Anda di halaman 1dari 26

GOOD AND CLEAN GOVERNANCE

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas dalam Mata Kuliah
PPKN Jurusan Pendidikan Agama Islam
pada Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Alauddin Makassar

Oleh

KELOMPOK III

SAHRIL NIM. 20100115037


MASDIANA NIM. 20100115009
REZKI IMTIHANAH HAMSAR NIM. 20100115025
FAISAL TAMUDDIN NIM. 20100115019
AHMAD SUKRAN NIM. 20100115040
ISTIQAMAH NIM. 20100115007
ANDI ISMI NURWIRATMI NIM. 20100115035
MIFTAHUL JANNAH RIDWAN NIM. 20100115028
SURDAYANTI RUKMANA NIM. 20100115018

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2015
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرّ حمن الرّحيم‬


Segala  puji  hanya  milik  Allah subhanahu wa ta’ala dan  salam  selalu

tercurahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Berkat  limpahan

rahmat dan karunia-Nya penyusun  mampu  menyelesaikan  tugas  makalah ini

guna memenuhi salah satu tugas  mata kuliah.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang

penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan

materi ini tidak lain berkat Allah subhanahu wa ta’ala.

Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang good

and clean governance. Makalah ini disusun dengan berbagai rintangan, baik itu

yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar. Namun dengan

penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah subhanahu wa ta’ala

akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan

menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para mahasiswa.

Apabila dalam makalah ini pembaca menemukan kekurangan atau kesalahan,

untuk itu,  saya  mohon sarannya  demi  perbaikan  pembuatan  makalah  di masa 

yang  akan datang.

Samata, Maret 2016

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... ii


DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1-2

A. Latar Belakang ..................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................ 2
C. Tujuan Penulisan ................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................... 3-21

A. Pengertian Good and Clean Governance ............................. 3


B. Prinsip-prinsip Pokok Good and Clean Governance ........... 4
C. Good Governance dalam Rangka Otonomi Daerah ............. 12
D. Good and Clean Governance dan Kontrol Sosial .................. 13
E. Korupsi Penghambat Utama Tata Kelola Pemerintahan yang baik
dan Bersih............................................................................... 16
F. Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Kinerja Bikorasi
Pelayanan Publik.................................................................... 19

BAB III PENUTUP ................................................................................ 22

A. Kesimpulan .......................................................................... 22
B. Saran .................................................................................... 22

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 23

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Istilah good and clean governance (pengelolaan atau tata pemerintahan


yang bersih dan baik)merupakan wacana yang mengiringigerakan reformasi.
Wacana good and clean governance sering kali dikaitkan dengan tuntunan akan
pengelolaan pemerintah yang profesional, akuntabel, dan bebas korupsi, kolusi
dan nepotisme (KKN). Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain
disebabkan oleh tatacara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan
diatur dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit
berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada
masyarakat yang memburuk.
Masalah-masalah tersebut juga telah menghambat proses pemulihan
ekonomi Indonesia, sehingga jumlah pengangguran semakin meningkat, jumlah
penduduk miskin bertambah, tingkat kesehatan menurun, dan bahkan telah
menyebabkan munculnya konflik-konflik di berbagai daerah yang dapat
mengancam persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia.
Bahkan kondisi saat inipun menunjukkan masih berlangsungnya praktek
dan perilaku yang bertentangan dengan kaidah tata pemerintahan yang baik, yang
bisa menghambat terlaksananya agenda-agenda reformasi.
Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi pembuatan
dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi.
Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan
saling ketergantungan antarbangsa, terutama dalam pengelolaan sumber-sumber
ekonomi dan aktivitas dunia usaha (bisnis).
Kedua perkembangan diatas, baik demokratisasi maupun globalisasi,
menuntut redefinisi peran pelaku-pelaku penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah, yang sebelumnya memegang kuat kendali pemerintahan, cepat atau

1
lambat harus mengalami pergeseran peran dari posisi yang serba mengatur dan
mendikte ke posisi sebagai fasilitator. Dunia usaha dan pemilik modal, yang
sebelumnya berupaya mengurangi otoritas negara yang dinilai cenderung
menghambat perluasan aktivitas bisnis, harus mulai menyadari pentingnya
regulasi yang melindungi kepentingan publik. Sebaliknya, masyarakat yang
sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficiaries), harus mulai
menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang juga harus berfungsi
sebagai pelaku.
Oleh karena itu, tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar
segala permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga proses
pemulihan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan diatas dapat
dirumuskan masalahnya adalah “Bagaimana Mengetahui Masalah Good and
Clean Governance?”
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui masalah
good and clean governance.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Good and Clean Governance

Istilah good and clean governance merupakan wacana baru dalam kosakata
ilmu politik. Ia muncul pada awal 1990-an. Secara umum, istilah good and clean
governance memiliki pengertian akan segala hal yang terkait dengan tindakan
atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan atau mempengaruhi
urusan publik untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini, pengertian good governance tidak terbatas pengelolaan
lembaga pemerintah semata, tetapi menyangkut semua lembaga pemerintah
maupun nonpemerintah (lembaga swadaya masyarakat) dengan istilah good
comporate. Bahkan, prinship-prinship goob governance dapat pula diterapkan
dalam pengelolaan lembaga social dan kemasyarakatan dari paling sederhana
hingga paling berskala besar, seperti arisan, pengajian, perkumpulan olahraga di
tingkat rukun tetanggga (RT), organisasi kelas hingga oraganisasi di atasnya.
Di Indonesia, substansi wacana good governance dapat di padankan
dengan istilah pemerintah yang baik, bersih, dan berwibawa. Pemerintahan yang
baik adalah dimana kekuasaan kekuasaan dilakukan oleh masyarakat yang di atur
oleh berbagai tingkatan pemerintah negara yang berkaitan dengan sumber-sumber
sisoal, budaya politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya, pemerintah yang bersih
(clean government) adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur,
teansparan, dan bertanggung jawab.
Sejalan dengan prinsip di atas, pemerintah yang baik itu berarti baik dalam
proses maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak
secara sinergis, tidak saling berbenturan, dan memperoleh dukungan dari rakyat.
Pemerintahan juga bisa dikatakan baik jika pembangunan dapat dilakukan dengan
biaya yang sangat minimal namun dengan hasil masksimal. Faktor lain yang tak
kalah penting, suatu pemerintahan dapat dikatakan baik produktivitas bersinergi
dengan peningkatan indikator kemampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek
produktivitas, daya beli, maupun kesejahtaraan spritualitasnya.

3
Untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi di atas, proses pembentukan
pemerintahan yang berlangsung secara demokratis mutlak dilakukan. Sebagai
sebuah paradigma pengelolaan lembaga negara, good and clean governance dapat
terwujud secara maksimal jika ditopang oleh kedua unsur yang paling terkait:
Negara dan Masyarakat madani yang terdapat didalam sektor swasta. Negara
dengan bikorasi pemerintahannya dituntut untuk mengubah pola pelayanan publik
dari perspektif birokrasi elitis menjadi birokrasi populis. Birokrasi populis adalah
tata kelola pemerintahan yang berorientasi melayani dan berpihak kepada
kepentingan masyarakat.
Pada saat yang sama, sebagai komponen diluar birokrasi Negara, sektor
swasta (corporate sectors) harus pula bertanggung jawab dalam proses
pengelolaan sumber daya alam dan perumusan kebijakan publik yang menjadi
masyarakat sebagai mitra strategis. Dalam hal ini, sebagai bagian dari pelaksanaan
good and clean governance, dunia usaha berkewajiban untuk memiliki tanggung
jawab sosial (corporate social responsibility/CSR), yakni dalam bentuk kebijakan
sosial perusahaan yang bertanggung jawab langsung dengan peningkatan
kesejahteraan masyarakat dimana suatu perusahaan beroperasi. Bentuk tanggung
jawab sosial (CSR) ini dapat diwujudkan dalam program-program pengembangan
masyarakat (community empowerment) dan pelestarian lingkunagn hidup.

B. Prinsip-prinsip Pokok Good and Clean Governance

Untuk merealisasikan pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang


bersandar pada prinsip-prinsip good governance, lembaga admistrasi negara
(LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental (asas) dalam good governance
yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Partisipasi (Participation)
2. Penegakan Hukum (Rule of Law)
3. Transparansi (Transparency)
4. Responsif (Responsiveness)
5. Orientasi Kesepakatan (Consensus Orientation)
6. Keadilan (Equity)

4
7. Efektivitas (Effectiviness) dan Efisiensi (Efficiency)
8. Akuntabilitas (Accountability)
9. Visi Strategis (Strategi Vision)

1. Partisipasi (Participation)
Semua warga masyarakat berhak terlibat dalam pengambilan keputusan,
baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan yang sah untuk mewakili
kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan
kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat serta kapasitas untuk
berpartisipasi secara kontruktif. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam
seluruh aspek pembangunan , termasuk dalam sektor-sektor kehidupan sosial
lainnya selain kegiatan politik maka regulasi birokrasi harus diminimalisir.
Paradigma birokrasi sebagai center for public service harus diikuti dengan
deregulasi berbagai aturan, sehingga proses sebuah usaha dapat dilakuakan
dengan efektif dan efisien. Tidak cukup dengan itu, aparatur pemerintah juga
harus mengubah paradigma dari penguasa birokrat menjadi pelayan masyarakat
(public server) dengan memberikan pelayanan yang baik, memiliki perhatian yang
humanis terhadap client-nya memberikan pelayanan yang efisien, tepat waktu
serta dengan biaya murah, sehingga mereka memiliki legitimasi dari masyarakat.
2. Penegakan Hukum
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan
kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa diimbangi
oleh sebuah hukum dan penegakannya yang kuat, partisipasi akan berubah
menjadi proses politik yang anarkis. Ditambahkan pula bahwa pelaksana
kenegaraan dan aturan hukum yang kuat serta memiliki kepastian.
Sehubungan dengan hal tersebut, realisasi wujud good and clean
governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan hukum yang
mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Supremasi hukum (the supremacy of law); yakni setiap tindakan unsur-unsur
kekuasaan negara dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan

5
berbangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan peraturan yang jelas dan
tega dan dijamain pelaksanaannya secara benar serta independen.
b. Kepastian hukum (legal certainty); bahwa setiap kehidupan berbangsa dan
bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikasi dan tidak
bertentangan antara satu dengan lainnya.
c. Hukum yang responsif; yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan
aspirasi msyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan
publik secara adil.
d. Penegakkan hukum yang konsisten dan non diskriminatif; yakni penegakan
hukum yang berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu.
e. Independensi peradilan; yakni peradilan yang independen bebas dari pengaruh
penguasa atau pengaruh lainnya.
3. Transparansi (Transparency)
Salah satu yang menjadi persoalan bangsa di akhir masa orde baru adalah
mererbaknya kasus-kasus korupsi yang berkembang sejak awal masa rejim
kekuasaannya.Korupsi sebagai tindakan, baik dilakukan individu maupun
lembaga yang secara langsung merugikan negara, merupakan salah satu yang
harus dihindari dalam upaya menuju cita good governance.
Salah satu yang dapat menimbulkan dan memberi ruang gerak kegiatan
korupsi adalah manajemen pemerintahan yang tidak transparan. Oleh karena itu
Michael Camdessus (1997), dalam salah satu rekomendasinya pada PBB untuk
membantu pemulihan (recovery) perekonomian Indonesia menyarankan perlunya
tindakan pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang
transparan, khususnya transparansi dalam transaksi keuangan negara, pengelolaan
uang negara di bank sentral (BI), serta transparansi sektor-sektor publik.
Pihak IMF memang sangat serius dalam mempertahankan kebijakan
pemberantasan korupsi untuk membantu proses recovery ekonomi, karena
walaupun sudah menjadi fenomena universal, tapi di Indonesia, korupsi sudah
menimbulkan efek metastarik, yakni penyebaran ke seluruh elemen birokrasi
pemerintahan, dari puncak pimpinan sampai pada pegawai yang paling rendah
sekalipun.

6
Gaffar menyimpulkan setidaknya ada delapan aspek mekanisme
pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu:
a. Penetapan posisi, jabatan atau kedudukan Kekayaan pejabat publik
b. Pemberian pengahrgaan
c. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan
d. Jesehatan
e. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik
f. Keamanan dan ketertiban
g. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat
4. Responesif (Responsiveness)
Asas responsif dalam pelaksanaan prinsip-prinsip good and clean
governance bahwa pemerintah harus peka dan cepat tanggap terhadap persoalan-
persoalan masyarakat. Gaffar menegaskan bahwa pemerintah harus memahami
kebutuhan masyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginan-
keinginannya itu, tapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisis
kebutuhan-kebutuhan mereka, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan
strategis guna memenuhi kebutuhan umum tersebut. Sesuai dengan asas responsif,
maka setiap unsur pemerintahan harus memiliki dua etik, yakni etik individual
dan etik sosial. Kualifikasi etik individual menuntut mereka agar memiliki kriteria
kapabilitas dan loyalitas profesional. Sedangkan etik sosial menuntut mereka agar
memiliki sensitifitas terhadap berbagai kebutuhan publik.
Terkait dengan asas responsif ini, pemerintah harus terus merumuskan
kebijakan-kebijakan pembangunan sosial terhadap semua kelompok sosial dalam
karakteristik kulturalnya. Dalam upaya mewujudkan asas responsif pemerintah
harus melakukan upaya-upaya strategis dalam memberikan perlakuan yang
humanis pada kelompok-kelompok masyarakat tanpa pandang bulu.

5. Konsensus (Consensus Orientation)


Asas konsensus adalah bahwa keputusan apa pun dilakukan melalui proses
musyawarah dan semaksimal mungkin berdasar kesepakatan bersama. Cara
pengambilan keputusan tersebut selain dapat memuaskan semua pihak atau

7
sebagian besar pihak juga dapat menarik komitmen komponen masyarakat
sehingga memiliki legitimasi untuk melahirkan coercive power (kekuatan
memaksa) dalam upaya mewujudkan efektifitas pelaksanaan keputusan.
Pelaksanaan prinsip pada praktiknya sangat terkait dengan tingkat partisipasi
masyarakat dalam kegiatan pemerintahan, kultur demokrasi, serta tata aturan
dalam pengambilan kebijakan yang berlaku dalam sebuah sistem.
6. Kesetaraan Dan Keadilan (Equity)
Asas kesetaraan (equity) yakni kesamaan dalam perlakuan (treatment) dan
pelayanan. Asas ini dikembangkan berdasarkan pada sebuah kenyataan bahwa
bangsa indonesia tergolong bangsa yang plural, baik dilihat dari segi etnik, agama
dan budaya. Pluralisme ini tentu saja pada satu sisi dapat memicu masalah apabila
dimanfaatkan dalam konteks kepentingan sempit seperti primordialisme, egoisme,
dan sebagainya. Karenanya prinsip equity harus diperhatikan agar tidak
memunculkan akses yang tidak diinginkan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sebagai sebuah bangsa beradab, dan terus berupaya menuju cita good
governance, proses pengelolaan pemerintahan itu harus memberikan peluang,
kesempatan, pelayanan, dan treatment yang sama dalam koridor kejujuran dan
keadilan. Tidak ada seorang atau sekelompok orang pun teraniaya dan tidak
memperoleh apa yang menjadi haknya. Pola pengelolaan pemerintah seperti ini
akan memperoleh legitimasi yang kuat dari publik dan akan memperoleh
dukungan serta partisipasi yang baik dari rakyat.
7. Efektivitas (Effectiveness) dan Efisiensi (Efficiency)
Di samping harus memperhatikan baragam kepentingan dari berbagai
lapisan dan kelompok sosial sebagimana ditekankan pada asas equity,
pemerintahan yang baik juga harus memenuhi kriterial efektivatas dana efisiensi,
yakni berdayaguna dan berhasilguna. kriterial efektivitas biasanya diukur dengan
parameter produk dari berbagai yang dapat menjangkau sebesar-besarnya
kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial. Sedangkan
efisiensi biasanya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan untuk
memenuhi kebutahan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang terpakai untuk

8
kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan itu termasuk dalam kategori
pemerintahan yang efisien.
Konsep efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna
ganda, yakni efektivitas dalam pelaksanaan proses-proses pekerjaan, baik oleh
penjabat publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua efektivitas dalam
konteks hasil, yakni mampu memberikan kesejahteraan pada sebesar-besar
kelompokdan lapisan sosial. Demikian pula makna efisiensi yang mencakup
antara lain efisiensi teknis, efisiensi ongkos dan efisiensi pekerjaan yang terserap
penuh oleh masyarakat, dan tidak ada hasil pembangunan yang useless, atau tak
terpakai.
Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat perancang
dan pelaksana tugas-tugas pemerintahan harus mampu menyusun perencanaan-
perencanaan yang sesuai dengan kebutahan nyata dari masyarakat, secara rasional
dan terukur. Dengan perencanaan yang rasional tersebut, maka harapan partisipasi
masyarakat akan dapat digerkakan dengan mudah, karena program-program itu
menjadi bagian dari kebutuhan mereka, kemudian untuk memperoleh partisipasi
yang besar, para aparatur serta pejabat pemerintahan juga harus bersikap terbuka,
dan memberikan kesempatan dan pelayanan kepada merekan dengan baik dan
mudah. Selain itu, pemerintahan juga harus mampu menekan ancaman-ancaman
eksternal yang dapat mengganggu stabilatas politik dan keamanan, karena tanpa
rasa aman yang tinggi, partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan sangat
sulit diharapkan secara optimal. Gerakan-gerekan politik untuk menekan para
pengambil kebijakan dengan mengerahkan massa yang sangat rentan dengan
perilaku kekerasan, selain akan memperlambat proses pembangunan, juga akan
menyerap dana dan biaya yang tidak perlu, setidaknya untuk biaya pengamanan
aset-aset negara dan penumbuhan rasa aman pada masyarakat.
Dengan demikian, peningkatan efektivitas pemerintahan harus dilakukan
secara komprehensif, tidak sekedar rekayasa internal untuk meningkatakan kinerja
pemerintahanya sendiri, tetapi juga harus diimbangi dengan pembinaan dan
pertumbahan sikap-sikap demokratis masyarakat yang beradab dan anti kekerasan,
karena gerakan-gerakan massa itu, jika disertai dengan tindakan-tindakan anarkis

9
dan kekerasan, justru akan melemahkan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan. Fenomena itu justru akan mengakibitkan pemerintahan itu tidak
efektif dan efisien. Oleh sebab itu, pemahaman demokrasi yang salah satu
wujudkan adalah melekukan pelibatan masyarakat dalam pngambilan kebijakan
publik, harus ditata sedemikian rupa, agar proses tersebut tidak melanggar etika
demokrsi yang beradab, dan tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat,
sehingga legitimasi pemerintahan yang dibangun dengan sistem demokrasi tidak
menimbulkan dampak-dampak yang mengurangi efektivitas dan efensiensi
pemerintahannya sendiri.
8. Akuntabilitas (accountability)
Asas akuntabilitas menjadi perhatian dan sorotan pada era reformasi ini,
karena kelemahan pemerintahan Indonesia justru dalam kualitas akuntabilitasnya
itu. Asas akuntabilitas berarti pertanggungjawaban pejabat publik terhadap
masyarakat yang memberinya delegasi dan kewenangan untuk mengurusi
berbagai urusan dan kepentingan mereka. Setiap pejabat publik dituntut untuk
mempertanggungjawabkan semua kebijakan, perbuatan, moral maupun netralitas
sikapnya terhadap masyarakat.
Pengembangan asas akuntabilitas dalam kerangka good governance tiada
lain agar para pejabat atau unsur-unsur yang diberi kewenangan mengelola urusan
publik itu senantiasa terkontrol dan tidak memiliki peluang melakukan
penyimpangan untuk melakukan KKN. Dengan asas ini mereka terus memacu
produktifitas profesionalnya sehingga berperan besar dalam memenuhi berbagai
aspek kepentingan publiknya.
Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut dua dimensi, yakni akuntabilitas
vertical dan akuntabilitas horizontal.Akuntabilita vertical menyangkut hubungan
antara pemegang kekuasaan dengan rakyatnya, antara pemerintah dan warganya.
Rakyat melalui partai politik, LSM dan institusi-institusi lainnya berhak meminta
pertanggungjawaban kepada pemegang kekuasaan negara. Pemegang kekuasaan
atau jabatan publik dalam struktur kenegaraan harus menjelaskan kepada rakyat
apa yang telah, sedang dan akan dilakukannya dimasa yang akan datang, sebagai
wujud akuntabilitas manajerialnya terhadap publik yang memberi kewenangan.

10
Kemudian akuntabilitas verikal juga bermakna bahwa setiap pejabat harus
mempertanggungjawabkan sebagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya
terhadap atasan yang lebih tinggi.
Sementara akuntabilitas horisontal adalah pertanggungjawaban pemegang
jabatan publik pada lembaga yang setara, seperti gubernur dengan DPRD tingkat
I, Bupati dengan DPRD tingkat II, dan presiden dengan DPR pusat, yang
pelaksanaannya bisa dilakukan oleh para menteri sebagai pembantu presiden.
Selain akuntabilitas profesional, para pejabat publik atau unsur-unsur pengelola
urusan umum dan kenegaraan juga harus memiliki akuntabilitas personal, baik
dalam aspek profesi dan kewenangan delegatifnya, maupun dalam aspek
moralitasnya. Oleh sebab itu, setiap anggota DPR harus mampu
memepertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannnya terhadap
konstituennya. Demikian pula dengan pejabat publik dalam struktur
pemerintahan, harus mampu mempertanggungjawabkan kapabilitas dan royalitas
individualnya, baik dalam lingkungan profesi setaranya maupun terhadap
atasannya. Jika mereka melakukan pelanggaran etika dan moralitas, mereka harus
dengan berani memeprtanggunjawabkan pelanggarannya itu.
9. Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategi adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi
masa yang akan datang. Kualifikasi ini menjadi penting dalam kerangka realisasi
good and clean governance, karena perubahan dunia dengan kemajuan
teknologinya yang begitu cepat. Bangsa-bangsa yang tidak memiliki sensitifitas
terhadap perubahan serta prediksi perubahan ke depan, tidak saja akan tertinggal
oleh bangsa lain di dunia, tetapi juga akan terperosok pada akumulasi kesulitan,
sehingga proses recoverynya tidak mudah. Salah satu contoh, kecerobohan bangsa
Indonesia dalam menerapkkan kebijakan devisa bebas di era 1980-an, dan
memberi peluang pada sektor swasta untuk melakukan direct loan (pinjamn
langsung) terhadap berbagai lembaga keuangan di luar negeri, dengan tanpa
memperhitungkan jadwal pembayaran yang rasional, telah mengakibatkan krisis
keuangan diakhir 1990-an, yang mengakibatkan nilai tukar dolar meningkat dan

11
kurs rupiah anjlok. Dengan demikian, kebijakan apapun yang akan diambil saat
ini, harus diperhitungkan akibatnya pada sepuluh atau dua puluh tahun ke depan.
Tidak hanya itu, berbagai gejala dan perkembangannya yang terjadi di
dunia luar harus dianalisis dampak-dampaknya bagi bangsa ini, baik langsung saat
ini, maupun di masa yang akn datang, sehingga dapat dirumuskan berbagai
kebijakan untuk mengatasi dan mengantisipasinya. Jika tidak, maka bangsa kita
akan dikagetkan lagi dengan dampak-dampak yang tidak diprediksikan itu,
sehingga banyak timbul berbagai kesulitan, baik ekonomi maupun aspek-aspek
kehidupan sosial lainnya. Aspek lain yang lebih penting dalam konteks pandangan
strategi untuk masa yang akan datang, adalah perumusan-perumusan blueprint
design kehidupan ekonomi, sosial dan budaya utnuk sekian tahun ke depan, yang
harus dirancang dan dikerjakan sejak sekarang.
Oleh sebab itu, sudah saatnya semua komponen bangsa bersatu padu
memikirkan tentang bansanya ke depan, dan menunda bahkan mengeliminir
sekat-sekat etnik, ras, budaya, agama, bahkan friksi-friksi keagamaan yang
menggring ke arah friksi aliran dan kepentingan politik. Selama bangsa ini belum
mampu menggalang persatuan dan kesatuan, dan terus-menerus dalam konflik itu,
tanpa sempat memikirkan dan merumuskan blueprint bangsa ke depan.

C. Good Governance dalam Rangka Otonomi Daerah

Desentralisasi bagi penyelenggaraan pemerintahan yang baik (Good


Governance) dan pembangunan regional menjadi topic utama di United Nations
Cantre for Regional Development (UNCRD) sejak pertemuan mendalam terhadap
berbagai pandangan dan pengalaman negara-negara dalam mendesain dan
mengimplementasikan program-program pembangunan. Berbagai literature
tentang desentralisasi sebagaimana dikemukakan oleh Walter O. Oyugi
memberikan penekanan bahwa desentralisasi merupakan prasyarat bagi
terciptanya Good Governance.Dasar asumsinya adalah bahwa Good Governance
menyangkut situasi dimana terdapat pembagian kekuasaan (power sharing) antara
pusat dan daerah dalam proses pengambilan keputusan. Pemerintah local sebagai
satu bentuk desentralisasi memberikan kontribusi bagi local self-government,

12
dengan asumsi bahwa local self-government juga memiliki makna tersebut.
Alasan lainnya adalah bahwa pemerintahan local akan memelihara berbagai
penerimaan masyarakat (grassroot) terhadap demokrasi.
Perubahan paradigma penyelenggaraan pemerintah daerah, dari
sentralisasi ke desentralisasi, dari terpusatnya kekuasaan pada pemerintahan
daerah (eksekutif) ke power sharing antara eksekutif dan legislative daerah, harus
ditindaklanjuti dengan perubahan menajemen perubahan manajemen
pemerintahan daerah harus terjadi perubahan nilai yang semula menganut proses
manajemen yang berorientasi kepada kepentingan internal organisasi pemerintah
kepentingan eksternal disertai dengan peningkatan pelayanan dan pendelegasian
sebagain tugas pelayanan pemerintah ke masyarakat.
Dalam rangka membangun good governance di daerah prinsip-prinsip
fundamental yang menopang tegaknya good governance harus diperhatikan dan
diwujudkan tanpa terkecuali. Penyelenggaraan otonomi daerah pada dasarnya
akan betul-betul akan terealisasi dengan baik apabila dilaksanakan dengan
memakai prinsip-prinsip good governance.

D. Good and Clean Governance dan Kontrol Sosial

Sejalan dengan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan salah


satu tujuan dari implementasi good and clean governance. Keterlibatan
masyarakat dalam proses pengelolaan lembaga pemerintahan pada akhirnya akan
melahirkan kontrol masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga
pemerintahan.kontrol masyarakat akan berdampak pada tata pemerintahan yang
baik, efektif, dan bebas dari KKN. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik
dan bersih berdasarkan prinsip-prinsip pokok good and clean governance,
setidaknya dapat dilakukan melalui pelaksanaan prioritas program, yakni:
1. Penguatan Fungsi dan Peran Lembaga Perwakilan
Lembaga perwakilan rakyat, yakni DPR, DPD, dan DPRD harus mampu
menyerap dan mengartikulasikan berbagai aspirasi masyarakat dalam berbagai
bentuk program pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat,
serta mendelegasikannya pada eksekutif untuk merancang program-program

13
operasional sesuai rumusan-rumusan yang ditetapkan dalam lembaga perwakilan
tersebut. Kemudian, lembaga perwakilan (DPR dan DPRD) terus melakukan
fungsi kontrolnya terhadap lembaga eksekutif, sehingga seluruh gagasan dan
aspirasi yang dikehendaki rakyat melalui para wakilnya itu dapat dilaksanakan
dengan baik oleh seluruh perangkat lembaga eksekutiF.
Selain itu, fungsi kontrol DPR dan DPRD juga harus dilakukan untuk
mengawasi akuntabilitas proses pelaksanaanya, sehingga terhindar dari berbagai
bahaya internal yakni pelayanan yang tidak obyektif, penggunaan wewenang dan
kekuasaan untuk kepentingan pribadi, kelompok, golongan atau partai politiknya
sehingga terwujud pemerintahan yang bersih, legitimat, dan dapat menggerakkan
partisipasi rakyat dalam pembangunan.
Fungsi-fungsi ini, pada masa orde baru tidak sepenuhnya berjalan karena
pemebrian kewenangan pada presiden yang terlalu besar, baik untuk recall
anggota DPR, penelitian khusus calon anggota dewan, bahkan ada kewenangan
presiden untuk mengawasi serta membubarkan partai politik, membuat daya tawar
para anggota dewan dihadapan presiden menjadi sangat lemah, padahal justru
lembaga yang harus diawasi dan dikontrolnya. Berbagai pembaharuan sejak era
reformasi menjadikan proses revitalisasi lembaga-lembaga perwakilan memiliki
peluang yang sangat besar. Bahkan sekarang telah terjadi perubahan pendulum
kekuasaan dari executive heavy menjadi legislative heavy yang sebenarnya juga
tidak baik dalam pendewasaan demokrasi di Indonesia.
2. Kemandirian Lembaga Peradilan
Kesan yang paling buruk dari pemerintahan orde baru adalah ketidak
mandirian lembaga peradilan. Intervensi eksekutif terhadap yudikatif masih sangat
kuat, sehingga peradilan tidak mampu menjadi pilar terdepan dalam menegakkan
asas rule of law. Hakim, jaksa dan polisi tidak bisa dengan leluasa menetapkan
perkara, sehingga mereka tidak mampu menampilkan dirinya sebagai the prophet
of law. Era reformasi sebgaia era pembaharuan nampaknya masih belum
memberikan angin segar bagi independensi lembaga peradilan, karena
mainstream pembaharuan independensasi lembaga peradilan sampai saat ini
belum jelas. Produk monumental dari pemerintahan pasca orde baru belum

14
menyentuh pemisahan antara Departemen Kehakiman dengan Mahkamah Agung
secara maksimal hingga posisi hakim masih terkesan ambigu dalam
kedudukannya sebagai badan yudikatif dan kepanjangan tangan eksekutif.
Lahirnya UU No. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dari
korupsi, kolusi dan nepotisme pun belum mengubah citra pemerintah menjadi
lebih baik kareana belum diikuti oleh political action yang serius dalam
pemberantasan KKN. Sementara konsep peradilan yang bersih dan profesional
belum jelas, dan baru menjadi wacana atau diskursus di sekitar kalangan
akademisi serta praktisi hukum yang peduli terhadap judical independence. Untuk
mewujudkan Good and Clean Governance lembaga peradilan dan aparat penegak
hukum yang mandiri, profesional dan bersih menjadi persyaratan mutlak. \
3. Aparatur Pemerintah yang Profesional dan Penuh Integritas
Birokrasi di Indonesia tidak hanya dikenal buruk dalam memberikan
pelayanan publik, tapi juga telah memberi peluang berkembangnya praktik-
praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Dengan demikian, pembaharuan
konsep dan mekanisme kerja birokrasi merupakan sebuah keharusan dalam proses
menuju cita good and clean governance. Jajaran birokrasi harus diisi oleh mereka
yang memiliki kemampuan profesionalitas baik, memiliki integritas, berjiwa
demokratis, dan memiliki akuntabilitas yang kuat sehingga memperoleh legitimasi
dari rakyat yang dilayaninya. Karena itu paradigma pengembangan birokrasi yang
peka terhadap berbagai aspirasi dan kepentingan rakyat, serta memiliki integritas
untuk memberikan pelayanan kepada rakyatnya dengan pelayanan yang prima.
4. Penguatan Partisipasi Masyarakat Madani (Civil Society)
Peningkatan partisipasi masyarakat adalah unsur peting lainnya dalam
merealisasikan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Partisipasi masyarakat
dalam proses kebijakan publik pada dasarnya dijamin oleh prinsip-prinsip HAM.
Masyarakat mempunyai hak atas informasi, mempunyai hak untuk menyampaikan
usulan, dan juga mempunyai hak untuk melakukan kritik terhadap berbagai
kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan, baik melalui lembaga
perwakilan, pers maupun penyampaian secara langsung dalam bentuk dialog-

15
dialog terbuka dengan LSM, Partai Politik, Organisasi Massa, atau institusi sosial
lainnya.
5. Penguatan Upaya Otonomi Daerah
Salah satu kelemahan dari pemerintahan masa lalu adalah kuatnya
sentralisasi kekuasaan pada pemerintah pusat, sehingga potensi-potensi daerah
dikelolah oleh pemerintah pusat. Kebijakan ini telah menimbulkan akses yang
amat parah, karena banyak daerah yang amat kaya dengan sumber daya alamnya,
justru menjadi kantong-kantong kemiskinan nasional. Oleh sebab itulah, pada era
reformasi ini, para pengelola negara telah melahirkan UU No. 22 Tahun 1999,
tentang otonomi daerah dan telah memberikan kewenangan pada daerah untuk
melakukan pengelolaan sektor-sektor tertentu, seperti sektor kehutanan,
pariwisata, koperasi, pertanian pendidikan dan lainnya. Dengan kewenangan itu,
daerah akan menjadi kuat dan dinamis, terutama daerah-daerah yang miskin
dengan sumber daya alamnya, karena harus memacu Pendapatan Asli Daerah
untuk membiayai kehidupan daerahnya. Salah satu yang harus diperkuat utnuk
mewujudkan otonomi daerah yang efektif, selain penguatan SDM, adalah
komposisi anggota DPRD yang harus kuat, karena check and balance terhadap
jalannya pemerintahan sangat tergantung pada kekuatan lembaga perwakilan
daerah tersebut dalam menjalankan fungsinya.

E. Korupsi Penghambat Utama Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan


Bersih

Arus deras demokrasi di Indonesia menghadapi kendala sangat serius


yakni perilaku korup di kalangan penyelenggaraan negara, pegawai pemerintah,
maupun wakil rakyat. Hampir setiap hari masyarakat dibanjiri dengan berita
kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan melalui tindakan pencurian uang rakyat.
Hal yang sangat memprihatinkan, partai politik dan dunia pendidikan pun ternyata
tidak bebas dari praktik-praktik korupsi. Otonomi daerah yang selama ini
dilakukan masih diwarnai oleh pengalihan tradisi korupsi di pusat pemerintahan
ke daerah. Tindakan penyalahgunaan Anggaran Pembangunan dan Biaya Daerah
(APDB) yang dilakukan oleh pemerintahan daerah (pemda) dan anggota legislatif

16
(DPRD) tak kalah ramainyadiberitakan oleh media massa. Pengawasan yang
dilakukan oleh sejumlah lembaga, seperti Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKB) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun
lembaga swadaya masyarakat (LSM), seakan belum cukup untuk mengikis
tindakan korupsi di kalangan pejabat negara.
Menurut Badan Pengawas Keuangan dan Pembagunan (BPKP), korupsi
merupakan tindakan yang merugikan kepentingan umum dan masyarakat luas
demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Kasus-kasus korupsi Indonesia
tidaklah berdiri sendiri. Banyak kalangan korupsi kolektif banyak dilakukan para
politisi di saat mereka melakukan dan menentukan anggaran pembangunan hingga
penyelenggaraan tender proyek dan pelaksanaan proyek pembangunan. Bisa
dibayangkan berapa kerugian negara jika korupsi sudah dilakukan oleh
penyelenggara negara sejak dari hulu hingga ke hilir pembangunan. Banyaknya
bangunan sekolah yang roboh sebelum waktunya dan, yang paling spektakuler,
ambruknya jembatan kutai Kertanegara (Kukar) di Kalimntan Timur pada
November 2011 merupakan diantara kejadian yang tidak bisa dilepaskan dari
praktik-praktik korupsi selama proses peeencanaan dan pelaksanaan
pembangunannya. Kejadian-kejadian ini masih diramaikan dengan praktik politik
uang (money politics) dalam pemilihan kepala daerah dan pimpinan partai politik
maupun suap menyuap yang dilakukan oleh masyarakat terhadap aparat hukum
dan pemerintahan dalam hal pelayanan publik. Tak megherankan jika posisi
Indonesia masih tertinggal oleh banyak negara di dunia dalam hal pemberantasan
korupsi. Prestasi yang tidak signifikan dibanding dengan capaian Indonesia dalam
hal berdemokrasi.
Menurut data Indeks Persepsi Korupsi 2011 yang dilansir oleh situs resmi
Transparansi Internasional, dalam hal persepsi publik terhadap korupsi sektor
publik Indonesia masuk di urutan ke-100 dunia dengan skor rendah (3).
Sementara di antara negara-negara di kawasan Asia Pasifik-Indonesia bertandang
di urutan ke-20. Dari data mutakhir ini tampaknya Indonesia masih membutuhkan
kerja keras, khusunya pemerintah, dalam upaya-upaya pencegahan dan tindakan
korupsi di kalangan penyelenggara pemerintahan. Dalam ranah hukum, pemberian

17
vonis yang berat dan pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi dinilai banyak
kalangan sudah seharusnya dilakukan oleh Indonesia. Bersamaan dengan ini,
sanksi sosial dan politik adalah sangat wajar diberikan oleh masyarakat terhadap
koruptor. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang antikorupsi, peran
media massa, dunia pendidikan, dan organisasi sosial keagamaan dalam
kampanye antikorupsi dan pemberian apresiasi kepada mereka yang jujur mutlak
dilakukan.
Gerakan Anti Korupsi
Jeremy Pope menawarkan strategi untuk memberantas korupsi yang
mengedepankan kontrol kepada dua unsur paling berperan di dalam tindakan
korupsi. Pertama, peluang korupsi; kedua, keinginan korupsi. Menurutnya,
korupsi terjadi jika peluang dan keinginan dalam waktu bersamaan. Peluang dapat
dikurangi dengan cara mengadakan perubahan sistematis, sedangkan keinginan
dapat dikurangi dengan cara membalikkan siasat “laba tinggi, resiko rendah”
menjadi “laba rendah, resiko tinggi” dengan cara menegakkan hukum dan
menakuti secara efektif, dan menegakkan mekanisme akuntabilitas.
Pada hakikatnya, korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan satu cara.
Penanggulangan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan
komprehensif, sistemis, dan terus-menerus. Penanggulangan tindakan korupsi
dapat dilakukan antara lain dengan: Pertama, adanya political will dan political
action dari pejabat negara dan pimpinan lembaga pemerintah pada setiap satuan
kerja organisasi untuk melakukan langkah proaktif pencegahan dan
pemberantasan perilaku dan tindak pidana korupsi. Tanpa kemauan kuat
pemerintah untuk memberantas korupsi di segala lini pemerintahan, kampanye
pemberantasan korupsi hanya slogan kosong belaka.
Kedua, penegakkan hukum secara tegas dan berat. Proses eksekusi mati
bagi koruptor di Cina, misalnya telah membuat sejumlah pejabat tinggi dan
pengusaha di negeri ini menjadi jera untuk melakukan tindak korupsi. Hal yang
sama terjadi pula di negara-negara maju di Asia, seperti Korea Selatan, Singapura,
dan Jepang, termasuk negara yang tidak kenal kompromi dengan pelaku korupsi.
Tindakan ini merupakan shock therapy untuk membuat tindakan korupsi berhenti.

18
Ketiga, membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya
pencegahan korupsi, misalnya Komisi Ombudsman sebagai lembaga yang
memeriksa pengaduan pelayanan administrasi publik yang buruk. Pada beberapa
negara, mandat Ombudsman mencakup pemeriksaan dan inspeksi atas sistem
administrasi pemerintah dalam hal kemampuannya mencegah tindakan korupsi
aparat birokrasi. Di Indonesia telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Tim Penuntasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor) dengan tugas
melakukan investigasi individu dan lembaga, khususnya aparatur di pemerintah
yang melakukan korupsi. Selain lembaga bentukan pemerintah, masyarakat juga
membentuk misi tersebutt, seperti Indonesia Corporation Watch (ICW) dan
lembaga sejenis.
Keempat, membangun mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang
menjamin terlaksananya praktik Good and Clean Governance, baik di sektor
pemerintah, swasta, atau organisasi kemasyarakatan.
Kelima, memberikan pendidikan antikorupsi, baik melalui pendidikan
formal maupun nonformal. Dalam pendidikan formal, sejak pendidikan dasar
sampai perguruan tinggi diajarkan bahwa nilai korupsi adalah bentuk lain dari
kejahatan.
Keenam, gerakan agama antikorupsi, yaitu gerakan membangun kesadaran
keagamaan dan mengembangka spiritual antikorupsi.

F. Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Kinerja Birokrasi Pelayanan


Publik

Pelayanan umum atau pelayan publik adalah pemberian jasa baik oleh
pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah ataupun pihak swasta kepada
masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan atau
kepentingan masyarakat. Dengan demikian, yang bisa memberikan pelayanan
publik kepada masyarakat luas bukan hanya instansi pemerintah, melainkan juga
pihak swasta. Pelayanan publik yang dijalankan oleh instansi pemerintah bermotif
sosial dan politik, yakni menjalankan tugas pokok serta mencari dukungan suara.

19
Adapun, pelayanan publik oleh pihak swasta bermotif ekonomi, yakni mencari
keuntungan.
Pelayanan publik kepada masyarakat bisa diberikan secara cuma-cuma
ataupun disertai dengan pembayaran. Pelayanan publik yang bersifat cuma-cuma
sebenarnya merupakan kompensasi dari pajak yang telah dibayar oleh masyarakat
itu sendiri. Adapun, pemberian pelayanan publik yang disertai dengan penarikan
bayaran, penentuan tarifnya didasarkan pada harga pasar ataupun didasarkan
menurut harga yang paling terjangkau bukan berdasarkan ketentuan sepihak
aparat atau instansi pemerintah. Dalam hal ini rasionalitas dan transparansi biaya
pelayanan publik harus dijalankan oleh aparat pelayanan publik, demi tercapainya
penerapan prinsip-prinsip good and clean governance.
Ada beberapa alasan mengapa pelayanan publik menjadi titik strategis
untuk memulai pengembangan dan penerapan good and clean governance di
Indonesia. Pertama, pelayanan publik selama ini menjadi area di mana negara
yang diwakili pemerintah berinteraksi dengan lembaga nonpemerintah.
Keberhasilan dalam pelayanan publik akan mendorong tingginya dukungan
masyarakat terhadap kerja birokrasi; kedua, pelayanan publik adalah wilayah di
mana berbagai aspek good and clean governance bisa diartikulasikan secara lebih
mudah; ketiga, pelayanan publik melibatkan kepentingan semua unsur
governance, yaitu pemerintah, masyarakat, dan mekanisme pasar. Dengan
demikian, pelayanan publik menjadi titik pangkal efektifnya kinerja birokrasi.
Kinerja birokrasi adalah ukuran kuantitatif dan kualitatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan
dengan memperhitungkan elemen-elemen indikator sebagai berikut:
1. Indikator masukan (inputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar
birokrasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang
meliputi sumber daya manusia, informasi, kebijakan, dan sebagainya.
2. Indikator proses (process), yaitu sesuatu yang berkaitan dengan proses
pekerjaan berkaitan dengan kesesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan
yang berupa fisik atau nonfisik.

20
3. Indikator produk (outputs), yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai
dari suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun nonfisik.
4. Indikator hasil (outcomes) adalah segala sesuatu yang yang mencerminkan
berfungsinya produk kegiatan pada jangka menengah (efeklangsung)
5. Indikator manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari
pelaksanaan kegiatan.
6. Indikator dampak (impacts) adalah pengaruh yang ditimbulkan, baik positif
maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah
ditetapkan.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih (Good and Clean
Governance) merupakan segala hal yang terkait dengan model pemerintahan yang
efektif, efisien, jujur, transparan, dan bertanggung jawab. Semua unsur dalam
pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, dan
memperoleh dukungan dari rakyat.
Berbagai permasalahan nasional menjadi alasan belum maksimalnya good
and clean governance. Dengan melaksanakan prinsip-prinsip good and clean
governance, maka tiga pilarnya yaitu pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil,
saling menjaga,  mensupport dan berpatisipasi aktif dalam penyelenggaraan
negara. Pemerintah dan masyarakat menjadi bagian penting tercapainya good
governance. Good governance tidak akan bisa tercapai apabila integritas
pemerintah dalam menjalankan pemerintah tidak dapat dijamin. Hukum hanya
akan menjadi bumerang yang bisa balik menyerang negara dan pemerintah
menjadi lebih buruk apabila tidak dipakai sebagaimana mestinya. Konsistensi
pemerintah dan masyarakat harus terjamin sebagai wujud peran masing-masing
dalam pemerintah. Setiap pihak harus bergerak dan menjalankan tugasnya sesuai
dengan kewenangan masing-masing.

B. Saran
Mudah-mudahan kedepan pelayanan yang di berikan melaui konsep good
and clean governance akan menjadikan kehidupan bernegara lebih mudah dalam
memperoleh pelayanan dan memberikan pelayanan yang terbaik untuk
masyarakat yang ada di pemerintahan nagari serta tidak membutuhkan biaya yang
besar untuk memperoleh sebuah pelayan. Sebagai obat terhadap penyakit pelayan
yang terjadi selama ini adalah konsep good governance, dapat di terapkan kepada
petugas pelayan publik yang ada di negara. Dengan cara memberikan pelatihan
pelayanan publik kepada petugas. Sekali lagi kita berharap pelayan publik yang
efesiean efektif dan akuntabilitas dapat di wujudkan di negara.

22
DAFTAR PUSTAKA

A. Ubaeduillah dan Rozak Abdul. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat


Madani. Cet. XII; Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2015.

Azra, Azyumardi. Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Cet. I; Jakarta:


ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2010

23

Anda mungkin juga menyukai