Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
TESIS
AMILA
0906505086
TESIS
AMILA
0906505086
Nama : Amila
NPM : 0906505086
Tanda Tangan :
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan
dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan tahap akademik
pada program Pasca Sarjana Kekhususan Keperawatan Medikal Bedah dengan
judul “Pengaruh Pemberian Augmentative and Alternative Communication (AAC)
terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi dan Depresi Pasien Stroke Dengan
Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar”.
Dalam penyusunan tesis ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan serta arahan
dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima
kasih yang tidak terhingga kepada :
1. Ibu DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App.Sc selaku pembimbing utama yang
telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini;
2. Ibu Tuti Herawati, S.Kp., MN selaku pembimbing pendamping yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini;
3. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD, selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia;
4. Ibu Astuti Yuni Nursasi, MN selaku Ketua Program Studi Pascasarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia;
5. Kedua orang tua, mertua dan teristimewa buat suami (Teguh Pribadi) dan
kedua anakku (Habibah Dian Khalifah dan Faisal Azmi) yang selalu
memberikan doa serta dukungan dengan penuh kesabaran ;
6. Seluruh sahabat yang telah banyak membantu saya dalam menyelesaikan tesis
ini.
Penulis
Nama : Amila
NPM : 0906505086
Program Studi : Pasca Sarjana Ilmu keperawatan
Peminatan : Keperawatan Medikal Bedah
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis Karya : Tesis
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 20 Januari 2012
Yang menyatakan
( Amila)
Nama : Amila
Program : Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Keperawatan
Studi Universitas Indonesia
Judul : Pengaruh Pemberian Augmentative and Augmentative and
Alternative Comunication (AAC) terhadap Kemampuan
Fungsional Komunikasi dan Depresi pada Pasien Stroke
dengan Afasia Motorik di RSUD Garut, Tasikmalaya dan
Banjar
Name : Amila
Study Program : Post Graduate Nursing Faculty of Nursing University of
Indonesia
Title : The Influence of Conducting Augmentative and Alternative
Communication (AAC) to the Communication Functional
Ability and Depression for Stroke Patients with Motor
Aphasia in Garut, Tasikmalaya and Banjar Hospital
Motor aphasia is difficulty in coordinating the thoughts, feelings and desires into
meaningful symbols and understand in form of verbal expression and writing. The
purpose of this study was to know the influence of conducting communication by
AAC to the communication functional ability and depression for stroke patients
with motor aphasia. The study design used is quasi experiment by approaching
post test non equivalent control group for 21 respondents consist of 11 people of
control group and 10 people of the intervention group. The results showed that no
significant difference in the average communication functional ability between the
control group and intervention group with p values > 0.05 (p = 0.542 at α = 0.05),
but there were significant differences between the average depression of control
and intervention group with p values < 0.05 (p = 0.022 at α = 0.05). Based on the
results of study, the giving of communication by AAC could be one of the nursing
intervention for facilitating communication that will decrease depression to the
stroke patient with motor aphasia.
Halaman
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………… ii
PERNYATAAN ORISINALITAS ………………………………………….. iii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………….. ivi
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS…………………………. vi
ABSTRAK …………………………………………………………………… vii
ABSTRACT …………………………………………………………………. viii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………… ix
DAFTAR TABEL ……………………………………………........................ xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………… xii
DAFTAR SKEMA …………………………………………………………... xiii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ………………………………………………... 1
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………….. 13
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………….... 14
1.4 Manfaat Penelitian …………………………………………….. 14
BAB 6 PEMBAHASAN
6.1 Interpretasi dan Diskusi Hasil Penelitian …………………….. 122
6.2 Keterbatasan Penelitian ………………………………………. 150
6.3 Implikasi Hasil Penelitian ……………………………………. 151
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Hal
3.1 Definisi Operasional, Cara Ukur, Hasil Ukur dan Skala Ukur 74
4.1 Analisis Univariat Variabel Independen, Variabel Dependen dan 108
Karakteristik Responden
4.2 Analisis Homogenitas Kelompok Kontrol, Intervensi dan Variabel 109
Konfounding
4.3 Analisis Bivariat antara Kelompok Intervensi dan kelompok Kontrol 109
4.4 Analisis Bivariat Variabel Perancu dengan Variabel Dependen 109
5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia, Ketidakmampuan Fisik, 111
Dukungan Keluarga, Kemampuan Fungsional Komunikasi dan
Depresi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut
dan Banjar November – Desember 2011
5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin dan Frekuensi 114
Serangan Stroke pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya,
Garut dan Banjar November – Desember 2011
5.3 Hasil Analisis Kesetaraan Umur, Ketidakmampuan Fisik, Dukungan 116
Keluarga Antara kelompok Kontrol dan Intervensi pada Pasien
Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan Banjar November
– Desember 2011
5.4 Hasil Analisis Kesetaraan Berdasarkan Jenis Kelamin dan Frekuensi 116
Serangan Stroke Antara kelompok Kontrol dan Intervensi pada
Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan Banjar
November – Desember 2011
5.5 Hasil Analisis Perbedaan Kemampuan Fungsional Komunikasi 117
Antara kelompok Kontrol dan Intervensi pada Pasien Afasia Motorik
di RSUD Tasikmalaya, Garut dan Banjar November – Desember
2011
5.6 Hasil Analisis Perbedaan Depresi Antara kelompok Kontrol dan 118
Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut
dan Banjar November – Desember 2011
5.7 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik dan 118
Dukungan Keluarga terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi
pada Kelompok Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD
Tasikmalaya, Garut dan Banjar November – Desember 2011
5.8 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan 119
Stroke terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi Pada
Kelompok Intervensi pada Pasien Afasia Motorik di RSUD
Tasikmalaya, Garut dan Banjar November – Desember 2011
5.9 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik dan 120
Dukungan Keluarga terhadap Depresi pada Kelompok Intervensi
pada Pasien Afasia Motorik di RSUD Tasikmalaya, Garut dan
Banjar November – Desember 2011
5.10 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan 121
Hal
2.1 Anatomi Wicara – Bahasa 20
2.2 Anatomi Arteri Otak 26
2.3 Low Technology & High Technology 46
Halaman
2.2 Kerangka Teori Penelitian 70
3.1 Kerangka Konsep Penelitian 73
4.1 Rancangan Penelitian 77
4.2 Prosedur Pelaksanaan Penelitian 106
Stroke tidak hanya terjadi di negara maju, tetapi juga terjadi di negara
berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia prevalensi stroke dari tahun ke
Jawa Barat sebagai salah satu provinsi di Indonesia, merupakan salah satu
provinsi yang mempunyai prevalensi stroke diatas prevalensi nasional, selain
Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Nusa
Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Gorontalo, dan Papua Barat. Prevalensi stroke di Jawa Barat adalah 9,3 per 1000
penduduk (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2008).
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Tasikmalaya, Banjar dan Kabupaten
Garut merupakan beberapa rumah sakit pemerintah yang terdapat di Jawa Barat.
Kasus stroke di RSUD Kota Tasikmalaya dari tahun ke tahun jumlahnya terus
meningkat dan menempati urutan pertama dari seluruh kasus sistem persyarafan
yang ada di RSUD Kota Tasikmalaya. Pada tahun 2010 jumlah penderita stroke
sebanyak 754 orang (Rekam Medis RSUD Kota Tasikmalaya, 2010). Sedangkan
dalam 6 bulan terakhir (Maret – Agustus) tahun 2011 di temukan sebanyak 425
orang pasien stroke. Kasus stroke di RSUD kota Banjar pun selalu menempati
urutan pertama dari seluruh kasus system persyarafan yang ada dengan jumlah
405 orang. Sedangkan kasus stroke di RSUD Kabupaten Garut sebanyak 533
orang dalam 6 bulan terakhir.
Masalah kesehatan yang timbul akibat stroke sangat bervariasi tergantung kepada
luasnya daerah otak yang mengalami infark dan lokasi yang terkena. Hal ini
sejalan dengan pendapat Silbernagl & Lang (2007) yang menyebutkan bahwa
manifestasi klinis stroke ditentukan berdasarkan tempat perfusi yang terganggu,
yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut, seperti arteri serebri
media, arteri serebri posterior, arteri serebri anterior, arteri karotis atau basillar.
Arteri yang palimg sering terkena adalah arteri serebri media. Bila stroke
mengenai arteri serebri media, maka pasien dapat mengalami afasia.
Beberapa bentuk afasia mayor menurut Smeltzer & Bare (2008); Lumbantobing
(2011) adalah afasia sensoris (Wernicke) motorik (Broca) dan Global. Afasia
sensoris terjadi akibat gangguan yang melibatkan pada girus temporal superior,
yang ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan dan bila ia menjawab
iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. Pada afasia motorik
terjadi akibat lesi pada area Broca pada lobus frontal yang ditandai dengan
kesulitan dalam mengkoordinasikan pikiran, perasaan dan kemauan menjadi
simbol bermakna dan dimengerti oleh orang lain dalam bentuk ekspresi verbal dan
tulisan. Sedangkan afasia Global disebabkan oleh lesi yang luas yang merusak
sebagian besar atau semua daerah bahasa yang ditandai dengan tidak adanya lagi
bahasa spontan dan menjadi beberapa patah kata yang berulang – ulang (itu – itu
saja) disertai ketidakmampuan memahami yang diucapkan.
Di Amerika Serikat lebih dari 700.000 stroke terjadi setiap tahun dan kira – kira
170.000 kasus baru dari afasia setiap tahun berhubungan dengan stroke.
Diperkirakan sekitar 1 sampai 1,5 juta orang dewasa di Amerika mengalami
afasia. (Kirshner, 2009; Smeltzer & Bare, 2002). Jumlah pasien afasia akan terus
bertambah karena lebih banyak pasien stroke yang dapat bertahan hidup (Smeltzer
& Bare, 2002).
Depresi paska stroke (DPS) merupakan gangguan mood yang dapat terjadi setiap
waktu pada fase akut atau satu tahun paska stroke dengan puncaknya terjadi pada
bulan pertama (Dahlin et al, 2008). Sedangkan menurut Sit et al (2007) dalam
penelitiannya terhadap 95 pasien stroke menemukan kejadian depresi pada 48 jam
setelah masuk rumah sakit sebesar 69% dan 6 bulan setelahnya sebesar 48%.
Depresi paska stroke mempengaruhi sekitar 20 – 50% pasien stroke dalam tahun
pertama paska stroke dan puncaknya diperkirakan pada 6 bulan paska stroke
(Schub & Caple, 2010).
Peran seorang perawat sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan, diharapkan
mampu memberikan asuhan keperawatan kepada pasien stroke secara
komprehensif dan terorganisir sejak fase hiperakut hingga fase pemulihan agar
dapat mempengaruhi outcome pasien paska stroke (Rasyid & Soertidewi, 2007).
Henderson (dalam Tomey & Aligood, 2006) mendefinisikan keperawatan sebagai
upaya membantu individu untuk mendapatkan kebebasan dalam beraktivitas dan
berkontribusi dalam mencapai aktivitas yang mandiri. Salah satu kebutuhan dasar
manusia menurut Henderson adalah berkomunikasi dengan orang lain untuk
mengekspresikan emosi, kebutuhan rasa takut dan mengemukakan pendapat.
Peranan perawat pada pasien stroke setelah melewati fase akut adalah memenuhi
kebutuhan sehari – hari, mengkaji fungsi bicara dan berbahasa, menyesuaikan
teknik berkomunikasi dengan kemampuan pasien : bicara pelan dengan suara yang
normal, menjadi pendengar yang baik, menjelaskan setiap prosedur yang akan
dilakukan (Mulyatsih, dalam Rasyid & Soertidewi, 2007). Selain itu, perawat
dapat berperan menjadi role model untuk berkomunikasi dengan pasien yang
mengalami afasia (Lewis, Heitkemper, Dirkesen, O’Brien & Bucher, 2007).
Menurut Salter, Jutai, Foley, Hellings & Teasell (2006) dalam literatur penelitian
stroke, FAST merupakan instrumen yang lebih sering digunakan karena
sederhana, membutuhkan waktu 3 – 10 menit untuk pasien afasia fase akut dan
paska akut stroke serta memiliki sensitivitas 87% dan spesifitas 80% dalam
mendeteksi afasia. Skrining perawat dan hasil observasi dapat mendukung
langsung pemeriksaan lebih lanjut dan diagnosa oleh neuropsychologist dan
speech therapy (Clarkson, 2010). Selain itu dengan deteksi dini afasia, latihan
wicara – bahasa dapat dimulai sesegera mungkin (Poslawsky, Schuurmans,
Lindeman & Hafstensdottir, 2010). Hasil pengkajian yang ditemukan juga dapat
menentukan diagnosa dan intervensi keperawatan pada pasien dengan gangguan
komunikasi (McCloskey & Bulechek, 2000, dalam Powlasky, Schuurmans,
Lindeman & Hafstensdottir, 2010).
Diagnosa keperawatan dan masalah kolaboratif pada fase akut stroke yang dapat
ditemukan pasien afasia dalam NANDA (2011) adalah gangguan komunikasi
verbal; menurun, tertunda atau tidak ada kemampuan untuk menerima,
memproses dan menggunakan simbol – simbol. Walaupun intervensi afasia tidak
sepenuhnya terintegrasi ke dalam aktivitas keperawatan, tetapi hasil temuan
merupakan langkah awal untuk melakukan intervensi wicara – bahasa dalam
keperawatan (Poslawsky, Schuurmans, Lindeman & Hafstensdottir, 2010).
Intervensi keperawatan menurut NIC yang dapat diberikan pada pasien gangguan
komunikasi adalah mengkaji gangguan komunikasi yang ada dan
mengembangkan metode yang tepat untuk meningkatkan kemampuan
berkomunikasi, seperti menganjurkan pasien untuk mengulangi suara alfabet dan
Berbagai cara digunakan untuk memfasilitasi komunikasi pada pasien afasia serta
mendorong pasien berkomunikasi, bahkan yang kecil sekalipun untuk mengurangi
frustasi, depresi dan isolasi sosial (Mulyatsih & Ahmad, 2010). Pendapat ini
sesuai dengan pendapat Happ, Roesch & Kagan (2005 dalam Ackley & Ladwig,
2011), bahwa penggunaan alat bantu komunikasi diperlukan ketika pasien tidak
mampu berkomunikasi secara verbal. Beberapa alat bantu komunikasi yang dapat
dilakukan pada pasien afasia menurut NIC adalah penggunaan perangkat
elektronik, papan alfabet, papan gambar/ flash card yang berisi gambar kebutuhan
dasar, stimulus visual, alat tulis, kata – kata yang sederhana, bahan yang berisi
tulisan atau gambar yang dapat ditunjuk oleh pasien (Ackley & Ladwig (2011);
Ackley & Swan (2008); Dochterman & Bulecheck (2004); Smeltzer, Bare, Hinkle
& Cheever (2010). Bila dilihat intervensi keperawatan masalah komunikasi di
atas, intervensi tersebut merupakan bagian dari AAC.
Menurut Mustonen et al (1991, dalam Johnson, Hough, King Vos Paul & Jeffs,
2008), AAC merupakan penggunaan perangkat pendukung atau pengganti
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Bhogal, Teasell, Foley & Speechley
(2003) yang menggunakan constraint induced therapy (menggunakan kartu
bergambar) dalam latihan wicara, terdapat perbedaan yang signifikan antara
kelompok yang menerima latihan 3 jam selama 10 hari dibandingkan kelompok
standar yang menerima latihan 1 jam selama 4 minggu menunjukkan kemampuan
penamaan dan pemahaman berbahasa yang dievaluasi dengan tes wicara, seperti
Token Test. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rappaport et al (1999 dalam
Powlasky, Schuurmans, Lindeman & Hafsteindottir, 2010) melakukan penelitian
Melihat berbagai dampak pada pasien afasia akibat stroke dan keuntungan yang
diperoleh dengan penggunaan AAC berdasarkan fenomena dan hasil penelitian
Stroke merupakan penyebab umum afasia dan diperkirakan sekitar 25% - 40%
pasien stroke berkembang menjadi afasia. Afasia merupakan kehilangan fungsi
kemampuan berbicara, meliputi gangguan dalam menulis, berbicara, membaca,
mendengar dan mengerti bahasa. Dampak negatif yang dapat terjadi akibat afasia
adalah kesejahteraan klien, kemandirian, partisipasi sosial dan kualitas hidup.
Kondisi ini akhirnya dapat menimbulkan dampak psikologis, seperti depresi
sehingga akan mempengaruhi masa pemulihan dan hubungan sosial dengan
lingkungan sekitarnya, bahkan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
1.4.2 Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah dan memperkaya
khasanah keilmuan keperawatan, serta dapat digunakan sebagai dasar bagi
penelitian selanjutnya yang berfokus pada penelitian kualitatif atau
membandingkan pemberian AAC antara metode sederhana (low
technology) dan modern (high technology) terhadap kemampuan fungsional
komunikasi pasien stroke dengan afasia motorik.
2.1.1 Definisi
Stroke atau cedera serebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang
diakibatkan oleh berhentinya suplay darah ke bagian otak. Seringkali ini adalah
kulminasi penyakit serebrovaskuler selama bertahun-tahun (Smeltzer, Bare,
Hinkle & Cheever, 2008). Menurut Lewis, Heitkemper, Dirksen, O’Brien &
Bucher (2007), stroke adalah gangguan yang mempengaruhi aliran darah ke otak
dan mengakibatkan defisit neurologik. Sedangkan Black and Hawks (2009),
mendefinisikan bahwa stroke adalah suatu kondisi yang digunakan untuk
menjelaskan perubahan neurologik yang disebabkan oleh gangguan dalam
sirkulasi darah ke bagian otak.
2.1.3 Etiologi
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan stroke (Black & Hawks, 2009; Price
& Wilson, 2006) adalah :
a. Trombosis
Trombosis merupakan proses pembentukan trombus dimulai dengan kerusakan
dinding endotelial pembuluh darah, paling sering karena aterosklerosis.
Aterosklerosis menyebabkan penumpukan lemak dan membentuk plak di
dinding pembuluh darah. Pembentukan plak yang terus menerus akan
menyebabkan obstruksi yang dapat terbentuk di dalam suatu pembuluh darah
otak atau pembuluh organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat
terlepas dan dibawa melalui sistem arteri otak sebagai suatu embolus (Black &
Hawks, 2009).
b. Embolisme
Embolus yang terlepas akan ikut dalam sirkulasi dan terjadi sumbatan pada
arteri serebral menyebabkan stroke embolik, lebih sering terjadi pada atrial
fibrilasi kronik (Price & Wilson, 2006). Emboli dapat berasal dari tumor,
lemak, bakteri, udara, endokarditis bakterial dan nonbakterial atau keduanya
(Black & Hawks, 2009), atrium fibrilasi dan infark miokard yang baru terjadi
(Ginsberg, 2007).
c. Hemoragik
Sebagian besar hemoragik intraserebral disebabkan oleh ruptur karena
arteriosklerosis. Hemoragik intraserebral lebih sering terjadi pada usia > 50
tahun karena hipertensi. Penyebab lain karena aneurisma. Meskipun aneurisma
biasanya kecil dengan diameter 2-6 mm, tetapi dapat mengalami ruptur dan
Setelah suara identifikasi sebagai simbol bahasa, informasi ini diteruskan ke area
pengenalan kata yang mungkin terletak dibagian inferior lobus parietal dihemisfer
yang dominan. Pengenalan simbol bahasa didasarkan atas pengalaman masa
silam. Fungsi area pengenalan bahasa bukan saja mengenali simbol bahasa,
namun mengenai hubungan satu simbol dengan yang lainnya. Bila fungsi ini telah
dilaksanakan, informasi ini disampaikan kembali ke atau melalui area Wernicke
ke area – area diotak yang berkaitan dengan enkoding atau berespon pada bahasa.
Memproduksi bahasa mungkin dimediasi melalui area pengenalan bahasa, diikuti
2.1.7 Manifestasi
Silbernagl & Lang (2007) menyebutkan, manifestasi klinis stroke ditentukan oleh
tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah
tersebut. Arteri yang paling sering mengalami gangguan adalah arteri serebri
media. Berikut ini tanda dan gejala stroke berdasarkan arteri yang terkena :
a. Arteri Serebri Media
Oklusi pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan kelemahan
otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik akibat kerusakan girus
lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya adalah deviasi okular
akibat kerusakan area motorik penglihatan, hemianopsia, gangguan bicara
motorik dan sensorik (area bicara Broca dan Wernicke dari hemisfer dominan),
gangguan persepsi spasial, apraksia dan hemineglect jika mengenai lobus
parietalis (Silbernagl & Lang, 2007).
b. Arteri Serebri Anterior
Oklusi arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit sensorik
kontralateral akibat kehilangan girus presentralis dan postsentralis bagian
medial, kesulitan bicara serta apraksia pada lengan kiri jika korpus kalosum
anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik kanan
terganggu (Silbernagl & Lang, 2007), gangguan kognitif dan inkontinensia
urine (Hickey, 2003). Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior
menyebabkan apatis karena kerusakan dari sistem limbik (Silbernagl & Lang,
2007).
Fase rehabilitasi dapat dimulai sesegera mungkin pada pasien yang mengalami
stroke, namun proses ini ditekankan selama fase konvalesen dan memerlukan
upaya tim koordinasi. Menurut Lewis, Heitkemper & Dirksen (2000) setelah
pasien stroke stabil selama 12 -24 jam perawatan kolaboratif dilakukan untuk
mengurangi kecacatan dan meningkatkan fungsi optimal. Sasaran utama program
rehabilitasi adalah perbaikan mobilitas, menghindari nyeri bahu, pencapaian
perawatan diri, mendapatkan kontrol kandung kemih, perbaikan proses fikir,
pencapaian beberapa bentuk komunikasi, pemeliharaan integritas kulit, perbaikan
fungsi keluarga dan tidak adanya komplikasi (Smeltzer, Bare, Hinkle & Cheever,
2008). Rehabilitasi secara dini akan mempercepat proses penyembuhan,
rehabilitasi ini harus rutin sehingga otak mampu untuk mengingatnya. Adapun
tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk melatih sel-sel yang tidak rusak
mengantikan sel-sel yang telah rusak.
Pentingnya intervensi dini pada stroke akut sangat menentukan kualitas hidup
pasien dan bahkan mencegah kematian, sehingga motto penatalaksanaan stroke
adalah Time is Brain. Intervensi ini dilakukan secara komprehensif oleh
multidisiplin – unit stroke, yang tim strokenya terdiri dari dokter spesialis syaraf,
perawat mahir stroke, dokter spesialis terkait dengan faktor risiko stroke,
fisioterapi, terapi okupasi, terapi bicara, pekerja sosial, ahli gizi yang dilakukan di
unit stroke. Komponen utama perawatannya adalah penyelamatan jiwa (1-4
minggu setelah stroke) dan menurunkan ketergantungan (Rasyid & Soertidewi,
2007).
2.2.1 Definisi
Afasia merupakan kehilangan atau gangguan interpretasi dan formulasi simbol
bahasa yang disebabkan oleh kerusakan otak yang didapat yang mempengaruhi
distribusi kerja struktur sub kortikal dan kortikal pada hemisfer (Berthier, 2005).
Sedangkan menurut Lumbantobing (2011) afasia merupakan gangguan berbahasa.
Dalam hal ini pasien menunjukkan gangguan dalam bicara spontan, pemahaman,
menamai, repetisi (mengulang), membaca dan menulis.
2.2.2 Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat
cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal
yang mengatur kemampuan berbahasa yaitu area Broca, area Wernicke dan jalur
yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak
dihemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang bagian hemisfer kiri merupakan
tempat kemampuan berbahasa diatur (Kirshner, 2009; Aini, 2006). Pada dasarnya
kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke, cedera otak
traumatik, perdarahan otak dan sebagainya. Sekitar 80% afasia disebabkan oleh
infark iskemik, sedangkan hemoragik frekuensinya jarang terjadi dan lokasinya
tidak dibatasi oleh kerusakan vaskularisasi (Barthier, 2005). Afasia dapat muncul
perlahan seperti pada kasus tumor otak (Kirshner, 2009). Afasia juga terdaftar
sebagai efek samping yang langka dari fentanyl, yiatu suatu opioid untuk
penanganan nyeri kronis ( Aini, 2006).
b. Afasia Motorik
Lesi yang menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodman 44 dan
sekitarnya. Lesi yang mengakibatkan afasia Broca biasanya melibatkan
operkulum frontal (area Brodman 45 dan 44) dan massa alba frontal dalam
(tidak melibatkan korteks motorik bawah dan massa alba paraventrikular
(tengah). Kelainan ini ditandai dengan kesulitan dalam mengkoordinasikan atau
menyusun fikiran, perasaan dan kemauan menjadi simbol yang bermakna dan
dimengerti oleh orang lain. Bicara lisan tidak lancar, terputus-putus dan sering
ucapannya tidak dimengerti orang lain. Apabila bertutur kalimatnya pendek-
pendek dan monoton. Pasien sering atau paling banyak mengucapkan kata –
kata benda dan kata kerja. Bicaranya bergaya telegram atau tanpa tata bahasa
(tanpa grammar). Contoh : “Saya … sembuh … rumah … kontrol… ya .. kon
..trol”. “Periksa …lagi …makan …banyak”.
c. Afasia global
Merupakan bentuk afasia yang paling berat. Afasia global disebabkan oleh luas
yang merusak sebagian besar atau semua daerah bahasa. Penyebab lesi yang
paling sering ialah oklusi arteri karotis interna atau arteri serebri media pada
pangkalnya. Kemungkinan pulihnya ialah buruk. Keadaan ini ditandai oleh
tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa
patah kata yang diucapkan secara stereotip ( itu – itu saja, berulang), misalnya :
“iiya, iiya, iiya”, atau : baaah, baaaah, baaah”, atau : “amaaang, amaaang,
amaaaang”. Komprehensi menghilang atau sangat terbatas, misalnya hanya
mengenal namanya saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi juga sama berat
gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis juga terganggu
berat. Afasia global hampir selalu disertai hemiparese atau hemiplegia yang
menyebabkan invaliditas kronis yang parah.
Berdasarkan hasil review yang dilakukan Salter, Jutai, Foley, Hellings & Teasell
(2006), terdapat dua instrumen untuk menskrining afasia yang digunakan oleh
perawat adalah Frenchay Aphasia Screening Test/FAST dan Ullevaal Screening
Test/ UAS. Dalam literatur penelitian stroke, FAST lebih sering dipakai dan
merupakan instrumen skrining pada afasia. FAST lebih sering digunakan
dibandingkan dengan instrumen pengkajian afasia lainnya (Salter, Jutai, Foley,
Hellings & Teasell, 2006, Enderby & Crowby, 1996).
FAST terdiri 18 item yang mengkaji empat aspek bahasa (pemahaman, ekspresi
verbal, membaca dan menulis) dengan skor 0 – 30 (Enderby et al, 1987 dalam
Lightbody et al, 2007). Dikatakan afasia ialah bila skor < 27 pada usia diatas 60
tahun atau bila skor <25 pada usia dibawah 60 tahun.
b. Kekurangan :
Penilaian FAST menjadi kurang baik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti gangguan lapang pandang, gangguan visual, tidak ada perhatian,
konsentrasi yang menurun atau pasien bingung.
Sedangkan beberapa instrumen yang dipakai dan waktu yang digunakan dalam tes
afasia diklinik, seperti Token Test /TT dengan 21 tugas (20 – 30 menit), Boston
Diagnostic Aphasia Examination/BDAE dengan 27 sub tes (1 – 3 jam), Minnesota
Test for Differential Diagnosis of Aphasia/MTTDDA (3 jam), Functional
Communication Profile/FCP dengan 45 fungsi (20 – 30 menit), Communicative
Abilities in Daily Living/CADL dengan 10 kategori perilaku (2- 3 jam)
(Browndyke, 2002; Kusumoputro, 1992). Dari hasil beberapa penelitian tentang
Menurut Smeltzer & Bare (2002), pada dasarnya terdapat minimal empat hal yang
harus dilakukan perawat pada klien afasia yaitu : a) meningkatkan harga diri
positif b) meningkatkan kemampuan komunikasi c) meningkatkan stimulasi
pendengaran d) membantu koping keluarga.
Menurut Tarigan (2009), beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering
digunakan, adalah :
a. Terapi kognitif linguistik
Bentuk terapi menekankan pada komponen emosional bahasa. Sebagai contoh,
beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk menginterpretasikan
karakteristik dari suara dengan nada emosi yang berbeda – beda. Ada juga
yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata – kata “gembira”.
Latihan seperti ini akan membantu pasien mempraktekkan kemampuan
komprehensif sementara tetap fokus pada pemahaman komponen emosi dari
berbahasa.
b. Program Stimulus
Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori, Termasuk gambar –
gambar dan musik. Program ini diperkenalkan dengan tingkat kesukaran yang
meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.
c. Stimulation – Fascilitaion Therapy
Jenis terapi afasia ini lebih fokus pada semantik (arti) dan sintaksis (susunan
kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan selama terapi adalah
stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu peningkatan kemampuan berbahasa
akan lebih baik jika dilakukan dengan pengulangan.
d. Terapi kelompok (group therapy)
Dalam terapi ini pasien disediakan konteks sosiak untuk mempraktekkan
kemampuan komunikasi yang telah mereka pelajari selama sesi pribadi. Selain
itu mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para terapis dan pasien
Hal yang harus dipahami oleh keluarga adalah bahwa pasien afasia tetap
membutuhkan kesempatan mendengar pembicaraan orang lain secara normal.
Bila keluarga mengabaikan pasien stroke yang mengalami afasia, misalnya
mendiamkan atau menganggap seolah – olah pasien tidak memahami
pembicaraan keluarga, pasien akan merasa frustasi dan sakit hati (Mulyatsih &
Ahmad, 2008).
Anggota keluarga dapat dianjurkan :
1. Mengucapkan bahasa yang sederhana dengan kata – kata pendek dan
kalimat yang sederhana.
2. Mengulang isi kata atau menulis kata kunci untuk menjelaskan arti.
3. Mempertahankan percakapan seperti pada orang dewasa.
4. Mengurangi distraksi seperti bunyi radio atau televisi yang keras, bila
memungkinkan saat berkomunikasi.
5. Melibatkan pasien afasia dalam percakapan dengan menanyakan dan
meminta pendapat pasien.
6. Menganjurkan beberapa jenis komunikasi, seperti bicara, menunjuk,
gambar.
7. Hindari mengkoreksi ketika pasien bicara.
8. Memberikan waktu untuk memahami pembicaraan.
9. Melibatkan pasien dalam kegiatan diluar rumah, seperti mengikutsertakan
dalam klub stroke ( http://www.nidcd.nih.gov).
Menurut Salter, Foley & Teasell, 2010, peningkatan dukungan keluarga yang
tersedia dapat menjadi strategi penting dalam mengurangi atau mencegah tekanan
jiwa dan depresi paska stroke. Dukungan keluarga yang dapat diberikan pada
pasien stroke dengan afasia adalah dalam bentuk empat dimensi seperti dimensi
informasi, emosional, instrumental dan penghargaan.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan komunikasi pada pasien afasia
adalah dengan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Keterampilan
mendengar dan juga berbicara ditekankan pada program rehabilitasi. Pasien dapat
dibantu dengan menyediakan papan komunikasi. Papan komunikasi ini berisi
gambar, kata – kata, huruf atau simbol aktivitas kegiatan harian pasien sesuai
dengan kegiatan yang diminta atau diungkapkan. Yang perlu diingat adalah bahwa
papan komunikasi ini sebagai media komunikasi untuk mengantisipasi keinginan
pasien dan mencegah pasien frustasi. Pasien harus dianjurkan untuk
mengungkapkan kebutuhan pribadi dan menggunakan papan tulis bila tidak
mampu mengekspresikan kebutuhan.(Smeltzer & Bare, 2002; Mulyatsih &
Ahmad, 2008; Potter & Perry, 2005).
Menurut Mustonen et al (1991, dalam Johnson, Hough, King Vos Paul & Jeffs,
2008), AAC merupakan perangkat pendukung atau pengganti kemampuan
komunikasi verbal seseorang. Menurut Garret (2003) intervensi AAC merupakan
multimodal secara alami, seperti isyarat, tanda dan bantuan strategi komunikasi.
Menurut Poslawsky, Schuurmans, Lindeman & Hafsteindottir (2010) AAC
merupakan komunikasi non verbal, seperti isyarat, atau menggunakan perangkat,
seperti papan alfabet, menu – menu bergambar. Dari ketiga pernyataan tersebut
dapat disimpulkan bahwa AAC merupakan alat bantu pengganti komunikasi
verbal, seperti papan alfabet, isyarat dan menu – menu bergambar.
AAC merupakan salah satu media latihan wicara yang efektif sebagai program
rehabilitasi pada pasien stroke dengan afasia. Menurut Schlosser (2008),
intervensi AAC mampu memfasilitasi produksi suara. Hal ini didukung oleh
sistematik review Finke, Light & Kitko (2008), tentang efektivitas komunikasi
perawat pada pasien dengan masalah komunikasi pada pengunaan AAC
menunjukkan bahwa strategi ini dapat membantu perawat dan pasien untuk
berkomunikasi dengan lebih baik satu sama lain, ketika komunikasi verbal bukan
merupakan satu pilihan. Hal ini disebabkan kondisi medis pasien afasia yang
mengalami keterbatasan, sehingga banyak pasien yang tidak mampu untuk
berpartisipasi secara verbal dalam interaksi komunikasi pada saat latihan wicara
(Beukelman et al., 2007).
Pada umumnya berbagai terapi modalitas pada gangguan komunikasi ini dapat
menggabungkan metode komunikasi yang menggunakan alat atau tidak
b. Pelaksanaan
Pelaksanaan pemberian AAC pada pasien afasia motorik adalah :
1. Perawat duduk berhadapan dengan pasien/di samping tempat tidur dan
pertahankan kontak mata.
2. Perawat memperkenalkan diri dan menjelaskan kepada pasien dan keluarga
maksud dan tujuan dilakukan latihan komunikasi dengan suara yang jelas dan
dapat dipahami oleh pasien.
3. Hindarkan berbicara dengan suara yang keras/berteriak pada saat
berkomunikasi dengan pasien karena dapat membuat pasien merasa lebih
frustasi dengan keterbatasannya.
4. Perawat dapat mulai berkomunikasi dengan memberikan AAC sederhana yang
menggunakan bantuan dan tanpa bantuan, seperti :
a) Papan komunikasi/buku komunikasi
Berikan papan komunikasi yang berisi gambar dan tulisan. Papan
komunikasi yang berisi gambar dapat menjadi pilihan bagi pasien yang
tidak dapat membaca (buta huruf). Posisikan papan komunikasi yang
nyaman bagi pasien dan dapat dibaca. Tampilan papan komunikasi berisi
simbol – simbol/gambar dapat berhubungan dengan nyeri/rasa nyaman,
emosi, posisi, kebutuhan aktivitas rutin sehari – hari yang familiar dengan
pasien, seperti mandi, makan dan minum, BAB/BAK dan istirahat.
Ajarkan pasien bagaimana menggunakan alat komunikasi tersebut. Pasien
dan keluarga dapat diperkenalkan penggunaan papan komunikasi yang
DPS dapat diklasifikasikan dalam 3 bentuk, yaitu: (a) ringan, (b) sedang dan (c)
berat. Depresi berat dapat menyebabkan gangguan berupa perasaan
ketidakberdayaan yang berkepanjangan dan berlebih-lebihan sehingga mendorong
pasien stroke untuk bunuh diri (Schulz et al, 2000). Perasaan takut jatuh,
terjadinya serangan stroke ulangan, dan perasaan tidak nyaman oleh pandangan
orang lain terhadap cacat dirinya dapat menyebabkan pasien stroke membatasi diri
untuk tidak keluar dari lingkungannya. Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong
penderita kedalam gejala depresi yang berdampak pada motivasi dan rasa percaya
dirinya (Hill, Payne, & Ward, 2000).
Gangguan mood dan ciri depresi biasa ditemukan, tapi seringkali tidak mudah
dikenali pada pasien paska stroke. Penelitian yang dilakukan Robinson pada tahun
1997 melaporkan bahwa prevalensi DPS sangat bervariasi 20% - 65%.
(Suwantara, 2004). Sebagian besar sekitar 40% pasien akan mengalami depresi
dalam 1 – 2 bulan pertama setelah stroke dan sekitar 10% - 20% pasien baru
mengalami depresi beberapa waktu antara 2 bulan sampai dengan 2 tahun setelah
stroke (Suwantara, 2004). Berbeda dengan penelitian yang dilakukan ole Sit et al
(2007) terhadap 95 pasien stroke menemukan kejadian depresi pada 48 jam
setelah masuk rumah sakit sebesar 69% dan 6 bulan setelahnya sebesar 48%.
Sementara menurut Meifi & Agus (2009), dalam sejumlah besar pustaka,
prevalensi DPS dapat terjadi sekitar 6 – 22% pada 2 minggu pertama, 22 – 53%
setelah 3 – 4 bulan, 16- 47% pada tahun pertama.
Frekuensi depresi lebih tinggi pada pasien afasia motorik daripada afasia global
(71%:44%) (Amir, 2005). Pendapat ini sejalan dengan hasil penelitian Signer et
al, (1989 dalam Amir, 2005) bahwa depresi pada pasien afasia motorik lebih
tinggi daripada global (63%:16%). Tingginya frekuensi depresi pada pasien afasia
motorik disebabkan oleh tingginya kesadaran mereka akan kecacatan
/ketidakmampuan pasien. Selain itu, lesi yang menimbulkan afasia motorik juga
menimbulkan depresi. Menegakkan diagnosis depresi pada pasien dengan defisit
pemahaman yang berat agak sulit. Diagnosis dapat dibuat berdasarkan perilaku
yang dapat diobservasi seperti kurang tidur, menolak makan, gelisah, agitasi, atau
retardasi dan adanya pemeriksaan Dexamethason Serum Test (DST) positif yaitu
suatu peneriksaan darah untuk mengetahui depresi.
Menurut Amir (2005); Andri & Susanto (2008); Meifi & Agus (2009), penyebab
pasti DPS belum diketahui pasti, namun terdapat beberapa teori yang
menjelaskan faktor penyebab DPS, yaitu :
Depresi timbul sebagai akibat lesi pada daerah otak yang menyebabkan
terjadinya penurunan sintesis monoamin sehingga terjadi penurunan serotonin
yang merupakan neurotransmitter untuk mempertahankan keadaan emosi tetap
stabil. Penurunan serotonin menyebabkan gangguan suasana hati, tidur dan
nafsu makan (Schub & Caple, 2010). Gangguan suasana hati dimanifestasikan
dengan marah, frustasi, putus asa dan sering menyebabkan depresi. Penelitian
melaporkan sebuah hasil yang signifikan tergantung pada lokasi lesi otak
dengan kejadian depresi paska stroke dilesi hemisfer kiri. Penelitian tersebut
juga menunjukkan adanya tingkat keparahan depresi dengan jauhnya batas
anterior lobus frontalis walaupun demikian tidak semua lesi pada hemisfer kiri
menyebabkan depresi paska stroke (Andri & Susanto, 2008). Pada kondisi
depresi dapat terjadi disregulasi biogenik-amin, seperti serotonin dan
norepinephrin dan disregulasi neuroendokrin seperti aksis hipotalamik-
pituitary-adrenal.
c. Faktor Psikososial
Faktor psikososial yang terdapat pada pasien akibat dampak serangan stroke
memiliki hubungan dengan terjadinya DPS. Stroke dapat berdampak pada
berbagai fungsi tubuh, seperti gangguan motorik, sensorik, bicara dan bahasa,
penglihatan, afek dan gangguan kognitif (Suwantara, 2004). Kondisi ini
dianggap disability bagi pasien, sehingga menimbulkan perasaan tidak berguna,
b. Afasia
Afasia adalah gangguan kemampuan berbahasa yang didapat dimana
sebelumnya pasien normal. Afasia merupakan salah satu akibat stroke yang
sering terjadi, dialami sekitar 1/3 pasien pada fase akut. Meskipun secara jelas
gangguan kemampuan berkomunikasi sangat berperan terhadap berat dan
berkepanjangannya depresi, evaluasi psikiatrik terhadap dampak afasia pada
depresi paska stroke sangat terbatas, biasanya antara lain karena pasien afasia
sering mengalami kriteria eklusi (Meifi & Agus, 2009).
c. Umur
Menurut Amir (2005), depresi lebih sering terjadi pada usia muda dengan umur
rata – rata awitan antara 20 – 40 tahun. Walaupun demikian, depresi juga dapat
terjadi pada anak – anak dan lanjut usia. Sedangkan menurut Glemcevski et al
d. Jenis Kelamin
Jenis kelamin (gender) juga memegang peranan penting di dalam risiko untuk
terjadinya stroke. Dilaporkan laki-laki memiliki risiko stroke lebih tinggi
dibandingkan perempuan, tetapi oleh karena usia rata-rata perempuan lebih
panjang maka pada suatu tingkat usia tertentu jumlah perempuan yang
mengalami serangan stroke lebih banyak dari laki-laki.
Prevalensi selama kehidupan, pada wanita 10%-25% dan pada laki-laki 5%-
12%. Sekitar 15% penderita depresi melakukan usaha bunuh diri. Walaupun
depresi lebih sering pada wanita, kejadian bunuh diri lebih sering pada laki-
laki, terutama lelaki usia muda dan usia tua (Amir, 2005). Sedangkan menurut
Storor & Byrne (2006) tidak ada hubungan yang signifikan yang ditemukan
diantara skor dimensi depresi dan karakteristik usia, jenis kelamin. Sedangkan
menurut penelitian Laska (2007); Thomas & Lincoln, 2008) bahwa faktor –
faktor yang mempengaruhi prevalensi depresi adalah jenis kelamin, usia,
tingkat dukungan sosial, hidup sendiri dan riwayat gangguan mood. Hal ini
kemungkinan bahwa wanita lebih sering terpajan dengan stressor lingkungan
dan ambangnya terhadap stressor lebih rendah bila dibandingkan dengan pria.
f. Kemampuan fungsional
Kerusakan kemampuan fungsional merupakan efek stroke yang paling jelas
terlihat. Defisit motorik, meliputi kerusakan mobilitas, fungsi respirasi,
menelan dan berbicara, reflek gag dan kemampuan melakukan aktivitas sehari
– hari (Lewis, 2007). Lebih dari 30% pasien stroke membutuhkan bantuan
dalam aktivitas sehari – hari dan sekitar 15% membutuhkan bantuan di fasilitas
pelayanan seperti rumah sakit dan pusat rehabilitasi (Swierzewski, 2010).
Ketidakmampuan fisik menyebabkan hilangnya peran hidup yang dimiliki
pasien, sehingga dapat menyebabkan gangguan persepsi akan konsep diri yang
bersangkutan dan dengan sendirinya mengurangi kualitas hidupnya
(Suwantara, 2004). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Dahlin et al (2006),
menyatakan ada hubungan yang signifikan antara tingkat depresi dengan
gangguan aktivitas sehari – hari (p:0.04). Sedangkan penelitian Fatoye (2009)
menyatakan bahwa ada hubungan antara gangguan fungsi motorik berupa
paresis dengan depresi paska stroke ( p: 0.002). Penelitian Darussalam (2011)
juga menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kemampuan fungsional
dengan depresi responden (p: 0.014). Sedangkan menurut hasil penelitian Ardi
(2011), terdapat hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan fisik
dengan keputusasaan pada pasien stroke (p : 0.007).
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti depresi pada pasien stroke
dengan afasia dan masalah komunikasi dengan berbagai macam alat ukur, seperti
Sign of Depression Scale (SODS), Stroke Aphasic Depression Questionnaire
Hospital (SADQH), Aphasic Depression Rating Scale (ADRS), dan Visual
Analog Mood Scale (VAMS) (Bennet & Lincoln, 2006).
Semua pengkajian itu akan lebih baik jika kita tambahkan dari hasil observasi
pada klien dalam situasi komunikasi perawat – klien sehari – hari, tanpa klien
merasa sedang dikaji. Pengkajian ini penting dilakukan secara mendetail untuk
mengetahui jenis gangguan bicara yang terjadi serta penyebab dari gangguan
tersebut, sehingga dapat diberikan intervensi yang tepat. Selama pengkajian
observasi kelemahan, nyeri dan frustasi (Hoeman, 1996). Oleh karena pasien
afasia tidak mampu mengungkapkan apa yang mereka inginkan, sehingga
seringkali pasien menjadi frustasi, marah, kehilangan harga diri dan emosi pasien
menjadi labil. Keadaan ini pada akhirnya menyebabkan pasien menjadi depresi
(Mulyatsih & Ahmad, 2010). Berdasarkan kondisi diatas, maka perawat perlu
melakukan pengkajian psikososial pada pasien afasia untuk memberikan
intervensi yang tepat.
Pengkajian terkait gangguan psikososial pasien stroke berdasarkan NOC dan NIC
(Ackley & Ladwig, 2011; Ignatavacius & Workman, 2010; Wilkinson, 2007)
yaitu :
Oleh karena itu untuk mengurangi terjadinya depresi dan masalah psikososial
tersebut adalah dengan memfasilitasi komunikasi pasien pasien afasia motorik
Stroke
(Sumber: Ignatavicius & Workman, 2010; Lumbantobing, 2011; Silbernagl & Lang, 2007; Black
& Hawks, 2009; Potter & Perry, 2005; Gulanick/Myers, 2009)
Hubungan kedua variabel ini bersifat hubungan satu arah, dimana variabel
independen memberi kontribusi pada variabel dependen. Kemampuan fungsional
komunikasi dan depresi pada pasien stroke dengan afasia motorik ditentukan oleh
pemberian AAC. Hubungan antara kedua variabel tersebut dapat dilihat pada
skema 3.1
Pemberian komunikasi
Kemampuan
dengan
KKom augmentative & fungsional komunikasi
alternative Depresi
communication/AAC
Perancu :
Umur
Jenis kelamin
Frekuensi serangan
stroke
Ketidakmampuan fisik
Dukungan keluarga
Independent
Komunikasi Pemberian alat bantu Menggunakan 1 : kelompok Nominal
dengan komunikasi non verbal yang lembar kontrol yang
augmentative and diberikan oleh peneliti dengan observasi diberikan
alternative menggunakan media perawat yang
komunikasi
communication/ komunikasi seperti buku berisi prosedur
(AAC) komunikasi yang berisikan pelaksanaan non verbal
kebutuhan aktivitas sehari – latihan sesuai standar
hari, foto, majalah, musik/lagu rumah sakit
dan alat tulis untuk 2 = kelompok
memfasilitasi komunikasi intervensi
pasien disertai dengan latihan yang diberikan
komunikasi sederhana komunikasi
berorientasi pada kemampuan dengan AAC
menunjukkan gambar, sesuai
menyebutkan/penamaan, pedoman yang
pengulangan, membaca, disusun oleh
mengeja dan menulis yang peneliti
dilakukan sebanyak 3 kali
dalam sehari dengan frekuensi
waktu 30 menit setiap kali
pemberian selama 10 hari dan
pemberian komunikasi oleh
keluarga menggunakan
pedoman kebutuhan aktivitas
sehari – hari yang disusun oleh
peneliti dengan tugas
menyebutkan/penamaan,
pengulangan, membaca,
mengeja dan menulis dan
dilakukan selama 90 menit
Dependent
Depresi pada Gangguan emosional yang Menggunakan Dinyatakan Interval
pasien afasia terjadi setelah serangan stroke lembar dalam rentang
pada pasien afasia dengan tanda observasi 0 – 32
dan gejala, antara lain Aphasic
insomnia, kecemasan, gejala Depression
somatik fisik/gastrointestinal, Rating Scale
c. Dimensi instrumental
Dukungan keluarga dalam
bantuan langsung
mengerjakan tugas tertentu
atau penyediaan sarana
terkait perawatan pasien
stroke dengan afasia motorik
d. Dimensi informasi
Dukungan keluarga dalam
pemberian saran atau umpan
balik terkait perawatan
pasien stroke dengan afasia
mtorik
Skema 4.1
Rancangan Penelitian
Dibandingkan
O1 – O2 = X1
4.2.2 Sampel
Sampel adalah subjek yaitu sebagian dari populasi yang dinilai karakteristiknya
diukur oleh peneliti dan nantinya dipakai untuk menduga karakteristik dari
populasi (Sabri dan Hastono, 2006). Sesuai dengan desain penelitian, pengambilan
sampel dilakukan secara terpilih sesuai dengan kriteria inklusi. Kriteria inklusi
adalah karakteristik umum yang harus dipenuhi oleh subyek agar dapat ikut dalam
penelitian (Sastroasmoro & Ismael, 2010). Kriteria inklusi sampel tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Pasien yang didiagnosa stroke hemoragik dan non hemoragik yang mengalami
afasia motorik. Penentuan afasia motorik dibuat berdasarkan format Frenchay
Aphasia Screening Test (FAST), yaitu ditandai oleh ketidakmampuan pasien
untuk mengkoordinasikan atau menyusun fikiran, perasaan dan kemauan
menjadi simbol yang bermakna dan dimengerti oleh orang lain, tetapi pasien
masih mempunyai pemahaman yang baik. Bicara lisan tidak lancar, terputus-
putus dan sering ucapannya tidak dimengerti orang lain. Apabila bertutur
kalimatnya pendek-pendek dan monoton. Kemampuan berbicara pasien afasia
setara dengan kemampuan menulis.
Untuk memperkirakan besar sampel dari dua kelompok independen dengan uji
hipotesis, diperlukan 4 informasi penting yaitu :
a. Simpang baku kedua kelompok, s (dari pustaka)
b. Perbedaan klinis yang diinginkan, x 1 – x2 (clinical judgement)
c. Kesalahan tipe I, α (ditetapkan)
d. Kesalahan tipe II, β (ditetapkan)
Z +Z S
n =n =2
Χ −Χ
Keterangan :
n1 = n2 : Besar sampel
Zα : Kesalahan Tipe I = 5 %, hipotesis dua arah, Z = 1.96
Zß : Kesalahan Tipe II = 20 %, maka Z = 0.842
S : Simpang baku gabungan = 6.9
X1 – X2 : Selisih rerata minimal yang dianggap bermakna oleh peneliti
Adapun derajat kemaknaan 5% dan kekuatan uji 80%. Dengan demikian, maka
besar sampel untuk penelitian ini adalah sebagai berikut :
Berdasarkan simpang baku diatas, dan nilai Χ − Χ yang ditetapkan oleh peneliti
sebesar 5.7 maka didapatkan jumlah sampel :
2.802 × 6.9
n =n =2
8
19.33
n=n =2
8
n = n = 2 ( 2.416)
n = n = 2 × 5.838
n = n = 11.6 = 12
Selama penelitian di RSUD Kota Tasikmalaya, Kota Banjar dan Kabupaten Garut
peneliti mendapatkan jumlah sampel 21 orang yaitu 11 orang kelompok kontrol
Dahlan (2006) menyatakan power penelitian perlu dihitung kembali karena besar
sampel yang diperoleh tidak sesuai dengan yang direncanakan. Dari hasil
pengolahan data dari depresi, diperoleh rata-rata depresi pada kelompok kontrol
(n1=11) adalah 9.64 (µ1) dengan SD1 1.29. Sedangkan rata-rata depresi pada
kelompok intervensi (n2=10) adalah 8.30 (µ2) dengan SD2 1.16.
Keterangan :
Zβ = Kesalahan tipe II
Zα = Kesalahan tipe I 5% ( dua arah = 1,96)
µ1 = rata - rata yang diamati satu
µ2 = rata - rata yang diamati dua
n = jumlah sampel per kelompok
S = standar deviasi gabungan masing-masing kelompok.
Selain itu menurut Roscoe (1982) dalam Sugiyono (2009), penentuan besar
sampel penelitian ekspremen sederhana adalah sebesar 10-20 sampel untuk setiap
kelompok, sehingga berdasarkan pertimbangan diatas, jumlah sampel dianggap
memenuhi untuk jenis penelitian eksperimen sederhana ini.
4.8.2 Lembar observasi skrining afasia dengan menggunakan FAST untuk menilai
apakah pasien mengalami afasia/tidak terhadap kemampuan berbahasa,
seperti pemahaman, mengungkapkan, membaca dan menulis. Instrumen
4.8.3 Lembar observasi perawat tentang depresi berisi daftar penilaian atau ceklist
untuk menilai depresi/mood pasien pada kelompok kontrol dan kelompok
intervensi dengan menggunakan Aphasic Depression Rating Scale (ADRS).
Aphasic Depression Rating Scale (ADRS) dikembangkan oleh Benaim,
Cailly, Perennou & Pelissier pada tahun 2004 untuk mendeteksi dan
mengkaji depresi berdasarkan observasi perilaku pada pasien afasia. ADRS
digunakan pada pasien yang memiliki afasia dengan stroke dan terdiri dari
9 item yang dipilih dari Hamilton Depression Rating Scale (HDRS),
Montgomery & Asperg Depression Rating Scale (MADRS) dan Salpetriere
Ratardation Rating Scale (SRRR). Skor diberikan dengan menambahkan
setiap item yang berbeda pada setiap item, dengan jumlah total skor yang
diperoleh 32. ADRS memiliki titik potong 9/32 yang dipakai untuk
4.8.5 Lembar kuesioner dukungan keluarga yang diisi oleh keluarga untuk menilai
dukungan keluarga terhadap pasien afasia motorik. Kuesioner dukungan
keluarga dibuat berdasarkan beberapa teori dukungan keluarga dan
modifikasi instrumen dari kuesioner Yenni (2011) tentang hubungan
dukungan keluarga dan karakteristik lansia dengan kejadian stroke pada
lansia hipertensi di wilayah kerja puskesmas perkotaan Bukittinggi.
Dukungan keluarga dinilai pada empat dimensi, yaitu dimensi informasi,
emosi, instrumental dan penghargaan. Dukungan keluarga dinilai pada hari
ke 11 sesudah pemberian komunikasi dengan AAC. Dukungan keluarga
Hasil uji validitas dan reabilitas dengan degree of freedom 10-2 =8 (r tabel
0.632). Pada kuesioner dukungan keluarga terdapat pertanyaan yang tidak
valid yaitu pertanyaan nomor 8, 9,10 dan 13, sehingga pertanyaan tersebut
dikeluarkan dari instrumen. Selanjutnya pertanyaan yang valid adalah 15 item
dengan nilai validitas (r 0.724 – 0.863. Jumlah pertanyaan dukungan keluarga
yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 pertanyaan dengan
pertimbangan ke 15 pertanyaan tersebut telah memenuhi 4 dimensi, yaitu
dimensi informasi, instrumental, emosional dan penghargaan.
b. Kelompok intervensi
1. Menentukan responden diruangan neurologi yang memenui kriteria inklusi
sesuai dengan teknik pengambilan sampel.
2. Pada hari ke I, peneliti dan asisten peneliti meminta kesediaan responden
untuk menjadi sampel dengan terlebih dahulu menjelaskan maksud dan
tujuan penelitian, meminta dengan sukarela kepada responden untuk
menandatangani lembar informed consent, mencatat data responden sesuai
dengan tujuan penelitian, melakukan skrining afasia untuk menilai
afasia/tidak, selanjutnya ditentukan afasia motorik menggunakan format
FAST.
3. Pada hari ke I-X, kelompok intervensi diberikan AAC. Objek yang
digunakan dalam pelaksanaan komunikasi ini adalah buku komunikasi
yang berisi kegiatan sehari – hari, koran/majalah, foto keluarga, kartu
bergambar, alat tulis, papan alfabet dan lagu/musik.
4. Pada kelompok intervensi, peneliti melibatkan peran serta keluarga untuk
mendampingi pasien, mengobservasi pelaksanaan dan melakukan latihan
Pertemuan 3 :
a) Peneliti bercakap cakap kepada pasien tentang pekerjaan/ keluarga pasien.
Catat irama bicara, berhenti atau kalimat monoton, produksi suara.
b) Peneliti meminta pasien menunjukkan objek disekitar ruangan, seperti
jendela, pintu, lampu, meja, kursi yang disebutkan oleh peneliti.
Pertemuan 2 :
a) Peneliti mengevaluasi penggunaan papan alfabet kepada pasien dengan
meminta pasien untuk menunjukkan huruf dan meminta menyebutkannya
secara berulang – ulang.
b) Peneliti meminta pasien untuk menyebutkan huruf pertama dari suatu
benda yang ada didekat pasien, misalnya piring, gelas (menyebutkan huruf
“p”, “g”).
Pertemuan 3 :
a) Minta pasien untuk membaca kartu, kalimat/paragraf yang pendek di koran
dan kemudian minta pasien untuk membaca kembali apa yang dibaca
pasien dengan suara yang keras.
b) Peneliti meminta pasien untuk mengeja huruf yang ada dibuku
komunikasi/ koran/majalah.
c) Peneliti dapat meminta keluarga mendengarkan lagu – lagu yang disukai
pasien.
Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien menceritakan mengapa sampai dirawat di rumah sakit,
atau minta pasien menceritakan mengenai pekerjaannya atau hobinya.
Jangan memutuskan pembicaraan pasien, apabila pasien mengalami
kesulitan atau menyelesaikan percakapannya.
b) Meminta keluarga mendengarkan musik/ lagu kesenangan pasien
(mengingatkan memori pasien tentang kata – kata dalam lagu dan
mendorong pasien untuk menyenandungkan lagu tersebut).
Pertemuan 2 :
a) Mengajak pasien bercakap – cakap, misalnya melalui pengalaman pasien
yang ada dibuku komunikasi, seperti acara televisi, apa yang dimakan
pasien pada sarapan pagi, bacaan di koran, dll.
b) Tunjukkan benda – benda yang mudah dikenal, seperti pulpen, kunci atau
jam dan tanyakan nama benda tersebut. Catat adanya kesulitan dalam
penamaan objek (anomia).
c) Keluarga dianjurkan untuk selalu terlibat dalam aktivitas komunikasi pada
hal - hal rutin dilakukan pasien, misalnya pada saat pasien mau minum
obat, buang air besar atau pada saat akan istirahat, dengan menanyakan hal
– hal yang berhubungan dengan aktivitas tersebut.
Pertemuan 3 :
a) Keluarga memberikan komunikasi dengan AAC pada tugas – tugas
pengucapan, penamaan, pengulangan, membaca, mengeja dan menulis
yang berhubungan dengan kegiatan sehari – hari, menunjukkan gambar
yang ada dibuku komunikasi atau yang ada disekitar pasien, keluarga/
hobi.
Pertemuan 3 :
a) Mengajak pasien bercakap – cakap, seperti apa yang dimakan pasien pada
sarapan pagi, bacaan di koran, dll.
b) Tunjukkan benda – benda yang mudah dikenal, seperti pulpen dan
meminta pasien untuk menyebutkannya.
Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien menunjukkan pada buku komunikasi apa yang disebutkan
peneliti, seperti “saya memerlukan sepatu”, “saya lapar dan ingin makan”,
“saya capek , saya ingin tidur”, “diluar gelap, tolong hidupkan lampu”.
b) Minta pasien untuk menunjukkan benda disekitar pasien, seperti lemari,
meja, roti, sandal, obat. Kemudian minta pasien untuk menyebutkan benda
yang ditunjukkan tersebut dan mengulangnya kembali.
Pertemuan 2 :
a) Minta pasien untuk mencari dibuku komunikasi dan menunjukkan
kata/kalimat yang disebutkan peneliti, seperti : buah, gatal, cuaca, sabun,
shampoo.
b) Minta pasien untuk mengulang apa yang ditunjukkannya dengan
menyebutkan suku pertama, sebagian kata.
Pertemuan 2 :
a) Minta pasien untuk mencari kata yang diucapkan oleh peneliti, kemudian
mencari kata tersebut dalam buku komunikasi tersebut, seperti “saya mau
menelepon”, saya mau wudhu, cuaca diluar dingin, saya mau buang air
kecil, buang air besar, saya memerlukan kacamata, saya ingin duduk
bersandar, saya ingin miring ke kanan.
Pertemuan 3 :
a) Meminta pasien untuk menyebutkan nama teman - temannya, nama pasien
disampingnya/anaknya
b) Minta pasien untuk mengulangnya, mengeja huruf pertama/sebagian
kata.
12. Hari IX :
Pertemuan 1 :
a) Meminta pasien untuk menunjuk nama anggota keluarganya yang ada di
hp atau foto, teman atau orang disekitarnya sesuai yang disebutkan oleh
peneliti, pasien diminta meniru ucapan dan memberi namanya
Pertemuan 2 :
a) Bercakap – cakap dengan pasien dalam melakukan kegiatan sehari – hari,
seperti mandi, mengenakan pakaian. Keluarga/peneliti dapat bercerita
tentang tempat tinggal atau hobi. Kita dapat menanyakan kepada pasien
tentang keluarganya atau bidang minatnya.
Pertemuan 3 :
a) Membacakan sesuatu (dari koran, misalnya), atau bersama – sama
mendengarkan lagu yang disukai pasien. Minta pasien untuk
menyebutkan yang disebutkan peneliti/keluarga dan mengulangnya
kembali.
13. Hari X :
Pertemuan 1 :
a) Tunjukkan buku komunikasi dan minta pasien untuk menyebutkan
gambar – gambar yang ada dibuku komunikasi, seperti kebutuhan
makan, minum, istirahat dan tidur.
b) Minta pasien menyebutkan benda – benda yang ada disekitar pasien,
seperti bantal, selimut, lemari.
Pertemuan 2 :
a) Dengarkan sebuah lagu yang disenangi pasien, peneliti bersama pasien
bernyanyi bersama, minta pasien menyanyikan kata/kalimat pada lagu,
dan meminta mencoba mengulangi menyanyi.
Pertemuan 3:
a) Minta pasien menyebutkan nama perawat/istri/anak yang merawatnya dan
mengulang apa yang disebutkannya.
Skema 4.2
Prosedur Pelaksanaan Penelitian
Memastikan diagnosa pasien adalah stroke
hemoragik dan non hemoragik (melalui status)
Hari I-X : Pemberian isyarat/alat tulis Hari I-X: Pemberian buku komunikasi,
selama 10 hari (Hari I –X) papan alfabet, majalah/surat kabar, musik
alat tulis berdasarkan format yang
dirancang oleh peneliti dengan melibatkan
keluarga
Hari XI : Hari XI :
Penilaian kemampuan fungsional Penilaian kemampuan fungsional
komunikasi, depresi, ketidakmampuan komunikasi, depresi,
fisik dan dukungan keluarga ketidakmampuan fisik dan
dukungan keluarga
Variabel Dependen
1 Kemampuan Fungsional Numerik/Interval Mean, Median, SD, Min-
Komunikasi Mak, 95% CI
2. Depresi Numerik/Interval Mean, Median, SD, Min-
Mak, 95% CI
Variabel Confounding
3 Umur Numerik/ Interval Mean, Median, SD, Min-
Mak, 95% CI
4 Jenis Kelamin Kategorik/Nominal Jumlah, Persentase (%)
5 Frekuensi serangan stroke Kategorik/Nominal Jumlah, Persentase (%)
6 Ketidakmampuan fisik Numerik/ Interval Mean, Median, SD, Min-
Mak, 95% CI
7 Dukungan keluarga Numerik/Interval Mean, Median, SD, Min-
Mak, 95% CI
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui adakah pengaruh signifikan antara
dua variabel. Untuk menentukan jenis uji yang digunakan terlebih dahulu, maka
dilakukan uji homogenitas dan normalitas. Uji homogenitas dilakukan pada setiap
data antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Untuk data kategorik diuji
dengan uji Chi-Square dan untuk data numerik digunakan uji Independent t-test.
Apabila nilai p > 0.05, maka data disebut homogen. Hasil yang didapatkan semua
data yang didapat homogen, artinya semua data memiliki kesetaraan pada variabel
perancu, seperti umur, jenis kelamin, frekuensi stroke, ketidakmampuan fisik dan
dukungan keluarga. Sedangkan untuk uji normalitas data dilakukan pada variabel
numerik dengan membagi nilai skewness dengan standar error. Hasil uji
normalitas untuk variabel umur, dukungan keluarga, ketidakmampuan fisik,
kemampuan komunikasi verbal dan depresi didapatkan hasil bahwa data
terdistribusi dengan normal, sehingga uji statistik yang digunakan adalah uji
parametrik dengan tingkat kemaknaan 95% (alpha 0,05). Artinya jika p value <
0.05, maka hasilnya bermakna yang berarti Ho ditolak atau ada pengaruh. Tetapi
jika p value > 0.05, maka hasilnya tidak bermakna yang berarti Ho diterima atau
tidak ada pengaruh. Analisis bivariat yang digunakan dapat dilihat dibawah ini:
No
Variabel Kelompok Jenis Uji Statisitik
1 Umur (Numerik) Intervensi Korelasi Person
2 Jenis kelamin (Kategorik) Intervensi T test Independent
3 Frekuensi serangan stroke T test Independent
Intervensi
(Kategorik)
]4 Ketidakmampuan fisik (Numerik) Intervensi Korelasi Person
5 Dukungan keluarga (Numerik) Intervensi Korelasi Person
Pada bab ini akan disajikan data tentang pengaruh pemberian komunikasi dengan
ugmentative and alternative communication terhadap kemampuan fungsional
komunikasi dan depresi berupa analisis univariat dan bivariat. Sebelum dilakukan
analisis bivariat dilakukan uji normalitas data dan uji kesetaraan pada variabel
perancu. Pada analisa univariat akan disajikan hasil distribusi frekuensi variabel
konfounding, dan variabel kemampuan fungsional komunikasi dan depresi.
Sedangkan pada analisa bivariat akan disajikan analisis kesetaraan, perbedaan rata
– rata kemampuan fungsional komunikasi dan depresi pada kelompok kontrol dan
intervensi beserta hubungan variabel perancu terhadap kemampuan fungsional
komunikasi dan depresi sesudah diberikan komunikasi dengan AAC.
5.1.1 Umur
Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata umur pada kelompok kontrol
adalah 61.55 tahun (SD = 5.98) dengan umur termuda adalah 53 tahun dan usia
tertua 70 tahun. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95%
diyakini bahwa umur rata-rata antara 57.52 tahun sampai dengan 65.57 tahun.
Sedangkan rata-rata umur pada kelompok intervensi adalah 62.70 tahun (SD =
11.89) dengan umur termuda 42 tahun dan umur tertua 76 tahun. Dari hasil
estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa umur rata-rata
antara 54.19 tahun sampai dengan 71.21 tahun.
Rata – rata umur pada kelompok kontrol dan intervensi adalah 62.10 tahun (95%
CI : 57.97 – 66.22) dengan standar deviasi 9.055 tahun. Umur termuda 42 tahun
dan umur tertua 76 tahun, hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95%
Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata ketidakmampuan fisik pada
kelompok kontrol adalah 25.00 (SD = 8.062) dengan ketidakmampuan fisik
terendah adalah 10 dan tertinggi 40. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan
bahwa 95% diyakini bahwa ketidakmampuan fisik rata-rata antara 19.58 sampai
dengan 30.42.
Rata – rata ketidakmampuan fisik pada kelompok kontrol dan intervensi adalah
25.48 (95% CI : 22.19 – 28.77) dengan standar deviasi 7.229. Ketidakmampuan
fisik terendah 10 dan tertinggi 40, hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa
95% diyakini rata – rata ketidakmampuan fisik pada kelompok kontrol dan
intervensi adalah diantara 22.19 sampai dengan 28.77.
Berdasarkan pada data tabel 5.1, didapatkan rata-rata dukungan keluarga pada
kelompok kontrol adalah 45.73 (SD = 3.52) dengan dukungan keluarga terendah
adalah 39 dan tertinggi 53. Dari hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa
95% diyakini bahwa dukungan keluarga rata-rata antara 43.36 sampai dengan
48.09.
5.1.5 Depresi
Berdasarkan tabel 5.1, didapatkan rata-rata depresi pada kelompok kontrol adalah
9.64 (SD = 1.28) dengan depresi terendah adalah 8 dan tertinggi 13. Dari hasil
estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini bahwa depresi rata-rata
antara 8.77 sampai dengan 10.50.
Rata – rata depresi pada kelompok kontrol dan intervensi adalah 9.00 (95% CI :
8.37 – 9.63) dengan standar deviasi 1.378. Depresi terendah 7 dan tertinggi 13,
hasil estimasi interval dapat disimpulkan bahwa 95% diyakini rata – rata depresi
pada kelompok kontrol dan intervensi adalah diantara 8.37 sampai dengan 9.63.
Umur
Kontrol 11 61.55 5.98 1.81 - 0.277 0.786
Intervensi 10 62.70 11.89 3.76
Ketidakmampuan Fisik
Kontrol 11 25.00 8.06 2.43 -0.309 0.760
Intervensi 10 26.00 6.58 2.08
Dukungan Keluarga
Kontrol 11 45.73 3.52 1.06 -1.195 0.247
Intervensi 10 47.30 2.31 0.73
Berikut ini akan disajikan perbedaan kemampuan fungsional komunikasi pada pasien
afasia motorik sesudah diberikan komunikasi dengan augmentative and alternative
communication antara kelompok kontrol dan intervensi
Mean Diff
Variabel n Mean SD SE T p value
95%
Kemampuan Fungsional Komunikasi
Kontrol 11 10.64 1.748 0.527 -0.464
-0.621 -2.026 – 1.099 0.542
Intervensi 10 11.10 1.663 0.526
Mean Diff
Variabel n Mean SD SE t p value
95%
Depresi
Kontrol 11 9.64 1.1 0.388 1.336
Intervensi 10 8.30 1.160 0.367 2.491 0.213 – 2.459 *0.022
* Bermakna pada α 0.05
Berdasarkan hasil analisis tabel tabel 5.6 didapatkan rata-rata depresi pada kelompok
kontrol adalah 9,64, sedangkan rata – rata depresi kelompok intervensi adalah 8.30. Hasil
uji statistik didapatkan p = 0.022 pada α = 0.05. Artinya terdapat perbedaan yang
bermakna rata-rata depresi antara kelompok kontrol dan intervensi.
Tabel 5.7 Hasil Analisis Pengaruh Umur, Ketidakmampuan Fisik dan Dukungan
Keluarga terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi pada
Kelompok Intervensi pada Pasien Afasia Motorik
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November – Desember 2011
Variabel r p value
Umur -0.144 0.691
Ketidakmampuan fisik -0.264 0.461
Dukungan Keluarga -0.124 0.732
Dari tabel 5.7 di atas diperoleh nilai r = - 0,144 dan nilai p = 0,691. Artinya
hubungan antara umur responden dengan kemampuan fungsional komunikasi
menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola negatif. Semakin bertambah
umur responden, semakin berkurang kemampuan fungsional komunikasinya .
Tabel 5.8 Hasil Analisis Pengaruh Jenis Kelamin dan Frekuensi Serangan Stroke
terhadap Kemampuan Fungsional Komunikasi pada Kelompok Intervensi
di RSUD Garut, Tasikmalaya dan Banjar
November – Desember 2011
p value
Variabel n Mean SD SE
Jenis Kelamin
Laki – laki 6 11.00 2.098 0.856
Perempuan 4 11.25 0.957 0.479 0.831
Frekuensi serangan stroke
1 kali 5 12.00 1.225 0.548
>1 kali 5 10.20 1.643 0.735 0.085
Sesuai tabel 5.8 di atas menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara jenis
kelamin dengan kemampuan fungsional komunikasi dengan nilai p > 0.05 (p =
0.831). Sedangkan pada frekuensi serangan stroke menunjukkan tidak ada
Variabel r p value
Umur -0.395 0.258
Ketidakmampuan fisik 0.539 0.108
Dukungan Keluarga -0.493 0.147
Dari tabel 5.9 di atas diperoleh nilai r = - 0,395 dan nilai p = 0,258. Artinya
hubungan antara umur responden dengan depresi menunjukkan hubungan yang
sedang dan berpola negatif. Semakin bertambah umur responden, semakin
menurun depresinya. Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang
signifikan antara umur dengan kemampuan fungsional komunikasi (p = 0,258).
Sedangkan pada variabel ketidakmampuan fisik diperoleh nilai r = 0,539 dan nilai
p = 0,108. Artinya hubungan antara ketidakmampuan fisik responden dengan
depresi menunjukkan hubungan yang kuat dan berpola positif. Semakin
bertambah ketidakmampuan fisik responden, semakin bertambah depresinya.
Hasil uji statistik diperoleh tidak ada hubungan yang signifikan antara
ketidakmampuan fisk dengan depresi (p = 0,108).
Variabel dukungan keluarga diperoleh nilai r = -0,493 dan nilai p = 0,147. Artinya
hubungan antara dukungan keluarga responden dengan depresi menunjukkan
hubungan yang sedang dan berpola negatif. Artinya semakin bertambah dukungan
keluarga responden, semakin menurun depresinya. Hasil uji statistik diperoleh
tidak ada hubungan yang signifikan antara dukungan keluarga dengan depresinya
(p = 0,147).
p value
Variabel n Mean SD SE
Jenis Kelamin
Laki – laki 6 8.00 1.265 0.516
Perempuan 4 8.75 0.957 0.479 0.346
Frekuensi serangan stroke
1 kali 5 9.00 1.000 0.447 0.048*
>1 kali 5 7.60 0.894 0.400
* Bermakna pada α 0.05
Sesuai tabel 5.10 di atas, menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara
jenis kelamin dengan depresi dengan nilai p > 0.05 ( p = 0,346). Sedangkan pada
frekuensi serangan stroke menunjukkan hubungan bermakna dengan depresi
dengan nilai p < 0.05 (p = 0.048).
Pada bab ini akan diuraikan dan dijelaskan makna hasil penelitian yang meliputi :
interpretasi dan diskusi hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan pada bab
lima, keterbatasan penelitian yang telah dilakukan serta bagaimana implikasi hasil
penelitian ini terhadap pelayanan keperawatan dan pengembangan penelitian
berikutnya guna peningkatan kualitas asuhan keperawatan.
a. Umur
Secara konsep, faktor umur merupakan salah satu faktor risiko yang tidak dapat
diubah, menurut AHA/ASA (2006) menyatakan bahwa seseorang yang sudah
berumur diatas 55 tahun akan berisiko menderita stroke dua kali lipat dibanding
usia dibawah 55 tahun. Stroke pada usia ini diprediksi berkaitan dengan masalah
aterosklerosis yang banyak dialami oleh pasien-pasien usia lanjut. Berdasarkan
hasil wawancara selama penelitian, semua responden memiliki faktor resiko
hipertensi. Pada klien-klien dengan hipertensi, tekanan darah yang tinggi secara
Umur termuda responden pada kelompok intervensi adalah 42 tahun, ini tergolong
sebagai stroke umur muda. Menurut Pinzon (2009), definisi umum yang
digunakan pada berbagai penelitian epidemiologi untuk stroke umur muda adalah
stroke yang terjadi pada umur kurang dari 45 tahun. Menurut hasil penelitian
Lipska, et al (2007) menunjukkan bahwa stroke usia muda paling banyak
disebabkan oleh sindrom metabolik. Komponen sindrom metabolik yang dapat
teramati dalam penelitiannya adalah : peningkatan trigliserida (> 150 mg/dl),
penurunan kolesterol HDL (dibawah 40 mg/ dl), peningkatan tekanan darah
(diatas 130 mmHg untuk sistolik atau diatas 85 mmHg untuk diastolik), dan
peningkatan kadar gula puasa diatas 100 mg/ dl. Pasien akan dinyatakan pula
mengalami salah satu dari komponen sindroma metabolik tersebut, bila sudah
terkonfirmasi menderita penyakit yang termasuk dalam sindroma metabolik, atau
sedang mendapat terapi (misalnya mendapat terapi statin untuk dislipidemia).
Selain itu, hasil penelitian Lipska, et al (2007) juga menemukan bahwa komponen
sindroma metabolik yang paling teramati pada kasus stroke umur muda adalah
kadar HDL yang rendah (65% kasus) dan peningkatan tekanan darah (50% kasus).
Hal ini sesuai dengan apa yang ditemukan pada responden penelitian. Stroke
paling muda berusia 42 tahun, merupakan pasien stroke yang dirawat untuk kedua
kalinya. Faktor resiko yang dimiliki oleh responden ini diantaranya adalah
tingginya kadar kolesterol dan trigliserida serta riwayat hipertensi. Hipertensi dan
hiperlipidemia merupakan dua faktor resiko terjadinya stroke. Hiperlipidemia
terutama kolesterol dan trigliserida, peningkatannya akan memicu terjadinya
aterosklerosis yang bisa mencetuskan terjadinya stroke. Aterosklerosis merupakan
suatu proses dimana terjadi penebalan dan hilangnya elastisitas arteri. Umumnya
b. Jenis Kelamin
Secara konsep sekitar sepertiga dari semua pasien stroke yang sembuh dari stroke
akan mengalami serangan ulang dalam 5 tahun, 5-14% dari mereka akan
mengalami stroke ulang pada tahun pertama (Iskandar, 2003). Menurut National
Stroke Association (2009), 3- 10% stroke ulang terjadi dalam 30 hr, 5-14% pasien
stroke akan mengalami stroke ulang dalam 1 tahun, dan 25-40% dalam waktu 5
tahun.
Pasien yang terkena stroke memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami serangan
stroke ulang. Serangan stroke ulang berkisar antara 30%-43% dalam waktu 5
tahun. Setelah serangan otak sepintas, 20% pasien mengalami stroke dalam waktu
90 hari, dan 50% diantaranya mengalami serangan stroke ulang dalam waktu 24-
72 jam. Tekanan darah yang tinggi (tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan
tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg) akan meningkatkan risiko terjadinya stroke
ulang. Stroke ulang memiliki tingkat mortalitas dan kecacatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan stroke pertama, karena pada saat terjadi stroke ulang,
jaringan otak masih belum pulih akibat serangan pertama sehingga akan
berdampak lebih berat (Bethesda Stroke Centre, 2007)
d. Ketidakmampuan Fisik
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebagian besar dukungan keluarga adalah
46.48. Hasil penelitian ini juga menunjukkan tidak banyak perbedaan yang
didapatkan rata – rata dukungan keluarga antara kelompok kontrol (45.73) dan
intervensi (47.30). Berdasarkan penilaian dukungan keluarga yang dimodifikasi
dari teori dukungan keluarga dan kuesioner dukungan keluarga Yenni (2011),
dukungan keluarga dalam penelitian ini memiliki rentang 15 – 60. Kesimpulan
yang dapat diperoleh adalah semakin tinggi nilai dukungan maka semakin baik
dukungan keluarga.
Beberapa alat bantu komunikasi yang dapat dilakukan pada pasien afasia menurut
NIC adalah penggunaan perangkat elektronik, papan alfabet, papan gambar/ flash
card yang berisi gambar kebutuhan dasar, stimulus visual, alat tulis, menggunakan
kata – kata yang sederhana, memberikan bahan – bahan yang berisi tulisan atau
gambar yang dapat ditunjuk oleh pasien (Ackley & Ladwig (2011); Ackley &
Swan (2008); Dochterman & Bulecheck (2004); Smeltzer, Bare, Hinkle &
Cheever (2010). Bila dilihat intervensi keperawatan komunikasi diatas, intervensi
tersebut merupakan bagian dari AAC.
Selain itu latihan secara intensif juga dapat meningkatkan neural plasticity,
reorganisasi peta kortikal dan meningkatkan fungsi motorik (Bakheit et al (2007).
Neuroplastisitas otak merupakan perubahan dalam aktivasi jaringan otak yang
merefleksikan kemampuan adaptasi otak. Dengan adanya kemampuan ini
kemampuan-kemampuan motorik klien yang mengalami kemunduran karena
stroke dapat dipelajari kembali. Proses neuroplastisitas otak terjadi melalui proses
substitusi yang tergantung pada stimulus eksternal melalui terapi latihan dan
proses kompensasi yang dapat tercapai melalui latihan berulang untuk suatu
fungsi tertentu, pemberian alat bantu dan atau ortosis, perubahan perilaku atau
perubahan lingkungan (Wirawan, 2009).
Pada saat pelaksanaan latihan komunikasi dengan AAC, media yang digunakan
pemberian latihan komunikasi lebih memfokuskan bagaimana memfasilitasi
komunikasi tanpa melihat keparahan afasia dalam memberikan latihan. Tentu saja
hal ini bisa memberikan kondisi yang berbeda-beda antara setiap responden
dengan lamanya pemulihan bicara terhadap kemampuan fungsional komunikasi.
Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian Johnson, Hough, King, Vos &
Jeffs (2008) yang melakukan penelitian penggunaan komunikasi dengan AAC
terhadap 3 orang pasien afasia berat kronik menggunakan high technology dengan
melibatkan keluarga dalam waktu 1 jam, 3 – 4 hari/minggu selama 3 bulan
didapatkan hasil 1 orang menunjukkan pemahaman dan penamaan objek,
sedangkan 2 orang pasien terdapat peningkatan dalam pemahaman pendengaran,
sedangkan ke 3 orang pasien terdapat penurunan dalam pengulangan. Sedangkan
hasil penelitian yang dilakukan oleh David et al (1989 dalam Salter, Teasell,
Bhogal, Zettler, Foley, 2010) terhadap latihan wicara yang dirandom untuk
mendapat latihan wicara oleh terapi wicara dan volunter tidak terlatih didapatkan
tidak ada perbedaan signifikan diantara kedua kelompok terhadap skor tes wicara
menggunakan Functional Profile Communication (FCP).
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian ini menjadi tidak
signifikan dapat disebabkan karena latihan komunikasi yang terlalu singkat hanya
10 hari. Waktu 10 hari ini mungkin tidak maksimal untuk memperbaiki
kemampuan fungsional komunikasi pada semua subjek penelitian karena berat
stroke dan derajat keparahan afasia subjek penelitian bervariasi dan terdapat
variasi pada setiap individu dalam hal waktu pemulihan. Pada penelitian ini
intervensi yang diberikan oleh peneliti diberikan sama kepada kedua kelompok
tanpa menilai keparahan afasia dan berdasarkan tingkat gangguan, apakah
gangguan pada kata, kalimat atau simbol, sehingga dapat mempengaruhi
kemampuan fungsional komunikasi pasien afasia. Faktor lain seperti kemampuan
kognitif, umur tua dan kehadiran beberapa anggota keluarga yang mendampingi
pasien berganti-ganti yang ditemukan pada hari ke 8 dan 9 (terdapat 2 keluarga)
yang bergantian menunggu pasien, sehingga peneliti harus memberikan latihan
dan penjelasan yang berulang – ulang kepada keluarga. Semua faktor ini tentunya
dapat mempengaruhi kemampuan fungsional komunikasi pasien.
Menurut Schub & Caple (2010) depresi paska stroke adalah gangguan mood yang
dapat terjadi setiap saat setelah stroke tapi biasanya dalam beberapa bulan
pertama. Depresi paska stroke mempengaruhi sekitar 20-50% pasien stroke dalam
tahun pertama setelah stroke, dan kejadian puncaknya diperkirakan pada 6 bulan
poststroke. Sit et al (2004) dalam penelitiannya terhadap 95 pasien stroke
menemukan kejadian depresi pada 48 jam setelah masuk rumah sakit sebesar 69%
dan 6 bulan setelahnya sebesar 48%.
Depresi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari proses infark otak atau dapat
terjadi sebagai reaksi akibat cacat atau ketidakberdayaan yang disebabkan oleh
stroke. Berbagai dampak stroke terjadi pada berbagai fungsi tubuh, seperti
gangguan motorik, sensorik, bicara dan bahasa, penglihatan, afek dan gangguan
kognitif (Suwantara, 2004). Kondisi ini dianggap disability bagi pasien, sehingga
menimbulkan perasaan tidak berguna, tidak ada gairah hidup dan keputusasaan.
Keadaan ini selanjutnya dapat mendorong penderita kedalam gejala depresi yang
berdampak pada motivasi dan rasa percaya diri pasien. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Ross, et al (2010), bahwa faktor biologi seperti
frekuensi serangan stroke, keparahan gangguan berbahasa dan faktor psikososial,
seperti kesepian merupakan faktor risiko yang signifikan terjadinya depresi pada
afasia. Selain itu menurut Schub & Caple (2010), meningkatnya derajat afasia,
peningkatan keparahan stroke, penurunan intelektual, riwayat pribadi atau
keluarga depresi atau tinggal sendirian merupakan faktor yang berpengaruh
terjadinya depresi.
Depresi paska stroke memiliki efek negatif terhadap pemulihan fungsi kognitif,
aktivitas hidup sehari – hari dan dapat meningkatkan kematian (Caiero, Ferro,
Santos & Luis, 2006). Pasien juga akan menarik diri dari kegiatan sosial, menjadi
rendah diri setelah stroke, hasil rehabilitasi yang jelek, serta berdampak pada
orang yang merawat pasien dan menghambat komunikasi diantara perawat dan
pasien (Meifi & Agus, 2009; Finke, Light & Kitko, 2008). Kondisi ini
menyebabkan pasien akan merasa frustasi dengan keadaannya. Hal ini akan
memiliki dampak negatif terhadap masa pemulihan dan hubungan sosial dengan
lingkungan sekitarnya. (Ginkel et al, 2010).
Pemulihan stroke membutuhkan waktu yang lama dan proses yang sulit. Program
rehabilitasi yang diikuti oleh pasien stroke kadang dirasakan tidak memberikan
Selama penelitian, beberapa alat bantu komunikasi non verbal digunakan untuk
memfasilitasi pasien afasia, seperti foto, musik, gambar, buku komunikasi, papan
alfabet dan alat tulis. Hal ini sesuai dengan pendapat Mulyatsih & Ahmad,
(2010), bahwa berbagai cara digunakan untuk memfasilitasi komunikasi pada
pasien afasia serta mendorong pasien berkomunikasi, bahkan yang kecil sekalipun
untuk mengurangi frustasi, depresi dan isolasi sosial. Pasien dapat dibantu dengan
menyediakan papan komunikasi. Papan komunikasi ini berisi gambar, kata – kata,
huruf atau simbol aktivitas kegiatan harian pasien sesuai dengan kegiatan yang
diminta atau diungkapkan. Pasien dianjurkan untuk mengungkapkan kebutuhan
pribadi dan menggunakan papan tulis bila tidak mampu mengekspresikan
kebutuhan
Penggunaan alat bantu visual seperti gambar, tulisan dengan beberapa kata kunci,
alat tulis dapat memfasilitasi pemahaman dan ekspresi pasien afasia (Clarkson,
2010). Hal ini sejalan dengan pendapat Kusumoputro (1992) bahwa efektifitas
terapi afasia akan meningkat jika latihan menggunakan bentuk stimulus audio
dalam bentuk musik dan stimulus visual dalam bentuk gambar – gambar serta
lukisan. Jenis stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti sesi
terapi afasia. Sedangkan mengajak pasien bercakap – cakap merupakan terapi
dengan pendekatan strategi komunikasi untuk mengembangkan kemampuan
komunikasi (Holland, 1982 dalam Kusumoputro, 1992).
Terapi intonasi lagu dapat digunakan pada pasien afasia dengan kemampuan
ekspresi verbal minim (Kusumoputro, 1992; Prins & Maas, 1993; Wirawan,
2009). Pemberian stimulasi melalui lagu, menyanyikan dan menyuarakan lagu
sebelum pasien sakit akan lebih bermanfaat dengan memfungsikan hemisfer
kanan karena hemisfer kiri (dominan) mengalami kerusakan. Selain itu terapi
Musik yang sesuai dengan selera pasien mempengaruhi sistem limbik dan saraf
otonom, menciptakan suasana rileks, aman dan menyenangkan sehingga
merangsang pelepasan zat kimia Gamma Amino Butyric Acid (GABA), enkefalin
dan beta endorphin yang akan mengeliminasi neurotransmitter rasa nyeri maupun
kecemasan sehingga menciptakan ketenangan dan memperbaiki suasana hati
pasien (Greer, 2004).
Hasil penelitian ini setelah diberikan komunikasi dengan AAC pada kelompok
intervensi ditemukan penurunan nilai depresi. Berdasarkan hasil pengamatan
pasien mampu mengkomunikasikan kebutuhannya melalui pemberian buku
komunikasi dan objek yang ada disekitar ruangan dengan menunjukkan gambar,
sehingga pasien dapat berinteraksi dengan keluarga dan petugas kesehatan.
Menurut hasil penelitian Finke, Light & Kitko, (2008), komunikasi dengan AAC
dapat membantu perawat berkomunikasi pada pasien yang mengalami
keterbatasan komunikasi verbal. Penelitian ini diperkuat oleh hasil penelitian
Johston et al (2004 dalam Clarkson, 2010), bahwa AAC dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi pasien, memperbaiki kehidupan seseorang dengan
meningkatkan kemandirian dan perkembangan hubungan sosial, sehingga akan
mempengaruhi kualitas hidup. Hal ini dapat terjadi karena pasien yang
menggunakan AAC pada umumnya memiliki kepuasan dalam hubungan dengan
keluarga, teman dan aktivitas hidup yang menyenangkan (Wikipedia, 2011).
Lebih lanjut, berdasarkan hasil penelitian didapatkan adanya perbedaan yang
signifikan terhadap depresi sesudah diberikan komunikasi dengan AAC selama
a. Umur
Beberapa hasil penelitian dan literatur menjelaskan bahwa faktor umur dapat
mempengaruhi efektifitas rehabilitasi afasia, antara lain kecepatan pemulihan
wicara pasien, kemampuan fungsional dan munculnya penyakit penyerta/ faktor
risiko, sehingga dapat mempengaruhi kemampuan fungsional komunikasi.
Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Chefez, Dickstein, Laufer dan
Marcovitz (2001) menyimpulkan bahwa proses pemulihan pada pasien stroke
tergantung dari umur pasien, faktor serangan, stroke berulang dan status sosial.
Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Mc. Caffrey (2008), bahwa kecepatan
proses penyembuhan secara umum pada usia dewasa lebih lambat dibanding pada
usia anak-anak, khususnya pada stroke. Menurutnya kecepatan penyembuhan
pada orang dewasa memiliki prognosis yang buruk oleh karena neural plasticity.
Pendapat ini didukung oleh Kusumoputro (1992) dari hasil observasinya dijumpai
bahwa proses pemulihan afasia dewasa dapat terjadi dalam waktu lama.
Menurutnya banyak pasien yang masih mengalami derajat afasia berat dalam 3
bulan dan dapat mengalami perbaikan bermakna setelah 3 atau 12 bulan
Selain itu faktor umur juga mempengaruhi kemampuan fungsional paska stroke
terhadap pelaksanan rehabilitasi. Pendapat ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Bagg, Pombo & Hopman (2002) tentang efek umur terhadap
kemampuan fungsional pasca stroke didapatkan hasil bahwa umur merupakan
faktor yang menentukan kemampuan fungsional pasca stroke terhadap
pelaksanaan program rehabilitasi. Menurut Petrina (2007) pasien lanjut usia
seringkali tidak dapat mengikuti program rehabilitasi sebagaimana yang dilakukan
pada pasien stroke dengan umur yang lebih muda karena intoleransi yang dialami
oleh mereka dalam melakukan aktivitas latihan.
Penlitian ini sejalan dengan penelitian oleh Paolucci et al (2003), bahwa umur tua
memiliki risiko 10 kali lipat untuk mendapatkan respon yang buruk dalam
rehabilitasi dibandingkan umur lebih muda.
Hasil penelitian ini sesuai yang didapatkan pada waktu penelitian yaitu sebagian
besar responden berumur tua, sehingga kadang-kadang responden tampak kurang
b. Jenis Kelamin
Jenis kelamin diketahui memiliki hubungan dengan pemulihan pasca stroke. Hal
ini sesuai dengan penelitian tentang perbedaan jenis kelamin dalam tingkat
mortalitas dan outcome pasien stroke di Korea. Penelitian ini menyimpulkan
bahwa wanita stroke memiliki harapan hidup yang lebih panjang dibandingkan
dengan laki-laki, tetapi memiliki status fungsional pasca stroke yang lebih buruk
dibandingkan dengan laki-laki (Oh, Yu, Roh, & Lee, 2009). Dijelaskan bahwa
buruknya status fungsional pada pasien pasca stroke disebabkan karena wanita
lebih sering mengalami kardioemboli akibat fibrilasi atrium, memiliki umur yang
Masalah kesehatan yang timbul akibat stroke sangat bervariasi tergantung kepada
luasnya daerah otak yang mengalami infark dan lokasi yang terkena. Hal ini
sejalan dengan pendapat Silbernagl & Lang (2007) yang menyebutkan bahwa
manifestasi klinis stroke ditentukan berdasarkan tempat perfusi yang terganggu,
yakni daerah yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut, seperti arteri serebri
media, arteri serebri posterior, arteri serebri anterior, arteri karotis atau basillar.
Bila stroke mengenai arteri serebri media, kemungkinan pasien akan mengalami
afasia.
d. Ketidakmampuan fisik
Ketidakmampuan fisik dapat terjadi pada stroke hemoragik dan non hemoragik.
Stroke menyebabkan penurunan perfusi serebral sehingga dapat terjadi kerusakan
pada korteks motorik. Kerusakan pada area ini menyebabkan terjadinya gangguan
transmisi impuls yang ditandai adanya paresis atau paralisis (Silbernagl & Lang,
2000). Hal ini sesuai dengan pengamatan selama penelitian ditemukan sebagian
besar responden mengalami hemiplegi dan ditunjukkan dengan nilai barthel indek
pada kelompok intervensi sebesar 26.00, sehingga dapat mempengaruhi hasil
rehabilitasi.
Namun demikian berdasarkan hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara ketidakmampuan fisik dengan kemampuan
fungsional komunikasi responden (p : 0.461) dan menunjukkan hubungan yang
e. Dukungan Keluarga
Namun berbeda dengan hasil penelitian, hasil uji statistik menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga terhadap kemampuan
fungsional komunikasi (p : 0,732). Hubungan tersebut lemah dan berpola negatif
(r = -0.124). Hal ini kemungkinan dapat disebabkan berdasarkan variabel
dukungan keluarga, tidak adanya variasi nilai dukungan keluarga pada kelompok
intervensi, sehingga dukungan keluarga tidak memberikan kontribusi terhadap
kemampuan fungsional komunikasi. Dukungan keluarga yang diberikan kepada
pasien kemungkinan belum maksimal, hal ini terlihat pada hari ke 8 dan 9
a. Umur
Beberapa penelitian menjelaskan bahwa depresi paska stroke dapat terjadi pada
umur tua. Menurut Glemcevski, et al (2002) bahwa umur lanjut sebagai faktor
risiko terjadinya depresi (p:0.034). Hasil penelitian ini didukung oleh Farrel
(2004) menyatakan bahwa depresi cenderung lebih kronis di pasien yang lebih tua
dibandingkan dengan orang dewasa muda. Periode depresi pada lansia lebih
panjang dan kemungkinan kambuh meningkat dengan umur. Depresi paska stroke
di umur lanjut mungkin memiliki hubungan biologi dasar dengan berkurangnya
neurotransmitter yang berkaitan dengan mood dan emosi.
Berbeda dengan hasil penelitian Amir (2005), bahwa depresi lebih sering terjadi
pada umur muda dengan umur rata – rata awitan antara 20 – 40 tahun. Selanjutnya
menurut Gum, Snyder & Duncan (2006) bahwa pasien stroke yang lebih tua
cenderung melaporkan gejala depresi lebih sedikit dibandingkan dengan pasien
yang lebih muda (p: 0.12).
Namun berbeda dengan hasil analisis bivariat yang menunjukkan tidak ada
hubungan signifikan antara umur dengan depresi (p : 0.258) dan memiliki
kekuatan hubungan yang lemah dan arahnya negatif (r = -0.395). Artinya semakin
bertambah umur, semakin menurun depresinya. Hal ini dapat dipengaruhi oleh
faktor selain umur, seperti pengalaman/informasi yang didapatkan sehingga
mempengaruhi mekanisme koping pasien untuk meningkatkan adaptasinya.
Walaupun demikian, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatoye (2009)
yang menyatakan tidak ada hubungan antara umur dengan kejadian depresi paska
stroke (p= 0.82). Hasil penelitian ini juga didukung oleh Arslan, Celebioglu dan
b. Jenis kelamin
Meskipun depresi secara konsep dan beberapa hasil penelitian lebih banyak
terjadi pada perempuan dibandingkan laki – laki, namun dalam penelitian ini jenis
kelamin tidak memiliki hubungan dengan depresi. Hasil analisis bivariat
ditemukan tidak adanya perbedaan depresi antara laki – laki dan perempuan (p :
0.346). Tidak adanya perbedaan disebabkan oleh adanya manifestasi yang dialami
pasien stroke yaitu kelemahan fisik memiliki dampak yang sama terhadap
ketidakmampuan dalam memenuhi aktivitas sehari – hari, seperti makan, mandi,
merawat diri, berpindah dan lain – lain. Ketidakmampuan fisik yang dialami dapat
menimbulkan berbagai respon psikologis seperti takut, sedih, marah, depresi,
kehilangan kontrol dan keputusasaan. Respon yang ditimbulkan dapat berbeda –
beda tergantung kepribadian, pengalaman masa lalu dan mekanisme koping
(Gorman & Sultan, 2008). Hasil analisis bivariat ini juga sejalan dengan penelitian
Berdasarkan hasil analisis didapatkan rata- rata depresi pada frekuensi serangan
stroke 1 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata – rata depresi pada frekuensi >
1 kali. Jumlah serangan stroke akan berpengaruh terhadap kerusakan otak lebih
luas, sehingga dapat mempengaruhi wicara dan bahasa. Menurut pendapat
Silbernagl & Lang (2007) bahwa manifestasi klinis stroke ditentukan berdasarkan
area serebri yang terkena. Walaupun frekuensi serangan stroke terjadi 1 kali,
namun bila stroke mengenai lobus frontalis pada hemisfer kiri dominan,
kemungkinan pasien akan mengalami afasia dan gangguan mood. Menurut
pendapat Price & Wilson (2002), lobus frontalis mengatur fungsi berbahasa,
kemampuan motorik dan kepribadian. Menurut hasil penelitian Lee, Tang, Tsoi,
Fong & Yu, (2009) bahwa lesi pada hemisfer kiri lebih sering menyebabkan
depresi daripada lesi hemisfer kanan dan lebih berat jika lesi mendekati lobus
frontal kiri. Jika lesi diotak bertambah karena mengalami stroke berulang akan
melipatgandakan jenis serta beratnya defisit. Hasil penelitian ini didukung oleh
Amir (2005); Andri & Susanto (2008); Meifi & Agus (2009), bahwa terdapat
beberapa teori yang menjelaskan faktor penyebab DPS, yaitu faktor biologik
seperti lesi otak dan faktor psikososial. Depresi timbul sebagai akibat lesi pada
daerah otak yang menyebabkan terjadinya penurunan sintesis monoamin sehingga
terjadi penurunan serotonin yang merupakan neurotransmitter untuk
mempertahankan keadaan emosi tetap stabil. Penurunan serotonin menyebabkan
gangguan suasana hati, tidur dan nafsu makan (Schub & Caple, 2010). Gangguan
suasana hati dimanifestasikan dengan marah, frustasi, putus asa dan sering
menyebabkan depresi.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil analisis statistik frekuensi serangan stroke
terhadap depresi pada pasien afasia motorik menunjukkan hubungan yang
signifikan dengan nilai p : 0.048 dengan frekuensi serangan stroke 1 kali
mempunyai rata - rata depresi yang lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi
serangan stroke > 1 kali. Frekuensi serangan stroke 1 kali juga didapatkan pada
sebagian besar responden pada kelompok kontrol.
d. Ketidakmampuan Fisik
e. Dukungan keluarga
Wills & Fegan (2001 dalam Sarafino, 2006) menyatakan bahwa dukungan
keluarga mengacu pada bantuan yang diterima individu dari orang lain atau
kelompok sekitar yang membuat penerima merasa nyaman, dicintai dan dihargai
serta dapat menimbulkan efek positif bagi dirinya. Peningkatan dukungan
keluarga yang tersedia dapat menjadi strategi penting dalam mengurangi atau
mencegah tekanan jiwa dan depresi paska stroke (Salter, Foley & Teasell, 2010).
b. Waktu Penelitian
Waktu latihan komunikasi pada penelitian ini tergolong singkat yaitu selama
10 hari. Hal ini mungkin tidak maksimal untuk memperbaiki kemampuan
fungsional komunikasi pada semua subjek penelitian karena berat stroke dan
derajat keparahan afasia subjek penelitian bervariasi dan terdapat variasi pada
setiap individu dalam hal waktu pemulihan. Sebaiknya latihan ini dilakukan
satu sampai dengan tiga bulan untuk mengevaluasi kemajuan komunikasi. Hal
ini disesuaikan dengan lama pemulihan pasien afasia yang berkisar 3 – 6
bulan.
c. Instrumen penelitian
Keterbatasan yang dirasakan selama penelitian adalah instrumen yang
digunakan untuk menilai kemampuan fungsional komunikasi dan depresi
dalam rentang nilai ini melibatkan asisten peneliti serta menggunakan ukuran
acuan kurang terstruktur/terarah. Walaupun sudah dilakukan uji interrater,
tetapi pada instrumen kemampuan fungsional komunikasi masih
membutuhkan acuan/alat yang membuat penilaian menjadi lebih objektif
diantara peneliti dan asisten peneliti. Untuk instrumen penilaian depresi, tidak
semuanya dilakukan observasi dan ada beberapa item observasi yang perlu
dikembangkan agar penilaian observasi lebih objektif.
Pemberian komunikasi dengan AAC pada pasien stroke dengan afasia motorik
mempunyai dampak positif mampu mengkomunikasikan kebutuhannya melalui
pemberian buku komunikasi, majalah, foto, musik/lagu dan alat tulis, sehingga
dapat menurunkan depresi pada pasien afasia motorik. Komunikasi merupakan
salah satu kebutuhan dasar menurut Henderson untuk mengekspresikan pikiran,
pendapat dan perasaan.
Penanganan pasien stroke yang mengalami afasia pada saat ini hanya berfokus
pada penanganan fisik saja. Pemberian alat bantu komunikasi pada pasien afasia
hanya diberikan isyarat atau alat tulis tanpa diberikan stimulasi latihan, sehingga
tidak sepenuhnya mendukung pasien untuk memfasilitasi komunikasi dan
meningkatkan komunikasi pasien selama di rumah sakit. Perawat tidak
mengetahui kalau pasien mengalami afasia, karena tidak mendeteksi adanya
afasia, sehingga latihan komunikasi terlambat/tidak dilakukan. Keadaan ini
tentunya akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti memperlambat pola
penyembuhan dan pasien akan mengalami depresi karena ketidakmampuan dalam
berkomunikasi.
Sesuai dengan peran perawat dalam rehabilitasi stroke, perawat dapat berperan
sebagai caregiver, educator dengan memberikan informasi tentang pentingnya
keterlibatan keluarga dalam pelaksanaan latihan komunikasi dan fasilitator dalam
penyembuhan pasien dan manajer perawatan. Perawat juga sebaiknya menerapkan
caring dalam memberikan asuhan keperawatan, memberikan motivasi agar tidak
mengalami depresi. Selain perawat, keterlibatan keluarga juga merupakan salah
7.1 Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut :
a. Karakteristik pasien stroke dengan afasia motorik di RSUD Garut, Banjar dan
Tasikmalaya adalah sebagian besar berumur 62.10 tahun, sebagian besar
berjenis kelamin laki-laki, sebagian besar memiliki frekuensi serangan stroke 1
kali, sebagian besar memiliki nilai ketidakmampuan fisik 25.48 dan sebagian
besar memiliki nilai dukungan keluarga 46.48.
b. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna kemampuan fungsional komunikasi
pada pasien stroke dengan afasia motorik yang diberikan komunikasi dengan
AAC dengan yang tidak diberikan AAC.
c. Terdapat perbedaan yang bermakna nilai depresi pada pasien stroke dengan
afasia motorik yang diberikan komunikasi dengan AAC dengan yang tidak
diberikan AAC.
d. Tidak terdapat hubungan yang bermakna variabel perancu terhadap kemampuan
fungsional komunikasi pada pasien stroke dengan afasia motorik yang
diberikan AAC.
e. Terdapat hubungan bermakna frekuensi serangan stroke 1kali terhadap depresi
pada pasien stroke dengan afasia motorik yang diberikan AAC.
7.2 Saran
Berkaitan dengan beberapa kesimpulan di atas, ada beberapa hal yang disarankan
pada penelitian ini yaitu :
a. Bagi Pelayanan Keperawatan
1. Mensosialisasikan penggunaan AAC untuk memfasilitasi komunikasi pasien
afasia motorik, seperti papan gambar/buku komunikasi, majalah, foto,
musik/lagu dan alat tulis untuk menurunkan depresi pada pasien afasia
motorik.
2. Membuat Standar Operasional Prosedur (SOP) terkait pemberian AAC pada
pasien stroke dengan afasia motorik.
Abramson, L.Y., Metalsky, G. I., & Alloy, L.B. (1989). Hopelessness Depression
: A Theory-Based Subtype of Depression. Psychological Review, 96 (2), 358
-372.
Ackley, B.J., Swan, B.A., Ladwig, G.B & Tucker, S.J. (2008). Evidence – based
nursing care guidelines medical surgical interventions. USA : Mosby
Elseiver.
Ariawan, I. (1998). Besar dan metode sampel pada penelitian kesehatan. Jakarta:
FKM UI.
Beery, A.T. (2007). Diseases & disorders : A Nursing therapeutic manual (3rd
ed.). Philadelphia : F.A Davis Company.
Beck, A.T., Weissman., Lester, D., & Trexler, L. (1974). The measurement of
pessimism : The hopelessness scale. Journal of Consulting and Clinical
Psychology, 42 (6), 861-865.
Benneth, H.E., Thomas, S.A., Austeen, R., Moris, A.M.S., & Lincoln, N.B.
(2006). Validation of screening measures for assessing mood in stroke
patients. British Journal of Clinical Psychology, 45 (Part 3), 367 – 376.
September 2006.
Benneth, H.E., & Lincoln, N.B. (2006). Potential screening measures for
depressions and anxiety after stroke. International Journal of Therapy and
Rehabilitation. Vol.13(9). diperoleh pada tanggal 20 Juni 2011.
Beukelman, D.R., Ball, L.J., & Fager, S. (2008). An AAC personnel framework :
adults acquired complex communication needs, 24 (3), 255 – 267. 2008
September.
Bhogal, S.K., Teasel., Foley., & Speechley. (2004). Lesion location and poststroke
depression: systematic review of the methodological limitations in the
literature. U.S. National Library of Medicine. Stroke. 2004 Mar;35(3):794-
802.
Black, J.M., & Jacob, E.M. (2005). Medical surgical nursing clinical management
for positive outcomes (7th ed.). St. Louis : Elsevier Saunders.
Bourgeois, M.S., Dijkstra, K., Burgio, L., & Burge, R.A. (2001). Memory aid as
an augmentative and alternative communication strategy for nursing home
residents with dimentia. AAC Augmentative and Alternative Communication,
Volume 17: 196-210.
Bullain, S.S., Chiki, L.S & Stern, T.A. (2007). Aphasia : Associated disturbance
in affect. Behaviour and cognition in the setting of speech and language
difficulties. Psychomatics, 48: 259-264. May – June 2007.
Caeiro, L., Ferro, J.M., Santos, C.O., & Luisa, F. (2006). Depression in acute
stroke. Journal of Psychiatry Neuroscience, 31(6): 377- 383. Nov 2006.
Cherney, L.R., Small, S.L., Stein, J., (2009). Aphasia, alexia and oral reading. In
Stroke Recovery and Rehabilitation. Demos Medical Publishing. 155 – 181.
Dahlin, F., Billing, E., Nasman, P., Martenson, B., Wreding, R., & Murray, V.
(2006). Post-stroke depression effect on the life situation of the significant
other. Scandinavian Journal of Caring Sciences , 20(4): 412-6 (34 ref).
Enderby, P., Crow, F. (1996). Frenchay aphasia screening test: validity and
comparability. Disability & Rehabilitation. 18, 238–240.
http://www.amazon.com/Frenchay-Aphasia-Screening-Pamela-
Enderby/dp/1861564422 diperoleh pada tanggal 23 Mei 2011.
Finke, E.H., Light, J., & Kitko, L. (2008). A systematic review of the
effectiveness of nurse communication with patients with complex
communication needs with a focus on the use of augmentative and alternative
communication. Journal of Clinical Nursing. 2008 Aug; 17 (16) : 2102 - 2115.
Friedman, M.M ., Bowden, V.R., & Jones. (2010). Buku ajar keperawatan
keluarga : Riset, teori dan praktek. Jakarta : EGC.
Garret, K.L. (2003). Strategy use in context: AAC, supported conversation and
group therapy intervention for people with severe aphasia, 1-21.
Guyton, A.C., & Hall, J.E. (1997). Buku ajar fisiologi kedokeran. Edisi 3. Jakarta
: EGC.
Hammond, M.F., O’Keeffe, S.T., Barer, D.H.(2000). Development and validation
of a brief observer-rated screening scale for depression in elderly medical
patients. Age and Ageing (29) : 511-515.
Hasnita, E. & Sanusi, R. (2006). Ciri-ciri, iklim organisasi, dan kinerja tenaga
perawat di instalasi rawat inap RS dr. Achmad Moechtar Bukittinggi tahun
2005. Yogyakarta: KMPK UGM.
Hastono, S.P. (2007). Basic data analysis for health research training : Analisis
data kesehatan. Depok : FKM UI.
Hawari, D. (2006). Manajemen stress, cemas, dan depresi. Jakarta: Balai penerbit
FKUI.
Huang, C. Y. Hsu, M.C., Hsu, S.P., Cheng, P.C., Lin, S.F., & Chuang, C.H.
(2010). Mediating roles of social support on poststroke depression and quality
of life in patients with ischemic stroke. J Clin Nurs.Volume 19, Issue 19-20
pages 2671–2956.
Hudak, C.M., & Gallo, B.M. (1996). Keperawatan kritis pendekatan holistik.
Edisi 6. Editor Yasmin Asih. Jakarta : EGC.
Ignatavicius, D.D. & Workman, M.L. (2010). Medical surgical nursing patient –
centered collaborative care. (6th ed.). Volume 2 . St. Louis : Elsevier Inc.
Johnson, R.K., Hough, M.S., King, K.A., Vos Paul., & Jeffs, T.A. (2008).
Functional communication in individual with chronic severe aphasia using
augmentative communication. Informa Healthcare.Vol. 24(4) : 269 – 280.
Lewis, S.M., Heitkemper, M.M., & Dirksen, S.H. (2000). Medical surgical
nursing : assesment and management of clinical problem (5th ed.). Vol. 2
Chapter 37 – 64 : 1011 – 1998. St. Louis : Mosby Inc.
Li, S. C, Wang, K. Y., & Lin, J. C. (2003). Depression and related factors in
elderly patients with occlusion stroke. Journal of Nursing Research .Vol II.
No. I.
Lipska, et al. (2007). Risk factor for acute ischaemic stroke in young adults in
south India. Diakses dari JNNP.com tanggal 8 Juli 2011.
Mc Dowell, J., & Nowell, D.K. (2001). Dimension of the event that influence
psychological distress. An evaluation and synthesis of the literature. In H.B.
Kaplan (Ed). Psychosocial stress. Trends in theory and research, h. 33 – 103.
Newyork : Academic Press.
Meifi., & Agus, D. (2009). Stroke dan depresi paska stroke. Majalah kedokteran
Damianus. Vol.8 No.1. Januari 2009. Diperoleh pada tanggal 20 Mei 2011.
Mulyatsih, E., & Ahmad, A.A. (2010). Stroke : Petunjuk perawatan pasien pasca
stroke di rumah. Cetakan 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Nys, G., Zandvoort, M. J. E., Worp, V. D., Haan, D., Kort, D., & Kappelle, L. J.
(2005). Early depressive symptoms after stroke: neuropsychological correlates
Oh, M., Yu, K., Roh, J., & Lee, B. (2009). Gender Differences in the Mortality
and Outcome of Stroke Patients in Korea. Cerebrovascular Diseases, 28(5),
427.
Polit, D.F., Beck, C.T., & Hungler, B.P. (2001). Essentials of nursing research
methods, appraisal, and utilization (5th ed.). Philadelphia : Lippincott.
Polit, D.F., Beck, C.T., & Hungler, B.P. (2004). Nursing research, principles and
methods, 7th ed. Lippincott Williams and Wilkins.
Potter, P.P., & Perry, A.G. (2005). Fundamental of nursing concept : Theory and
practice. (6th ed.). Philadelphia : Mosby Year Book.
Powlawsky, I.E., Schuurmans, M.J., Lindeman, E., & Hafsteinsdottir, T.B. (2010).
A systematic review of nursing rehabilitation of stroke patients with aphasia.
Journal of Clinical Nursing. 2010 Jan; 19 (1-2) : 17-32.
Price, S.A., & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi: Konsep klinis proses-proses
penyakit. Edisi 6. (Terj.dari Pathophysiologi Clinical Concepts of Disease
Process, Brahm U. Pendit…⌠etal.⌡). Jakarta : EGC.
Purdy, M., & Diez, A. (2010). Factors influencing AAC usage by individuals with
aphasia. Speech Language Pathologi/ Audiology, 19 (3) : 8 – 70.
Rasyid, A., & Soertidewi, L. (2007). Unit stroke. Manajemen stroke secara
komprehensif. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Rekam Medis RSUD Kota Tasikmalaya. (2011). Data Rekam Medis RSUD Kota
Tasikmalaya Tahun 2009-2010.
Rice, D.A. (2001). Life events and depressions. The plot thickens. American
Journal of Community Psychology.20 (2)`: 179 – 193.
Rowat, A., Lawrence, M., Horsburgh, D., Legg, L., & Smith L. (2009). Stroke
research questions : A nursing perspective. British Journal of Nursing, 18(2),
99-105. Januari 2009.
Salter, K., Jutai, J., Foley, N., Hellings, C., & Teasell, R. (2006). Identification of
aphasia poststroke : A review screening assesment tools. Brain injury, 20(6) :
559- 568. June 2006.
Schub, E., & Caple, C. (2010). Stroke complication : post stroke depression.
California: cinahl information system.
Schulz, R., Beach, S.R., Ives, D.G., Martire, L.M., Ariyo, A.A., & Kop, W.J.
(2000). Association between depression and mortality in older adults. Arch
Intern Med 2000; 160: 1761-8.
Silbernagl, S., & Lang, F. (2007). Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Alih
Bahasa Iwan Setiawan & Iqbal Mochtar . Cetakan I. Jakarta : EGC.
Sit, J.W.,Wong, T.K.S., Clinton.,Li,L.S.W., & Fong, Y.M. (2004). Stroke care in
the home : The impact of social support on the general health of family
caregivers. Journal of Clinical Nursing, 13: 816-824.
Smeltzer , S.C., & Bare, B.G. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah
Brunner & Suddarth. Alih Bahasa Andri Hartono, dkk. Edisi 8. Volume 3.
Jakarta: EGC.
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., Hinkle, J.L., & Cheever, K.H. (2008). Brunner &
Suddarth’s textbook of medical surgical nursing (11th ed.). Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins.
Sundin, K., Jansson, L., & Norberg, A. (2000). Communicating with people with
stroke and aphasia : understanding throught sensation without words. Journal
of Clinical Nursing. Vol.9 : 481 – 488.
Taylor, S.E. (2006). Health psychology. 6th edition. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc.
Thomas, S.A., & Lincoln, N.B. (2008). Predictors of emotional distress after
stroke. Journal of the American Heart Association, Vol.39, 1240 – 1245. Feb
21 2008. Diperoleh pada tanggal 24 Juni 2011.
Thommessen. (1999). Screening by nurses for aphasia in stroke – the ullevaal
aphasia screening (UAS) test. Disability and Rehabilitation Journal. Vol. 21,
No. 3, 110 – 115.
Wikipedia. (2011). Augmentative and alternative communication therapy.
http://en.wikipedia.org/wiki/Augmentative_and_alternative_communication
diperoleh pada tanggal 15 April 2011.
' Janrlp,ri2012
No Kegiatan Juli - September 2011 Oktober 2011 Novernber 2011 Desember 2011
I il m IV I il n ry I I NI ru I n ilI ry I il m ru
1 Penvelesaian Pronosal (Bab I-IV)
2 Uiian Proposal
3 Revisi Proposal
4 Permohonan lzin dan Lolos Kaii Etik
5 Pensumoulan Data
6 Analisis Data
7 Penvelesaian Laooran (Bab V-VII)
8 Uiian Hasil Penelitian
Peneliti : Amila
NPM : 0906505086
Amila
Selanjutnya, saya bersedia secara sukarela dan tanpa ada paksaan dari pihak
manapun untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.
,...............................2011
Responden Peneliti
(......................................) (Amila)
Petunjuk Pengisian
Pengisian dilakukan oleh peneliti dengan mengisi titik-titik dan memberi tanda
ceklis (√ ) pada kolom yang disediakan
Identitas responden
No. responden :
Alamat : ..................................................................................
..........................................................................
No Telp/HP : ............................................... .........................
Keterangan : kelompok kontrol/kelompok intervensi
Karakteristik pasien
Umur : …… tahun
Jenis kelamin
Perempuan
Laki-laki
Persiapan Tes :
Pastikan pasien dapat mendengar kita dengan baik, suara harus jelas
Alat : kertas bergambar (kartu bergambar), pensil, kertas, stopwatch
No Aspek Item Penilaian Skoring
Komunikasi
1. Pemahaman Perhatikan gambar pemandangan dan
gambar bentuk ini, dengarkan apa yang
saya katakan dan tunjukkan gambar yang
dimaksud. Jika meminta pengulangan
instruksi berarti nilainya error. Berikan
skor 1 untuk setiap jawaban yang benar.
Skor 0 – 10.
1. Skema pemandangan alam
a. Sawah
b. Gunung
c. Pohon
d. Orang ditengah sawah
e. Rumah dipinggir sawah
2. Gambar bentuk :
a. Persegi panjang
b. Persegi empat
c. Kerucut dan lingkaran
d. Kerucut
e. Segilima (Piramida)
2. Pengucapan a. Tunjukkan pasien gambar pemandangan
alam dan katkan “Sebutkan sebanyak
mungkin gambar yang dapat kamu lihat
atau namai segala sesuatu yang kamu
lihat pada gambar ini. Range skor 0 – 5
1. Tidak mampu menyebutkan nama
objek satu pun
Keterangan :
c. Afasia sensorik, yaitu jika pasien sering menyebutkan kata/kalimat yang tidak
sesuai dan tidak bermakna. Pasien kesulitan dalam pemahaman
(komprehensif). Hal ini ditandai dengan bahasa yang lancar tapi tidak sesuai
(nyambung) dengan pertanyaan, panjang kalimat normal, artikulasi baik.
d. Afasia motorik jika pasien dapat mengerti instruksi, tapi sulit
mengungkapkannya dalam kata atau membentuk kalimat secara lengkap. Hal
ini dapat ditandai dengan bicara lisan tidak lancar, terputus-putus dan sering
ucapannya tidak dimengerti orang lain. Apabila bertutur kalimatnya pendek-
pendek dan monoton.
e. Afasia global jika pasien mengalami afasia sensorik ataupun motorik. Hal ini
ditandai dengan
Keadaan ini ditandai oleh tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang
sekali dan menjadi beberapa patah kata yang diucapkan secara stereotip ( itu –
itu saja, berulang), pemahaman menghilang atau sangat terbatas. Membaca
dan menulis juga terganggu berat.
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil observasi dengan responden.
2. Tujuan utama penilaian adalah untuk mengidentifikasi tingkat kemampuan
fungsional komunikasi pasien melalui tiga skala, yaitu kemampuan
mengungkapkan, pemahaman dan interaksi
3. Kemampuan pasien ditentukan berdasarkan bukti yang ada. Menanyakan
kepada teman/keluarga, dan perawat dapat memberikan informasi, tetapi
observasi langsung juga penting.
Ekspresi (E) Pemahaman (P) Interaksi (I)
Masukkan angka dari daftar Masukkan angka dari daftar Masukkan angka dari
di atas yang menggambarkan di atas yang daftar di atas yang
tingkat ekspresi paling menggambarkan tingkat menggambarkan tingkat
akurat pasien dalam kondisi pemahaman paling akurat interaksi paling akurat
sekarang: E= pasien dalam kondisi pasien dalam kondisi
sekarang: sekarang:
P= I=
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil observasi dengan responden.
2. Tujuan utama penilaian adalah untuk mengidentifikasi terjadinya depresi
melalui penilaian adanya insomnia, kecemasan, gejala somatik, adanya
kesedihan, hipokondriasis, agitasi, ekspresi (mimik) dan kelelahan.
3. Penilaian adanya depresi pada pasien ditentukan berdasarkan bukti yang ada.
Menanyakan kepada keluarga yang selalu mendampingi pasien dan perawat
dapat memberikan informasi atau kepada pasien dengan memberikan pilihan
bila ya = mengangguk, tidak = menggelengkan kepala, tetapi observasi
langsung juga penting.
N BAGIAN NILAI
O
1. Insomnia – Sedang 0= Tidak ada kesulitan
Pasien gelisah dan terganggu sepanjang 1= Pasien menunjukkan kegelisahan dan gangguan
malam, bangun dimalam hari pada waktu malam /observasi gangguan pola
tidur
2 = Sering bangun pada waktu malam hari; bangun
dari tempat tidur (kecuali pergi kekamar mandi)
2. Kecemasan – Fisik 0 = Tidak ada kesulitan
Tegang dan mudah marah 1 = Tegang dan mudah marah
Mengkhawatirkan hal yang kecil/ 2 = Mengkhawatirkan hal yang kecil/sederhana
sederhana 3 = Sikap cemas tampak pada wajah atau cara bicara
Menunjukkan sikap khawatir dan pasien
gelisah 4= Ketakutan yang ditunjukkan (ekspresi verbal/non
Takut verbal) secara jelas
3. Kecemasan – Somatik 0 = Tidak ada
Gastrointestinal : Gangguan pencernaan 1 = Ringan
Kardiovaskuler : Palpitasi, nyeri kepala 2 = Sedang
Respirasi, gangguan perkemihan dan 3 = Berat
lain-lain 4 = Tidak dapat ditangani
Kesimpulan : Dikatakan depresi bila skor pasien ≥ 9. Semakin tinggi nilai yang
diperoleh, semakin menunjukkan pasien depresi
Petunjuk Penggunaan :
1. Instrumen ini diisi oleh peneliti berdasarkan hasil wawancara dengan
responden.
2. Barthel Index digunakan untuk melaporkan apa yang pasien lakukan, bukan
melaporkan apa yang pasien mampu lakukan.
3. Tujuan utama adalah untuk mengidentifikasi tingkat kebutuhan pasien akan
bantuan dalam beraktivitas, baik berupa bantuan fisik maupun verbal, sekecil
apapun itu.
4. Jika dalam melakukan pasien masih membutuhkan pengawasan, berarti pasien
belum mandiri.
5. Kemampuan pasien ditentukan berdasarkan bukti yang ada. Menanyakan
kepada pasien, teman/keluarga, dan perawat dapat memberikan informasi,
tetapi observasi langsung juga penting. Meskipun pemeriksaan langsung tidak
dibutuhkan.
6. Pengamatan sebenarnya cukup dilakukan selama 24-48 jam, akan tetapi
kadang-kadang periode waktu yang lebih lama akan lebih relevan.
7. Skala menengah berarti pasien mampu melakukan 50% atau lebih dari aktivitas.
8. Pasien dianggap mandiri jika mampu melakukan sendiri meskipun
menggunakan alat bantu.
Petunjuk Pengisian :
1. Bacalah setiap pertanyaan di bawah ini dengan seksama sebelum
bapak/ibu/saudara menentukan jawaban .
2. Berilah tanda ceklist (V) pada kolom yang sesuai dengan pilihan atau kondisi
sesungguhnya yang bapak /ibu saudara/ketahui atau alami.
3. Tidak ada jawaban yang benar atau salah.
Pertemuan 3 :
c) Mengajak pasien bercakap – cakap, misalnya melalui pengalaman
pasien yang ada dibuku komunikasi, seperti acara televisi, apa yang
dimakan pasien pada sarapan pagi, bacaan di koran, dll. Tunjukkan
benda – benda yang mudah dikenal, seperti pulpen, kunci atau jam
dan tanyakan nama pasien.
12. Hari VI Menyebutkan
Pertemuan 1 : Mengeja
c) Pasien diinformasikan menggunakan alat tulis untuk menyatakan Menulis
keinginannya. Instruksikan pasien untuk menulis setiap
keinginannya dikertas atau secara spontan apa yang difikirkan dalam
bentuk kalimat, seperti pasien mau minum. Jika pasien tidak bisa
bantu pasien dengan memberikan tuntunan, seperti tulislah kalimat
yang berhubungan dengan makan pagi hari ini.
d) Katakan pada pasien untuk membaca tulisan yang ditulisnya dan
Nama : .............................................................................
Waktu H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10
Pagi
Siang
Sore
Peneliti,
(..............................................)
Petunjuk Pengisian :
1. Mohon kesedian Bapak/Ibu/Saudara untuk mengisi lembar observasi pelaksanaan pemberian komunikasi sesuai pedoman observasi
2. Berikan tandatangan dan tanggal setiap kegiatan pemberian komunikasi dengan pasien pada kolom yang disediakan
3. Tulislah setiap perkembangan yang didapatkan pasien dalam setiap pelaksanaan komunikasi.
Komite Etik Penelitian, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dalam upaya
melindungi hak azasi dan kesejahteraan subyek penelitian keperawatan, telah mengkaji
dengan teliti proposal berjudul :
Dekan, Ketua,
Yth. Direktur
RSUD Kota TasikmalaYa
Jawa Barat
Pendidikan
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Tesis mahasiswa Program (FlK-Ul) dengan
Magister Fakultas llrnu Keperawatan Universitas lndonesia
Peririnatan Keperawatan I'"4edikal Bedah atas nama:
Sdri. Amila
c906505086
-rl AS
C'I$
z
*
, PhD
19520601 1 97411 2 001
Tembusan Yth. :
1. Wakil Dekan FIK-UI
2. Sekretaris FIK-Ul
3. Kepala Bidang Diklat RSUD Kota Tasikmalaya
4. Kepala Ruangan Neurologi RSUD Kota Tasikmalaya
5. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-Ul
6. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-Ul
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-Ul
8. Pertinggal
Sdri. Amita
0906505086
Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini kami rnohon dengan hormat
kesediadn Saudara mengijinkan yang bersangkutan untuk niengadakan
penelitian di RSUD kota Tasikmalaya. 1
Atas perhatian Saudara dan kerjasama yang baik, disampaikan terima kasih
lrawaty, A, PhD
tP 19520601 197411 2 001
Tembusan Yth :
1. Wakil Dekan FtK-Ul
2. Sekrbtaris FIK-UI
3. Kepala Bidang Diklat RSUD Kota Banjar
4 Kepala Ruangan Neurologi RSUD Kota Banjar
5. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-Ul
6. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-Ul
7. Koordinator M.A.Tesis FIK-Ul
B. Pertinggal
Yth. Direktur
RSUD. Kota Garut
Jawa Barat
Sdri. Amila
NPM 0906505086
Sehubungan dengan hal tersebut, bersama ini kami mohon dengan hormat
kesediadn Saudara mengijinkan yang bersangkutan untuk mengadakan
penelitian di RSUD. Kota Garut.
Atas perhatian Saudara dan kerjasama yang baik, disampaikan terima kasih
.-$A9 tNo^
C CIe-'%*ou*"2
1M'{\fu'x M.App,Sc. PhD,
"",,ffi*ffi1'Jili'l ff i ?! r'J:? 002
Tembusan Yth. :
1. Dekan (sebagai laporan)
2. Sekretaris FIK-ul
3. Kepala Diklit RSUD Kota Garut
4. Kepala Ruang Neurologi RSUD Kota Garut
5. Ketua Program Magister dan Spesialis FIK-Ul
6. Manajer Pendidikan dan Riset FIK-Ul
7, Koordinator M.A.Tesis FIK-Ul
8. Pertinggal
Nama : AMILA
NIM : 0fr)6505086
ndul : "Pengutfit Pemberian Komnikasi dengan
Augme*aive and Alternative Cowttwtlcdion
terM,ry Depresi pada Pasien Stroke dengan Af6b
Motarik di i4SUD Koto Tasilonalaya dm Kota
Bqtjai"
ffi#r*
\!/
&riK{i $iilt {t}{iJH 0A[Ri]i
ffi"s.af.m
I-ampiran :
Perihal : ljin Penelitian
Kepada Yth,
Ketua Dekan X'akultas Ilmu Kepcrawatan
Universitas Indonesia
Di
Tempat
Nama AMILA
NIM 0906s0s086
Jurusan S-2 Keperawatan Peminatan Medikal Bedah
Instittrsi { Jn i versitas Indonesia Faku lta"s Il mu Keperawatan
Judul "PFNGARUH PEMBERIAN KOMI]NIKASI DENGAN
AAGMENTATTW AND ALTERNATIVE
COT,ThTI,TUNICATION TERIIADAP DEPNESI PADA
PASIEN STROKE DENGAN AFASIA MOTOMK DI
RAMAE SAKIT T]MAM DAERAE KOTA
TASIKMALa|YA DAIY RUtuIAH SAKIT {JMAMI
DAERAH KOTA BANJAR'
Tanggal 11 November s.d 11 Desember 2011
Demikian agar maklurn untuk menjadi bahan pertimbangan lebih lanjut, atas
perhafi an dan keg asamanya kami men gucapkan terima kasih.
C9
s.
G
3#ffm
Nip. 1966 0201 198s12 I 001
Tembusarr:
1. Wadir Pelayanan
2. Ka Bag Sekertariat
3. Instalasi Rawat Inap
4. CM
5. PPL
Opfr.
l(Eqi
Itrl@
:lm
:b1
: 2ll
o!ffi
RMgDotda
Bog@il,c
:m
ims
i 212
K.patmirE
BdrtFvir.
i
fvlrnrRbs :
:
20I
205
213
ffi
Wrdir Ut@ :
D.ilL t
b7
,ta
ApdA
K.a*G3ifE
r 20:t
i 206
I( Fred :41
Edrnm i ,.@
OtGtls. Jb
Di..&r
i
:
tt' -
210
Antrrlf : 2lt gedhlin : 219 rcu :rn B.d$Sdnl: 2t
SuFdid i 215 M4tl : 216 WiislSoh : 2fi
lP6S rU Kns tZX H rm Tlnp :
| 2Il : 2:B l{h T&ggr i zu
n diologi | 732 LstEai@ : Zt3 IPAL | 2!1 Kofdrd
2lE thdtoF i tlg Tlddf :80 &ddll 23t
o, : l,O m. : l4l | ,g; ffi 1 tt1 Foluiot i 23t IMT
IGD iUz .{d6i.rloD : ts Lafr i74 K Mad IN
: E9
Nama : Amila
NPM : $06505086
sesuai dengan permintaan yaitu dari tanggal 29 November s/d29 Desember 2011.
.1962CI7t2t987031009
..
PENGARUH PEMBERIAN KOMI]NIKASI DENGAN AUGMENTATIVS AND
ALTtrRNATTVE COMMTIMCATION TERHADAP KEMAMPUAN FI'NGSIONAL
KOMUNIKASI DAN DEPRESI PADA PASIEN STROKE DENGAN AFASIA MOTORIK
'
Dengan mengambil Lokasi di : RSUD Kabupaten Garut
Waktu dari tanggal : 29 November s/d 29 Desember 20l l
Pada prinsipnya kami tidak keberatan yang bersangkutan tersebut di atas untuk melaksanakan
Kegiatan
tersebut dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Surat Rekomendasi ini dianggap batal apabila tidak rnentaati ketentuan tersebut di atas.
i--
Tembusan, disampaikan kepada yth :
1. KepalaBAPPEDA Kabupaten Garut;
2. Kepaia Dinas Kesehatan Kabupaten Garut;
3. Dekan Fakultas Ilnu Keperawatan Universitas Indonesia
4, KepalaRSUD Kabupaten Garut:Pengaruh pemberian..., Amila, FIK UI, 2012
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Amila
Tempat/Tanggal Lahir : NAD, 21 Januari 1976
Alamat Rumah : Perum BKP BKP Blok P No. 53 RT/RW 004/004
Kelurahan Kemiling Permai Kecamatan Kemiling
Bandarlampung 35153
Alamat Kantor : Universitas Malahayati
Jl.Pramuka No. 27 Kemiling Bandarlampung
Email : mila_difa@yahoo.co.id
Riwayat Pendidikan : 1. S2 Keperawatan Medikal Bedah FIK-UI Jakarta,
angkatan 2009
2. S1 Keperawatan FIK-UNPAD, lulus tahun 2000
3. DIII Keperawatan Poltekkes NAD, lulus tahun 1997
4. Akta Mengajar III UT Bandung, lulus tahun 2001
5. SMA YKPP Pertamina Rantau (NAD), lulus tahun
1994
6. SMP Negeri Rantau (NAD), lulus tahun 1991
7. SD YKPP Pertamina Rantau (NAD), lulus tahun
1988
Riwayat Pekerjaan : 1. RSU Zaenal Abidin (NAD) tahun 1997 – 1998
2. Akper Bhakti Kencana Bandung, tahun 2001-2003
3. Universitas Malahayati, tahun 2003- 2010