Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PERSEKONGKOLAN TENDER

(Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999)

Aditya Purnama, Dedy Handoko, Masri Rumita


Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Email: rumitha.sibuea@yahoo.com

Abstract

Tender conspiracy is an old story that still occur. Climate is unhealthy business
competition is the root of this problem, to the need for legal instruments and the
competition watchdog. In Indonesia are Law No. 5 of 1999 and as an institution is
a business competition supervisory commission (the Commission). current tender
conspiracy not only violates the provisions in Law No. 5 of 1999 but today has
spread to the criminal acts of corruption.

Key Words: Tender Conspiracy, Corruption, Business Competition

Abstrak

Persekongkolan tender merupakan cerita lama yang sampai sekarang masih saja
terjadi. Iklim persaingan usaha yang tidak sehat merupakan akar dari
permasalahan ini, untuk itu diperlukannya instrumen hukum dan lembaga
pengawas persaingan usaha. Di Indonesia terdapat Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dan sebagai lembaganya adalah Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU). Saat ini persekongkolan tender bukan hanya melanggar pasal-pasal yang
ada di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 namun dewasa ini sudah menjalar
pada tindak pidana korupsi.

Kata Kunci: Persekongkolan Tender, Korupsi, Persaingan Usaha

1
A. Pendahuluan
Persaingan usaha dalam arti adanya suatu situasi yang bebas dalam
kesempatan berusaha, didalamnya terkandung unsur-unsur yang dapat mendorong
percepatan bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan negara tetapi di lain
pihak terdapat juga unsur-unsur yang justru menghambat tujuan tersebut, dalam
tatanan kehidupan perekonomian suatu bangsa atau negara diperlukan adanya
pengaturan mengenai batas-batas yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam
persaingan usaha. Salah satu hal yang tidak boleh dilakukan adalah
persekongkolan tender.
Istilah persekongkolan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat diatur dalam Pasal
1 angka 8, yaitu bahwa: “Persekongkolan atau konspirasi usaha adalah bentuk
kerja sama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan
maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang
bersekongkol.
Pengertian mengenai persekongkolan dalam Black’s Law Dictionary
(1968:382) yaitu, “is a combination or confederacy between two or more persons
formed for the purpose of committing, by their joint efforts, some unlawfull in
itself, but becomes unlawful when done by the concerted action of the
conspirators, or for the purpose of using criminal or unlawful means to the
commission of an act not in itself unlawful”. Definisi tersebut menegaskan bahwa
persekongkolan harus dilakukan oleh dua pihak atau lebih yang bertujuan untuk
melakukan tindakan/kegiatan bersama (joint efforts) suatu perilaku kriminal atau
melawan hukum.
Larangan persekongkolan mempunyai arti yang sangat khusus dalam
kebijakan persaingan usaha. Karena suatu persekongkolan juga dapat
menciptakan semua hambatan persaingan usaha yang relevan dalam hukum anti
monopoli yang dapat disebabkan oleh suatu perjanjian, maka kebijakan
persaingan menganggap bahwa larangan persekongkolan yang lengkap
merupakan hal yang terpenting untuk mencegah terjadinya persekongkolan (Knud
Hansen, 2002:309).

2
Pengertian tender atau lelang menurut kamus hukum adalah memborong
pekerjaan/menyuruh pihak lain untuk mengerjakan atau memborong pekerjaan
seluruhnya atau sebagian pekerjaan sesuai dengan perjanjian atau kontrak yang
dibuat oleh kedua belah pihak sebelum pekerjaan pemborongan itu dilakukan.
Sedangkan menurut Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (selanjutnya disebut Keppres No.
80 Tahun 2003), tender adalah kegiatan pengadaan barang/jasa yang dibiayai
dengan APBN/APBD, baik yang dilaksanakan secara swakelola maupun oleh
penyedia barang/jasa. Berdasarkan Penjelasan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, tender adalah tawaran mengajukan harga untuk memborong suatu
pekerjaan, untuk mengadakan barang-barang atau untuk menyediakan jasa. Dalam
hal ini tidak disebut jumlah yang mengajukan penwaran (oleh beberapa atau oleh
satu pelaku usaha dalam hal penunjukan/pemilihan langsung). Pengertian tender
tersebut mencakup tawaran mengajukan harga untuk:
1. Memborong atau melaksanakan suatu pekerjaan;
2. Mengadakan barang dan atau jasa;
3. Membeli suatu barang dan atau jasa;
4. Menjual suatu barang dan atau jasa.
Persekongkolan penawaran tender (bid rigging) yang dilakukan dalam
pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan bagian yang paling banyak
dijangkiti oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), sehingga termasuk salah
satu perbuatan yang secara serius memberikan pengaruh negatif bagi
perekonomian nasional. Persekongkolan yang terjadi antara satu atau beberapa
pelaku usaha dengan panitia tender atau panitia lelang, dilakukan mulai dari
rencana pengadaan barang dan jasa dengan menentukan persyaratan kualifikasi
dan spesifikasi teknis yang mengarah pada suatu merek sehingga menghambat
pelaku usaha lain untuk ikut tender. Akibatnya kompetisi untuk memperoleh
penawaran harga yang paling menguntungkan tidak terjadi. Kemudian, pemaketan
pengadaan barang dan jasa yang seharusnya dilaksanakan dengan
mempertimbangkan aspek efisiensi dan efektivitas, namun pada praktiknya

3
banyak yang direkayasa untuk kepentingan KKN. Panitia pengadaan bekerja
secara tertutup dan tidak memberikan perlakuan yang sama diantara para peserta
tender. Tender dilakukan hanya untuk memenuhi persyaratan formal sesuai
dengan ketentuan pengadaan barang dan jasa. Hal ini terjadi karena calon
pemenang biasanya sudah ditunjuk terlebih dahulu pada saat tender berlangsung,
karena adanya unsur suap kepada panitia atau pejabat yang mempunyai pengaruh.
Disamping itu penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau owner’s estimate
(OW) biasanya sudah direkayasa untuk mempunyai margin tertentu yang dapat
disisihkan untuk dibagi-bagi (rente ekonomi atau laba abnormal). bermacam-
macam cara digunakan untuk membatasi informasi tender, diantaranya memasang
iklan palsu di Koran (Nurul Q. M, 2009:8-9), sehingga panitia pengadaan barang
dan jasa telah melanggar Keppres No. 80 Tahun 2003 yang telah diubah dengan
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah, yang mensyaratkan adanya pengumuman kepada masyarakat luas
baik di awal pengadaan maupun hasil akhirnya.
Sebagai lembaga pengemban amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (selanjutnya disebut KPPU) berkewajiban untuk
memastikan terciptanya iklim persaingan usaha yang sehat dan kondusif di
Indonesia. Untuk tujuan tersebut KPPU meletakkan lima program utama, yakni
pengembangan penegakan hukum, pengembangan kebijakan persaingan,
pengembangan komunikasi, pengembangan kelembagaan dan pengembangan
sistem informasi. Dalam periode 2006-2011, kelima program tersebut tetap
menjadi program KPPU, tetapi penekananan lebih dilakukan terhadap dua fungsi
utama KPPU yaitu melakukan penegakan hukum persaingan dan memberikan
saran pertimbangan kepada pemerintah terkait dengan kebijakan yang berpotensi
bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Fungsi penegakan
hukum tersebut bertujuan untuk menghilangkan berbagai hambatan persaingan
berupa perilaku bisnis yang tidak sehat.

B. Persekongkolan Tender dalam Persepsi Persaingan Usaha Tidak Sehat

4
Persekongkolan Tender yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999, bahwa pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat. Dilihat dari pasal tersebut bahwa
perbuatan persekongkolan tender dikatagorikan rule of reason, artinya KPPU
harus membuktikan akibat dari persekongkolan tersebut merugikan atau tidak,
sehingga perbuatan tersebut melanggar atau tidak, sanksinya adalah penghentian
perbuatan tersebut dan ganti rugi, tanpa ada ancaman kurungan badan (lihat pasal
22, 23, 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999).
Kegiatan yang dianggap sebagai per se illegal biasanya meliputi penetapan
harga secara kolusif atas produk tertentu, serta pengaturan harga penjualan
kembali (R. Sheyam Khemani and D. M. Shapiro, 1996:51)
Suatu ketentuan bersifat per se illegal tidak diperlukan lagi pembuktian
dampak larangan tersebut sehingga jika ada pelaku usaha yang melakukan sesuatu
yang dinyatakan secara eksplisit dilarang oleh undang-undang, pelaku usaha
tersebut dinyatakan melanggar, tanpa perlu membuktikan hasil atau akibat
tindakan yang dilakukan.
Baik pendekatan per se illegal maupun rule of reason telah lama diterapkan
untuk menilai apakah suatu tindakan tertentu dari pelaku usaha melanggar
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Pendekatan rule of reason adalah
pendekatan yang digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk
membuat evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu guna
menentukan apakah perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat menghambat atau
mendukung persaingan. Sebaliknya pendekatan per se illegal menyatakan setiap
perjanjian atau kegiatan usaha tertentu ilegal tanpa pembuktian lebih lanjut atas
dampak yang ditimbulkan oleh perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. Kedua
metode pendekatan yang memiliki perbedaan ekstrim tersebut juga digunakan
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, hal ini dapat dilihat dari ketentuan
pasal-pasalnya yakni pencantuman kata-kata “yang dapat mengakibatkan”
dan/atau “patut diduga”. Kata-kata tersebut menyiratkan perlunya penelitian
secara lebih mendalam, apakah suatu tindakan dapat menimbulkan praktik

5
monopoli yang bersifat menghambat persaingan. Sedangkan penerapan
pendekatan per se illegal biasanya digunakan dalam pasal-pasal yang menyatakan
istilah “dilarang”, tanpa anak kalimat “yang dapat mengakibatkan” (A.M. Tri
Anggraini, 2005: 5-6).
Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang
mengkategorikan persekongkolan tender dalam kegiatan yang dilarang. United
Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) memasukkan
persekongkolan tender khususnya tender kolusif dalam kategori perjanjian atau
perilaku yang saling sepakat (restrictive agreement or arrangements).
Pemahaman dari United Nations Conference on Trade and Development
(UNCTAD) tidak jauh berbeda dengan yang diberikan oleh Yurisprudensi
Amerika, dimana perjanjian yang dilandasi dengan suatu kesepakatan baik tertulis
maupun tidak tertulis (lisan), formal maupun tidak formal semuanya dilarang.
Termasuk pula segala perjanjian tanpa memperhatikan, apakah perjanjian tersebut
dibuat dengan maksud yuridis memiliki kekuatan mengikat atau tidak mengikat,
semuanya terkena larangan. Terlebih lagi pada perjanjian informal secara lisan
akan menimbulkan masalah pada pembuktian karena harus dibuktikan bahwa
telah terdapat hubungan komunikasi secara bersama-sama dalam mengambil suatu
keputusan usaha antar perusahaan sehingga berakibat adanya kegiatan yang saling
menyesuaikan atau perilaku yang sejajar.
Jenis perilaku yang ditetapkan secara per se illegal hanya akan dilaksanakan
setelah pengadilan memiliki pengalaman yang memadai terhadap perilaku
tersebut yakni bahwa perilaku tersebut hampir selalu bersifat anti persaingan dan
hampir selalu tidak pernah membawa manfaat sosial. Pendekatan per se illegal
ditinjau dari sudut proses administratif adalah mudah. Hal ini disebabkan karena
per se illegal membolehkan pengadilan untuk menolak melakukan penyelidikan
secara rinci yang biasanya memerlukan waktu lama dan biaya mahal guna
mencari fakta di pasar yang bersangkutan. Pada prinsipnya terdapat dua syarat
melakukan pendekatan per se illegal, yakni pertama harus ditujukan lebih kepada
perilaku bisnis daripada situasi pasar karena keputusan melawan hukum
dijatuhkan tanpa disertai pemeriksaan lebih lanjut, misalnya mengenai akibat dan

6
hal-hal yang melingkupinya. Metode pendekatan ini dianggap fair, jika perbuatan
ilegal tersebut merupakan tindakan sengaja oleh perusahaan yang seharusnya
dapat dihindari. Pertama, identifikasi secara cepat atau mudah mengenai jenis
praktik atau batasan perilaku yang terlarang. Dengan perkataan lain, penilaian atas
tindakan dari pelaku usaha baik di pasar maupun dalam proses pengadilan harus
dapat ditentukan dengan mudah. Meskipun demikian diakui bahwa terdapat
perilaku yang terletak dalam batas-batas yang tidak jelas antara pelaku terlarang
dan pelaku yang sah. Pembenaran substansif dalam per se illegal harus didasarkan
pada fakta atau asumsi bahwa perilaku tersebut dilarang karena dapat
mengakibatkan kerugian bagi pesaing lainnya dan atau konsumen. Hal tersebut
dapat dijadikan pengadilan sebagai alasan pembenar dalam mengambil keputusan.
Oleh karena itu, terdapat dua hal penting yang harus diperhatikan oleh pengadilan,
pertama adanya dampak merugikan yang signifikan dari perilaku tersebut. Kedua,
kerugian tersebut harus tergantung pada kegiatan yang dilarang (Andi Fahmi
Lubis.dkk, 2009: 60-61).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 merupakan lapangan yang baru bagi
perekonomian Indonesia. Derelugasi dan privatisasi, artinya ditinggalkannya
“estatisme” dari dasawarsa-dasawarsa terdahulu belum dapat membawa
pemecahan bagi masalah-masalah kebijakan ekonomi, khususnya yang dialami
oleh negara negara berkembang. Ini disebabkan karena ekonomi yang dibebaskan
dari kendali birokrasi saja belum menjamin bahwa “tangan tidak terlihat pasar”-
menggunakan istilah Adam Smith, pencetus teori ekonomi pasar, pasti akan
berhasil mencapai hasil yang tidak hanya memperhatikan kepentingan pelaku
pasar, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat luas. Negara harus menyediakan
kerangka kerja khusus dalam upaya merekonsiliasi kepentingan individu
perusahaan yang berperan serta pasar dengan kepentingan masyarakat. Salah satu
komponen utama persyaratan kerangka kerja ini adalah kebijakan anti monopoli
(Knud Hansen, 2002 : 6).
Di Indonesia, esensi keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 pasti
memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya yaitu dengan berdirinya
KPPU. KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, di mana dalam

7
menangani, memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak dapat
dipengaruhi oleh pihak mana pun baik pemerintah maupun pihak lain yang
memiliki conflict of interest, walaupun dalam pelaksanaan wewenang dan
tugasnya bertanggung jawab kepada Presiden. KPPU juga adalah lembaga quasi
judicial yang mempunyai wewenang eksekutorial terkait kasus-kasus persaingan
usaha (Hermansyah, 2008: 73).
Iklim persaingan usaha yang sehat akan menjamin tercapainya efisiensi dan
efektifitas sistem perekonomian. Melalui persaingan usaha yang sehat pula, akan
terjamin adanya kesempatan berusaha yang sama antara pelaku usaha besar,
menengah dan kecil. Selain itu, persaingan usaha yang sehat akan meningkatkan
daya saing industri dalam negeri sehingga mampu bersaing baik di pasar domestik
maupun pasar internasional. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa
penegakan hukum persaingan dan implementasi kebijakan persaingan yang efektif
akan menjadi pengawal bagi terimplementasinya sistem ekonomi pasar yang
wajar, yang akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Implementasi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 oleh KPPU telah
dijalankan selama beberapa tahun, sepanjang periode tersebut KPPU telah
menerima kurang lebih 450 laporan dari masyarakat mengenai dugaan
pelanggaran persaingan usaha, dan hampir 60 % dari kasus yang ditangani KPPU
adalah kasus dugaan persekongkolan tender. Fakta tersebut menunjukkan bahwa
kondisi terkini pengadaan barang dan jasa masih banyak diwarnai perilaku usaha
yang tidak sehat, dimana pelaku usaha cenderung memupuk insentif untuk
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan melakukan tindakan-tindakan
anti persaingan, seperti melakukan pembatasan pasar, praktik persekongkolan,
serta melakukan kolusi dengan panitia pengadaan untuk menentukan hasil akhir
lelang.
Berbagai kondisi tersebut diduga menjadi penyebab tingginya tingkat korupsi
dan kolusi di Indonesia, khususnya dalam pengadaan barang dan jasa proyek
pemerintah. Keadaan yang demikian menyebabkan hilangnya persaingan dan
mengakibatkan penggunaan sumber daya yang tidak efisien serta menimbulkan
pengaruh yang merugikan bagi kinerja industri dan perkembangan ekonomi.

8
Padahal proses pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan secara
kompetitif dan memperhatikan prinsip persaingan usaha yang sehat akan mampu
meningkatkan kesejahteraan rakyat (public welfare) karena sebagian besar
proyek-proyek pemerintah memang merupakan kegiatan pemerintah atau
government spending yang ditujukan untuk memacu kegiatan dan pertumbuhan
ekonomi.
Dalam konteks persaingan inilah, KPPU menjalankan fungsinya sebagai
pengawas yang menelusuri pembuktian dugaan persekongkolan yang terjadi pada
setiap tahapan proses pengadaan. Berkaitan dengan upaya penciptaan iklim usaha
yang sehat di bidang pengadaaan barang dan jasa, KPPU berusaha mengetahui
sejauh mana kebijakan yang ada telah sesuai dengan prinsip-prinsip persaingan
usaha yang sehat, terutama terhadap aspek pemberian kesempatan yang sama
kepada semua pelaku usaha. Persekongkolan sering terjadi dalam tender-tender
pemerintah. Untuk menghindari persekongkolan vertikal terus berlangsung, pihak
KPPU sudah memberikan masukan pada pemerintah agar berhati-hati dalam
pelaksanaan tender, juga dalam persyaratan tender.

C. Persekongkolan Tender dalam Persepsi Korupsi


Kerugian APBN yang ditimbulkan dari tender kolusif pembuktiannya
memang tidaklah mudah, itu dapat terlihat karena anggaran-anggaran yang
ditetapkan untuk masing-masing instansi sudah dari awal anggaran. Hal yang
berkaitan erat dengan kerugian APBN adalah korupsi. Pemerintah Indonesia saat
ini berusaha mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih sebagai upaya
mewujudkan sistem pemerintahan yang bebas KKN. Salah satu contoh dalam
keinginan tersebut adalah melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010.
Pembentukan Keppres ini bertujuan agar pengadaan barang/jasa instansi
Pemerintah dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien dengan prinsip
persaingan sehat, transparan, terbuka dan perlakuan yang adil dan layak bagi
semua pihak terkait sehingga hasilnya dapat dipertanggungjawabkan baik dari
segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan
pelayanan masyarakat. Apabila pengadaan barang/jasa atau tender dilakukan

9
dengan adanya konspirasi, maka tujuan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
ini tidak tercapai dan otomatis akan menghambat penyelenggaraan negara yang
bersih.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 mengatur bahwa panitia pengadaan
barang wajib dibentuk untuk semua pengadaan dengan nilai di atas Rp.
100.000.000,- (Seratus juta rupiah), artinya bahwa semua pengadaan proyek di
atas nilai tersebut harus dilakukan melalui penawaran umum. Ketentuan ini
menyebabkan banyak proyek-proyek yang harus dilakukan dengan cara
penawaran tender secara terbuka sehingga semakin besar pula kemungkinan
terjadinya persekongkolan penawaran tender. Negara merupakan sebuah
organisasi birokrasi besar yang selalu membutuhkan barang dan jasa untuk
keperluan pengelolaan pemerintahan dan pemberian jasa pelayanan kepada
publik. Sistem pengadaan barang dan jasa yang terkait dengan sektor publik perlu
disempurnakan dengan tetap memperhatikan norma-norma serta prosedur yang
ada yakni sesuai Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 sebagai salah satu
pencegahan korupsi birokrasi dari penawaran tender.
Adapun latar belakang Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dikaji dari
hal-hal sebagai berikut:
1. Proses pengadaan barang dan jasa pemerintah harus bersifat efisien;
2. Lemahnya daya saing nasional;
3. Pendekatan yang protektif;
4. Mekanisme pengadaan barang dan atau jasa;
5. Kerangka kerja yang efisien, efektif dan konsisten; dan
6. Proses seleksi berdasarkan pada spesifikasi dan kualifikasi.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 juga mengatur tentang persyaratan
kepemilikan sertifikat keahlian yang merupakan sebagai tanda bukti pengakuan
atas kompetensi serta kemampuan profesi bidang pengadaan barang dan atau jasa
pemerintah. Sertifikat tersebut harus dimiliki seseorang untuk diangkat sebagai
pengguna barang/jasa atau sebagai panitia/pejabat pengadaan barang/jasa. Selain
itu terdapat pula sistematika yang disesuaikan dengan proses pengadaan barang
dan jasa pada umumnya yang meliputi tahap persiapan pengadaan barang/jasa dan

10
proses pelaksanaan pengadaan dengan penyedia barang/jasa. Pada tahap persiapan
yang perlu diperhatikan adalah meliputi perencanaan pengadaan, pembentukan
panitia pengadaan, penyusunan harga perkiraan sendiri/harga dasar tender,
penyusunan jadwal pelaksanaan serta penyusunan dokumen pengadaan
barang/jasa oleh pemerintah yang dapat dilakukan dengan pengadaan yang yang
dilakukan oleh penyedia barang dan jasa serta pengadaan yang dilakukan secara
swakelola.
Mencermati Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbaharui
dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi
bahwa pengertian korupsi adalah pelaku yang dilakukan pejabat publik secara
tidak wajar atau tidak legal untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan
unsur-unsur:
1. melawan hukum;
2. menyalah gunakan kekuasaan;
3. memperkaya diri sendiri atau orang lain;
4. merugikan negara.
Secara hukum pengertian korupsi lebih ditekankan pada perbuatan yang
merugikan kepentingan negara, pribadi atau golongan. Sehingga apabila pihak-
pihak baik sengaja atau karena ketidakhati-hatiannya (tidak melaksanakan
penyelenggaraan negara yang baik/Good Corporate Governace) menyebabkan
kerugian kepentingan publik (keuangan negara) sudah sepatutnya Persekongkolan
Tender yang merugikan keuangan negara dikatagorikan perbuatan pidana dengan
sanksi selain denda juga kurungan badan.
Menilik Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup
ataupidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dalam hal tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu,

11
pidana mati dapat dijatuhkan. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
menyebutkan, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dari
difinisi korupsi pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 kerugian
dititik beratkan pada keuangan negara, maka sudah selayaknya persekongkolan
tender/tender kolusi bisa di katagorikan sebagai “Korupsi”.

D. Penutup
Pada hakekatnya, pelaksanaan tender wajib memenuhi asas keadilan,
keterbukaan, dan tidak diskriminatif. Selain itu, tender harus memperhatikan hal-
hal yang tidak bertentangan dengan asas persaingan usaha yang sehat. Pertama,
tender tidak bersifat diskriminatif, dapat dipenuhi oleh semua calon peserta-tender
dengan kompetensi yang sama. Kedua, tender tidak diarahkan pada pelaku usaha
tertentu dengan kualifikasi dan spesifikasi teknis tertentu. Ketiga, tender tidak
mempersyaratkan kualifikasi dan spesifikasi teknis produk tertentu. Keempat,
tender harus bersifat terbuka, transparan, dan diumumkan dalam media masa
dalam jangka waktu yang cukup. Karena itu, tender harus dilakukan secara
terbuka untuk umum dengan pengumuman secara luas melalui media cetak dan
papan pengumuman resmi untuk penerangan umum dan bilamana dimungkinkan
melalui media elektronik, sehingga masyarakat luas dunia usaha yang berminat
dan memenuhi kualifikasi dapat mengikutinya. Bila hal di atas tidak terpenuhi
akan terciptanya persaingan usaha yang tidak sehat, bukan hanya merugikan
negara namun juga “mematikan pasar” karena tender dilakukan dengan dasar
subyektif yaitu dengan menilai secara personal siapa yang mempunyai kapabilitas
dalam melaksanakan suatu proyek. Dewasa ini juga persekongkolan tender masuk
ke dalam korupsi, hal ini terjadi apabila tender bersifat: pertama, Tender yang

12
bersifat tertutup dan tidak transparan, yang tidak diumumkan secara luas dan
bersifat diskriminatif sehingga mengakibatkan para pelaku usaha yang berminat
dan memenuhi kualifikasi tidak dapat mengikutinya; kedua, Jangka waktu
pengumuman tender dibuat singkat sehingga hanya pelaku usaha tertentu yang
sudah dipersiapkanlah yang punya peluang besar; ketiga Tender dengan
persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha
tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.
Mengingat persaingan usaha yang sehat akan memberikan jaminan
kesempatan berusaha yang sama antara pelaku usaha besar, menengah, dan kecil.
Dengan demikian, maka perlu penegakan hukum bagi pelaku usaha yang terbukti
melakukan persekongkolan dalam tender sehingga terimplementasinya sistem
ekonomi pasar yang wajar, yang akan bermuara pada peningkatan kesejahteraan
rakyat Indonesia. KPPU dalam membuktikan adanya persekongkolan tender
seharusnya menggunakan per se illegal untuk mencapai tujuan Undang-Undang
Antimonopoli dan menciptakan kepastian hukum. Sebab kebanyakan kasus yang
ditangani KPPU, meskipun ditemukan adanya pelanggaran hukum, akan tetapi
jika tidak menemukan adanya unsur bersekongkol, maka pelaku tidak dapat
dinyatakan salah. Pelaksanaan tender sebaiknya dilaksanakan secara lebih
transparan dengan e-procurement atau pengadaan secara elektronik.

DAFTAR PUSTAKA

A. M. Tri Anggraini. 2005. “Penerapan Pendekatan Rule Of Reason dan Per Se


Illegal dalam Hukum Persaingan”. Jurnal Hukum Bisnis Volume 24.
Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.
Andi Fahmi Lubis, dkk. 2009. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan
Konteks. Jakarta: ROV Creativ Media.
Henry Campbell Black. 1968. Black’s Law Dictionary, Revised Fourth Edition.
West Publishing Co.
Hermansyah. 2008. Pokok-Pokok Hukum Persaingan Usaha Indonesia. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.

13
Knud Hansen. 2002. Undang-undang No. 5 Tahun 1999 : Undang-undang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat. Jakarta : PT.
Tema Baru.
Nuzul Qur’aini Madya, ”E-procurement Cegah Persaingan Usaha Tidak Sehat”.
Kompetisi Media Berkala Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Edisi 15,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2009.
R. Sheyam Kemani and D. M. Shapiro, Glossary of Industrial Organization
Economics and Competition Law (Paris:OECD, 1996).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.

14

Anda mungkin juga menyukai