Anda di halaman 1dari 9

Konsep Kedaulatan

Masalah krusial dalam setiap sistem pemerintahan adalah menyangkut konsep kedaulatan (sovereignty
atau al-siyadah). Kedaulatan atau al-siyadah adalah yang berwenang menangani dan menjalankan
suatu kehendak (iradah) tertentu. Atau dengan ungkapan yang lebih gamblang, kedaulatan merupakan
kekuasaan yang tertinggi dan mutlak, dan baginya satu-satunya yang memiliki hak untuk mengeluarkan
hukum.[1] Dengan demikian, kedaulatan memiliki kedudukan amat strategis bagi kehidupan suatu
negara karena menjadi rujukan seluruh warga negara sekaligus memiliki kekuatan hukum yang mampu
memaksa mereka untuk menjalankan sesuatu atau menjauhkan sesuatu. Maka konsep kedaulatan akan
menentukan corak masyarakat, arah kebijakan negara, dan semua subsistem yang menjadi turunannya,
seperti sistem hukum, peradilan, ekonomi, dan sebagainya.

Dalam sistem pemerintahan sekular-demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Sebagai pemilik
kedaulatan, semua kehendak rakyat harus dipatuhi. Konsekuensinya, rakyatlah yang memiliki hak
menentukan perjalanan hidup masyarakat. Rakyat pula yang menentukan sistem, hukum, dan kosntitusi
yang cocok bagi mereka. Sebagaimana rakyat berhak membuat dan menetapan sebuah undang-undang,
rakyat juga berhak membatalkan, mengganti atau mengubah undang-undang tersebut. Pendek kata, apa
pun harus terjadi jika rakyat memang menghendaki.

Karena rakyat merupakan sekumpulan orang, sementara keinginan dan kehendak mereka bisa
berseberangan satu sama lainnya, maka yang dijadikan sebagai kata pemutus kehendak mayoritas. Ide,
aspirasi, atau kebijakan apa pun yang mendapatkan dukungan suara terbanyak, harus diterima sebagai
keputusan terakhir yang ditaati oleh semua pihak. Tidak peduli apakah keputusan tersebut benar atau
salah; sejalan atau bertabrakan dengan hukum Allah SWT.

Berkaitan dengan suara mayoritas ini, Henry B. Mayo menyatakan bahwa sistem politik yang demokratis
adalah sebuah sistem yang kebijaksanaan umumnya ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil
rakyat.[2] Lyman Tower Sargent juga menegaskan bahwa kunci yang harus dipenuhi oleh negara
demokrasi adalah sistem hukum yang ditentukan oleh mayoritas.[3]

Konsepsi tentang kedaulatan ini jelas kontradiktif dengan sistem khilafah. Sistem khilafah menjadikan
kedaulatan ada di tangan syara'. Hal ini didasarkan pada syariat Islam yang hanya mengakui Allah SWT
satu-satunya pemilik otoritas untuk membuat hukum (al-hakim) dan syariat (al-musyarr’i), baik dalam
perkara ibadah, makanan, pakaian, akhlak, muamalah, maupun uqubat (sanksi-sanksi). Islam tidak
memberikan peluang kepada manusia untuk menetapkan hukum, meski satu hukum sekalipun. Justru
manusia, apa pun kedudukannya, baik rakyat atau khalifah, semuanya berstatus sebagai mukallaf (pihak
yang mendapat beban hukum) yang wajib tunduk dan patuh dengan seluruh hukum yang dibuat oleh
Allah SWT.

Bahwa kedaulatan di tangan syara’ disimpulkan dari banyak dalil. Di antaranya: dalil-dalil yang
mewajibkan kaum muslimin untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya secara mutlak (QS al-Nisa’: 59, 65,
105, 115; al-Baqarah: 20); mengembalikan semua persoalan hukum kepada syara’ (QS al-Syura: 10, al-
Nisa’: 59), mengecam semua hukum selain hukum Allah dengan sebutan hukum thagut dan hukum
jahiliyyah (QS al-Nisa’: 60, al-Maidah: 50), dan menyebut orang-orang yang berhukum kepada selain
hukum Allah sebagai kafir, dzalim dan fasiq (QS al-Maidah: 44, 45, 47).

Kaidah ushul, la hakima siwa Allah, wa la hukma illa ma hakama illa ma hakama bih adalah kaidah yang
tidak dipertentangkan oleh umat Islam.[4] Allah SWT berfirman:

‫إن الحكم إال هلل أمر أال تعبدوا إال إياه ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس اليعلمون‬
Menetapkan hukum hanya hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.
Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui (QS Yusuf: 40).

Berdasarkan prinsip tersebut maka semua perundang-undangan di negara khilafah harus bersumber
dari al-Quran dan al-Sunnah, serta ijma’ sahabat dan qiyas.

Suara mayoritas yang dalam negara sekular-demokrasi memegang peranan menentukan, dalam sistem
khilafah digunakan dalam medan yang amat terbatas, yakni hanya dalam menlaksanakan suatu amal
yang dibenarkan oleh syara’ dan tidak membutuhkan keahlian khusus. Sedangkan dalam penetapan
hukum dan perundangan sama sekali tidak memperhatikan suara terbanyak. Maka seandainya seluruh
rakyat berkumpul dan secara aklamasi menyetujui digalakkannya riba; bersepakat melegalisasi lokalisasi
perzinaan dengan dalih agar perzinaan tidak menyebar luas di tengah masyarakat; atau bersuara bulat
menghapus kewajiban puasa Ramadhan, maka semua kesepakatan itu tidak ada nilainya sama sekali di
hadapan syara’.

Konsep Kekuasaan

Kekuasaan dalam sistem pemerintahan sekular-demokrasi terbagi menjadi tiga institusi yang memiliki
kekuasaan berbeda-beda, yakni: kekuasaan legislatif (kekuasaan untuk membuat undang-undang);
kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk menjalankan undang-undang); dan kekuasaan yudikatif
(kekuasaan untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang). Konsep pembagian kekuasaan yang
dikenal dengan trias politica. Pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk mencegah dominasi
kekuasaan oleh seseorang atau lembaga tertentu, sehingga kedaulatan rakyat dapat terjaga. Sebenarnya
munculnya ide pembagian kekuasaan ini tidak terlepas dari sejara gelap Eropa di abad pertengahan,
yang saat itu kekuasaan gereja dan kerajaan sangat dominan, tiranik, dan menindas rakyat.

Ketiga kekuasaan tersebut bersumber dari rakyat. Dalam negara sekular-demokrasi rakyat bukan saja
sebagai pemilik kedaulatan, namun juga berhak melaksanakan peraturan yang ditetapkannya serta
memilih orang-orang untuk duduk di institusi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagaimana rakyat
berhak mengangkat penguasa yang menduduki jabatan di institusi-institusi tersebut, mereka juga
berhak untuk memberhentikannya.

Dalam sistem khilafah kekuasaan ada di tangan umat. Seorang khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan
melalui bai'at.[5] Kesimpulan ini didasarkan pada hadits-hadits tentang bai'at yang semuanya
menunjukkan bahwa bai'at itu diberikan oleh kaum muslimin kepada khalifah, bukan oleh khalifah
kepada kaum muslimin. Dari Ubadah bin Shamit ra, berkata:

‫ بايعنا رسول هللا‬r ‫على السمع والطعة في العسر واليسر والمسط والمكره‬

Kami membai'at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam
keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci (HR
Muslim).

Berdasarkan hadits tersebut seorang khalifah mendapatkan kekuasaan semata-mata dari umat melalui
bai'at. Bahkan Rasulullah saw, meskipun beliau berkedudukan sebagai rasul, tetap saja mengambil baiat
dari umat, baik laki-laki maupun perempuan. Ini menunjukkan bahwa Islam telah menjadikan kekuasaan
di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat siapa saja yang mereka pilih dan mereka baiat untuk
menjadi khalifah.

Selanjutnya dengan akad baiat, kekuasaan yang dimiliki umat itu diserahkan kepada khalifah untuk
mengatur urusan rakyat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Dalam hal ini, khalifah
merupakan wakil umat untuk menjalankan hukum syariat Islam (kedaulatan Allah) dalam kehidupan
bernegara, bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat sebagaimana sistem sekular-demokrasi.

Meskipun syara’ telah menetapkan bahwa kekuasaan di tangan umat, namun dalam memilih khalifah
umat tetap harus mematuhi kriteria-kriteria yang ditetapkan syara’, semisal harus berakal, baligh,
muslim, laki-laki, adil, merdeka, dan berkemampuan. Juga, sekalipun syara’ memberikan hak bagi umat
memilih dan mengangkat khalifah, namun umat tidak berhak memberhentikannya selama akad baiat
kepadanya dilaksanakan secara sempurna berdasarkan ketentuan syara’.

Ketentuan ini karena didasarkan beberapa hadits shahih yang mewajibkan ketaatan kepada khalifah,
selama tidak memerintah berbuat maksiat dan tidak jelas-jalas kafir. Ibnu Abbas yang mengatakan
bahwa Rasulullah saw bersabda:

‫من رأى من أميره شيئا فكرهه فليصبر فإنه ليس أحد يفارق الجماعة شبرا فيموت إال مات ميتة جاهلية‬

Siapa saja yang melihat sesuatu yang (yang tidak disetujuinya) dari amirnya hendaknya dia bersabar.
Karena tidak seorang pun yang meninggalkan jamaah sejengkal saja kemudian mati, kecuali mati seperti
jahiliyyah (HR al-Bukhari).

Kendati demikian bukan berarti khalifah tidak dapat berhentikan apa pun keadaannya. Syara’ telah
menjelaskan keadaan-keadaan tertentu yang khalifah dinyatakan berhenti secara otomatis, seperti
ketika murtad, gila total yang tidak dapat diharapkan kesembuhannya, atau ditawan musuh yang tidak
mungkin bisa melepaskan diri. Juga dijelaskan pula keadan-keadaan tertentu yang khalifah harus
diberhentikan oleh mahkamah madzalim, seperti ketika ia tidak dapat melaksanakan tugasnya karena
suatu sebab atau kehilangan ‘adalah-nya, yaitu telah melakukan kefasikan secara terang-terangan.

Bentuk Negara

Bentuk negara sekular-demokrasi dapat beraneka ragam. Dapat berbentuk kesatuan, seperti Inggris dan
Perancis, atau federasi seperti Amerika Serikat dan Malaysia. Dalam negara federasi terdapat negara-
negara bagian yang memiliki otonomi sendiri dan bersatu dalam pemerintahan secara umum, semisal
dalam hal perjanjian internasional, moneter, pertahanan dan keamanan, dan lain-lain.

Ini berbeda dengan sistem khilafah yang harus berbentuk kesatuan. Islam tidak membenarkan adanya
negara-negara bagian yang memiliki kedaulatan sendiri dalam bidang-bidang tertentu. Akan tetapi
sistem pemerintahannya bersifat sentralisasi dengan penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan
pusat mempunyai otoritas penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah kecil maupun
besar. Ketentuan ini didasarkan beberapa hadits Nabi saw. Di antaranya hadits dari Arfajah bahwa
Rasulullah saw bersabda :

‫ أو يفرق جماتكم فاقتلوه‬,‫من أتاكم وأمركم جميع على رجل واحد يريد أن يشق عصاكم‬

Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian --- sedangkan urusan kalian berada di tangan seorang
(Khalifah) --- kemudian dia hendak memecah-belah kesatuan jama'ah kalian, maka bunuhlah dia (HR
Muslim).

Hadits di atas menjelaskan akan larangan membelah persatuan kaum muslimin dan membagi-bagi
kesatuan negaranya, serta mendorong kepada kaum muslimin agar tidak mentolelir terhadap setiap
upaya pembagian negara, termasuk upaya melepaskan diri darinya, sekalipun dalam mencegahnya
dilakukan dengan kekuatan senjata.

Kesatuan negara khilafah juga mewujud dalam hal keuangan dan anggaran. Keuangan seluruh wilayah
negara Islam dianggap satu. Termasuk anggaran belanjanya, sehingga harus diberikan secara sama
untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Seandainya ada wilayah memiliki
pendapatan besar, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut diberi sesuai dengan tingkat
kebutuhannya, bukan besarnya pendapatan. Seandainya ada wilayah yang pendapatan daerahnya tidak
bisa memenuhi kebutuhannya, maka negara Islam tidak akan memaksanya agar mengirimkan
pendapatannya ke pusat. Tetapi wialayah tersebut akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja
negara, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pendapatannya cukup untuk memenuhi
kebutuhannya atau tidak. Perlu diingat, meskipun dalam soal pemerintahan harus sentralisasi, namun
sistem administrasinya dapat dilakukan desentralisasi.

Bentuk Pemerintahan
Sistem pemerintahan sekular-demokrasi dapat berbentuk republik dengan kepala nagara seorang
presiden seperti AS, monarkhi dengan kepala negara seorang raja seperti Inggris atau kaisar seperti di
Jepang. Semua bentuk pemerintahan itu dapat berlangsung sepanjang dikehendaki rakyat.

Ini juga berebda dengan bentuk pemerintahan Islam yang hanya mengenal satu bentuk, yakni khilafah.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-
hukum syariat dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Sebutan lain dari khilafah
adalah imamah. Imamah dan khilafah itu memiliki makna satu. Dalil wajibnya pengangkatan khalifah
adalah al-Sunnah dan ijma' Sahabat.

Dalam pemerintahan monarkhi, kedudukan raja diperoleh melalui jalan pewarisan. Sehingga seseorang
dapat menduduki jabatan raja hanya karena kebetulan menjadi anak keturunan raja. Mekanisme
kekuasaan itu bertentangan dengan sistem khilafah. Kedudukan khalifah hanya didapatkan dengan satu
jalan, yakni dengan baiat dari umat secara ridha dan diliputi kebebasan memilih, tanpa ada tekanan atau
paksaan.

Jika dalam sistem monarkhi raja memiliki hak-hak istimewa yang dikhususkan untuk raja dan tidak bisa
dimiliki selain raja, bahkan dalam beberapa negara kedudukan raja di atas undang-undang, tidak
demikian dengan khalifah. Sistem khilafah tidak memberikan hak-hak istimewa bagi khalifah. Seorang
khalifah juga tidak memiliki hak-hak khusus dan ekslusif, kecuali sama dengan rakyatnya. Khalifah adalah
wakil umat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan yang mereka baiat buat menerapkan syariat
Allah atas diri mereka. Sehingga khalifah juga tetap harus tunduk dan terikat dengan hukum syara’
dalam semua tindakan, kebijakan, dan pelayanan terhadap kepentingan umat.

Sistem khilafah juga berbeda dengan republik. Dalam sistem republik, kedaulatan ada di tangan rakyat.
Sementara sistem khilafah berdiri di atas pilar aqidah Islam serta hukum-hukum syara’, di mana
kedaulatannya di tangan syara’, dan tidak membenarkan di tangan rakyat.

Di samping itu, presiden bertanggung jawab kepada rakyat atau yang mewakili suara rakyat (misal:
parlemen). Rakyat beserta wakilnya berhak memberhentikan presiden. Sementara seorang khalifah,
sekalipun bertanggung jawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, namun mereka tidak berhak
memberhentikannya. Khalifah hanya dapat diberhentikan jika ia menyimpang dari hukum syara yang
menyebebakannya harus diberhentikan. Ada pun yang menentukan pemberhentiannya adalah
mahkamah madzalim.

Jabatan pemerintahan (presiden atau perdana menetri) dalam sistem republik, baik menganut
presidensial maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa periode tertentu yang tidak boleh
melebihi dari masa jabatan tersebut. Di Indomesia, misalnya, masa jabatan presiden selama limat tahun.
Itu pun tidak boleh menjabatnya selama dua periode bertirit-turut.

Sementara di dalam sistem khilafah tidak terdapat masa jabatan tertentu. Batasannya hanyalah apakah
ia masih menerapkan hukum syara’ ataukah tidak. Selama ia masih melaksanakan hukum syara’, dengan
menerapkan hukum-hukum syara’ kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya yang diambil dari
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya dan mampu menjalankan urusan-urusan negara dan tanggung jawab
kekhilafahan, maka dia tetap sah menjadi khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang. Sebaliknya
apabila telah meninggalkan hukum syara’ serta menjauhkan penerapan hukum-hukum tersebut, maka
berakhirlah masa jabatannya, sekaliupun baru menjabat sehari atau sebulan.

Ketetapan ini didasarkan pada nash baiat yang ada dalam hadits-hadits, yang kesemuanya bersifat
mutlak, bahkan tidak ada batasan masa jabatan tertentu. Dari Anas bin Malik dari Nabi saw bersabda:

‫اسمعوا وأطيعوا وإن استعمل عليكم عبد حبشي كأن رأسه زبيبة‬

Dengar dan taatilah, sekalipun yang memimpin kalian budak yang hitam legam, behkan kepalanya
seperti (keluar) bisul-bisulnya (HR al-bukhari).

Dalam riwayat Muslim dari jalur Ummu al-Husain:

‫يقودكم بكتاب هللا تعالى‬

Selama dia masih memimpin kalian dengan Kitabullah (HR Muslim)

Di samping itu, para khulafa’ur rasyidin masing-masing telah dibaiat sebagaimana baiat yang terdapat
dalam banyak hadits. Mereka tidak ada yang dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Sehingga mereka
masing-masing memimpin khilaf sejak dibaiat hingga meninggal. Hal ini menjadi ijma’ sahabat, bahwa
jabatan khalifah tidak mengenal masa jabatan tertentu.

Namun itu bukan berarti seorang khalifah pasti terus menjabatnya hingga dia meninggal. Sebab ada
ketetapan syara’ berkenaan beberapa keadaan khalifah yang menjadikannya dinyatakan berhenti secara
otomatis dari jabatannya, atau harus diberhentikan oleh mahkamah madzalim.

Kepemimpinan

Kepemimpinan dalam negara sekular-demokrasi bersifat kolektif. Sistem pemerintahan sekular-


demokrasi --baik parlementer maupun presidensial-- mengharuskan adanya kabinet yang di dalamnya
terdapat menteri-menteri dengan spesialisasi departemen-departemen masing-masing dan wewenang
tertentu. Kolektivitas kepemimpinan tampak lebih menonjol dalam sistem parlementer, di mana roda
pemerintahan dijalankan oleh kabinet yang dikepalai seorang perdana menteri. Kabinet secara kolektif
itu bertanggung jawab terhadap parlemen. Sehingga jika parlemen menjatuhkan mosi tidak percaya,
kabinet tersebut harus bubar.

Dalam Islam kepemimpinan bersifat tunggal dan tidak mengenal kepemimpinan kolektif. Tunggalnya
kepemimpinan tersebut didasarkan pada haits-hadits Nabi saw. Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah
saw bersabda:

‫ال يحل لثالثة نفر يكونون بأرض فالة إال أمروا عليهم أحدهم‬

Tidak halal bagi tiga orang yang melakukan perjalanan, kecuali mereka (bertiga) dipimpin oleh seorang
di antara mereka (HR Ahmad)

Dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw bersabda:

‫إذا خرج ثالثة في سفر فليؤمروا أحدخم‬

Apabila ada tiga orang keluar untuk bepergian, hendaknya mereka (bertiga) dipimpin oleh salah seorang
di antara mereka (HR Abu Dawud).

Kata ‫ أحد‬menunjukkan bilangan (adad) yakni jumlah satu. Karena lafadz yang menunjukkan bilangan
dapat digunakan mafhum mukhalafah, selama tidak ada dalil lain yang menggugurkannya. Berdasarkan
mafhum mukhalafah hadits-hadits diatas dapat dipahami bahwa kepimpinan yang ada dalam Islam tidak
diperbolehkan lebih dari satu orang. Ini diperkuat oleh perbuatan Rasulullah saw dalam berbagai
peristiwa yang beliau pimpin. Dalam berbagai peristiwa itu beliau selalu memimpin sendiri dengan
seorang diri tanpa yang lain. Berdasarkan hadits-hadits tersebut maka kepemimpinan yang ada di dalam
Islam harus dipegang satu orang. Tidak diperbolehkan dalam satu urusan atau satu tempat dipimpin
lebih dari satu orang.

Prinsip tunggalnya kepemimpinan juga diterapkan dalam kepemimpinan negara. Kepemimpinan dalam
sistem khilafah bersifat tunggal (individual), yakni di tangan khalifah. Karena dialah yang mendapat baiat
dari umat dan menjadi wakil umat untuk menerapkan syariat. Di dalam sistem khilafah tidak ada
menteri maupun kabinet yang menyertai khalifah sebagaimana dalam konsep demokrasi. Yang ada di
dalam sistem khilafah hanyalah para muawin (pembantu khalifah) yang senantiasa dimintai bantuan
oleh khalifah. Tugas mereka adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka
adalah pembantu sekaligus pelaksana. Ketika memimpin mereka, maka khalifah mereka bukan dalam
kapasistasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan sebagai kepala
negara. Dalam sistem khilafah tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan
wewenang tertentu. Tugas dan kedudukan muawin dalam sistem khilafah adalah membantu khalifah
dan melaksanakan wewenang-wewenangnya.

Pilar Pemerintahan

Dalam negara sekular-demokrasi kedaulatan di tangan rakyat yang terepresentasi di tangan wakil rakyat.
Demikian juga dengan kekuasaan. Rakyat merupakan sumber kekuasaan. Akan tetapi pada prakteknya
keadaulatan dan kekuasaan itu tidak benar-benar berada di tangan rakyat, namun di tangan para
konglomerat pemilik modal raksasa terutama di bidang industri dan media massa. Di Amerika, para
konglomerat inilah yang sebenarnya secara riil mengangkat dan memberhentikan orang-orang yang
menempati lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Siapa saja yang berseberangan dengan
para kapitalis akan tergusur dari kekuasaannya. Yang lebih tragis nasib negara-negara dunia ketiga.
Kedaulatan rakyat di negara-negara tersebut justru telah terampas oleh dominasi negara-negara asing.

Secara praktis, kekuasaan itu dijalankan oleh tiga institusi: yakni legislatif (parlemen), eksekutif (presiden
dan kabinetnya), dan yudikatif (lembaga peradilan). Di berbagai negara, yang biasanya dipilih langsung
oleh rakyat adalah legislatif dan eksekutif (presiden). Ada pun hukum dan undang-undangnya dibuat dan
ditetapkan lembaga legislatif. Di beberapa negara, seperti Indonesia, sebuah undang-undang ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif.

Pilar pemerintahan itu jelasa sangat berbeda dengan sistem khilafah. Di dalam sistem membedakan
antara kedaulatan dengan kekuasaan. Jika kedaulatan ada di tangan syara’ sehingga tidak boleh ada satu
hukum atau undang-undang yang tidak bersumber dari Kitabullah dan Sunnah rasul-Nya, maka dalam
kekuasaan ditetapkan berada di tangan ummat. Artinya, umatlah yang berhak memilih dan mengangkat
orang yang dikehendaki untuk menduduki jabatan khalifah. Karena kekuasaan di tangan umat, seorang
khalifah hanya bisa memiliki kekuasaan dengan jalan bai'at. Hadits yang berkenaan dengan bai'at
menunjukkan bahwa bai'at itu diberikan oleh kaum muslimin kepada khalifah, bukan oleh khalifah
kepada kaum muslimin.

Dalam sistem khilafah, setelah akad bai’at kekuasaan dipegang oleh khalifah. Oleh karenanya
mengangkat seorang khalifah hukumnya fardlu bagi seluruh kaum muslimin. Bahkan ketetapan ini telah
menjadi ijma'.[6] Dalil yang menunjukkan wajibnya mengangkat khalifah ini adalah hadits yang
memberikan celaan berupa mati jahiliyyah bagi setiap orang yang dipundaknya tidak ada bai'at yang
diriwayatkan oleh Imam muslim yang berasal dari Nafi'. Adapun tunggalnya khalifah disandarkan kepada
beberapa hadits Nabi saw.

Mengenai hukum-hukum yang didasarkan dalil yang dzanny, sehingga dapat memunculkan beberapa
penafsiran, sementara hukum tersebut diperlukan dalam pengaturan urusan rakyat dan harus, maka
harus ada salah satu yang diadopsi (tabanny). Berdasarkan Ijma sahabat yang memiliki kewenangan
untuk mengadopsi hukum syara’ sebagai undang-undang hanya khalifah.

Dalam mengadopsi undang-undang khalifah harus terikat dengan hukum-hukum syara', sehingga haram
baginya untuk mengadopsi suatu hukum yang tidak digali dengan cara yang benar, berdasarkan dalil-
dalil syara'. Ia tidak boleh mengadopsi undang-undang yang bertentangan dengan syariat. Dengan
demikian tampak jelas perbedaan pilar negara antara sistem sekular-demokrasi dengan sistem khilafah.

Peran Wakil Rakyat

Peran yang harus dijalankan wakil rakyat dalam sistem pemerintahan negara sekular-demokrasi sangat
berbeda dengan sistem khilafah. Dalam negara sekular-demokrasi, wakil rakyat menjalankan kedaulatan
rakyat. Lembaga perwakilan rakyat inilah yang menetapkan semua hukum dan peraturan dalam negara
tersebut. Di beberapa nagara, parlemen ini juga memiliki wewenang meminta pertanggungjawaban
kepala negara dan memberhentikannya.

Itu sangat berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem khilafah. Wakil rakyat yang terwadahi dalam
majelis ummat sama sekali tidak berfungsi sebagai lembaga legislatif. Dalam Islam, kekuasaan legislatif
hanya milik Allah SWT semata, bukan milik manusia. Kalau pun ada hak mengadopsi hukum-hukum yang
berkaitan dengan pengaturan urusan rakyat dan pemerintahan, maka itu adalah bagi khalifah.

Ijma’ sahabat menetapkan bahwa hanya khalifah yang berhak memilih dan menetapkan hukum-hukum
syariat sebagai undang-undang dasar atau undang-undang lainnya. Ini bukan berarti khalifah memegang
kekuasaan legislatif. Sebab, khalifah tidak membuat hukum sendiri, namun hanya sekadar mengambil
hukum-hukum syariat yang terkandung dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya berdasarkan kriteria
dalil melalui proses ijtihad yang benar. Khalifah tidak boleh memilih dan menetapkan hukum kecuali
berupa hukum semata.

Dalam mengadopsi hukum syara’ menjadi undang-undang, khalifah diperbolehkan mengajukannya


kepada majelis umat untuk meminta pendapatnya mengenai masalah tersebut. Akan tetapi pendapat
majelis dalam masalah ini tidak mengikat.

Tugas utama anggota majelis ummat adalah mewakili aspirasi kaum muslimin agar menjadi
pertimbangan khalifah dan tempat khalifah meminta masukan dalam urusan kaum muslimin. Mereka
juga mewakili ummat melakukan muhasabah (kontrol dan koreksi) terhadap pejabat pemerintahan. Di
samping itu majelis ummat juga berwenang untuk memberikan masukan kepada khalifah.

Berdasarkan uraian di atas nampak jelas perbedaan sistem khilafah dengan sistem pemerintahan
sekular-demokrasi. Masihkah kita menganggap Islam sama dengan demokrasi? Wallah a’lam bi al-
shawab

Anda mungkin juga menyukai