Anda di halaman 1dari 8

Nama : Irfan Nazori

NIM : 1810103026

Resume BAB II

Ijtihad dan Pemecahan Masalah Kontemporer

A. Pengertian Ijtihad
Secara bahasa ijtihad ‫ اجتهاد‬berasal dari kata ‫ الجهد‬yang berarti ‫الطاقة‬
artinya upaya yang sungguh-sungguh. Kata ijtihad tidak boleh dipakai kecuali
dalam persoalan yang memang berat dan sulit.
Kata ijtihad harus dipakai dalam persoalan-persoalan yang sulit dan
hissi (fisik) seperti suatu perjalanan. Atau persoalan-persoalan yang sulit
secara ma’nawi (nonfisik) seperti melakukan penelaah teori ilmiah atau upaya
mengistinbatkan hukum. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam artian
bahasa, ijtihad menunjukkan pada usaha yang sungguh-sungguh. Atas dasar
ini, tidaklah tepat apabila kata ijtihad itu digunakan untuk melakukan sesuatu
kegiatan yang ringan.
Dalam pengertian istilah, menurut Al-Ghazali (w.505 H). Bahwa
ijtihad secara umum adalah :
‫بذل المجتهد وسعه في طلب الغلم بأ حكام اشريعه‬
“Pengerahan kemampuan oleh mujtahid dalam mencari pengetahuan tentang
hukum syara’.”
Dalam arti yang sempurna (al—tamm), pengertian ijtihad itu, kata al-Ghazali,
harus ditambah dengan pernyataan “Perasaan kurang mampu untuk mencari
tambahan kemampuan”.
B. Fungsi Ijtihad
Urgensi upaya ijtihad sendiri dapat dilihat dar fungsi ijtihad itu sendiri
yang terbagi menjadi tiga jenis, yakni:
1. Fungsi al-ruju’ atau al-i’adahdb (kembali), yakni mengembalikan ajaran
Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Shalihah dari
segala interpretasi yang dimungkinkan kurang relevan.
2. Fungsi al-Ihya’ (kehidupan), yang bermaksud menghidupkan kembali bagian-
bagian dari nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab dan
menghadapi tantangan zaman, sehingga Islam mampu sebagai furqan, hudan,
dan rahmatan lil ‘alamin.
3. Fungsi al-Inabah (pembenahan), yang bermaksud membenahi ajaran-ajaran
Islam yang telah diijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya
kesalahan menurut konteks zaman, keadaan, dan tempat yang kini kita hadapi.

C. Syarat-Syarat Ijtihad
Nadia Syarif al-Unari dalam bukunya Al-ijihad fi al-Islam menyatakan bahwa
rukun melakukan ijtihad terdapat empat jenis, yaitu:
1. Al – waqi, yaitu adanya kasus yang menimpa, yang belum diterangkan dalam
nash, atau kasus yang diduga keras akan terjadi kelak, sehingga wilayah
ijtihad tidak terbatas masalah yang terjadi, tetapi juga mencakup masalah-
masalah yang belum terjadi, baik yang terpikirkan, tak terpikirkan, atau belum
terpikirkan.
2. Mujtahid, yaitu seseorang yang melakukan ijtihad yang mempunyai
kompetensi untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid Fih, yaitu hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
Dalil Syara, yaitu menentukan suatu bukum bagi mujtahid fikih.
Menurut Nadia Syarif a-Umari menyebutkan pembagian syarat-syarat
untuk menjadi seorang mujtahid terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Pada dasarnya perkataan itu diartikan menurut arti Syarat umum, terdiri atas
Muslim, baligh dan sehat pikiran serta dhabit (kuat ingatannya).
2. Syarat keahlian dan profesionalitas mujtahid
a. Syarat - syarat pokok yang terdiri dari:
 Penguasaan terhadap Al - Qur'an, Ulumul Qur'an, ayat - ayat ahkam,
asbab al - nuzul, serta nasikh mansukh-nya, pendapat jumhur ulama.
 Penguasaan terhadap Sunnah, Ulumul Hadis, Hadis - hadis ahkam,
asbab al - wurud, dan sebagainya, dengan demikian ia mengetahui mana
Hadis sahih, hasan, dan dhaif, serata mana perawih yang adil dan jarkh.
 Penguasaan terhadap ilmu bahasa Arab termasuk Nahwu, Sharaf,
Balaghah. Fiqh Lughah. Adab al - Jahily, dan Mantiq.
 Penguasaan ijma’ ulama yang ditetapkan sehingga hasil ijtihadnya nanti
tidak tumpang tindih
b. Syarat - syarat pelengkap (penyempurnaan)
 Mengetahui hukum "Bara’ah Asliyah" yakni hukum asal sesuatu.
Misalnya kaidah tentang:
 Pada dasarnya seseorang itu bkata hakikatnya;
 Pada dasarnya segala sesuatu yang terkait dengan muamalah itu
mubah (boleh);
 Pada dasarnya larangan itu itu haram hukumnya;
 Pada dasarnya menyadarkan peristiwa baru itu kepada waktu
terjadinya yang terdekat;
 Asal dalam ibadah itu menurut ketentuan Tuhan (tauqifi) dan
mengikuti Sunnah Rasul (itba’)
 Pada dasarnya ibadah itu tidak diterima, kecuali ada perintah untuk
melakukannya;
 Pada dasarnya muamalah itu sah kecuali ada larangan.
 Mengetahui substansi syari’ah, sehingga pemahaman ayat-ayat Al-
Qur'an atau Sunnah tidak hanya teksnya saja, tetapi yang penting dari itu
adalah substansi yang dikehendaki, walaupun pemaknaan ini
mengandung unsur subjektivitas;
 Mengetahui kaidah- kaidah umum (qawaid al-kulliyah) Misalnya kaidah
– kaidah ushul, kaidah-kaidah fiqhiyah, dan kaidah-kaidah lainnya;
 Mengetahui masalah- masalah khilafiyah yang sebelumnya telah
diperdebatkan oleh ulama. Misalnya mengetahui lafal musytarak
"qur'un” bisa berarti suci atau haid.
 Mengetahui tradisi tiap negara, karena tradisi itu dapat menetapkan
hukum;
 Mengetahui ilmu mantiq beserta balghan-nya.
 Mempunyai keadilan dan kesalehan, seorang mujtahid dalam berijtihad
tidak dilatarbelakangi oleh nafsu politik, ekonomi, sosial dan
sebagainya.
 Mempunyai metode yang baik dalam pemecahan suatu kasus;
 la wara 'dan iffah, sehingga terhindar dari perbuatan yang menurunkan
derajat sebagai seorang mujtahid;
 Mempunyai penalaran yang tinggi dalam menganalisis suatu masalah;
 Selalu bertaqarrub dan berdoa kepada Allah SWT agar terhindar dari
kesalahan dalam berijtihad;
 Hasil ijtihadnya tidak dapat dipercaya dan ia sudah dikenal oleh
kebanyakan manusia akan keahliannya;
 Antara perbuatan dan pendapatnya terjadi relevansi.

D. Lapangan Ijtihad
Bertitik tolak dari pengertian ijtihad yang dikemukakan oleh para
ulama sebagai penulis kutip pada uraian awal bab ini, maka dapat dikatakan
bahwa secara umum lapangan atau objek ijtihad itu adalah pencapaian atau
penggalian hukum-hukum syara’ (al-ahkam al syar’iyyah) yang tidak
ditegaskan oleh nash-nash yang Dzanni (tidak tegas). Penekanan pada nash-
nash yang tidak tegas ini, antara lain dapat diambil isyarat bahasa yang
dipakai dalam definisi ijtihad yang dikemukakan oleh para ulama. Wahbah al-
Zuhaili mengatakan bahwa yang tidak boleh menjadi lapangan ijtihad ialah
masalah hukum yang sudah ditetapkan dengan dalil-dalil yang qath’i al-subut
(pasti penyampaiannya) dan qath’i al-dhalalah (pasti pula tunjukkan
kandungannya) seperti kewajiban sembahyang lima waktu, puasa Ramadhan,
zakat, ibadah haji, mengucapkan dua kalimat syahadat, jarimah, zina, minum
khamar, pembunuhan dan pembatasan hukum yang telah ditentukan.
Adapun yang merupakan lapangan ijtihad menurut al-Zuhaili adalah
nash-nash hukum dalam bentuk yang tidak pasti baik penyampainnya maupun
tunjukkan kandungannya. Keluasan lapangan ijtihad itu juga tampak pada
kebolehan penerapannya terhadap nash-nash yang qath’i al-subut maupun
yang qath’i al-dhilalah, sejauh penerapan ijtihad tersebut adalah menggali
maqashid al-syariah.
Apabila pengkategorian nash yang menjadi titik tolak batasan ijtihad,
diidentifikasikan ke dalam dua bidang besar hukum islam, ibadah dan
muamalah, maka terlihat bahwa sebagian besar masalah yang ditunjukkan
oleh nash-nash yang zanni adalah masalah yang termasuk dalam bidang
muamalah. Adapun masalah yang termasuk dalam bidang ibadah diatur
dengan nash-nash yang qath’i dan terperinci, baik dalam al-Qur’an maupun
Hadis.
Dapat dikatakan bahwa objek ijtihad adalah segala sesuatu yang tidak
diatur secara tegas dalam nash dan masalah-masalah hukum yang sama sekali
tidak ditemukan landasan dasarnya, yang sebagian besar masalah muamalah.
Wilayah ijtihad dalam pandangan ulama salaf terbatas dengan masalah
fiqhiyah, namun pada akhirnya wilayah tersebut mengembang pada aspek
keislaman yang mencakup akidah, filsafat, tasawuf, dan fikih itu sendiri.
E. Bentuk Ijtihad Dewasa Ini
Upaya ijtihad dewasa ini berbeda dengan upaya ijtihad pada masa yang lalu.
Hal ini disebabkan persoalan-persoalan yang muncul lebih kompleks.
Pemecahannya memerlukan pendekatan yang tidak hanya pengkajian dari aspek
hukum semata, akan tetapi memerlukan pengkajian dari berbagai disiplin, seperti
ilmu kesehatan, psikologi, ekonomi dan politik.
Melihat kenyataan diatas, bentuk ijtihad yang baik dilakukan adalah ijtihad
jama’i (ijtihad kolektif). Pemikiran yang merupakan produk kerja sama dari
berbagai sudut pandang keilmuwan lebih dapat mendekati kebenaran dan lebih
kuat dari hasil pemikiran secara sendiri dengan hanya satu sudut pandang.
Senada dengan Harun Nasution, yang mengatakan bahwa yang diperlukan
memang ijtihad kolektif, akan tetapi yang lebih dibutuhkan ijtihad kolektif
berskala nasional. Sebab masalah keagamaan yang muncul di zaman kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi ini tidak sama, di samping beragamnya
penafsiran dan pengalaman agama di negara-negara islam.
Sebagai contoh dari ijtihad kolektif, berikut ini dikemukakan tiga fatwa
Majelis Ulama Indonesia. Ketiga contoh dapat dipertajam dengan analisis
maqasid al-syar’iyah.
MUI pada tanggal 1 Juni 1980 memutuskan :
1. Perkawinan wanita Muslimah dengan laki-laki non-Muslim adalah haram
hukumnya.
2. Seorang laki-laki Muslim dilarang mengawini wanita bukan Muslim. Tentang
perkawinan antara laki-laki Muslim dengan wanita ahli kitab terdapat
perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan mafsadahnya lebih besar
dari maslahatnya, maka Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan
tersebut hukumnya haram.
Pengharaman ini bertitik dari pemahaman Al-Qur'an Surat al-Baqarah ayat
221 tentang larangan pria Muslim mengawini wanita musyrikah dan larangan
mengawinkan wanita Muslim dengan laki laki musyrik. Berkaitan dengan hukum
mengawini wanita ahli kitab, sebagai disebut dalam surah al -Maaidah ayat 5,
memang terdapat silang pendapat para ulama, namun melihat realitas sekarang
banyak menimbulkan implikasi yang negatif, maka MUI memutuskan hukum
haram terhadap perkawinan pria Muslim terhadap wanita ahli kitab.
Pengharaman perkawinan berkaitan dengan ahli kitab yang difatwakan oleh MUI
terlalu tegas dan cenderung bertentangan dengan kandungan Al-Qur'an. Agaknya
lebih tepat dikatakan bahwa pada dasarnya perkawinan dengan ahli kitabnya
hukumnya boleh. Akan tetapi, di masa sekarang banyak menimbulkan dampak
negatif, maka dianjurkan perkawinan seperti itu dapat dihindari. Sebab kurang
dapat merealisasikan tujuan perkawinan.
Perkawainan dalam Islam merupakan bagian integral dari ajaran Islam itu
sendiri. Ia tidak hanya dilihat sebagai masalah “muamalah”, akan tetapi juga
masalah ibadah dan akidah.
Tujuan perkawinan secara eksplisit disebut dalam Al-Qur’an ialah mencari
ketenangan. Ketenangan tersebut akan diperoleh apabila terdapat kesamaan
emosional termasuk dalam kategori ini adalah kesamaan agama antara kedua
suami istri tersebut. Apabila hal ini tidak ditemukan sering kali terjadi konflik
dalam rumah tangga. Perkawinan dalam islam tidak sekedar mencari penyaluran
seksual belaka, tetapi merupakan mekanisme embrional menuju terwujudnya
masyarakat Muslim yang saleh.
Atas dasar hakikat tujuan dari perkawinan itu, perkawinan dengan non-
Muslim tidak hanya akan menimbulkan kehancuran keturunan masyarakat
Muslim yang baik, akan tetapi pada gilirannya menghancurkan nilai - nilai
agama itu sendiri. Keputusan MUI agaknya dapat dikatakan bertolak dari al -
nazar ila al-ma’alat (analisis dampak hukum) dari perkawinan Muslim dengan
non-Muslim. Pelarangan itu sendiri terutama berkaitan dengan wanita ahli kitab
yang merupakan upaya itihad dalam bentuk sadd al-zariah, menutup jalan pada
sesuatu yang membahayakan.
Ada sejumlah faktor yang menyebabkan tidak berjalannya upaya penerapan
syari’at Islam di abad modern ini. Pertama, negara-negara Islam sendiri sudah
demikian maju dalam mengikuti modernisasi. Modernisasi ini meliputi bidang-
bidang sosial, politik, pengembangan alat-alat produksi, teknologi, pembangunan
di bidang pemikiran dan kebudayaan dengan laju yang lebih cepat dibandingkan
laju pembaruan di bidang syari’at dan fikih. Kedua, sementara dalam hukum
Barat tidak ditemui, maka dalam menetapkan hukum Islam, akan banyak ditemui
perbedaan pendapat antara beberapa mazhab mengenai masalah-masalah yang
tidak ada dalil yang pasti. Ketiga, hingga sata ini hukum-hukum Islam dan fikih
belum terhimpun secara sistematis, materinya belum disusun secara kronologis
sebagaimana hukum positif. Keempat, zaman modern ini dikenal dengan
spesialisasi, zaman pembidangan secara kritis. Sementara fikih Islam tidak
demikian, seorang fakih dapat saja berbicara mengenai segala hal. Maka bisa saja
seorang fakih akan memutuskan hukum berbagai permasalahan secara terburu-
buru atau menyimpang jauh dan dangkal. Kelima, pada umumnya pembahasan
dalam setiap diskusi, seminar terbatas pada ruang lingkup empat mazhab saja,
padahal tugas besar adalah untuk melakukan ijtihad, menggali hukum dan
menghasilkan pemikiran-pemikiran baru dengan melihat pada realitas dan
tuntutan masyarakat Islam. Maka menyadari hal tersebut, upaya penerapan
syariat Islam di abad modern perlu dilakukan dalam segala segi dan bidang
kehidupan, untuk terwujudnya Muslim yang kaffah sehingga Islam sebagai
Rahmatan Lil ‘Aalaamiin akan bisa diwujudkan.

Anda mungkin juga menyukai