Pencemaran atas laut atau Marine Pollution merupakan salah satu masalah
yang mengancam bumi saat ini. Pencemaran atas laut terus dibicarakan dalam
konteks perbaikan lingkungan hidup internasional. Perlindungan laut terhadap
pencemaran merupakan upaya melestarikan warisan alam. Melestarikan warisan
alam berarti memberikan prioritas pada nilai selain ekonomis, nilai keindahan
alam, nilai penghormatan akan apa yang ada yang tidak diciptakan sendiri, dan
lebih dari itu, nilai dari kehidupan itu sendiri, sebuah fenomena yang bahkan
sekarang ini dengan kemampuan akal budi manusia tidak mampu dijelaskan.1
Ancaman pencemaran selalu mengintai manusia dalam berbagai
kegiatannya diberbagai bidang. Ancaman pencemaran yang berasal dari alam
tidak dapat atau sulit untuk diprediksi kapan itu terjadi. Seperti kebakaran hutan
akibat kemarau yang berkepanjangan yang mengakibatkan kepulan asap naik
keatas awan sehingga membentuk awan tebal lalu mencemari udara yang bersih.
Namun, jika dibandingkan dengan pencemaran lingkungkan hasil dari ulah
manusia sendiri pada dasarnya dapat kita prediksi untuk upaya meminimalisir
suatu evenemen yang mungkin dapat terjadi melalui kesalahan teknis, human
error, maupun faktor kesengajaan.
Kali ini akan dibahas mengenai pencemaran lingkungkan laut hasil dari
human error yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah kelam kelautan dunia yaitu
tragedi Showa Maru. Tragedi seperti ini tidak hanyak sekali terjadi di perairan
Indonesia, namun beberapa kali kejadian serupa kerap mengganggu ekosistem
bawah laut. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tragedi Showa Maru adalah
yang menjadi sorotan karena menimbulkan kerusakan yang amat sangat parah
bagi lingkungan hidup yang tercemar oleh nya.
Kejadian mengerikan ini bermula pada tanggal 6 Januari 1975. Pada kala
itu kapal besar pengangkut minyak membawa sekitar 237.600 ton2 minyak mentah
1
George Sessions (Ed), Deep Ecology for the 21st Century. Readings on the Philosophy and
Practice of the New Environmentalism, Boston & London : Shambhala, 1995. Hal. 426.
2
Report on marine polution problems, diakses dari unesdoc.unesco.org, pada tanggal 18
April 2015 pukul 07.02 wib
1
dengan jalur Teluk Persia menuju Jepang melalui selat Malaka. Kapal besar
tersebut bernama Showa Maru yang dimiliki oleh Perusahaan Ekspedisi Taiheiyo
dari Tokyo dan berbendera Jepang. Tragedi bermula di pagi hari pada tanggal 6
Januari 1975, dimana kapal tersebut melewati jalur selat Malaka 3. Kapal
supertanker tersebut mengalami sebuah kecelakaan dimana sekitar 4.500 ton 4
kargo minyak mentah tumpah di teritorial perairan 3 negara yaitu Indonesia,
Singapura, dan Malaysia. Pada saat itu Indonesia tidak dapat menuntut gant rugi
atas insiden tersebut kepada pemilik kapal Showa Maru dikarenakan belum
adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencemaran
lingkungan. Padahal selat malaka termasuk perairan Indonesia yang dikelola
bersama dua negara lainnya, dan karena itu seharusnya sebelum tragedi ini sudah
ada peraturan nasional yang menjadi payung hukum jikalau ada kecelakaan
dikemudian hari yang menyebabkan pencemaran lingkungan laut.
3
Selat Malaka adalah sebuah selat yang dijadikan jalur pelayaran internasional yang
terletak diantara semenanjung Malaysia yang dimiliki oleh ketiga negara melalui Pertemuan
Tingkat Menteri oleh 3 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura pada Oktober dan November
1971.
4
Report on marine polution problems, diakses dari unesdoc.unesco.org, pada tanggal 18
April 2015 pukul 07.05 wib
2
Pada kasus kecelakaan yang menimpa Kapal Showa Maru ini menimbulkan
berbagai macam dampak yang dihasilkan seperti contohnya :
Minyak yang ditumpahkan oleh kapal Showa Maru ini sangat banyak dan
mempengaruhi kondisi air laut. Minyak yang mengandung zat kimia kemudian
sebagian larut dalam air yang mengakibatkan rusaknya konsentrasi pada
keseimbangan biota laut.
Karena banyakya zat kimia yang dapat mencemarkan air laut menimbulkan
berkurangnya secara drastis kadar oksigen dalam air laut. Sehingga akan
mengakibatkan kehidupan dalam air yang membutuhkan oksigen terganggu serta
mengurangi perkembangannya. Selain itu kematian dapat pula disebabkan adanya
zat beracun yang juga menyebabkan kerusakan pada tanaman dan tumbuhan air.
Air laut yang tercemar dapat mempengaruhi kesehatan biota laut ataupun manusia
itu sendiri. Dengan tercemarnya ekosostem laut, ikan akan banyak yang mati dan
jika dikonsumsi leh manusia akan menyebabkan berbagai macam peyakit. Oleh
karena itu keseimbangan konsentrasi ekosistem, dan perawatan terhadap biota laut
yang didalamnya terdapat ikan, karang, dan bahkan plankton harus diutamakan.
3
ini terjadi dan dampak akibat kejadian tersebut. Kali ini akan dikaitkan dengan
prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Ada beberapa prinsip yang
berhubungan dengan tragedi ini yaitu prinsip:
Ketiga prinsip itulah yang akan dikaitkan dengan peristiwa Showa Maru pada
tahun 1975. Prinsip-prinsip tersebut pada nyatanya tertuang dalam beberapa
aturan internasional, yakni antara lain:
Prinsip yang pertama adalah prinsip Inter and Intra Generation Equity yang
memiliki pengertian yakni sebuah pedoman bagi seluruh subjek hukum
lingkungan untuk melindungi, melestarikan, memulihkan lingkungan alamnya
demi ketersediaan sumber daya bumi untuk dapat dinikmati generasi mendatang
serta mengelola lingkungan hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. Jika
dihubungkan dengan tragedi Showa Maru, hal yang berkaitan adalah mengenai
pemulihan lingkungan selat Malaka agar tidak ada kerusakan lebih parah yang
berdampak dikemudian hari. Dalam hal ini tertulis jelas apa yang berada didalam
Prinsip 1 Deklarasi Stockholm yang menyebutkan,
4
dan ia memegang tanggung jawab suci untuk melindungi dan memperbaiki
lingkungan untuk generasi sekarang dan mendatang..”
Prinsip yang kedua adalah Prevention yaitu prinsip yang berisi tindakan-
tindakan pencegahan terhadap bahaya yang merusak lingkungan alam. Prinsip ini
terdapat dalam Prinsip 7 dan 24 Deklarasi Stockholm. Dalam prinsip 7 disebutkan
bahwa,
Dalam prinsip disebutkan jelas bahwa negara harus mencegah segala apapun
bentuk potensi perusak ekosistem laut. Dikaitkan dengan tragedi Showa Maru,
negara pantai yang mengelola selat Malaka belum memperhatikan potensi
bencana besar yang dapat merusak ekosistem laut di selat Malaka. Meskipun
ketiga negara telah bertemu pada tahun 1971 mengenai kepemilikan selat Malaka,
namun peraturan mengenai kapal-kapal besar yang membawa tangki minyak
mentah yang menggunakan jalur selat Malaka belum di rancang lebih lanjut. Hal
ini akan menjadi sangat penting jika masing-masing negara dapat meminimalisir
kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan seperti peristiwa Showa
5
maru dan baru –baru ini yang terjadi di Laut Utara Jawa yaitu kapal tanker Cinta
Natomas milik Joint Operating Body Pertamina-Petrochina East Java (JOB-PPEJ)
yang dihantam ombak setinggi 5 meter dan menumpahkan ribuan liter minyak
mentah ke laut pada selasa 21 Januari 20145. Kemudian didalam prinsip 24
Deklarasi Stockholm juga menyebutkan bahwa,
5
Dodi Esvandi, “Kapal Tanker Dihantam Ombak, Ribuan Liter Minyak Tumpah di Laut
Tuban” diakses dari www.tribunnews.com, pada tanggal 18 April 2015 pukul 07.30 wib
6
Ketiga adalah prinsip Polluter Pays yang mengandung pengertian bahwa
setiap penanguug jawab karena kegiatannya yang menimbulkan pencemaran
lingkungan, wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan tersebut. Pada
prinsipnya Polluter Pays ini mengharuskan pihak pencemar untuk memikul biaya
pencegahan dan penanggulangan dari kegiatan yang dilakukan oleh pihak
tersebut. Prinsip ini secara eksplisit tertuang dalam beberapa pasal. Pertama
terdapat dalam prinsip 22 Deklarasi Stockholm yang disana menyebutkan bahwa,
7
lamban untuk diuraikan oleh mikroorganisme pemakan karbon yang berada
diantara lapisan air dan lapisan minyak.6
“States shall develop national law regarding liability and compensation for
the victims of polution and othe renvironmental damage. States shall also
cooperate in an expeditious and more determined manner to develo further
international law regarding liability and compensation for adverse effects of
environmental damage caused by activities within their jurisdiction or
control to areas beyond their jurisdiction.”
Terjemahan:
Inti dari prinsip ini bahwa negara harus mengembangkan hukum nasionalnya
seputar pengaturan kelautan indonesia. Dari segi hukum, masalah Showa Maru di
waktu itu justru menempatkan Indonesia pada posisi sangat lemah dan sulit dalam
penyelesaian hukum dan tuntutan ganti rugi. Karena selain belum ada UU
Nasional tentang Pencemaran Laut, juga karena konvensi-konvensi internasional
yang ada seperti Konvensi Brussel tahun 1969 belum diratifikasi.
6
Fabian Schmidt dan Agus Setiawan, “Fenomena Cemaran Minyak di Lautan” diakses
dari www.dw.de pada 18 April 2015 pukul 07.56 wib.
8
Civil Liability Convention merupakan konvensi yang berlangsung di
Brussels, 29 November 1969 yang mengatur tentang kewajiban negara atas
kerusakan pencemaran minyak. Konvensi ini berisikan 21 pasal beserta annex. 7
Dalam hal pertanggungjawaban negara atas pencemaran laut digunakan prinsip
tanggungjawab mutlak yang kemudian akan dibahas pada subbab selanjutnya
mengenai pertanggungjawaban negara. Konvensi ini hanya berlaku pada
kerusakan yang disebabkan oleh tumpahan minyak mentah (persistent oil) seperti
yang tercantum dalam Pasal 1 butir 5. Dalam hal ini adalah minyak mentah yang
tumpah dari tanker raksasa yang berasal dari atas kapal Showa Maru. Kerusakan
yang disebabkan oleh Non-persistent oil tidak termasuk dalam konvensi ini seperti
gasolin, kerosin, LDO (light diesel oil), dll. Konvensi ini juga tidak mengatur
minyak yang tumpah dari kapal non-muatan seperti yang tertulis dalam Pasal 1
butir 1 konvensi ini,
“Ship means any sea going vessel and any seaborn craft of any type
whatsoever, actually carrying oil in bulk as cargo.” 8
Terjemahan:
(yang dimaksud “Kapal” adalah segala kapal laut dan segala tipe kapal
pengangkut yang benar-benar membawa minyak dalam peti sebagai kargo)
Kapal Showa Maru termasuk dalam kriteria yang disebutkan pasal 1 butir 1
sehingga konvensi ini berlaku untuk kejadian yang terjadi 40 tahun silam.
9
maupun pabrik. Kata “Dumping” sendiri tersurat dalam Pasal 3 Konvensi ini yaitu
dijelaskan bahwa,
Terjemahan:
Beberapa jenis limbah berbahaya yang mengandung zat terlarang yaitu plastik, air
raksa, sisa residu minyak, bahan campuran radio aktif, serta bahan sintetik. Zat-zat
tersebut sesuai dengan kategori pencemaran laut yaitu Marine Pollution caused
via the atmosphere by land based activities:
10
Pencemaran yang disebabkan oleh pengaliran limbah domestik atau
limbah industri dari pantai, baik melalui sungai “sewage outlets” atau
akibat “dumping”
2. Marine Pollution caused by radioactivity
Pencemaran laut karena adanya kegiatan-kegiatan radioaktif alam ataupun
dari kegiatan-kegiatan manusia. Dua penyebab utamanya adalah
percobaan senjata nuklir dan pembuangan limbah radioaktif, termasuk
pencemaran yang disebabkan oleh penggunaan laut untuk kepentingan
militer atau pembuangan alat-alat militer di laut.
3. Ship-borne Pollutants
Pencemaran jenis ini dapat terdiri dari berbagai macam bentuk kapal dan
muatan. Akan tetapi penyebab utamanya adalah tumpahan minyak di laut,
yang dapat dibedakan karena kegiatan kapal seperti pembuangan air
ballast atau karena adanya kecelakaan kapal di laut, terutama apabila
kecelakaan itu melibatkan kapal tanker.
4. Pollution from offshore mineral production
Kegiatan penambangan di dasar laut, terutama apabila terjadi kebocoran
pada instalasi penambangan dan pembuangan limbah yang tidak
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.9
Pengecualian dari konvensi ini adalah adanya “force majeur”10 yaitu dimana pada
suatu keadaan terdapat hal yang membahayakan kehidupan manusia atau keadaan
yang dapat mengancam keselamatan kapal-kapal. Jika konvensi ini kita kaitkan
dengan Kapal Showa Maru maka akan ada sinkronisasi antara keduanya bahwa
yang tertumpah di laut adalah zat yang berbahaya bagi kehidupan dasar laut dan
wilayah sekitarnya. Namun apa yang terjadi pada kapal Showa Maru tidak ada
unsur kesengajaan. Karena tragedi ini merupakan kealpaan11 dari pihak kapal yang
diakibatkan dari human error nahkoda dan para teknisi kapal sehingga
9
Melda Kamil Ariadno. Hukum Internasional Hukum yang hidup. Penerbit Diadit Media.
Jakarta. 2007. Hal. 24
10
Menurut hukum ketenagakerjaan, force majeur merujuk pada tindakan alam (act of
God) seperti bencana alam, perang, kerusuhan, dsb.
11
Menurut Mahkamah Pelayaran Indonesia
11
menyebabkan kapal membentur karang besar yang mengakibatkan robeknya
bagian dasar kapal tersebut. Dengan tidak adanya unsur kesengajaan dalam
tragedi tersebut, tidak adil jika konvensi ini mengatur lebih jauh terhadap insiden
kapal Showa Maru. Karena sudah jelas bahwa penyebab dari tragedi Showa Maru
1975 adalah disebabkan karena kealpaan dan bukan kesengajaan seperti yang
tertulis dalam Pasal 3 Convention on the Prevention of Marine Pulution by
Dumping of Wastes and Other Matter 1972 (London Dumping Convention).
Beberapa hal yang diatur dalam konvensi ini adalah sebagai berikut:
12
http://www.maritimeworld.web.id/2011/01/regulasi-tentang-pencegahan
pencemaran.html
13
http://www.maritimeworld.web.id/2011/01/regulasi-tentang-pencegahan-
pencemaran.html diakses pada 20 April 2015 pukul 17.00 wib.
12
Kita lihat bahwa ada perbedaan yang mendasar dari Convention for the
Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution) dengan Convention
on the Prevention of Marine Pulution by Dumping of Wastes and Other Matter
1972 (London Dumping Convention). Pada London Dumping mengatur
bagaimana limbah dibuang ke laut. Ada klasifikasi zat mana yang dapat dibuang
ke laut. Hal ini juga menjadi dasar bahwa ada pembolehan dalam membuang zat-
zat tertentu ke laut.14 Sedangkan MARPOL sendiri melarang keras tindakan
pembuangan limbah ke laut apapun bentuknya. MARPOL juga meminimalisir
terhadap pencemaran yang ditimbulkan diluar kesengajaan atau terjadi karena
kecelakaan. Oleh karena itu jika dikaitkan dengan tragedi Showa Maru maka
sangat tepat untuk diterapkan dan masuk konteks pembahasan. Karena yang
terjadi pada Kapal Showa Maru adalah kecelakaan yang disebabkan diluar unsur
kesengajaan seperti yang tercantum pada London Dumping.
Selain itu MARPOL juga mengatur mengenai setiap sistem dan peralatan
yang ada di kapal harus mendapat sertifikasi. Sertifikasi tersebut harus memenuhi
perlengkapan sebagai berikut:
• Oil record book
adalah suatu record kapal tentangsegala aktivitas yang berhubungan
dengan oil. Mulai dari proses discharge cargo, discharge slop tank,
pembersihan cargo tank, dan sebagainya. SEgala bentuk pencatatan harus
selalu ada di kapal, bila ada pemeriksaan berkala atau pemeriksaan
setempat.
14
www.unep.ch/regionalseas/main/legal/london.html diakses pada 20 April 2015 pukul
17.51 wib
13
kotor dan segala macam minyak bercampur air dari cargo tank ke laut
yang tidak terkontrol oleh system monitoring adalah suatu bentuk
pelanggaran.15
Konvensi hukum laut 1982 meminta setiap negara untuk melakukan upaya-upaya
guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control)
pencemaran lingkungan laut dari limbah yang berbahaya bagi lingkungan hidup
yang tercemar. Adapun segala tindakannya tertuang dalam Pasal 194 yang
berbunyi,
15
Regulasi tentang pencegahan pencemaran oleh minyak ( annex I )
14
3. Tindakan-tindakan yang diambil berdasarkan Bab ini harus meliputi
segala sumber pencemaran lingkungan laut. Tindakan-tindakan ini harus
mencakup, inter alia, tindakan-tindakan yang direncanakan untuk
mengurangi sejauh mungkin
UNCLOS 1982 menjadi payung hukum bagi Indonesia untuk membuat undang-
undang kelautan, namun sayang konvensi ini berlangsung jauh setelah kejadian
Kapal Showa Maru menumpahkan minyaknya ke Selat Malaka yaitu pada tahun
1975, sedangkan konvensi ini berlangsung pada tahun 1982. Namun tetap saja
konvensi ini mengatur jika ada kejadian serupa dengan tragedi Showa Maru di
15
kemudian hari. Maksud dari pasal 192 juga hampir sama dengan isi dari konvensi
MARPOL.
Akan tetapi asas Strict Liability tersebut belum dapat diterapkan secara
maksimal guna mendapatkan ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita oleh
16
Harjasoemantri, Koesnadi. 1998. Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak). Paper
presented at the Lokakarya Legal Standing & Class Action, Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Hal 1.
16
korban pencemaran serta biaya pemulihan lingkungan hidup yang tercemar itu
sendiri. Hal ini dikarenakan hukum acara perdata sebagai hukum formil manakala
mengajukan gugatan ganti kerugian atas perbuatan melawan hukum dalam
pencemaran dan perusakan lingkungan masih menganut sistem pembuktian
berdasarkan ajaran kesalahan. Sedangkan untuk membuktikan unsur kesalahan
tersebut diterapkan sistem pembuktian berdasarkan ketentuan Pasal 1865 BW
dimana pihak Penggugat diwajibkan untuk membuktikan dalilnya yang tidak
mungkin untuk dilakukan oleh Korban/Penggugat.
Jadi, dalam kasus Showa Maru sebenarnya dapat dimintai ganti rugi dan
kompensasi terhadap perusahaan kapal yang berada di Jepang apabila telah diatur
jelas dan rinci dalam peraturan perundang-undangan mengenai pencemar
membayar. Jika pada saat itu (tahun 1975) belum ada peraturan nasional yang
jelas mengatur mengenai ganti rugi akibat suatu tragedi di laut yang merugikan
pihak Indonesia, maka akan sulit bagi pihak Indonesia untuk meminta ganti rugi
dan pemulihan terhdap dampak yang ditimbulkan oleh Kapal Showa Maru.
Kesimpulan
Dari yang telah diuraikan dalam pembahasan di atas, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa tragedi Showa Maru yang terjadi pada Januari 1975 dapat
disesuaikan oleh beberapa konvensi yang mengatur mengenai pencemaran
lingkungan laut yaitu International Conventions on Civil Liability for Oil
Pollution Damage 1969 (Civil Liability Convention), Convention on the
Prevention of Marine Pulution by Dumping of Wastes and Other Matter 1972
(London Dumping Convention), International Convention for the Prevention of
Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution), Deklarasi Stockholm 1972, United
Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS). Prinsip Inter and
Intra Generation Equity, Prevention, Polluter Pays juga berkaitan dengan tragedi
ini. Sudah seharusnya tragedi besar Showa Maru tidak terulang untuk kedua kali,
karena akan berdampak kerusakan parah terhadap ekosistem bawah laut dan
lingkungan hidup disekitar yang terkena imbasnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Harjasoemantri, Koesnadi. 1998. Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak). Hal.
1. Jakarta: Bina Aksara
Melda Kamil Ariadno. 2007. Hukum Internasional Hukum yang hidup. Hal. 24.
Jakarta: Penerbit Diadit Media
Internet:
Dodi Esvandi, “Kapal Tanker Dihantam Ombak, Ribuan Liter Minyak Tumpah di
Laut Tuban” diakses dari www.tribunnews.com, pada tanggal 18 April
2015 pukul 07.30 wib
Fabian Schmidt dan Agus Setiawan, “Fenomena Cemaran Minyak di Lautan”
diakses dari www.dw.de pada 18 April 2015 pukul 07.56 wib
International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil
Liability Convention), diakses dari www.admiraltylawguide.com
pada 18 April pukul 11.09 wib
Report on marine polution problems, diakses dari unesdoc.unesco.org, pada
tanggal 18 April 2015 pukul 07.02 wib
www.maritimeworld.web.id/2011/01/regulasi-tentang-pencegahan- pencemaran.html
diakses pada 20 April 2015 pukul 17.00 wib
18
UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup
19