Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
The Journal of Riayah is such a Social and Religious journal which is published by Post Graduate of State Institute of
Islamic Studies Metro – Lampung. The accepted papers are the scientific which are the outcomes of either research or
thoughts that never be published in other medias. The Journal Ri’ayah publishes works and relevanced issue refers to
Social and Religious Journal in some studies such as: Social Phenomenon, Conflict of Religion, Social Violance, Harmony
of Prularism, Multikulturalism, Religous Education, Social Culture, Social Studies, Humaniora, and the others. It is
published for the readers both regional and global. The Ri’ayah is published into two volumes a year ( June and
December). As the peer-review of Indonesian Journal, we accept scientific works on islamic studies which are writen both
in English and Indonesia. Feel free to send the papers through registering OJS or e-mail:pascastain@gmail.com
PUBLISHED BY:
Pascasarjana
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro Lampung
EDITOR-IN-CHIEF
Sri Andri Astuti
MANAGING EDITOR
Mahrus As’ad
Abdul Mujib
EDITORS
Suhairi
Ida Umami
Husnul Fatarib
Zainal Abidin
Ervan Nurtawab
Tobibatussaadah
Akla
Yudiyanto
Aguswan Khotibul Umam
EDITORIAL BOARD
Nor Aishah Buang, Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia
Azhar B. Jaafar, Kolej Yayasan Pahang, Malaysia, Malaysia
Mohd Zaidi Hajazi, Universiti Industri Selangor (UNISEL), Malaysia
Ismail Suardi Wekke, State Islamic College (STAIN) of Sorong, Indonesia
Syarifudin Basyar, State Islamic University (UIN) of Radin Intan Lampung, Indonesia
Eko Ariwidodo, State Islamic Institut (IAIN) of Madura, Indonesia
Syamsul Ma'arif, State Islamic University (UIN) of Walisongo, Indonesia
Arfan Aziz, , State Islamic University (UIN) of Sultan Thaha Saifuddin Jambi, Indonesia
COVER DESIGNER
Mustika Edi Santosa
ADMINISTRATION
Nur‟aini
Errin Karlina
© Copyright Reserved
Editorial Office:
Ri‟ayah, Kantor Pascasarjana IAIN Metro Lampung
Jl. Ki. Hajar Dewantara 15 A. Kota Metro Lampung 34111
Telp. +6272541507 Fax. +6272547298
E-mail: pascasarjanaiainmetro@gmail.com
E-Journal: http://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/riayah/index
Volume. 5, Nomor. 01, Januari-Juni 2020 ISSN: 2528-049x E-ISSN: 2548-6446
Daftar Isi
Pedoman Transliterasi Arab-Latin
Pengantar Redaksi
Artikel
Redaksi
PEMIKIRAN KRITIS MULYADHI TERHADAP BANGUNAN
ILMU MODERN
Abstract
Mulyadhi Kartanegara focused his attention on the discourse of Islamic philosophy whose
ideas have been poured into various forms of scientific work. The epistemology of the
integration of science Mulyadhi Kartanegara highlights aspects of the integration of the
source of knowledge and the integration of science methods. The source of knowledge
according to Mulyadhi is senses, reason and intuition, while Western scientists
(materialism-positivism) only recognize the five senses as a source of knowledge. The
science methodology in Mulyadhi's epistemology is the observation or experiment method
for physical objects, the logical method for metaempiric objects, and the intuitive (irfani)
method for recognizing objects directly. While modern scientists only recognize the
science of observation or experimentation and dismiss other scientific methods.
Furthermore, In the epistemological relations and ontological status, Islamic
epistemology recognizes reality in an integrally-holistic manner (material nature, mitzal
and reason and God is the peak of reality). Mulyadhi's critique of the building of modern
science is addressed into empirical-rationalism (Cartesian-Newtonian paradigm) which
provides the paradigm of thought: naturalism, idealism and secularism which is
mechanistic in looking at the reality of the universe. Mulyadhi offered his critical
response to materialism through epistemological Islamization on the aspect of science
classification and science methodology.
Keywords: Mulyadhi, Thought, Modern Science
Abstrak
Mulyadhi Kartanegara memusatkan perhatiannya pada diskursus filsafat Islam yang
ide-idenya telah dituangkan ke dalam berbagai bentuk karya ilmiah. Epistemologi
integarasi ilmu Mulyadhi Kartanegara menyorot aspek integrasi sumber ilmu dan
integrasi metode ilmu. Sumber ilmu menurut Mulyadhi yakni indra, akal dan intuisi,
sedangkan ilmuan Barat (materialisme-positivisme) hanya mengakui panca indra sebagai
sumber ilmu. Metodologi ilmu dalam epistemologi Mulyadhi yakni, metode observasi
atau eksperimen untuk obyek-obyek fisik, metode logis untuk obyek metaempirik, dan
metode intuitif (irfani) untuk mengenal obyek secara langsung. Sedang ilmuan modern
hanya mengakui metode ilmu observasi atau eksperimen dan menampik metode ilmu
yang lain. Selanjutnya, dalam relasi epistemologis dan status ontologis, epistemologi
Islam mengakui realitas secara integral-holistik (alam materi, mitzal dan akal dan Tuhan
yang merupakn puncak realitas). Kritik Mulyadhi terhadap bangunan ilmu modern
adalah tertuju pada rasionalisme-empirik (paradigma Cartesian-Newtonian) yang
melahirkan aliran pemikiran: naturalisme, idealisme dan sekulerisme yang bercorak
mekanistik dalam memandang realitas semesta. Selanjutnya Mulyadhi melontarkan
respon kritisnya pada materialisme melalui islamisasi epistemologis pada aspek klasifikasi
ilmu dan metodologi ilmu.
Kata kunci: Mulyadhi, Pemikiran, Ilmu Modern
Andi Muhammad Ikbal Salam Pemikiran Kritis Mulyadhi...
A. Pendahuluan
Kenyataan bahwa sains dan teknologi Barat Modern telah memiliki
implikasi-implikasi negatif pada kehidupan manusia dan lingkungannya, salah
satunya adalah hubungan agama dan sains yang tidak harmonis. 1 Sehingga
sebuah upaya dalam merespon tantangan sains modern penulis meminjam
Istilah Isma’il Raji al-Faruqi, merupakan tanggung jawab bagi kaum akademikus
Muslim.2 Sehingga penulis dalam studi ini berupaya dalam merespon sain yang
telah jatuh kepangkuan ilmuan Barat yang telah melahirkan banyak problem-
problem melalui penelusuran terhadap salah satu tokoh intelektual Muslim
Indonesia yakni, Muyadhi Kartanegara.
Mulyadhi adalah sosok yang mungkin masih belum terlalu banyak yang
tahu bahwa dia sebenarnya adalah sosok yang langka. Penulis meminjam asumsi
Haidar Baqir yang memberi komentar terhadap Mulyadhi dalam buku
menembus batas waktu, mengatakan bahwa Mulyadhi adalah sosok yang langka
karena betapa cukup banyak orang belajar filsafat, tetapi lebih sedikit orang yang
melirik filsafat Islam. Karena mungkin mereka beranggapan bahwa buat apa sih
kita belajar filsafat Abad pertengahan.3 Secara umum juga dalam mempelajari
filsafat ada yang berkomentar bahwa buat apa sih belajar filsafat, belajar filsafat
memakan waktu banyak dan menguras energi intelektual,4 lebih sedikit lagi
yang mau belajar disiplin kering nan “kuna” ini secara tekun dan akademis
demikian jauh sehingga menghabiskan waktu studi sejak S-1 hingga mencapai
gelar doktor.
Mulyadhi merupakan salah seorang diantara sekian banyak pemikir
Muslim Indonesia. Melalui karyanya, ia menampilkan keluasan wawasan dan
kecanggihan argumentasinya dalam menepis dan menunjukkan ketidak
konsistenan para obyektifis Ilmuan Barat, yang sangat diagung-agungkan dalam
menjawab tantangan kehidupan di era modern. Menelusuri kehiduapan
entelektual Mulyadhi sesungguhnya merupakan sebuah penelusuran
pengalaman eksperensial autobiografis. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengungkapkan relasi epistemologi dan status ontologis integrasi ilmu
Mulyadhi Kartanegara serta kritik pemikiran Mulyadhi Kartanegara terhadap
bangunan keilmuan Modern?
B. Pembahasan
1. Sosok Mulyadhi Kartanegara
Beliau dilahirkan pada pada tanggal 11 bulan Juni Tahun 1959 di
kampung dukuh kecematan Lego sebelah selatan kota Tanggerang Ayahnya
1 Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam. (Cet. I: Mizan Bandung, 2004), h. 210-211.
2 Lihat Isma’il Raji al-Faruqi, Tanggung jawab Akademikus Muslim dan Islamisasi Ilmu-Ilmu
Sosial, (Jakarta: Minaret, 1987), h. 28.
3 Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, ( Bandung:
Marxisme, Post Modernisme, Post Ideologi Syndrom”, (Cet. I; Yogyakarta: Jalasutra, 2001), h. i.
bernama R. H. Supriyadi dan Ibunya bernama Hj. Ety Suhaety,5 mereka tinggal
dalam sebuah keluarga komunitas santri yang menganut aliran Ahl Sunnah wa
al-Jama’ah dan merupakan anutan orang-orang di daerah tersebut sebagai
sebuah aliran yang diyakini satu-satunya benar. Masa kecil Mulyadhi dilalui
sebagaimana umumnya, tidak banyak yang istimewa yang dapat mendukung
perkembangan intelektualnya. Setelah tamat dari SDN Legok tahun 1971 atas
anjuran ibunya Mulyadhi melanjutkan pendidikannya di PGAN (Pendidikan
Guru Agama Negeri) yang berarti dia harus pindah dari kampungnya. Namun
dia sarankan untuk berhati-hati karena guru PGA adalah kebanyakan
Muhammadiyah, sebuah istilah yang saat itu mengandung kesan negatif karena
bertentangan aliran yang mereka anut.6 Selanjutnya Mulyadhi pindah Sekolah
Persiapan (SP) IAIN (Institut Agama Islam Negeri) atas izin ayahnya. Selama
dua tahun di SP IAIN Mulyadhi mengalami perkembangan yang cukup berarti
berkat ketekunan membaca.
Pada tahun 1978, Mulyadhi melanjutkan studinya di IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada Fakultas Ushuluddin. Tempat inilah yang membuat
Mulyadhi merasa mulai mengalami perkembangan karir intelektual. Setelah
menyelesaikan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Perkembangan
tingkat intelektual yang begitu tinggi dirasakan Mulyadhi ini pulalah yang
memberinya kesan, penghargaan akan tulisan-tulisan akademis konvensional
seperti tesis tidak begitu tinggi jika dibandingkan di Indonesia. Pertimbangan-
pertimbangn ini yang membuat Mulyadhi memutuskan untuk menulis kembali
tentang Rumi karena risetnya tidak dimulai dari awal lagi namun hanya
pengembangan dari skripsi yang pernah ditulisnya.7
Kemudian pada Tahun 1996 Mulyadhi meraih gelar doktor filsafat
dengan disertasi berbahasa Arab Mukhtasar Siwan al-Hikmah, berisi sekitar seribu
kata mutiara dari 60 filosof Yunani dan 13 filosof Muslim. Karya Mulyadhi ini
sesungguhnya tidak tergolong sepenuhnya pada bidang filsafat, tetapi tidak juga
tergolong masuk dalam kategori sastra Arab (filologi) sepenuhnya, melainkan
hasil editing dari manuskrip Umar Ibn Shahlan al-Sawi. Walaupun agak
pragmatis karya Mulyadhi ini, tetapi lebih merupakan kompromi perfeksionisme
dengan mengorbankan keterlibatan eksistensial seorang Mulyadhi yang menjadi
idealisme filosofisnya.
Pragmatisme-intelektual tersebut terpaksa dijalani sebab pada awalnya
Mulyadhi ingin menulis tentang Iqbal tetapi sayangnya tulisan tentang Iqbal di
Universitas Chicago sudah terdapat kurang lebih seribu katalog. Kemudian ia
mencoba memeras pikiran untuk mencari tema lain, dan menghasilkan tiga tema
yaitu; teori atom Asy’ari, kritik Suhrawardi atas logika Aristotelian, dan jawaban
5 Mulyadhi Kartanegara, Mozaik khasanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, ( Jakarta:
Paramadina, 2000), h. 205.
6 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung:
Mulla Shadra terhadap kritik Kant. Namun keinginan itu terpaksa diurungkan
dengan alasan wafatnya Prof. Fazlurrahman yang sangat potensial untuk
menjadi pembimbingnya, di samping waktu yang tersedia untuk beasiswanya
sudah sangat mendesak, ditambah lagi dengan kultur Universitas Chicago yang
kurang memperhatikan karya-karya akademis.
Dari beberapa pertimbangan tersebut Mulyadhi kemudian
mengurungkan niatnya dan menerima tawaran Prof. Wadad al-Qadhi untuk
mengedit Mukhtasar Siwan al-Hikmah 8 karena menurut Prof. Al-Qadhi disertasi
lebih seperti “SIM” bagi pengemudi mobil. Jadi disertasi bukanlah akhir tetapi
justru awal karir seorang intelektual, sebagaimana SIM adalah awal karir
seorang sopir. Awal karir seorang cendekiawan justru dimulai setelah meraih
gelar doktor dengan menyelesaikan disertasinya. Dengan demikian dalam
suasana tertentu pengorbanan seperti ini tentu diperlukan demi penyelamatan
karir.
sebut sebagai ma’qulat (obyek-obyek yang tidak dapat ditangkap melalui panca
indra, melainkan hanya dapat ditangkap oleh akal manusia).
Kepercayaan hanya pada dimensi empirikal status ontologis, tentu
berimplikasi pada klasifikasi ilmu, demikian pula pada konstruksi keilmuan
Islam, kepercayaanya kepada status ontologis bukan hanya pada dimensi
empirikal, namun melampaui itu yang padanya dilekatkan nama metaempirikal
tentu juga berimplikasi pada klasifikasi ilmu.
Meskipun dalam hal perincian klasifikasi ilmu memiliki variasi, tetapi
para ilmuan atau filosof muslim pada umumnya sepakat untuk membagi ilmu-
ilmu teoritis (Nazhariyat), dan ilmu-ilmu praktis (amaliyyat). Kemudian ilmu-ilmu
teoritis dibagi lagi menjadi metafisika, matematika, dan ilmu-ilmu alam.11 Taqi
Mishbah pun dalam bukunya menyinggung persoalan tersebut, berawal dari
Socrates menyebut dirinya sebagai filosof, lalu istilah filsafat digunakan sebagai
lawan dari sophistry (ke-sofis-an atau kerancuan berpikir), dan memuat seluruh
ilmu hakiki (real science), seperti fisika, kimia, kedokteran, astronomi,
matematika, dan teologi. Atas dasar asumsi tersebut sehingga filsafat dianggap
sebagai kata umum untuk seluruh ilmu hakiki, yang dibagi menjadi dua
kelompok umum: ilmu-ilmu teoritis dan praktis. Ilmu teoritis meliputi ilmu-ilmu
alam, matematika, dan teologi. Ilmu-ilmu alam meliputi kosmogoni, mineralogi,
botani, dan zoologi; matematika meliputi aritmatika, geometri, astronomi, dan
musik. Teologi dipilah menjadi dua kelompok: metafisika atau perbincangan
umum tentang wujud, dan teologi ketuhanan. Ilmu-ilmu praktis memiliki tiga
cabang: etika, moralitas/ akhlak; ekonomi domestik, dan politik.12
Deskripsi di atas maka dapat dipahami bahwa dalam sudut pandang
epistemologi Barat modern, melalui kontruksi sains empiriknya maka
konsekuensi logisnya hanya mengakui status ontologis empirikal, yang
dipertegas melalui pandangan positivistik Comte, yang dianggap ada itu
hanyalah sesuatu yang dapat dijangkau melalaui observasi indrawi dan
verifikasi empirik.13
Sementara itu epistemologi Islam tetap mempertahankan status ontologis
tidak hanya obyek-obyek fisik, tetapi obyek-obyek matematika, dan metafisika,
lebih dari itu ilmuan Islam telah menyusun hierarki wujud, dimulai dari entitas-
entitas metafisika, dengan Tuhan di puncaknya sebagai pemberi wujud bagi
yang lain,14 kemudian menurun melalui alam “antara” (barzakh) yang bisa kita
11 Mulyadhi Kartanegara, Nalar Religius: Memahami Hakikat Tuhan, Alam dan Manusia,
(Jakarta: Erlngga, 2007), h. 68. Lihat juga buku Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah
Respons Terhadap amaodernitas, h. 6.
12 Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, h. 6.
13 Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer Atheisme: ”Positivisme Logis, Neo
15 Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, 2003, h. 31.
16 Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap amaodernitas, h. 66.
kekuatan raksasa, ilmu bisa saja secara potensial sangat destruktif atau
konstruktif, tergantung pada bagaimana kita mengelolanya. Membiarkan ilmu
dan aplikasinya dalam bentuk teknologi, berkembang begitu saja tanpa
pengarahan yang sistematis bisa sangat berbahaya, mengingat kekuatannya yang
sangat besar. Oleh karena itu segala upaya untuk menjinakkan dan
menyesuaikan kekuatan raksasa ilmu dengan habitat kultur bangsa kita sehingga
berdaya guna secara maksimal, perlu kiranya kita sambut dengan gembira
sebagai bagian dari tanggung jawab moral setiap cendekiawan.19
Respon kritis Mulyadhi terhadap modernitas yang bernuansa positivistik
dan materialistis yang membuat keterputusan terhadap dimensi Ilahiyah
sehingga menjadi biang dari segala macam krisis kehidupan dan melahirkan
sebagian manusia modern yang acapkali telah tercerabut dari akar-akar tradisi
intelektual Islam. Bagi Mulyadhi tentu saja, kritik atau tantangan filosofis yang
begitu serius dan berbahaya terhadap bangunan metaempirik, epistemologis,
dan etis Islam, itu tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa respon dan bahkan
kritik yang dapat dipertanggung jawabkan secara filosofis. Sehingga hal tersebut
merupakan pekerjaan rumah yang begitu penting bagi setiap kaum akademik
dalam bahasa al-Faruqi, karena kritik terhadap sebuah ide atau pendirian akan
dianggap benar selama tidak ada yang membantahnya.20
Setelah menelusuri secara seksama perkembangan ilmu modern,
akhirnya pada kesimpulan bahwa pada kenyataannya pandangan keilmuan
modern telah menimbulkan persoalan-persoalan serius. Pembatasan lingkup
ilmu oleh ilmuan-ilmuan Barat modern hanya pada obyek empirik, pada
awalnya mungkin hanya berupa pembagian kapling antara akal dan agama.
Namun, lambat laun pembatasan tersebut ternyata telah menjadi pembatasan
atau defenisi realitas itu sendiri. Pembatasan lingkup ilmu tersebut ternyata telah
mendorong banyak ilmuan Barat memandang dunia empirikal sebagai satu-
satunya realitas yang ada, seperti tergambar dari paham materialisme dan
positivisme, yakni pandangan-pandangan filosofis yang berakhir dengan
penolakan terhadap realitas metaempirik.
Implikasi yang dilahirkan dari kecenderungan pembatasan lingkup ilmu
hanya pada obyek-obyek fisikal melahirkan paradigma21 positivistik yang
reduksionis dan sekuler, dan pandangan ini tidak terjadi begitu saja melainkan
diupayakan secara sadar dan sistematis sebagaimana yang dikutip oleh
Mulyadhi dari asumsi Holmes Rolston III, sekularisasi ini dilakukan dengan,
“menolak secara programatik kategori-kategori (sebab-sebab) formal, dan final,
dalam setiap penjelasan ilmiah meraka.” Seperti kita ketahui secara seksama
diantarnya adalah model atau pola berpikir dan pandangan dunia kaum ilmuan. Penulis kutip dari
kutipan Husain Herianto dalam bukunya Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan kehidupan
menurut Shadra dan Whitehead. (Jakarta: Teraju, 2003). 28.
22 Proposisi biasa berupa ide partikular yang mengacu pada maujud tertentu seperti
gunung bawa karaeng salah satu gunug yang berada di kab. Gowa, dan kadang-kadang berupa
konsep universal yang bisa diterapkan padah contoh yang tak terhingga. Penulis kutip pada buku
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, h. 136.
23 Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatuna>, diterjemahkan dari judul: Dirasah Mawdhu’iyah fi
Mu’tarak al-Shira’ al-Fikriy al-Qaim baina Mukhtalaf al-Islamiyah wa al-Maddiyah al-Diyaliktikiyah (al-
Marksiyyah), h. 56.
24 Fritjof Capra, The Tao Of Physics: Meyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisisme
Timur, diterjemahkan dari judul, The Tao Of Physics: An Exploration of the Parallels between Modern
Physics and Easter Mysticism, diterjemhakan oleh Aufiya Ilhamal Hafizh, h. xxi .
materialisme dapat dilihat dari pemihakan sains modern terhadap hal-hal yang
positivistik. Sebuah disiplin ilmu baru dikatakan saintifik, bila obyek-obyeknya
bersifat empiris yang karenanya bisa diukur dan diobservasi secara indrawi.
C. Simpulan
Mulyadhi adalah salah satu di antara banyak intelektual Muslim yang
menyodorkan konsep Islamisasi sains. Mulyadhi dengan konsep Islamisasi
epistemologis sebagai bentuk naturalisasi menyodorkan epistemologi yang
bercorak integral, Mulyadhi kembali memadukan klasifikasi ilmu dan metode
ilmu yang disebut sebagai bentuk naturaliasi, setelah ilmuan Barat memisahkan
bahkan menampik akal dan hati sebagai sumber dan metode ilmu, Sehingga
berimplikasi pada klasifikasi ilmu yang hanya membatasi dirinya hanya pada
sains yang bercorak empiris dan menganggap ilmu selain hal tersebut sebagai
ilmu palsu (pseudo sains). Ilmuan Barat yang membatasi hanya pada panca indra
sebagai satu-satunya sumber ilmu maka melahirkan klasifikasi ilmu pada level
ontologis hanya pada realitas sejauh yang dapat ditangkap melalui panca indra.
Berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh Mulyadhi melalui konsep Islamisasi
epistemologisnya, dia menyodorkan bukan saja panca indra sebagai sumber
ilmu, melainkan akal dan intuisi. Sehingga pada dimensi ontologisnya bangunan
epistemologi Islam bukan hanya mengakui level empirikal, namun level
metaempirik dan trans-metaempirik, sehingga implikasinya pada klasifikasi
ilmu mengakui bukan hanya ilmu fisika, namun ada matematika, dan metafisika.
Adapun kritik Mulyadhi terhadap bangunan ilmu modern yang
dibangun di atas fondasi rasionalisme-empiris adalah pandangannya yang
parsial, mereduksi pandangan alam dengan berdalih bahwa setelah Tuhan
menciptakan alam ini maka dia tidak lagi memiliki campur tangan terhadapnya.
Pandangan tersebut disebut sebagai teori pembuatan jam (clock maker theory)
yang lahir dari rahim paradigma Cartesian-Newtonian. Berawal dari paradigma
Cartesian-Newtonian lalu melahirkan banyak paham seperti, deisme,
naturalisme, materialisme, dan sekulerisme. Aliran pemikiran yang lahir akibat
dari inspirasinya terhadap paradigma Cartesian-Newtonian inilah yang menjadi
sasaran respon kritis Mulyadhi. Mulyadhi dalam menjawab sekaligus
merupakan tepisan atas pandangan tersebut meminjam teori baik dari ilmuan
Barat yang termasuk sebagai penemuan kontemporer, dia juga menggunakan
pandangan ilmuan dan filosof Islam yang lebih komprehensif dalam menjawab
tantangan tersebut.
Referensi
Armahedi Mahzar, Revolusi Integralisme Islam. Cet. I: Mizan Bandung, 2004
Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer Atheisme: ”Positivisme Logis, Neo
Marxisme, Post Modernisme, Post Ideologi Syndrom”, Yogyakarta: Jalasutra,
2001
Husain Herianto, Paradigma Holistik: Dialog Filsafat, Sains, dan kehidupan menurut
Shadra dan Whitehead. (Jakarta: Teraju, 2003
Isma’il Raji al-Faruqi, Tanggung jawab Akademikus Muslim dan Islamisasi Ilmu-Ilmu
Sosial, Jakarta: Minaret, 1987
Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, diterjemahkan dari judul: Tawhid; Its Implications for
Thought and life, (Cet I; Bandung: Pustaka, 1988
Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, Mizan Bandung, 2003
Mulyadhi Kartanegara, Seni Mengukir Kata: Kiat-Kiat Menulis Efektif-Kreatif,
Bandung: MLC, 2005.
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat Islam, Bandung:
Mizan, 2002
Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap
amaodernitas, Erlangga, Jakarta, 2007
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam,
Bandung: Mizan, 2003
Mulyadhi Kartanegara, Mozaik khasanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago,
Jakarta: Paramadina, 2000
Murtadha Muthahhari, Membumikan Kitab Suci: Manusia dan Agama, diterbitkan
oleh: Free Islamic Literature, Inc. Housto, Texas. Penyunting Haidar
Baqir, Bandung, Mizan 2007
Zainal Abidin Baqir, Jarot Wahyudi dan Afnan Anshori, Integrasi Ilmu dan Agama:
Interpretasi Untuk Aksi, Bandung, Mizan 2005
Tusriyanto
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro
Email: tusriyanto@metrouniv.ac.id
Abstract
The phase of children aged 0-6 years (golden age) is a period where children must get
special education so that their physical and mental growth and development are
appropriate in order to be able to receive and respond to stimulation obtained from the
environment. The most important thing that must be carried out by the management of
education, especially at the level of Early Childhood Education is to seek Child Friendly
Schools. Child-friendly schools are defined as an open school concept, trying to apply
learning that pays attention to students' psychological and psychological development.
The development of SRA can be implemented in Early Childhood Education (PAUD),
through collaboration from families, communities and schools.
Keywords: Child Friendly School , family, community, and PAUD
Abstrak
Fase anak usia 0-6 tahun (golden age) adalah masa dimana anak harus mendapatkan
pendidikan khusus agar pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun mentalnya secara
tepat agar mampu menerima dan memberi respon terhadap stimulasi yang didapatkan
dari lingkungan. Hal terpenting yang harus dilakukan pengelolan pendidikan khususnya
di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini adalah mengupayakan Sekolah Ramah Anak
(SRA). Sekolah ramah anak diartikan sebagai sebuah konsep sekolah yang terbuka,
berusaha mengaplikasi pembelajaran yang memperhatikan perkembangan psikis maupun
psikologis siswanya. Pengembangan SRA dapat dilaksanakan pada Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD), melalui kerjasama dari keluarga, masyarakat maupun sekolah.
Kata kunci: Sekolah Ramah Anak, keluarga, masyarakat, dan PAUD
A. Pendahuluan
Usia prasekolah atau balita merupakan fase yang sangat fundamental
bagi perkembangan individu. Usia balita sebagai masa terbentuknya kepribadian
dasar individu, usia prasekoah sebagai masa yang penuh dengan kejadian-
kejadian penting dan unik (a highly eventful and unique period of life) yang
meletakkan dasar bagi kehidupan seseorang di masa dewasa. Fernie menyakini
bahwa pengalaman-pengalaman belajar awal tidak akan pernah bisa diganti oleh
pengalaman-pengalaman berikutnya, kecuali dimodifikasi. Goleman
menjelaskan bahwa periode tiga atau empat tahun pertama merupakan periode
subur bagi pertumbuhan otak manusia hingga dapat mencapai kurang lebih dua
pertiga dari ukuran otak orang dewasa.1
1 Kristanto, dkk. Identifikasi Model Sekolah Ramah Anak (Sra) Jenjang Satuan Pendidikan Anak
Usia Dini Se-Kecamatan Semarang Selatan. Artikel dimuat dalam jurnal “Jurnal Penelitian PAUDIA”,
Volume 1 No. 1 Tahun 2011.
Tusriyanto Pengembangan Sekolah Ramah...
Anak berusia 0-6 tahun (golden age) perlu mendapat perhatian khusus
karena masa tersebut merupakan masa terjadinya perkembangan dan
pertumbuhan yang pesat sekaligus kritis karena merupakan langkah awal masa
depan anak. Masa ini adalah suatu proses menuju kematangan fisik dan mental
sehingga mereka siap menerima dan memberi respon terhadap stimulasi yang
didapatkan dari lingkungan. Menurut Laurens, lingkungan fisik sekitar
seseorang sangat mempengaruhi mental dan perilakunya. Segala informasi dan
stimulasi dari lingkungan akan langsung diterima sehingga memberikan
pengaruh yang besar di kehidupan mereka.2 Dengan demikian, jelaslah bahwa
pada masa anak usia dini merupakan fase yang harus diperhatikan secara serius
bagi pendidik, orang tua, serta semua pihak yang terlibat dalam pendidikan
karena merupakan fase yang sangat penting bagi perkembangan anak menuju
fase selanjutnya.
Berikut adalah gambaran lingkungan awal yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan anak menurut Sari:
2 Ayu Oktira Diyanti, dkk. Lingkungan Ramah Anak pada Sekolah Taman Kanak-Kanak.
4 Kristanto, dkk. Identifikasi Model Sekolah Ramah Anak (Sra) Jenjang Satuan Pendidikan Anak
Usia Dini Se-Kecamatan Semarang Selatan. Artikel dimuat dalam jurnal “Jurnal Penelitian PAUDIA”,
Volume 1 No. 1 Tahun 2011.
5 Ibid.
6 Senowarsito, dkk., Implementasi Pendidikan Ramah Anak Dalam Konteks Membangun
Karakter Siswa Di Sekolah Dasar Negeri Di Kota Semarang. Artikel ini dimuat dalam “FPBS IKIP PGRI
Semarang” Vol. 6 No. 1 Tahun 2012.
tepat agar mampu menerima dan memberi respon terhadap stimulasi yang
didapatkan dari lingkungan.
7 Kristanto, dkk. Identifikasi Model Sekolah Ramah Anak (Sra) Jenjang Satuan Pendidikan Anak
Usia Dini Se-Kecamatan Semarang Selatan. Artikel dimuat dalam jurnal “Jurnal Penelitian PAUDIA”,
Volume 1 No. 1 Tahun 2011.
8 Ratnasari, dkk. Implementasi Penerapan Sekolah Ramah Anak Pada Penyelenggaraan
Pendidikan Sekolah Dasar. Artikel dimuat dalam “The 5th Urecol Proceeding”, UAD Yogyakarta 18
Februari 2017.
9 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Panduan Sekolah
Ramah Anak. Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian Peberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Tahun 2015., h. 14.
mereka. sehingga hal ini menjadi tidak sehat bagi anak, mereka dipaksa berjalan
menurut rel yang telah diariskan orang tua mereka tanpa bisa melawan.10
Dalam sebuah komunitas anak juga mempunyai posisi yang strategis.
Anak adalah “embrio”, sebuah komunitas baru. Dengan demikian anak menjadi
penentu nasib perjalanan suatu komunitas. Anak juga dipandang sebagai tunas
muda yang akan menjadi generasi baru penentu masa depan komunitas. Maka
anak harus dipandang dan diberlakukan sebagai komunitas terpilih dalam
komunitas besarnya. Anak akan tumbuh dan berkembang dengan optimal bila
berada pada lingkungan yang mendukung (lingkungan keluarga, sekolah
maupun lingkungan masyarakat sekitarnya). Secara garis besar ada beberapa
ruang lingkup dimana anak tinggal dan hidup, dimana lingkungan ini sangat
berpengaruh terhadap terciptanya Sekolah Ramah Anak ini. Yang pertama
adalah keluarga kemudian lingkungan masyarakat (baik lingkungan desa, kota
ataupun negara). Ruang lingkup yang lebih besar lagi adalah dunia
internasional.11 Anak akan tumbuh berkembang secara optimal dengan
dukungan masyarakat, sekolah serta keluarga.
Dalam pelaksaaan Sekolah ramah Anak perlu dibuat tim pelaksana
program, dapat dibuat struktur organisasi yang bertugas sebagai koordinator
sekolah ramah anak, sehingga diharapkan dengan adanya koordinator tersebut
pelaksanaan program sekolah ramah anak dapat optimal.12 Pelaksanaan SRA
membutuhkan perencanaan yang baik salah satunya adalah perlu dibentuk tim
khusus yang mengurusi hal itu.
10 Kristanto, dkk. Identifikasi Model Sekolah Ramah Anak (Sra) Jenjang Satuan
Pendidikan Anak Usia Dini Se-Kecamatan Semarang Selatan. Artikel dimuat dalam jurnal “Jurnal
Penelitian PAUDIA”, Volume 1 No. 1 Tahun 2011.
11Ibid.
12 Kiki, dkk., Implementasi Sekolah Ramah Anak (SRA) Pada Sekolah Percontohan Di SD
Pekunden 01 Kota Semarang Sebagai Upaya Untuk Mendukung Program Kota Layak Anak (KLA).
Artikel ini dmuat dalam “Jurnal ISOSPOL” Tahun 2016.
wajar dan mampu mengoptimakan setiap potensi yang ada dalam dirinya. e.
Lingkup selanjutnya adalah lingkungan (masyarakat). Lingkungan masyarakat
yang mampu melindungi, nyaman dan aman akan sangat mendukung
perkembangan anak. Anak sebagai pribadi yang berkembang dan mencari jati
diri. Dalam pencariannya anak mempunyai kecenderungan untuk mencoba hal
baru serta mencari pengakuan dari sekitarnya. Dalam kerangka ini anak
seringkali berusaha meniru atau menjadi beda dengn sekitarnya. f. Sebuah
komunitas yang sehat bagi anak adalah komunitas yang mampu menerima dan
menghargai anak sebagai pribadi, apa adanya. Komunitas ini juga harus
mengakomodir kepentingan anak untuk berekspresi, berapresiasi dan
berpartisipasi. Selain itu yang tak kalah penting adalah bagaimana komunitas
mampu memberikan perlindungan pada anak sehingga anak meraasa aman
tinggal dan berinteraksi di dalam komunitasnya.”13
Jelaslah bahwa untuk mengembangkan Sekolah Ramah Anak (SRA)
diperlukan sinergitas antara (sekolah, keluarga dan masyarakat) yang
merupakan tri pusat pendidikan sebagaimana yang dituliskan oleh Ki Hajar
Dewantara. Pengembangan SRA tidak akan terlaksana dengan baik apabila
dilaksanakan secara sepihak, oleh karena itu dibutuhkan kerjasama yang baik
dari semua pihak,
Lebih lanjut menurut Kristanto untuk mencapai itu semua diperlukan
indiaktor untuk bisa mencapainya, diantaranya adalah sebagai berikut: a.
Inklusif secara proaktif, yang meliputi: 1) Secara proaktif mencari semua anak
yang termarginalisasi dari pendidikan. 2) Mempromosikan dan membantu anak
untuk memonitor hak-hak dan kesejahteraan semua anak di masyarakat 3)
Menghargai keberagaman dan memastikan kesetaraan kesempatan. 4)
Memberikan pendidikan yang bebas biaya dan wajib serta murah dan aksesibel.
5) Sehat, Aman dan Protektif b. Fasilitas toilet yang bersih, yang meliputi: 1)
Akses kepada air minum yang bersih. 2) Tidak ada kuman fisik atau gangguan.
3) Pencegahan HIV dan AIDS dan non diskriminasi. 4) Partisipasi Masyarakat c.
Terfokus pada keluarga: 1) Bekerja untuk memperkuat keluarga sebagai pemberi
asuhan dan pendidikan utama bagi anak. 2) Membantu anak, orang tua dan guru
membangun hubungan harmonis dan kolaboratif. d. Berbasis komunitas, yang
meliputi: 1) Mendorong kemitraan setempat dalam pendidikan. 2) Bertindak
dalam dan dengan masyarakat untuk kepentingan. e. Efektif dan berpusat pada
anak 1) Bertindak menurut kepentingan terbaik tiap anak. 2) Peduli kepada anak
“seluruhnya”; kesehatan, status gizi dan kesejahteraan. 3) Peduli tentang apa
yang terjadi kepada anak sebelum mereka masuk sekolah dan setelah pulang
dari sekolah. 4) Metode yang kreatif di dalam ruang kelas. f. Kesetaraan gender:
1) Mempromosikan kesetaraan gender dalam penerimaan dan prestasi. 2) Bukan
hanya kesempatan yang sama tetapi kesetaraan. 3) Menghilangkan stereotipe
13Ibid.
14 Kristanto, dkk. Identifikasi Model Sekolah Ramah Anak (Sra) Jenjang Satuan Pendidikan Anak
Usia Dini Se-Kecamatan Semarang Selatan. Artikel dimuat dalam jurnal “Jurnal Penelitian PAUDIA”,
Volume 1 No. 1 Tahun 2011.
15 Ibid.
partisipasi anak, dan 6) partisipasi orang tua, lembaga masyarakat, dunia usaha,
pemangku kepentingan lainnya, dan alumni. idealnya keenam indikator tersebut
harus dipenuhi dalam rangka mewujudkan SRA.16 Jelaslah dari kedua pendapat
tersebut di atas bahwasanya dalam mengembangkan SRA diperlukan
dukuangan dari semua pihak yang berupa kebijakan, fasilitas maupun kerjasama
dari orang tua, lembaga masyarakat, dunia usaha, pemangku kepentingan
lainnya, dan alumni.
Dengan masih tingginya kasus kekerasan yang terjadi selama kurun
waktu tahun 2013 Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA)
melaporkansebanyak 3.023kasus pelanggaran hak anak terjadi di Indonesia dan
58 persen atau 1.620 anak jadi korban kejahatan seksual. Dilihat dari klasifikasi
usia, dari 3.023 kasus tersebut, sebanyak 1.291 kasus (45 persen) terjadi pada
anak berusia 13 hingga 17 tahun, korban berusia 6 hingga 12 tahun sebanyak 757
kasus (26 persen), dan usia 0 hingga 5 tahun sebanyak 849 kasus atau 29 persen
(kompas).17 Berdasarkan data ini terlihat masih tingginya kasus kekearasan yang
dilakukan terhadap anak.
Merujuk pada hasil riset dari KPAI tersebut menunjukkan bahwa sekolah
hingga detik ini belum bisa menjadi tempat yang ramah bagi anak (siswa).
Meskipun disebut sebagai lembaga pendidikan, akan tetapi kekerasan justru
sering lahir dari tempat ini. Hal tersebut tentu sangat kontra produktif dengan
makna sekolah itu sendiri, yaitu sebagai tempat untuk belajar, bukan tempat
untuk melakukan kekerasan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat begitu
menyenangkan bagi anak, karena di lembaga pendidikan inilah anak-anak akan
di didik untuk saling mengenal, menyayangi satu dengan yang lain bukan untuk
bermusuhan atau saling menindas.18 Dengan demikian pengembangan SRA
menjadi sangat mutlak untuk menuntaskan serta mencegah terjadinya berbagai
kekerasan yang dilakukan terhadap anak serta untuk memenuhi hak-haknya.
Selanjutnya dalam kegiatan pembelajaran, pendidik dapat
mengimplementasikan pendidikan ramah anak yang berbasis 3 P (Provisi,
Proteksi, dan Partisipasi) dalamproses pembelajaranya dapat lebih
meningkatkan pada peran siswa dalam keaktifannya berekspresi, bertanya,
menjawab, berargumentasi, bahkan siswa diperkenankan untuk menginterupsi
pada saat pendidik sedang menjelaskan. Pendidikan ramah anak yang
diimplementasikan di sekolah secara langsung maupun tidak langsung dapat
membentuk karakter siswa. Pendidikan karakter tidak saja merupakan tuntutan
16Wuri W., dkk., Implementasi Pemenuhan Hak Anak Melalui Sekolah Ramah Anak. Artikel ini
dimuat dalam “Jurnal Civics: Media Kajian Kewarganegaraan”. Vol. 15 No. 1 Tahun 2018, h. 32.
17 Agus Yulianto. Pendidikan Ramah Anak: Studi Kasus SDIT Nur Hidayah Surakarta. Artikel
dimuat dalam “At-Tarbawi: Jurnal Kajian Kependidikan Islam” Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2016, h. 45.
18 Ibid.
undang-undang dan peraturan pemerintah, tetapi juga oleh agama, karena setiap
agama mengajarkan karakter atau akhlak pada pemeluknya19.
19 Hardi P.,Peran Bimbingan dan Konseling Dalam Pendidikan Ramah Anak Terhadap
Pembentukan Karakter Sejak Usia Dini. Artikel ini dimuat dalam “Jurnal CARE (Children Advisory
Research and Education)” Volume 04 Nomor 1 Juni 2016.
20 Ibid.
21 Ibid.
22 Ibid.
23 Ibid.
24 Ibid.
25 Ibid.
26 Ibid.
27 Ibid.
C. Simpulan
Berdasarkan beberapa kajian teori serta beberapa penelitian yang
dilakukan berkaitan dengan Sekolah Ramah Anak diperoleh kesimpulan yaitu,
Pengembangan Sekolah Ramah Anak di PAUD adalah suatu keniscayaan
sebagai upaya untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan fisik
maupun mentalnya secara tepat agar mampu menerima dan memberi respon
terhadap stimulasi yang didapatkan dari lingkungan. Kemudian, untuk
melaksanakan Sekolah Ramah Anak diperlukan perencanaan yang baik, oleh
karena itu perlu dibentuk tim khusus agar kegiatannya terorganisir dengan baik.
Selain itu pengembangan Sekolah Ramah Anak di PAUD sebagai upaya untuk
menjamin dan memenuhi hak-hak anak. Serta Pengembangan Sekolah Ramah
Anak di PAUD dilaksanakan sebagai upaya untuk mengurangi serta mengatasi
maraknya kekerasan terhadap anak.
Referensi
Agus Yulianto. Pendidikan Ramah Anak: Studi Kasus SDIT Nur Hidayah
Surakarta. Artikel dimuat dalam “At-Tarbawi: Jurnal Kajian Kependidikan
Islam” Vol. 1, No. 2, Juli-Desember 2016,
Ayu Oktira Diyanti, dkk. Lingkungan Ramah Anak pada Sekolah Taman Kanak-
Kanak. Dimuat dalam “Jurnal RUAS” Vol. 12 No. 2, Desember 2014.
Hardi P., Peran Bimbingan dan Konseling Dalam Pendidikan Ramah Anak
Terhadap Pembentukan Karakter Sejak Usia Dini. Artikel ini dimuat
dalam “Jurnal CARE (Children Advisory Research and Education)” Volume
04 Nomor 1 Juni 2016.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. Panduan
Sekolah Ramah Anak. Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian
Peberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Tahun 2015., h. 14.
Kiki, dkk., Implementasi Sekolah Ramah Anak (SRA) Pada Sekolah Percontohan
Di SD Pekunden 01 Kota Semarang Sebagai Upaya Untuk Mendukung
Program Kota Layak Anak (KLA). Artikel ini dmuat dalam “Jurnal
ISOSPOL” Tahun 2016.
Kristanto, dkk. Identifikasi Model Sekolah Ramah Anak (Sra) Jenjang Satuan
Pendidikan Anak Usia Dini Se-Kecamatan Semarang Selatan. Artikel
dimuat dalam jurnal “Jurnal Penelitian PAUDIA”, Volume 1 No. 1 Tahun
2011.
Pendidikan Sekolah Dasar. Artikel ini dimuat dalam “Artikel dimuat dalam “The 5th Urecol
Proceeding”, UAD Yogyakarta 18 Februari 2017.
Fathul Mu’in
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Email: fathulmuin@radenintan.ac.id
Rudi Santoso
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung
Email: rudisantoso@radenintan.ac.id
Abstract
I'jaz is the ability to subdue and show it self above all others. when this term is pinned to
the qur'an, it demands that the holy book brought by the Prophet Muhammad be able to
subdue all the writings that have ever existed, while converting the qur’an into the most
noble and undisputed book. The miracles of the qur’an cannot be matched. This is
manifested in the aspect of the beauty of language, the stories contained in it, in addition
to monotheism, the rules of the Shari'a, and others, as well as extraordinary complete
scientific information when examined in depth. To appreciate the miracle of this Qur’an,
every Muslim should fulfill the right of the Qur'an by reading and memorizing it,
analyzing it and applying it in daily life as a guide for those who believe and devout.
Keyword: I'jaz, the Miracle, the Holy Qur'an
Abstrak
I’jaz merupakan kemampuan untuk menundukkan dan menunjukkan dirinya melebihi
yang lainnya. Ketika istilah ini disematkan kepada Alquran, maka kitab suci yang dibawa
oleh Rasulullah ini dapat menundukkan seluruh tulisan-tulisan yang pernah ada,
sekaligus juga menobatkan Alquran menjadi mu’jizat sekaligus kitab paling mulia dan
tidak terbantahkan. Kemukjizatan Al-Qur’an tidak mungkin bisa tertandingi. Hal ini
terwujud dalam aspek keindahan bahasa, kisah yang terkandung di dalamnya, selain
tauhid, aturan syariat, dan sebagainya, serta informasi ilmiah yang luar biasa
lengkapnya jika ditelaah secara mendalam. Untuk mengapresiasi kemukjizatan Alquran
ini, hendaknya setiap umat Islam memenuhi hak Alquran yaitu dengan membaca,
menghafal, mengkaji, menganalisa serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari
sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa.
Kata Kunci : I’jaz, Mu’jizat, Al-Qur’an
A. Pendahuluan
Al-Qur’an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya diperkuat
oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Allah menurunkan Al-Qur’an secara
berangsur-angsur selama kurang lebih 23 tahun. Berbeda dengan kitab-kitab suci
yang diturunkan kepada paraRasul sebelum Nabi Muhammad SAW. Seperti
Nabi Ibrahim AS yang diberi shuhuf (lembaran-lembaran suci) dalam satu waktu
alias sekaligus. Demikian pula dengan Nabi Musa aAS dan Nabi Isa AS yang
menerima al-alwâh(lembaran-lembaran suci) yang di dalamnya terdapat teks-teks
Taurat dalam satu waktu.Nabi Isa AS juga menerima kitab suci Injil sekaligus.
Fathul Mu’in dan Rudi Santoso Kontruksi dan Arah...
Abdul Shabur Syahin, Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan (Jakarta: Erlangga, 2014), h. 11.
1
2Az-Zarqani, Muhammad, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Alquran, Jilid. 1,tahqiq: Fawwaz
Ahmad Zamarli, (Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1415 H/1995 M), h. 63.
3 M. Quraish Shihab, Wawasan AL-Qur’an (Bandung: Mizan, 1996), h. 3.
4 M. Quraish Shihab, et. all., Sejarah dan Ulum Al-Qur‟an, (Jakarta: Pusataka Firdaus, 2008),
h. 1.
5 Ibid, h. 14.
sangatlah fenomenal. Lantaran di dalamnya sarat nilai-nilai yang unik, pelik dan
rumit sekaligus luar biasa. Hal ini lebih disebabkan karena eksistensinya yang
tidak hanya sebagai ajaran keagamaan saja, melainkan ajaran kehidupan yang
mencakup total tata nilai semenjak hulu peradaban umat manusia hingga
hilirnya. Diantara nilai-nilai tersebut adalah pada aspek kebahasaannya, isyarat-
isyarat ilmiah dan muatan hukum yang terkandung didalamnya. Saking pelik,
unik, rumit dan keluar biasanya tak pelak ia menjadi objek kajian dari berbagai
macam sudutnya, yang darinya melahirkan ketakkjuban bagi yang beriman dan
cercaan bagi yang ingkar.
Namun demikian, seiring dengan waktu dan kemajuan intelkstualitas
manusia yang diikuti dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern, sedikit
demi sedikit nilai-nilai tersebut dapat terkuak dan berpengaruh terhadap
kesadaran manusia akan keterbatasan dirinya, sebaliknya mengokohkan posisi
Al-Qur`an sebagai kalam Tuhan yang kudus yang berfungsi sebagai petunjuk
dan bukti terhadap kebenaran risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw.
Serentetan nilai Al-Qur`an yang unik, pelik, rumit sekaligus luar biasa hingga
dapat menundukkan manusia dengan segala potensinya itulah yang lazimnya
disebut dengan mukjizat. Makalah ini ditulis untuk mengetahui mu’jizat yang
terkandung dalam kitab suci umat Islam yang bernama Al-Qur’an.
B. Pembahasan
1. Pengertian Mukjizat
Secara bahasa, kata I'jaz berasal dari kata 'ajz yang berartikelemahan atau
ketidak rnarnpuan. Kata I'jaz adalah bentuk nominaverbal dati kata 'ajaza yang
berarti mendahului. Dengan dernikianistilah al-l'jaz al-Tmi (kemukjizatan
ilmiah) Alquran atau al-Hadismisalnya mengandung makna bahwa kedua
sumber ajaran agama itutelah mengabarkan kepada kita tentang fakta-fakta
ilmiah yang kelakditernukan dan dibuktikan oleh eksperiment sains umat
manusia, danterbukti tidak dapat dicapai atau diketahui dengan sarana
kehidupanyang ada pada zaman Rasulallah saw. Hal itu membuktikan
kebenaranyang disampaikan oleh Rasulallah saw.6
Kata i’jaz atau mukjizat memang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an
maupun oleh para penulis terdahulu. Sebaliknya, mereka menggunakan kata-
kata Ayah atau Karamah, sampai Al-Wasithi memilih i’jazul-Qur’an sebagai judul
tulisan beliau yang terkenal. Kata Mu’jizah memberi makna baru yang
didefinisikan oleh para teolog sebagai sesuatu yang di luar nalar atau
kemampuan akal manusia, menantang dan tidak mungkin dikalahkan.7Kata
mukjizat diambil dari bahasa Arab أعجزa’jaza-i’jazyang mengandungarti
6 Ahmad Fuad Pasya, Dimensi Sains AI-Qur'an, cet.I, (Solo: PT. TigaSerangkai Pustaka
Mandiri, 2004), h. 23.
7 Yusuf Al-Hajj Ahmad, Mukjizat Al-Qur’an yang Tak Terbantahkan (Solo: Aqwam, 2016), h.
39.
8 Ibn Manzur, Lisan al-Arab Jilid II, (Beirut: Dar Sodir, t.t.), h. 369.
9 Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 4 (Jakarta: PT. Bachtiar Baru Van Houve,
1997), h. 1223.
10 Ibnu Ahmad ‘Alimi, Menyingkap Rahasia Mukjizat Al-Qur’an, (Surabaya: Mashur, 2004) ,
h. 3.
11 Said Agil Husain Al-Munawwar, I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir (Semarang: Dimas,
1994), h. 1.
12 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan
Qur’an, Studi Al-Qur’an Komprehensif Jilid 2 (Solo: Indiva Media Kreasi, 2009), h. 662.
2. Mukjizat Al-Qur’an
Mukjizat Al-Qur’an dapat dijangkau oleh setiap orang yang
menggunakan akalnyadi mana dan kapanpun.14 Bentuk lain dari i’jaz yang
banyak dibicarakan, bahkan menjadi diskursus pada saat ini adalah mukjizat
ilmiah dalam Al-Qur’an. Seseorang yang mempelajari secara khusus ilmu-ilmu
Al-Qur’an tidak akan ragu untuk menyatakan bahwa di dalam Al-Qur’an
terkandung isyarat-isyarat ilmiah, bahkan fakta-fakta ilmiah yang bersifat i’jaz.
Karena, hal itu melampaui batas-batas masa, umat, bahkan Nabi Muhammad
sendiri sebagai penerima Al-Qur’an.15
Para ulama sepakat bahwasanya Al-Quran tidaklah melemahkan
manusia untuk mendatangkan sepadan Al-Qur’an hanya karena satu aspek saja,
akan tetapi karena beberapa aspek, baik aspek lafzhiyah (morfologis), ma’nawiyah
(semantik) dan ruhiyah (psikologis). Semuanya bersandarkan dan bersatu,
sehingga melemahkan manusia untuk melawannya.16
Walaupun telah disepakati sebagai mukjizat (bahkan mukjizat terbesar),
tetapi para ulama berbeda pandangan dalam menentukan letak nilai
kemukjizatan Al-Qur’an. Unsur apa yang menjadikan Al-Qur’an sebagai
mukjizat masih menjadi perbincangan hingga saat ini, dan belum juga
terselesaikan. Menurut Aisyah Abdurrahman (lebih dikenal sebagai Bintu Syati),
seorang cendekiawan Mesir yang mendalami kajian kemukjizatan Al-Qur’an,
setiap ulama yang membahas tentang kemukjizatan Al-Qur’an selalu merasa
pendapatnya sebagai pendapat akhir yang paling sahih. Akan tetapi, seiring
bejalannya waktu akan terbukti bahwa ulama tersebut masih meninggalkan
celah kosong yang mendorong ulama setelahnya untuk mengisi kekosongan
tersebut.17
Namun demikian mereka berbeda pendapat dalam meninjau segi
kemukjizatan Al-Qur’an. Perbedaan itu adalah sebagai berikut:
a. Sebagian ulama berpendapat bahwa segi kemukjizatan Al-Qur’an adalah
sesuatu yang terkandung dalam Al-Qur’an itu sendiri, yaitu susunan
yang tersendiri dan berbeda dengan bentuk puisi orang Arab maupun
bentuk prosanya, baik dalam permulaannya, maupun suku kalimatnya.
b. Sebagian yang lain berpendapat bahwa segi kemukjizatan Al-Qur’an itu
terkandung dalam lafal-lafalnya yang jelas, redaksinya yang bernilai
sastra dan susunannya yang indah, karena nilai sastra yang terkandung
dalam Al-Qur’an itu sangat tinggi dan tidak ada bandingannya.
c. Ulama lain berpendapat bahwa kemukjizatan itu karena Al-Qur’an
terhindar dari adanya pertentangan, dan mengandung arti yang lembut
14 Ibid, h. 36.
15 Yusuf Qardhawi, Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Gema
Insani Press, 1998), h. 319.
16 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, cet. 8, terj. Noer Iskandar al-Barsany dan Moh.
18 Muhammad Ali al-Shabuniy, Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka
tidak berdasarkan urutan ayat atau surah yang terlihat dalam mushaf baku.
Bahkan ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan secara spontan untuk menjawab
persoalan-persoalan pelik yang dihadapi Nabi.
Para peneliti menemukan keajaiban yang luar biasa yang dimiliki Al-
Qur’an, yang mustahil manusia mampu menandinginya. Abdul Razak Naufal
ketika meneliti Al-Qur’an menemukan keseimbangan-keseimbangan dalam
bilangan kata yang dipergunakan Al-Qur’an. Sementara Rasyad Khalifah
menemukan konsistensi pemakaian jumlah huruf pembuka surah dalam surah
yang bersangkutan. Sedang al-Rumani, al-Baqilani, dan Rasyid Ridha melihat
sudut keindahan bahasa Al-Qur’an yang jauh melebihi keindahan sastra Arab.22
Setiap nabi yang diutus, senantiasa disesuaikan dengan keahlian
masyarakatnya. Menurut Shihab, hal ini karena suatu keistimewaan baru dapat
menjadi bukti bila aspek yang dikemukakan dapat dimengerti oleh mereka yang
ditantang; dan bahwa bukti tersebut, akan semakin membungkamkan bila aspek
tantangan dimaksud menyangkut sesuatu yang dinilai sebagai keunggulan yang
ditantang. Sangat populer kita ketahui bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam
bahasa Arab karena masyarakat yang kepadanya pertama kali Al-Qur’an
menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi. Walaupun demikian, Al-
Qur’an secara tegas menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan semata-mata untuk
orang-orang Arab, melainkan untuk seluruh alam.
Al-Qur’an pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Arab pada masa
Nabi Muhammad. Keahlian mereka adalah bahasa Arab dan sastra Arab. Di
mana-mana terjadi musabakah (perlombaan) dalam menyusun syair atau
khutbah, petuah, dan nasihat. Syair-syair yang dinilai indah, digantung di
ka’bah, sebagai penghormatan kepada penggubahnya sekaligus untuk dinikmati
oleh yang melihat atau membacanya. Penyair mendapat kedudukan yang
istimewa dalam masyarakat Arab. Mereka dinilai sebagai pembela kaumnya.
Dengan syair dan gubahan mereka reputasi suatu kaum atau seseorang dan
juga—sebaliknya—dapat menjatuhkannya.
Karena alasan inilah, Al-Qur’an memiliki gaya bahasa yang khas yang
tidak dapat ditiru oleh para sastrawan Arab, karena susunannya yang indah
yang berlainan dengan setiap susunan dalam bahasa Arab. Mereka menyaksikan
Al-Qur’an memakai bahasa dan lafal mereka, tetapi Al-Qur’an bukan puisi,
prosa atau syair dan mereka tidak mempu membuat yang seperti itu (meniru Al-
Qur’an).
Susunan gaya bahasa dalam Al-Qur’an tidak bisa disamakan oleh
apapun, karena Al-Qur’an bukan susunan syair dan bukan pula susunan prosa,
namun ketika Al-Qur’an dibaca maka ketika itu terasa dan terdengar
mempunyai keunikan dalam irama dan ritmenya. Cendikiawaan Inggris,
Marmaduke Pickthall dalam The Meaning of Glorious Quran, menulis: “Al-Qur’an
22 M. Quraish Shihab, et. all., Sejarah dan Ulum Al-Qur‟an, (Jakarta: Pusataka Firdaus,
2008), h. 114.
mempunyai simfoni yang tidak ada taranya dimana setiap nada-nadanya bisa
menggerakkan manusia untuk menangis dan bersuka-cita”.23
Kajian mengenai Style Al-Qur`an, Shihabuddin menjelaskan dalam
bukunya Stilistika Al-Qur`an, bahwa pemilihan huruf dalam Al-Qur`an dan
penggabungannya antara konsonan dan vocal sangat serasi sehingga
memudahkan dalam pengucapannya. Lebih lanjut–dengan mengutip Az-
Zarqoni-keserasian tersebut adalah tata bunyi harakah, sukun,mad dan ghunnah
(nasal). Dari paduan ini bacaan Al-Qur`an akan menyerupai suatu alunan musik
atau irama lagu yang mengagumkan. Perpindahan dari satu nada ke nada yang
lain sangat bervariasi sehingga warna musik yang ditimbulkanpun beragam.
Keserasian akhir ayat melebihi keindahan puisi, hal ini dikarenakan Al-
Qur`an mempunyai purwakanti beragam sehingga tidak menjemukan. Misalnya
dalam surat Al-Kahfi(18: 9-16) yang diakhiri vocal “a” dan diiringi konsonan
yang berfariasi, sehingga tak aneh kalau mereka (masyarakat Arab) terenyuh dan
mengira Muhammad berpuisi. Namun Walid Al-mughiroh membantah karena
berbeda dengan kaidah-kaidah puisi yang ada, lalu ia mengira ucapan
Muhammad adalah sihir karena mirip dengan keindahan bunyi sihir (mantra)
yang prosais dan puitis. Sebagaimana pula dilontarkan oleh Montgomery Watt
dalam bukunya “bell’s Introduction to the Qoran” bahwa style Quran adalah
Soothsayer Utterance (mantera tukang tenung), karena gaya itu sangat tipis
dengan ganyanya tukang tenung, penyair dan orang gila.24
Kalimat-kalimat dalam Al-Qur`an mampu mengeluarkan sesuatu yang
abstrak kepada fenomena yang konkrit sehingga dapat dirasakan ruh
dinamikanya, termasuk menundukkan seluruh kata dalam suatu bahasa untuk
setiap makna dan imajinasi yang digambarkannya. Kehalusan bahasa dan uslub
Al-Qur`an yang menakjubkan terlihat dari balaghoh25 dan fasohah26nya, baik yang
konkrit maupun abstrak dalam mengekspresikan dan mengeksplorasi makna
yang dituju sehingga dapat komunikatif antara Autor (Allah) dan penikmat
(umat).27
Penulis ketika memperhatikan dengan seksama, bahwa dalam Al-Qur’an
Allah hanya menuliskan satu profesi yang kemudian dijakikan judul surat, yakni
Q.S. Asy-Syua’ara (26) yang berarti para penyair. Hal ini menunjukkan bahwa
Al-Qur’an sendiri boleh jadi adalah kitab sastra. Ini juga menegaskan kepada kita
bahwa Al-Qur'an yang merupakan karya sastra terbesar sepanjang zaman bisa
23 M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an, Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan
Balaghah adalah menyampaikan suatu gagasan melalui ungkapan yang benar, fasih, dan
menyentuh jiwa serta sesuai denga tuntutan keadaan (kontekstual).
26 Menurut etimologi fashāhah berarti jelas, terang dan gamblang. Secara terminologi
fashāhah berarti lafaz yang jelas, terang maknanya, mudah dipahami dan sering dipergunakan
para penyair dan penulis. Ia bernilai indah dan bagus ketika dibaca dan didengar.
27 Said Agil Hussein al-Munawwar. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Cet. ke-
َس إمانُ َِّز إ َِّللإ ْي ِّه ْم إولإعإلَّه ُْميإتإفإ َّك ُرو إن ِّ الزبُ ِّرَ إۗوأ إ ْن إز ْلنإاإِّلإ ْيك
ِّ إالذك إْر ِّلتُبإيِّنإلِّلنَّا بِّا ْلبإيِّنإات إ
ُّ َِّو
28 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur'an Kitab Sastra Terbesar (Sleman: Elsaq Press, 2007), h.
379.
29 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Tehazed,
2010), h. 370.
30 Zainal Arifin Zakaria, Tafsir Inspirasi (Medan: Duta Azhar, 2015), h. 333
31 Wahbah Az-Zuhaili, Ensiklopedi Akhlak Muslim (Jakarta: Noura Books, 2014), h. 164
32 Muhammad Ali al-Shabuniy, Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin, (Bandung: Pustaka
Al-Qashash (kisah-kisah) meskipun jika ditelaah tak hanya pada surah ini Allah
mengabarkan kisah masa lalu, melainkan ada pada hampir setiap surah.
Diantara hal yang menarik dari Al-Qur`an adalah bahwa Al-Qur`an
memuat beberapa cerita kaum-kaum terdahulu, hingga jauh ke hulu sejarah
peradaban umat manusia yang tak mungkin buku sejarah manapun mampu
mengcover secara akurat. Memang Al-Qur`an tidak memaparkan secara
kronologis-histories, karena memang Al-Qur`an bukanlah buku sejarah. Al-
Qur`an menggunakan sejarah purba tersebut hanya sebagai icon terhadap
sebuah fenomena tertentu dengan maksud dan tujuan tertentu. Sehingga starting
pointnya dalam memahami kisah-kisah yang terdapat dalam Al-Qur`an bukan
dari dimensi histories, melainkan dari dimensi agama kisah merupaka metode
Tuhan dalam rangka menyampaikan ajaran yang terkandung di dalamnya.
Rangkaian kisah-kisah dalam Al-Qur’an diungkapkan untuk
menguraikan ajaran-ajaran keagamaan, serta menggambarkan akibat-akibat bagi
yang menentangnya .Ini merupakan salah satu keistimewaan dan kekuatan Al-
Qur’an. Kisah-kisah tersebut bukanlah sesuatu yang fiktif, tetapi dapat diyakini
sebagai sesuatu yang pernah terjadi di muka bumi. 33
2) Pemberitaan Peristiwa Yang Akan Datang
Di samping mengangkat peristiwa-peristiwa silam lewatrangkaian kisah-
kisah, Al-Qur’an juga mengungkapkan perstiwa-peristiwa yang akan terjadi,
baik di dunia maupun di akhirat nanti.Peristiwa-peristiwa yang digambarkan
Al-Qur’anakan terjadi, danbeberapa telah terbukti dalam sejarah.
Adanya kisah-kisah misterius dalam Al-Qur`an, menempatkannya
sebagai ajaran kehidupan yang mencakup total tata nilai mulai hulu peradaban
umat manusia hingga hilirnya. Bahwa peristiwa-peristiwa tersebut sengaja
dihadirkan oleh Tuhan agar manusia mampu menjadikannya sebagai ‘ibrah
(pelajaran) kehidupan. Ia merupakan sebuah metode yang dipilih Tuhan untuk
menuangkan nilai yang terkandung didalamnya.
Allah swt. berfirman pada Q.S. An-Nisa ayat 82 untuk memberitahu
bahwa Al-Qur’an memanglah diturunkan oleh Allah swt. sebagai berikut :
33 Subhi As-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h. 448
34 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Tehazed,
2010), h. 118.
35 Muhammad Ismail Ibrahim, Al-Qur’an wa I’jazuhu al-‘Ilmi, (Kairo: Dar al-Fikr, t.t.),
h. 17.
36 Zaghlul An-Najjar, Min Ayat Al-I'jaz Al-Ilmi, (Kairo: Maktabah Asy-Syuruq Ad-
C. Simpulan
Jurnal ini menyimpulkan bahwa kemukjizatan Al-Qur’an tidak
mungkin bisa tertandingi. Hal ini terwujud dalam aspek keindahan bahasa, kisah
yang terkandung di dalamnya, selain tauhid, aturan syariat, dan sebagainya,
serta informasi ilmiah yang luar biasa lengkapnya jika ditelaah secara mendalam.
Untuk mengapresiasi kemukjizatan Al-Qur’an ini, hendaknya setiap umat Islam
memenuhi hak Al-Qur’an yaitu dengan membaca, menghafal, menganalisa serta
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai petunjuk bagi orang yang
bertakwa. Al-qur’an juga mendorong manusia untuk melakukan aktivitas
intelektual agar memikirkan makhluk-makhluk Allah yang ada di langit dan di
40 Manna Khalil al-Qaththan, Studi Ilmu-ilmu al-Alquran, (Bogor: Pustaka Litera Antar
bumi. Alquran juga membangkitkan pada diri setiap Muslim kesadaran ilmiah
untuk memahami dan melakukan perbandingan serta melakukan pemharuan.
Referensi
Abdurrahman, Aisyah, Al-I’jaz Al-Bayani lil Quran. Kairo: Darul Maarif, t.th.
Ahmad, Yusuf Al-Hajj. Mukjizat Al-Qur’an yang Tak Terbantahkan. Solo: Aqwam,
2016.
Ahmad Fuad Pasya, Dimensi Sains AI-Qur'an, cet.I, Solo: PT.TigaSerangkai
Pustaka Mandiri, 2004.
Alimi, Ibnu Ahmad. Menyingkap Rahasia Mukjizat Al-Qur’an. Surabaya: Mashur,
2004.
Al-Munawwar, Said Agil Husain. I’jaz Al-Qur’an dan Metodologi Tafsir.
Semarang: Dimas, 1994.
------- Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Cet. ke-2. Jakarta: Ciputat
Pres, 2002.
al-Zindani, Abdul Majid. Mukjizat Al-Qur’an dan As-Sunnah Mengenai IPTEK.
Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
Anwar, Rosihon. Ilmu Tafsir. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004.
An-Najjar, Zaghlul. Min Ayat Al-I'jaz Al-Ilmi. Kairo: Maktabah Asy-Syuruq Ad-
Dauliyah, 2008.
As-Shabuniy, Muhammad Ali. Studi Ilmu al-Quran, terj. Aminuddin. Bandung:
Pustaka Setia, 1999.
As-Shalih, Subhi. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
As-Shiddiqiey, T.M. Hasbi. Mu’djizat al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Az-Zarkani, Muhammad Abdul ‘Azim Manahilul Irfan fi Ulum al-Quran, Juz II.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1988.
Az-Zarqani, Muhammad, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Alquran, Jilid. 1,tahqiq:
Fawwaz Ahmad Zamarli, Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi, 1415 H/1995 M.
Shihab, M. Quraish. et. all., Sejarah dan Ulum Al-Qur‟an. Jakarta: Pusataka
Firdaus, 2008.
------- Mukjizat Al-Qur’an, Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan
Pemberitaan Ghaib. Bandung: Mizan, 2004.
------- Wawasan AL-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996.
Syahin, Abdul Shabur. Saat Al-Qur’an Butuh Pembelaan. Jakarta: Erlangga, 2014.
Tim Penyusun, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 4. Jakarta: PT. Bachtiar Baru Van
Houve, 1997.
Qardhawi, Yusuf. Al-Qur’an Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan. Jakarta:
Gema Insani Press, 1998.
Qulyubi, Shihabuddin. Stilistika Al-Quran. Yogyakarta: Titan Ilahi Pers, 1997.
Zakaria, Zainal Arifin. Tafsir Inspirasi. Medan: Duta Azhar, 2015.
S. Manaf
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro
Email: s.manaf@gmail.com
Abstrack
The role of the Librarian, has progressed over time. Now librarians are not only serving
the circulation of books, but are required to be able to provide information quickly,
precisely, accurately, and efficiently in terms of time and cost. Librarians are required to
develop competence in themselves in order to support the implementation of tertiary
education programs. Competency and librarians play an important role in supporting the
achievement of the vision of higher education. In this paper, it is explained and explained
matters relating to the competence and role of librarians in supporting the establishment
of international universities. Also explained the problems faced by librarians, problem
analysis, solutions, and efforts that must be made to achieve goals in support of
international universities.
Keywords: Librarian, University
Abstrak
Peran Pustakawan, semakin berkembang dari waktu ke waktu. Kini pustakawan tidak
hannya melayani sirkulasi buku, tetapi dituntut untuk dapat memberikan informasi
secara cepat, tepat, akurat, dan efisen dari segi waktu dan biaya. Pustakawan di tuntut
untuk mengembangkan kompetensi yang ada dalam dirinya guna mendukung
pelaksanaan program tridarma perguruan tinggi. Kompetensi dan pranpustakawan
sangat berperan dalam mendukung tercapainya visi perguruan tinggi. Dalam tulisan ini
dipaparkan dan di jelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kompetensi dan peran
pustakawan dalam mendukung terwujudnya perguruan tinggi bertaraf internasional. Di
jelaskan pula permasalahan yang di hadapi pustakawan, analisis masalah, solusi, serta
upaya yang harus dilakukan guna meraih tujuan dalam mendukung perguruan tinggi
bertaraf internasional.
Kata Kunci: Pustakawan, Perguruan Tinggi
A. Pendahuluan
Pada era global ini, pendidikan merupakan sesuatu yang penting. Karena
pendidikan merupakan akar dari peradaban sebuah bangsa. Pendidikan telah
menjadi kebutuhan dasar yang setiap orang harus memiliki untuk memenuhi
tantangan kehidupan.Untuk pendidikan, banyak cara yang dapat kita capai.
Termasuk di perpustakaan. Karena di perpustakaan berbagai sumber informasi
bisa kita dapatkan, di samping banyak manfaat lain yang bisa diperoleh melalui
perpustakaan. Ketika kita mendengar kata perpustakaan, pikiran kita langsung
terbayang deretan buku tersusun rapi di rak-rak sebuah ruangan. Pandangan ini
tampaknya benar, tetapi jika kita memperhatikan lebih, itu selesai. Karena
setumpuk buku yang diatur di rak-rak perpustakaan tidak bisa disebut sebagai
perpustakaan.
S. Manaf Peran Pustakawan Dalam...
B. Pembahasan
1. Pengertian Pustakawan
Pustakawan adalah seseorang yang bekerja di perpustakaan dan bantuan
orang menemukan buku, majalah dan informasi lainnya. Di tahun 2000-an,
pustakawan mulai membantu orang menemukan informasi menggunakan
komputer, database elektronik dan perangkat pencarian Internet. Ada berbagai
jenis pustakawan, antara anak-anak lainnya, remaja, dewasa, sejarah, hukum, dll
Wanita Pustakawan bernama pustakawan.
Menjadi seorang pustakawan, seseorang perlu dididik tentang tingkat
perpustakaan S2 dan D2. Kebanyakan pustakawan yang bekerja di perpustakaan
di perguruan tinggi, universitas, atau tingkat kota, provinsi dan negara.
Beberapa pustakawan bekerja untuk perusahaan swasta untuk membantu
mereka mengelola dokumen dan laporan.
a. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia pustakawan adalah orang yang
bergerak di bidang perpustakaan atau ahli perpustakaan.
b. Kemudian menurut kode etik Ikatan Pustakawan Indonesia dikatakan
bahwa yang disebut pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan
2. Kompetensi Pustakawan
Kompetensi didefinisikan sebagai pengetahuan, keterampilan dan nilai-
nilai inti tercermin dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Arti lain dari
yurisdiksi adalah spesifikasi dari pengetahuan, keterampilan dan sikap
seseorang dan penerapannya dalam pekerjaan, sesuai dengan standar kinerja
yang dibutuhkan oleh pengadilan.
3. Peran Pustakawan
Peran Pustakawan membantu pengguna untuk mendapatkan informasi
dari cara diarahkan sebagai pencarian informasi bisa efektif, efisien, efektif dan
tepat waktu. Dengan perkembangan informasi, peran pustakawan tegnologi
lebih diperkuat sehingga dapat bekerja sebagai mitra bagi para pencari
informasi. Sebagai fungsi tradisionalnya, pustakawan dapat pecari langsung
untuk Sohih informasi dan informasi bertanggung jawab.
Pustakawan juga dapat memberikan informasi yang dapat berguna,
tetapi kehadirannya sering tersembunyi, sebagai sastra abu-abu (grey literature).
Bahkan pustakawan dapat berfungsi sebagai mitra penelitian dalam penelitian.
Mengacu pada di atas, jelas bahwa hubungan erat antara pustakawan sebagai
C. Simpulan
Pustakawan sangat berharap standar mereka dan memegang sertifikat
kompetensi pustakawan.Dengan keselarasan dari semua elemen
(profesionalisme sumber daya manusia, infrastruktur dan fasilitas modern, serta
sarana subsistensi dan pendanaan yang memadai cukup memadai) mungkin
percaya, visi perguruan tinggi mencapai tingkat internasional akan tercapai.
keterampilan pustakawan jika dibangun dan mapan, itu akan dapat membantu
mencapai perguruan tinggi internasional. Sulit untuk masuk, tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Semuanya harus dicari dan diperjuangkan,
dibutuhkan waktu dan sedikit pengorbanan untuk mencapai visi perguruan
tinggi dengan kompetensi dan peran pustakawan.
Referensi
Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Kamus besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai pustaka. 1989
Etienne Wenger, (et.al.). Cultivating communities of practice: a guide to managing
knowledge. Boston: Harvard Business School Press. 2002.
Hartono. Menggali Potensi Pustakawan Menuju Manajemen Perpustakaan Profesional.
Buletin, 2015.
Hendro Wicaksono, Kompetensi Perpustakaan Dan Pustakawan dalam Implementasi
Teknologi Informasi di Perpustakaan. Perpustakaan Nasional : Majalah Visi
Pustaka Edisi : Vol. 6 No. 2 - Desember 2004.
http://www.growthcopusoft.com/librarian/management Diakses 22
Indonesia.Perpustakaan Nasional.http://www.pnri.go.id/.Diakses tanggal 23
Maret 2006.
Lien, Diao Ali. Peranan Perpustakaan dalam meningkatkan Daya saing Perguruan
Tinggi. Maret.2006
Marshall, Joane; Linda Moulton; Roberta Piccoli. Kompetensi Pustakawan Khusus di
Abad Ke-21.BACA.Jurnal Dokumentasi vol.27(2),2003.
Nurwadjah Ahmad EQ
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung
Email: nurwadjah.ahmad@gmail.com
Andewi Suhartini
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung
Email: andewi.suhartini@gmail.com
J. Sutarjo
Insitut Agama Islam Neberi (IAIN) Metro
Email: j.sutarjo@metrouniv.ac.id
Abstract
Global economic challenges especially in Asia it’s enough to invite response some actors
especially in Islamic education field at Islamic boarding school. Entrepreneurship
education into something that is urgent in addition to knowledge of Islam itself. The
students are prepared not only to be a scientist of Islam but also being an entrepreneur
who is able to survive in the global competition in the economic field. The boarding school
is able to supplement the curriculum with a variety of entrepreneurial activities such as
trading, farming, herding fish, herding cow, herding goat, and home industry. This is an
educational system that is not unusual during the time in the education boarding school
in Indonesia.
Keywords: Santri, Entrepreneurship
Abstrak
Tantangan ekonomi global terutama di Asia sudah cukup mengundang respons beberapa
pelaku terutama di bidang pendidikan Islam di pondok pesantren. Pendidikan
kewirausahaan menjadi sesuatu yang mendesak di samping pengetahuan Islam itu
sendiri. Para siswa dipersiapkan tidak hanya untuk menjadi ilmuwan Islam tetapi juga
menjadi wirausaha yang mampu bertahan dalam persaingan global di bidang ekonomi.
Pesantren ini dapat melengkapi kurikulum dengan berbagai kegiatan wirausaha seperti
perdagangan, bertani, menggiring ikan, menggembala sapi, menggembala kambing, dan
industri rumahan. Ini adalah sistem pendidikan yang tidak biasa selama ini di sekolah
berasrama pendidikan di Indonesia.
Kata Kunci: Santri, Kewirausahaan
A. Pendahuluan
Dunia pendidikan dewasa ini dihadapkan dengan berbagai persoalan
yang semakin kompleks, salah satu persoalan yang menjadi tantangan yang
sudah di depan mata diantaranya adalah adanya pencanangan MEA
(Masyarakat Ekonomi Asean) pada awal tahun 2016. Pencanangan pasar tunggal
yang lazim disebut dengan MEA ini selanjutnya akan menjadikan negara-negara
di wilayah Asean dapat memasarkan produk dan jasa secara legal ke negara-
Nurwadjah Ahmad EQ dkk Pemberdayaan Santri Melalui...
B. Pembahasan
1. Pengertian Pemberdayaan
Kata pemberdayaan dalam bahasa Inggris “empowerment” yang juga
dapat bermakna “pemberian kekuasaan” karena power bukan hanya sekedar
“daya”, melainkan juga berupa “kekuasaan”, sehingga kata “daya” tidak saja
bermakna “mampu”, tetapi juga “mempunyai kuasa”. Keberdayaan dalam
konteks masyarakat (dalam hal ini masyarakat adalah santri pondok pesantren)
adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan
membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang
mayoritas anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat serta inovatif,
pasti memiliki keberdayaan yang tinggi. Namun, selain kemampuan fisik, ada
pula nilai-nilai intrinsik dalam masyarakat yang juga menjadi sumber
keberdayaan seperti kekeluargaan, kegotongroyongan, kejuangan, dan yang
khas pada masyarakat Indonesia, yaitu kebhinekaan. Seperti halnya pada
masyarakat, begitu banyak yang memiliki kearifan lokal sehingga dapat menjadi
modal dasar dalam kegiatan pemberdayaan masyarakatnya.1
Memberdayakan masyarakat adalah suatu upaya untuk meningkatkan
harkat dan martabat bangsa Indonesia umumnya dan masyarakat khususnya
yang dalam kondisi sekarang belum mampu melepaskan diri dari kemiskinan
dan ketertinggalan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah upaya
memampukan dan memandirikan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa
pemberdayaan merupakan sebuah “proses menjadi” bukan sebuah “proses
instan”. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu,
penyadaran, pengkapasitasan dan pendayaan.
Pemberdayaan dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada tahap pertama
adalah upaya penyadaran. Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan
melaui pemebrian “pencerahan” dalam bentuk penyadaran bahwa mereka
mempunyai hak untuk memiliki “sesuatu”. Seperti, targetnya adalah kelompok
masyarakat miskin. Kepada mereka diberikan pemahaman bahwa mereka dapat
menjadi orang-orang berada, dan itu dapat dilakukan jika mereka mempunyai
kapasitas untuk keluar dari kemiskinan. Kegiatan yang dapat dilakukan pada
tahap ini misalnya dalam bentuj pemberikan pengetahuan yang bersifat kognisi
(wawasan/pengetahuan), belief (rasa percaya diri), dan healing (solusi). Prinsip
dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu membangun
“demand” (permintaan) untuk diberdayakan dan proses pemberdayaan itu
dimulai dari dalam diri mereka sendiri bukan dari orang lain.
1 Wrihatnolo, Randi & Dwitjoto, Rian Nugroho, Manajemen pemberdayaan sebuah pengantar
2. Pengertian Santri
Istilah santri di Indonesia yang sudah sangat popular khususnya di
kalangan umat Islam. Hal ini tentu dikarenakan oleh eksistensi pondok
pesantren yang sudah ratusan tahun dan sudah melahirkan banyak tokoh
bangsa sekaligus membentuk karakter bangsa Indonesia. Kata “Pesantren”, yang
menurut para ahli adalah sebuah tempat perkumpulan para santri, atau secara
segi bahasa pesantren sendiri merupakan kata serapan dari santri itu sendiri
dengan menambahkan tambahan pe- di awalnya dan –an diakhirnya, yang bisa
disimpulkan asal katanya ialah pesantrian, sehingga bertransformatif menjadi
pesantren.3
Kata santri sendiri didefinisan dalam Wikipedia sebagai sebutan bagi
seseorang yang mengikuti pendidikan Ilmu Agama Islam di suatu tempat yang
dinamakan Pesantren, biasanya menetap di tempat tersebut hingga
pendidikannya selesai.4 Definisi ini tentu sangat diterima kendatipun di
lapangan santri sendiri terbagi menjadi dua; ada santri yang menetap di pondok
pesantren dan ada santri yang ke pesantren hanya ketika mengikuti kegiatan di
pesantren sementara tempat tinggal tetap dengan keluarga karena lokasi
berdekatan dengan pesantren dan lazin disebut sebagai “santri kalong
(kelelawar)”.
3. Pendidikan Entrepreneurship
a. Pengertian Pendidikan
Kata pendidikan berasal dari kata didik, lalu kata ini mendapat awalan
kata “me” sehingga menjadi mendidik artinya memelihara dan memberi latihan.
Dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan
pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Kata pendidikan yang
digunakan sekarang, dalam bahasa Arabnya adalah tarbiyah, dengan kata kerja
rabba. Kata pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah ta’lim dengan kata kerjanya
’allama. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arab adalah tarbiyah wa ta’lim.
Sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya adalah Tabiyah Islamiyah.5
Dalam Undang-Undang Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
dinyatakan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negera.6
Adapun pengertian pendidikan dari segi istilah, dapat merujuk kepada
berbagai sumber yang diberikan para ahli yaitu bahwa pendidikan adalah
memberi pertolongan secara sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang
belum dewasa) dalam pertumbuhannya menuju ke arah kedewasaan, dalam arti
dapat berdiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakan-tindakannya
menurut pilihannya sendiri.
b. Pengertian Entrepreneurship
Pada umumnya pengertian-pengertian yang ada dari berbagai para ahli
menyatakan bahwa, wirausaha adalah seorang yang memilki potensi dalam
melihat peluang mencari dana, dan sumber dana lain yang diperlukan untuk
meraih peluang tersebut dan berani mengambil resikonya dengan tujuan
tercapainya kesejahteraan individu dan nilai tambah bagi masyarakat. Menurut
Dun Steinhoff dan John F. Burgess wirausaha merupakan orang yang
mengorganisasikan, mengelola, dan berani menanggung resiko untuk
menciptakan usaha baru dan peluang berusaha.7 Sedangkan dalam konteks
manajemen pengertian entrepreneur adalah seorang yang memiliki kemampuan
dalam mengunakan sumber daya seperti financial (money) ,bahan mentah
(matrials),dan tenaga kerja (labors), untuk menghasilkan produk baru,bisnis
baru,proses produksi atau pengembangan organisasi usaha8
Makna kewirausahaan sendiri selanjutnya berkembang seiring dengan
evolusi pemikiran para pakar ekonomi di dunia Barat, kemudian menyebar ke
negara-negara lain, termasuk ke Indonesia. Di Indonesia, konsep entrepreneurship
tersebut diterjemahkan sebagai kewiraswastaan dan kewirausahaan, sementara
entrepreneur sebagai pelakunya yaitu wirausaha. Menurut Kemendiknas,
kewirausahaan adalah suatu sikap jiwa dan kemampuan untuk menciptakan
sesuatu yang baru, yang sangat bernilai dan berguna, baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain.
Sifat wirausaha adalah orang yang mendobrak system ekonomi yang ada
dengan memperkenalkan barang dan jasa yang baru, dengan menciptakan
bentuk organisasi baru atau mengolah bahan baku baru. Dengan demikian orang
tersebut melakukan kegiatannya melalui organisasi bisnis yang baru ataupun
bisa pula dilakukan dalam organisasi bisnis yang sudah ada. Dalam definisi ini
ditekankan bahwa seorang wirausaha adalah orang yang mengetahui peluang
kemudian menciptakan sebuah organisasi untukmemanfaatkan peluang
tersebut. Pengertian wirausaha di sinimenekankan pada setiap orang yang
memulai sesuatu bisnis yang baru. Sedangkan proses kewirausahaan meliputi
semua kegiatan fungsi dan tindakan untuk mengejar dan memanfaatkan peluang
dengan menciptakan suatu organisasi.9
Menjadi seorang entrepreneur berarti memadukan perwatakan pribadi,
keuangan dan sumber-sumber daya di dalam lingkungan. Menjadi entrepreneur
berarti memiliki kemampuan menemukan dan mengevaluasi peluang-peluang,
mengumpulkan sumber-sumber daya yang diperlukan dan bertindak untuk
memperoleh keuntungan dari peluangpeluang itu. Para entrepreneur merupakan
pemimpin dan mereka menunjukkan sifat kepemimpinan dalam pelaksanaan
sebagian besar kegiatan-kegiatan mereka. Mereka mengambil risiko yang telah
diperhitungkan dan menyukai tantangan dengan risiko moderat. Para
entrepreneur percaya teguh pada dirinya dan kemampuannya dalam mengambil
keputusan yang tepat. Kemampuan mengambil keputusan inilah yang
merupakan ciri khas para entrepreneur.10 Disamping itu semua yang tidak kalah
pentingnya dari kemampuan seorang entrepreneur yaitu kemampuan dalam
memanajemen dan menggunakan waktu secara efektif.
Jadi pengertian entrepreneur menurut penulis adalah individu-individu
yang berorientasi pada tindakan dan bermotivasi tinggi untuk mandiri dengan
berani mengambil risiko dalam mengejar tujuannya. Sifat kemandirian yang
dimilikinya akan sangat berguna dalam menjalankan kepemimpinannya
terutama dalam mengambil suatu keputusan dan kemauan bertanggungjawab
atas tindakannya.
1) Mempuyai mimpi mimpi yang realistis dan tinggi yang mampu diubah
menjadi cita cita yang harus ia capai. Hidup ingin berubah karena
d. Karakteristik Kewirausahaan
David Mc Clelland menyatakan ada 9 karakteristik utama yang terdapat
dalam diri seorang wirausaha sebagai berikut:12
1) Dorongan berprestasi: semua wirausahawan yang berhasil memiliki
keinginan besar untuk mencapai suatu prestasi.
2) Bekerja keras; sebagian besar wirausahawan mabuk kerja demi mencapai
sasaran yang ingin dicita citakan.
3) Memperhatikan kualitas; wirausahawan menangani dan mengawasi
sendiri bisnisnya sampai mandiri sebelum dia memulai dengan usaha
baru lagi.
4) Sangat bertanggung jawab; wirausahawan sangat bertanggung jawab atas
usaha mereka, baik secara moral, legal, maupun mental.
5) Berorientasi pada imbalan; wirausahawan mau berprestasi ,kerja keras
dan bertanggung jawab, dan mereka menerapkan imbalan yang sepadan
dan berorientasi pada imbalan; wirausahawan mau berprestasi ,kerja
keras dan bertanggung jawab, dan mereka menerapkan imbalan yang
sepadan dengan usaha. Imbalan itu tidak hanya berupa uang tetapi juga
pengakuan dan penghormatan.
6) Optimis; Wirausahawan hidup dengan doktrin semua waktu baik untuk
bisnis, dan segala sesuatu mungkin.
7) Berorientasi pada hasil karya yang baik.
8) Mampu mengorganisasikan.
Berorientasi pada uang. Uang yang dikejar oleh para wirausahawan tidak
semata mata hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi dan pengembangan
usaha saja, tetapi juga dilihat sebagai ukuran prestasi kerja dan keberhasilan.
13http://ditpdpontren.kemenag.go.id/direktur-menyapa/direktur-pd-pontren-
a. Perdagangan.
Perdagangan yang ada disini adalah berupa pemasaran produk-produk
yang dihasilkan para santri. Produk-produk tersebut meliputi usaha pengolahan
kedelai menjadi beberapa olahan, kemudian dari kedelai tersebut dibuat susu
kedelai yang biasa orang menyebut sule. Bila seseorang tidak boleh atau tidak
dapat makan daging atau sumber protein hewani lainnya, kebutuhan protein
sebesar 55 gram per hari dapat dipenuhi dengan makanan atau minuman yang
berasal dari 157,14 gram kedelai.14 ada pula olahan kedelai tersebut menjadi
nugget. Nugget adalah suatu bentuk produk olahan daging yang terbuat dari
daging giling yang dicetak dalam bentuk potongan empat persegi dan dilapisi
dengan tepung berbumbu.
Memang pada umumnya nuggets kebanyakan berbahan dasar daging,
baik ayam ataupun ikan.alternatif terbaru nugget nabati berbahan dasar kedelai
ini memiliki protein tinggi. Biasanya, ampas tahu hanya dijual oleh pemilik
pabrik tahu dan digunakan untuk campuran makanan ternak, utamanya sapi.
Namun, siapa sangka limbah tahu dapat dijadikan makanan berupa nugget yang
memiliki nilai gizi tinggi dan aman dikonsumsi anak-anak. Pasalnya, meski
limbah ternyata pada ampas tahu masih mengandung protein dan karbohidrat.15
14 http://bisnisukm.com/peluang-usaha-berbagai-macam-olahan-kedelai.html, diakses
Pekalongan Lampung Timur, yang memanfaatkan limbah tahu untuk dijadikan nugget, hal ini
dilakukan supaya tidak ada yg mubadzir dari sisa pengolahan tersebut. Semua produk yang
dihasilkan tersebut dipasarkan oleh para santri pada waktu pagi hari di toko-toko dan perumahan
Dari kegiatan tersebut di atas, ada dua keuntungan dalam bidang kewirausahaan
yang bisa diperoleh para santri, yaitu mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan tentang pembuatan susu kedelai dan nugget, serta mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan tentang bagaimana memasarkan barang kepada
konsumen.
b. Perikanan
Untuk kegiatan budidaya ikandapat dibuat beberapa kolam ikan,
kegiatan perikanan yang dilakukan oleh para santri hanya sebatas pembesaran
tanpa memperbanyak atau pengembangbiakan. Untuk bibit ikan, para santri
dapat membeli dari daerah-daerah yang menyediakan bibit ikan, kemudian
dibesarkan di kolam-kolam. Adapun jenis ikan yang dapat diternak ternak di
antaranya adalah ikan nila. Karena ikan nila pertumbuhannya tidak terlalu lama,
hanya menunggu empat bulan ikan nila siap untuk dipanen. Disamping ikan
nila juga ada ikan lele dan gurame, Setelah dipanen, ikan tersebut dijual kepada
pedagang-pedagang ikan atau konsumen-konsumen yang ada di daerah sekitar
pondok pesantren. Pengetahuan serta keterampilan dalam budidaya ikan sangat
penting, karena dalam memelihara ikan tidaklah mudah, ada hal-hal yang perlu
diketahui agar ikan tidak banyak mati dan cepat besar. Dalam program
budidaya ikan ini, para santri mendapat pengetahuan tentang cara memelihara
ikan dan ilmu tentang cara pemasarannya.
c. Pertanian
Metode pertanian yang dapat digunakan para santri adalah sistem
tumpangsari, yaitu usaha pertanian untuk menanam beberapa jenis tanaman
pada sebidang tanah. Adapun jenis tanaman yang ditanam adalah sayur mayur
dan dan ubi-ubian (Bayam, Kacang panjang, Kangkung, Ubi Jalar, singkong, dll)
dengan lahan tidak terlalu luas kurang lebih setengah hektar mampu digunakan
untuk lahan yang produktif. Dalam program pertanian ini para santri dididik
untuk terampil dalam memanfaatkan lahan yang kosong, sehingga bisa
dimanfaatkan untuk menanam sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan
bahkan bisa menghasilkan pendapatan tambahan.
d. Peternakan
Dalam bidang peternakan, para santri dapat diberi bekal bagaimana
merawat, membesarkan dan sekaligus memasarkan binatang ternak hasil
peliharaannya. Adapun program peternakan yang dapat dikembangkan adalah
peternakan kambing, sapi, kerbau, ayam dan lain-lain. Tujuan dari program
peternakan ini adalah untuk melatih para santri tentang bagaimana beternak
warga yang ada di sekitar pondok pesantren tersebut, sebagian dengan mengendarai motor dan
sebagian lagi dengan berjalan kaki.
yang baik, sehingga menghasilkan hewan ternak yang berkualitas (gemuk dan
sehat) dan bagaimana memasarkan hasil ternaknya kepada pedagang atau
konsumen yang ada.
Semua kegiatan tersebut di atas dilakukan oleh semua santri, adapun
waktu yang dapat mereka manfaatkan untuk melaksanakan kegiatan
enterpreneur ini sangat terbatas karena kegiatan ini hanya sebatas sampingan
untuk memenuhi kebutuhan dan opersional pendidikan mereka. Para santri
hanya dapat memulainya setelah subuh hingga pukul 8.00 WIB. mereka harus
bersiap-siap untuk berangkat melanjutkan kegiatan belajar formal untuk
menunjang bidang akademisi mereka. Setiap pagi setelah selesai menunaikan
sholat Shubuh, para santri yang mendapat bagian pertanian, mereka langsung
terjun ke lahan pertanian, ada yang bagiannya menyangkul, membersihkan
rumput, memupuk, menyemprot memetik sayuran yang sudah layak dipetik dll.
Sedangkan yang mendapat tugas pengolahan sule, nuget, dan pengolahan kecap
Mereka bergegas sesuai tugasnya masing-masing tanpa harus diperintah lagi.
Begitu pula ketika pagi mulai cerah, para santri berkeliling ke masyarakat
setempat untuk menjual produk-produk mereka dengan mendatangi dari satu ke
rumah lainnya tanpa ada rasa gengsi selagi hal itu halal. Mereka harus kembali
pada pukul 08.00 tepat guna mempersiapkan pendidikan formal mereka karena
waktu masuk pendidikan formal pukul 08.30 WIB.16
C. Simpulan
Dari uraian-uraian mengenai gagasan tentang pemberdayaan santri
melalui Pendidikan entrepreneurship dapat ditarik kesimpulan yaitu bahwa,
kegiatan entrepreneurship dapat dilakukan di pondok pesantren dengan tetap
mengutamakan tafaqquh fi addin (memperdalam ilmu-ilmu agama) karena tujuan
utama belajar di pondok pesantren adalah untuk mendalami ilmu-ilmu atau
Referensi
Bukhori Alma, Kewirausahaan, ( Bandung: Alfabeta, 2010)
Hendro, Dasar-Dasar Kewirausahaan, (Jakarta: Erlangga, 2011)
Geoffreg G Meredith, Kewirausahaan Teori dan Praktek, Penterjemah:
AndreAsparsayogi (Jakarta: PPMI,2000)
http://ditpdpontren.kemenag.go.id/direktur-menyapa/direktur-pd-pontren-
singkronisasi-program-menjadi-keharusan/, diakses pada tanggal 22
September 2015, pukul 09.30
http://bisnisukm.com/peluang-usaha-berbagai-macam-olahan-kedelai.html),
diakses pada tanggal 25 Agustus 2015.Pukul 11.00.
https://id.wikipedia.org/wiki/Santri
https://hafizhuddin30.wordpress.com/2015/10/25/definisi-dan-makna-santri-
sebuah-pengantar,diakses pada tanggal 22 September 2015
Mudjiarto Aliaras Wahid, Membangun Karakter dan Kepribadian Kewirausahaan,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006)
Undang undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang sistem Pendidikan Nasional
Bab 1 Pasal 1.
Abdul Mujib
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro
Email: abdulmujib0510@gmail.com
Abstrak
Pertumbuhan dan Perkembangan Islam pada periode awal ditandai adanya temuan nisan
makam Fatimah binti Maemun (wafat 1082 M), di Leran, Gresik, Jawa Timur. Estafeta
dakwah islamiyah tak kenal henti hingga silih berganti lahirnya sejumlah tokoh yang
handal, antara lain Wali Songo, mereka adalah Maulana Malik Ibrahim di Gresik, Sunan
Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Gresik, Sunan Bonang di Tuban, Sunan Drajat di
Lamongan, Sunan Kudus di Kudus, Sunan Muria di Kudus, Sunan Kalijaga di
Kadilangu Demak, dan Sunan Gunung Jati di Cirebon. Sukses-sukses besar dakwah
islamiyah telah memberikan keteladanan antara lain dalam aspek ekonomi. Melalui
kekuatan ekonomi, Islam di Pulau Jawa bangkit melahirkan kekuatan politik dalam wujud
Kesultanan Demak. Kehadiran Kesultanan Demak tidak terlepas dari peran Wali Songo
yang dianggap sebagai pimpinan dari sejumlah besar muballigh Islam dalam dakwah
islamiyah di daerah-daerah di Pulau Jawa.
Kata kunci: Wali Songo, Dakwah
Abstract
The growth and development of Islam in the early period marked the findings of the tomb
of Nisan Fatimah binti Maemun (died 1082 A.D.), in Leran, Gresik, East Java. Estafeta
Da'wa Islamiyah unrelenting until the change of the birth of a number of reliable figures,
among others, Wali Songo, they are Maulana Malik Ibrahim in Gresik, Sunan Ampel in
Surabaya, Sunan Giri in Gresik, Sunan Bonang in Tuban, Sunan Drajat in Lamongan,
Sunan Kudus in Kudus, Sunan Muria in Kudus, Sunan Kalijaga in Kadilangu Demak,
and Sunan Gunung Jati in Cirebon. The great success of Da'wa Islamiyah has given such
an example in the economic aspects. Through economic strength, Islam in Java Island
emerged to give birth to political power in the form of Demak Sultanate. The presence of
Demak Sultanate is not separated from the role of Wali Songo which is considered as the
leader of a large number of Islamic Muballigh in Da'wa Islamiyah in areas in the island
of Java.
Keywords: Wali Songo, Da'wa
A. Introduction
It is agreed that the propagations of Islam in the Java land are the scholars
called Wali Songo. "Wali Songo" means nine guardians. They are Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan
Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, and Sunan Gunung Jati. They do not live at
the exact same time. But each other has a close connection, if not in the blood
bond also in the teacher-pupil relationship. They are the intellectuals who
become the reformer of society in their time. They introduced various forms of
the new civilization from health, farming, commerce, culture and arts,
community to government.
Abdul Mujib Culture In Da'wa...
The story of Wali Songo is actually full of controversy, but the story itself
is quite interesting and captivated. Even many of the wisdom gained to fight
through the da'wa of Islam and their strategy in the capture of society, such as
Java, Sunda and Madura to embrace the religion of Islam, they are gentle in view
of Javanese culture. Strategy through the stages of preaching them, really proud.
They can be accepted in various communities, from lower to upper classes i.e.
nobles and kings. During preaching, they made a lot of breakthrough in the
stages of preaching strategy among the community. Until now, Wali Songo is
considered as a pioneer and a great scholar who has provided an act of
preaching, both with oral and deed. The achievement was made phenomenal and
also made the big name respected by every layer of society, especially the
Javanese people.
B. Discussion
1. Definition of Wali Songo
The phrase ' Wali ' in Arabic can mean ' a loving person ' or a loved one.
The word ' Wali ' in this context is actually short for Waliyullah meaning a
person who loves and is loved by God. Some also mean ' guardians ' with '
closeness '. So Waliyullah mean also ' the person whose position is close to Allah
swt '. The word ' Songo ' is a Javanese language which means ' nine '. But there is
an opinion that the word Songo is a confusion of the pronunciation of the word '
Sana ' which in Javanese language relates to a particular place. For the first, Wali
Songo means guardian of nine people. And the second, Wali Songo (Wali Sana),
means Wali for a certain place. The word ' Sana ' is a closeness to the Arabic
pronunciation of the word ' Tsana ' meaning ' praiseworthy '. So that Wali Songo
means ' the praised Guardian '.1
In the Islamic encyclopedia it is said that Wali Songo is the nine scholars
who are pioneers and fighters of Islamic development in the island of Java in the
fifteenth century (the period of Demak Sultanate). The word "guardian" (Arabic)
means ' defender ', ' close friend ', and ' leader '. In the use of the word ' guardian '
is usually interpreted as ' close to God ' (Waliyullah). The word "Songo"
(Javanese) means nine. So Wali Songo is generally interpreted as the nine
guardians who are considered to have been close to Allah SWT, continue to
worship him, and have the power and other abilities beyond human habits. The
word ' Songo ' or nine for some Javanese society is considered a sacred number,
the highest considered figure. The Da'wa council was deliberately named Wali
Songo to attract sympathy of the people who at the time still do not understand
what the religion actually is Islam.
Wali Songo means nine guardians, in fact the number is not just nine. If
there is a guardian Songo dies or return to the country across, it will be replaced
1 Budi Sulistiono, Wali Songo in the historical stage of Nusantara, (Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2014), p. 2.
by new members. With this kind of character-in the long time range, the number
of guardians in the composition of Songo Wali is not only nine, but more.
Sometimes the name Sheikh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik) is not
included as a member of Wali Songo. This does not mean Sheikh Maulana Malik
Ibrahim (Sunan Gresik) is not a member of Wali Songo, but the data is taken in
accordance with a certain period where Sheikh Maulana Malik Ibrahim has
passed away, so the oldest guardian or elder Wali Songo at that time is Sunan
Ampel, and Raden Patah or Sunan City entered in the member of Wali Songo.2
Presumably, the nine guardians were those who held positions in the
government as companions of the king or the elders of the Sultanate alongside
their roles as missionary and teachers. Because they held the position of
government, they were given the title of Sunan, short for the Susuhunan or
Sinuhun, meaning "a man of high rank". Even sometimes accompanied by the
designation Kanjeng, short for Kang Jumeneng, prince or other designations
commonly worn by kings or rulers of government in the area of Java.
2 Ibid, p. 3.
strong public governance with the caste system and social status into an
egalitarian and equitable society that is part of the essence of Islamic teachings.
Secondly, the mosque that is like pineapple is typical of Indonesia. It is
more of a model of the temple or Vihara architecture in Javanese culture. The
author suspects that the semicircular Mustaka topped the taper is then found
Diakhir-akhir 18th century in Indonesia after the Islamic kingdoms, such as the
ocean Pasaidi ACEH, strong and have a direct relationship with the Islamic
countries in the Middle East, especially Saudi Arabia. Mosques with a model of
half-circle is mainly found in Aceh. The mosque in Java is still dominated by
pineapple-shaped model until the mid-20th century. It shows that the
architecture of the mosque as the center of Muslim community Development
designed by Walisongo according to local culture. Walisongo does not seem to
worry that the temple-style Mustaka will eliminate Islamic identity. It can be
interpreted that Walisongo is more emphasis on the dimension of essence than
the artificial dimension in religion. They can distinguish between the core
teachings of the surrounding culture. They are more concerned about the essence
or substance of religious teachings by the public than the rise of religious
symbols. They strive for Islam to be able to make real contributions to society
rather than to make the Islamic accepted formalistic and Formalistic also
understood.
Thirdly, the towers of mosques built during the time of Walisongo and
later are very distinctive with Javanese culture. In fact, the tower of Holy Sunan
Mosque utilizes the tower from the former Pura tower. This phenomenon also
emphasises Walisongo's attitude towards local culture. The phenomenon of the
mosque architecture developed by Walisongo represents a new, egalitarian,
inclusive and transformative setting. The egalitarian society is demonstrated by
the recognition of the dignity of each person to perform proportionately social
interactions. In fact, in the field of religion, as shown at the time of praying in
congregation, there is no difference between people based on social status.
Walisongo also forms a society that is not merely able to appreciate the beliefs
and religion of the local people, but Walisongo accultuate Islamic values with the
cultural instruments of local people.
replace Hindu philosophy and theology (and certainly also Buddhist theology) in
it.
For example, Walisongo modifies the meaning of "charms of Kalimah
Shada" which originally meant "amulets of the Maha Usada" that Hindu theology
has become meaningful "azimah sentence Shahada". The last phrase is a person's
statement of belief that there is no God but Allah, and that Muhammad is the
messenger of Allah. The belief is a life and lifesaver spirit for everyone. In the
puppet story, Walisongo continues to use the term to personalise the most
powerful weapons for mankind. Only, if the perspective of the Hindu, the amulet
is manifested in the form of a symbolic object that is regarded as the gift of God,
then the Walisongo despize the formula so that it is merely a statement of belief
in God and his apostle.
In the Islamic perspective, the creed is the "Key of Heaven" which means
as a formula that will bring people to salvation in the world and the hereafter.
That is, the "Creed" in Muslim perspective has a spiritual power to pronounce it.
It is a Muslim statement to live firmly on the principles of Islamic teachings and
to achieve success in the world and the hereafter. The new usage would not
modify the Pakem story, but was able to build Islamic values in the puppet story.
Walisongo also uses puppet art to build social construction, namely to build a
civilized and cultured society. To build a different direction from the original
puppet, Walisongo added in the story of the standard puppet with a plot that
contains the social vision of the Islamic community, both from the system of
government, neighboring relations, to the pattern of family life and personal life.
C. Conclusion
The nation of Indonesia has mostly embraced Islam and is mostly
domiciled in the island of Java. All that if we examine is a result of the work of
da’wa Walisongo in his day. The form of a method of da’wa Walisongo which is
inspiring to be an example of the movement of da’wa Prophet Muhammad SAW,
such as preaching through the family/marriage line. If it were seen from
Geneology, the Guardians in East Java and Java in general have kinship. The
process of Islamization that took place in Nusantara is essentially within the
framework of the acculturation process. As Islam was disseminated in the
archipelago including the peninsula and Brunei as normative rules in addition to
the art and cultural aspects. The guardians try to develop Javanese culture.
Walisongo in the development of Javanese culture gives a huge contributed. Not
just education and teaching but also in the arts and cultural aspects in general.
The weakness of this Walisongo da’wa is where the practices and methods
undertaken by the Walisongo are no longer appropriate to the present day. But
as a fact of history, especially for members of da’wa still remains the price.
Unfortunately, during this time Walisongo history almost disappears behind a
colourful legend. But many lessons and wisdom that can be learned from the gait
of their preaching.
Reference
Kholil, Akhmad. Javanese Islam: Sufism in Javanese ethics and traditions. Malang:
UIN Maliki Press, 2008.
Sulistiono, Budi. Wali Songo in an archipelago history stage. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2014.
Anita, Dewi Evi. "Walisongo: Islamic Land of Java (a review of the literature)."
Wahana Akademika: Journal of Islam and Social Studies 1.2 (2016): 243-
266.
Bakri, Syamsul. Javanese culture (Islam adaptation in Javanese culture) In DINIKA,
2014, 12.2.
Rina Setyaningsih
Institut Agama Islam An Nur Lampung
Email: rina.setyaningsih15@gmail.com
Abstract
Culture was inherent in Indonesian society before Islam came. Especially in Hindu-
Buddhist communities, people do not know Islam. Many groups still believe in animism-
dynamism. Especially the Javanese community that smells mystical is still often done.
Culture is divided into three phases namely: Javanese culture pre-Hindu-Buddhist, the
prominent feature of the structure of society at that time was based on the rules of
customary law and its religious system, namely animism-dynamism which is the core of
culture that colors all activities of the lives of the people. Customary law is so binding
that the people are static and conservative. Javanese Hindu Culture, In this phase the
development process of Javanese culture is a strong influence of Indian culture
(Hinduism). In Javanese society, Hindu-Buddhist influences are expansive, while
Javanese culture which accepts the influence and absorbs Hinduism-Buddhist elements
after going through the acculturation process does not only affect the cultural system, but
also affects the religion. And Javanese culture in the phase of spreading and
institutionalizing propaganda in Java. In this last phase Islam has entered Indonesia and
the community has begun to embrace Islam through propaganda with cultural media so
that it can be accepted by all parties.
Keywords: Culture, Islam, Kejawen
Abstrak
Budaya sudah melekat dalam masyarakat Indonesia sebelum Islam datang. Terutama di
komunitas Hindu-Budha, orang tidak mengenal Islam. Banyak kelompok masih percaya
pada animisme-dinamisme. Terutama masyarakat Jawa yang berbau mistis masih sering
dilakukan. Budaya dibagi menjadi tiga fase yaitu: budaya Jawa pra-Hindu-Buddha, ciri
menonjol dari struktur masyarakat pada waktu itu didasarkan pada aturan hukum adat
dan sistem keagamaannya, yaitu animisme-dinamisme yang merupakan inti dari budaya
yang mewarnai semua aktivitas kehidupan rakyat. Hukum adat sangat mengikat
sehingga masyarakatnya statis dan konservatif. Budaya Hindu Jawa, Pada fase ini proses
pengembangan budaya Jawa merupakan pengaruh kuat budaya India (Hindu). Dalam
masyarakat Jawa, pengaruh Hindu-Budha bersifat ekspansif, sementara budaya Jawa
yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindu-Buddha setelah melalui
proses akulturasi tidak hanya mempengaruhi sistem budaya, tetapi juga mempengaruhi
agama. Dan budaya Jawa dalam fase menyebarkan dan melembagakan propaganda di
Jawa. Pada fase terakhir ini Islam telah masuk ke Indonesia dan masyarakat sudah mulai
memeluk Islam melalui propaganda dengan media budaya sehingga bisa diterima oleh
semua pihak.
Kata kunci: Budaya, Islam, Kejawen
A. Pendahuluan
Ketika Islam belum datang di Indonesia, kebudyaan sudah berkembang
bahkan sudah menjadi tradisi bagi beberapa jenis suku di negeri ini, seperti
budaya jawa. Kebudayaan jawa sudah ada jauh sebelum Islam datang,
Rina Setyaningsih Akulturasi Budaya Jawa...
B. Pembahasan
1. Definisi Akulturasi
Akulturasi merupakan perpaduan antara komponen-komponen
kebudayaan yang berbeda dan Bersatu dalam usaha membentuk kebudayaan
baru tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan yang asli. Hal ini berbeda
dengan asimilasi, definisi asimilasi yakni adanya penggabungan dua
kebudayaan baru dan menghilangkan kebudayaan yang lama. Contoh dari
akulturasi budaya yaitu semisal adanya perpaduan antara music melayu dengan
musik spanyol maka akan tercipta musik keroncong, dimana musik keroncong
merupakan bagian dari kedua musik tersebut namun tidak menghilangkan ciri
khasnya. Contoh akulturasi di Indonesia yaitu adanya sistem dakwah melalui
wayang, seni bangunan masjid dengan atap tumpang yang menunjukkan
adanya akulturasi Islam dengan budaya hindu. Peran kebudayaan adalah
sebagai berikut :
a. suatu hubungan pedoman antar manusia atau kelompoknya.
b. Wadah untuk menyalurkan perasaan dan kemampuan-kemampuaan
lain.
c. Sebagai pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia.
d. Pembeda manusia dan binatang.
e. Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan
berprilaku di dalam pergaulan.
f. Pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana harud bertindak,
berbuat .
g. Sebagai modal dasar pembangunan.2
1
Limyah Al-Amri And Muhammad Haramain, “Akulturasi Islam Dalam Budaya Lokal,”
Kuriositas: Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan 10, No. 2 (November 24, 2017): 192,
Https://Doi.Org/10.35905/Kur.V10i2.594.
2
Laode Monto Bauto, “Perspektif Agama Dan Kebudayaan Dalam Kehidupan
Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama),” Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial 23, No.
2 (2014): 19, Https://Doi.Org/10.17509/Jpis.V23i2.1616.
2. Definisi Islam
Secara harfiah, Islam berarti damai, selamat, tunduk, dan bersih. Maka
dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang membawa keselamatan
hidup di dunia dan di akhirat.
Menurut istilah, Islam adalah ketundukkan seorang hamba kepada
wahyu ilahi yang diturunkan kepada para nabi dan rasul khususnya
Muhammad saw. Untuk dijadikan pedoman hidup dan sebagai aturan allah swt.
Islam juga merupakan agama terakhir yang diturunkan oleh allah kepada nabi
Muhammad untuk menuntun umat ke jalan yang lurus dan meraih kebahagiaan
di dunia dan juga di akhirat. Nabi Muhammad merupakan rasul terakhir utusan
allah berlaku sepanjang zaman serta ajarannya bersumber dari al-qur’an dan
sunnah.3
3. Dakwah
Dakwah berasal dari kata د عا – يدعو – دعوهyang berarti panggilan , seruan
dan ajakan . sedangkan menurut istilah, banyak yang mendefinisikan dakwah.
Diantaranya seperti saifudin azhari, menurutnya dakwah adalah segala aktivitas
yang mengubah suatu situasi lain yang lebih baik menurut ajaran Islam. Tetapi
juga berupa usaha meneruskan dan menyampaikan kepada perorangan dan
umat.4
3
Septiana Purwaningrum And Habib Ismail, “Akulturasi Islam Dengan Budaya Jawa:
Studi Folkloris Tradisi Telonan Dan Tingkeban Di Kediri Jawa Timur,” Fikri : Jurnal Kajian
Agama, Sosial Dan Budaya 4, No. 1 (June 14, 2019): 35, Https://Doi.Org/10.25217/Jf.V4i1.476.
4
Masykurotus Syarifah, “Budaya Dan Kearifan Dakwah,” Al-Balagh : Jurnal Dakwah
Dan Komunikasi 1, No. 1 (June 8, 2016): 29, Https://Doi.Org/10.22515/Balagh.V1i1.43.
dan pemitosan terhadap ruh nenek moyang melahirkan penyembahan ruh nenek
moyang “ancestor worship” yang menghasilkan adat dan relasi-relasi
pendukungnya. Dengan upacara-upacara selametan, ruh nenek moyang menjadi
berbentuk dewa pelindung bagi keluarga yang masih hidup.
Seni pewayangan dan gamelan menjadi sarana upacara ritual keagamaan
untuk mendatangkan ruh nenek moyang. Dalam ritual seperti ini, nenek moyang
berfungsi sebagai ‘pengemong’ dan pelindung keluarga yang masih hidup.
Dalam lakon wayang, ruh nenek moyang di ibaratkan dalam bentuk
‘punakawan’. Agama asli mereka disebut sebagai ‘religion magic’ dan
merupakan sistem budaya yang mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia,
khususnya masyarakat jawa.
Adanya ruh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai tuhan yang
dapat menolong ataupun dapat mencelakakan. Oleh sebab itu, w. Robertson
smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada
waktu itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak saja untuk
berbakti kepadda dewa ataupun untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat
individual, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara
agama adalah bagian dari kewajiban sosial.
1807 M, yang diidentifikasi sebagai keturunan nabi dan menjadi penyebar agama
Islam di gresik. Prasasti ini menjadi bukti otentik bahwa Islam telah menyebar di
jawa, khususnya di jawa timur pada masa pemerintahan raja hindu tepatnya raja
airlangga. Jaringan perdagangan antara timur tengah dengan nusantara terjalin
atas dasar relasi saling menguntungkan dengan mengambil jalur laut sehingga
daerah pesisir jawa merupakan daerah yang lebih dahulu mengenal Islam.
Perkembangan Islam diluar jawa relative lebih cepat penyebarannya
karena tidak banyak berhadapan dengan budaya-budaya lain, kecuali budaya
hindu-budha. Di jawa, Islam menghadapi suasana yang kompleks dan halus,
yang dipertahankan oleh para penguasa/raja. Oleh sebab itu, perkembangan
Islam di tanah jawa menghadapi sua jenis lingkungan budaya, yaitu budaya
lapisan petani atau lapisan bawah yang merupakan bagian kelompok terbesar
yang masih dipengaruhi oleh urabay-dinamisme. Kemudian kebudayaan isstana
yang merupakan tradisi agung dan menjadi unsur filsafat hindu-budha yang
diperhalus budaya lapis atas.
Pemyebaran Islam di jawa untuk beberapa abad tidak mampu menembus
benteng pengaruh kerajaan hindu yang kejawen. Penyebaran Islam harus
merangkak dari kalangan bawah, yaitu ke daerah-daerah pedesaan sepanjang
pesisir yang ada. Pada akhirnya penyebaran itu melahirkan komunitas baru
yang berpusat di pesantren.
Sejak kerajaan jawa hindu majapahit (1518 M) runtuh dan kerajaan Islam
demak berdiri, makai slam dimulai sebagai kekuatan politik. Zaman peralihan
tampak Ketika berdirinya kerajaan demak, yaitu peralihan dari zaman
“kabudhan”(tradisi hindu budha) ke zaman “kawalen” (wali). Peralihan ini
merupakan pengIslaman dan penyesuaian dengan suasana Islam, bukan berarti
membuang budaya adiluhung zaman hindu budha. Peralihan ini menghasilkan
bentuk berupa “sinkretisme” antara warisan budaya animism-dinamisme dan
unsur-unsur Islam.
Dakwah Islam tampak dari interaksi dengan lingkungan sosial budaya
setempat, berkembang dengan dua pendekatan, yakni pendekatan
nonkompromis dan pendekatan kompromis. Yang dimaksud dengan
pendekatan nonkompromis adalah dakwah ilam dengan tetap bertahan dengan
identitas agama dan tidak mau menerima budaya luar kecuali budaya tersebut
selaras dengan ajaran Islam. Pendekatan kompromis (akomodatif) merupakan
suatu pendekatan yang berupaya menciptakan suasana damai, penuh toleransi,
sedia hidup berdampingan dengan pengikut agama, dan tradisi lain yang
berbeda tanpa mengorbankan agama dan tradisi agama masing-masing (cultural
approach).
Dalam berdakwah, para wali tampaknya lebih memilih pendekatan
kompromistik mengingat tradisi nenek moyang masyarakat jawa yang
melatarbelakanginya. Para wali memulai dakwahnya di kalangan bawah melalui
daerah pesisir yang jauh dari majapahit. Para wali dan masyarakat pedesaan
5
Andik Wahyun Muqoyyidin, “Islam Jawa, Distingsi Tradisi, Transformasi Spirit
Profetik, Dan Globalisasi,” Akademika: Jurnal Pemikiran Islam 21, No. 1 (April 17, 2016): 110.
6
Nor Kholis, “Syiar Melalui Syair (Eksistensi Kesenian Tradisional Sebagai Media
Dakwah Di Era Budaya Populer),” Al-Balagh: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi 3, No. 1 (2018):
109.
7
Sulkhan Chakim, “Dakwah Clan Dialektika Budaya Jawa Dalam Lintasan Sejarah,”
Komunika: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi 2, No. 1 (2008): 51,
Https://Doi.Org/10.24090/Komunika.V2i1.809.
C. Simpulan
Dalam penjelasan diatas dapat disimpulkan. Sebelum Islam datang ke
Indonesia, masyarakat Indonesia masih mempercayai animism-dinamisme
sehingga tradisi masih melekat pada masyarakat khususnya masyarakat jawa.
Kebudayaan jawa terbagi atas tiga fase yakni : fase kebudayaan jawa pra hindu-
budha, fase kebudayaan masa hindu-budha dan fase penyebaran dan
pelembagaan dakwah di jawa. Pada fase terakhir ini Islam mulai masuk,
sehingga para wali mencari strategi untuk menyebarluaskan Islam di tanah jawa.
Kemudian mereka menggunakan strategi dakwah melalui perantara kebudayaan
yaitu media pewayangan, ternyata cukup signifikan sehingga dapat menarik
masyarakat untuk memeluk agama Islam. Karena berdakwah menggunakan
media kebudayaan ini dapat diterima oleh semua pihak sehingga Islam
berkembang pesan dan dapat disebarluaskan.
Referensi:
Al-Amri, Limyah, and Muhammad Haramain. “Akulturasi Islam Dalam Budaya
Lokal.” Kuriositas: Media Komunikasi Sosial Dan Keagamaan 10, no. 2
(November 24, 2017): 87–100. https://doi.org/10.35905/kur.v10i2.594.
Arifani, Moch Anif. “Model Pengembangan Dakwah Berbasis Budaya Lokal.”
Ilmu Dakwah: Academic Journal for Homiletic Studies 5, no. 15 (2010): 849–78.
https://doi.org/10.15575/idajhs.v5i15.425.
Bauto, Laode Monto. “Perspektif Agama Dan Kebudayaan Dalam Kehidupan
Masyarakat Indonesia (Suatu Tinjauan Sosiologi Agama).” Jurnal
Pendidikan Ilmu Sosial 23, no. 2 (2014): 11–25.
https://doi.org/10.17509/jpis.v23i2.1616.
Chakim, Sulkhan. “Dakwah clan Dialektika Budaya Jawa dalam lintasan
Sejarah.” KOMUNIKA: Jurnal Dakwah dan Komunikasi 2, no. 1 (2008): 42–
53. https://doi.org/10.24090/komunika.v2i1.809.
Kholis, Nor. “Syiar Melalui Syair (Eksistensi Kesenian Tradisional Sebagai Media
Dakwah Di Era Budaya Populer).” Al-Balagh: Jurnal Dakwah Dan
Komunikasi 3, no. 1 (2018): 103–125.
8
Moch Anif Arifani, “Model Pengembangan Dakwah Berbasis Budaya Lokal,” Ilmu
Dakwah: Academic Journal For Homiletic Studies 5, No. 15 (2010): 861,
Https://Doi.Org/10.15575/Idajhs.V5i15.425.
Yuyun Yunita
Institut Agama Islam An Nur Lampung
Email: azkianaziha4@gmail.com
Abstract
Wayang kulit is named after Javanese wayang which means shadow or taken meaning
that wayang is a depiction of life or a reflection of the various human traits found in
various souls of the human conscience itself. The universe itself is divided into various
types into two basic traits such as wrath and kindness. The history of the story of Dewa
Ruci as one of the puppet plays is a cousin of the many ways and rich in philosophical
values of religious diversity that is so profound. The history of this story depicts a man or
man who has a lot of strong will to find the best ways that can be considered to bring
people to happiness. In the search for happiness, it is not easy to do because it will be
many and there are obstacles or prevention that may be faced by many. This is where the
aesthetic value or beauty is packaged and wrapped up in the history of the gods of Ruci
and becomes the first and foremost doctrine of the conception of the divine, humanity, and
respect of the human beings with the creator or than. the story of the goddess Ruci
outlines or philosophically symbolizes how human beings must go through and make an
inner journey to find their true identity or look for paraning dumadi the origin and
purpose of life in human beings or tackle the human gusti, the conception of God and how
humans lead to God, the wayang kulit is very much, the art of wayang puppets cannot be
retracted from history, which the bags are retold through wayang.
Keywords: Pupet Play And Divinity
Abstrak
Wayang kulit dinamai sesuai dengan wayang Jawa yang berarti bayangan atau diambil
artinya bahwa wayang adalah penggambaran kehidupan atau refleksi dari berbagai sifat
manusia yang ditemukan dalam berbagai jiwa nurani manusia itu sendiri. Alam semesta
itu sendiri dibagi menjadi berbagai jenis menjadi dua sifat dasar seperti murka dan
kebaikan. Sejarah kisah Dewa Ruci sebagai salah satu lakon wayang adalah sepupu dari
banyak cara dan kaya akan nilai-nilai filosofis keanekaragaman agama yang begitu
mendalam. Sejarah kisah ini menggambarkan seorang lelaki atau lelaki yang memiliki
banyak kemauan kuat untuk menemukan cara terbaik yang bisa dianggap membawa
orang menuju kebahagiaan. Dalam mencari kebahagiaan, tidak mudah dilakukan karena
akan banyak dan ada kendala atau pencegahan yang mungkin dihadapi banyak orang. Di
sinilah nilai estetika atau keindahan dikemas dan dibungkus dalam sejarah para dewa
Ruci dan menjadi doktrin pertama dan terpenting dari konsepsi ilahi, kemanusiaan, dan
rasa hormat manusia dengan pencipta atau dibandingkan. kisah dewi Ruci menguraikan
atau secara filosofis melambangkan bagaimana manusia harus melalui dan melakukan
perjalanan batin untuk menemukan identitas sejati mereka atau mencari paraning
dumadi asal dan tujuan hidup manusia atau menangani manusia gusti, konsepsi Tuhan
dan bagaimana manusia mengarah kepada Tuhan, wayang kulit sangat banyak, seni
wayang tidak bisa ditarik dari sejarah, yang tasnya diceritakan kembali melalui wayang.
Kata kunci: Permainan Wayang dan Keilahian
Yuyun Yunita Wayang In Islamic...
A. Introduction
Wayang is a part of an old cultural expression of the Indonesian state that
according to the story, found in 861 M in Jayabaya kingdom in Mamenang
Kediri. Therefore, for Indonesian people precisely in Java (west, Central, and
east) is not escaped from the puppet show to be the structure of its life. Wayang
is recognized as a culture of exhibition that Edipeni-Adiluhung, which means the
exhibition in which there is a positive matter of beauty and charge the teachings
of deep spiritual moral. Through puppet show, in the sense of good behavior and
useful high for the creation of character building all of them become a good
lesson for people and society. Through the Wayang exhibition, the lack of good
things and the failure of the art is now again in the life of the civilization of the
cultural art of our country Indonesia, slowly will be eliminated to refer to the real
direction of potential regional art that means important to us and a big useful for
the actors who will bring the best way.1
The learning of religious Islam is a race to give birth and produce the
ability of students who have a character and Islamic religious characters and do
not escape the various mistakes and deficiencies of students and girls in Islamic
learning. The ever-present and undisputed, good and well-established resources
that spur only for the control of the nation's bureaucracy in today's Islamic
learning.2
Wayang is a Javanese traditional art culture that is still present and
sustainable, is still appreciated by the community, and gives a sign of Kehidpan.
Puppet can also be divided into one-Satnya artistic inheritance that has moral
and very high values. Wayang Kulit is one of the historical relics in the past one
of the various cultural heritages in Indonesia that still can still be upright and
straight and become good entertainment and still be liked by Javanese and made
good entertainment and still have good things according to Javanese people.3
The continuity of the tradition of puppet plays in our country has a good
praise and flattery and the UN Council issued an opinion of praise is actually
puppet plays is a great craft of making throughout the entire kingdom. Good
habits that are a puppet show is still a part that lives in Javanese culture. Wayang
Kulit, as a great culture like life, as well as other exhibitions, almost undergo
displacement or material to be the difference and change of indigenous social
culture and state.
An example of a large sample of tourism that carries a change in form
dimension or formation, dimension of space and time, and cultural review of
good exhibition culture such as puppet. From the opinions of some experts from
Wayang, the division of the Authority certainly produces a good artwork and
1 Cahya, "value, meaning, and symbol in Wayang Golek puppet Show as a representation of the Media
of the establishment of the ethics" (2016), p. 118.
2 Darori Amin Islam and Javanese Culture (2000), p. 178.
3Asrul Anan and Siti Jawariyah, "Analysis of Islamic education values in puppet character
B. Discussion
The guidance points that there is a puppet show in the puppet show
through the cast and the Alrnya have authority in teaching and parenting to
explore the nature of the state. Therefore wayang has become a result of a wealth
of Indonesian traditions, it should be developed and used as a utilization in
presenting State art that will be the result of the Indonesian people until the time
is. The results of philosophers contained in the puppet always invite the
community to do good and avoid evil, and to instill the spirit of "Amar Ma'ruf
nahi mungkar" or the term in the puppet "Memayu hayuning great Bebrayan",
according to the teachings of religion and beliefs of each. In the story of this
puppet that is exemplary is the role of the character Sri Rama and Arjuna who
has the nature of always promoting truth and justice, in its immaculate
appearance, full of smiles, the language is subtle, the behavior is measurable and
seems to be uninterested to make people difficult to anyone. The leadership role
of Aordinary personage who is also exemplary, because of the time he became a
ruler in the land of Astina always loved and paid attention to his people, has a
4 Darmoko, "Javanese morality in the Purwa leather puppet review on the Lakon Semar" (T.T.): p.
119.
strong and consistent personality, has a high visionary and integrity, so that he is
loved and trusted by his followers.5
5 Otok Hermawan Marwoto, "Islamic values in Wayang kulit makes an important role in the
7 Dessi Stifa Ningrum, "The role of Punakawan character in Wayang Kulit as a Media character
It has been long since the Punakawan figures (both individually and
simultaneously) appear as a brand of various products for the community (food,
health and household needs), delivery of messages (posters for community
services, glass paintings, comics), promotional means (advertising products and
services) and so forth. As the picture above was made to remind the public, so as
not to be greedy when occupying a position (either as a government official, tutor
or community leader). It was made as a glass painting depicting the character
Petruk to be king (Petruk Dadi Ratu) with the Javanese alphabet headline which
means Ojo Dumeh (do not greedy) as a medium of presenter Punakawan
message can be present in various media, while in Indonesia still has one
television station (TVRI) then Punakawanyang character portrayed by the Alm.
Ateng and friends were present through the show ' Ria Jenaka ' which had
survived for 15 years. They can convey social criticism, counseling, and even
discuss social issues that are again warm at the time of itu8Jaman constantly
changing, nowadays has many private television stations, Punakawanpun still
present with a different technical, one of the private television stations every
Sunday aired a series of Punakawan animation produced by Jogjakartoon,
Jogjakarta. Similarly, other private televisions continuously display leather
puppet performances every weekend, and Punakawan was present in the session
of Goro-Goro with the topic of problems that are more warm at the moment,
even invites dialogue with the audience. Because of the difference in segments,
then for Punakawan which is shown in the form of animation more discuss the
problems that often faced by children (more about the problem of kindness,
virtue and truth) that is more digestible by children. It shows that Punakawan
can communicate with all walks of life, age and education. Along with the rapid
development of multi-media technology, it will be easier to deliver the intentions
and objectives of the Punakawan leaders, such as the animation company
Jogjakartoon, in addition to cooperation with multinational companies and its
works aired by one of the national private television stations, they also produce it
in the form of VCD chips. Punakawan people are also considered effective to
convey the advertising message of both products and services (Punakawan
philosophy is considered relevant in all times.9
Wayang and ethical norm Puppet is actually not known only by Javanese
people, although according to an expert from the West named Brandes said that
Wayang is typical Javanese. As stated above, Javanese people know the world of
puppet. It can even be claimed, the world of Puppet is the world and the
distinctive culture of the Javanese people because wayang his characters is a
picture of life and ethical norms with all the multidimensionality of Javanese
people. Wayang is also a picture of a concrete human life with all the
characteristics of unique characters that exist in a variety of individual human,
9
Selu Margaretha Kushendrawati, "Puppet and ethical Values: a picture of the Javanese attitude of
life" (T.T.), p. 109.
11 Priyanto "To know the values of the leadership of nobility in puppet show" (2019), h. 3.
12 Asrul Anan and Siti Jawariyah, "Analysis of Islamic education values in Wayang character
Punakwanan," (2017),h. 336.
13 Dessi Stifa Ningrum, "The role of Punakawan character in Wayang Kulit as a Media character
4. Study
Public information is information that is created, compiled or attempted
by the government. Here public information is intended as information required
by the people, managed based on the trust of the people by the Government and
already should be available to the interests of the people, unless otherwise
stipulated by the laws and regulations. In this limitation, the people have the
right to the information produced by the government agencies, with the
requirement that the exclusion of the abandonment of the people's rights can
only be done based on the provisions stated in the laws and regulations. In this
kind of concept, clear public information is an important aspect in the
14Burhan Nriyanto, "puppet and character development of the Nation" (2011), p. 27.
15Bayu Anggoro, "Puppet and Performing Arts: Historical Study of the history of the art of Wayang
Ditanah Javanese as the art of Preaching" (2018), p. 127.
16 Kanti Walujo, "the spread of Wayang and public information dissemination" (T.T.), p. 146.
17 Sulhatul Habilah "Study of Cultural studies on the Bima puppet Show Ontology Perspective"
(2003), p. 178.
18 Masroer Ch. Jb, "Islamic spirituality in the culture of Javanese Sundanese leather Puppet Society"
(2015), p. 50.
the Book of Ramayana and Mahabharata but the original story from Java. Brief
History of Wayang, accessed through in the context of West Java, the puppet first
developed in Cirebon, precisely during the time of Sunan Gunung Jati around
the 15th century AD. In the early 16th century in West Java began to be
introduced type Wayang Golek slab or Cepak. Basically, people know this type
of puppet with the name Wayang Purwa, namely as the artificial puppet that is
in the flow.
The form of performances demonstrated by the mastermind selection
participants gives an idea that in the identity of the process of encounter and
negotiation. The collective style is understood as something that loosely adopts
the personal identity. In that looseness there are endless choices. It is no longer
possible to formulate a kind of fixed essence of identity, because the identity is
more as a result of the process of contestation-while against the other, not a
fixation. This is what the participants of the professional puppeteer selection
Yogyakarta. Although it remains within the Yogyakarta-style corridor, but
individual freedoms still emerge as an important factor, as shown in the first
Kasidi theory that the mixing or crossword style is currently flexible. People no
longer care whether that is displayed or seen comes from a style in its own
community or from another community. This kind of fact has been noted by
Umar Kayam as an important fact in the case of the style boundary until the
formation of a new order.19
Wayang is an ancestral cultural heritage that has been estimated to have
existed since ± 1500 year BC. Wayang as one of the performances is often
interpreted as a shadow that is unclear or vague, moving here and there. The
faint shadow is interpreted as a depiction of human growth. In Indonesia,
especially in Java, there are hundreds of puppets that can be classified according
to the story, how to show Puppet, and the material used to make wayang. About
half of the number of puppets is now not performed anymore, even among them
are extinct. Among the most major performances and still present is the wayang
kulit in Central Java. The popularity of wayang kulit is solid with philosophical,
pedagogical, historical, and symbolic values.20
The claims of antiquinity authenticity are always attributed to puppet
theaters around the world, especially by those who seek to link from heritage
institutions, financial inclusion of the tourism industry, or legitimacy, at the time
of responding to a diminishing audience. However, all that we know about
puppet theater indicates that in reality, the tradition is never static but it is
continuously adapted for contemporary audiences with ever-changing
performance contexts. Even the forms of puppet Theater at a glance appear
stagnant or ' toss ', as marionette performances are displayed on public holidays
19 Bambang Slanjari, "the ideology and identity of the puppeteer in Yogyakarta professional Selection"
(2017), h. 188.
20 Bayu Anggoro, "Puppet and Performing Arts: A History study of the historical development of
Wayang puppet art in Java as the performing arts of Da'wah,", 2, 2018, p. 124.
C. Conclusion
Based on what was conveyed in the material above I concluded in the role
of the revelation of the position of the Punakawan so very important and
prominent than others have been faithful to accompany Janaka in the journey.
Punakawan is a symbolism of the karsa, copyright, taste and work turned into a
human culture of wayang message was delivered during Goro-Goro when the
title of the man Semar.The various aspects above, there are several sophisticated
research methods to examine and observe the plays and also the studies that are
used to study the various things carried out also the results of research and study
as evidence of good and correct observation results. Wayang as depictions of old
historical life, controlled by a mastermind tell about events such as the Brahmin
story. Although the Puppet is an ancient Javanese tradition Lakon wayangpun
many like it because of the interesting storyline and good story to experience.
Wayang is a symbol of Javanese culture that can relate to Islam.
Reference
Cahya, "value, meaning, and symbol in Wayang Golek puppet Show as a representation
of ethics" (2016)
Darori Amin Islam and Javanese Culture (2000)
Asrul Anan and Siti Jawariyah, "Analysis of Islamic education values in Wayang
Punakwanan character" (2017)
Darmoko, "Javanese morality in the Purwa leather puppet review on the Lakon Semar"
(T.T.)
Otok Hermawan Marwoto, "Islamic values in Wayang kulit makes an important role
in the development of Islamic Arts in Indonesia" (T.T.)
Sri Mlyono "puppet and Philosophy Nusantara" (2002)
Dessi Stifa Ningrum, "The role of Punakawan character in Wayang Kulit as a Media
character planting in the village of Tulun District, district of Indonesia, Blitar" 9
(T.T.)
A. M. Arif, "Visual communication planning for the personality of Wayang Kulit,
Yogyakarta, and his physical characteristics" (T.T.)
Bing Bedjo Tanudjaja, "Punakawan as Visual efficacy Media" (2004)
Priyanto "To know the values of the leadership of nobility in puppet show" (2019)
21 Matthew Isac Cohen, “Wayang Kulit Tradisional Dan Pasca Tradisional Dijawa Masa Kini” 01
(2014), p. 11.
Sulhatul Habilah "Study of Cultural studies on the Bima puppet Show Ontology
Perspective" (2003)
Burhan Nuriyanto, "Wayang Dan character Development Nation" (2011).
Bayu Anggoro, "Puppet and Performing Arts: Historical Study of the history of the art
of Wayang Ditanah Javanese as the art of Preaching" (2018).
Kanti Walujo, "the spread of Wayang and public information dissemination" (T.T.): 146.
Masroer Ch. Jb, "Islamic spirituality in the culture of Javanese Sundanese leather
Puppet Society" (2015)
Bambang Slanjari, "the ideology and identity of the puppeteer in Yogyakarta
professional Selection" (2017)
. Matthew Isac Cohen, "traditional Javanese puppet and traditional post in present-day
Java" (2014).
Selu Margaretha Kshendrawati, "Puppet and ethical Values: a picture of the Javanese
attitude of life,".
Barnas Sabunga, Dasim Budimansyah, Sofyan Sauri, "character values in Wayang
Golek Purwa puppet Show" (2016).
Wisma Nugraha, "role and function of the people of Semar-Bagong in the Pagelaran of
the East Java style leather Show" (2003).
Syaripudin Basyar
Institus Agama Islam Negeri (IAIN) Metro
Email: basyarsyarip@gmail.com
Abstract
Educations is guidance, leadrship,from educators to students with phsyical and spritual
development, educations shapes the character, nature, and, behavior of student
systematically. Educations is a development of students to develop the potential, reason.
And abilities possessed by students. In educations have several figures in the science of
educations. Understanding education is a conscious and planned effort to create an
atmosphere learning procces for students to actively develop their potential to have
spritual strength, self control, personality, intelligence, noble character, and the skills
needed by themselves and the community. Undestanding education can be interpreted as
as conscious and systematic efferots to achieve a standard of living or for better progrees,
simply put, understanding educations is a learning procces for students to be able to
understand, and make humans more critical in thingking.
Keywords: Educational Figure, Works, Educational Science
Abstrak
Pendidikan adalah bimbingan, kepemimpinan, dari pendidik kepada siswa dengan
perkembangan fisik dan spritual, pendidikan membentuk karakter, sifat, dan, perilaku
siswa secara sistematis. Pendidikan adalah pengembangan siswa untuk mengembangkan
potensi, alasan. Dan kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Dalam dunia pendidikan ada
beberapa tokoh dalam ilmu pendidikan. Memahami pendidikan adalah upaya sadar dan
terencana untuk menciptakan suasana proses pembelajaran bagi siswa untuk secara aktif
mengembangkan potensi mereka untuk memiliki kekuatan spritual, kontrol diri,
kepribadian, kecerdasan, karakter mulia, dan keterampilan yang dibutuhkan oleh diri
mereka sendiri dan masyarakat. Pengertian pendidikan dapat diartikan sebagai efferot
yang sadar dan sistematis untuk mencapai standar hidup atau untuk program yang lebih
baik, sederhananya, memahami pendidikan adalah proses pembelajaran bagi siswa untuk
dapat memahami, dan membuat manusia lebih kritis dalam berpikir.
Kata kunci: Tokoh Pendidikan, Karya-Karya, Ilmu Pendidikan
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan terutama
pada anak-anak bangsa. Karna pendidikan salah satu indikator keberhasilan
kesuksesaan untuk masa depan yang cerah bagi siswa, beberapa faktor integra
dalam pendidikan yaitu, tujuan pendidikan, pendidik, peserta didik, alat
pendidikan , dan lingkungan pendidikan. Dari beberapa faktor tersbut satu
kesatuan faktor yang tidak dapat di pisahkan atau berjalan sendiri. Tetapi juga
harus berjalan dengan teratur , dan komplementer. Di dalam pendidikan
mempunyai tokoh-tokoh ilmuan yang berpengaruh di dalam ilmu pendidikan
yaitu seperti, ibnu sina, ibnu khaldun,al-kindi, al-khawarizmi,dan al-ghazali.
Pendikan adalah pembelajaran pengetahuan, keterampilan, dan
kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi ke genarasi lalu
Syaripudin Basyar Pemikiran Tokoh Pendidikan...
B. Pembahasan
1. Ibnu Sina
a. Biografi Ibnu Sina
Ibnu Sina adalah salah satu tokoh pemikir muslim yang paling banyak
menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. (yaiu dalam bidang, kedokteran,
ilmu agama, sains,dan humaniora) nama lengkap Ibnu Sina adalah Ali al-Husein
bin Abdullah al-Hasan bin ali bin sina. Beliau di lahirkan di desa Afsyanah,
dekat bukhara di kawasan asia tengah pada tahun 370 H dan beliau meninggal
dunia di Hamadzan pada tahun 428 H (1038 M ) dalam usia 57 tahun dan
negara-negara barat yang lebih di kenal dengan sebutan avicena. Namun, orang
turki, persia, dan arab mengkalim bahwa Ibnu Sina adalah bangsanya. Hal ini di
karnakan sosok dari Ibnu Sina berkebangsaan turki, sedangkan ayah beliau
adalah berkebangsaan arab.1
1Aris Try Andreas Putra, “Pemikiran Filosofis Pendidikan Ibnu Sina Dan Implikasinya Pada
Pendidikan Islam Kontemporer,” Literasi (Jurnal Ilmu Pendidikan) 6, no. 2 (5 Agustus 2016), h. 191–
201,.191-201.
2Abdullah Nur, “Ibnu Sina: Pemikiran Fisafatnya Tentang Al-Fayd, Al-Nafs, Al-
Nubuwwah, Dan Al-Wujûd,” Hunafa: Jurnal Studia Islamika 6, no. 1 (15 April 2009), h. 105–16.
2. Ibnu Khaldun
a. Biografi Ibnu Khaldun
Nama lengkap ibnu khaldun adalah Abdurahhman Zaid Waliudin Ibnu
Muhammad bin Muhammad Ibnu Al-hassan bin Jabir Ibnu Ibrahim Ibnu
Abdirahmman Ibnu khaldun Al-khadlrami Al-tunisi lalu Termashur dengan
nama ibnu khaldun. Beliau di lahirkan pada tanggal 27 mei 1332 M/734H di
tunisia dari keluarga arab dan spanyol dan beliau di kenal sebagai sejarahwan
dan bapak sosiologi islam beliau hafal al-qur’an sejak dini.4
3. Al-kindi
a. Biografi Al-Kindi
Nama lengkap Al-Kindi adalah abu yusuf yakub ibn ishaq ibn shabbah
ibn imran ibn ismail al-ash’ats ibn qais al kindi. Beliau lahir di kufah , iraq
3Deswita Deswita, “Konsep Pemikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan Akhlak,” Ta’dib 16,
no. 2 (28 September 2016), h. 168–76.
4 Choirul Huda, “Pemikiran Ekonomi Bapak Ekonomi Islam; Ibnu Khaldun,” Economica:
sekarang, pada tahun 801 M meninggal pada tahun 873 M . Al kindi pelopor
dalam ilmu pengetahuan.Beliau belajar belajar Al-Qur’an, membaca, menulis,
dan berhitung. Beliau mahir dalam dalam berbagai ilmu yaitu, kedokteran
,filsafat, astronomi,geometri, ilmu hitung, dan ilmu logika.7
4. Al-Khawarizmi
a. Biografi Al-Khawarizmi
Al-khawarizmi adalah tokoh ilmuan muslim yang konsen di bidang
matematika dan memberikan di bidang al jabar. Nama lengkap beliau adalah
Abu Jafar Muhammad bin Musa Al-khawarizmi. Beliau adalah matematikawan
mengajarkan al jabar dengan elementer. Beliau dilahirkan pada tahun 780 dan
beliau meninggal pada tahun 850 di baghdad. Beliau bekerja sebagai dosen di
sekolah kehormatan di baghdad. Al-Khawarizmi di juluki sebagai bapak al jabar.
beliau ahli matematika,astronomi,astrologi,dan geografi.9
7 Muhammad Asrul Pattimahu Ma, “Filosof Islam Pertama (Al-Kindi),” Konfrontasi: Jurnal
Kultural, Ekonomi Dan Perubahan Sosial 6, no. 1 (2017), h. 1–9.
8 Abu Bakar Madani, “Pemikiran Filsafat Al-Kindi,” Lentera 17, no. 2 (2015), h. 109.
9 Fathurrahman Muhtar, “Abu Abdullah Ibn Musa Al-Khawarizmi (Pelopor Matematika
Dalam Islam),” Beta: Jurnal Tadris Matematika 7, no. 2 (28 November 2014): h. 82–97.
pertengahan, yakni pada masa masa kejayaan dan dalam puncak keemasan
islam. Selain itu Al-Khawarizmi di pengaruhi dalam perkembangan matematika
dan al jabar. Pola pemikiran beliau juga tersusun di dalam karya-karya beliau.10
5. Al-Ghazali
a. Biografi Al-Ghazali
Al-Ghazali yang bernama lengkapkan Abu Hamid Muhammad Ibn
Muhammad ibn Muhammad Ibn Muhammad Al tusi Al-Ghazali, beliau
dilahirkan di tus, dekat masyhad,khurusan, pada tahun 450 H ata 1058 M. Dan
sosok ayah yang penenun wol (ghazzal), sehingga beliau di juluki sebagai Al-
Ghazali. Ia wafat pada 11 jumadil akhir 505H bertepatan dengan tanggal 1
desember 111M. Al-Ghazali mempelajari ilmu ushuludin, ilmu fiqih,ilmu
mantiq, ilmu akidah ahlak, usul fiqh ,dan filstafa.12
Ilmu Astronomi Islam,” International Journal Ihya’ ’Ulum al-Din 20, no. 1 (2 Agustus 2018), h. 63–86.
11 Riana Afliha Eka Kurnia, “Teori Aljabar Al-Khawarizmi,” Jurisdictie 0, no. 0 (20 November
2012), h. 164-165.
12 Agung Setiyawan, “Konsep Pendidikan Menurut Al- Ghazali Dan Al-Farabi (Studi
Komparasi Pemikiran),” Tarbawiyah Jurnal Ilmiah Pendidikan 13, no. 01 (16 Mei 2016), h. 51–71.
13 Eko Setiawan, “Konsep Pendidikan Akhlak Anak Perspektif Imam Al Ghazali,” Jurnal
kepada diri sendiri mapun kepada orang lain dan terhadap lingkungan serta
kepada bangsa dan tanah air.14
c. Karya-karya Al-Ghazali
Al-Ghazali telah menulis 70 ribu lebih terbesar diantaranta yaitu,
keruntuhan para filosuf (tahafutul falasifah), ibnu rusyd telah mebantah tentang
buku Al-Ghazali yaitu buku yang berjudulkan runtuhnya keruntuhan (tahafu
tahafutul falasifah). Lalau karaya terbesar beliau adalah buku yang berjudul
fatihatul ulum yaitu buku yang berisi pandangan yang mengenai persoalan
tentang pendidikan. Lalu karya terbesar beliau adalah ihya ulummudin
(menghidupakan ilmu agama), karya ini berisi tentang paduan yang indah
antara fiqih,tasawuf, filasafat. Karya Al-ghazali bukan saja hanya terkenal di
kalangan kaum muslim tetapi juga di kalangan dunia barat.15
C. Simpulan
Jadi pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk peserta didik,
supaya peserta didik menuju kearah kedewasan dan membentuk
watak,sifat,akal, dan prilaku dari peserta didik. Tujuan dari pendidikan adalah
untuk membentuk ahlak, prilaku dari peserta didik tersebut. Supaya perserta
didik mempunyai karakter dan bersikap baik terhadap diri sendiri maupun
terhadap orang lain. Di dalam ilmu pendidikan mempunyai sosok tokoh-tokoh
islam dalam ilmu pendidikan yaitu seperti, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Al-Kindi,
Al-Khawarizmi, dan Al-Ghazali. Dari beberapa tokoh di atas beliau semua
adalah tokoh yang sangat penting dan berpengaruh didunia didalam ilmu
pendidikan.
Referansi:
Deswita, Deswita. “Konsep Pemikiran Ibnu Sina Tentang Pendidikan Akhlak.”
Ta’dib 16, No. 2 (28 September 2016): 168–76.
Huda, Choirul. “Pemikiran Ekonomi Bapak Ekonomi Islam; Ibnu Khaldun.”
Economica: Jurnal Ekonomi Islam 4, No. 1 (31 Mei 2013): 103–24.
Kurnia, Riana Afliha Eka. “Teori Aljabar Al-Khawarizmi.” Jurisdictie 0, No. 0 (20
November 2012).
Ma, Muhammad Asrul Pattimahu. “Filosof Islam Pertama (Al-Kindi).”
Konfrontasi: Jurnal Kultural, Ekonomi Dan Perubahan Sosial 6, No. 1 (2017):
1–9.
Madani, Abu Bakar. “Pemikiran Filsafat Al-Kindi.” Lentera 17, No. 2 (2015).
14 Dedi Wahyudi dan Nelly Agustin, “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Mata
Pelajaran Akidah Akhlak Dengan Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Naturalistik
Eksistensial Spiritual,” Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 9, no. 1 (8 Juni 2018), h. 37–59.
15 Sumanto, “Tuhan Dalam Pandangan Filosuf (Studi Komparatif Arestoteles Dengan Al-
Kindi).” h. 83-90.
Zahdi Taher
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro
Email: zahdi@metrouniv.ac.id
Abstract
Kitab Kuning is a book that becomes an identity in a learning of Islamic values in a
pesantren. Because pesantren is a place for a person to insist on knowledge taught
directly by a cleric or religious teacher, as the oldest educational model and learning
system in Indonesia. The pesantren has also undergone a transformation due to social
change that is developing so fast. The learnig methods are methods to compere in the
midst of global currents to counteract the flourishing of radicalism in yhe era of
modernization the can affect many generations. The yellow book has existed very much
since before independence, precisely in the colonial era, this book has become a means of
educating Muslims in the field of religion. Also the role of Pesantren which is at the
forefront in preserving the yellow book treasury, which consist of various materials such
as fiqh, monotheism, interpretation, hadith, morals, to sufism, This research uses
literature study with a historical approach, which is a method for gathering informaton
relevant to the topic or problem thar is the object of research, then brought to the present.
This research is expected to be able to add knowlwdge in the study of the yellow book that
can give birth to the attitude of tasamuh in every santri.
Keywords: Yellow Book, Pesantren, Radicalism
Abstrak
Kitab Kuning adalah buku yang menjadi identitas dalam pembelajaran nilai-nilai Islam
di sebuah pesantren. Karena pesantren adalah tempat bagi seseorang untuk menuntut
ilmu yang diajarkan langsung oleh seorang ulama atau guru agama, sebagai model
pendidikan tertua dan sistem pembelajaran di Indonesia. Pesantren juga telah mengalami
transformasi karena perubahan sosial yang berkembang begitu cepat. Metode
pembelajaran adalah metode untuk bersaing di tengah arus global untuk menangkal
berkembangnya radikalisme di era modernisasi yang dapat mempengaruhi banyak
generasi. Buku kuning sudah ada sejak sebelum kemerdekaan, tepatnya di era kolonial,
buku ini telah menjadi sarana mendidik umat Islam di bidang agama. Juga peran
Pesantren yang berada di garis depan dalam melestarikan perbendaharaan buku kuning,
yang terdiri dari berbagai bahan seperti fiqh, tauhid, interpretasi, hadits, moral, hingga
tasawuf. Penelitian ini menggunakan studi literatur dengan pendekatan historis, yang
merupakan metode pengumpulan informasi yang relevan dengan topik atau masalah
yang menjadi objek penelitian, kemudian dibawa ke masa kini. Penelitian ini diharapkan
dapat menambah pengetahuan dalam studi buku kuning yang dapat melahirkan sikap
tasamuh di setiap santri.
Kata kunci: Buku Kuning, Pesantren, Radikalisme
A. Pendahuluan
Kitab kuning adalah sebuah alat untuk mencerdaskan anak bangsa
melalui pendidikan pesantren. Pesantren adalah model pendidikan tertua di
Indonesia. Keberadaan pesantren di penjuru dunia serta sistem-sistem
pendidikan yang ada saat ini adalah eksistensi pesantren tidak lapuk digerus
Zahdi Taher Pembelajaran Kitab kuning...
zaman dengan segala sesuatu perubahan yang ada. Kitab kuning juga
merupakan variabel penting yang mempunyai posisi menarik di dalam
membedakan muslim tradisionalis dengan modernis. Tradisionalis yaitu
kelompok muslim yang identik dengan santri-santri pondok salaf di dalam
pesantren yang sangat kuat dengan tradisi kitab kuningnya yang sangat dekat
beragam pembelajaran seperti fikih, tauhid, tafsir, hadis, akhlak, dan tasawuf.
Sedangkan kelompok modernis terdiri dari ulama atau para pelajar muslim yang
tertarik dengan gagasan pemurnian ajaran Islam yang mempunyai konsep
purifikasi keagamaan. Perbedaan ini semakin lama semakin terlihat dengan jelas
seiring dengan polarisasi dan preferensi politik kedua kelompok ini. Peran Kitab
Kuning sangatlah penting didalam bemberantas atau menangkal radikalisme di
dalam agama Islam, karena sampai sekarang kitab kuning tersebut masih
dipelajari oleh banyak generasi muda muslim terutama bagi para santri yang
menuntut ilmu melalui pesantren-pesantren yang ada di Indonesia ini.1 Karena
Pesantren di sini mempunyai peran yang sangat penting sebagai garda terdepan
dalam pelestarian khazanah kitab kuning di bumi Nusantara di dalam
menangkal radikalisme ini yang mana sudah mencapai pada taraf yang sangat
menghawatirkan.2 Kekuasaan kolonial di Jawa ini masih sangatlah kuat, artinya
ada banyak persoalan kesejahteraan yang menjadi masalah nyata umat Islam
saat itu. Beberapa masalah nyatanya yaitu fakta maraknya radikalisme dan
intoleransi yang terjadi di Indonesia, bahwa pelakunya adalah alumni pesantren
atau aktivis majelis taklim sehingga pesantren menjadi ciri negatif yang
menempel pada diri seseorang karena adanya pengaruh dari lingkungannya
atau sebagai pelaku radikalisme.3 Pembahasan ini yangat penting untuk dikupas
guna mengetahui bagaimana kebenaran dan pembahasannya secara lengkap
serta bengetahui apa saja hal-hal terpenting mengenai peran kitab kuning dalam
menangkal radikalisme yang ada di Indonesia ini.
B. Pembahasan
1. Ruang Lingkup Kitab Kuning
Kitab kuning adalah kitab klasik yang ada di pesantren-pesantren dimana
pola pengajarannya di didik langsung oleh seorang ustad atau kiyai, karena
perkataan kiyai atau perbuatannya tidak jarang dijadikan pedoman oleh para
santri, dan bahkan bukan hanya santri saja yang menjadikan kiyai sebagai
1 Ali Muqoddas, “Syeikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi Ilmuan Spesialis Ahli Syarah
Kitab Kuning,” Tarbawi : Jurnal Pendidikan Islam 11, No. 1 (1 Januari 2014): 2–4,
Https://Doi.Org/10.34001/Tarbawi.V11i1.186.
2 Fathur Rohman, “Pendidikan Islam Anti Radikalisme Melalui Nadham (Telaah
Kitab Shifa’ Al-Ummah Karya Kh. Taufiqul Hakim Bangsri Jepara),” Tadris: Jurnal
Pendidikan Islam 13, No. 1 (30 Juni 2018): 2, Https://Doi.Org/10.19105/Tjpi.V13i1.1757.
3 Afwah Mumtazah, “Kajian Multikulturalisme Dalam Kitab Kuning,” Jurnal
panutan, yaitu para masyarakat sekitar juga.4 Karena kiyai tidak hanya sekedar
membacakan dan menterjemahkan teks saja, tetapi juga memberikan mengenai
bagaimana saja pandangan-pandangan (interpretasi) pribadi secara faktual, baik
mengenai isi maupun bahasa pada teks tersebut dengan menerjemahkan kata
demi kata, kemudian dilengkapi dengan uraian panjang mengenai maksud dari
pada kalimat-kalimat tersebut yang disertai contoh-contohnya dalam kehidupan
masyarakat dalam pemahaman agama tersebut, dan setelah itu juga akan
diberikan oleh ustad penguatan yang harus dimiliki oleh setiap santri yaitu
berupa motivasi-motivasi dan semangat untuk menjaga dan menjalankannya.5
Yang kemudian menumbuhkan nilai-nilai keagamaan dalam jiwa seorang santri
dengan tidak menggunakan cara kekerasan yang dapat menimbulkan
kemunculan paham radikalisme dalm diri seorang santri karena adanya
pengaruh dari pihak lain.6
Mengapa dinamakan kitab kuning karena tulisannya dicetak pada sebuah
kertas berwarna kuning sebagai ciri khas dan penamaannya, juga sebagaimana
tradisi awal kitab itu dicetak dan dibukukan ditunjukkan bahwa kitab kuning
adalah suatu alat atau media pembelajaran adab yang sudah melalui proses serta
perubahan-perubahan karena adanya interaksi. Peran kitab kuning dalam
pesantren sangatlah strategis. Karena pada umumnya, kitab kuning menjadi
pelajaran wajib pesantren dengan beragam tema yang kemudian diterapkan
dalam pembelajaran, seperti: fikih, tauhid, tafsir, hadis, tasawuf, nahwu, shorof,
dan lain sebagainya. Yang kemudian diajarkan kepada santri secara berurutan,
dimulai dari yang paling ringan, sedang, hingga yang secara mendalam.
Semangat anti radikalisme yang tidak bisa lepas dari diri seorang santri,
masyarakat atau kalangan lainnya. Adapun nilai-nilai dasar yang menjadi
keyakinan serta terapan di dalam pesantren yaitu meliputi ajaran Ahl al-Sunnah
wal-Jama’ah yang didalamnya mengajarkan tentang prinsip toleransi terhadap
sesama, sederhana didalam kehidupan, serta penuh dengan keseibangan dalam
hidupnya. Karena dalam dunia pesantren, aspek kemandirian betul-betul
ditekankan kepada para santri. Kesehariannya ia lalui hari-harinya dalam sebuah
asrama yang terpisah dengan orang tua. Segala macam aktivitas dilakukan
secara mandiri didalam pondok pesantren, lengkap dengan perilaku hariannya
yang lebih mengajarkan sikap sosial dibandingkan dengan pembelajaran di
sekolah umum kepada para santri. Didalam ranah kehidupan di pesantren,
Pesantren Salaf,” Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 19, No. 2 (6 Desember
2011): 15–19, Https://Doi.Org/10.21580/Ws.19.2.159.
5 Abdul Malik, Ajat Sudrajat, Dan Farida Hanum, “Kultur Pendidikan Pesantren
Dan Radikalisme,” Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi Dan Aplikasi 4, No. 2 (2016): 4–
7, Https://Doi.Org/10.21831/Jppfa.V4i2.11279.
6 Ahmad Fawaid, “Survei Bibliografi Kajian Tafsir Dan Fikih Di Pondok Pesantren:
Kajian Atas Materi Radikalisme Dalam Literatur Pesantren Dan Respon Kiai
Terhadapnya,” Proceedings Of Annual Conference For Muslim Scholars, No. Series 1 (22
April 2018), h. 6.
seorang santri memang sudah dilatih atau digembleng dari sejak dini untuk
mandiri, serta saling bekerja sama antar sesama.. Kegiatan harian semisal
mempersiapkan makanan dilakukan bersama-sama. Oleh karena itu di era
modernisasi seperti ini jangan sampai meninggalkan kajian-kajian yang ada di
dalam kitab tersebut, guna terhindar dari gerakan-gerakan radikalisme yang
sangat menghawatirkan di era seperti ini.7
Kitab kuning menjadi ruh ataupun jiwa pembelajaran pesantren, juga
sebagai pemandu pembelajaran sorogan kitab kuning bagi para santri di sebuah
pesantren. Pembelajaran sorogan juga dipakai dalam metode ini tujuannya
untuk melatih keterampilan santri di dalam mengomunikasikan kajian ataupun
kandungan yang terdapat dalam ajaran kitab kuning tersebut. Kitab kuning yang
dipilih diantaranya adalah al-Ghoyah wa al-Taqrib untuk santri tahun kedua dan
Fatḥal-Qorib al-Mujib untuk santri tahun ketiga.8 Dan menjadi identitas
karakteristik pesantren itu sendiri sebagai alat pembelajaran dari sebuah
subkultur tersebut. Tanpa adanya kitab kuning, tradisi pengetahuan bangsa di
Indonesia tidak akan keluar dari jeratan sufi ataupun fikih ekstrem.9 Dengan
demikian, kitab kuning ini di dalam pesantren ialah, suatu ajaran yang bisa
menjadi landasan atau acuan seorang santri didalam memahami sekaligus
merumuskan kembali pemikiran keislaman dalam merespon kemajuan.
Keberadaan kitab kuning juga menjadi sangat penting yang harus dipelajari di
kalangan santri karena dijadikan sebagai pedoman tata cara beragama,
difungsikan sebagai maraji’atau sumber rujukan universal dalam menyikapi
segala problem kehidupan. Pesanten dengan identitas keagamaan dipandang
eksklusif dan tidak bisa kompromistis untuk melahirkan santri yang anti raikal,
anti kekerasan, bermoral, santun dan jujur.10
Mu’āmalāt Berbasis Kitab Kuning,” Nazhruna: Jurnal Pendidikan Islam 3, No. 1 (1 Maret
2020): 2–5, Https://Doi.Org/10.31538/Nzh.V3i1.522.
9 Dian Mohammd Hakim, “Transformasi Kurikulum Pesantren Melalui Metode
Lamongan,” Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi Dan Pemikiran Hukum Islam
11, No. 1 (20 September 2019): 6–7, Https://Doi.Org/10.30739/Darussalam.V11i1.448.
Nilai-Nilai Luhur Pancasila,” Fikri : Jurnal Kajian Agama, Sosial Dan Budaya 3, No. 1 (31 Juli
2018): 7–8, Https://Doi.Org/10.25217/Jf.V3i1.275.
12 Muh Sya’roni, “Strategi Integrasi Pendidikan Anti Radikalisme Dalam Kurikulum
Counter-Radikalisme,” Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 23, No. 1 (15 Juni
2015): 4–6, Https://Doi.Org/10.21580/Ws.23.1.227.
16 Tsabita Shabrina Alfanani, “Konstruksi Sosial Komunitas Pesantren Mengenai Isu
Radikalisme (Studi Kasus Pada Pesantren Salaf & Modern Di Kota Malang),” Jurnal
Sosiologi Agama 10, no. 2 (20 Juli 2017): 2–7, https://doi.org/10.14421/jsa.2016.102-01.
17 Abu Rokhmad, “Radikalisme Islam Dan Upaya Deradikalisasi Paham Radikal,”
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan 20, No. 1 (30 Mei 2012): 2–5,
Https://Doi.Org/10.21580/Ws.20.1.185.
C. Simpulan
Kitab Kuning ini adalah suatu kitab yang lebih dari 1000 kitab, yang amat
banyak sekali karagannya, misal satu imam saja sebagai contoh seperti Imam
Nawawi Al-bantani mempunyai tafsir munir 4 jilid, satu orang pun mempunyai
kitab sebanyak 115 kitab dan masalah-masalah yang dikaji salah satunya
menangkal radikalisme-radikalisme yang ada di Indonesia ini dengan penerapan
pembelajaran akhlak dan ilmu tasawuf yang selalu digabungkan. Dan adapun
upaya memahami radikalisme dan anti radikalisme di dunia pesantren dengan
pendekatan logika dialektik, dialektika radikalisme dan antiradikalisme dalam
kehidupan pesantren bergerak pada aras wacana dan praksis. Keduanya saling
Pendidikan Islam Substantif,” Nadwa: Jurnal Pendidikan Islam 12, No. 1 (2018), h. 2–6.
20 Thohir Yuli Kusmanto, Moh Fauzi, Dan M. Mukhsin Jamil, “Dialektika
terkait sebagai realitas yang seringkali kontradiktif dan saling memperkuat maka
tidak bisa keluar dari cara berpikir yang melihat inti segala sesuatu adalah
kontradiksi, baik di dalam alam maupun di dalam kehidupan manusia. Oleh
karena itu, kontradiksi adalah segala sesiatu atau tindakan yng berpust pada
alam. Proposisi tersebut sangat relevan untuk menjelaskan dinamika radikalisme
dan anti radikalisme di pesantren maupun oleh masyarakat sekitar pesantren
sebagai sesuatu diantara realitas nyata dan tidak nyata. Adapun yang perlu
dipraktekkan yaitu berupa nilai-nilai kehidupan di dalam keseharian santri itu
sendiri, sehingganya hal tersebut membentuk suatu kebudayaan dan peradaban
yang budaya tersebut mempunyai ciri khas tersendiri itulah yang memebedakan
tradisi pendidikan pesantren dengan tradisi yang terdapat pada lembaga
pendidikan lainnya. Pembelajaran Kitab kuning di dalam pesantren itu bisa
menjadi landasan bagi para santri untuk terus menjadikan kitab kuning sebagai
acuan di dalam memahami sekaligus usaha respon terhadap kemajuan yang
merumuskan kembali pemikiran keislaman. Keberadaan kitab kuning juga
menjadi sangat penting yang harus dipelajari di kalangan santri karena dijadikan
sebagai pedoman tata cara beragama, difungsikan sebagai maraji’atau sumber
rujukan universal dalam menyikapi segala problem kehidupan. Pesanten dengan
identitas keagamaan dipandang eksklusif dan tidak bisa kompromistis untuk
melahirkan santri yang anti raikal, anti kekerasan, bermoral, santun dan jujur.
Referensi:
Alfanani, Tsabita Shabrina. “Konstruksi Sosial Komunitas Pesantren Mengenai
Isu Radikalisme (Studi Kasus Pada Pesantren Salaf & Modern Di Kota
Malang).” Jurnal Sosiologi Agama 10, No. 2 (20 Juli 2017): 1–24.
Https://Doi.Org/10.14421/Jsa.2016.102-01.
Andari, Ken, Dadang Rahmat Hidayat, Dan Efi Fadilah. “Konstruksi Majalah
Gatra Tentang Radikalisme Di Pesantren.” Students E-Journal 1, No. 1
(2012): 18.
Dirdjosanjoto, Pradjarta. Memelihara Umat ; Kiai Pesantren-Kiai Langgar Di
Jawa. Lkis Pelangi Aksara, 1997.
Fawaid, Ahmad. “Survei Bibliografi Kajian Tafsir Dan Fikih Di Pondok
Pesantren: Kajian Atas Materi Radikalisme Dalam Literatur Pesantren
Dan Respon Kiai Terhadapnya.” Proceedings Of Annual Conference For
Muslim Scholars, No. Series 1 (22 April 2018): 161–72.
Hakim, Dian Mohammd. “Transformasi Kurikulum Pesantren Melalui Metode
Pembelajaran Kitab Kuning Dalam Mengembangkan Pesantren : Studi
Kasus Di Pondok Pesantren Al-Hikam Malang.” Jurnal Andragogi 1, No.
2 (10 Januari 2020): 39–49.
Halim, Abdul. “Pendidikan Pesantren Dalam Menghadapi Tantangan
Radikalisme.” Falasifa : Jurnal Studi Keislaman 8, No. 1 (19 Maret 2017):
165–78.
Petunjuk Penulisan
1. Naskah ditulis rapi dengan program Microsoft Word (Rich Text Format) pada kertas berukuran A4 (satu sisi), dan setiap
lembar tulisan diberi nomor halaman dengan jumlah halaman maksimal 20. Jarak spasi 1,15 kecuali abstrak dan daftar
pustaka yang mempunyai jarak spasi 1. Model huruf yang digunakan adalah Book Antiqua dengan font 11 kecuali judul
berupa huruf kapital dengan font 14. Margin masing-masing adalah 3, 4 3, 3 cm. Naskah diserahkan dalam bentuk soft copy
dan hard copy;
2. Naskah yang ditulis dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris mencantumkan abstrak, dan sebaliknya dengan jumlah
kata antara 150 sampai 200. Kata kunci harus dipilih untuk menggambarkan isi makalah dan paling sedikit 4 (empat) kata
kunci;
3. Sistematika artikel hasil penelitian:
a. Judul,
b. Nama penulis (tanpa gelar akademik), nama lembaga/institusi, dan email,
c. Abstrak,
d. Kata kunci,
e. Pendahuluan (latar belakang dan dukungan kepustakaan yang diakhiri dengan tujuan penelitian),
f. Metode,
g. Hasil,
h. Pembahasan,
i. Simpulan dan saran,
j. Ucapan terima kasih (bila ada),
k. Daftar rujukan/daftar pustaka (hanya memuat sumber yang dirunjuk), dan
l. Lampiran (bila ada)
4. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka mutakhir (terbitan 10 tahun terkahir) dan diutamakan dari sumber
data primer berupa artikel-artikel penelitian dalam jurnal atau majalah ilmiah dan/atau laporan penelitian;
5. Daftar rujukan (pustaka) disusun dengan tata cara seperti contoh berikut, dan diurutkan berdasarkan nama penulis secara
alfabetis. Berikut adalah contoh-contoh pustaka dari berbagai sumber.
(a) Buku
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press, Bogor.
(b) Buku Kumpulan Artikel
Dahuri, R. dan Sulistiono. (eds.). 2004. Metode dan Teknik Analisa Biota Perairan. (edisi ke-2, cetakan ke-1). Lembaga
Penelitian IPB, Bogor.
(c) Artikel Dalam Buku Kumpulan Artikel
Huffman, G.J., R.F. Adler, D.T. Bolvin, and E.J. Nelkin. 2010. “The TRMM Multi-satellite Precipitation Analysis
(TMPA)”. In M. Gebremichael and F. Hossain (Ed.). Satellite Rainfall Applications for Surface Hydrology (pp. 3-22).
Springer Verlag, Netherlands.
(d) Artikel Dalam Jurnal atau Majalah
Haylock, M. and J.L. McBride. 2003. “Spatial coherence and predictability of Indonesian wet season rainfall”.
Journal of Climate, 14. 3882–3887.
(e) Artikel Dalam Dokumen Resmi
KLH. 1997. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kementrian Lingkungan
Hidup Republik Indonesia, Jakarta.
(f) Buku Terjemahan
Hempel, L.C. 1996. Pengelolaan Lingkungan: Tantangan Global. Terjemahan oleh Hardoyo dan Jacobs. 2005. Penerbit
Kanisius,Yogyakarta.
(g) Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian
Rastina, I.K. 2004. Studi Kualitas Air Sungai Ho Kabupaten Tabanan, Bali. Tesis. Program Pascasarjana Universitas
Udayana, Denpasar.
(h) Makalah Seminar, Lokakarya, Penataran
Waseso, M.G. 2001. “Isi dan Format Jurnal Ilmiah”. Makalah disajikan dalam Seminar Lokakarya Penulisan Artikel
dan Pengelolaan Jurnal Ilmiah. Universitas Lambungmangkurat, Banjarmasin tanggal 9-11 Agustus 2001.
(i) Prosiding
Franke, J. and D.D. Lichti. 2008. MillMapper - A Tool for Mill Liner Condition Monitoring and Mill Performance
th
Optimization. Proceedings of the 40 Annual Meeting of the Canadian Mineral Processors. Ottawa-Canada, 22-24
January 2008. 391-400.
(j) Artikel Dalam Internet (bahan diskusi)
USGS. 2010. Water Quality. http://ga.water.usgs.gov/edu/waterquality.html. diakses tanggal 15 Desember 2010.
(k) Artikel atau berita dalam Koran
Bagun, R. 31 Juli 2006. Identitas Budaya Terancam. KOMPAS, hlm 40.
Nusa Bali. 31 Juli 2006. Mengukur Kedasyatan Tsunami di Laut Selatan Bali. hlm. 1 & 11.