Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SEJARAH PENDIDIKAN

PENDIDIKAN DI INDONESIA MASA HINDIA BELANDA

Disusun oleh:

Kelompok 9

Nama: Stambuk:
Chintia Weronika Warani A31119004

Moh. Haikal A31119005

Nur Afni Setia Putri A31119006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TADULAKU

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
kelimpahan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami anggota kelompok 9 dapat menyusun
makalah ini dengan baik., serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
“Pendikan Di Indonesia Pada Masa Hindia Belanda”.

Kami sebagai Penyusun menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar
pada makalah ini. Oleh karena itu kami berharap kepada pembaca untuk memberikan saran serta
kritik yang membangun untuk penyempurnaan makalah kedepannya.

Kami sebagai Penyusun juga berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca dan dapat memberikan wawasan serta penjelasan tentang bagaimana pendidikan di
indonesia pada masa hindia belanda.

Sekian dan terimaksih………………..

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………………...1
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….....2
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………...3
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang …………………………………………………………………………….4


1.2 Rumusan masalah ………………………………………………………………………...4
1.3 Tujuan …………………………………………………………………………………….4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pelaksanaan pendidikan pemerintah kolonial belanda………………………………5-6


2.2 Awal pelaksanaan pendidikan untuk bumi putera/pribumi masa pemerintahan colonial
hindia belanda…………………………………………………………………………..7-8
2.3 Tingkat pendidikan pada masa kolonialisme hindia belanda………………………...8-12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………………...13


3.2 Saran …………………………………………………………………………...13-14

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………15

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan budaya yang memegang peranan
penting dalam rangka pembangunan nasional. Pendidikan masa kolonial didirikan untuk
kepentingan kolonial sendiri. Penyelenggaraan pendidikan dibedakan antara bangsa Eropa
dengan orang pribumi. Pengajaran pendidikan di Hindia Belanda dalam penerapannya
menggunakan sistem pengajaran Belanda. Pemerintah Belanda menyediakan sekolah yang
beranekaragam untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Usaha memperoleh pendidikan bermula
dengan diselenggarakannya tidak secara resmi oleh pemerintah Kolonial, tetapi dengan
perorangan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pelaksanaan pendidikan pemerintah kolonial Hindia Belanda


2. Bagaimana awal pelaksanaan pendidikan untuk bumi putera pribumi masa pemerintahan
kolonial Hindia Belanda
3. Bagaimana tingkatan pendidikan pada masa kolonialisme Hindia Belanda

1.3 Tujuan Penulisan


1. Memahami perkembangan pendidikan pada masa Hindia Belanda
2. Memperluas pengetahuan pendidikan masa Hindia Belanda
3. Mengetahui tingkat pendidikan pada masa colonial hindia belanda

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pelaksanaan Pendidikan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda

Berawal dari diterapkannya sistem tanam paksa (1830-1870) yang mendapatkan banyak
kritikan dari berbagai golongan contohnya adalah seorang pendeta yang kemudian menjadi
anggota parlemen yaitu Baron Van Hoevell, membela hindia belanda dan memandang bahwa
pemerintah kolonial harus memenuhi dan memperhatikan kepentingan masyarakat pribumi. Dan
politik liberal (1870-1900) yang menyebabkan kemiskinan melandaa hindia belanda karena
dengan ebrgabungnya perusahaan-perusahaan asing maka menghapus harapan rakyat untuk
sejahtera.

Hal-hal tersebut menimbulkan berbagai kalangan seperti yang ditulis oleh Multatuli
(Doewes Dekker) dalam bukunya Max Havellar (1860) yang menceritakan kondisi masyarakat
petani yang menderita akibat mendapatkan tekanan dari pemerintah kolonial. Selain itu pada
1899, artikel karya Van Deventer terbit pada majalah De Gids, dalam majalah tersebut memiliki
judul Een Eereschuld Aau “Hutang Kehormatan”, artikel ini berisi tentang pemikiran Van
Deventer mengenai keuntungan Hindia Belanda selama menjajah bangsa Indonesia dan
hendaknya semua itu dibayar kembali dari perbendaharaan negara yang berarti hutang budi
tentang kemakmuran yang diperoleh oleh belanda adalah dari kerja keras dan jasa-jasa orang
pribumi-bumi putera dan belanda seharusnya menganggap itu sebagai hutang yang harus dibayar
dengan menyelenggarakan Trilogi atau Trias yaitu Edukasi, Irigasi, dan Imigrasi (Educatie,
Irrigatie, and Imigratie)

Dan selanjutnya gagasan Van Deventer tersebut ditanggapi oleh Ratu Wilhelmina,
tepatnya pada 17 september 1901. Yang mana pemikiran Van Deventer tersebut tertuang dalam
pidato ratu belanda yang berjudul Ethisce Richting yang berarti haluan etis. Dalam pidato
tersebut menegaskan pemerintah kolonial melakukan usaha-usaha untuk menanggulangi
permasalahan kesejahtraan yang dialami masyarakat pribumi dengan dihidupkannya kembali
bidang agraris, lalu juga dengan memberikan pinjaman tanpa bunga dalam jangka waktu tertentu,

5
selain itu juga dengan pemberian hadiah. Pidato tersebutlah yang menandai awal dari kebijakan
politik etis. Setelah ratu belanda mengambil pemikiran Van Deventer dan dimasukkan kedalam
pidatonya memunculkan ide atau ekspresi yang dipandang sebagai suatu ide baru atau praktek
politik baru yang biasa disebut sebagai politik etis atau politik balas jasa/balas budi. Namun
politik etis ini sangat bertentangan dengan eksploitasi materi yang dilakukan pemerintah
kolonial, karena politik etis ini lebih menonjolkan bahwa adanya sikap kewajiban moral bangsa
yang mempunyai kebudayaan tinggi terhadap bangsa yang tertindas.

Namun sejatinya dalam pelaksanaan politik etis tidak jauh dari kepentingan pribadi atau
sepihak pemerintah kolonial yang takut mendapat banyak kritikan dan jika dibiarkan terus
menerus maka ditakutkan akan timbul perlawanan dari masyarakat pribumi yang semakin
merasakan penderitaan. Kebijakan politik etis terdiri dari irigasi, imigrasi, dan edukasi. Irigasi
yang terlihat dari adanya perbaikan-perbaikan yang dilakukan namun dalam praktiknya sarana
irigasi bukanlah untuk kesejahtraan rakyat pribumi namun lebih mengarah pada kepentingan
ekonomi pemerintah kolonial. Lalu imigrasi yaitu memindahkan masyarakat pribumi yang
berada di pulau yang berpenduduk padat contohnya adalah jawa kepulau yang berppenduduk
sedikit seperti kalimantan. Yang bertujuan untuk membuka lahan baru dan mengelolanya.
Namun pada kenyataannya tanah-tanah yang kosong telah dijadikan lahan menanam tebu dan
tembakau dan masyarakat pribumi hanya dijadikan sebagai tenaga kerja diperkebunan tersebut.

Tidak jauh berbeda dengan irigasi dan imigrasi, pelaksanaan edukasi juga tersirat hanya
untuk kepentingan pemerintah kolonial. Hal tersebut dapat terlihat dari adanya diskriminasi yaitu
terdapat 2 macam sekolah yaitu sekolah ongko siji untuk pribumi yang memiliki kedudukan dan
sekolah ongko loro yang diperuntukkan untuk masyarakat pribumi yang biasa karena tujuannya
hanya untuk mendapatkan atau memenuhi pegawai rendahan maka pendidikan yang dilakukan
juga hanya yang bertujuan mendapatkan lulusan yang hanya bisa menulis, membaca dan
berhitung. Selain itu anggaran dana yang diberikan untuk pendidikan penduduk pribumi sangat
sedikit, tercatat pada tahun 1905 termasuk dalam tunjangan sekolah swasta sebesar f 2 juta,
sehingga apabila dibagi dengan 40 juta penduduk maka setiap orang hanya mendapat 5 sen per-
orang.

6
2.2 Awal Pelaksanaan Pendidikan Untuk Bumi Putera/Pribumi Masa Pemerintahan
Kolonial Hindia Belanda

Pada tahun 1899, artikel Van Deventer terbit pada majalah De Gids, artikel Van Deventer
memiliki judul Een Eereschuld Aau “Hutang Kehormatan”, artikel ini berisi tentang Van
Deventer mengenai keuntungan Hindia Belanda selama menjajah bangsa Indonesia dan
hendaknya semua itu dibayar kembali dari perbendaharaan negara. Dan akhirnya pada tahun
1901 pemikiran Van Deventer tersebut dapat tertuang pada pidato ratu Belanda. Setelah ratu
belanda mengambil pemikiran Van Deventer dan dimasukkan kedalam pidatonya memunculkan
ide atau ekspresi yang dipandang sebagai suatu ide baru atau praktek politik baru yang biasa
disebut sebagai politik etis atau politik balas jasa/balas budi. Namun politik etis ini sangat
bertentangan dengan eksploitasi materi yang dilakukan pemerintah kolonial, karena politik etis
ini lebih menonjolkan bahwa adanya sikap kewajiban moral bangsa yang mempunyai
kebudayaan tinggi terhadap bangsa yang tertindas.

Selain karena adanya model politik baru yakni politik etis pada abad ke-20 sendiri
Belanda mengalami resesi ekonomi yang meluas, namun perekonomian liberal dan administrasi
politik penjajahan di Hindia Belanda malah makin meluas. Dan membuat membuat kesejahtraan
Bumi Putera/ Pribumi semakin merosot terutama yang ada di pulau Jawa. Hingga pada 15
oktober 1902 dibentuk komisi penyidik (Mindere Welvaart Commissie). Administrasi politik
yang makin meluas, perekonomian yang makin meluas dan kesejahtraan golongan pribumi yang
merosot. Tiga faktor tersebut yang menjadi dasar munnculnya politik etis ala Van Deventer saat
menjelang abad 20. Inti politik ini adalah tanpa menjadi orang barat/eropa tapi dapat
memanfaatkan berkah bangsa barat. Hal ini sangat bermanfaat untuk perkembangan dunia
pendidikan dan teknologi untuk golongan bumiputera. Bagi seluruh penganut politik etis
pendidikan adalah pemegang peranan utama. Hal ini tercermin dalam trilogi politik etis
pemerintah penjajahan yakni pendidikan/edukasi, irigasi, dan imigrasi. Bahasa Belanda menjadi
bahasa pengantar pada pendidikan golongan bumiputera kalangan atas atau anak-anak pejabat
pro Belanda yang diuntungkan/dipilih. Dulunya bahasa Belanda didorong digunakan sebagai
bahasa pengantar namun pada abad-20 pergeseran pendidikan bersifat barat. Dan penggunaan
bahasa Belanda tidak lagi didorong namun lebih karena perkembangan objektiv dibidang
ekonomi, politik,dan sosial budaya.

7
Cepatnya pergeseran pendidikan bumiputera kesifat barat mendorong munculnya
beberapa tokoh liberal pembaharu seperti, Mr. J.H Abendanon dan A.W.F Idenburg. Abendanon
menjabat sebagai direktur pendidikan, agama, dan industri (1900-1905), Idenburg menjabat
menteri jajahan (1902-1905). Belum lama bertugas Abendanon sudah mampu menguarangi
biaya sekolah bagi murid Bumiputera yang bersekolah di Europese Lagere School (ELS) sekolah
dasar eropa. Melalui sekolah ini Abendanon juga merancang pendidikan caalon ibu yang baik
untuk gadis di Jawa. Salah satu tokoh besar yang memanfaatkan kesempatan pendidikan ini
dengan baik adalah Raden Ajeng Kartini atau lebih dikenal dengan R. A Kartini, lalu beliau
bersekolah di ELS Jepara.

Pada 1900, sebelum datangnya Abendanon, sekolah raja dipertegas menjadi sekolah
calon pegawai (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambtenaren-OSVIA) karena sulitnya
menyampaikan hukum kepada pejabat bumiputera dalam bahasa pengantar bahasa melayu dan
bahasa daerah, padahal masalah hukum mulai diserahkan kepada mereka. Akhirnya untuk
mengatasi masalah ini sekolah raja dipertegas yakni mendidik calon pegawai menggunakan
bahasa Belanda tidak peduli apakah dia anak seorang pembesar atau bukan. Hal ini pun akhirnya
berdampak yang bisa masuk hanya lulusan ELS atau sederajat. Dengan hal ini Abendanon
melihat, bila ddengan kebijakan ini maka lulusan sekolah dasar kelas dua (Tweede Klase) sangat
mustahil untuk bisa masuk OSVIA. Sehingga Abendanon pada 1903 mengizinkan calon murid
OSVIA untuk masuk ELS secara gratis. Perubahan lain juga terjadi adalah pada sekolah guru di
Bukit Tinggi pada 1904 Abendanon dapat menetapkan bahasa Belanda sebagai bahasa
pengantar di duaa kelas tertinggi.

2.3 Tingkatan Pendidikan Pada Masa Kolonialisme Hindia Belanda

Pada tahun 1904 muncul seorang Gubernur Jenderal baru bernama J.B. Van Heutsz, dia
adalah seorang pahlawan Belanda dalam Perang Aceh. Van Heutsz ingin merubah pendidikan
selama 4 tahun agar lebih praktis, terutama untuk bumiputera. Yang dimaksud dengan praktis
adalah dengan mendirikan sekolah kejuruan. Didirikannya sekolah kerajinan rumah tangga oleh
Regent Ngawi R. M. T. Utoyo, khususnya yang memiliki keahlian mengolah bahan seperti kayu,
kulit, bambu, maupun anyaman.

8
Akan tetapi sistem pendidikan tidak mudah diubah menjadi arah yang lebih praktis, oleh
karena itu Dirk Fock pengganti Indenburg sebagai menteri jajahan meminta agar mengadakan
penelitian bagi pendidikan. Tidak hanya untuk sekolah kejuruan tetapi juga sekolah lainnya. Mr.
J. G. Poot pengganti Abendanon menunjuk J. E. Jasper untuk memimpin penelitian tersebut.
Pada april 1906 Jasper melaporkan tentang apa yang dikhawatirkkan Snouck Hourgronje
terhadap sekolah kejuruan atau teknik yang belum memiliki tenaga kerja terdidik. Jika
bumiputera dididik oleh sekolah tersebut maka penyaluran akan terbatas. Sedangkan dengan
hadirnya tenaga pendidik lama-kelamaan akan mendorong tumbuhnya jiwa wirausaha. Oleh
karena itu perlu adanya peningkatan belajar sekolah kejuruan sekitar 3 tahun. Laporan dari
Jasper juga berpendapat bahwa yang nantinya menjadi murid hanyalah lulusan kelas dua
(Tweede Klase). Maka dikenal 2 macam sekolah teknik yaitu Balai Latihan (Ambachtsleergang)
yang terbuka untuk lulusan sekolah Dasar Kelas Dua (Tweede Klase), dan Sekolah Teknik
(Ambachschool) yang terbuka untuk lulusan Europese Lagere School (ELS) atau sederajat. Lama
belajar di Balai Latihan sekitar 3 tahun untuk mendidik muridnya menjadi kepala tukang. Dan 2
tahun untuk spesialisasi seperti tukang batu, mebel, montir, dan listrik.

Gubernur Jenderal Van Heutsz juga membuat penelitian terhadap Sekolah Dasar Kelas
Satu, apakah tujuan telah berfungsi sebagai pengembangan potensi dan tingkat peradaban anak-
anak Bumiputera. Masa belajar Sekolah Dasar Kelas Satu ditingkatkan yang awalnya 5 tahun
menjadi 6 tahun. Karena pendidikan bahasa Belanda yang kurang dikuasai, memerlukan
peningkatan untuk pembelajaran bahasa Belanda. Sedangkan untuk Sekolah Dasar Kelas Dua
masa belajarnya dikurangi karena biaya terlalu mahal untuk anak-anak Bumiputera yang
belajarnya 5 tahun menjadi 3 tahun. Setelah itu perlu dibangun sekolah rakyat (Volkschool) atau
disebut juga dengan sekolah desa (Desaschool) untuk melayani orang-orang yang ingin
bersekolah dan masa belajarnya 3 tahun. Untuk peresmian sekolah desa terdapat 3 syarat, yaitu
sekolah desa dibangun dan gurunya digaji oleh rakyat desa, sedangkan pemerintah hanya
membantu untuk sarana belajar dan uang. Syarat kedua pembangunan harus melawati masa
percobaan. Syarat ketiga tidak boleh memaksa anak/murid untuk berskolah. Sekolah desa
diresmikan pada maret 1906. Percobaan sekolah desa dilakukan di 4 kabupaten yakni, Priangan,
Cirebon, Kedu, dan Kediri yang terjadi pada bulan mei 1906. Percobaan sekolah desa berfungsi
sebagai salahsatu upaya mengembalikan kemakmuran masyarakat Bumiputera. Setelah itu

9
sekolah desa dilakukan di Aceh dan menyebar keseluruh nusantara yang berdampak pada 40%
anak-anak usia 6-9 tahun bisa merasakan pendidikan.

Tingkatan Pendidikan Pada Masa Kolonialisme Hindia Belanda

1. Sekolah Dasar Berbahasa Belanda Untuk Bumiputera


Pada 16 februari 1914 keluarlah keputusan yang menetapkan perubahan untuk sekolah
dasar De Eerste Klasse menjadi HIS (Hollands Inlandsche School) yang lama belajarnya selama
7 tahun dan berbahasa Belanda. Sekolah ini diperuntukkan untuk anak-anak kalanganelit
pribumi.
Di desa juga terdapat sekolah yang bernama Sekolah Desa (Volkschool) dan dalam
pendidikannya berlangsung 3 tahun dengan menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar. Setelah 8 tahun berjalan para lulusan sekolah desa merasa tidak puas dengan tingkat
pendidikan yang sudah diperoleh dan ingin melanjutkan namun mereka tidak memenuhi
persyaratan hingga akhirnya pada tahun 1915 pemerintah pun membentuk sekolah baru yang
diberi namaVervolgschool dengan lama belajar 2 tahun dan mempersiapkan lulusan sekolah desa
untuk melanjutkan kesekolah kejuruan. Namun ternyata yang memerlukan sekolah lanjutan
bukan hanya sekolah desa namun HIS (Hollands Inlandsche School) juga memerlukan sekolah
lanjutan sehingga dibentuk lah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) adalah sekolah
menengah pertama. Dan resmi menjadi sekolah pada 1914. Dan yang boleh melanjutkan ke
MULO adalah lulusan sekolah rendah, kecuali Sekolah Desa.
Pada tahun 1920 K. F. Creutszberg, Direktur Pendidikan, Agama dan Industri.
Creutszberg memiliki ide untuk membuat sekolah yang menghubungkan langsung antara sekolah
desa dengan MULO dan tercetuslah ide membuat sekolah yang bernama Schakel School.
Tujuan dari sekolah ini adalah untuk memperoleh pengetahuan yang lebih tinggi setelah tamat
dari sekolah desa terutama dalam berbahasa Belanda. Masa belajar di Schakel School adalah 5
tahun, setelah sekolah desa selama 3 tahun dan dianggap setara dengan HIS peranan sekolah
Schakel School tidak kecil karena berfungsi sebagai jembatan penghubung antara sekolah desa
dengan pendidikan barat.
Dengan adanya Schakel School maka perbedaan kelas masyarakat untuk memasuki
sekolah barat telah lenyap dan bahasa Belanda yang selama ini dianggap sebagai jurang pemisah
telah berhasil dijembatani. Setelah terbukanya HIS untuk anak-anak pribumi maka mereka dapat

10
melanjutkan ke sekolah menengah, terutama ke sekolah MULO. Dan tamatan dari sini dapat
memasuki sekolah kejuruan. Dengan demikian, mereka dapat menduduki posisi yang baik
didalam masyarakat dimana sebelumnya diduduki oleh orang Belanda.

1. Sekolah Lanjutan
Beberapa kalangan melihat bahwa jika hanya MULO itu belum cukup dan perlu ada
sekolah lanjutan. Hingga pada tahun 1915 komisi yang dipimpin Prof. dr. J, Woltjer
mengusulkan untuk dibentuknya sekolah menengah untuk Bumiputera dengan Indische Middle
Bare School yang dianggap sama dengan 3 kelas tertinggi HBS (Hoogere Burgerschool) dan
lebih terkenal dengan sebutan AMS (Algemeene Middlebare School) dengan lama belajar 3
tahun. AMS memiliki 2 jurusan yaitu (AfdeEling) A, untuk pengetahuan kebudayaan atau
humaniora. Dan jurusan A sendiri dibagi lagi menjadi dua yakni A1 untuk sastra dan humaniora
timur, A2 untuk klasik barat. Dan untuk jurusan (Afdeeling) B, untuk pengetahuan ilmu
pasti/eksakta dan alam.
Tamatan MULO dapat melanjutkan pendidikan ke HBS. Dengan waktu belajar 5 tahun
dan menduduki kelas IV. Baik MULO maupun HBS sebenarnya dipersiapkan untuk melanjutkan
ke jenjang kejuruan. Orang yang memiliki ijazah MULO memiliki arti penting karena mendapat
posisi yang baik pada masyarakat.
Selanjutnya AMS mengadakan pendidikan pertamanya pada tahun 1919 di Yogyakarta
lengkap dengan 2 jurusannya. Dan pada tahun1920 AMS juga mengadakan pendidikan di
Bandung tetapi hanya untuk juruan A2. Pada tahun 1926 juga mengadakan pendidikan di
Surakarta dengan jurusan sastra dan humaniora timur didirikan di surakarta 1926. Kemudian
sejak berdirinya AMS sebagai lanjutan dari MULO maka kesempatan ke perguruan tinggi lebih
terbuka.
2. Sekolah Tinggi
Kemudian muncullah sekolah tinggi yang pertama di Hindia Belanda untuk teknik yang
berstatus swasta, yaitu Technische Hoogeschool te Bandung (ITB) pada juli 1920, yang disusul
dengan sekolah tinggi kedokteran Batavia (STOVIA) pada tahun 1927, dan sekolah tinggi
hukum (Recht Hoge School) pada tahun 1924.

11
Dengan berdirinya beberapa sekolah tinggi maka lengkap sudah jenjang pendidikan yang
ada di Hindia Belanda. Dan dari pendidikan tersebutlah yang menjadi tonggak kebangkitan
bangsa Indone

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Proses pendidikan yang berlangsung di Hindia Belanda adalah salah satu titik awal
munculnya tokoh kebangkitan bangsa. Pendidikan di Hindia Belanda sendiri diawali karena
kritik dari beberapa tokoh dan golongan dengan diterapkannya tanam paksa dan politik liberal,
karena dalam kebijakannya menimbulkan banyak penderitaan dan kemiskinan rakyat. Dan hal
tersebut dibayar dengan politik etis dengan 3 poin utama yakni irigasi, imigrasi, dan pendidikan
atau edukasi. Pendidikan pun mulai berjalan dengan diskriminasi karena terdapat sekolah yang
membeda-bedakan kelas antara anak kalangan elit dan tokoh pro Belanda dengan anak rakyat
biasa. Dan anak elit atau tokoh pro Belanda nantinya akan menjadi pegawai Belanda. Sementara
rakyat biasa hanya menjadi pekerja kasaar dan rendahan.

Namun pada periode 1900-1930 pendidikan Indonesia mengalami kemajuan yang pada
saat itu hanya lulusan sekolah HIS yang dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah lanjutan
namun selang waktu setelahnya muncul beberapa sekolah dasar berbahasa belanda untuk lulusan
sekolah desa seperti Vervolschool dan Schakel School dengan demikian mereka memiliki
kesempatan untuk bisa melanjutkan kesekolah kejuruan atau lanjutan. Hal tersebut pula menjadi
titik awal perkembangan pendidikan bagi anak pribumi dan awalnya rakyat biasa hanya bisa
sekolah sampai/sebatas sekolah desa namun pada tahun 1900-an anak rakyat biasa, mulai
dikenalkan dengan bahasa Belanda di beberapa sekolah sehingga bukan tidak mungkin untuk
melanjutkan kesekolah lanjutan atau bahkan pendidikan tinggi.

3.2 Saran

Jika melihat pendidikan masa lalu rakyat Indonesia (Pribumi) yang mendapat
diskriminasi dari pemerintah kolonial dimana hanya kaum-kaum tertentu saja yang bisa
bersekolah sementara rakyat biasa hanya bisa menempuh pendidikan sekolah desa tetapi mereka
tetap semangat dan berusaha untuk melanjutkan pendidikannya. Kita harus sangat bersyukur bisa

13
melanjutkan pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi maka dari itu kita harus tetap
semangat dalam menjalani pendidikan meski dimasa Covid-19 ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Alifia Nurhusna Afandi, Aprilia Iva Swastika, E. Y. E. (2020). PENDIDIKAN PADA MASA
PEMERINTAH KOLONIAL Universitas Negeri Malang , Indonesia Sejarah Artikel :
Diterima : 12-3-2020 Disetujui : 27-04-2020 Dipublikasikan : 30-4-2020 Abstrak
PENDAHULUAN Kolonialisme merupakan suatu usaha untuk mengusai wilayah bangsa la.
7(1), 21–30.

15

Anda mungkin juga menyukai