Anda di halaman 1dari 11

*)

KERAGAMAN RUANG BANJIR JAKARTA PADA FEBRUARI 2007

Oleh:

Mangapul P.Tambunan
Departemen Geografi Fakultas MIPA UI
e-mail:mangapul.parlindungan@ui.edu.ac.id

Abstrak

Ruang Megapolitan Jakarta sebagai barometer kehidupan masyarakat Indonesia, tentunya


memiliki keragaman ruang dan waktu di dalam persebaran banjir. Adanya variasi ruang
Jakarta berdasarkan topografi, geologi dan geomorfologi sebagai pembatas banjir di dalam
persebarannya. Pertanyaan, dimanakah ruang banjir Jakarta? dan berapa lama waktu di
dalam ruang banjir Jakarta pada Februari 2007? Metodelogi, melakukan berbagai overlay
peta topografi (ketinggian dan lereng), geologi (formasi batuan) dan geomorfologi (genesa
dan proses) pada skala 1:50.000 yang juga memperhatikan kaidah ruang geografisnya pada
masyarakat kota Jakarta.
Kata kunci: Variasi ruang, Banjir Jakarta, dan Februari 2007.

Pendahuluan

Geomorfologi Jakarta atas dasar proses genesanya dapat dibagi menjadi dua satuan
morfologi, yakni Dataran Pantai dan Kipas Gunung Api Bogor. Dataran Pantai dicirikan
dengan permukaan yang relatif datar, dengan ketinggian 0-15 m dapl, lebar 7-40 km,
meliputi tanggul pematang pantai, daerah rawa, dan dataran delta. Dataran ini dikenal juga
sebagai Dataran Rendah Jakarta. Kipas Gunung Api Bogor menyebar dari selatan ke utara,
dengan Bogor sebagai puncaknya. Satuaan morfologi ini ditempati rempah-rempah gunung
api berupa tuf, konglomerat, dan breksi yang sebagian telah mengalami pelapukan kuat,
berwarna merah kecoklatan (Bemmelen,1949:654).
Proses terjadinya dataran rendah tempat bertumpunya kota Jakarta dan sekitarnya,
menurut Verstappen (1953), lebih muda daripada pembentukan daerah di bagian selatan,
dengan gunung-gunung yang terbentang dari Banten Selatan hingga Periangan Timur.
Terjadinya Dataran Rendah Jakarta dan sekitarnya akibat proses pengendapan bahan-bahan
vulkanis yang berasal dari gunung api Salak, Pangrango, dan Gede.
*) Makalah disajikan pada Seminar Nasional Geomorfologi di P2O-LIPI, Ancol Timur
Jakarta pada 9 September 2009.

1
Bahan-bahan ini kemudian dibawa arus sungai seperti Cisadane, Angke, Ciliwung,
dan Bekasi yang bermuara di pantai utara Jawa, sehingga terbentuk lapisan-lapisan tanah
alluvial yang disebut kipas alluvial. Menurut Verstappen (1953: 67-79), dataran rendah
Jakarta dan sekitarnya telah berusia sekitar 5.000 tahun.
Region Dataran Rendah Jakarta termasuk dalam wilayah endapan, di mana terdapat
13 sungai yang mengaliri di antaranya terdapat 4 sungai besar, yaitu Ci Sadane dengan
aliran air arah barat perbatasan dengan kota Tangerang, sungai Angke dan Ci Liwung
aliran arah Tengah, serta sungai Bekasi aliran air arah Timur perbatasan kota Bekasi, ke
empat sungai-sungai ini berhulu di Selatan endapan puing berkipas yakni Gunung Gede-
Pangrango (Kabupaten Bogor dan Kota Bogor) dan Salak (Kabupaten Sukabumi). Ada 11
sungai kecil seperti sungai Kamal, Tanjungan, Pesanggrahan, Grogol, Kruukut, Cideng,
Cipinang, Sunter, Buaran, Jatikramat, dan Cakung. Ke 11 sungai tersebut, hulunya terletak
pada ketinggian 100 – 200 m dpl yang secara gravitasi mengaliri air dan endapan puing
berkipas (alluvial fan) yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Dataran yang termasuk
dalam satuan morfologi ini terbentang memanjang dari Selat Sunda hingga ke Teluk
Cirebon, sebagian terdiri dari sedimen marin yang memiliki sedikit perlipatan, tertutup tuf
kuarter, dan deposit alluvium (Bemmelen, 1949).
Morfologi wilayah DKI Jakarta merupakan dataran rendah, yang di bagian utaranya
berhubungan langsung dengan laut Jawa. Beberapa sungai utama mengalir melalui wilayah
ini, sehingga alami mempunyai potensi untuk terjadinya banjir. Secara alami, faktor
penyebab terjadinya banjir selain keadaan morfologinya yang berupa dataran rendah, juga
disebabkan oleh curah hujan yang tinggi di bagian belakangnya (hinterland), aliran
permukaan (run off) yang besar, gradien sungai atau drainase yang sangat landai, pengaruh
pasang surut, dan pendangkalan sungai disekitar muaranya.
Luas Provinsi DKI Jakarta 65.000 Ha dengan penduduk 10 juta jiwa merupakan
potensial terhadap ancaman banjir. Wilayah ini terletak di dataran rendah dengan
ketinggian permukaan tanah 0,5 m – 25 m dpl, di mana kurang lebih 40 persennya atau
24.000 Ha dataran rendah yang tingginya 1 hingga 1,5 meter di bawah muka laut pasang
yang merupakan daerah sasaran banjirnya, selain itu daerah bebas banjir yang ada di
Jakarta 15% - 20%. Jika, curah hujannya optimum dikaitkan dengan topografi yang ada,
maka area rawan banjir pasti terendam banjir yang juga menjadi daerah sasaran banjirnya.

2
Istilah banjir (dalam kamus besar Indonesia,2008) berarti berair banyak dan deras, kadang-
kadang meluap dari sungai karena hujan turun terus-menerus atau peristiwa terbenamnya
daratan (yang biasanya kering) karena volume air yang meningkat. Banjir juga merupakan
peristiwa alam yang kejadian dan tempatnya dapat diprediksi atau diprakirakan dari metode
besaran curah hujan harian, dan keragaman bentuklahan yang telah dihuni oleh manusia.
Selain faktor manusia yang lebih dominan, terdapat faktor-faktor alam yang
sifatnya dapat mempengaruhi terjadinya banjir diantaranya adalah : kondisi geomorfologi
(dataran rendah/ perbukitan, ketinggian dan lereng, bentuk sungai), geologi, hidrologi
(siklus, kaitan hulu–hilir, kecepatan aliran), iklim (kelembaban, angin, durasi dan intensitas
curah hujan), dan pasang surut air laut yang dipengaruhi oleh fenomena pemanasan global
(global warming). Garis ekuator termal yang melewati wilayah DKI pada saat posisi
matahari berada di selatan khatulistiwa, yaitu pada bulan Januari dan Februari, dimana
pada bulan tersebut terjadi hujan maksimum sebagai pemicu banjir di wilayah kipas aluvial
(alluvial fan) Jakarta.
Melihat perkembangan lingkungan di Jakarta, banjir di kota Megapolitan ini dapat
lebih besar dibandingkan tahun 2002 lalu. Bahkan sekitar 70 persen kota Jakarta ini terkena
masalah banjir baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada 30 persen kota yang
terkena banjir itu pada umumnya di Jakarta utara dan Jakarta Barat dengan ketinggian
mencapai 20 cm dapl. Keberadaan area banjir aktual dan pontensial di megapolitan DKI
Jakarta selama periode dua puluh lima tahun terakhir berubah-ubah, baik secara spasial dan
temporal (misal pada tahun 1980 area banjirnya 769,603 Ha, pada tahun 1996 area
banjirnya 2258,53 Ha, dan pada 2002 area banjirnya 16.777,67 Ha), sedangkan pada 2
Pebuari 2007 dengan intensitas rata-rata curah hujan harian 200 mm, terjadi bencana banjir
yang sangat besar, di mana area banjirnya diprakirakan mencapai luasan 42.500 Ha atau
mengalami penambahan area banjir 26.800 Ha dalam periode sama pada tahun 2002, yang
menggenangi Ibukota Negara Indonesia, dan memiliki pola sasaran daerah banjirnya sangat
beragam dalam ruang/spasial dan waktu/temporal.

2. Pembahasan

Pola persebaran region intensitas hujan harian pada bulan Februari 2007 di Provinsi
DKI Jakarta dari penampang arah utara ke selatan, di masing-masing stasiun curah hujan
adalah sebagai berikut:

3
1. ada peningkatan persebaran tebal curah hujannya dari stasiun Tanjungpriok 664,7
mm (pantai utara Jakarta), Pakubuono 752 mm (pedalaman), dan Halim 997 mm
(selatan Jakarta). Sedangkan tebal hujan mengalami penurunan pada wilayah
stasiun curah hujan Depok tebal hujannya mencapai 793 mm dan Gunung Mas 789
mm yang merupakan hulu kipas aluvial Jakarta;
2. pada bagian utara pantai Jakarta yang berupa dataran aluvial pantai, yang diwakili
oleh sts.Tanjungpriok, memiliki karakteristik tebal curah hujan 664,7 mm di mana
jumlah hari hujan sebesar 20 hari dengan tebal hujan maksimum 168 mm pada
tanggal 2 Pebruari dan hujan minimum 0,1 mm yang terjadi pada tanggal 7
Pebruari. Kecenderungan hujan fluktuatif , di mana yang menurun tebal hujannya
terjadi pada dasarian pertama (548,5 mm) ke dasarian kedua (52,6 mm) sebesar
495,9 mm, dan tebal hujan pada dasarian ketiga (63,3 mm) atau meningkat 11,3
mm.
3. pada bagian tengah pedalaman dataran aluvial yang datar sampai bergelombang,
yang diwakili oleh stasiun curah hujan Pakubuono, memiliki karakteristik tebal
curah hujan dalam satu bulan sebesar 752 mm, dengan tebal hujan harian maksimun
234,7 mm pada tanggal 2 Pebruari dan hujan minimumnya 3 mm yang terjadi pada
tanggal 7 dan 22 Pebruari. Tebal hujan pada dasarian pertama 600 mm dan
menurun secara drastis 527 mm, dimana tebal hujannya pada dasarian kedua 39,7
mm sedangkan pada dasarian ketiga tebal hujan naik 6 mm menjadi 79 mm.
4. stasiun curah hujan Halim yang terletak 6o31’ LS dan 106 o
9’ BT dengan
permukaan tanah datar hingga bergelombang, memeliki intensitas hujan harian
tertingginya mencapai 259 mm pada tanggal 3 Pebruari dan intensitas hujan harian
terendah sebesar 1 mm yakni pada tanggal 13 dan 27 Pebruari, dengan jumlah hari
hujannya sebanyak 20 hari. Intensitas hujan harian memiliki fluktuasi yang beragam
yaitu ada kenaikan yang dratis pada tanggal 2 ke tanggal 3 Pebruari sebesar 132,1
mm dan pada tanggal 3 Pebruari merupakan hujan maksimum pertama, sedangkan
pada tanggal 18 Pebruari terjadi intensitas hujan maksimu kedua sebesar 121 mm.
Distribusi intensitas curah hujan dengan penurunan dratis terjadi pada tanggal 5
Pebruari sebesar 112,1 mm yakni pada hujan maksimum pertama, sedangkan
penurunan maksimum kedua pada tanggal 19 Pebruari sebesar 99 mm.

4
5. pada stasiun curah hujan Depok (6o45’ LS dan 106 o 43’ BT) merupakan wilayah
batas tengah DA Ci Liwung dengan permukaan tanah bergelombang sebagai region
dataran aluvial, dengan rata-rata ketinggiannya 75 m dpl, memiliki karakteristik
intensitas curah hujannya, yaitu curah hujan tertinggi 132 mm yang merupakan
intensitas hujan maksimum pertama dengan peningkatan tebal hujan sebesar 86 mm
yang terjadi pada tanggal 3 Pebruari, sedangkan intensitas maksimum kedua pada
bulan 18 Pebuari sebesar 104 mm dengan peningkatan tebal hujannya 104 mm.
Penurunan intensitas curah hujan maksimum pertama terjadi pada tanggal 4
Pebruari sebesar 81 mm, dan pada penurunan intensintas curah hujan maksimum
kedua terjadi pada tanggal 19 Pebruari dengan besar tebal hujannya 73 mm. Jumlah
hari hujan yang terjadi di stasiun curah hujan Depok sebanyak 18 hari hujan.
6. stasiun curah hujan Gunung Mas merupakan hulu kipas aluvial Jakarta dan hulu DA
Ci liwung serta memiliki ketinggian diatas 1000 m dpl dengan permukaan tanahnya
bergelombang hingga terjal. Karakteristik curah hujannya, yaitu pada bulan
Pebruari tebal/besaran curah hujannya 783 mm dengan dasarian pertama 557 mm,
dasarian kedua 205 mm dan dasarian ketiga 21 mm, sedangkan intensitas curah
hujan tertinggi 247 mm yang terjadi pada tanggal 5 Pebruari dan intensitas curah
hujan terendah 4 mm pada tanggal 15 Pebruari. Jumlah hari hujan yang terjadi di
stasiun curah hujan Gunung Mas kabupaten Bogor sebanyak 19 hari hujan (lihat
grafik 1)

Gra f ik 1 . IN TEN S ITA S HU J A N HA R IA N P EB R U A R I 2 0 0 7


D I P R OV IN S I D KI J A KA R TA ( P ro f i l U t a ra - S e la t a n)

300.0

250.0

200.0
Tj.P r iuk
P akubuono

1 50.0 Halim
Depok
G.Mas

1 00.0

50.0

0.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 20 2 22 23 24 25 26 27 28

HA RI HU J AN

5
Pola persebaran region intensitas hujan harian pada bulan Pebruari 2007 di Provinsi
DKI Jakarta dari penampang arah Timur ke Barat pada sepanjang garis pantai utara,
dengan region dataran aluvial pantai Jakarta, di mana pada masing-masing stasiun curah
hujan seperti di stasiun Tambun kabupaten Bekasi, stasiun Kedoya dan Cengkareng
merupakan bagian dari wilayah kota Jakarta Barat, adalah sebagai berikut:
1. secara umum tebal curah hujan pada bulan Pebruari di ketiga stasiun memiliki
penurunan nilai hujan yang fluktuatif yakni Tambun 844 mm, Kedoya 785,6 mm
dan Cengkareng 527,2 mm.
2. stasiun curah hujan Tambun, intensitas curah hujan tertinggi 201 mm pada tanggal
2 Pebruari, dan intensitas hujan terendah 6 mm pada tanggal 26 Pebruari. Jumlah
hari hujan pada stasiun ini sebanyak 19 hari hujan, dengan tebal hujan pada
dasarian pertama 657 mm, dasarian kedua 109 mm dan dasarian ketiga 78 mm.
Fluktuasi peningkatan tebal hujan terjadi pada tanggal 2 Pebruari sebesar 109 mm
dan fluktuasi penurunan tebal hujannya 143 mm pada tanggal 3 Pebruari.
3. stasiun curah hujan Kedoya, intensitas curah hujan tertinggi 185 mm pada tanggal
2 Pebruari, dan intensitas hujan terendah 1 mm pada tanggal 13 Pebruari. Jumlah
hari hujan pada stasiun ini sebanyak 17 hari hujan, dengan tebal hujan pada
dasarian pertama 697 mm, dasarian kedua 49,5 mm dan dasarian ketiga 39,1 mm.
Fluktuasi peningkatan tebal hujan terjadi pada tanggal 2 Pebruari sebesar 84,5 mm
dan fluktuasi penurunan tebal hujannya 87,1 mm pada tanggal 3 Pebruari,
sedangkan pada tanggal 6 Pebruari terjadi peningkatan intensitas curah hujan
maksimum kedua sebesar 135 mm dan menurun kembali pada tanggal 7 Pebruari
dengan intensitas curah hujannya 2 mm.
4. stasiun curah hujan Cengkareng, intensitas curah hujan tertinggi 122 mm pada
tanggal 2 Pebruari, dan intensitas hujan terendah 0,1 mm pada tanggal 7 Pebruari.
Jumlah hari hujan pada stasiun ini sebanyak 20 hari hujan, dengan tebal hujan pada
dasarian pertama 434,7 mm, dasarian kedua 63,2 mm dan dasarian ketiga 29,3 mm.
Fluktuasi peningkatan tebal hujan terjadi pada tanggal 2 Pebruari sebesar 61,6 mm
dan fluktuasi penurunan tebal hujannya 81 mm pada tanggal 3 Pebruari dengan
intensitas curah hujan hariannya mencapai 41 mm (lihat grafik 2).

6
Grafik 2. INTENSITAS HUJAN HARIAN PEBRUARI 2007
DI PROVINSI DKI JAKARTA (Profil Timur-Barat)

600.0

500.0

400.0

Ta mbun
300.0 Kdoya
Ckrg

200.0

100.0

0.0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

HA R I HU J A N

Proses geomorfologi yang terjadi di DKI Jakarta dan Sekitarnya, merupakan suatu
proses fluvial. Penggolongan satuan bentuklahan atas dasar genesa tersebut, menjadi
bentuklahan asal proses fluvial, dan disajikan pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Karakteristik Bentuklahan Asal Proses Fluvial
Bentuk lahan
No asal proses Relief Batuan-struktur Proses Karekteristik
Fluvial
1. Dataran aluvial Datar Berlapis, tidak Sedimentasi Relief datar, terbentuk oleh
kompak proses fluvial
2. Dataran banjir Datar Berlapis, tidak Sedimentasi Relief datar, sering terkena banjir
kompak
3. Tanggul sungai Berombak Berlapis, tidak Sedimentasierosi Relief datar - berombak, pola memanjang sungai,
kompak sering digunakan permukiman.
4. Teras Datar Berlapis, tidak Sedimentasi erosi Relief datar, membentuk teras di sisi sungai,
deposisional kompak terbentuk oleh proses erosi/ atau sedimentasi.
5. Teras batuan Datar Berlapis, tidak Erosi, Relief datar, membentuk teras di sisi sungai,
dasar berlapis, kompak, terbentuk oleh proses erosi.
tidak kompak
6. Rawa belakang Cekung - Berlapis, tidak Sedimentasi Relief cekung - datar, selalu tergenang, proses sedimentassi.
datar kompak
7. Kipas aluvial Datar – Berlapis, tidak Sedimentasi Relief datar - berombak, terbentuk oleh sedimentasi,
berombak kompak terletak pada peralihan relief yang tegas.
8. Gosong sungai Datar - Berlapis, tidak Sedimentasi Terbentuk pada tubuh sungai bagian hilir,
berombak kompak bagian hulu gosong tumpul dan bagian hilir menyudut.
9 Danau tapal Datar - Berlapis, tidak Sedimentasi Terbentuk oleh pelurusan sungai,
kuda cekung kompak sehingga bagian dari meander tertutup sedimen.
berombak
10 Meander Cekung Berlapis, tidak Sedimentasi Terbentuk oleh pelurusan sungai,
terpenggal kompak sehingga bagian dari meander terpisah dari sungai utama
11 Dasar sungai Datar Berlapis, tidak Sedimentasi Cekungan meman -jang, material kompak, tidak kompak.
mati kompak
Sumber: Modifikasi Vestappen HTh. 1983
Stratigrafis, daerah yang termasuk dalam satuan morfologi Dataran Rendah Jakarta
memiliki dua kesatuan-satuan gunung api muda dan satuan aluvium. Satuan gunung api

7
muda adalah bahan-bahan yang dihasilkan Gunung Salak dan Gunung Pangrango yang
diendapkan di masa Pleistosen, meliputi hampir dua pertiga Dataran Rendah Jakarta.
Pada bagian utara Dataran Rendah Jakarta, satuan gunung api muda menghilang,
digantikan satuan aluvium yang terbentang dari arah barat, kira-kira di Tanah Abang ke
arah timur kira-kira di Cakung (lihat Peta 1. Geomorfologi Jakarta dan Sekitarnya).
Dua region penggenangan periodik, yaitu region A dan region B. Region
penggenangan A terjadi pada tahun 2002. Region penggenangan B terjadi lima tahun
berikutnya. Mengingat adanya pergeseran daerah genangan dalam dua waktu yang berbeda,
nampaknya tidak mudah untuk menunjukkan daerah mana yang akan jadi sasaran genangan
pada waktunya (lihat Peta 2. Region Banjir Jakarta).
Meskipun demikian, dengan menyimak kembali permukaan wilayah DKI Jakarta,
adanya wilayah endapan disatu pihak dan wilayah pengikisan dipihak lain, sebenarnya
cukup memberikan petunjuk bagian mana dari wilayah DKI Jakarta yang paling mungkin
menjadi sasaran genangan. Batas pemisah kedua wilayah permukaan itu, secara hidrologis
diidentifikasikan sebagai batas potential genangan.
Dengan memperhatikan lebih jauh daerah tampung air (catchment), bentuknya yang
menyempit dan sejajar satu terhadap lainnya dengan orientasi utara-selatan, bisa dimengerti
bila sejumlah besar air yang masuk wilayah endapan, akan segera menyebar secara
divergen. Hal lain, seperti geometri sungai, bangunan yang melintang aliran,
mengakibatkan terhambatnya aliran dan kemudian akumulasi air, yang pada gilirannya
menimbulkan penggenangan banjir di Dataran Rendah Jakarta.
Hampir 50 persen permukaan wilayah DKI Jakarta merupakan wilayah endapan,
yang datar keseluruhannya dengan luasan 30.850 Hektar. Wilayah endapan ini terbentang
mulai dari Kembangan, Kedoya di bagian barat DKI Jakarta sampai ke Pulogadung,
Penggilingan dibagian timurnya, terdapat di batang utama Kali Krukut, Kali Pesanggrahan
dan Kali Buaran.
Wilayah ini datar, lereng 0 – 3%, dengan ketinggian antara 0 – 3 meter diatas
permukaan laut (dpl). Di bagian tengah, melebar sampai sejauh Monumen Nasional
(Monas). Daerah barat Kamal Muara dan daerah Marunda merupakan bagian wilayah
endapan yang selalu tergenang. Bagian lainnya, dengan permukaan air tanah yang dangkal,
secara periodik mengalami genangan banjir.

8
Permukaan tanggul pantai berupa datar (lereng 0 – 3%), dengan beda tinggi yang
tidak terlalu besar, kecuali di daerah Tegal Alur dan daerah sebelah utara Jalan Raya
Bekasi. Dimana kedua daerah itu bisa diharapkan terhindar dari penggenangan karena
ketinggian ada yang mencapai tujuh meter diatas permukaan laut.
Klasifikasi wilayah endapan tinggi masih datar. Dibagian timur melebar ke utara
sampai mendekati Tugurawagatel, Jalan Daan Mogot dibagian barat, membatasi wilayah
endapan rendah sekali. Ketinggian berkisar antara 3 – 7 meter dpl. Reentrant wilayah
endapan tinggi, tampak menonjol di empat bagian DKI Jakarta, yaitu Kedoya, Bendungan
Hilir, Pisangan Timur dan Gintung. Batas inilah, yang kira-kira sejalan dengan garis kontur
tujuh meter sebagai garis potensial genangan. Susunan batuan induk sebagian berupa
aluvium pantai., kecuali Tanah Abang, Menteng, Pulomas, dan Kampung Ambon berupa
batuan vulkanik muda. Ada bekas alur sungai, seperti Kadangsapi, dan Rawarengas
dibagian timur wilayah endapan ini.
Pada wilayah pengikisan (< 50%) permukaan datar, merupakan sebuah jalur yang
sempit, Wilayah pengikisan ini pada dasarnya menunjuk kepada ujung dataran kipas.
Kenampakan wilayah permukaan datar ini, terlihat sebagai sebuah escarpment yang
terputus-putus. Sisi yang menghadap ke utara umumnya terjal, sedang yang menghadap ke
selatan, landai. Tempat-tempat dimana beda tinggi yang tajam itu nampak, seperti Duku
Atas, Bukit Duri dan Cakung (Stasiun Kereta Api) dengan batuan induknya berupa batuan
vulkanik muda yang secara periodik kadang-kadang terkena banjir. begitupula Ci Liwung,
yang menjorok sampai Kalisari (di Cijantung) dengan medan permukaan terbentuk dari
aluvium sungai. Bagian lain dari permukaan berlereng ini, terbentuk dari batuan vulkanik
muda. Air permukaan mengalir lancar. Dengan demikian, permukaan wilayah berlereng,
terhindar dari penggenangan banjir.
Di selatan DKI Jakarta, beda tinggi setempat lebih tajam, relatif terhadap dasar
lembah yang umumnya sempit-sempit. Ketinggian permukaan wilayah kasar ini, di atas 25
meter dpl seperti di Munjul 75 m dapl (lihat Peta 3 Ketinggian, Peta 4. Lereng, dan Peta 5.
Geologi). Pada wilayah ini, tidak terjadi genangan air atau banjir, karena besarnya
perbedaan topografi (ketinggian dan lereng), dan bentuklahan berupa perbukitan dan
escarpment di region gunung api muda dan kipas aluvialnya.

9
3. Kesimpulan
1. kondisi peningkatan curah hujan harian di DKI Jakarta pada bulan Februari 2007,
dapat disebabkan diantaranya pembentukan awan pembawa hujan (misal cummulus
nimbus) yang terjadi di atas Teluk Jakarta akibat dari proses konvektif dan
peristiwa kondensasi yang kemudian awan tersebut di bawah angin berupa hujan
deras ke Daratan Rendah Jakarta semakin berkurang intensitas curah hujan
hariannya ke arah selatan dan barat. Dimana Intensitas curah hujan harian yang
tinggi sebesar 200 mm sebagai pemicu banjir di Dataran Rendah Jakarta .
2. ada pergeseran area banjir pada Dataran Rendah Jakarta pada bentuklahan proses
fluvialnya, misal pada bentuklahan rawa belakang ke bentuklahan kipas aluvial.
Pola sebaran waktu banjir semakin ke selatan Teluk Jakarta relatif durasi lebih
singkat dibandingkan di utaranya (makin luas dan dalam) banjirnya.
4. Daftar Acuan
Bammelen, R.W van. 1949. The Geology of Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Balai Pustaka.

Sandy, I Made. 1986. Republik Indonesia Geografi Regional. Jakarta: Puri Megarsari

Turkandi, T, dkk. 1992. Geologi Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu, Jawa. Bandung:
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Verstappen, H.Th. 1953. “Djakarta Bay: A Geomorphological Study on Shore line


Developmennt” S-Gravenhage: Drukkerij Trio.

Verstappen, H.Th. 1983. Applied Geomorphology, Geomorphological Surveys for


Environmental Development, Elsivier, Amsterdam.

5. Ucapan Terima Kasih

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada bapak Prof. Dr. Sutikno, Prof. Dr.
Sudarmadji, M.Eng.Sc dan Prof. Dr. Suratman Worosuprojo, M.Sc sebagai Promotor dan
Ko.Promotor pembimbingan dalam penelitian ini berupa pengkayaan konsep ilmu geografi
fisik, dan juga sebagian kecil data penelitian draft disertasi peneliti, begitupula ucapan
terimakasih kepada Badan Meteorlogi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pusat dan
Dinas Pengairan PU Pemda Provinsi DKI Jakarta yang telah memberikan datanya untuk
dianalisis secara spasial-temporal dalam perspektif geografi. Pada akhirnya, Peneliti

10
mengucapkan terima kasih kepada bapak Prof.Dr. Otto S.R. Ongkosongo dan Panitia,
karena makalah ini dapat di seminarkan pada Seminar Nasional Geomorfologi, di P2O-
LIPI Ancol, pada tanggal 9 September 2009, dalam membangun pengetahuan baru bagi
peneliti dan pembaca lainnya.

6. Lampiran Peta

11

Anda mungkin juga menyukai