Anda di halaman 1dari 19

JAKSA SEBAGAI PENGACARA NEGARA MENURUT

UNDANG-UNDANG KEJAKSAAAN

Oleh: Laurensius Arliman S


(Dosen STIH Padang)

ABSTRAK

Kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahan telah
ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomr 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaaan Repub;ik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan
adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibdingan
penuntuttan di lingkungan peradilan umum, kejaksaan mewakili dan mempertahankan
kekuasaan negara, memperjuangkan kepentingan umum yang sangat membutuhkan
ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan. Pelaksanaan fungsi pengacara negara oleh
kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kejaksaan membina hubungan
kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi
lain. Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi
pemerintah lainnya.
Kata Kunci: Jaksa; Pengacra; Negara; Undang-Undang Kejaksaan

Pendahuluan
Founding fathers republik ini telah mencita-citakan Indonesia sebagai negara yang
berdasarkan hukum (Rechtstaat) bukan kekuasaan (Machtstaat), senada dengan hal
tersebut dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga telah ditegaskan bahwa Negara Indonesia
adalah Negara Hukum.1 Sebagai konsekuensi dari negara hukum tersebut, maka negara
Indonesia harus menjunjung tinggi supremasi hukum dengan berasaskan pada prinsip dasar
dari negara hukum yaitu equality before the law yang artinya adalah setiap orang
mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum. Sebagai suatu negara hukum, maka
sudah selayaknya juga segala sesuatu yang dijalankan dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat juga harus berada dalam koridor hukum, artinya dalam masyarakat mutlak
diperlukan hukum untuk mengatur hubungan antara warga masyarakat dan hubungan
antara masyarakat dengan negara.


1
Vide Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, dimana sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, Konstitusi
kita memiliki penjelasan yang menyebutkan “Negara indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat), tidak
berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat), namun setelah amandemen dilakukan Penjelasan tersebut
ditiadakan dan bukan lagi menjadi bagian dari konstitusi.



Berkaitan dengan hal tersebut, Satjipto Raharjo2 mengemukakan bahwa dalam
setiap masyarakat harus ada hukum yang mengatur perilaku-perilaku dan tata kehidupan
anggota masyarakat. Untuk adanya tata hukum dalam masyarakat diperlukan komponen
kegiatan yaitu pembuatan norma-norma hukum, pelaksana norma-norma hukum tersebut
dan penyelesaian sengketa yang timbul dalam suasana tertib hukum tersebut. Apabila
melihat bahwa di kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini, maka dapat dilihat bahwa
telah banyak peraturan-peraturan yang dikeluarkan untuk menjaga kelangsungan hidup
bernegara dan bermasyarakat. Dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut
menggambarkan adanya norma-norma hukum yang diciptakan untuk mengatur hak dan
kewajiban dari negara dan masyarakat. Pelaksanaan dari peraturan-peraturan yang
mengandung norma-norma hukum tersebut pada dasarnya merupakan bagian dari
penegakan hukum karena penegakan hukum adalah suatu upaya untuk menjaga agar
hukum harus ditaati. Pelanggaran atau penyimpangan dari hukum yang berlaku akan
dikenakan sanksi sesuai ketentuan yang diatur dalam hukum. Dalam hal inilah hukum
pidana digunakan. Dengan demikian, penegakan hukum dengan menggunakan perangkat
hukum pidana maupun hukum perdata juga merupakan upaya untuk memcari keadilan.
Menurut Lawrence M. Friedman,3 sistem hukum (legal system) adalah satu
kesatuan hukum yang terdiri dari tiga unsur yakni struktur hukum, substansi hukum, dan
kultur hukum. Secara sederhana, struktur hukum berkaitan dengan lembaga-lembaga atau
institusi-institusi pelaksana hukum atau dapat dikatakan sebagai aparat penegakan hukum.
Dalam hal hukum pidana, maka lembaga yang bertugas melaksanakannya terwujud dalam
suatu sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang pada hakikatnya merupakan
sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana yang terdiri atas kekuasaan penyidikan,
kekuasaan penuntutan, kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan serta kekuasaan
pelaksanaan putusan/pidana oleh badan/aparat pelaksana/eksekusi.4 Dalam proses
penegakan hukum pidana, unsur-unsur tersebut terwujud dalam lembaga Kepolisian,
Kejaksaan dan Pengadilan.
Substansi hukum merupakan keseluruhan asas-hukum, norma hukum dan aturan
hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan, dalam
hal substansi hukum pidana di Indonesia, maka induk perundang-undangan pidana materil

2
Sajipto Rahardjo, 1979, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung. Hlm. 102
3
Lawrence M. Friedman,1975, The Legal System, Asocial Secience Perspective, Russel Sage Foundation,
New York.
4
Barda Nawawi Arif, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Citra
Adtya Bakti, Bandung, hlm. 28



kita adalah Kitab undang-undang hukum Pidana (KUHP), sedangkan induk perundang-
undangan pidana formil (hukum acaranya) adalah Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Unsur ketiga dalam sistem hukum adalah Kultur hukum yakni
kebiasaan atau budaya masyarakat yang menyertai dalam penegakan hukum. Kultur
hukum tersebut berada pada masyarakat maupun pada aparat penegak hukum. Pada
prinsipnya, kultur hukum suatu bangsa sebanding dengan kemajuan yang dicapai oleh
bangsa bersangkutan karena hukum suatu bangsa sesungguhnya merupakan pencerminan
kehidupan sosial bangsa yang bersangkutan.5Friedman mengibaratkan sistem hukum itu
seperti pabrik, dimana “struktur hukum” adalah mesin, “substansi hukum” adalah apa yang
dihasilkan atau dikerjakan oleh mesin itu dan “kultur hukum” adalah apa saja atau siapa
saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan
bagaimana mesin itu digunakan. Dalam sebuah sistem hukum, aspek penegakan hukum
(law enforcement) merupakan pusat “aktifitas” dalam kehidupan berhukum. Penegakan
Hukum dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum
serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum
yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui
prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or
conflicts resolution). sedang dalam arti sempit, penegakan hukum itu menyangkut kegiatan
penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-
undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan pidana yang
melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan badan-badan
peradilan.6
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberi manfaat atau berdaya
guna (utility) bagi masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan
adanya penegakan hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak
dapat kita pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil,
begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu berguna bagi
masyarakat.7 Sehubungan dengan hal tersebut Jimly Asshiddiqie8 menyatakan masyarakat

5
Satjipto Rahardjo, 1986, Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional, CV. Rajawali,
Jakarta, hlm. 27
6
Jimly Asshiddiqie, 2006, Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia, disampaikan pada
acara seminar , “menyoal Moral Penegak hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas
Gadja Mada, 17 Februari, di akses 15 agustus 2014
7
Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum dan Rasa Keadilan Masyarakat,
Suatu sumbangan pemikiran, http://jimly.com/pemikiran /makalah, di akses Kamis 14 Agustus 2014
8
Ibid.



hanya menginginkan adanya suatu kepastian hukum, yaitu adanya suatu peraturan yang
dapat mengisi kekosongan hukum tanpa menghiraukan apakah hukum itu adil atau tidak.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu
tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat
menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa membeda-bedakan
siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif, individualistis dan tidak
menyamaratakan.9 Adil bagi seseorang belum tentu dirasakan adil bagi orang lain.
Senada dengan hal tersebut Jimly Asshiddiqie, menambahkan bahwa hukum tidak
dapat kita tekankan pada suatu nilai tertentu saja, tetapi harus berisikan berbagai nilai.
Hukum itu harus memenuhi berbagai karya disebut sebagai nilai dasar dari hukum. Nilai
dasar hukum tersebut adalah: keadilan, kegunaan dan kepastian hukum.10 Meskipun ketiga-
tiganya itu merupakan nilai dasar dari hukum, namun di antara terdapat suatu
spannungsverhaltnis (ketegangan), oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut
masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu sama lainnya, sehingga ketiganya
mempunyai potensi untuk saling bertentangan, untuk itulah proses penegakan hukum oleh
aparat penegak hukum diharapkan mampu menjembatani nilai-nilai dasar tersebut, tidak
salah bila kita mengingat ahli hukum dari belanda Taverne pernah mengatakan,"Geef me
goede Rechters, goede Rechters Commissarissen, goede Officieren Van Justitie en goede
Politie Ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboek van strafprocesrecht goed bereiken”
Berikan saya hakim yang baik, hakim pengawas yang baik, jaksa yang baik, dan polisi
yang baik, maka penegakan hukum akan berjalan walaupun dengan hukum pidana yang
buruk.
Dalam hal ini Kejaksaan Republik indonesia adalah lembaga pemerintahan yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang.11 Kejaksaan bukanlah hal yang asing bagi bangsa Indonesia, istilah
kejaksaan sendiri sudah ada sejak lama bahkan sebelum kemerdekaan. Pada zaman
kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa,
adhyaksa, dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertentu di kerajaan.
Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni dari kata-kata yang sama dalam Bahasa
Sansekerta. Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa


9
Sudikno Mertokusumo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Yogyakarta, hlm. 2
10
Satjipto Raharjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hlm. 21
11
Vide Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tetang Kejaksaan Republik Indonesia.
Selanjutnya disebut dengan UU Kejaksaan.



adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk
tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk
menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan, para dhyaksa ini dipimpin oleh
seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa.
Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan
antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang memerinitahkan pegawai-
pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang
Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen (Pengadilan Justisi) dan
Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) dibawah perintah langsung dari Residen / Asisten
Residen.12
Setelah indonesia merdeka fungsi Kejaksaan tetap dipertahankan. Hal itu
ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, yang diperjelas
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum
Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri
sesuai dengan ketentuan Undang-undang Dasar, maka segala badan dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku. Karena itulah, secara yuridis formal, Kejaksaan R.I. telah ada
sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Pada masa
Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan RI sesuai dengan
perubahan dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 1961 kepada Undang-undang Nomor 5
Tahun 1991, tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup
perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang
didasarkan pada adanya Keputusan Presiden No. 55 tahun 1991 tertanggal 20 November
1991. Berlanjut pada masa Reformasi hadir di tengah gencarnya berbagai sorotan terhadap
pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada. Karena itulah, memasuki
masa reformasi undang-undang tentang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 untuk menggantikan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991. Kehadiran undang-undang ini disambut gembira
banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka
dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya.13
Dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut menggambarkan adanya norma-norma
hukum yang diciptakan untuk mengatur hak dan kewajiban dari negara dan masyarakat.


12
http://www.kejaksaan.Go.Id/ sejarahkejaksaan.php.htm/diakses Kamis 14 Agustus 2014
13
Vide Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan



Pelaksanaan dari peraturan-peraturan yang mengandung norma-norma hukum tersebut
pada dasarnya merupakan bagian dari penegakan hukum karena penegakan hukum adalah
suatu upaya untuk menjaga agar hukum harus ditaati. Hukum dapat berperan baik dan
benar ditengah masyarakat jika instrument pelaksanaannya dilengkapi dengan
kewenangan-kewenangan dalam bidang penegakan hukum. Salah satu diantara
kewenangan-kewenangan itu adalah Kejaksaan RI. Kejaksaan R.I. adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Sebagai badan yang berwenang dalam
penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh
dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Jika berbicara mengenai kejaksaan sering diidentikan dengan perkara pidana. Hal
ini bisa jadi disebabkan dengan adanya fungsi Penuntutan14 oleh jaksa, yang mana fungsi
tersebut berada dalam ranah hukum pidana. namun disisi lain masih banyak hal-hal yang
belum banyak diketahui masyarakat, seluk beluk aktivitas apa saja yang sebenarnya
ditangani oleh instansi tersebut.15 Dalam perkara pidana, jaksa bertindak sebagai Penuntut
Umum di persidangan, yang bertugas melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim. Padahal, dengan adanya pembagian bidang dalam Organisasi dan Tata Kerja
Kejaksaan Republik Indonesia,16 yaitu melalui Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara
(DATUN), jaksa dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama negara, pemerintahan (instansi pemerintah pusat/daerah, badan usahan milik Negara
(BUMN), dan badan usaha milik daerah (BUMD), bahkan perorangan dalam lingkungan
selain hukum pidana. Seorang jaksa yang mewakili negara dan pemerintahan dalam
perkara DATUN biasa disebut Jaksa Pengacara Negara (JPN).
Jaksa Pengacara Negara adalah Jaksa dengan Kuasa Khusus, bertindak untuk dan
atas nama Negara atau Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan
dibidang perkara Perdata dan Tata Usaha Negara; Sebutan jaksa pengacara negara (JPN)
secara eksplisit tidak tercantum dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI dan undang-undang sebelumnya, yaitu Undang-undang Nomor 5 tahun 1991.

14
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3, Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia, Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara pidana dengan permintaan
supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan
15
Romli Atmasasmita, 2001, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakkan Hukum, Mandar
Maju, Bandung, hlm. 92
16
Llihat ketentuan Pasal 5 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Kejaksaaan Republik Indonesia



Justru secara formal istilah “Jaksa Pengacara Negara” termaktub dalam pasal 32 Undang-
undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Istilah Jaksa
Pengacara Negara terimplisit Pasal 24 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor. 38
Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yang
disebutkan bahwa Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara adalah
unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang
perdata dan tata usaha negara, bertanggung jawab kepada Jaksa Agung; atau dengan kata
lain bahwa Salah satu tugas Kejaksaan di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara yaitu
bertugas yakni mewakili pemerintah dalam beracara perdata.
Kejaksaan yang merupakan lembaga perwujudan penegakan hukum di Indonesia
memiliki tugas dan wewenang dalam kedudukannya yang diatur secara tegas dalam
Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, undang-undang Nomor 16 Tahun
2004. Diantaranya di bidang pidana, bidang perdata, bidang tata negara dan di bidang
ketertiban serta ketentraman umum. Selain itu dalam perannya ahli hukum berpendapat,
Kejaksaan memiliki fungsi yang sangat penting dalam mengendalikan perbuatan anti sosial
dalam masyarakat, Herbert L. Packer sebagaimana dikutip Ketut Gde Widjaja mengatakan:
“... a social problem that has a important legal dimension, the problem of trying to control
anti social behavior by imposing punishment on people found quilty of violating rules of
conduct called criminal states...”17yang merupakan masalah sosial yang memiliki dimensi
hukum yang penting, pada masalah mencoba untuk mengontrol perilaku anti sosial dengan
menerapkan hukuman pada orang yang ditemukan melanggar aturan perilaku yang disebut
dengan Negara criminal
Merujuk pada pasal 30 ayat (2) No. 16 Tahun 2004 bahwa di bidang perdata dan
tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun
di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah. Sebagai kuasa dari instansi
pemerintah atau BUMN, Jaksa Pengacara Negara diwakili oleh Kejaksaan sebagai Jaksa
Pengacara Negara berdasarkan Surat Kuasa Khusus (SKK) dan Tidak semua jaksa
otomatis menjadi Jaksa Pengacara Negara karena penyebutan itu hanya kepada jaksa-jaksa
yang secara struktural dan fungsional melaksanakan tugas-tugas perdata dan tata usaha
negara (Datun). Hal ini menggambarkan aspek hukum yang luas diperani oleh Kejaksaan.
Keberadaan fungsi tersebut ada karena keperluan nyata bagi pemerintah, disamping


17
Herbert L. Packer dalam Ketut Gede Wijaya, 2003, Fungsi Kejaksaan dalam Kejaksaan. Laporan hasil
Penelitian Disertasi, hlm. 3



kegiatan yang bersifat publik tidak sedikit pula kegiatan keperdataan yang dilakukan oleh
pemerintah sehingga untuk kegiatan ini pemerintah sebagai badan hukum memerlukan
wakil sebagai kuasanya dan Kejaksaan ditunjuk mewakili kepentingan pemerintah.18
Memang ada kesan masyarakat selama ini seolah-olah Kejaksaan hanya sebagai
penuntut umum, meskipun pada pemerintahan Hindia Belanda juga disebut dalam pasal
55 RO (Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie in Indonesie) atau Reglemen
Organisasi Peradilan di Indonesia, bahwa tugas pokoknya menegakkan ketentuan hukum
dan keputusan penguasa umum, penuntutan kejahatan dan pelanggaran, dan melaksanakan
putusan hakim. Namun, dalam RO yang sama pada Pasal 181 disebutkan, kepada Jaksa
Agung diberikan wewenang memelihara ketertiban dan keamanan umum. Penugasan
terakhir ini, yang juga tercantum dalam Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan RI Pasal 30 Ayat (3) diberikan kepada bidang Intelijen Kejaksaan Agung.
Sedang menyangkut bidang perdata dan tata usaha negara kepada Kejaksaan diberikan
kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah, Ini jelas adalah fungsi jaksa sebagai pengacara negara.
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan berada pada posisi
sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan
berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di
persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan putusan pengadilan. Dengan
begitu Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi
Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke
Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Bahwa selain dari melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan Hakim dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (executive ambtenaar).
Kejaksaan juga memiliki tugas dan wewenang dalam bidang pidana lainnya yakni
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyelidikan terhadap tindak
pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk
itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.19


18
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, 2011, Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara
Sebagai Kantor Pengacara Negarara, Jakarta, hlm. 1
19
Vide Pasal 30 ayat (1) UU Kejaksaan.



Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau
pemerintah, adapun yang dapat dilakukan jaksa dalam bidang ini antara lain melakukan
penegakan hukum; bantuan hukum sebagai jaksa pengacara negara; melakukan pelayanan
hukum kepada masyarakat; memberikan pertimbangan hukum kepada lembaga
pemerintah; dan melakukan tindakan hukum lain. Sedang dalam bidang ketertiban dan
ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan peningkatan kesadaran
hukum masyarakat; pengamanan kebijakan penegakan hukum; pengawasan peredaran
barang cetakan; pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat
dan negara; pencegahan penyalahgunaan dan penodaan agama; penelitian dan
pengembangan hukum serta statistik kriminal.
Dalam hal peraturan perundang-undangan memenuhi kebutuhan hukum terkait
bidang perdata ini dengan membentuk suatu unit kerja dalam lingkungan Kejaksaan
dengan nama Jaksa Agung Muda dan Tata Usaha Negara (JAM DATUN). Keberadaan
JAM DATUN ini merupakan bentuk upaya pemulihan dan penyelamatan kekayaan negara
yang bertujuan memulihkan perekonomian serta meningkatkan kesejahteraan dan taraf
hidup masyarakat. Sejak berdiri pada tanggal 21 Januari 1992, selama kurun waktu 20
tahun JAM DATUN telah ikut menentukan wajah (performance) Kejaksaan sebagai salah
satu lembaga penegak hukum dengan misi yang diembankan kepadanya.20 Atas dasar
peraturan-peraturan yang membatasinya, berdasarkan catatan tentang jumlah
lembaga/badan negara, lembaga/instansi pemerintah pusat dan daerah, BUMN/ BUMD,
ternyata baru sekitar 20% yang memanfaatkan peranan Kejaksaan di bidang perdata dan
tata usaha negara ini.21 Dengan demikian artinya peranan Kejaksaan khususnya di bidang
perdata ini belum diberdayakan oleh para stake holder (pemangku kepentingan) dalam
melaksanakan tindakan hukumnya sejauh ini. Hingga saat ini Kejaksaan dalam menangani
kasus perdata belum memperlihatkan eksistensinya pada permukaan, dalam konteks
memenuhi pelaksanaan sebagai wadah pelaksana penyelesaian perkara perdata. Hal ini
dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari segi subjek hukum itu sendiri maupun faktor
lingkungan atau daerah wilayah hukum Kejaksaan tersebut. Hal ini menjadi penyebab yang
membuat masyarakat umum tidak mengetahui peranan Kejaksaan sebagai jaksa pengacara


20
Pengarahan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara, 2011, Optimalisasi Kinerja Melalui
Penguatan SDM dan Strategi Marketing Guna Revitalisasi Peranan Kejaksaan di Bidang Datun, Rapat
Kerja Kejaksaan Republik Indonesia, Cianjur, hlm. 2
21
Ibid. hlm 3



negara yang dimaksudkan oleh peraturan perundang-undangan. Berdasarkan kewenangan-
kewenangan dimiliki oleh Kejaksaan yang telah penulis uraiankan bersasarkan peraturan
perundang-undangan, dan dengan persoalan-persoalannya maka penulis merasa tertarik
untuk membahas dan meneliti bagaimanakah Kedudukan dan Peran Jaksa dalam
menjalankan fungsinya Sebagai Pengacara Negara Menurut Undang-undang Nomor 16
tahun 2004 tentang Kejaksaan.

Independensi Kejaksaan Dalam Melaksanakan Tugas Sebagai Pengacara Negara


Sebagai lembaga penegak hukum di lingkungan eksekutif yang penting, kejaksaan
diharapkan muncul paradigma baru yang tercermin dalam sikap dan perasaan. Sehingga
Jaksa memiliki jati diri dalam memenuhi profesionalitas sebagai wakil Negara dan wakil
Negara dalam penegakan hukum. Profesionalisme jaksa terhambat oleh masalah-masalah
seperti independensi, pelanggaran kode etik, penurunan kualitas sumber daya manusia.
Intervensi dalam tubuh kejaksaan menjadi menghambat independensi sehingga
menghambat profesionalisme jaksa dalam mengatasi sebuah perkara demi penegakan
hukum dalam kekuasaan peradilan.
Di sisi keahlian, maka demi meningkatkan keahlian jaksa perlu meningkatkan
mengasah kemampuan melalui berbagai pembelajaran. Baik pendidikan formal maupun
non formal. Disamping itu, pekerjaan di bidang hukum seharusnya bersifat rasional. Maka
dibutuhkan sifat rasional berupa sikap ilmiah yang mempergunakan metodologi modern.
Sehingga dapat mengurangi sifat subjektif jaksa terhadap perkara-perkara yang akan
dihadapinya. Dilihat dari keahlian Jaksa, kemampuan menganalisa sebuah kasus. meskipun
perkara tampak sepintas sama, namun keharusan untuk menganalisa sebuah kasus
memiliki keunikan tersendiri. Kemampuan menganalisis bukan hanya didasarkan
pendekatan yang legalitas, positivis dan mekanistis. Seorang jaksa, dituntut dapat
memahami peristiwa pidana secara menyeluruh agar kebenaran dapat ditemukan sehingga
kebenaran dapat ditemukan dan menghasilkan putusan yang adil.

Peningkatan Profesionalisme Jaksa melalui penegakan Independensi


Jaksa berada dalam lembaga kejaksaan adalah salah satu pilar hukum. Lembaga kejaksaan
dan Profesi Jaksa memiliki tuntutan masyarakat agar berjalan secara profesional serta
terjaga independensinya. Independensi Jaksa dalam menegakkan keadilan terhambat
dengan intervensi politik dari pemerintahan yang dialami lembaga kejaksaan. Profesi



jaksa sudah terbukti memiliki peran strategis, Daniel S. Lev menggambarkan dinamika
politik mempengaruhi tingkat independensi profesi ini. Intervensi politik telah
menghambat profesionalisme Jaksa. Hambatan berawal dari kedudukan lembaga
kejaksaan di dalam sistem ketatanegaraan republik Indonesia. Keberadaannya yang berada
di lingkungan eksekutif. Profesionalisme jaksa diuji ketika terdapat masalah independensi
lembaga.
Prosedur penuntutan yang sentralistik. Sesuai dengan dasar doktrin een en
ondelbaar, berakibat mewajibkan setiap Jaksa penuntut umum untuk mengajukan rencana
tuntutan kepada atasannya. Pola Rentut membuka peluang adanya intervensi atasan
kepada bawahan, padahal sebagai Jaksa harus independen. Berbeda dengan hakim yang
dijamin independensinya berwenang memberikan putusan maka, wewenang jaksa
mengajukan tuntutan di persidangan belum dijamin. Jaksa harus berkonsultasi dan
mendapatkan persetujuan dari atasannya secara berjenjang bergantung jenis tindak
pidananya dalam melakukan proses tuntutan.
Kewajiban Rencana Tuntutan Pidana ini menjadikan jaksa menjadi tidak lagi
merdeka dalam menjalankan tugas dan fungsinya dan berpotensi menghambat
profesionalisme seorang jaksa. Kewajiban Rencana Tuntutan (rentut) ada sejak 1985
melalui Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 09/1985. Pada awalnya, pola rentut
hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung
yang berubah seiring dengan perkembangan zaman. Untuk tindak pidana umum,
kewajiban rentut ini juga dapat ditemukan hingga saat ini dalam Peraturan Jaksa Agung
036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur Penanganan Perkara Pidana
Umum.
Pasal 37 Perja 036/A/JA/09/2011 menyebutkan bahwa Penuntut Umum membuat
Surat Tuntutan Pidana dan mengajukan rencana tuntutan pidana secara berjenjang sesuai
hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara. Kepala Kejaksaan sesuai hierarki
memberikan petunjuk tuntutan yang harus dilaksanakan oleh penuntut umum di
persidangan. Dalam pasal ini pula saat jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan bebas,
dia harus melakukan gelar perkara terlebih dahulu dihadapan pimpinan Kejaksaan sesuai
hierarki kebijakan pengendalian penanganan perkara. Mencermati Pasal 39 Perja ini, dapat
disimpulkan secara garis besar dapat disimpulkan bawah independensi jaksa memang
dibatasi dan baru diberikan untuk hal-hal tertentu yang harus diatur secara khusus.



Dikhawatirkan Pola Rentut ini membuka peluang adanya intervensi atasan kepada
bawahan, padahal sebagai seorang Jaksa harus independen. Kewajiban Rencana Tuntutan
Pidana ini menjadikan jaksa menjadi tidak lagi merdeka dalam menjalankan tugas dan
fungsinya dan berpotensimenghambat profesionalisme Jaksa. Selain itu juga bertentangan
dengan Guidelines on the Role of Prosecutors and international Association of
Prosecutors juga tidak selaran dengan hasil resolusi pertemuan “The Eropean Status of
Justice” sebagaimana diatur dalam Section 9.1 dan Section 9.2, yakni:
1) Section 9.1. the following: Self-government in prosecution creates an essential
instrument of judicial power independence. Judges (public officers) in prosecution
secure equality of citizens before the law. They discharge their functions
independently on political power. They are subordinated to law only.
2) Section 9.2. Judges (prosecutors) who discharge their functions in prosecution
shall have identical rights and identical guarantees as stated in the Status
hereof.38
Kedua hal tersebut di atas mengamanatkan kemampuan untuk memutuskan secara mandiri
dalam lembaga penuntutan merupakan instrumen penting dalam mewujudkan kekuasaan
kehakiman yang mandiri. Pemerintah harus melepasakan kekuasaan mereka dari
kekuasaan lainnya, termasuk kekuasaan penuntutan selain itu adanya jaminan hak dan
kewajiban Jaksa secara hukum di dalam melakukan proses penuntutan. Padahal
kemampuan seorang Jaksa untuk memutuskan secara mandiri dalam lembaga penuntutan
merupakan instrumen penting dalam mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman.
Oleh karenanya untuk meningkatkan profesionalisme jaksa sebagai penuntut umum, maka
harusnya kewajiban rentut ini dihapus untuk meningkatkan independensi Jaksa.
Selanjutnya, agar menegakkan independensi jaksa secara tegas. Maka harus diatur
menghilangkan pola runtut dalam peraturan Jaksa demi menegakkan independensi
kekuasaan penuntutan. Karena independensi jaksa perlu dijamin sebagai bentuk
kepercayaan masyarakat terhadap jaksa sebagai wakil masyarakat dalam proses perkara
pidana. Sehingga masalah tuntutan pidana diberi kepercayaan sepenuhnya kepada Jaksa
Penuntut Umum yang menangani perkara pidana.

Peningkatan Profesionalisme Jaksa melalui penegakan Kode Etik Jaksa


Meskipun independensi Jaksa telah terjamin. Akan tetapi belum lengkap apabila
tidak dibarengi dengan pemberdayaan aparatur Negara kejaksaan. Pemberdayaan berdasar



undang-undang aparatur sipil Negara agar menjadi lembaga yang professional dan
berintegritas. Kejaksaan diharapkan terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan untuk
menciptakan kondisi yang mendukung dalam mengamankan pelaksanaan pembangunan
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, serta kewajiban untuk turut menjaga dan
menegakan keadilan di Negara serta melindungi kepentingan masyarakat.
Visi dan misi kejaksaan untuk mencapai maksud tersebut, maka aparat Kejaksaan
perlu meningkatkan kinerja dengan optimal di segala bidang dengan berorientasi pada visi
dan misi agar berupaya demi perlindungan dan penegakan kepentingan umum dan
kepentingan hukum serta senantiasa berpegang pada asas persamaan di depan hukum.
Pemberdayaan sumber daya manusia Kejaksaan seyogyanya melakukan peningkatan
kualitas melalui pembinaan yang tepat demi menjadikan kejaksaan menajdi berkualitas
yang baik dari waktu ke waktu. Melalui pembinaan Jaksa dalam pembangunan bidang
aparatur Negara berperan strategis untuk mendukung keberhasilan pembangunan nasional.
Maka untuk meningkatkan kualitas dan profesionalisme aparatur Negara, kini perlu
dipersiapkan suatu pemeberdayaan manusia di lembaga kejaksaan.
Sumber daya manusia merupakan faktor yang menentukan keberhasilan dalam
setiap organisasi. Dapat dikatakan Sumber Daya Manusia menjadi salah satu unsur
kekuatan daya saing bangsa, bahkan penentu utama. Oleh sebab itu, SDM harus memiliki
kompetensi dan kinerja tinggi. Dan dalam konteks berbangsa, SDM tidak saja dituntut
untuk menjadi professional dan sebagai pembangun citra pelayanan publik, tetapi juga
dituntut sebagai perekat dan pemersatu bangsa22.
Profesionalisme Jaksa sangat penting untuk menunjukkan keberhasilan institusi
lembaga kejaksaan. Individu kejaksaan perlu untuk memberdayakan sesuai individu demi
keberhasilan lembaga kejaksaan secara menyeluruh agar hukum dapat terlaksananya di
masyarakat. Karena ditangan aparat hukum itulah hukum itu hidup dan berkembang. Maka
profesionalisme aparat penegak hukum tercermin pada citra positif seorang penegak
hukum perlu di masyarakat. Ditangan seorang aparat penegak hukum disitulah hukum
hidup, dan karena kekuatan atau otoritas, yang dimilikinya. inilah sampai muncul
pertanyaan bahwa,”It doesn’t matter what the law says. What matters is what the guy
behind the desk interprets the law to say”. Menurut pendapat dari beberapa pakar sosiologi


22
Sedarmayanti, 2013, Manajemen Sumber Daya Manusia, Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai
Negeri Sipil, Bandung: Refika Aditama, hlm.v.



hukum sering menyebutkan bahwa hukum itu tidak lain adalah perilaku pejabat-pejabat
hukum.
Seorang Jaksa sebagai wakil masyarakat dalam penuntutan sebenarnya bukan
hanya memenuhi unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, namun
memperjuangkan keadilan hukum yang terjadi di masyarakat. Dalam penegakan hukum,
hukum bukanlah sesuatu yang bersifat mekanistis, tapi hukum bergantung pada sikap
tindakan penegak hukum itu sendiri. Maka melalui tindakan dan perilaku aparat penegak
hukum itu tujuan hukum yang tertulis dapat tercermin melalui pelaksanaan hukum itu.
Sehingga perlunya mengawal penegakan hukum agar sesuai dengan keadilan.
Profesi Jaksa mendapat tantangan dalam rangka penegakkan hukum. Profesi jaksa
memerlukan suatu tanggung jawab yang besar baik individual maupun sosial terutama
ketaatan terhadap norma-norma hukum positif serta tunduk pada kode etik profesi.
Lembaga kejaksaan melalui kode etik kejaksaan memiliki nilai-nilai luhur dan ideal
sebagai pedoman perilaku dalam satu profesi. Kode etik Jaksa apabila dijalankan sesuai
dengan sesuai tujuan akan menghasilkan para Jaksa yang professional dan mempunyai
kualitas moral yang baik.
Kode etik Jaksa adalah Tata Krama Adhyaksa dimana Jaksa akan berjanji untuk
akan melaksanakan tugasnya dan beriman kepada Tuhan yang Maha Esa serta
memepertanggung jawabkan dirinya kepada bangsa dan Negara. Dengan adanya doktrin
ini maka akan memperkuat sistem pengawasan Jaksa karena adanya dua peraturan yang
dilanggar jika ada pelanggaran. Etika berasal dari kata “ethos” yang berarti sifat menjadi
orang baik. Ethos diartikan sebagai kesusilaan, kecenderungan perasaan batin seseorang
untuk berbuat kebaikan. Etika merupakan semacam batasan atau standar yang mengatur
pergaulan manusia didalam kelompok sosialnya. Untuk kode etik profesi jaksa di
Indonesia telah diatur dalam peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia nomor: PER-
067/A/JA/07/2007 tentang kode etik jaksa. Dimana dalam Pasal 4 ,
Dalam melaksanakan tugas profesi, Jaksa dilarang:
1. Menggunakan jabatan dan/atau kekuasaannya untuk kepentingan pribadi dan/atau
pihak lain;
2. Merekayasa fakta-fakta hukum dalam penanganan perkara;
3. Menggunakan kapasitas dan otoritasnya untuk melakukan penekanan secara fisik
dan/atau psikis;



4. Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan serta melarang
keluarganya
5. Meminta dan/atau menerima hadiah dan/atau keuntungan sehubungan dengan
jabatannya;
6. Menangani perkara yang mempunyai kepentingan pribadi atau keluarga,
mempunyai hubungan pekerjaan, partai atau finansial atau mempunyai nilai
ekonomis secara langsung atau tidak langsung;
7. Bertindak diskriminatif dalam bentuk apapun;
8. Membentuk opini publik yang dapat merugikan kepentingan penegakan hukum;
9. Memberikan keterangan kepada publik kecuali terbatas pada hal-hal teknis perkara
yang ditangani.

Pemberdayaan kejaksaan dapat dilakukan dengan memampukan diri mengantisipasi


situasi dan tuntutan yang sedang dan yang akan berkembang dengan sangat pesat.Cara
yang dilakukan ialah dengan jalan mempersiapkan sumber daya manusia yang aspiratif,
responsif, dan pro aktif, serta aparatur yang integritas moralnya cukup kokoh dan
kematangan intelektualnya cukup mantap serta berkemampuan profesional yang tinggi.
Permasalahan pelanggaran kode etik Jaksa mulai berkembang mulai dari
munculnya kasus jaksa seperti suap menyuap, jaksa nakal, jual beli perkara sampai tindak
pidana asusila. Menurut data bahwa pada Tahun 2015, tercatat pemecatan sebanyak Jaksa
di tingkat pusat dan daerah. Tercatat pada Juli 2015, ada 60 jaksa yang sudah dipecat
karena melakukan perbuatan indisipliner dan melanggar kode etik. Pelanggaran yang
dilakukan karena terindikasi menggunakan narkoba, sering bolos kerja, dan mencuri
barang-barang sitaan yang masuk perkara23.
Jaksa Agung Muda Pengawasan, Jasman Panjaitan mencatat bahwa pemecatan
Jaksa lebih tinggi dari pada tahun lalu. hingga akhir 2014 lalu Kejagung hanya memecat 40
jaksa nakal yang ada di seluruh Indonesia. Jumlah yang jauh lebih sedikit dibanding
pemecatan terhadap jaksa hingga pertengahan tahun ini yang mencapai angka 60 orang.
Beberapa jabatan pimpinan kejaksaan yang kosong karena pemecatan itu adalah Asisten
Pidana Umum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari)
Cibadak, dan Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Cibadak.

23
Lalu Rahadian,“Jaksa Harus Punya Integritas Kalau Enggak Mending Dagang”, CNN Indonesia, lihat
dalam: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150808184849-12-70866/jaksa-harus-punya-integritas-
kalau-enggak-mending-dagang/, diakses pada tanggal 10 Agustus 2016.



Hal ini tidak boleh dibiarkan karena profesi Jaksa ialah posisi yang terhormat dan
memiliki kedudukan yang penting dalam proses penegakan hukum. Lembaga kejaksaan
memiliki kedudukan penting dalam proses peradilan Negara. Sehingga perlunya menjaga
integritas jaksa sebagai pejabat hukum. Sehingga, sangat disayangkan apabila ternodai oleh
adanya kasus pelanggaran yang terjadi di tubuh kejaksaan.
Profesi hukum membutuhkan integritas didalamnya, menurut Jaksa Agung Abdul
Rahman Saleh. Integritas ialah harga mati pada profesi hukum khususnya Jaksa. Karena
integritas Jaksa sangat penting dibanding ilmu dan pengalaman yang dimiliki seorang jaksa
sebagai penegak hukum. Dan hanya orang-orang yang punya integritas, yaitu keberanian,
kejujuran, keadilan, yang layak untuk bekerja di bidang hukum24.
Merosotnya profesionalisme di kalangan jaksa baik di tataran atas dan bawah
seperti Keahlian, rasa tanggung jawab, disiplin, integritas, dan kinerja terpadu nampaknya
membuktikan profesionalisme mulai mengendur. Maka, perlunya mengasah keahlian serta
pengawasan kode etik demi kelancaran suatu profesi itulah yang perlu dilakukan. Profesi
Jaksa telah dilengkapi dengan kode etik Jaksa. Keberadaan kode etik pada dasarnya
internal kelembagaan yang berkaitan, dan tujuannya untuk melindungi profesi
bersangkutan dengan pelayanan atas kepentingan publik25.
Disamping berupaya menjadikan lembaga kejaksaan yang independen, Penegakan
kode etik jaksa dapat dilakukan dengan pembuatan standar operasional yang jelas dan
pemberian sanksi yang tegas. Pemberian sanksi tegas ini supaya meminimalisir dan
menimbulkan efek jera bagi pelanggarnya. Selain juga bertujuan untuk meningkatkan
Profesionalisme sumber daya manusia di kejaksaan. Upaya pemberdayaan sumber daya
manusia kejaksaan ini untuk mengukuhkan kekuasaan penuntutan menjadi lembaga yang
bermoral dan berkualitas.
Apabila upaya diatas telah dijalankan, maka akan menghasilkan para Jaksa sebagai
aparatur Negara yang professional dan mempunyai kualitas moral yang baik. Permasalahan
yang menerpa kejaksaan mengakibatkan kejaksaan harus direformasi. Profesionalisme
Jaksa sangat penting untuk menunjukkan terlaksananya hukum di masyarakat. Karena
ditangan seorang jaksa sebagai aparat penegak hukum disitulah hukum hidup, dan karena
kekuatan atau otoritas, yang dimilikinya.


24
Ibid.
25
Jimly Assidiqie, 2005, Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru tentang Rule Of Law and Rule
Of Ethics & Constitutional Law and Constitutional Ethics”. Sinar Grafika, Jakarta. hlm. 46.



Maka, Peningkatan profesionalisme sumber daya manusia Kejaksaan seyogyanya
melakukan peningkatan kualitas melalui cara diatas. Melalui pembinaan Jaksa dalam
pembangunan bidang aparatur Negara berperan strategis untuk mendukung keberhasilan
pembangunan nasional.

Kesimpulan
Kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahan telah
ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomr 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaaan Repub;ik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan
adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama dibdingan
penuntuttan di lingkungan peradilan umum, kejaksaan mewakili dan mempertahankan
kekuasaan negara, memperjuangkan kepentingan umum yang sangat membutuhkan
ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan. Pelaksanaan fungsi pengacara negara oleh
kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya kejaksaan membina hubungan
kerjasama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi
lain. Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi
pemerintah lainnya.
Independeni kejaksaan dalam melaksankan tugas sebagai jaksa pengacara negara bahwa
“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan
kehakiman” bukan lain-lain badan pengadilan, kedudukan kejaksaan dalam sistem
ketatangeraan adalah merupakan penuntut umum dalam perkara pidana yang mewakili
negara dan masyarakat.

Daftar Pustaka
Buku
Barda Nawawi Arif, 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan. Citra Adtya Bakti, Bandung
BN. Marbun, 2006. Kamus Hukum Indonesia. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Em Zul Fajri dan Ratu Aprillia Senja, 2008. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Difa
Publisher, Jakarta
Jimly Asshiddiqie, 2008. Penegakan Hukum. Sinar Grafika, Jakarta
Jhonny Ibrahim, 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media
Publishing, Malang, Jawa timur.



Lawrence M. Friedman, 2001. American Law An Introduction. Second Edition (Hukum
Amerika : Sebuah Pengantar, Penerjemahan : Wisnu Basui ), Tatanusa, Jakarta
__________________1975. The Legal System, Asocial Secience Perspective. Russel Sage
Foundation, New York.
__________________. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Nusa Media, Bandung
Mardjono Reksodiputro, 2007. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan
Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI, Jakarta.
Moeljatno, 2009. Asas-Asas Hukum Pidana. Cetekan ke VIII, PT Rineka Cipta, Jakarta
Romli Atmasasmita, 2001. Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia dan Penegakkan
Hukum. Mandar Maju, Bandung,
Satjipto Rahardjo, 1986. Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional.
CV. Rajawali, Jakarta
______________, 1986. Ilmu Hukum. Alumni, Bandung
______________, 1979. Hukum dan Perubahan Sosial. Alumni, Bandung
Salim, 2010. Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Sudikno Mertokusumo, 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum. Citra Aditya Bakti,
Yogyakarta
___________________, 1991. Mengenal Hukum. Liberty, Yogyakarta
Soerjono Soekanto, 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Cetakan
ke XI, PT. Raja Grafika Persada, Jakarta
Soerjono Soekamto, 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia, Jakarta
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, 2006. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Gravindo Persada, Jakarta
Trisno Raharjo, 2011. Mediasi Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana. Mata Padi
Pressindo, Yogyakarta.
Peter Mahmud Marzuki, 2006. Penelitian Hukum. Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kejaksaaan Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai