Trauma Medulla Spinalis Word
Trauma Medulla Spinalis Word
Disusun oleh :
Nurul Fadilah F.A.A.L (C014192094)
Tiffany Angrainy Sudirman (C014192095)
Irene Pasama Ryantobi (C014192096)
Anugra Tenri Jager Tolande’ (C014192097)
Eugenia Natalsha P. Parorrongan (C014192098)
PEMBIMBING:
dr. Candra Arisandi
dr. Dwi Setia Ningrum
SUPERVISOR :
Dr. dr. Andi Kurnia Bintang, Sp.S(K), MARS
1
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Supervisor Pembimbing
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Trauma medula spinalis adalah trauma langsung atau tidak langsung yang
menyebabkan jejas pada medula spinalis, sehingga dapat menimbulkan gangguan
fungsi sensorik, motorik dan otonom. Penyebab trauma medula spinalis yang
paling umum di dunia adalah kecelakaan lalu lintas, luka tembak, luka tusuk,
jatuh dan cedera olahraga1.
WHO memperkirakan insidens trauma medula spinalis global sebanyak
40-80 orang persejuta populasi setiap tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan
2 : 1 dengan kelompok usia tertinggi adalah remaja hingga dewasa muda. Data di
Amerika menunjukkan sebanyak 5% pasien cedera kepala juga mengalami trauma
medula spinalis, dengan sebaran lokasi terutama di servikal (55%), lalu
torakal(15%), abdominal(15%), dan lumbo sakral (15%). Data di Indonesia
menyatakan bahwa kasus cedera kepala dan medula spinalis mencapai 7,5% dari
jumlah populasi.2,3,4
Trauma medula spinalis tidak hanya menyebabkan gangguan pada
kemandirian dan fungsi fisik, tetapi juga dapat menyebabkan banyak komplikasi.
Trauma medula spinalis merupakan penyebab kecacatan dan kelemahan setelah
trauma yang paling sering terjadi, oleh karena itu evaluasi dan pengobatan pada
cedera tulang belakang, medula spinalis dan akar saraf memerlukan pendekatan
yang terintegritas. Diagnosa dini, menjaga fungsi medula spinalis dan
pemeliharaan aligment serta stabilitas merupakan kunci keberhasilan
penatalaksanaannya1,4
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFINISI
Trauma medula spinalis adalah trauma langsung atau tidak langsung yang
menyebabkan jejas pada medula spinalis, sehingga dapat menimbulkan gangguan
fungsi sensorik, motorik dan otonom. Penyebab trauma medula spinalis yang
paling umum di dunia adalah kecelakaan lalu lintas, luka tembak, luka tusuk,
jatuh dan cedera olahraga. Ada hubungan yang erat antara status fungsional dan
apakah cedera lengkap atau tidak lengkap, serta tingkat cedera. Trauma medula
spinalis tidak hanya menyebabkan gangguan pada kemandirian dan fungsi fisik,
tetapi juga dapat menyebabkan banyak komplikasi.1
2.2 EPIDEMIOLOGI
WHO memperkirakan insidens cedera medula spinalis global sebanyak
40-80 orang persejuta populasi setiap tahun. Rasio antara laki-laki dan perempuan
2 : 1 dengan kelompok usia tertinggi adalah remaja hingga dewasa muda.
Penyebab tersering cedera medula spinalis adalah jatuh, diikuti kecelakaan sepeda
motor.2
Data di Amerika menunjukkan sebanyak 5% pasien cedera kepala juga
mengalami cedera medulla spinalis, dengan sebaran lokasi terutama di servikal
(55%), lalu torakal(15%), abdominal (15%), dan lumbo sacral(15%). Data di
Indonesia menyatakan bahwa kasus cedera kepala dan medula spinalis mencapai
7,5% dari jumlah populasi. Saat ini, usia rata-rata saat cedera diperkirakan 45
tahun. Untuk semua kelompok usia, pasien dengan gejala tetraplegia inkomplit
merupakan kasus tertinggi (30,1%), diikuti oleh paraplegia komplit (25,6%),
tetraplegia komplit (20,4%), dan paraplegia inkomplit (18,5%).2,3
2.3 ANATOMI
Tulang Belakang
Kolumna vertebralis memanjang dari cranium sampai ke coccygeus,
membentuk kerangka leher dan punggung dan merupakan bagian utama dari
5
kerangka aksial. Kolomna vertebralis melindungi sumsum tulang belakang dan
spinal nerve, menopang beban tubuh bagian atas ke tingkat panggul dan .
Kolumna vertebralis dewasa terdiri dari 33 vertebra, yang terbagi menjadi lima
regio: 7 cervicalis, 12 thoracalis, 5 lumbalis, 5 sakralis, dan 4 os coccygeus.
Semakin ke bawah, vertebra akan semakin besar hingga ke sacrum, namun
kembali mengecil ukurannya hingga ke coccygeus . Perbedaan struktural ini
terkait dengan fungsi vertebra, yang mana semakin ke bawah beban yang
ditopang semakin besar5.
6
Nervus spinalis C2-C7 keluar di atas pedikel vertebra yang bersangkutan .
Misalnya, akar nervus spinalis C6 keluar dari foramen antara pedikel C5 dan
C6. Akar nervus spinalis C8 keluar dari foramen antara pedikel C7 dan T1.
Semua nervus spinalis yang berada di caudal dari C8 keluar dari foramen di
bawah pedikel vertebra yang bersangkutan. Misalnya, akar nervus spinalis L4
keluar dari foramen antara pedikel L4 dan L5. Medula spinalis menerima
informasi dan mengontrol ekstremitas dan badan, di dalamnya terdapat serabut
saraf aferen dan eferen yang terhubung dengan struktur perifer. Nervus spinalis
terbagi menjadi akar dorsal dan akar ventral Akar dorsal membawa serabut
saraf aferen, yang badan selnya terletak di ganglia dorsalis. Akar ventral
membawa serabut saraf eferen, yang badan sel induknya terletak di dalam
substansia nigra 6,15.
Medula spinalis berbentuk silinder, di tengahnya terdapat kanal sentral .
Terdapat substansia grisea berbentuk huruf H yang berwarna abu-abu pada
bagian tengah yang mengelilingi kanal sentral, dan di luar dari substansia
grisea terdapat substansia alba yang berwarna putih. Empat proyeksi substansia
grisea meluas ke arah dorsolateral dan ventrolateral menuju garis perlekatan
akar dorsal dan ventral saraf tulang belakang. Proyeksi ini masing-masing
dikenal sebagai dorsal horns dan ventral horns. Dorsal horns adalah tempat
neuron aferen membawa impuls dari reseptor sensorik , dan membawa impuls
sensorik ke otak (jalur asendes). Sedangkan ventral horns berisi neuron
motorik yang menginervasi otot rangka. Selain itu, pada tingkat toraks dan
bagian atas lumbal terdapat lateral horns, yang berisi neuron preganglionik
yang termasuk dalam sistem saraf simpatis. Bagian pinggir sumsum tulang
belakang adalah substansia alba yang berwarna putih yang mengandung
serabut saraf yang berjalan secara longitudinal. Ini termasuk dalam traktatus
asendes dan traktus desendens. Traktus asendens membawa informasi yang
berasal dari batang tubuh dan ekstremitas ke otak. Dengan traktus desendens
otak mengontrol aktivitas neuron di sumsum tulang belakang. Yang tergolong
traktus asendens adalah kolumna dorsalis (fasciculus gracilis dan fasciculus
cuneatus), yang membawa sentuhan halus dan propriosepsi, traktus
spinotalamikus, yang membawa nyeri, suhu, sentuhan dan tekanan kasar, dan
7
traktus spinocerebellar, yang membawa informasi dari otot dan sendi ke
serebellum. Di antara traktus desendens, salah satu yang terpenting adalah
traktus kortikospinalis lateral, yang mengontrol gerakan volunter yang
terampil15.
8
Gambar 4 : Traktus asendens dan desendens medulla spinalis9
2.4 ETIOLOGI
Penyebab paling umum dari trauma medula spinalis adalah kecelakaan
kendaraan bermotor (40,4%). Pada individu usia lebih dari 45 tahun dan wanita
dengan osteoporosis dengan kecenderungan patah tulang akibat jatuh menjadi
salah satu penyebab trauma medula spinalis (27,9%) sering pada wanita yang
lebih tua dengan osteoporosis memiliki kecenderungan untuk patah tulang
belakang akibat jatuh yang menyebabkan trauma medulla spinalis. Kekerasan
antarindividu seperti luka tembak (15%) juga luka akibat benda tajam maupun
tumpul. Di antara pasien yang mengalami serangan, trauma medulla spinalis
9
akibat cedera tembus cenderung lebih buruk daripada cedera tumpul. Juga
olahraga (8%) seperti menyelam dapat menyebabkan trauma medula spinalis.7
Trauma medula spinalis memiliki efek fungsional, medis, dan finansial
yang besar pada orang yang terluka, serta efek penting pada kesejahteraan
psikososial individu.7
2.5 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi trauma medula spinalis terbagi menjadi dua mekanisme yaitu
mekanisme kerusakan primer dan mekanisme kerusakan sekunder.
1. Mekanisme Kerusakan Primer
Mekanisme umum dari cedera medulla spinalis adalah adanya
kompresi pada struktur medula spinalis, baik oleh kelainan tulang,
ligament, herniasi diskus intervertebralis, maupun proses hematom pada
medula spinalis itu sendiri. Proses kompresi akan memberikan gejala
berupa defisit neurologis dan/atau rasa sakit yang dirasakan terus
menerus. Mekanisme lain akibat gaya mekanik trauma (axial loading,
fleksi, ekstensi, rotasi, lateral bending, distraksi) dapat berupa luka
tembus, peregangan, maupun robekan pada struktur medula spinalis dan
pembuluh darah. Kerusakan langsung pada pembuluh darah
menyebabkan perdarahan pada medula spinalis yang berlangsung
beberapa menit pascacedera, diikuti gangguan aliran darah. Kejadian ini
menyebabkan hipoksia dan infark iskemik lokal. Area substansia grisea
lebih rentan mengalami kerusakan yang pertama kali kemudian
menyebar ke area sekitarnya (kaudal-kranial). Sel-sel saraf pada area ini
akan mengalami kerusakan fisik, penipisan selubung myelin, edema, dan
menarik makrofag di sekitar area sehingga mengganggu transmisi saraf.2
10
ditemukan syok neurogenik yang menyebabkan hipoperfusi sistemik.
Trauma medula spinalis yang tidak ditatalaksana optimal dalam 3-24 jam
pertama, akan mengalami perburukan berupa perdarahan, edema, akson,
nekrosis neuronal, peningkatan kadar glutamate, eksitotoksisitas,
kerusakan oksidatif, adanya iskemik, serta peningkatan produksi nitrit
oksida dan peroksidase lipid pada membrane sel yang akan menyebabkan
perubahan patologis dan berakhir menjadi infark.2
Kerusakan sekunder terbagi menjadi tiga fase yaitu fase akut, fase
subakut, fase kronik. Fase akut dimulai segera setelah terjadi trauma
medula spinalis yaitu kerusakan pembuluh darah, ketidakseimbangan
ionic, akumulasi neurotransmitter (eksitotoksisitas), pembentukan radikal
bebas, masuknya kalium, peroksidasi lipid, peradangan, edema dan
nekrosis sel. Saat cedera berlanjut, fase cedera sub-akut dimulai dari
apoptosis, demielinisasi akson yang masih hidup, Wallerian
degenariation, axonal dieback, remodelling matriks, dan terbentuk scar
glial di sekitar lokasi cedeera. Perubahan lenih lanjut terjadi pada fase
cedera kronis termasuk pembentukan rongga kistik, kematian aksonal
yang progresif, dan maturase dari scar glial.8
11
2.6 GEJALA DAN TANDA KLINIS
Gejala dan tanda klinis cedera medula spinalis perlu diketahui karena
akan menentukan tatalaksana dan prognosis. Gambaran klinis ini diklasifikasikan
berdasarkan:
1. Level Cedera
12
Secara lebih rinci, American Spina/Injury Association (ASIA)
lnternational Medical Society of Paraplegia (IMSOP) membagi derajat
keparahan defisit neurologis menjadi 5 derajat (Tabel 1).2
13
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Keparahan Defisit Neurologis Berdasarkan
ASIA/IMSOP.10
14
Gambar 7 : Tipe Incomplete Trauma Medula Spinalis13
4. Syok Spinal
Selain sindrom-sindrom tersebut di atas, perlu diperhatikan juga
apakah defisit neurologis yang ada benar disebabkan oleh patologis atau
syok spinal. Syok spinal adalah keadaan hilangnya fungsi sensorik,
motorik, dan otonom sementara, karena sebenarnya tidak terjadi
kerusakan struktur pada segmen medula spinalis tersebut.2
Syok spinal ditandai dengan hilangnya aktivitas refleks spinal
di bawah lesi dan kelemahan ekstrimitas flaksid. Selain itu,
manifestasinya dapat berupa hilangnya tonus vesika urinaria, ileus
paralitik, dan hipo/anhidrosis di bawah lesi. Syok spinal ditemukan
pada fase akut pascacedera. Durasi syok spinal bervariasi tergantung
pada derajat keparahan dan level cedera medula spinalis. Pada sebagian
besar kasus, aktivitas refleks spinal mulai kembali normal setelah 1-6
minggu pascacedera.2
15
Untuk meyakinkan defisit neurologis bukan akibat syok spinal,
maka direkomendasikan agar pemeriksa mengasumsikan bahwa defisit
sensorik dan motorik akibat syok spinal hanya berlangsung kurang dari
1 jam pascacedera, sehingga disimpulkan bahwa defisit sensorik dan
motorik yang lebih dari 1 jam merupakan akibat perubahan patologis
dan jarang karena syok spinal. Adapun defisit komponen otonom dan
refleks pada syok spinal dapat berlangsung dalam beberapa hari hingga
beberapa bulan, tergantung beratnya cedera.2
2.7 DIAGNOSIS
Penentuan trauma medula spinalis dilakukan setelah keadaan mengancam
nyawa telah diatasi. Oleh karena itu, penanganan awal kasus trauma medulla
spinalis menganut asas praduga positif, yang berarti semua pasien trauma harus
dicurigai menderita cedera sampai terbukti bahwa tidak ada trauma pada medula
spinalis. Trauma medula spinalis dapat dikenali berdasarkan keluhan klinis pada
pasien yang sadar seperti rasa sakit di sepanjang tulang belakang, sensasi kebas,
hingga kelumpuhan pada anggota gerak.2
1. Anamnesis
Pada anamnesis, penting didapatkan informasi berupa mekanisme
trauma, riwayat penyakit sebelumnya, dan riwayat pengobatan yang
didapatkan sebelumnya atau dipermudah dengan akronim AMPLE
(Alergy, Medication, Past Illness, Last Meal, Exposure).2\
2. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan neurologi pasien trauma medula spinalis dilakukan
secara bertahap untuk menentukan ada atau tidaknya cedera dan level
cedera dilakkan saat pemindahan pasien dari spine board dengan teknik
log roll. Teknik ini aman dilakukan oleh minimal empat penolong. Tiga
orang penolong bertugas mempertahankan kesegarisan tulang belakang
saat pasien dimiringkan/dipindahkan, sedangkan satu lainnya akan
menarik spine board dan mengevaluasi tulang belakang. Evaluasi untuk
menemukan deformitas, krepitasi, nyeri saat palpasi, dan perlukaan kulit
(kontusio, laserasi, atau penetrasi). Penentuan level cedera berdasarkan
16
pemeriksaan sensorik dan motorik. Pemeriksaan sensorik dilakukan
dengan memberikan rangsangan nyeri dan menilai respons pasien sesuai
pola dermatom (Gambar 8). Level cedera ditentukan dari sensorik pola
dermatom terbawah yang masih berfungsi baik. Perhatian khusus
diberikan pada kecurigaan cedera servikal (Cl-C4). Apabila pasien
mengeluh hilangnya sensasi di daerah sekitar leher dan klavikula,
pemeriksa harus mengkonfirmasi dengan pemeriksaan motorik.
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan memeriksa kekuatan otot (Tabel
3) mengikuti pola miotom dan dibandingkan antara kedua sisi. Level
cedera juga ditentukan dari segmen paling kaudal. Diutamakan melakukan
proteksi kolumna vertebralis pada pasien tidak sadar agar tidak terjadi
cedera sekunder selama mobilisasi dan pemeriksaan. Proteksi ini meliputi
pemasangan bidai servikal (cervical collar neck) dan meletakkan penderita
pada papan spinal panjang (long spine board) di tempat kejadian, selama
transpor hingga sewaktu menjalani prosedur pemeriksaan penunjang. Pada
penderita tidak sadar, pemeriksaan penunjang menjadi alat penapis utama.2
Gambar 8 : Dermatom9
17
Tabel 3 : Derajat Kekuatan Otot2
3. Pemeriksaan Radiologis
Dibutuhkan kerjasama antara dokter neurologi dan radiologi
untuk mencegah kemungkinan kerusakan sekunder selama pemeriksaan.
Oleh karena itu seorang dokter neurologi juga harus mengenal tindakan-
tindakan yang perlu dilakukan selama pemeriksaan. Pada instansi dengan
fasilitas kesehatan yang lengkap, CT scan dapat menjadi modalitas awal
cedera pada kasus kecurigaan cedera medula spinalis. Namun pada instansi
dengan fasilitas terbatas, dapat dilakukan foto Rontgen dengan posisi
tertentu sebagai penapisan awal, kemudian dilanjutkan CT scan untuk
memperjelas kelainan pada segmen tertentu. Pemeriksaan foto rontgen
pada kasus kecurigaan cedera medula spinalis, meliputi:
1. Foto Segmen Servikal (Gambar 4). Foto segmen servikal dilakukan
dengan posisi lateral. anteroposterior (AP), dan open-mouth
odontoid. Pemeriksaan lateral dilakukan dengan pasien berada
dalam posisi tidur telentang dan film diletakkan di samping pasien.
Foto servikal dianggap baik jika basis kranii hingga vertebra
servikal ke-7 dapat terlihat. Untuk mencapai itu, seringkali
diperlukan proyeksi khusus, yakni swimmer's position. Posisi AP
diperlukan untuk mengidentifikasi dislokasi faset unilateral yang
tidak tampak jelas pada foto lateral. Di sisi lain, posisi open-mouth
odontoid dilakukan khusus untuk melihat area sekitar segmen
servikal 1 dan 2.
2. Foto Segmen Torakolumbal, perlu diperhatikan kesegarisan korpus
vertebra, jarak antar diskus, pedikel. prosesus spinosus, dan
foramen intervertebralis. Jika dicurigai adanya kelainan maka
dibuat proyeksi tambahan baik lateral maupun oblik. Modalitas
18
radiologis lain, seperti CT dan MRI (Gambar 9), dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan defisit neurologis yang jelas
tetapi tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan radiologis
sebelumnya (spinal cord injury without radiological abnormality
/SCIWORA).2
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui kecurigaan
abnormalitas jaringan lunak, seperti herniasi diskus, ekstraaksial
hematom, dan abnormalitas ligamen. Akan tetapi
mempertimbangkan prosedur pemeriksaan MRI yang sulit
dilakukan dan berisiko, maka MRI sebaiknya dilakukan secara
elektif.2
Infeksi pada vertebra terjadi akibat bakteri yang masuk ke dalam tulang
melalui aliran darah ketika seseorang cedera, dapat juga terjadi pada orang
19
yang baru saja mengalami patah tulang, baru menjalani operasi tulang,
20
Tata laksana yang dapat dilakukan untuk melindungi dan
imobilisasi area servikal, antara lain:
Stabilisasi manual dengan memposisikan kepala sedikit
ekstensi dan minimal distraksi, untuk mencegah terjadinya
fleksi dan kompresi spinal yang lebih lanjut
Memasangkan bidai servikal, atau
Menggunakan sand bag atau towel roll pada sisi lateral atau
dengan mengikat (taping) kepala pada spine board.
Kelebihan dalam penggunaan bidai servikal adalah manipulasi
minimal pada Ieher saat pemasangannya. Bidai dapat dijadikan
sebagai penanda bahwa terdapat risiko cedera servikal yang belum
dapat disingkirkan. Kombinasi dengan cara lain, misalnya taping,
dapat lebih memfiksasi Ieher. Yang perlu diperbatikan dalam
metode taping adalah agitasi pasien. Pasien dengan agitasi dapat
bergerak-gerak yang dapat menimbulkan cedera spinal sekunder.
Taping daerah dada sebaiknya diminimalisasi karena mengurangi
ruang gerak rongga paru, Taping pada posisi terlentang (supine)
meningkatkan risiko terjadi bronkopneumonia aspirasi.
Penggunaan sandbag dipikirkan lebih aman dibandingkan taping
karena tidak mengganggu jalan napas tetapi dapat meminimalisasi
timbulnya gerakan yang tidak diinginkan. Sandbag
direkomendasikan pada pemindahan pasien pada keadaan yang
tidak memungkinkan dengan spine board. Selain keadaan tersebut,
sandbag kurang praktis untuk digunakan. Minimalisasi gerakan
lateral kepala pun dapat dilakukan dengan pengaplikasian towel
roll pada kedua sisi kepala. Sebaiknya pengaplikasian sandbag
atau towel roll tanpa dikombinasikan dengan taping atau pelindung
Ieher tipe rigid.2
Pada pasien trauma yang menggunakan helm, dapat
dipertimbangkan untuk tidak melepaskan helm selama dilakukan
tata laksana awal kecuali ditemukan adanya gangguan jalan napas
pada pasien. Walaupun hal ini memiliki risiko terjadinya fleksi
21
Ieher yang mengacu pada kejadian perdarahan yang mengancam
nyawa, pelepasan helm oleh tenaga yang kurang terampil dapat
memberikan cedera yang lebih buruk pada region servikal.
Pelepasan helm sebaiknya dilakukan oleh dua orang sesuai dengan
prosedur dari American College of Surgeon.2
lmobilisasi sepanjang tulang belakang
Imobilisasi tulang belakang bertujuan untuk meminimalisir
gerakan serta menjaga kesejajaran (alignment) tulang belakang
dengan menggunakan spine board. Spine board tidak
diperuntukkan untuk pemakaian jangka panjang karena berisiko
terjadinya decubitus akibat penekanan berlebih di bagian sakrum,
tumit, dan oksipital.
2. Tindakan Resusitasi
Tindakan resusitasi pada fase pra-RS, meliputi penjagaan jalan
napas dan kontrol perdarahan serta syok, dengan tetap mengutamakan
imobilisasi pasien. Protokol tindakan resusitasi ini telah
direkomendasikan oleh American College of Surgeon.2
Penjagaan jalan napas dan ventilasi
Penjagaan jalan napas wajib dilakukan pada seluruh pasien trauma
terutama yang mengalami penurunan kesadaran. Pasien dengan
jalan napas yang tidak adekuat akan mengalami gangguan ventilasi
yang akan berlanjut pada kurangnya oksigenasi jaringan jika terjadi
dalam waktu yang lama. Pembukaan jalan napas pada pasien
dengan trauma spinal prarumah sakit dapat dilakukan dengan
manuver jaw thrust untuk meminimalisasi pergerakan Ieher.
Pemasangan nasopharyngeal airway atau oropharyngeal airway
dapat dilakukan untuk menjaga jalan napas tetap terbuka, namun
perlu diperhatikan bahwa penggunaan ini dapat menginduksi
refleks muntah dan memberikan efek agitasi pada pasien.
Pembukaan jalan napas definitive dilakukan hila alat pembuka
jalan napas sementara tidak adekuat.2
Kontrol perdarahan dan renjatan
22
Renjatan hipovolemik pacta trauma spinal merupakan hal yang
rumit. Kondisi hipotensi dapat ditemukan tanpa disertai dengan
adanya hipoperfusi, atau disebut juga renjatan spinal. Cedera
setinggi segmen servikalis atau torakalis tinggi dapat dijumpai
hipotensi dan bradikardi. Keadaan ini dapat terjadi akibat adanya
renjatan spinal, sehingga tidak disarankan untuk dilakukan
resusitasi cairan berlebihan.2
2. Tata Laksana di Rumah Sakit
Penanganan gawat darurat2
1. Imobilisasi
Imobilisasi pada fase rumah sakit merupakan lanjutan dari tata laksana
prarumah sakit. Pasien yang datang dalam keadaan terimobilisasi dengan
spine board dan pelindung leher sebaiknya dipindahkan segera
mengingat tindakan imobilisasi juga memberikan risiko komplikasi.
Sebaiknya penilaian dan pemeriksaan penunjang lengkap dilakukan
dalam waktu tidak lebih dari dua jam. Apabila dalam dua jam tidak
tercapai, sebaiknya mobilisasi terkontrol tetap dilakukan dengan
memperhatikan kesegarisan tulang belakang.
Primary survey
Tindakan primary survey merupakan evaluasi ulang dari tindakan
prarumah sakit. Primary survey tetap dilakukan walaupun sudah
dilakukan sebelum tiba di rumah sakit. Untuk penjelasannya pada table
4.
23
Tabel 4. Primary Survey2
Secondary survey dan pemeriksaan neurologis
Setelah primary survey pasien dinyatakan aman, maka pemeriksaan
dilanjutkan ke secondary survey, meliputi anamnesis dan pemeriksaan
dari kepala hingga ujung kaki, termasuk pemeriksaan neurologis
lengkap. Tindakan secondary survey ini bertujuan untuk mencari
tanda-tanda cedera medula spinalis secara klinis. Untuk tindakan
secondary survey dijelaskan di table 5.
24
Medikamentosa akut
Obat-obatan yang dapat diberikan sebagai pengobatan akut, antara
lain:
a. Glukokortikosteroid dosis tinggi
Studi oleh NASCIS II menghasilkan bahwa pemberian
metilprednisolon dosis tinggi dalam 24 jam pertama memberikan
perbaikan fungsi motorik yang signifikan dibandingkan kelompok
kontrol (plasebo atau nalokson). Penelitian tersebut telah
dikembangkan dan saat ini sudah ditetapkan metilprednisolon dosis
tinggi dalam 8 jam pertama sebagai tata laksana standar pasien
cedera medula spinalis. Cara pemberian sebagai berikut:
Pasien onset <3 jam diberikan metilprednisolon
30mg/kgBB IV bolus selama 15 menit, ditunggu selama 45
menit (tidak diberikan metilprednisolon dalam kurun waktu
ini). Dilanjutkan dengan infus terus menerus selama 23 jam
dengan dosis 5,4mg/kgBB/jam.
Pasien onset 3-8 jam, diberikan dengan cara yang sama
namun dosis infus dilakukan selama 4 7 jam.
Bila diagnosis baru ditegakkan >8 jam, maka pemberian
steroid tidak dianjurkan.
2. Tata laksana operatif
Tujuan utama pembedahan adalah melakukan dekompresi terhadap
medula spinalis dan melakukan stabilisasi tulang belakang. Operasi
pada pasien cedera medula spinalis diindikasikan pada keadaan-
keadaan sebagai berikut:
• Terdapat fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis
• Gambaran neurologis progresif memburuk
• Fraktur dan dislokasi yang labil
• Hemiasi diskus intrevertebralis yang menekan medula spinalis
3. Tata laksana rehabilitative
Rehabilitasi bertujuan untuk meningkatkan kualitas individu yang
mengalami gangguan secara optimal dalam bidang mental, fisik,
25
kognitif, dan sosial. Proses rehabilitasi pada pasien cedera medula
spinalis adalah untuk:
Memberikan pengertian mengenai cedera medula spinalis kepada
pasien dan keluarga.
Memaksimalkan fungsi mobilisasi dan kemampuan perawatan diri
(kemandirian) pasien.
Mencegah masalah kesehatan komorbid, seperti kontraktur, luka
decubitus, masalah pernapasan, dan seterusnya.
2.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang ditimbulkan dari trauma medulla spinalis yaitu2,12 :
Hipotensi, bradikardi
Hipoventilasi
Komplikasi Iatrogenik
Aspirasi
Ileus
Malnutrisi
Ulkus decubitus
Retensi mucus
Retensi urin
Impaksi feses
2.10 PROGNOSIS
Prognosis penderita sangat tergantung dari derajat keparahan cedera dan
lamanya pertolongan hingga tindakan pembedahan. Kurang dari 5% pasien
dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat sembuh. Jika paralisis komplit
bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan pulih adalah 0%. Prognosis
lebih baik pada cedera medulla spinalis yang inkomplit. Jika masih terdapat
26
beberapa fungsi sensorik, peluang untuk bisa berjalan kembali adalah lebih dari
50%. Tindakan operatif dapat dilakukan dalam rentang waktu 24 jam hingga 3
minggu pasca cedera namun tindakan operatif dini (<24 jam) lebih bermakna
dalam menurunkan risiko komplikasi dan perburukan neurologis. Bila terjadi
pergerakan penderita pada cedera yang tidak stabil maka akan mempengaruhi
medulla spinalis sehingga memperberat kerusakan/cedera yang terjadi.2,4
27
BAB III
KESIMPULAN
28
DAFTAR PUSTAKA
29
12. Maja J. Diagnosis dan Penatalaksanaan Cedera Servikal Medula Spinalis.
Jurnal Biomedik (JBM), Volume 5, Nomor 3, November 2013, hlm. 181-
189
13. Common Spinal Cord Injury Patterns Infographic [Internet]. NeuroScand
[cited 15 September 2020]. Available From :
https://neuroscand.com/common-spinal-cord-injury-patterns-infographic/
14. Loana S, Rider, et al. Cauda Equina And Conus Medullaris Syndromes.
2020. Diakses pada 17 september 2020 melalui
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK537200/
15. Crossman, Alan R.Neuroanatomy: An Illustrated Colour Text.Elseiver.
Sixth Edition.2020
30