Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH NAPZA

TENTANG

PENATALAKSANAAN DAN TERAPI PENYALAHGUNAAN NAPZA

Dosen Pembimbing: Ns. Edo Gusdiansyah, M.Kep

disusun oleh :

QISTINA BAZLA

(1710105024)

Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes Alifah) Padang


1
Prodi S1 Keperawatan
2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tulisan ini.
Dalam penyusunan penulisan ini, penulis banyak memperoleh masukan serta
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak.
Akhir kata penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
sehingga memerlukan bimbingan, kritik dan saran, dan atas perhatiannya penulis
mengucapkan terima kasih.
Padang, 07 April 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang................................................................................................4
B. Tujuan..............................................................................................................4
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 penatalaksanan penyalahgunaan NAPZA............................................................5
2.2 Terapi penyalahgunaan NAPZA…………………………………………...…6
BAB III PENUTUP
Kesimpulan..........................................................................................................17
Saran………………………………………………………………………….17
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHUULUAN
A. Latar Belakang
Berkembangnya jumlah pecandu NAPZA ditentukan oleh dua faktor, yaitu
faktor dari dalam (internal) diri meliputi: minat, rasa ingin tahu, lemahnya rasa
ketuhanan, kesetabilan emosi. Faktor yang kedua adalah faktor dari luar (eksternal)
diri meliputi: gangguan psikososial keluarga, lemahnya hukum terhadap pengedar dan
pengguna narkoba, lemahnya sistem sekolah termasuk bimbingan konseling,
lemahnya pendidikan agama.  Meskipun narkoba sangat diperlukan untuk pengobatan
dan pelayanan kesehatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan sesuai dengan
standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkoba secara gelap akan
menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan ataupun masyarakat,
khususnya generasi muda,
Pemakaian narkoba di luar indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter,
dan pemakaiannya bersifat patologik (menimbulkan kelainan)  dan menimbulkan
hambatan dalam aktivitas di rumah, sekolah atau kampus, tempat kerja dan
lingkungan social. Ketergantungan narkoba diakibatkan oleh penyalahgunaan zat
yang disertai dengan adanya toleransi zat (dosis semakin tinggi) dan gejala putus asa,
yang memiliki sifat-sifat keinginan yang tak terhankan, kecenderungan untuk
menambah takaran (dosis), ketergantungan fisik dan psikologis.
B. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
a. Untuk mengetahui apa itu penatalksanaan NAPZA
b. Untuk mengetahui terapi NAPZA

BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 PENATALAKSANAN PENYALAHGUNAAN NAPZA

1.Rehabilitasi NAPZA 4
Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang NAPZA dan Peraturan
Pemerintah No. 25 tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu NAPZA
merupakan dasar hukum dalam upaya dan langkah menyelamatkan pengguna
NAPZA. Para pengguna NAPZA itu tidak lagi ditempatkan sebagai pelaku tindak
pidana atau kriminal, dengan melaporkan diri pada Institusi Penerima Wajib Lapor
(IPWL) yang diresmikan sejak tahun 2011. Saat ini,sudah tersedia 274IPWLdi
seluruh Indonesia dari berbagai lembaga, termasuk Puskesmas, Rumah Sakit dan
Lembaga Rehabilitasi Medis, baik milik Pemerintah atau Swasta. Seluruh IPWL yang
tersedia memiliki kemampuan melakukan rehabilitasi medis,termasuk terapi
simtomatik maupunkonseling. Untuk IPWLberbasis rumah sakit, dapat memberikan
rehabilitasi medis yang memerlukan rawat inap.
Rehabilitasi berkelanjutan seorang penyalahguna NAPZA diawali oleh
tahapan rehabilitasi medis yang bertujuan memulihkan kesehatan fisik dan psikis/
mental seorang pecandu narkoba melalui layanan kesehatan dan terapi medis /
psikiatris. Tahapan selanjutnya yaitu rehabilitasi psikososial yang bertujuan
mengintegrasikan (menyatukan) kembali seorang pecandu narkoba ke dalam
kehidupan masyarakat dengan cara memulihkan proses berpikir, berperilaku, dan
beremosi sebagai komponen kepribadiannya agar mampu berinteraksi di lingkungan
sosialnya (BNN, 2018).
Tahap-tahap rehabilitasi bagi pecandu narkoba :
1.Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi)
Tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan mental oleh
dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan obat
tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat
tergantung dari jenis narkoba dan berat ringanya gejala putus zat. Dalam hal ini dokter
butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna mendeteksi gejala kecanduan
narkoba tersebut.
2.Tahap rehabilitasi psikososial
Tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi. Di Indonesia sudah di
bangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat
rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di
tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya program
Therapeutic Communities(TC), 12 steps (dua belas langkah, pendekatan keagamaan,
dan lain-lain). 5

3.Tahap bina lanjut (after care)


Tahap ini pecandu diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat untuk
mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapatkembali ke sekolah atau tempat kerja
namun tetap berada di bawah pengawasan Untuk setiap tahap rehabilitasi diperlukan
pengawasan dan evaluasi secara terus menerus terhadap proses pulihan seorang
pecandu (BNN, 2018).

2.2 TERAPI UNTUK PENYALAHGUNAAN NAPZA

1. terapi substitusi opioda

Terapi substitusi sering juga disebut dengan terapi rumatan (maintenance).


Terapi ini diigunakan untuk pasien-pasien ketergantungan heroin(opioda). Untuk
pengguna opioda hard core addict(pengguna opioda yang telah bertahun-tahun
menggunakan opioda suntikan), pecandu biasanya mengalami kekambuhan kronis
sehingga perlu berulang kali menjalani terapi ketergantungan. Kebutuhan heroin
15(narkotika ilegal) diganti (substitusi) dengan narkotika legal. Beberapa obat yang
sering digunakan adalah kodein, bufrenorphin, metadone, dan nalrekson. Obat-obatan
ini digunakan sebagai obat detoksifikasi, dan diberikan dalam dosis yang sesuai
dengan kebutuhan pecandu, kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan.(Husin &
Siste, 2015).
Karakteristik obat yang ideal untuk terapi rumatan adalah :
1. Rendah potensi untuk didiversikan
2. Lamanya aksi cukup panjang
3. Potensi rendah menggunakan zat lain selama terapiToksisitas rendah
untuk terjadinya overdose
4. Fase detoksifikasi harus singkat, sederhana dan gejala-gejala rebound
withdrawal minimal
6

5. Memfasilitasi abstinensia terhadap opioid ilegal lain


Pasien menerimanya dengan iklas dan baikTidak ada satu obatpun yang
memenuhi persyaratan ideal tersebut. Namun untuk ketergantungan opioid para pakar
kedokteran menemukan beberapa jenis obat yang mendekati kriteria karakteristik
tersebut seperti :
1. Agonis : metadon
2. Parsial agonis : buprenorphine
3. Antagonis : naltrekson

2. Program Terapi Rumatan Metadona


Pecandu opiat umumnya menggunakan heroin. Sebagian besar dari mereka
menggunakan heroin dengan cara suntik yang tidak aman sehingga mereka sangat
16mudah mendapat infeksi seperti hepatitis dan HIV. Guna mengurangi dampak
buruk penggunaan opiat dengan cara suntik diperlukan intervensi pengurangan
dampak buruk (harm reduction). Salah satu intervensinya berupa program terapi
rumatan dengan memberikan metadon cair yang dikenal dengan nama Program Terapi
Rumatan Metadona (PTRM).
Metadona merupakan suatu agonis sintetik opioid yang kuat dan diserap
dengan baik secara oral dengan daya kerja jangka panjang. Waktu paruh metadona
pada umumnya 24 jam. Penggunaan berkesinambungan akan diakumulasi dalam
tubuh khususnya di hati. Proses akumulasi ini sebagian menjadi alasan mengapa
toleransi atas penggunaan metadona berjalan lebih lambat daripada morfin atau
heroin.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI no 57 tahun 2013, pada tahap
inisiasi dosis awal metadona yang dianjurkan adalah 20-30 mg untuk tiga hari
pertama. Jika terdapat intoksikasi atau gejala putus obat berat maka dosis akan
dimodifikasi sesuai dengan keadaan. Metadon harus diberikan dalam bentuk cair dan
diencerkan sampai menjadi 100 cc dengan larutan sirup. Pasien harus minum setiap
hari dihadapan petugas PTRM.
Tahap selanjutnya adalah tahap stabilisasi, untuk menaikkan dosis secara
perlahan sehingga memasuki tahap rumatan. Dosis yang dianjurkan adalah menaikkan
dosis awal 5-10 mg tiap 3-5 hari. Total kenaikan dosis tiap minggu tidak boleh lebih
dari 30 mg. Pada tahap rumatan, dosis rumatan rata-rata adalah 60-120 mg per hari.
Dosis rumatan harus dipantau
7 dan disesuaikan setiap hari secara teratur

17dari keadaan pasien. Fase ini dapat berjalan selama bertahun-tahun sampai perilaku
stabil, baik dalam bidang pekerjaan, emosi maupun kehidupan sosial.
Metadona dapat dihentikan secara bertahap perlahan (tappering off).
Penghentian metadona dapat dilakukan pada keadaan berikut : pasien sudah dalam
keadaan stabil, minimal 6 bulan pasien dalam keadaan bebas heroin, pasien dalam
kondisi yang stabil untuk bekerja dan memiliki dukungan hidup yang memadai.
PTRM tidak hanya memberikan metadona semata-mata melainkan juga
intervensi medis dan psikososial lain yang dibutuhkan pasien (Kemenkes 2013; Husin
& Siste, 2015). Keberhasilan dalam proses terapi rumatan metadon yaitu bila pasien
mampu bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan keluarga serta mampu
berkontribusi bagi masyarakat di lingkungannya.

3.Buprenorphine-partial Agonist
Buprenorphin merupakan parsial agonis heroin yang diminum secara
sublingual dan memiliki memiliki metabolisme yang tinggi ketika diminum per oral.
Terapi ini pertama kali dikenalkan di Perancis dan di evaluasi di beberapa negara
lainnya. Hasil terapi secara garis besar dapat dibandingkan dengan terapi rumatan
metadon, tapi masing-masing terapi memiliki keuntungan dan beberapa kelemahan.
Buprenorphin dapat diminum berselang seling tidak setiap hari. Resiko overdosis
minimal namun pada individu dengan dosis heroin yang tinggi sebelumnya akan
menunjukkan beberapa gejala putus zat. Buprenorphin masih dapat menjadi pilihan
terapi untuk detoksifikasi walaupun harganya lebih mahal dibandingkan dengan
metadon (Wodak, 2001)

4. Naltrekson-opiat antagonist maintenance treatment program


Farmakoterapi rumatan dapat dilakukan dengan menggunakan naltrekson.
Program terapinya dikenal dengan istilah Opamat-ED (Opiate Antagonist
Maintenance Therapi). Naltrekson saat ini tidak lagi tersedia di Indonesia karena
industri farmasi yang mendapat ijin edar naltrekson tidak meneruskan usahanya.

5. Therapeutic community (TC)


8

Therapeutic community (TC) adalah bentuk umum dari rehabilitasi jangka


panjang untuk gangguan penggunaan zat (NIDA, 2015). Metode ini mulai digunakan
pada akhir 1950 di Amerika Serikat. Tujuan utamanya adalah menolong pecandu agar
mampu kembali ke tengah masyarakat dan dapat kembali menjalani kehidupan yang
produktif.
Program TC, merupakan program yang disebut Drug Free Self Help program.
Teori yang mendasari metode TC adalah pendekatan behavioral dimanaberlaku sistem
reward (penghargaan/penguatan) dan punishment (hukuman)dalam mengubah suatu
perilaku. Selain itu digunakan juga pendekatankelompok, dimana sebuah kelompok
dijadikan suatu media untuk mengubahsuatu perilaku.Program TC mempunyai suatu
aturan yang tertulis maupun tidak tertulisyang sangat mengikat setiap residen untuk
menjalankan dan siap menerima sanksibila melanggar aturan tersebut (pasien peserta
TC lazim disebut residen).Gambaran dari TC adalah sebagai berikut :

a. Program dengan struktur yang ketat


b. Umumnya pasien berada dalam program 6-12 bulan
c. Program pengobatan
d. Program pendidikan
e. Latihan ketrampilansosial dan penerapannya
f. Pasien mempunyai riwayat perilaku criminal
g. Mengembangkan sistem dukungan yang sesuai kebutuhan pasien
h. Menstabilkan fungsi kehidupan pasien
i. Rehabilitasi vokasional
Didalam TC ada berbagai norma-norma dan falsafah yang dianut
untukmembentuk perilaku yang lebih baik. Norma-norma dan falsafah
yangditanamkan dalam TC tersebut kemudian berkembang menjadi suatu budayaTC,
yang didalamnya mencakup(Winanti, 2008):
1. The Creed (Philosophy)
Merupakan filosofi atau falsafah yang dianut dalam TC. Falsafah ini
merupakan kerangka dasar berpikir dalam program TC yang harus dipahami dan
dihayati oleh seluruh residen.
2. Cardinal Rules
Cardinal Rules merupakan
9 peraturan utama yang harus dipahami dan ditaati
dalam program TC, yaitu :
a. No drugs (tidak diperkenankan menggunakan narkoba)
b. No sex (tidak diperkenankan melakukan hubungan seksual dalam
bentuk apapun)
c. No violence (tidak diperkenankan melakukan kekerasan fisik)
3. Four Structure Five Pillars
Empat kategori struktur program :
a. Behaviour management shaping(Pembentukan tingkah laku)Perubahan
perilaku yang diarahkan pada kemampuan untuk mengelola kehidupannya sehingga
terbentuk perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai, norma-norma kehidupan
masyarakat.
b. Emotional and psychological (Pengendalian emosi dan psikologi)Perubahan
perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan penyesuaian diri secara
emosional dan psikologis.
c. Intellectual and spiritual (Pengembangan pemikiran dan
kerohanian)Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan aspek pengetahuan,
nilai-nilai spiritual, moral dan etika, sehingga mampu menghadapi dan mengatasi
tugas-tugas kehidupannya maupun permasalahan yang belum terselesaikan
d. Vocational and survival(Keterampilan kerja dan sosial serta bertahan
hidup)Perubahan perilaku yang diarahkan pada peningkatan kemampuan dan
keterampilan residen yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas sehari-
hari maupun masalah dalam kehidupannya.

Lima Pillars (5 tonggak dalam program) :


a. Family milieu concept (Konsep kekeluargaan)Untuk menyamakan
persamaan di kalangan komunitas supaya bersama menjadi bagian dari sebuah
keluarga.
b. Peer pressure (Tekanan rekan sebaya)Proses dimana kelompok menekan
seorang residen dengan menggunakan teknik yang ada dalam “TC”
c. Therapeutic session (Sesi terapi)Berbagai kerja kelompok untuk
meningkatkan harga diri dan perkembangan pribadi dalam rangka membantu proses
kepulihan .
d. Religius session(Sesi
10 agama)Proses untuk meningkatkan nilai-nilai dan

pemahaman agama.
e. Role modelling (Keteladanan)Proses pembelajaran dimana seorang residen
belajar dan mengajar mengikuti mereka yang sudah sukses.Tahapan program TC yang
harus dijalani setiap residen (pasien peserta TC) adalah sebagai berikut :
1)Proses Intake dan Orientasi (24minggu)
Merupakan masa persiapan untuk residen untuk memasuki fase primary.
Kegiatan yang dilakukan berupa wawancara awal, pemberian Informed consent,
pemeriksaan fisik, pengisian formulir dan orientasi program (Winanti 2008;
Kemenkes 2010).
2)Primary Stage (6-9 bulan)
Tahap ini ditujukanbagi perkembangan sosial dan psikologis residen.Dalam
tahap ini residen diharapkan melakukan sosialisasi, mengalamipengembangan diri,
serta meningkatkan kepekaan psikologis denganmelakukan berbagai aktivitas dan sesi
terapeutik yang telah ditetapkan.Dilaksanakan selama kurang lebih 6sampai dengan
9bulan. Primaryterbagi dalam beberapa tahap, yaitu:younger member, middle
member, older member.
Untuk Younger Member(anggota termuda 1-3 bulan) diharapkan aktif mengikuti
program, adanya penerapan sanksi (reward and punishment), dapat dikunjungi
keluarga, mengikuti kegiatan Family Support Group dan terlibat dalam kegiatan
kelompok.
Untuk Middle Member(anggota menengah 4-6 bulan) : mulai bertanggung
jawab terhadap sebagian operasional fasilitas/rumah, menjadi buddy bagi younger
member, sudah boleh keluar fasilitas TC dengan pendamping, mengikuti kegiatan
Family Support Group dan terlibat dalam kegiatan kelompok.Untukolder member
(anggota lama 6-9 bulan) : sudah bertangguang jawab penuh terhadap rumah/fasilitas,
pelaksanaan rewarddan punishment secara penuh, boleh meninggalkan fasilitas
/rumah, mengikuti kegiatan Family Support Group dan terlibat dalam kegiatan
kelompok. Dinyatakan graduate/lulus (Winanti 2008; Kemenkes 2010).
3)Tahapan Re-Entry (3-6 bulan)
Re-entry merupakan program lanjutan setelah Primary. Program Re-
entrymemiliki tujuan untuk memfasilitasi residen agar dapat bersosialisasidengan
kehidupan luar setelah menjalani
11 perawatan di Primary. Tahap inidilaksanakan selama
3 sampai dengan 6 bulan.

Fase orientasi (2 minggu)


Pengenalan program re-entry
Didampingi buddy
Tidak boleh dikunjungi keluarga
Tidak boleh meninggalkan fasilitas TC
Sanksi berupa tugas-tugas mengurus fasilitas
Mengikuti kegiatan kelompok

Fase A (1,5-2 bulan)


Mengikuti kegiatan kelompok
Dapat dikunjungi keluarga setiap waktu
Diberi ijin menginap 1 malam setiap 2 minggu sekali
Boleh menerima uang jajan setiap minggu secara teratur
Boleh melakukan aktivitas di luar fasilitas TC

Fase B (2 bulan)
Mengikuti kegiatan kelompok
Dapat dikunjungi setiap waktu
Diberi ijin pulang menginap 2 malam setiap 2 minggu
Boleh meminta tambahan uang jajan
Boleh melakukan aktivitas diluar fasilitas TC

Fase C (2 bulan)
Mengikuti kegiatan kelompok
Dapat dikunjungi setiap waktu
Diberi ijin pulang
Boleh meminta tambahan uang jajan
Boleh melakukan kegiatan diluar fasilitas TC
Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk persiapan
pulangDukungan keluarga sangat diperlukan pada pelaksanaan TC, keluarga juga
12
diberikan psikoedukasi tentang NAPZA dan perkembangan pasien sehingga ikut
mendukung keberhasilan terapi residen. Pendampingan keluarga yang tak pernah
putus dapat membantu pecandu narkoba untuk benar-benar
berhentimenggunakanobat-obatan terlarangitu.

4). Aftercare Program


Merupakan program yang ditujukan bagi mantan residen /alumni TC, yang
dilaksanakan di luar fasilitas TC dan diikuti olehsemua angkatan dibawah supervisi
staf re-entry. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah sharing dalam kelompok tanpa
ditanggapi, meminta anggota untuk menanggapi suatu topik, waktu dan tempat
pelaksanaan disepakati bersama. Bentuk aftercare program bisa berupa rumah
damping salah satunya yang disediakan oleh BNN Provinsi Bali.

5). Intervensi Psikososial

Suatu pendekatan yang mengutamakan pada masalah psikologis dan sosial


yang disandang oleh pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien
menghadapi setiap masalah. Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi
baik dalam keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi yang disesuaikan
dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran penuh.Beberapa model
intervensi psikososial yang dapat dilakukan dalam layanan pengobatan gangguan
penggunaan Napza antara lain :
a.Brief Intervention (BI)Brief Intervention (BI) dipertimbangkan untuk
berbagai kondisi yang melibatkan waktu tenaga profesional yang terbatas untuk
mencoba merubah penggunaan NAPZA atau setidaknya mengajak klien berpikir
ulang mengenai pola penggunaan NAPZA-nya. Waktu yang dibutuhkan untuk
intervensi singkat biasanya antara 5 menit sampai 2 jam.
Brief Intervention (BI) dapat direkomendasikan pada kondisi seperti
penggunaan alkohol yang membahayakan
13 tetapi belum ketergantungan,
ketergantungan alkohol ringan sampai sedang, ketergantungan nikotin,
ketergantungan ringan sampai dengan sedang kanabis. Brief Intervention (BI) dapat
mengambil berbagai bentuk format termasuk asesmen singkat, materi self help(materi
yang membantu pemahaman NAPZA pada pasien contohnya leaflet, cara menyuntik
yang benar pada program harm reduction), informasi penggunaan yang aman serta
pencegahan kekambuhan.
b.Konseling DasarKonseling adalah suatu proses pertolongan dimana
seseorang dengan tulus dan tujuan yang jelas, memberikan waktu, perhatian dan
keahliannya membantu pasien untuk mempelajari situasi mereka, mengenali dan
melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan
mereka.Fungsi utama konseling :
a)Menyampaikan informasi penting
b)Membantu pasien mengklarifikasi dan menempatkan masalahc)Membantu
pasien memilih dan mengambil tindakan realistikd)Memberi dukungan psikomotor
melalui ketrampilan komunikasi.

c. Motivational Interviewing(MI)
Motivasi adalah suatu keadaan kesiapan atau keinginan untuk berubah, selalu
berfluktuasi dari waktu ke waktu atau dari situasi ke situasi yang lain. Dasar
pemikiran melakukan wawancara motivasional ini adalah bahwa untuk mencapai
perubahan adalah lebih mudah bila motivasi untuk berubah tersebut datang dari dalam
dirinya sendiri daripada dipaksakan oleh konselor atauterapis.
Motivational Interviewing sering dilakukan menyerupai Brief Intervention
dengan prinsip berorientasi pada klien. Berdasarkan prinsip ini, MI mempunyai
pendekatan sama seperti konseling pada umumnya, seperti reflecting listening,
summarizingdanparaphrasing(Recoveryresearch, 2012). Motivational
Interviewingadalah sebuah wawancara yang bertujuan untuk membantu seseorang
menggali dan mengatasi ambivalensi tentang penggunaan NAPZA melalui tahapan
perubahan. Ini sangat berguna bila dilakukan pada pasien yang berada pada tahap
prekontemplasi dan kontemplasi, tapi prinsip dan keterampilan wawancara sangat
penting pada semua tahap(Kemenkes, 2010). Saran hanya diberikan bila ada
permintaan dan atas ijin pasien.
14 Motivational Interviewingjuga kadang-kadang

dikombinasikan dengan Cognitive Behavioral Therapy.


Lima prinsip Motivational Interviewingyaitu (Rockville, 1999):
1) Mengekspresikan Empati melalui reflective listening
2) Memaparkan ketidakcocokan (perbedaan) antara tujuan dan perilaku
klien saat ini
3) Menghindariargumentasi dan konfrontasi langsung
4) Menyesuaikan resistensi klien daripada menentangnya secara langsung
Mendukung self efficacy dan optimisme

Motivational Interviewingdilaksanakan dengan menggunakan 4 keterampilan


dasar, yang sering dikenal dengan singkatan OARS : Open ended question(pertanyaan
terbuka), Affirmation(penegasan), reflective listening(mendengarkan dengan cara
merefleksikan), Summarising (menyimpulkan).Nasihat biasanya hanya diberikan
berdasarkan permintaan dan atas ijin pasien.. (Hall, et al., 2012)
Ada empat proses dalam melakukan Motivational Interviewing untuk
mendapatkan perubahan(Levounis, et al., 2017)yaitu :
a)EngagingEngaging mengacu pada menjalin dan membangun rapport serta
belajar mengenai pasien. Proses ini sangat diperlukan dalam MI dan beberapa jenis
intervensi yang lain untuk mewujudkan perubahan.
b)FocusingProses dari “focusing”melibatkan pengembangan agenda khusus,
mengembangkan tujuan untuk perubahan perilaku dan mengarahkan wawancara.
c)EvokingEvoking merupakan suatu proses untuk mengexplorasi dan
memunculkan motivasi seseorang untuk berubah. Dokter yang terampil mengasah
dalam aspek ambilivalen klien untuk perubahan tertentu dan menghentikan pendapat
yang tidak menyebabkan perubahan.
d)PlanningPada beberapa waktu selama proses motivational, pasien mungkin
menunjukkan tanda kesiapannya untuk berubah misalnya ditunjukkan dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang perubahan atau bagaimana mereka di lingkuangan agar
mereka bisa berubah. Jika klinisi sudah mengenali tanda ini maka proses planning
bisa dimulai. Rencana perubahan mencakup empat elemen penting yaitu menetapkan
tujuan yang jelas untuk perubahan perilaku, menggali cara-cara untuk berubah,
memutuskan rencana, dan melakukan rencana.
d.Cognitive Behavioral Therapy(CBT)
CBT adalah pendekatan
15 yang terfokus dan jangka pendek untuk mengarahkan

klien agar dapat mengenali situasi berisiko terhadap relaps kemudian menghindari
situasi tersebut dan melakukan adaptasi perilaku yang efektif berkenaan dengan
masalah dan perilaku yang berhubungan dengan penyalahgunaan zat (BNN, 2009).
Teknik CBT dipergunakan untuk membantu klien memodifikasi pikiran, harapan dan
perilaku mereka yang terkait penggunaan
NAPZA

e.Relaps Prevention(RP)
Relaps prevention adalah program kendali diri yang didesain untuk
mengedukasi seseorang yang berusaha mengubah perilakunya dan mengatasi problem
relaps.Relaps prevention merupakan suatu program psikoedukasi yang
menggabungkan prosedur latihan ketrampilan perilaku dengan teknikintervensi
kognitif. Prinsip utamanya adalah berdasarkan social learning theory.RP bertujuan
mendidik seseorang bagaimana mencapai lifestyle yang seimbang dan mencegah pola
kebiasaan yang tidak sehat. Klien dibimbing untuk mengenali High Risk Situation
atau situasi tertentu yang dapat menjadi ancaman terhadap kendali diri pasien dan
dapat menigkatkan risiko relaps(Purnomo & Hardjanto, 2016).

16
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Narkoba menjadi zat yang bisa memberikan manfaat dan juga merusak
kesehatan. Seperti yang sudah diketahui, ada beberapa jenis obat-obatan yang
termasuk ke dalam jenis narkoba yang digunakan untuk proses penyembuhan karena
efeknya yang bisa menenangkan. Namun jika dipakai dalam dosis yang berlebih, bisa
menyebabkan kecanduan. Penyalahgunaan ini mulanya karena si pemakai merasakan
efek yang menyenangkan.

B. Saran

Dari sinilah muncul keinginan untuk terus menggunakan agar bisa mendapatkan
ketenangan yang bersifat halusinasi. Meski dampak narkoba sudah diketahui oleh
banyak orang, tetap saja tidak mengurangi jumlah pemakainya.

17
DAFTAR PUSTAKA
Partodiharjo, subagyo. (2014). Kenali narkoba dan musuhi penyalahgunaannya.
Jakarta : Erlangga.
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt50f7931af12dc/keterkaitan-uu-
narkotika-dengan-uu-psikotropika/

http://youthproactive.com/201503/speak-up/permasalahan-penyalahgunaan-narkoba-
di-indonesia/

18

Anda mungkin juga menyukai