha Esa. Dengan berkembangnya secara mantap dimensi yang keempat itu, akan
lengkaplah perkembangan manusia dan mungkinlah manusia itu menjadi manusia yang
seutuhnya.
Dengan keempat dimensi tersebut manusia akan mampu membentuk wadah
kehidupannya secara matap dan selanjutnya mengisi kehidupan itu secara penuh.
Maka dari keseluruhan perkembangan itu menjadi lengkap dan utuh dalam semua sisinya,
sisi individu dan sosialnya, sisi dorongan yang harus dipenuhi dan estetika
pemenuhannya, sisi dunia dan akhiratnya, serta sisi hubungan dengan sesama manusia
dan hubungan dengan Tuhan. Dengan dimensi keempat itu pula kehidupan manusia
ditinggikan derajatnya, sesuai dengan ketinggian derajat manusia dibandingkan dengan
makhluk-makhluk lainnya.

Anda mungkin juga menyukai