Anda di halaman 1dari 19

Posisi Kasus Showa Maru

Pencemaran atas laut atau Marine Pollution merupakan salah satu masalah
yang mengancam bumi saat ini. Pencemaran atas laut terus dibicarakan dalam
konteks perbaikan lingkungan hidup internasional. Perlindungan laut terhadap
pencemaran merupakan upaya melestarikan warisan alam. Melestarikan warisan
alam berarti memberikan prioritas pada nilai selain ekonomis, nilai keindahan
alam, nilai penghormatan akan apa yang ada yang tidak diciptakan sendiri, dan
lebih dari itu, nilai dari kehidupan itu sendiri, sebuah fenomena yang bahkan
sekarang ini dengan kemampuan akal budi manusia tidak mampu dijelaskan.1
Ancaman pencemaran selalu mengintai manusia dalam berbagai
kegiatannya diberbagai bidang. Ancaman pencemaran yang berasal dari alam
tidak dapat atau sulit untuk diprediksi kapan itu terjadi. Seperti kebakaran hutan
akibat kemarau yang berkepanjangan yang mengakibatkan kepulan asap naik
keatas awan sehingga membentuk awan tebal lalu mencemari udara yang bersih.
Namun, jika dibandingkan dengan pencemaran lingkungkan hasil dari ulah
manusia sendiri pada dasarnya dapat kita prediksi untuk upaya meminimalisir
suatu evenemen yang mungkin dapat terjadi melalui kesalahan teknis, human
error, maupun faktor kesengajaan.

Kali ini akan dibahas mengenai pencemaran lingkungkan laut hasil dari
human error yang tidak dapat dilupakan dalam sejarah kelam kelautan dunia yaitu
tragedi Showa Maru. Tragedi seperti ini tidak hanyak sekali terjadi di perairan
Indonesia, namun beberapa kali kejadian serupa kerap mengganggu ekosistem
bawah laut. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa tragedi Showa Maru adalah
yang menjadi sorotan karena menimbulkan kerusakan yang amat sangat parah
bagi lingkungan hidup yang tercemar oleh nya.

Kejadian mengerikan ini bermula pada tanggal 6 Januari 1975. Pada kala
itu kapal besar pengangkut minyak membawa sekitar 237.600 ton2 minyak mentah
1
George Sessions (Ed), Deep Ecology for the 21st Century. Readings on the Philosophy and
Practice of the New Environmentalism, Boston & London : Shambhala, 1995. Hal. 426.
2
Report on marine polution problems, diakses dari unesdoc.unesco.org, pada tanggal 18
April 2015 pukul 07.02 wib

1
dengan jalur Teluk Persia menuju Jepang melalui selat Malaka. Kapal besar
tersebut bernama Showa Maru yang dimiliki oleh Perusahaan Ekspedisi Taiheiyo
dari Tokyo dan berbendera Jepang. Tragedi bermula di pagi hari pada tanggal 6
Januari 1975, dimana kapal tersebut melewati jalur selat Malaka 3. Kapal
supertanker tersebut mengalami sebuah kecelakaan dimana sekitar 4.500 ton 4
kargo minyak mentah tumpah di teritorial perairan 3 negara yaitu Indonesia,
Singapura, dan Malaysia. Pada saat itu Indonesia tidak dapat menuntut gant rugi
atas insiden tersebut kepada pemilik kapal Showa Maru dikarenakan belum
adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pencemaran
lingkungan. Padahal selat malaka termasuk perairan Indonesia yang dikelola
bersama dua negara lainnya, dan karena itu seharusnya sebelum tragedi ini sudah
ada peraturan nasional yang menjadi payung hukum jikalau ada kecelakaan
dikemudian hari yang menyebabkan pencemaran lingkungan laut.

Sebab Kasus Showa Maru

Berdasarkan keterangan dari Mahkamah Pelayaran Indonesia, penyebab


kapal Showa Maru karam di selat Malaka dikarenakan kelalaian nahkoda dimana
kapal tersebut membentur karang sehingga menyebabkan dasar kapal sepanjang
160 meter menjadi sobek akibat benturan tersebut. Akibat dari itu 3 tangker
didalamnya rusak dan menumpahkan minyak ke laut.

Dampak dari Tragedi Showa Maru

3
Selat Malaka adalah sebuah selat yang dijadikan jalur pelayaran internasional yang
terletak diantara semenanjung Malaysia yang dimiliki oleh ketiga negara melalui Pertemuan
Tingkat Menteri oleh 3 negara yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura pada Oktober dan November
1971.
4
Report on marine polution problems, diakses dari unesdoc.unesco.org, pada tanggal 18
April 2015 pukul 07.05 wib

2
Pada kasus kecelakaan yang menimpa Kapal Showa Maru ini menimbulkan
berbagai macam dampak yang dihasilkan seperti contohnya :

1. Dampak terhadap Air Laut

Minyak yang ditumpahkan oleh kapal Showa Maru ini sangat banyak dan
mempengaruhi kondisi air laut. Minyak yang mengandung zat kimia kemudian
sebagian larut dalam air yang mengakibatkan rusaknya konsentrasi pada
keseimbangan biota laut.

2. Dampak terhadap Biota Laut

Karena banyakya zat kimia yang dapat mencemarkan air laut menimbulkan
berkurangnya secara drastis kadar oksigen dalam air laut. Sehingga akan
mengakibatkan kehidupan dalam air yang membutuhkan oksigen terganggu serta
mengurangi perkembangannya. Selain itu kematian dapat  pula disebabkan adanya
zat beracun yang juga menyebabkan kerusakan pada tanaman dan tumbuhan air.

3. Dampak terhadap Kesehatan

Air laut yang tercemar dapat mempengaruhi kesehatan biota laut ataupun manusia
itu sendiri. Dengan tercemarnya ekosostem laut, ikan akan banyak yang mati dan
jika dikonsumsi leh manusia akan menyebabkan berbagai macam peyakit. Oleh
karena itu keseimbangan konsentrasi ekosistem, dan perawatan terhadap biota laut
yang didalamnya terdapat ikan, karang, dan bahkan plankton harus diutamakan.

Analisa Kasus Showa Maru Berdasarkan Prinsip-Prinsip Hukum


Lingkungan

Tragedi Showa Maru telah menjadi sejarah kelam dalam dunia


pelayaran/kelautan. Pada bahasan sebelumnya telah dijelaskan bagaimana tragedi

3
ini terjadi dan dampak akibat kejadian tersebut. Kali ini akan dikaitkan dengan
prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Ada beberapa prinsip yang
berhubungan dengan tragedi ini yaitu prinsip:

1. Inter and Intra Generation Equity


2. Prevention
3. Polluter Pays

Ketiga prinsip itulah yang akan dikaitkan dengan peristiwa Showa Maru pada
tahun 1975. Prinsip-prinsip tersebut pada nyatanya tertuang dalam beberapa
aturan internasional, yakni antara lain:

1. International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage


1969 (Civil Liability Convention)
2. Convention on the Prevention of Marine Pulution by Dumping of Wastes
and Other Matter 1972 (London Dumping Convention)
3. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973
(Marine Pollution)
4. Deklarasi Stockholm 1972
5. United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)

Prinsip yang pertama adalah prinsip Inter and Intra Generation Equity yang
memiliki pengertian yakni sebuah pedoman bagi seluruh subjek hukum
lingkungan untuk melindungi, melestarikan, memulihkan lingkungan alamnya
demi ketersediaan sumber daya bumi untuk dapat dinikmati generasi mendatang
serta mengelola lingkungan hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. Jika
dihubungkan dengan tragedi Showa Maru, hal yang berkaitan adalah mengenai
pemulihan lingkungan selat Malaka agar tidak ada kerusakan lebih parah yang
berdampak dikemudian hari. Dalam hal ini tertulis jelas apa yang berada didalam
Prinsip 1 Deklarasi Stockholm yang menyebutkan,

“Manusia mempunyai hak asasi terhadap kebebasan, kesetaraan, dan


kondisi-kondisi kehidupan yang memadai, dalam suatu lingkungan
berkualitas yang memungkinkan kehidupan yang bermartabat dan sejahtera,

4
dan ia memegang tanggung jawab suci untuk melindungi dan memperbaiki
lingkungan untuk generasi sekarang dan mendatang..”

Prinsip tersebut mengatur bahwa manusia memiliki kebebasan didalam


lingkungan yang berkualitas namun juga harus bertanggungjawab untuk
melindungi dan memperbaiki lingkungan untuk generasi kini dan mendatang.
Oleh karena itu, bagi siapapun yang mempergunakan selat Malaka sebagai jalur
pelayarannya maupun bagi negara pantai yang mengelola selat Malaka, harus
menjaga kondisi lingkungan lautnya pasca tercemar oleh tumpahan minyak
mentah. Persoalan siapa yang lebih bertanggung jawab dan ganti rugi akan
dibahas pada bagian selanjutnya. Pada bagian prinsip ini yang terpenting adalah
membuat kondisi lingkungan perairan Malaka agar pulih kembali yang menjadi
tanggung jawab bagi semua yang mengelola jalur ini maupun yang berbuat
kerusakan.

Prinsip yang kedua adalah Prevention yaitu prinsip yang berisi tindakan-
tindakan pencegahan terhadap bahaya yang merusak lingkungan alam. Prinsip ini
terdapat dalam Prinsip 7 dan 24 Deklarasi Stockholm. Dalam prinsip 7 disebutkan
bahwa,

“Negara sebaiknya mengambil langkah yang memungkinkan untuk


mencegah pencemaran laut oleh zat-zat yang bertanggung jawab
membahayakan kesehatan manusia, kehidupan laut..”

Dalam prinsip disebutkan jelas bahwa negara harus mencegah segala apapun
bentuk potensi perusak ekosistem laut. Dikaitkan dengan tragedi Showa Maru,
negara pantai yang mengelola selat Malaka belum memperhatikan potensi
bencana besar yang dapat merusak ekosistem laut di selat Malaka. Meskipun
ketiga negara telah bertemu pada tahun 1971 mengenai kepemilikan selat Malaka,
namun peraturan mengenai kapal-kapal besar yang membawa tangki minyak
mentah yang menggunakan jalur selat Malaka belum di rancang lebih lanjut. Hal
ini akan menjadi sangat penting jika masing-masing negara dapat meminimalisir
kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan seperti peristiwa Showa

5
maru dan baru –baru ini yang terjadi di Laut Utara Jawa yaitu kapal tanker Cinta
Natomas milik Joint Operating Body Pertamina-Petrochina East Java (JOB-PPEJ)
yang dihantam ombak setinggi 5 meter dan menumpahkan ribuan liter minyak
mentah ke laut pada selasa 21 Januari 20145. Kemudian didalam prinsip 24
Deklarasi Stockholm juga menyebutkan bahwa,

“...kerjasama multilateral dan bilateral melalui pengaturan atau sarana lain


yang tepat sangat penting untuk mengendalikan, mencegah, mengurangi, dan
meghilangkan secara efektif dampak merugikan lingkungan akibat kegiatan
yang dilakukan di semua bidang....”

Dalam prinsip 24 dijelaskan bahwa dalam rangka pencegahan, pegendalian


terhadap dampak yang merugikan akibat kegiatan disegala bidang, negara harus
menjalin kerjasama multilateral maupun bilateral. Dengan adanya pertemuan
ketiga negara melalui menteri luar negeri dalam membahas seputar pengelolaan
selat Malaka, maka telah ada upaya bagi ketiga negara (Indonesia, Malaysia,
Singapura) dalam menjalin kerjasama. Pertemuan tersebut berbicara mengenai
aspek ekonomi, dan aspek lingkungan. Aspek ekonomi berada pada taraf dibawah
aspek lingkungan karena aspek ekonomi merupakan perwujudan intra-
generational equity seperti yang telah dibahas sebelumnya. Tidak hanya mengenai
pemenuhan kebutuhan masing-masing negara semata, aspek lingkungan yang
kemudian meng-cover hasil dari pertemuan ketiga negara tersebut. Tanpa aspek
lingkungan, suatu negara akan mejadi egois, konsumtif, dan destruktif. Karena
selat Malaka begitu strategis dan ramai dilewati oleh pelayar internasional, maka
negara tidak boleh hanya membuka mata terhadap keuntungan yang didapatkan,
namun juga memperhatikan ekologi sistem yang berada dibawahya. Banyaknya
ikan, terumbu karang, rumput laut yang berpotensi besar tercemar akibat
dibukanya jalur selat Malaka menjadi kajian khusus bagi setiap negara untuk
melindungi ekosistem lautnya.

5
Dodi Esvandi, “Kapal Tanker Dihantam Ombak, Ribuan Liter Minyak Tumpah di Laut
Tuban” diakses dari www.tribunnews.com, pada tanggal 18 April 2015 pukul 07.30 wib

6
Ketiga adalah prinsip Polluter Pays yang mengandung pengertian bahwa
setiap penanguug jawab karena kegiatannya yang menimbulkan pencemaran
lingkungan, wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan tersebut. Pada
prinsipnya Polluter Pays ini mengharuskan pihak pencemar untuk memikul biaya
pencegahan dan penanggulangan dari kegiatan yang dilakukan oleh pihak
tersebut. Prinsip ini secara eksplisit tertuang dalam beberapa pasal. Pertama
terdapat dalam prinsip 22 Deklarasi Stockholm yang disana menyebutkan bahwa,

“Negara-negara akan bekerja sama untuk mengembangkan lebih lanjut


hukum internasional tentang tanggung jawab dan kompensasi untuk korban
pencemaran dan kerusakan lingkungan lainnya yang disebabkan oleh
kegiatan dalam yuridiksi atau pengawasan negara-negara tersebut untuk
kawasan diluar yuridiksi mereka.”

Dalam pasal tersebut jelas menerangkan bahwa pihak pencemar harus


bertanggungjawab penuh serta memberikan kompensasi kepada seluruh pihak
yang dirugikan akibat tindakan pencemarannya. Dalam hal ini adalah pemilik
kapal Showa Maru yaitu Perusahaan Ekspedisi Taiheiyo yang berasal dari Tokyo
sebagai pihak pencemar. Pihak perusahaan maupun pihak negara Jepang harus
mengganti rugi atas segala dampak yang dimbulkan. Mulai dari pemulihan
lingkungan perairan selat Malaka, ganti rugi terhadap masyarakat yang terkena
imbas dari tumpahnya minyak dalam jumlah besar tersebut, dan denda yang harus
dibayar kepada negara pantai yang mengelola selat Malaka.

Pakar cemaran minyak dan hidrografi, Dahlmann lebih jauh


mengungkapkan jenis minyak juga memainkan peran penting mengenai hitung-
hitungan yang akan menjadi nilai ganti rugi dan kompensasi. Jenis minyak ada
dua, yang pertama adalah minya ringan dan yang kedua adalah minyak berat.
Minyak yang yang tumpah di perairan selat Malaka pada tahun 1975 adalah
minya berat. Minyak berat akan membentuk lapisan ter yang kental dan lengket di
permukaan laut. Dahlmann mengatakan pula bahwa lapisan ini amat sulit dan

7
lamban untuk diuraikan oleh mikroorganisme pemakan karbon yang berada
diantara lapisan air dan lapisan minyak.6

Dasar hukum lainnya adalah prinsip 13 Deklarasi Rio de Jeneiro yang


menyatakan bahwa,

“States shall develop national law regarding liability and compensation for
the victims of polution and othe renvironmental damage. States shall also
cooperate in an expeditious and more determined manner to develo further
international law regarding liability and compensation for adverse effects of
environmental damage caused by activities within their jurisdiction or
control to areas beyond their jurisdiction.”

Terjemahan:

(Negara-negara harus mengembangkan hukum nasionalnya tentang


kewajiban (pencemar) dan kompensasi terhadap korban pencemaran dan
kerusakan lingkungan lainnya. Negara-negara juga harus bekerja sama
secara cepat dan lebih bertekad untuk mengembangkan hukum Internasional
lebih lanjut mengenai kewajiban (pencemar) dan kompensasi terhadap efek
merugikan dari kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas
didalam yurisdiksinya atau kontrol untuk kawasan diluar yurisdiksi mereka.)

Inti dari prinsip ini bahwa negara harus mengembangkan hukum nasionalnya
seputar pengaturan kelautan indonesia. Dari segi hukum, masalah Showa Maru di
waktu itu justru menempatkan Indonesia pada posisi sangat lemah dan sulit dalam
penyelesaian hukum dan tuntutan ganti rugi. Karena selain belum ada UU
Nasional tentang Pencemaran Laut, juga karena konvensi-konvensi internasional
yang ada seperti Konvensi Brussel tahun 1969 belum diratifikasi.

Analisa Kasus Showa Maru berdasarkan International Conventions on Civil


Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil Liability Convention)

6
Fabian Schmidt dan Agus Setiawan, “Fenomena Cemaran Minyak di Lautan” diakses
dari www.dw.de pada 18 April 2015 pukul 07.56 wib.

8
Civil Liability Convention merupakan konvensi yang berlangsung di
Brussels, 29 November 1969 yang mengatur tentang kewajiban negara atas
kerusakan pencemaran minyak. Konvensi ini berisikan 21 pasal beserta annex. 7
Dalam hal pertanggungjawaban negara atas pencemaran laut digunakan prinsip
tanggungjawab mutlak yang kemudian akan dibahas pada subbab selanjutnya
mengenai pertanggungjawaban negara. Konvensi ini hanya berlaku pada
kerusakan yang disebabkan oleh tumpahan minyak mentah (persistent oil) seperti
yang tercantum dalam Pasal 1 butir 5. Dalam hal ini adalah minyak mentah yang
tumpah dari tanker raksasa yang berasal dari atas kapal Showa Maru. Kerusakan
yang disebabkan oleh Non-persistent oil tidak termasuk dalam konvensi ini seperti
gasolin, kerosin, LDO (light diesel oil), dll. Konvensi ini juga tidak mengatur
minyak yang tumpah dari kapal non-muatan seperti yang tertulis dalam Pasal 1
butir 1 konvensi ini,

“Ship means any sea going vessel and any seaborn craft of any type
whatsoever, actually carrying oil in bulk as cargo.” 8

Terjemahan:

(yang dimaksud “Kapal” adalah segala kapal laut dan segala tipe kapal
pengangkut yang benar-benar membawa minyak dalam peti sebagai kargo)

Kapal Showa Maru termasuk dalam kriteria yang disebutkan pasal 1 butir 1
sehingga konvensi ini berlaku untuk kejadian yang terjadi 40 tahun silam.

Analisa Kasus Showa Maru berdasarkan Convention on the Prevention of


Marine Pulution by Dumping of Wastes and Other Matter 1972 (London
Dumping Convention)

London Dumping Convention adalah konvensi yang mengatur mengenai


pencegahan pembuangan limbah berbahaya yang berasal dari kapal laut, pesawat,
7
International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil Liability
Convention), diakses dari www.admiraltylawguide.com pada 18 April pukul 11.09 wib
8
Ibid

9
maupun pabrik. Kata “Dumping” sendiri tersurat dalam Pasal 3 Konvensi ini yaitu
dijelaskan bahwa,

“(a) "Dumping" means:

(i) any deliberate disposal at sea of wastes or other matter from


vessels, aircraft, platforms or other man-made structures at sea;

(ii) any deliberate disposal at sea of vessels, aircraft, platforms or


other manmade structures at sea.”

Terjemahan:

“(a) “Membuang” berarti:

(i) segala pembuangan limbah yang disengaja ke laut atau zat-zat


lain yang berasal dari kapal, pesawat, atau pabrik industri di lautan

(ii) segala pembuangan yang disengaja di laut yang dilakukan oleh


kapal, pesawat, atau pabrik industri di lautan.”

Beberapa jenis limbah berbahaya yang mengandung zat terlarang yaitu plastik, air
raksa, sisa residu minyak, bahan campuran radio aktif, serta bahan sintetik. Zat-zat
tersebut sesuai dengan kategori pencemaran laut yaitu Marine Pollution caused
via the atmosphere by land based activities:

Bukti-bukti ilmiah menunjukkan adanya tiga penyebab utama pencemaran


laut golongan pertama ini, yaitu :
a. Penggunaan berbagai macam “synthethic chemical” khususnya
“chlorinated hydrocarbons” untuk pertanian;
b. Pelepasan logam-logam berat (“heavy metal”) seperti merkuri akibat
proses industri atau lainnya;
c. Pengotoran atmosfer oleh hydrocarbons minyak yang dihasilkan oleh
penggunaan minyak bumi untuk menghasilkan energi;
1. The disposal of domestic and industrial wastes

10
Pencemaran yang disebabkan oleh pengaliran limbah domestik atau
limbah industri dari pantai, baik melalui sungai “sewage outlets” atau
akibat “dumping”
2. Marine Pollution caused by radioactivity
Pencemaran laut karena adanya kegiatan-kegiatan radioaktif alam ataupun
dari kegiatan-kegiatan manusia. Dua penyebab utamanya adalah
percobaan senjata nuklir dan pembuangan limbah radioaktif, termasuk
pencemaran yang disebabkan oleh penggunaan laut untuk kepentingan
militer atau pembuangan alat-alat militer di laut.
3. Ship-borne Pollutants
Pencemaran jenis ini dapat terdiri dari berbagai macam bentuk kapal dan
muatan. Akan tetapi penyebab utamanya adalah tumpahan minyak di laut,
yang dapat dibedakan karena kegiatan kapal seperti pembuangan air
ballast atau karena adanya kecelakaan kapal di laut, terutama apabila
kecelakaan itu melibatkan kapal tanker.
4. Pollution from offshore mineral production
Kegiatan penambangan di dasar laut, terutama apabila terjadi kebocoran
pada instalasi penambangan dan pembuangan limbah yang tidak
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.9

Pengecualian dari konvensi ini adalah adanya “force majeur”10 yaitu dimana pada
suatu keadaan terdapat hal yang membahayakan kehidupan manusia atau keadaan
yang dapat mengancam keselamatan kapal-kapal. Jika konvensi ini kita kaitkan
dengan Kapal Showa Maru maka akan ada sinkronisasi antara keduanya bahwa
yang tertumpah di laut adalah zat yang berbahaya bagi kehidupan dasar laut dan
wilayah sekitarnya. Namun apa yang terjadi pada kapal Showa Maru tidak ada
unsur kesengajaan. Karena tragedi ini merupakan kealpaan11 dari pihak kapal yang
diakibatkan dari human error nahkoda dan para teknisi kapal sehingga

9
Melda Kamil Ariadno. Hukum Internasional Hukum yang hidup. Penerbit Diadit Media.
Jakarta. 2007. Hal. 24
10
Menurut hukum ketenagakerjaan, force majeur merujuk pada tindakan alam (act of
God) seperti bencana alam, perang, kerusuhan, dsb.
11
Menurut Mahkamah Pelayaran Indonesia

11
menyebabkan kapal membentur karang besar yang mengakibatkan robeknya
bagian dasar kapal tersebut. Dengan tidak adanya unsur kesengajaan dalam
tragedi tersebut, tidak adil jika konvensi ini mengatur lebih jauh terhadap insiden
kapal Showa Maru. Karena sudah jelas bahwa penyebab dari tragedi Showa Maru
1975 adalah disebabkan karena kealpaan dan bukan kesengajaan seperti yang
tertulis dalam Pasal 3 Convention on the Prevention of Marine Pulution by
Dumping of Wastes and Other Matter 1972 (London Dumping Convention).

Analisa Kasus Showa Maru berdasarkan International Convention for the


Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution)

International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973


(Marine Pollution) atau yang lebih dikenal dengan MARPOL merupakan
konvensi internasional yang mengatur mengenai pencegahan pencemaran dari
kapal.12 Konvensi ini mengalami penyempurnaan protokol pada tahun 1978.
Konvensi ini dibuat untuk meminimalisir pencemaran minyak ke laut oleh kapal-
kapal untuk yang tidak disengaja atau terjadi karena kecelakaan, dan menghapus
pembolehan pencemaran laut oleh minyak dan zat-zat aditif lainnya.

Beberapa hal yang diatur dalam konvensi ini adalah sebagai berikut:

1. Regulasi tentang pencegahan pencemaran oleh minyak ( annex I )


2. Regulasi tentang pencegahan pencemaran oleh NOx cair ( annex II )
3. Regulasi tentang pencegahan pencemaran oleh substansi berbahaya yang
diangkut dalam bentuk kemasan ( annex III )
4. Regulasi tentang pencegahan pencemaran oleh sampah ( annex V )13

12
http://www.maritimeworld.web.id/2011/01/regulasi-tentang-pencegahan
pencemaran.html

13
http://www.maritimeworld.web.id/2011/01/regulasi-tentang-pencegahan-
pencemaran.html diakses pada 20 April 2015 pukul 17.00 wib.

12
Kita lihat bahwa ada perbedaan yang mendasar dari Convention for the
Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution) dengan Convention
on the Prevention of Marine Pulution by Dumping of Wastes and Other Matter
1972 (London Dumping Convention). Pada London Dumping mengatur
bagaimana limbah dibuang ke laut. Ada klasifikasi zat mana yang dapat dibuang
ke laut. Hal ini juga menjadi dasar bahwa ada pembolehan dalam membuang zat-
zat tertentu ke laut.14 Sedangkan MARPOL sendiri melarang keras tindakan
pembuangan limbah ke laut apapun bentuknya. MARPOL juga meminimalisir
terhadap pencemaran yang ditimbulkan diluar kesengajaan atau terjadi karena
kecelakaan. Oleh karena itu jika dikaitkan dengan tragedi Showa Maru maka
sangat tepat untuk diterapkan dan masuk konteks pembahasan. Karena yang
terjadi pada Kapal Showa Maru adalah kecelakaan yang disebabkan diluar unsur
kesengajaan seperti yang tercantum pada London Dumping.
Selain itu MARPOL juga mengatur mengenai setiap sistem dan peralatan
yang ada di kapal harus mendapat sertifikasi. Sertifikasi tersebut harus memenuhi
perlengkapan sebagai berikut:
• Oil record book
adalah suatu record kapal tentangsegala aktivitas yang berhubungan
dengan oil. Mulai dari proses discharge cargo, discharge slop tank,
pembersihan cargo tank, dan sebagainya. SEgala bentuk pencatatan harus
selalu ada di kapal, bila ada pemeriksaan berkala atau pemeriksaan
setempat.

• Oil discharge monitoring system


adalah suatu system yang mengontrol kadar minyak dalam air yang akan
dibuang ke laut. System monitoring harus berfungsi dengan baik dalam
berbagai kondisi lingkungan untuk memonitor dan mongontrol segala
macam pembuangan minyak ke laut karena pembuangan dari air ballast

14
www.unep.ch/regionalseas/main/legal/london.html diakses pada 20 April 2015 pukul
17.51 wib

13
kotor dan segala macam minyak bercampur air dari cargo tank ke laut
yang tidak terkontrol oleh system monitoring adalah suatu bentuk
pelanggaran.15

Analisa Kasus Showa Maru berdasarkan United Nation Convention on the


Law of the Sea 1982 (UNCLOS)

Konvensi ini secara lengkap mengatur perlindungan dan pelestarian


lingkungan laut (protection and preservation of marine environment) yang
terdapat dalam Pasal 192-237. Pasal 192 tentang kewajiban umum berbunyi,

“Negara-negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan


lingkungan laut.”

Konvensi hukum laut 1982 meminta setiap negara untuk melakukan upaya-upaya
guna mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control)
pencemaran lingkungan laut dari limbah yang berbahaya bagi lingkungan hidup
yang tercemar. Adapun segala tindakannya tertuang dalam Pasal 194 yang
berbunyi,

1. Negara-negara harus mengambil segala tindakan yang perlu sesuai


dengan Konvensi, baik secara individual maupun secara bersama-sama
menurut keperluan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan
pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh setiap sumber dengan
menggunakan untuk keperluan ini cara-cara yang paling praktis yang ada
pada mereka dan sesuai dengan kemampuan mereka, selagi Negara-negara
ini harus berusaha sungguhsungguh untuk menyerasikan kebijaksanaan
mereka dalam hal ini.

2. Negara-negara harus mengambil segala tindakan yang perlu untuk


menjamin agar kegiatan-kegiatan yang berada dibawah yurisdiksi atau
pengawasan mereka dilakukan dengan cara sedemikian rupa supaya
tindakan-tindakan tersebut tidak mengakibatkan kerusakan yang
disebabkan oleh pencemaran kepada Negara-negara lain dan
lingkungannya, dan agar pencemaran yang timbul dari tindakan-tindakan
dan kegiatan dibawah yurisdiksi atau pengawasan mereka tidak menyebar
melampaui daerah-daerah yang ada di bawah pelaksanaan hak-hak
kedaulatan mereka sesuai dengan Konvensi ini.

15
Regulasi tentang pencegahan pencemaran oleh minyak ( annex I )

14
3. Tindakan-tindakan yang diambil berdasarkan Bab ini harus meliputi
segala sumber pencemaran lingkungan laut. Tindakan-tindakan ini harus
mencakup, inter alia, tindakan-tindakan yang direncanakan untuk
mengurangi sejauh mungkin

(a) dilepaskannya bahan-bahan yang beracun, berbahaya atau


mengganggu, khususnya bahan-bahan yang persisten, yang berasal dari
sumber daratan, dari atau melalui udara, atau karena dumping;

(b) pencemaran dari kendaraan air, terutama tindakan-tindakan


untuk mencegah kecelakaan dan yang berkenaan dengan keadaan darurat,
untuk menjamin keselamatan operasi di laut, untuk mencegah terjadinya
pembuangan yang sengaja atau tidak serta mengatur disain, konstruksi,
peralatan, operasi dan tata awak kendaraan air;

(c) pencemaran dari instalasi-instalasi dan alat peralatan yang


digunakan dalam eksplorasi atau eksploitasi kekayaan alam dasar laut dan
tanah dibawahnya, khsususnya tindakan-tindakan untuk mencegah
kecelakaan dan yang bertalian dengan keadaan darurat, untuk menjamin
keselamatan operasi laut, serta yang mengatur disain, konstruksi, peralatan,
operasi dan tata awak instalasi-instalasi atau peralatan termaksud;

(d) pencemaran dari lain-lain instalasi dan peralatan yang


dioperasikan dalam lingkungan laut, terutama tindakan-tindakan untuk
mencegah kecelakaan dan yang berkenaan dengan keadaan darurat, untuk
menjamin keselamatan opeasi di laut, serta mengatur disain, konstruksi,
peralatan, operasi dan tata awak instalasiinstalasi atau peralatan termaksud.

4. Dalam mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah, mengurangi atau


mengendalikan pencemaran lingkungan laut, Negara-negara harus
menjauhkan diri dari campuran tangan yang tidak beralasan ke dalam
kegiatan Negara lain dalam mereka melaksanakan hak-hak mereka dan
melakukan kewajiban-kewajiban mereka sesuai dengan Konvensi ini.

5. Tindakan-tindakan yang diambil sesuai dengan Bab ini harus mencakup


di dalamnya tindakan-tindakan yang perlu untuk melindungi dan
melestarikan ekosistem yang langka atau yang rapuh maupun habitat bagi
jenis-jenis yang telah langka, yang terancam oleh kelangkaan atau yang
dalam proses menjadi langka serta lain-lain bentuk kehidupan laut.

UNCLOS 1982 menjadi payung hukum bagi Indonesia untuk membuat undang-
undang kelautan, namun sayang konvensi ini berlangsung jauh setelah kejadian
Kapal Showa Maru menumpahkan minyaknya ke Selat Malaka yaitu pada tahun
1975, sedangkan konvensi ini berlangsung pada tahun 1982. Namun tetap saja
konvensi ini mengatur jika ada kejadian serupa dengan tragedi Showa Maru di

15
kemudian hari. Maksud dari pasal 192 juga hampir sama dengan isi dari konvensi
MARPOL.

Analisa Kasus Showa Maru Berdasarkan Teori Pertanggungjawaban Negara


(Strict Liability & Liability)

Asas tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan prinsip


pertanggungjawaban hukum (liability) yang telah berkembang sejak lama, yakni
berasal dari sebuah kasus di Inggris ( Rylands v. Fletcher ) pada tahun 1868. 16
Kemudian asas ini diadopsi dalam berbagai peraturan perundangan nasional dan
konvensi-konvensi internasional seperti UNCLOS 1982. Indonesia kemudian
menerapkan asas ini karena sebagai pihak peratifikasi konvensi internasional,
yang kemudian secara tegas mengaturnya dalam peraturan perundang-undangan
nasional melalui UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 10 Tahun 1997 tentang
Ketenaganukliran, UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup, dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.

Dalam Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup diatur mengenai pertanggungjawaban secara
mutlak (Strict Liability) atas perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan:

“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya


menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan”.

Akan tetapi asas Strict Liability tersebut belum dapat diterapkan secara
maksimal guna mendapatkan ganti kerugian terhadap kerugian yang diderita oleh
16
Harjasoemantri, Koesnadi. 1998. Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak). Paper
presented at the Lokakarya Legal Standing & Class Action, Hotel Kartika Chandra, Jakarta. Hal 1.

16
korban pencemaran serta biaya pemulihan lingkungan hidup yang tercemar itu
sendiri. Hal ini dikarenakan hukum acara perdata sebagai hukum formil manakala
mengajukan gugatan ganti kerugian atas perbuatan melawan hukum dalam
pencemaran dan perusakan lingkungan masih menganut sistem pembuktian
berdasarkan ajaran kesalahan. Sedangkan untuk membuktikan unsur kesalahan
tersebut diterapkan sistem pembuktian berdasarkan ketentuan Pasal 1865 BW
dimana pihak Penggugat diwajibkan untuk membuktikan dalilnya yang tidak
mungkin untuk dilakukan oleh Korban/Penggugat.

Jadi, dalam kasus Showa Maru sebenarnya dapat dimintai ganti rugi dan
kompensasi terhadap perusahaan kapal yang berada di Jepang apabila telah diatur
jelas dan rinci dalam peraturan perundang-undangan mengenai pencemar
membayar. Jika pada saat itu (tahun 1975) belum ada peraturan nasional yang
jelas mengatur mengenai ganti rugi akibat suatu tragedi di laut yang merugikan
pihak Indonesia, maka akan sulit bagi pihak Indonesia untuk meminta ganti rugi
dan pemulihan terhdap dampak yang ditimbulkan oleh Kapal Showa Maru.

Kesimpulan

Dari yang telah diuraikan dalam pembahasan di atas, maka dapatlah ditarik
kesimpulan bahwa tragedi Showa Maru yang terjadi pada Januari 1975 dapat
disesuaikan oleh beberapa konvensi yang mengatur mengenai pencemaran
lingkungan laut yaitu International Conventions on Civil Liability for Oil
Pollution Damage 1969 (Civil Liability Convention), Convention on the
Prevention of Marine Pulution by Dumping of Wastes and Other Matter 1972
(London Dumping Convention), International Convention for the Prevention of
Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution), Deklarasi Stockholm 1972, United
Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS). Prinsip Inter and
Intra Generation Equity, Prevention, Polluter Pays juga berkaitan dengan tragedi
ini. Sudah seharusnya tragedi besar Showa Maru tidak terulang untuk kedua kali,
karena akan berdampak kerusakan parah terhadap ekosistem bawah laut dan
lingkungan hidup disekitar yang terkena imbasnya.

17
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Harjasoemantri, Koesnadi. 1998. Strict Liability (Tanggung Jawab Mutlak). Hal.
1. Jakarta: Bina Aksara
Melda Kamil Ariadno. 2007. Hukum Internasional Hukum yang hidup. Hal. 24.
Jakarta: Penerbit Diadit Media
Internet:
Dodi Esvandi, “Kapal Tanker Dihantam Ombak, Ribuan Liter Minyak Tumpah di
Laut Tuban” diakses dari www.tribunnews.com, pada tanggal 18 April
2015 pukul 07.30 wib
Fabian Schmidt dan Agus Setiawan, “Fenomena Cemaran Minyak di Lautan”
diakses dari www.dw.de pada 18 April 2015 pukul 07.56 wib
International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil
Liability Convention), diakses dari www.admiraltylawguide.com
pada 18 April pukul 11.09 wib
Report on marine polution problems, diakses dari unesdoc.unesco.org, pada
tanggal 18 April 2015 pukul 07.02 wib
www.maritimeworld.web.id/2011/01/regulasi-tentang-pencegahan- pencemaran.html
diakses pada 20 April 2015 pukul 17.00 wib

www.unep.ch/regionalseas/main/legal/london.html diakses pada 20 April 2015 pukul


17.51 wib

Konvensi dan Peraturan Perundang-undangan:


Convention on the Prevention of Marine Pulution by Dumping of Wastes and
Other Matter 1972 (London Dumping Convention
Deklarasi Rio de Jeneiro
Deklarasi Stockholm 1972
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine
Pollution)
International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil
Liability Convention)
United Nation Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)

18
UU No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup

UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan


Hidup

19

Anda mungkin juga menyukai