Anda di halaman 1dari 11

TUGAS MANDIRI

Bucephalandra Sebagai Tanaman Endemik Kepualauan Kalimantan

Mata Kuliah Konservasi Keanekaragaman Hayati


Dosen: Dr. Susanti Withaningsih

Disusun oleh :
RAMA ARISTIYO
250120207007

MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


UNIVERSITAS PADJAJARAN
2021
Pandemi Covid19 mengharuskan seluruh masyarakat membatasi aktifitas di
luar rumah dan melakukan seluruh aktifitas di rumah demi meminimalkan terjadinya
kontak fisik terhadap orang laindemi memutus rantai penularan Covid19. Pemerintah
pusat dan pemerintah daerah juga memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) dan menerapkan Work from Home (WFH) bagi para pekerja dan Study from
Home (SFH) bagi para pelajar dengan memanfaatkan berbagai platfrom yang
mendukung pertemuan secara online. Dengan berbagai pembatasan aktifitas di luar
maka tentu saja rasa bosan meningkat selama pandemi terjadi. Berbagai aktifitas-
aktifitas yang dapat dilakukan di dalam ruangan pun semakin beragam demi
mengatasi rasa bosan yang meningkat ini. Salah satu aktifitas yang peminatnya
meningkat selama pandemi ini adalah Aquascape. Dilansir pada wikipedia,
aquascape adalah seni mengatur tanaman, air, batu, karang, kayu dan lainnya di
dalam media kaca atau akrilik berbentuk kotak kaca maupun bentuk lainnya yang
serupa akuarium. Aquascape tidak hanya memelihara ikan tapi juga memelihara
semua komponen yang ada di dalam akuarium dengan berbagai pendekatan dan
ketelitian. Aquascape juga digolongkan pada jenis hobi yaitu memelihara ekosistem
air tawar pada media akuarium. Aquascape bermula pada tahun 1369, ide seorang
kaisar China membuatkan wadah untuk memelihara ikan hias.

Berdasarkan definisi yang telah disebutkan di atas bahwa aquascape tidak


hanya memelihara ikan air tawar saja namun lengkap dengan ekosistem yang ada di
alam juga diusahakan ada di dalam media akuarium tersebut. Salah satu unsur penting
yang ada di dalam aquascape adalah elemen flora atau tanaman, baik tanaman air
maupun semi air untuk melengkapi ekosistem air tawar buatan pada aquascape ini.
Salah satu jenis tanaman yang paling banyak diminati untuk melengkapi elemen
dalam aquascape ini adalah jenis tanaman Bucephalandra atau yang biasa disebut
“Buce”. Peminat Buce ini bukan hanya berasal dari kalangan lokal maupun nasional,
bahkan sudah sampai ke pasar internasional. Tidak sedikit marketplace yang menjual
Buce ini dengan harga yang beragam. Bahkan pada situs aquasabi.com menjual 1 pot
kecil tanaman Buce dengan harga mulai dari € 6,50 (sekitar Rp. 110.000,00) sampai
dengan € 29,90 (sekitar Rp. 509.000,00).

Media Fitri Isma Nugraha dkk menyebutkan bahwa Bucephalandra sp.


merupakan salah satu tumbuhan air yang paling eksotik dan endemik di pulau
kalimantan dan diburu oleh para penghobi tumbuhan akuarium yang menjadi populer
beberapa tahun terakhir ini. Secara taksonomi, Bucephalandra sp. dibagi menjadi tiga
nama ilmiah yaitu B. gigantea, B. motleyana, dan B. catherinaea. Spesies ini
memiliki daya tarik tersendiri bagi para naturalis dan penyuka flora akuatik. Mereka
memiliki pertumbuhan yang khas dan selalu ada di manapun di daerah lembab dan
berair. Variasi karakter morfologisnya merupakan salah satu yang paling menarik di
pasar flora akuatik. Pada penelitian ini, total 194 Bucephalandra sp. genotipe
dikumpulkan dari pasar dengan nama komersial yang berbeda. Banyaknya nama
komersial spesies tertentu yang diberikan oleh penjual merupakan salah satu bentuk
strategi penjualan untuk meningkatkan nilai ekonominya. Namun, hal itu
menimbulkan kebingungan dalam sistematika botani dan taksonomi tumbuhan.

J. Bogner dan A. Hay, 2000 menyebutkan Bucephalandra motleyana adalah


yang pertama dari Schismatoglottideae rheophytic yang ditemukan, dinamai oleh
Schott pada tahun 1858 (Schott, 1858). Spesies yang sama ini ditemukan kembali
oleh Beccari, yang mendeskripsikan genus baru, Microcasia, untuk itu - disesatkan
oleh deskripsi asli Bucephalandra yang tidak akurat. Beccari (1879) mengira ini
adalah yang terkecil dari semua aroids, meskipun perbedaan itu sekarang pergi ke
Duckweed Wolffia (sebelumnya dari Lemnaceae). Namun demikian, dari aroids
dalam pengertian tradisional, itu memang salah satu yang paling menit, kadang-
kadang berbunga ketika tingginya hanya beberapa sentimeter.

Selanjutnya Yeng dkk, 2014, memaparkan jenis-jenis yang telah ditemukan dan
diteliti dari Bucephalandra yang terdiri dari:

1. Bucephalandra Akantha yang ditemukan di Sarawak Bahagian Kuching,


Malaysia;
2. Bucephalandra Aurantiitheca yang ditemukan di Kecamatan Nanga
Taman Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat;
3. Bucephalandra Belindae yang ditemukan di Kecamatan Nanga Pinoh
Kabupaten Melawi Kalimantan Barat;
4. Bucephalandra Bogneri yang ditemukan di Sarawak Bahagian Kuching
Malaysia;
5. Bucephalandra Chaterineae yang ditemukan di Kecamatan Kayan Hulu
Kabupaten Malinau Kalimantan Utara;
6. Bucephalandra Chimaera yang ditemukan di Kecamatan Nanga Taman
Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat;
7. Bucephalandra Chrysokoupa yang ditemukan di Kecamatan Mentarang
Hulu Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara;
8. Bucephalandra Diabolica yang ditemukan di Kecamatan Sayan
Kabupaten Melawi Kalimantan Barat;
9. Bucephalandra Elliptica yang ditemukan di Sarawak Malaysia;
10. Bucephalandra Forcipula yang ditemukan di Kecamatan Nanga Taman
Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat;
11. Bucephalandra Gigantea yang ditemukan di Kabupaten Kutai Barat
Kalimantan Timur;
12. Bucephalandra Goliath yang ditemukan di Kecamatan Nanga Pinoh
Kabupaten Melawi Kalimantan Barat;
13. Bucephalandra Kerangas yang ditemukan di District Simumjan Bahagian
Samarahan Sarawak Malaysia;
14. Bucephalandra Kishii yang ditemukan di Kecamatan Nanga Taman
Kabupaten Melawi Kalimantan Barat;
15. Buchepalandra Magnifolia yang ditemukan di Kecamatan Krayan
Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara;
16. Bucephalandra Minotaur yang ditemukan di perbatasan antara Kabupaten
Sekadau dan Melawi di Kecamatan Nanga Pinoh kalimantan Barat;
17. Bucephalandra Motleyana yang ditemukan di Kalimantan Selatan;
18. Bucephalandra Muluensis yang ditemukan di Bahagian Miri Sarawak
Malaysia;
19. Bucephalandra Oblanceolata yang ditemukan di Bukit Peradayan
Provinsi Temburong Brunei Darussalam;
20. Bucephalandra Oncophora yang ditemukan di Kecamatan Nanga Taman
Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat;
21. Bucephalandra Pubes yang ditemukan di Kecamatan Sekadau Kabupaten
Sekadau Kalimantan Barat;
22. Bucephalandra Pygmaea yang ditemukan di Sungai Entabai Julau
Bahagian Sarikei Sarawak Malaysia;
23. Bucephalandra Sordidula yang ditemukan di Kecamatan nanga Pinoh
Kabupaten Melawi Kalimantan Barat;
24. Bucephalandra Tetana yang ditemukan di Kecamatan Serawai Kabupaten
Sintang Kalimantan Barat;
25. Bucephalandra Ultramafica yang ditemukan di Gunung Tawai Sandakan
Sabah Malaysia;
26. Bucephalandra Vespula yang ditemukan di Kecamatan Sekadau Hilir
Kabupaten Sekadau Kalimantan Barat;
27. Bucephalandra Yengiae yang ditemukan di Kecamatan Tabang
Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur

Setidaknya ada 27 jenis Bucephalandra yang telah ditemukan oleh peneliti dan
kesemuanya terdapat di pulau Kalimantan baik yang secara geografis masuk dalam
wilayah Indonesia maupun Malaysia dan Brunei Darussalam yang semakin
memperkuat bahwa benar Bucephalandra merupakan flora endemik kepulauan
Kalimantan. Bahkan mungkin jumlah yang ada lebih dari itu karena keterbatasan
penelitian yang dilakukan dan menurut pengalaman pribadi selama pandemi
penjualan dan pencarian akan Bucephalandra semakin meningkat sampai dengan
daerah-daerah terpencil di beberapa kecamatan pada Kabupaten Ketapang juga telah
dijelajah dan hasilnya adalah banyak daerah-daerah yang juga memiliki
Bucephalandra yang belum diketahui secara spesifik jenisnya apa.

Melihat nilai ekonomis dan permintaan dari tanaman Bucephalandra ini tentu
saja meningkatkan keinginan untuk mengeksporasi dan eksploitasi akan daerah-
daerah yang diindikasi memiliki tanaman Bucephalandra. Tentu saja hal ini
mengganggu keberadaan Bucephalandra dalam ekosistem alami apalagi belum ada
studi yang komprehensif yang membahas fungsi dari keberadaan Bucephalandra
dalam ekosistem. Dengan keterbatasa studi dan sifat endemik yang dimilikinya
harusnya keberadaan dan pemanfaatan Bucephalandra diatur dan dilindungi oleh
seluruh lapisan pemerintah dalam rangka melindungi keanekaragaman hayati yang
ada di kepulauan Kalimantan. Hal ini cukup meresahkan karena menurut penelitian
dari Wong S. Y. dan Boyce P. C. bahwa diperlukan waktu sekitar 1,5 sampai 2 tahun
untuk Bucephalandra menjadi dewasa penuh, sedangkan jumlah yang ada di
ekosistem alami terbatas dan pengambilan yang tidak diatur dan diawasi sama sekali
tentu saja mengancam keberadaan Bucephalandra di alam. Selain itu perburuan
terhadap tanaman ini juga mengancam kondisi lingkungan habitat dimana
Bucephalandra ini hidup karena intensitas manusi yang masuk ke dalam habitat akan
semakin banyak yang tentu saja resiko kerusakan lingkungannya juga semakin tinggi.

Berdasarkan permasalahan di atas maka keberadaan tanaman Bucephalandra


harus segera dikelola dan dikonservasi supaya keberadaannya yang endemik tidak
terancam. Namun pertama perlu ditetapkan status dari tanaman Bucephalandra
tersebut agar pengelolaannya memiliki dasar hukum yang kuat dan sesuai. Instruksi
Menteri Dalam Negeri Nomor 11 tahun 1996 tentang Pedoman Penetapan Flora dan
Fauna Identitas Daerah Tingkat II dan Kotamadya memiliki tujuan sebagai berikut: 1)
meningkatkan rasa ikut memiliki dan menanamkan kebanggan terhadap suatu jenis
tumbuhan dan satwa tertentu, sebagai bagian dari upaya melestarikan plasma nutfah
dan pengembangan keanekaragaman hayati; 2) meningkatkan kesadaran masyarakat
agar dapat berperan serta secara aktif dalam upaya pelestarian keberadaannya; 3)
sebagai sarana meningkatkan promosi kepariwisataan daerah; 4) sebagai sarana
mendorong perkembangan industri daerah; 5) sebagai obyek penelitian dan sarana
pendidikan. Dasar-dasar penetapan flora dan fauna identitas daerah Tingkat II /
kotamadya adalah: 1) mempunyai nilai spesifik; 2) nilai sosial ekonomi masyarakat;
3) merupakan figur daerah; 4) filosofi dan memperkaya budaya daerah; 5) asal usul;
6) sejarah; 7) legenda; 8) nilai kultur; dan 9) flora dan fauna identitas Tingkat II /
kotamadya, bukan merupakan puspa dan satwa nasional maupun identitas daerah
Tingkat I. untuk kriteria penetapan jenis flora dan fauna yang dijadikan sebagai
identitas daerah Tingkat II / kotamadya, adalah jenis tumbuhan dan satwa yang
memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) keaslian flora dan fauna; 2) dikenali dan
digemari masyarakat; 3) kemudahan budidaya; dan 4) mempunyai promosi yang
tinggi.

Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam


Hayati dan Ekosistemnya pada Bab VI pasal 26 menyatakan bahwa pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan:
a) pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam; b) pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwa liar. Pasal 27 menyatakan bahwa pemanfaatan kondisi
lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian
fungsi kawasan. Pasal 28 menyatakan bahwa pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa
liar dilakukan dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung dan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar. Pada Bab IX Peran Serta Rakyat
Pasal 37 undang-undang ini menyatakan bahwa: 1) peran serta rakyat dalam
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh
Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna; dan 2)
dalam mengembangkan peran serta rakyat, Pemerintah menumbuhkan dan
meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di
kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999


tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa pada Bab IV Pengelolaan Jenis
Tumbuhan dan Satwa Serta Habitatnya pada pasal 8 huruf (3) menyatakan bahwa
pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ) dilakukan dalam
bentuk kegiatan sebagai berikut: a) identifikasi; b) inventarisasi; c) pemantauan; d)
pembinaan habitat dan populasinya; e) penyelamatan jenis; dan f) pengkajian,
penelitian dan pengembangan. Pada huruf (4) menyatakan bahwa pengelolaan jenis
tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ex-situ) dilakukan dalam bentuk kegiatan: a)
pemeliharaan; b) pengembangbiakan; c) pengkajian, penelitian dan pengembangan;
d) rehabilitasi satwa; dan e) penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa. Dalam
pelaksanaan kegiatan pengelolaan tersebut pemerintah bekerja sama dengan
masyarakat dan pihak-pihak yang berkepentingan dan segala lapisan pemerintahan
yang ada di daerah tersebut. Bab VI Pengiriman atau Pengangkutan Tumbuhan dan
Satwa yang Dilindungi Pasal 25 menyatakan bahwa pengiriman atau pengangkutan
tumbuhan dan satwa serta jenis yang dilindungi dari dan ke suatu tempat di wilayah
Republik Indonesia atau dari dan keluar wilayah Republik Indonesia dilakukan atas
dasar ijin Menteri, dan harus dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan
satwa dari instansi yang berwenang serta dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis
yang berlaku.

Adapun beberapa strategi dalam melestarikan dan memanfaatkan biodiversitas


dapat dilakukan melalui 16 kegiatan yang menurut Mariana Takandjandji ada 9
kegiatan pokok yang penting untuk dilakukan yakni: 1) inventarisasi dan
perlindungan biodiversitas dan ekosistemnya; 2) pemetaan kawasan konservasi baik
in-situ maupun ex-situ; 3) pengembangan perencanaan dan pengelolaan kawasan
konservasi; 4) pengembangan konservasi jenis; 5) pengembangan hutan lindung; 6)
AMDAL; 7) pengembangan persepsi dan apresiasi masyarakat; 8) pengembangan
wisata alam; dan 9) pengembangan aparatur, sarana dan prasarana. Menurut Adimu
dkk, 2018, strategi pengelolaan kawasan konservasi dapat dirumuskan sebagai
berikut: 1) klasifikasi konservasi; 2) harmonisasi pertauran perundangan; 3) tata
kelola kawasan konservasi; 4) rehabilitasi kawasan yang telah terdegradasi; dan 5)
melibatkan unsur masyarakat adat dalam pengelolaan kawasan konservasi. Didik
Widyatmoko, 2019, menyebutkan ada beberapa inovasi konservasi tumbuhan di
Indonesia, beberapa contoh diantaranya adalah: 1) pembangunan kebun raya daerah
berbasis ekoregion; 2) bank biji modern; 3) reintroduksi tumbuhan terancam
kepunahan; 4) penentuan spesies prioritas untuk aksi konservasi; dan 5) pendidikan
lingkungan. Ilmu dan manajemen konservasi (termasuk pendidikan konservasi)
merupakan basis ilmiah yang sangat diperlukan Indonesia untuk mengelola kekayaan
hayatinya yang sangat berharga. Indonesia sangat memerlukan strategi konservasi
tumbuhan yang efektif dan implementatif, sesuai dengan kondisi dan karakteristik
geografi, keanekaragaman hayati dan tingkat endemisitasnya yang tinggi.

Berdasarkan dari regulasi yang telah ada dan beberapa hasil penelitian terkait
pengelolaan dan konservasi keanekaragaman hayati maka pemerintah daerah baik
pemerintahan provinsi, pemerintahan kabupaten dan kota, bahkan sampai ke
pemerintahan desa di wilayah kepulauan Kalimantan hendaknya mulai melakukan
inventarisasi terkait keberadaan Bucephalandra dan mengindetifikasi jenis-jenis yang
ada di daerah masing-masing untuk memperkaya inventarisasi keanekaragaman
hayati yang ada. Setelah melakukan inventarisasi langkah selanjutnya adalah
penetapan status dari tanaman Bucephalandra karena sampai dengan saat ini status
Buce masih dianggap sama dengan tanaman lain yang bebas diperjualbelikan. Peran
serta masyarakat juga sangat diperlukan dalam pengawasan pemanfaatan
Bucephalandra oleh pihak lain karena mengingat lokasi keberadaannya yang
terbilang sulit dijangkau dan diawasi oleh lembaga pemerintahan maka peran serta
masyarakat sekitar dirasa sangat perlu. Peran serta masyarakat lokal dengan
pengetahuan lokalnya juga bisa dimanfaatkan untuk mengetahui kegunaan dan fungsi
dari Bucephalandra dalam ekosistem alaminya mengingat masih minimnya literatur
terkait dengan fungsi dari Buce dalam ekosistem endemik kepulauan Kalimantan.
Langkah-langkah ini dirasa cukup penting dilakukan selagi tanaman ini masih bisa
dijumpai dan belum terlambat untuk dilakukan pengendalian terhadap pemanfaatan
Bucephalandra yang diambil langsung dari alam liar. Jangan sampai menunggu
keberadaannya sulit ditemukan dan dinyatakan hampir punah baru kita tergesa-gesa
dalam mengambil keputusan untuk konservasi Bucephalandra.
Referensi
Adimu, Hasan Eldin Boer, Mennofatria Yulianda, Fredinan Damar dan Ario. 2018.
Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi yang Efektif dan Berkelanjutan di
Taman Nasional Wakatobi. Bogor: Institut Pertanian Bogor

Bogner J. dan Hay A. 2000. Schismatoglottideae (Araceae) in Malesia II – Aridarum,


Bucephalandra, Phymatarum and Piptospatha.

Kementerian Dalam Negeri. 1996. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun
1996 tentang Pedoman Penetapan Flora dan Fauna Identitas Daerah Tingkat II
dan Kotamadya. Jakarta.

Nugraha, Media Fitri Isma, dkk. Which Species They Are? – Genetic Resources and
Molecular Phylogeny of Ornamental Freshwater Plant Bucephalandra sp, in
Trade Market Based on cp DNA Marker. Depok: Ministry Marine and Fisheries
– Research and Human Resources Agency – Indonesian research Center for
Ornamental Fish.

Sekretariat Kabinet RI. 1990. Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta.

Sekretariat Kabinet RI. 1999. Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang
Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta.

Takandjandji, Mariana. Strategi Pelestarian dan Pemanfaatan Biodiversitas Berbasis


Masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Seminar Nasional
Biodiversitas Savana Nusa Tenggara. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hutan Bogor.

Widyatmoko, Didik. 2019. Strategi dan Inovasi Konservasi Tumbuhan Indonesia


Untuk Pemanfaatan Secara Berkelanjutan. Seminar Nasional Pendidikan
Biologi dan Saintek (SNPBS) ke-IV 2019. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
Wong S. Y. dan Boyce P. C. The Role of The Interstice Staminodes of
Bucephalandra Schott (Araceae: Schismatoglottideae).

Yeng, W. S. dan Boyce P. C. 2014. Studies on Schismatoglottidae (Araceae) of


Borneo XXX – New species and combination for Bucephalandra. Berlin:
Botanic Garden and Botanical Museum Berlin.

Anda mungkin juga menyukai