Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN KEBUTUHAN NYAMAN

TERBEBAS DARI NYERI


diajukan untuk memenuhi tugas CBL I

Dosen pembimbing:
Anggriana TW, M.Kep

Disusun oleh:
Fery Fatur Rahman Saleh
302019097

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


UNIVERSITAS ‘AISYIYAH BANDUNG
Jln. K. H. Ahmad Dahlan dalam No. 6 Bandung
2021
GANGGUAN KEBUTUHAN AMAN NYAMAN

A. Konsep Dasar
1. Definisi Nyeri
Nyeri adalah pengalaman sensori nyeri dan emosional yang tidak menyenangkan
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual dan potensial yang tidak
menyenagkan yang terlokalisasi pada suatu bagian tubuh ataupun sering disebut
dengan istilah distruktif dimana jaringan rasanya seperti di tusuk-tusuk, panas
terbakar, melilit, seperti emosi, perasaan takut dan mual (Judha, 2012).
Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara
aktual atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan.
Serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan sampai berat yang dapat
diantisipasi dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6
bulan (Asosiasi Studi Nyeri Internasional); awitan yang tiba-tiba atau lambat dari
intensitas ringan hingga berat hingga akhir yang dapat diantisipasi atau di
prediksi. (NANDA, 2015). Nyeri kronis serangan yang tiba-tiba atau lambat dari
intesitas ringan hingga berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi
dan berlangsung > 3 bulan (NANDA, 2012).

2. Faktor yang mempengaruhi nyeri


1)      Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak-anak dan lansia. Anak kecil mempunyai kesulitan
memahami nyeri dan prosedur yang dilakukan perawat yang menyebabkan
nyeri. Anak-anak juga mengalami kesulitan secara verbal dalam
mengungkapkan dan mengekspresikan nyeri. Sedangkan pasien yang
berusia lanjut, memiliki resiko tinggi mengalami situasi yang membuat
mereka merasakan nyeri akibat adanya komplikasi penyakit dan degeneratif.
2)      Jenis kelamin
Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin misalnya
menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh
menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang
sama. Namun secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna
dalam berespon terhadap nyeri.
3)      Kebudayaan
Beberapa kebudayaan yakin bahwa memperlihatkan nyeri adalah
sesuatu yang alamiah. Kebudayaan lain cenderung untuk melatih perilaku
yang tertutup (introvert). Sosialisasi budaya menentukan perilaku psikologis
seseorang. Dengan demikian hal ini dapat mempengaruhi pengeluaran
fisiologis opial endogen sehingga terjadilah persepsi nyeri.
4)      Makna nyeri
Individu akan mempersepsikan nyeri berbeda-beda apabila nyeri
tersebut memberi kesan ancaman, suatu kehilangan, hukuman dan
tantangan. Makna nyeri mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara
seseorang beradaptasi terhadap nyeri.
5)      Perhatian
Tingkat seorang pasien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan
dengan nyeri yang meningkat sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun.
6)      Ansietas
Ansietas seringkali meningkatkan persepsi nyeri tetapi nyeri juga
dapat menimbulkan suatu perasaan ansietas. Apabila rasa cemas tidak
mendapat perhatian dapat menimbulkan suatu masalah penatalaksanaan
nyeri yang serius.
7)      Keletihan
Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping sehingga meningkatkan persepsi nyeri.
8)      Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri sebelumnya namun
tidak selalu berarti bahwa individu tersebut akan menerima nyeri dengan
lebih mudah di masa datang.
9)        Gaya koping
Individu yang memiiiki lokus kendali internal mempersepsikan diri
mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan mereka dan
hasil akhir suatu peristiwa seperti nyeri. Sebaliknya, individu yang memiliki
lokus kendali eksternal mempersepsikan faktor lain di dalam lingkungan
mereka seperti perawat sebagai individu yang bertanggung jawab terhadap
hasil akhir suatu peristiwa.
10)    Dukungan keluarga dan sosial
Kehadiran orang-orang terdekat pasien dan bagaimana sikap mereka
terhadap pasien mempengaruhi respon nyeri. Pasien dengan nyeri
memerlukan dukungan, bantuan dan perlindungan walaupun nyeri tetap
dirasakan namun kehadiran orang yang dicintai akan meminimalkan
kesepian dan ketakutan.

3. mekanisme terjadinya nyeri


Munculnya nyeri sangat berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan.
Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung saraf
sangat bebas yang memiliki sedikit mielin yang tersebar pada kulit dan mukosa,
khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati, dan kantong empedu.
Reseptor nyeri dapat memberikan respons akibat adanya stimulasi atau
rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa kimiawi, termal, listrik, atau mekanis.
Stimulasi oleh zat kimiawi di antaranya seperti histamin, bradikinin,
prostaglandin, dan macam-macam asam seperti adanya asam lambung yang
meningkat pada gastritis atau stimulasi yang dilepas apabila terdapat kerusakan
pada jaringan.
Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut ditransmisikan berupa
impuls-impuls nyen ke sumsum tulang belakang oleh dua jenis serabut, yaitu
serabut A (delta) yang bermielin rapat dan serabut lamban (serabut C). Impuls-
impuls yang ditransmisikan olch serabut delta A mempunyai sifat inhibitor yang
ditransmisikan ke serabut C. Serabut-serabut aferen masuk ke spinal melalui akar
dorsal (dorsal rood serta sinaps pada dorsal horn. Dorsal horn tersebut terdiri
atas beberapa lapisan atau lamina yang saling bertautan. Di antara lapisan dua dan
tiga membentuk substantia gelatinosa yang merupakan saluran utama impuls.
Kemudian, impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang pada interneuron
dan bersambung ke jalur spinal asendens yang paling utama, yaitu jalur
spinothalamic tract (STT) atau jalur spinothalamus dan spinoreticular tract
(SRT) yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi nyeri. Dar proses
transmisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan
jalur nonopiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan reseptor pada otak yang
terdir; atas jalur spinal desendens dari talamus, yang melalui otak tengah dan
medula, ke tanduk dorsal sumsum tulang belakang yang berkonduksi dengan
nociceptor impuls supresif. Serotonin merupakan neurotransmiter dalam impuls
supresif. Sistem supresif lebih mengaktifkan stimulasi nociceptor yang
ditransmisikan oleh serabut A. Jalur nonopiate merupakan jalur desenden yang
tidak memberikan respons terhadap naloxone yang kurang banyak diketahui
mekanismenya. [ CITATION Uli10 \l 2057 ]

Mekanisme timbulnya nyeri didasari olehproses multipel yaitu nosisepsi,


sensitisasi perifer,perubahan fenotip, sensitisasi sentral, eksitabilitas ektopik,
reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara stimulus cedera jaringan
dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat proses tersendiri : tranduksi,
transmisi, modulasi,dan persepsi.
Transduksi adalah suatu proses dimanaakhiran saraf aferen menerjemahkan
stimulus(misalnya tusukan jarum) ke dalam impuls nosiseptif Ada tiga tipe
serabut saraf yang terlibat dalam proses ini, yaitu serabut A-beta, A-delta, dan
C.Serabut yang berespon secara maksimal terhadap stimulasi non noksius
dikelompokkan sebagai serabut penghantar nyeri, atau nosiseptor. Serabut ini
adalah A-delta dan C.Silent nociceptor, juga terlibat dalam proses transduksi,
merupakan serabut saraf aferen yang tidak bersepon terhadap stimulasi eksternal
tanpa adanya mediator inflamasi.
Transmisi adalah suatu proses dimana impuls disalurkan menuju kornu dorsalis
medulla spinalis, kemudian sepanjang traktus sensorik menuju otak. Neuron
aferen primer merupakan pengirim dan penerima aktif dari sinyal elektrik dan
kimiawi.Aksonnya berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dan selanjutnya
berhubungan dengan banyak neuron spinal.
Modulasi adalah proses amplifikasi sinyal neural terkait nyeri (pain related
neural signals). Proses ini terutama terjadi di kornu dorsalis medula spinalis,dan
mungkin juga terjadi di level lainnya. Serangkaian reseptor opioid seperti mu,
kappa, dan delta dapat ditemukan di kornu dorsalis. Sistem nosiseptif juga
mempunyai jalur desending berasal dari korteks frontalis, hipotalamus, dan area
otak lainnya keotak tengah (midbrain) dan medula oblongata,selanjutnya menuju
medula spinalis. Hasil dari proses inhibisi desendens ini adalah penguatan, atau
bahkan penghambatan (blok) sinyal nosiseptif di kornudorsalis.
Persepsi nyeri adalah kesadaran akan pengalaman nyeri. Persepsi merupakan hasil
dariinteraksi proses transduksi, transmisi, modulasi, aspek psikologis, dan
karakteristik individu lainnya.
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima rangsang
nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung syarafbebas
dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secaara potensial
merusak.Reseptor nyeri disebut juga Nociseptor. Secara anatomis, reseptor nyeri
(nociseptor) ada yang bermiyelin dan ada juga yang tidak bermiyelin dari syaraf
aferen. [ CITATION Bac17 \l 2057 ]

4. Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis


a. Nyeri akut
Nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius akibat kerusakan jaringan, proses
penyakit, maupun fungsi abnormal otot atau organ viseral. Nyeri akut selalu
bersifat nyeri nosiseptif. Nyeri nosiseptif berfungsi untuk mendeteksi,
melokalisasi, dan membatasi kerusakan jaringan. Nyeri nosiseptif berfungsi
membangkitkan refleks menghindar (withdrawal reflex) guna mencegah
terjadinya kerusakan jaringan.
Nyeri nosiseptif terjadi sebelum adanya kerusakan jaringan dan bersifat protektif
untuk mempertahankan keutuhan tubuh kita. Jika telah terjadi kerusakan jaringan,
maka nyeri nosiseptif berubah menjadi nyeri akut, Karena jarak antara nyeri
nosiseptif dan nyeri akut hanya beberapa detik dan mekanismenya pun sama,
maka di dalam klinik nyerl nosiseptif selalu diidentikkan dengan nyer akut.
Nyeri akut adalah nyeri yang bersifat sementara (self-limited) karena akan
menghilang seirama dengan penyembuhannya yang normalnya berlangsung
beberapa hari atau minggu. Bentuk- bentuk yang paling umum dari nyeri akut
adalah nyeri pascatrauma, pascabedah, dan nyeri persalinan serta nyeri yang
terkait dengan penyakit medis akut,seperti infark miokard, pankreatitis, batu
ginjal, dll. Nyeri akut selalu diikuti dengan respons stress neuroendokrin sistemik
yang sebanding dengan intensitas nyeri. Ketika nyeri menetap setelah
penyembuhan usai, nyeri akut berubah menjadi nyeri kronis.
Ada dua jenis nyeri akut, yakni nyeri somatik jika berasal dari jaringan soma dan
nyeri viseral jika nyeri berasal dari organ viseral (jantung, ginjal, usus, dil.).
1) Nyeri somatik: nyeri akibat input nosiseptif pada bagian luar tubuh. Nyeri
somatik dapat berasal dari kulit, ligamentum, tendon, otot, sendi, dan tulang.
Nyeri somatik dapat dibagi lagi menjadi nyeri somatik superfisial dan dalam.
Nyeri somatik superfisial terjadi jika input nosiseptif berasal dari jaringan kulit,
subkutan, atau dinding mukosa. Gejala nyerinya sangat khas, lokalisasinya sangat
jelas (dapat ditunjuk dengan telunjuk), dan digambarkan sebagai sensasi yang
tajam, menusuk, atau berdenyut,
Nyeri somatik dalam, jika nyeri berasal dari otot, tendon, sendi, atau tulang.
Berbeda dengan nyeri somatik superfisial, di sini nyerinya terasa tumpul, dan
lokalisasinya kurang jelas. Selain itu, intensitas nyeri serta lama perlangsungan
stimulus dapat memengaruhi daerah lokalisasinya. Sebagai terlokalisasi pada siku,
tetapi luka berat atau contoh, nyeri akibat luka ringan pada sendi akan
berkepanjangan pada siku sering, menyebabkan nyeri pada seluruh lengan.
2. Nyeri viseral: nyeri yang berasal dari organ internal mayor. Viseral adalah
organ tubuh yang terletak di dalam rongga tubuh seperti rongga abdomen dan
rongga toraks. Nyeri akut viseral disebabkan oleh proses penyakit atau fungsi
abnormal yang mengenai organ internal atau pembungkusnya (misalnya pleura
parietal, perikardium, dan peritoneum). Hanya beberapa organ yang dapat
menimbulkan rasa nyeri yang dalam ini karena adanya perbedaan persarafan
organ. Organ visera yang memiliki nosiseptor, yaitu saraf sensorik yang dapat
mentransmisikan nyerl ke otak setelah cedera, dapat mengakibatkan nyeri visera
yang dalam bila terluka. Gambaran klinis nyeri visceral adalah:
a). Nyeri viseral hanya bisa ditimbulkan oleh beberapa organ viseral.
b). T'idak berhubungan dengan cedera pada organ viseral.
c). Merupakan nyeri rujukan dari organ lain, nyeri yang terkait dengan proses
penyakit yang melibatkan peritoneum atau pleura di sekitar diafragma bagian
tengah dirujuk ke leher dan bahu, sedangkan nyeri dari proses penyakit yang
mengenai permukaan parietal di daerah diafragma perifer dirujuk ke dada atau
dinding perut bagian atas.
d). Bersifat difus dan tidak terlokalisasi, biasanya pada garis tengah (tidak dapat
ditunjuk dengan telunjuk tapi dengan telapak tangan).
e). Disertai dengan refleks otonomik dan motorik yang berlebihan sehingga pasien
nampak sakit berat disertai dengan gejala mual, muntah, berkeringat, serta
perubahan tekanan darah dan nadi.

b. Nyeri Kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang menetap melampaui proses penyakit akut atau
melebihi waktu penyembuhan normal, yang biasanya berlangsung 3 hingga 6
bulan. Nyeri kronis dapat berasal dari di mana faktor psikologis lingkungan dan
sosial nyeri nosiseptif, neuropatik, maupun campurannya, memainkan peran
utama. Pasien dengan nyeri kronis sering kali memilliki respons stres
neuroendokrin yang kurang atau tidak ada, tetapi memiliki gangguan tidur dan
emosional (suasana hati) yang menonjol. Nyeri neuropatik secara klasik bersifat
serangan (paroxysmal) dan tertusuk tajam (lacinating) atau seperti terbakar. Ciri
khas dari nyeri neuropatik adalah jika ditemukannya dua macam gejala secara
bersamaan, yakni gejala hipolgesia (sensasi yang berkurang) dan hiperalgesia
(sensasi yang bertambah). Jika dikuti dengan hilangnya input sensorik (misalnya,
pada amputasl) ke dalam system saraf pusat, maka disebut nyeri deaferensasi. Jika
sistem simpatis memainkan peran utama, disebut sebagai symphatically
maintained pain.
Nyeri kronis dapat dijumpai pada gangguan muskuloskeletal kronis, gangguan
viseral kronis, lesi saraf perifer, akar saraf, atau ganglion akar dorsalis (termasuk
neuropatik diabetik, kausalgia, nyeri phantom, dan nyeri pasca-herpes), lesi pada
sistem saraf pusat (stroke, cedera pada medulla spinalis, dan multipel sklerosis),
dan nyeri kanker. Nyeri pada gangguan muskuloskeletal (misalnya, rheumatoid
arthritis dan osteoarthritis) secara primer bersifat nosiseptif, sedangkan nyeri yang
terkait dengan gangguan saraf perifer atau sentral bersifat neuropatik. Nyeri yang
terkait dengan beberapa gangguan, misalnya, kanker dan sakit punggung kronis
(terutama setelah pembedahan), merupakan campuran antara nosiseptif dan
neuropatik. [ CITATION Tan19 \l 2057 ]

5. Manajemen Nyeri
a. Farmakologi
Manajemen farmakologi yang dilakukan adalah pemberian analgesik atau obat
penghilang rasa sakit.
Penatalaksanaan farmakalogi adalah pemberian obat-obatan untuk mengurangi
nyeri. Obat-obatan yang diberikan dapat digolongkan kedalam:
1).Analgesik opioid (narkotik)
Analgesik opioid terdiri dari turunan opium, seperti morfin dan kodein. Opioid
meredakan nyeri dan memberi rasa euforia lebih besar dengan mengikat reseptor
opiat dan mengaktivasi endogen (muncul dari penyebab di dalam tubuh) penekan
nyeri dalam susunan saraf pusat. Perubahan alam perasaan dan sikap serta
perasaan sejahtera membuat individu lebih nyaman meskipun nyeri tetap
dirasakan (Kozier, et al., 2010).
Opioid adalah obat yang aman dan efektif. Obat-obatan ini bekerja dengan cara
meningkatkan sensitivitas dan durasi yang lebih lama dalam menurunkan nyeri
yang dialami seseorang (Closs, 1994 dalam Brigss, 2002).
2).Obat-obatan anti-inflamasi nonopioid/nonsteroid (non steroid antiinflamation
drugs/NSAID)
Non opioid mencakup asetaminofen dan obat anti inflamasi non steroid (NSAID)
seperti ibuprofen. NSAID memiliki efek anti inflamasi, analgesik, dan antipiretik,
sementara asetaminofen hanya memiliki efek analgesik dan antipiretik. Obat-
obatan ini meredakan nyeri dengan bekerja pada ujung saraf tepi di tempat cedera
dan menurunkan tingkat mediator inflamasi serta mengganggu produksi
prostaglandin di tempat cedera (Kozier, et al., 2010).
3). Analgesik penyerta
Analgesik penyerta adalah sebuah obat yang bukan dibuat untuk penggunaan
analgesik tetapi terbukti mengurangi nyeri kronik dan kadang kala nyeri akut,
selain kerja utamanya. Misalnya, sedatif ringan atau penenang dapat membantu
mengurangi ansietas, stres dan ketegangan sehingga pasien dapat tidur dengan
baik di malam hari. Antidepresan digunakan untuk mengatasi gangguan depresi
atau gangguan alam perasaan yang mendasari tetapi dapat juga meningkatkan
strategi nyeri yang lain. Antikonvulsan, biasanya diresepkan untuk mengatasi
kejang, dapat berguna dalam mengendalikan neuropati yang menyakitkan.

b. Manajemen nyeri non farmakologi


merupakan upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi atau menghilangkan
nyeri dengan pendekatan non farmakologi (Smeltzer, 2001:223).
Tindakan non farmakologis dapat digunakan sebagai pelengkap dalam pemberian
analgesik, tetapi tindakan non farmakologis tidak ditujukan sebagai pengganti
analgesik (Urden, 2009:145).
Terdapat beberapa jenis tindakan non farmakologis antara lain: teknik relaksasi,
distraksi masase, terapi es dan panas, dan stimulasi saraf elektris transkutan.
1) Relaksasi.
Relaksasi adalah metode pengenda-lian nyeri non farmakologik yang paling
sering digunakan di Inggris. Metode ini menggunakan pendidikan dan latihan
pernafasan dengan prinsip dapat mengurangi nyeri dengan cara mengurangi
sensasi nyeri dan mengontrol intensitas reaksi terhadap nyeri, relaksasi dapat
dilakukan dengan cara ciptakan lingkungan yang tenang, tentukan posisi yang
nyaman, konsentrasi pada suatu obyek atau bayangan visual, dan melepaskan
ketegangan.
2) Distraksi.
Distraksi merupakan tindakan yang memfokuskan perhatian pada sesuatu selain
pada nyeri misalnya menonton film. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi
nyeri dengan menstimulasi sitem kontrol desendens yang mengaki-batkan lebih
sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung
pada kemampuan pa-sien untuk menerima dan membangkitkan input sensori
selain nyeri .
Asmadi (2008) mengelompokan beberapa teknik distraksi yang dapat dilakukan
antara lain, bernapas lambat dan berirama secara teratur, menyanyi berirama dan
menghitung ketukannya, mendengarkan musik mendorong klien untuk menghayal
(guided imagery) tekniknya sebagai berikut, atur posisi nyaman pada klien,
dengan suara yang lembut mintakan klien untuk memikirkan hal-hal yang
menyenangkan atau pengalaman yang membantu semua indra, minta klien untuk
tetap fokus pada bayangan yang menyenangkan sambil merelaksasikan tubuhnya,
bila klien tampak relaks perawat tidak perlu berbicara lagi.
3)TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation)
TENS merupakan salah satu teknik pengendalian nyeri non farmakologik karena
teknik tersebut menyebakan pelepasan endorphin, seperti penggunaan placebo
(substansi Inert). Efek placebo timbul dari produksi alamiah (endogen) endorfin
dalam dalam sistem kontrol desenden. Efek ini merupakan respon fisiologis sejati
yang dapat di putar balik oleh nalokson, suatu antagonis narkotik.
4)Terapi Es
Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensivitas reseptor
nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses inflamasi.
Terapi panas mempunyai keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area
dan kemungkinan dapat menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.
5) Massage (pijatan)
Ada beberapa teknik pijatan yang dapat dilakukan yaitu, remasan pada otot bahu,
selang seling tangan memijat punggung dengan tekanan pendek, cepat dan
bergantian tangan, petria-si dengan menekan punggung secara horizontal
kemudian pindah tangan dengan arah yang berlawanan dengan mengguakan
gerakan meremas, tekanan menyikat secara halus tekan punggung dengan
menggunakan ujung-ujung jari untuk mengakhiri pijatan. [ CITATION May16 \l
2057 ]

B. Konsep Asuhan Keperawatan Pemenuhan Rasa Nyaman


1. Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri yang tepat dibutuhkan untuk menetapkan data dasar, untuk
menegakkan diagnose keperawatan yang tepat, untuk menyeleksi terapi yang
cocok, dan untuk mengevaluasi respon klien terhadap terapi.
Pengkajian nyeri yang dilakukan meliputi pengkajian data subjektif dan data
objektif.
a. Data Subjektif
1) Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan individu.
Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan karenanya
harus diminta untuk menggambarkan dan membuat tingkatannya. Penggunaan
skala intensitas nyeri adalah metode yang mudah dan reliabel dalam menentukan
intensitas nyeri. Sebagian skala menggunakan kisaran 0-10 dengan 0 menandakan
“tanpa nyeri” dan angka tertinggi menandakan “kemungkinan nyeri terburuk”
untuk individu tersebut.
a). Face Pain Scale (FPS)
FPS dimaksuskan untuk mengukur bagaimana tingkat nyeri pasien yang mereka
rasakan. Setiap tampilan ekspresi wajah menunjukkan hubungan dengan nyeri
yang dirasakan. Versi terbaru dari FPS menampilkan gambar 6 wajah bergaris
disajikan dalam orientasi horizontal. Pasien diinstruksikan untuk menunjuk ke
wajah yang paling mencirikan intensitas nyeri yang mereka rasakan.

b). Verbal Rating Scale (VRS)


VRS adalah skala ordinal yang biasanya digambarkan menggunakan 4-6 kata sifat
untuk menggambarkan peningkatan intensitas nyeri. Pasien diminta untuk
memilih kata yang menggambarkan tingkat nyeri yang dirasakan. Metode ini
mudah dipahimi oleh pasien dengan gangguan non kognitif namun tidak memiliki
akurasi dan sensivitas.

c). Numeric Rating Scale (NRS)


NRS digunakan untuk menilai intensitas dan memberi kebebasan penuh klien
untuk mengidentifikasi keparahan nyeri (Potter & Perry 2005). Krebs, Carey, &
Weinberger (2007) mengkategorikan skor NRS 1-3 (nyeri ringan), 4-6 (nyeri
sedang), dan 7-10 (nyeri berat).
d). Visual Analog Scale (VAS)
VAS merupakan suatu garis lurus yang mewakili intensitas nyeri dan memiliki
alat keterangan verbal pada setiap ujungnya(Potter & Perry , 2005:1511). VAS
berbentuk garis horizontal sepanjang 10 cm, dan ujungnya mengindikasikan nyeri
yang berat. Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan
letak nyeri terjadi di sepanjang rentang tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan
“tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung kanan menandakan “berat” atau
“nyeri yang paling buruk”. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan
sepanjang garis dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri”
diukur dan ditulis dalam sentimeter.

2) Karakteristik nyeri
Adapun karakteristik nyeri menggunakan metode P, Q, R, S, T diantaranya adalah
sebagai berikut.
(a) Faktor Pencetus (P: Provoking Incident)
Pengkajian untuk mengindentifikasi faktor yang menjadi predisposisi nyeri.
Bagaimana peristiwa sehingga terjadi nyeri?
Faktor apa saja yang bisa menurunkan nyeri?
(b) Kualitas (Q: Quality of Pain)
Pengkajian untuk menilai bagaimana rasa nyeri dirasakan secara subyektif.
Karena sebagian besar deskripsi sifat dari nyeri sulit ditafsirkan.
Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien?
Bagaimana sifat nyeri yang digambarkan pasien?
(c) Lokasi (R: Region)
Pengkajian untuk mengindentifikasi letak nyeri secara tepat, adanya radiasi dan
penyebabnya.
Dimana (dan tunjukan dengan satu jari) rasa nyeri paling hebat mulai dirasakan?
Apakah rasa nyeri menyebar pada area sekitar nyeri?
(d) Keparahan (S: Scale of Pain)
Pengkajian untuk menentukan seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien.
Pengkajian ini dapat dilakukan berdasarkan skal nyeri dan pasien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit memengaruhi kemampuan fungsinya. Berat ringannya
suatu keluhan nyeri bersifat subyektif.
Seberapa berat keluhan yang dirasakan.
Dengan menggunakan rentang 0-9.
Keterangan:
0 = Tidak ada nyeri
1-2-3 = Nyeri ringan
4-5 = Nyeri sedang
6-7 = Nyeri hebat
8-9 = Nyeri sangat
10 = Nyeri paling hebat
(e) Waktu (T: Time)
Pengkajian untuk mendeteksi berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
Kapan nyeri muncul?
Tanyakan apakah gejala timbul mendadak, perlahan-lahan atau seketika itu juga?
Tanyakan apakah gejala-gejala timbul secara terus-menerus atau hilang timbul.
Tanyakan kapan terakhir kali pasien merasa nyaman atau merasa sangat sehat.

3) Faktor yang meredakan atau memperberat nyeri


Perawat perlu mengkaji faktor-faktor yang memperberat nyeri pasien misalnya
peningkatan aktivitas, perubahan suhu, stres dan yang lainnya, sehingga dengan
demikian perawat dapat memberikan tindakan yang tepat untuk menghindari
peningkatan respon nyeri pada klien. Faktor yang meredakan nyeri, misalnya
gerakan,kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat, obat-obatan bebas, dan apa
yang dipercaya pasien dapat membantu mengatasi nyerinya. Akan sangat
bermanfaat apabila perawat mengetahui apakah klien mempunyai cara yang
efektif untuk menghilangkan nyeri sepertimerubah posisi, melakukan tindakan
ritual (melangkah, berayun-ayun, menggosik) makan, meditasi, atau mengompres
bagian yang nyeri dengan kompres dingin atau hangat.
4) Efek nyeri terhadap klien
Klien yang merasakan nyeri setiap hari akan mengalami gangguan dalam kegiatan
sehari-harinya. Apabila klien mengalami nyeri maka perawat perlu mengkaji kata-
kata yang diucapkan, respon verbal (meringis, menangis), gerakan wajah dan
tubuh (meringis sambil mengguling ke kanan, melindungi area nyeri), interaksi
sosial klien, dan aktivitas klien.Pada aktivitas sehari-hari nyeri menyebabkan klien
kurang mampu berpartisipasi dalam aktivitas rutin.Seperti pada kehidupan sehari-
hari, misalnya tidur, nafsu makan, konsentrasi, interaksi dengan orang lain,
gerakan fisik, bekerja, dan aktivitas-aktivitas santai.
b. Data Objektif
1) Respon Perilaku
Respons perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal, perilaku
vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dengan orang lain, atau
perubahan respons terhadap lingkungan. Respons perilaku ini sering ditemukan
dan kebanyakan diantaranya dapat diobservasi. Respon perilaku yang ditunjukkan
klien yang mengalami nyeri bermacam-macam.

2) Respons fisiologis antara lain seperti meningkatnya peranfasan dan denyut


nadi, meningkatnya tekanan darah, meningkatnya ketegangan otot, dilatasi pupil,
berkeringat, wajah pucat, mual dan muntah. Respon fisiologis ini dapat digunakan
sebagai pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada klien tidak sadar .Pada saat
impuls nyeri naik ke medula spinalis menuju ke batang otak dan thalamus, sistem
saraf otonom menjadi terstimulasi sebagai bagian dari repoon stres. Stimulus pada
cabang simpatis pada sistem saraf otonom menghasilkan respon fisiologis.
Perawat perlu untuk mengkaji klien berkaitan adanya perubahan-perubahan pada
respon fisiologis terhadap nyeri di atas untuk mendukung diagnosa dan membantu
dalam memberikan terapi yang tepat.
3) Respons Afektif
Respon afektif juga perlu diperhatikan oleh seorang perawat di dalam melakukan
pengkajian terhadap pasien dengan gangguan rasa nyeri. Ansietas (kecemasan)
perlu digali dengan menanyakan pada pasien seperti: “apakah saat ini Anda
merasakan cemas?. Selain itu juga adanya depresi, ketidaktertarikan pada aktivitas
fisik dan perilaku menarik diri dari lingkungan yang perlu diperhatikan. Respons
afektif seperti cemas, marah, tidak nafsu makan, kelelahan, tidak punya harapan,
dan depresi juga terjadi pada klien yang mengalami nyeri. Cemas sering
diasosiasikan sebagai nyeri akut dan frekuensi dari nyeri tersebut dapat
diantisipasi. Sedangkan depresi sering diasosiasikan sebagai nyeri kronis.

2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul dengan gangguan rasa


nyaman dan keamanan
Diagnosa Keperawatan Diagnosis keperawatan adalah suatu penilaian klinis
terhadap adanya pengalaman dan respon individu, keluarga ataupun komunitas
terhadap masalah kesehatan, pada risiko masalah kesehatan atau pada proses
kehidupan. Diagnosis keperawatan adalah bagian vital dalam menentukan proses
asuhan keperawatan yang sesuai dalam membantu pasien mencapai kesehatan
yang optimal. Mengingat diagnosis keperawatan sangat penting maka dibutuhkan
standar diagnose keperawatan yang bisa diterapkan secara nasional di Indonesia
dengan mengacu pada standar diagnosa yang telah dibakukan sebelumnya
[ CITATION PPN17 \l 2057 ]

Diagnosa keperawatan menurut [ CITATION PPN17 \l 2057 ] dalam buku Standar


Diagnosa Keperawatan Indonesia adalah Gangguan Rasa Nyaman berhubungan
dengan gejala penyakit.Tanda dan gejala mayor, subjektif: mengeluh mual,
merasa ingin muntah, tidak berminat makan. Gejala dan tanda minor, subjektif:
merasa asam di mulut, sensasi panas/dingin, sering menelan, objektif: saliva
meningkat, pucat.
Diagnosa Keperawatan pada kasus 11 adalah :
1. Nyeri akut b.d Agen pencedera fisiologis d.d mengeluh nyeri, tampak murung,
tekanan darah meningkat, pola nafas berubah
2. Gangguan integritas kulit/jaringan b.d Bahan kimia iritatif d.d Kerusakan
jaringan: ukuran luka 5 x 3 x 2 cm, nyeri (+) skala 2 (1-5), kemerahan
3. Hipertermia b.d Proses penyakit d.d Suhu tubuh diatas nilai normal S: 38ºC
4. Resiko ketidakstabilan glukosa darah b.d GDS yang meningkat 380 mg/dl,
dan 300 mg/dl
3. Intervensi Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan kebutuhan
rasa aman dan kenyamanan
Intervensi keperawatan adalah suatu tindakan yang dirancang oleh perawat, atau
suatu perawatan yang di lakukan berdasarkan penilaian secara klinis dan
pengetahuan perawat yang bertujuan untuk meningkatkan outcome pasien atau
klien. Perencanaan keperawatan mencakup perawatan langsung serta perawatan
tidak langsung. Kedua perawatan ini ditujukan kepada individu, keluarga, dan
masyarakat dan orang-orang yang dirujuk oleh perawat, dirujuk oleh dokter
maupun pemberian layanan kesehatan lainnya [ CITATION PPN18 \l 2057 ]

NO DIAGNOSA
TUJUAN INTERVENSI
DX KEPERAWATAN
1 Nyeri akut (D.0077) Setelah dilakukan MANAJEMEN NYERI
perawatan selama (I.08238)
2x24 jam Tingkat Observasi:
Nyeri menurun, 1. Identifikasi lokasi,
dengan KRITERIA karakteristik, durasi, frekuensi,
HASIL: kualitas, intensitas nyeri
 Keluhan nyeri 5 2. Identifikasi skala nyeri
 Pola nafas 5 3. Identifikasi faktor yang

 Tekanan darah 5 memperingan dan


memperberat nyeri
Terapeutik:
4. Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis.
Terapi musik, teknik imajinasi
terbimbing, dll)
5. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri (mis.
Suhu, ruangan, pencahayaan,
kebisingan)
6. Pertimbangkan jenis dan
sumber nyeri dalam pemilihan
strategi meredakan nyeri
Edukasi:
7. Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri
8. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
9. Ajarkan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi:
10. Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu
2 Gangguan integritas Setelah dilakukan PERAWATAN LUKA
kulit/jaringan (D.0192) perawatan selama (I.14564)
2x24 jam integritas Observasi:
kulit dan jaringan 1. Monitor karakteristik luka
meningkat, dengan (mis. Drainase, warna, ukuran,
KRITERIA HASIL: bau)
 Kerusakan jaringan 2. Monitor tanda-tanda infeksi
5 Terapeutik:
 Nyeri 5 3. Lepaskan balutan dan plester
 Kemerahan 5 secara perlahan
4. Cukur rambut di sekitar
daerah luka, jika perlu
5. Bersihkan dengan cairan NaCl
atau pembersih nontoksik,
sesuai kebutuhan
6. Bersihkan jaringan nekrotik
7. Berikan salep yang sesuai ke
kulit/lesi, jika perlu
8. Pasang balutan sesuai jenis
luka
9. Pertahankan teknik steril saat
melakukan perawatan luka
10. Ganti balutan sesuai jumlah
eksudat dan drainase
Edukasi:
11. Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
Kolaborasi:
12. Kolaborasi pemberian
antibiotic, jika perlu
3 Hipertermia (D.0130) Setelah dilakukan MANAJEMEN
perawatan selama HIPERTERMIA (I.15506)
2x24 jam Observasi:
Termoregulasi 1. Identifikasi penyebab
membaik, dengan hipertermia
KRITERIA HASIL: 2. Monitor suhu tubuh
 Takipnea 1 Terapeutik:
 Suhu tubuh 5 3. Sediakan lingkungan yang
dingin
4. Longgarkan atau lepaskan
pakaian
5. Basahi dan kipasi permukaan
tubuh
6. Berikan cairan oral
7. Ganti linen setiap hari atau
lebih sering jika mengalami
hyperhidrosis
Edukasi:
8. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi:
9. Kolaborasi pemberian cairan
dan elektrolit intravena, jika
perlu
4 Ketidakstabilan Kadar MANAJEMEN
A. Kadar glukosa
Glukosa Darah ( D.0027 ) HIPOGLIKEMIA (I.03115)
darah
Dipertahankan Observasi :
pada ...
- Identifikasi tanda dan
ditingkatkan ke...
1. Glukos gejala hipoglikemia
a darah tidak
- Identifikasi kemungkinan
ada deviasi dari
kisaran normal penyebab hipoglikemia
2. Urin
Terapeutik:
glukosa tidak
ada deviasi dari - Berikan karbohidrat
kisaran normal
sederhana, jika perlu
B. Keparahan - Berikan glukagon, jika
hiperglikemia
perlu
dipertahankan pada
.... ditingkatkan - Berikan karbohidrat
ke....
kompleks dan protein
1. Pening
katan urin sesuai diet
output tidak
- Pertahankan kepatenan
ada
2. Kehilan jalan nafas
gan berat
- Pertahankan akses IV,Jika
badan yang
tidak bisa perlu
dijelaskan tidak
- Hubungi layanan medis
ada
3. Mulut darurat, jika perlu
kering tidak
Edukasi :
ada
4. Pening - Anjurkan membawa
katan glukosa
karbohidrat sederhana
darah tidak ada
setiap saat
C. Keparahan
- Anjurkan memakai
hipoglikemia :
dipertahankan pada identitas darurat yang
.... ditingkatkan
ke.... tepat
1. Gemeta
- Anjurkan monitor kadar
r tidak ada
2. Berkeri glukosa darah
ngat tidak ada
- Anjurkan berdiskusi
3. Kelema
han tidak ada dengan tim perawatan
4. Kejang
diabetes tentang
tidak ada
5. Koma penyesuaian program
tidak ada
pengobatan
6. Penuru
nan kadar - Jelaskan interaksi antara
glukosa darah
diet, insulin/agen oral, dan
tidak ada
olahraga
D. Status nutrisi :
- Ajarkan pengelolaan
Asupan Makanan
dan cairan hipoglikemia
dipertahankan pada
- Ajarkan perawatan
... ditingkatkan
pada .... mandiri untuk mencegah
1. Asupan
hipoglikemia
makanan secara
oral Kolaborasi :
sepenuhnya
- Kolaborasi
adekuat
2. Asupan pemberiandekstrose, jika
makanan secara
perlu
tube feeding
sepenuhnya - Kolaborasi pemberian
adekuat
glukagon, jika perlu
3. Asupan
cairan secara
oral
sepenuhnya
adekuat
4. Asupan
cairan intravena
sepenuhnya
adekuat
5. Asupan
nutrisi
parenteral
sepenuhnya
adekuat
E. Kontrol resiko
dipertahankan pada
… di tingkatkan
pada ….
1. F
aktor resiko
sering atau
secara
konsisten
diidentifikasi
2. F
aktor resiko di
lingkungan
sering atau
secara
konsisten
diidentifikasi
3. F
aktor resiko
individu sering
atau secara
konsisten
diidentifikasi
4. S
trategi yang
efektif dalam
mengontrol
resiko sering
atau secara
konsisten
dikembangkan
5. P
erubahan status
kesehatan
sering atau
secara
konsisten
dimonitor
DAFTAR PUSTAKA

Bachrudin, M. (2017). Patofisiologi nyeri (pain). Volume 13 No 1, 8.


Mayasari, C. (2016). Pentingnya pemahaman manajemen nyeri non farmakologi
bagi seorang perawat. Jurnal Wawasan Kesehatan, vol. 1 No. 1, 40-41.
Novrianda, D. (2012). Teknologi ElektronisPengkajian Nyeri Kronispada Anak-
anak dan Remaja. Ners Jurnal Keperawatan Volume 2 No 1, 50.
PPNI. (2017). Standar diagnosis keperawatan indonesia. Jakarta: DPP PPNI.
PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia. Jakarta: DPP PPNI.
Tanra, H., & Musba, A. (2019). Anestesiologi dan terapi intensif. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Uliyah, M., & Hidayat, A. A. (2010). Keterampilan dasar praktik klinik untuk
kebidanan, ed. 2. Jakarta: Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai