Anda di halaman 1dari 18

A.

PENDAHULUAN
B. DINAMIKA BAHASA

1. Perubahan Bahasa
Terjadinya perubahan bahasa tentunya tidak dapat diamati, sebab
perubahan itu, yang sudah menjadi sifat hakiki bahasa, berlangsung dalam masa
waktu yang relatif lama, sehingga tidak mungkin diobservasi oleh seseorang yang
mempunyai waktu yang relative terbatas. Namun, yang dapat diketahui adalah
bukti adanya perubahan bahasa itu. Ini pun terbatas pada bahasa-bahasa yang
mempunyai tradisi tulis, dan mempunyai dokumen tertulis dari masa-masa yang
sudah lama berlalu. Bahasa Inggris, bahasa Arab, dan bahasa Jawa termasuk
bahasa yang dapat diikuti perkembangannya sejak awal sebab punya dokumen-
dokumen tertulis itu; tetapi banyak bahasa lain yang tidak mengenal tradisi tulis
dan tidak mempunyai dokumen apa pun.
Secara formal orang mengatakan perubahan status nama bahasa Melayu
menjadi bahasa Indonesia, dalam sejarah terbentuknya bahasa Indonesia, adalah
pada tanggal 28 Oktober 1928, yaitu pada saat berlansungnya Kongres Pemuda.
Namun, secara fisik kita tidak bisa melihat adanya perbedaan antara bahasa yang
digunakan sehari sebelum kongres diadakan dengan sehari sesudah kongres
berlangsung. Perubahan dari bahasa Melayu ke bahasa Indonesia secara fisik baru
dapat dilihat jauh setelah kongres itu berlansung. Dewasa ini kita dengan mudah
dapat melihat perbedaan itu.
Perubahan bahasa lazim diartikan sebagai adanya perubahan kaidah, entah
kaidahnya itu direvisi, kaidahnya menghilang, atau munculnya kaidah baru; dan
semuanya itu dapat terjadi pada semua tataran linguistik: fonologi, morfologi,
sintaksis, semantik, maupun leksikon.
a. Perubahan Fonologi
Bila Anda mengetahui bahasa Inggris dengan baik, tentu Anda tahu
bunyi velar frikatif /x/ tidak ada dalam sistem bunyi bahasa Inggris, padahal
dalam bahasa Inggris kuno bunyi itu ada, ini menjadi bukti adanya perubahan.
Kata <night> dulu dilafalkan [nixt], katan <drought> dulu dilafalkan [druxt],
dan kata <saw> dulu dilafalkan [saux]. Hilangnya bunyi /x/ yang ada dalam
bahasa Inggris kuno, dalam beberapa kasus memang menjadi hilangseperti
pada kata <night> dan <light>; dalam beberapa kasus [x] menjadi [k],
misalnya pada kata <elk>, yang dalam bahasa Inggris kuno ditulis <eolh> dan
dilafalkan [elx]; dan dalam kasus yang lain [x] itu menjadi [f] seperti pada
kata <rought> dan kata <tough>. Perubahan fonologis dalam bahasa Inggris
ada juga yang berupa penambahan fonem. Bahasa Inggris kuno dan
pertengahan tidak mengenal fonem /z/. Lalu ketika terserap kata-kata seperti
azure, measure, rouge dari bahasa Prancis, maka fonem /z/ tersebut
ditambahkan dalam khazanah fonem bahasa Inggris.
Perubahan bunyi dalam sistem fonologi bahasa Indonesia pun dapat
kita lihat. Sebelum berlakunya EYD, fonem /f/, /x/, dan /s/ belum dimasukkan
dalam khazanah fonem bahasa Indonesia; tetapi kini ketiga fonem itu telah
menjadi bagian dalam khazanah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia lama
hanya mengenal empat pola silabel, yaitu V, VK, KV, dan KVK; tetapi kini
pola KKV, KKVK, KVKK tlah pula menjadi pola silabel dalam bahasa
Indonesia.
b. Perubahan Morfologi
Perubahan bahasa dalm bidang morfologi yakni dalam proses
pembentukan kata. Dalam bahasa Indonesia ada proses penasalan dalam
proses pembentukan kata dengan prefiks me- dan pe-. Kaidahnya adalah: (1)
apabila kedua prefiks itu diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan
konsonan /l/, /r/, /w/, dan /y/ tidak dapat terjadi penasalan; (2) kalau
diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan /b/ dan /p/ diberi
nasal /na/; (3) bila diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan konsonan /d/
dan /t/ diberi nasal /n/; (4) kalau diimbuhkan pada kata yang dimulai dengan
konsonan /s/ diberi nasal /ny/; dan bila diimbuhkan pada kata yang dimulai
dengan konsonan /g/, /k/, /h/, dan semua vocal diberi nasal /ng/.
Kaidah ini mejadi susah diterapkan setelah bahasa Indonesia menyerap
kata-kata yang bersuku satu dari bahasa asing, seperti kata sah, tik, dan bom.
Menurut kaidah di atas kalau ketiga kata itu diberi prefiks me- dan pe- tentu
bentuknya harus menjadi menyah (kan), menik, dan membom; dan penyah,
penik, dan pembom. Tetapi dalam kenyataan berbahasa yang ada adalah
bentuk mensah (kan) atau mengesah (kan), mentik atau mengetik, membom
atau mengebom; dan dengan prefiks pe- menjadi pengesah, pengetik, dan
pembom atau pengebom. Jadi jelas dalam data tersebut telah terjadi
penyimpangan kaidah, dan munculnya alomorf menge- dan penge-. Para ahli
tata bahasa tradisional tidak mau menerima alomorf menge- dan penge- itu
karena menyalahi kaidah dan dianggap merusak bahasa. Namun, kini kedua
alomorf itu diakui sebagai dia alomorf bahasa Indonesia untuk morfem me-
dan pe-. Kasus ini merupakan satu bukti adanya perubahan besar dalam
morfolgi bahasa Indonesia.
c. Perubahan Sintaksis
Contoh perubahan kaidah sintaksis dalam bahasa Inggris, urutan kata
(word order) dalam bahasa Inggris kuno tidak terlalu penting, sebab ada
penanda (marker) untuk menyatakan nomina subjek dan nomina objek.
Perhatikan contoh kalimat bahasa Inggris kuno berikut yang semuanya
bermakna “the man slew the king” (orang itu membunuh raja).
Se man slok tone kyning
Thone kyning slok se man
Se man thone kyning slok
Thone kyning se man slok
Slok se man thone kyning
Slok thone kyning se man
Se adalah artikel definit yang hanya digunakan untuk nomina subjek, dan
tohne adalah artikel definit yang hanya digunakan untuk nomina objek. Jadi,
karena adanya artikel se dan thone itu, maka mana nomina yang menjadi
subjek dan mana nomina yang menjadi objek sudah tertentu, tanpa perlu
memperhatikan urutannya. Kalau susunan-susunan kalimat di atas
diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa Inggris modern susunanya
akan menjadi:
The man slew the king
The king slew the man
*The man the king slew
*The king the man slew
*Slew the man the king
*Slew the king the man
Kita lihat hanya kalimat pertama yang maknanya sama dengan kalimat-
kalimat bahasa Inggris kuno di atas. Kalimat kedua maknanya sudah berubah,
sedangkan empat kalimat berikutnya menurut kaidah bahasa Inggris modern
tidak gramatikal, atau menyalahi kaidah gramatikal yang berlaku sekarang.
Perubahan makna sintaksis dalam bahasa Indonesia juga sudah dapat
kita saksikan. Umpamanya, menurut kaidah sintaksis yang berlaku sebuah
kalimat aktif transitif harus selalu mempunyai objek. Tetapi dewasa ini
kalimat aktif transitif banyak yang tidak dilengkapi objek, seperti:
- Reporter anda melaporkan dari tempat kejadian
- Pertunjukan itu sangat mengecewakan
- Sekretaris itu sedang mengetik di ruangannya
- Dia mulai menulis sejak duduk di bangku SMP
- Kakek sudah makan, tetapi belum minum
Kata kerja aktif transitif pada kalimat seperti di atas menurut kaidah yang
berlaku harus diberi objek; tetapi pada contoh di atas tidak ada objeknya.
d. Perubahan Kosakata
Perubahan kosakata dapat berarti bertambahnya kosakata baru,
hilangnya kosakata lama, dan berubahnya makna kata. Bahasa Inggris yang
diperkirakan memiliki lebih dari 600.000 kosakata adalah “berkat”
penambahan kata-kata baru dari berbagai sumber bahasa lain, yang telah
berlangsung serjak belasan abad yang lalu. Sedangkan bahasa Indonesia yang
kabarnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki sekitar 65.000
kosakata adalah juga berkat tambahan berbagai sumber, termasuk bahasa-
bahasa asing dan bahasa-bahasa nusantara.
Kata-kata yang diterima dari bahasa lain disebut kata pinjaman atau
kata serapan. Proses proses penyerapan ini ada yang dilakukan secara
langsung dari bahasa sumbernya, tetapi ada juga yang melalui bahasa lain.
Kata feste dari bahasa Prancis prtengahan (Prancis modern fete dan Prancis
kuno feste) telah secara langsung diserap oleh bahasa Inggris pertengahan,
yang menjadi feast dalam bahasa Inggris modern. Sebalkinya kata algebra
dipinjam dari bahasa Spanyol, yang menyerap pula dari bahasa Arab. Kata
kasus dalam bahasa Indonesia adalah pinjaman langsung dari bahasa Latin;
tetapi kata kes dalam bahasa Malaysia meminjamnya dari bahasa Inggris.
Penambahan kata-kata baru selain dengan cara menyerap dari bahasa
lain, dapat juga dilakukan dengan proses penciptaan. Misalnya, kata Kleenex
dalam bahasa Inggris dibentuk dari kata clean, kata jell-O dari gel, dan kata
Frigidaire dari frigid plus air. Juga dari nama-nama produk atau merek dagang
seperti Kodak, nylon, dacron, dan orlon. Pemendekan dari kata atau frase
yang panjang dapat juga membentuk kosakata yang baru, seperti nark untuk
narcotics aent, tec atau dick untuk detective, telly untuk elevision, prof untuk
professor, dan teach untuk teacher. Bentuk-bentuk singkat tersebut berstatus
sebagai butir leksikal mandiri yang sepadan dengan bentuk panjangnya. Ada
juga bentuk akronim, seperti NASA, UNESCO, radar(dari radio, detecting,
and ranging), laser (dari light amplification by stimulated emission of
radiation). Dalam bahasa Indonesia bentuk akronim, seperti ABRI, hankam,
tilang, pelita, tabanas, dan menwa. Ada pula penggabungan (compounding)
dua kata atau lebih, contoh afternoon, bigmouth, highball, moreover, dan
railroad. Dalam bahasa Indonesia ada bentuk seperti matahari, hulubalang,
kakilima, matasapi, mahasiswa. Gabungan yang disertai dengan penyingkatan
disebut paduan (blending), seperti smog (dari smog + fog), motel (dari motor
+ hotel), breasted (dari broiled + roasted), dan urinalysis (dari urine +
analysis). Dlam bahasa Indonesia ada bentuk pasaraya (dari pasar + raya),
keretapi (dari kereta + api), dan sumbagsel (dari Sumatera + bagian + selatan).
Dalam perkembangannya sebuah bahasa bisa juga, karena berbagai
sebab, akan kehilangan kosakatanya. Artinya, pada masa yang lalu kata-kata
tersebut digunakan; tetapi kini tidak lagi. Dalam bahasa Indonesia kata-kata
berikut tidak lagi digunakan, antara lain kempa ‘stempel, cap’, centang
perenang ‘tidak rapi, berantakan’, engku ‘sebutan untuk menyapa guru laki-
laki’, ungkai ‘terbuka, terkoyak’, terban ‘runtuh’, tingkap ‘jendela’, dan
sanggat ‘kandas’. Namun, kini dalam upaya pengembangan kosakata dan
istilah banyak kosakata lama yang sudah menghilang digunakan kembali,
misalnya, mengelola, sempadan, kudapan, dan ragangan.
e. Perubahan Semantik
Perubahan semantik yang umum adalah berupa perubahan pada makna
butir-butir leksikal yang mungkin berubah total, meluas, atau juga menyempit.
Perubahan yang bersifat total, maksudnya, kalau pada waktu dulu kata itu,
misalnya, bermakna ‘A’, maka kini atau kemudian menjadi bermakna ‘B’.
umpamanya, kata bead dalam bahasa Inggris aslinya bermakna ‘doa,
sembahyang’, tetapi kini bermakna ‘tasbih, butir-butir tasbih’; kata knight
aslinya bermakna ‘pemuda’, tetapi kini bermakna ‘ksatria’; dan kata selly
dalam bahasa Inggri skuno bermakna ‘bahagia’, tetapi kini bermakna ‘pandir,
tolol’. Dalam bahasa Indonesia kita dapati contoh, antara lain, kata pena, dulu
bermakna ‘bulu (angsa)’, tetapi kini bermakna ‘alat tulis bertinta’, ceramah
dulu bermakna ‘cerewet, banyak cakap’, tetapi kini bermakna ‘uraian
mengenai satu bidang ilmu’; kata seni dulu berarti ‘air kencing’, tetapi kini
berarti ‘karya yang bernilai halus’ jadi, sepadan dengan kata Inggris art atau
kata Belanda kunts; dan kata canggih dulu bermakna ‘banyak omong, bawel’
tetapi sekarang digunakan sebagai padanan kata Inggris sophisticated.
Perubahan makna yang sifatnya meluas, maksudnya, dulu kata
tersebut hanya memiliki satu makna, tetapi kini memiliki lebih dari satu
makna. Dalam bahasa Inggris kata holiday asalnya hanya bermakna ‘hari suci
(yang berkenaan dengan agama)’, tetapi kini bertambah dengan makna ‘hari
libur’; dan kata picture pada mulanya hanya bermakna ‘gambar’, tetapi kini
juga bermakna ‘potret’ dan ‘bioskop’. Dalam bahasa Indonesia kaka papan
pada mulanya hanya bermakna ‘lembaran kayu tipis’, tetapi sekarang
bermakna juga ‘perumahan (seperti dalam rangkaian kata sandang, pangan,
dan papan dengan artin pakaian, makanan, dan perumahan)’. Contoh lain kata
saudara pada awalnya hanya bermakna ‘orang yang lahir dari ibu yang sama,
tapi kini berarti juga ‘kamu’, seperti dalam kalimat “Surat saudara sudah say
abaca”. Begitu juga kata kepala pada mulanya hanya bermakna ‘bagian tubuh
sebelah atas’, tetapi kini berarti juga ‘ketua, pemimpin’.
Perubahan makna yang menyempit, artinya, kalau pada mulanya kata
itu memiliki makna yang luas, tetapi kini menjadi lebih sempit maknanya.
Umpamanya, kata sarjana dalam bahasa Indonesia pada mulanya bermakna
‘orang cerdik, pandai’, tetapi kini hanya bermakna ‘orang yang sudah lulus
dari perguruan tinggi’. Contoh lain, kata ahli pada mulanya berarti ‘orang
yang termasuk dalam satu golongan atau kaum’, tetapi kini hanya bermakna
‘orang yang pandai dalam satu bidang ilmu’.
Wardhaught (1990) membedakan adanya dua macam perubahan
bahasa yaitu perubahan internal dan perubahan eksternal. Perubahan internal
terjadi dari dalam bahasa itu sendiri, seperti berubahnya sistem fonologi,
sistem morfologi, atau sistem sintaksis. Sedangkan, perubahan eksternal,
terjadi sebagai akibat adanya pengaruh dari luar, seperti peminjaman atau
penyerapan kosakata, penambahan fonem dari bahasa lain, dan sebagainya.
2. Pergeseran Bahasa
Pergeseran bahasa (language shift) menyangkut masalah penggunaan
bahasa oleh seorang penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjad sebagai
akibat perpindahan dari satu masyarakat tutur ke masyarakat tutur lainnya. Kalau
seorang atau sekelompok orang penutur pindah ke tempat lain yang menggunakan
bahasa lain, dan bercampur dengan mereka, maka akan terjadilah pergeseran
bahasa ini. Pendatang atau kelompok pendatang ini untuk keperluan komunikasi
mau tidak mau, harus menyesuaikan diri dengan “menanggalkan” bahasa sendiri,
lalu menggunakan bahasa penduduk setempat. Dalam kelompok asal, mereka
memang dapat menggunakan bahasa pertama mereka, tetapi untuk berkomunikasi
dengan orang lain tentunya bereka tidak dapat bertahan untuk tetap menggunakan
bahasa sendiri. Sedikit demi sedikit mereka harus belajar menggunakan bahasa
penduduk setempat. Andaikata kasus ini terjadi dalam masyarakat Indonesia,
memang ada pilihan lain untuk berkomunikasi, yaitu dengan menggunakan
bahasa nasional bahasa Indonesia, sebab bahasa ini memang difungsikan untuk
menjadi alat komunikasi antar suku. Yang sukar kalau para pendatang itu juga
tidak memahami dan menguasai bahasa Indonesia. Maka untuk berkomunikasi
mereka terpaksa harus dapat menggunakan alat seadanya dan sebisanya titik.
Berikut ini kita lihat beberapa kasus pergeseran bahasa dalam masyarakat
multilingual Indonesia sebagai akibat dari perpindahan atau mobilitas penduduk.
Togar dan Sahat dua orang mahasiwa di Malang yang berasal dari
Sumatera Utara. Ketika pertama dating di Malang mereka sedikitpun tidak
mengerti bahasa Jawa. Maka keduanya terpaksa menggunakan bahasa Indonesia
untuk berkomunikasi dengan orang-orang disekitarnya, teman-teman kuliah,
teman-teman sepemondokan, dan para tetangga. Jika mereka Cuma berdua,
mereka memang dapat menggunakan bahas ibu mereka, yaitu bahas Mandailing.
Kemudian karena teman-teman sekuliah, sepemondokan, dan tetangga-tetangga,
serta orang-orang lain berbahasa Jawa, keduanya pun mencoba sedikit-sedikit
belajar bahas Jawa. Pada mulanya mereka berbahasa Jawa dengan aksen Batak,
tetapi lama-kelamaan aksen Bataknya semakin berkurang. Maka sesudah dua
tahun berada di Malang keduanya lebih biasa berbahas Jawa dalam setiap
keperluan, kecuali di mana diperlukan menggunakan bahasa Indonesia. Akhirnya,
mereka berduapun hampir tidak pernah lagi menggunakan bahasa ibu mereka;
lebih-lebih di tempat umum. Maka disinilah terjadi pergeseran bahasa.
Kedudukan bahasa Mandailing mereka, meskipun bahasa prtama, telah tergeser
oleh bahasa Jawa, dan bahasa Indoneisa. Bahas Jawa digunakan dalam situasi tak
formal, sedangkan bahasa Indonesia digunakan dalam situasi formal.
Contoh lain, Sarwono, seorang pemuda dari Pekalongan, Jawa Tengah,
setelah menamatkan sekolah menengahnya, merantau ke Jawa Barat. Dengan
bantuan seorang kenalandia dapat bekerja sebagai tenagaadministrasi pada sebuah
perkebunan teh di Subang. Setiap hari dan sepanjang hari yang didengarnya
adalah percakapan dalam bahasa Sunda, yang pada mulanya tidak dipahaminya
sama sekali. Untuk berkomunikasi dengan teman sekantor, dia dapat
menggunakanbahasa Indonesia; tetapi untuk dengan pelerja kasar diperkebunan
itu dia mendapat kesulitan, sebab mereka hanya dapat berbahasa Sunda. Dia pun
mencoba belajar bahasa Sunda sedikit demi sedikit. Lama-kelamaan akhirnya dia
dapat berbahasa Sunda. Lebih-lebih setelah ia menemukan jodohnya dengan gadis
Sunda dari keluarga desa yang sama sekali tidak dapat berbahasa Indonesia.
Begitulah, akhirnya Sarwono yang sudah masuk dalam masyarakat tutur Sunda
ini yidak pernah lagi menggunakan bahasa ibunya, bahasa Jawa. Disini pun telah
terjadi pergeseran bahasa dari diri Sarwono; bahasa Jawanya yang dipelajari sejak
bayi sudah tidak berfungsi lagi, diganti oleh bahasa Sunda.
Contoh lain, dengan berdirinya ratusan pabrik di kawasan Jabotabek
(Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi) berdatanglah pemuda-pemuda dari
berbagai daerah (Jawa Barat, Jawa tengah, Sumatera Selatan, dsb) dalam jumlah
yang sangat besar untuk menjadi pekerja di pabrik-pabrik tersebut. Pabrik-pabrik
ini, yang dalam menerima tenaga kerja tidak memperhatikan latar belakang bahas
dan daerah asal calon, menyebabkan bertemunya dan terjadinya masyarakat tutur
yang multilingual. Sesame rekan sedaerah pekerja itudapat menggunakan bahasa
daerahnya masing-masing, tetapi untuk berkomunikasi dengan teman dari daerah
lain kereka harus menggunakan alat komunikasi lainyaitu bahasa Indonesia dialek
Jakarta. Pada mulanya mereka memang merasa mendapat kesulitan untuk
menggunakan bahasa ini; tetapi lama-lama mereka tidak lagi merasa sukar. Malah
akhirnya menjadi biasa.bahkan kemudian untuk berkomunikasi dengan rekan
sedaerah pun mereka juga menggunakan dialek Jakarta ini. Di sini juga terjadi
pergeseran bahasa secara besar-besaran.
Pergeseran bahasa biasanya terjadi di negara, daerah, atau wilayah yang
memberi harapan untuk kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, sehingga
mengundang emigran/transmigran untuk mendatanginya. Fishman (1972) telah
menunjukkan terjafinya pergeseran bahasa para imigran di Amerika. Keturunan
ketiga atau keempat dari para imigran itu sudah tidak mengenal lagi bahasa
ibunya (B-ib), dan malah telah terjadi monolingual bahasa Inggris (B-in). Secara
sederhana pergeseran bahasa para imigran itudilukiskan dalam diagram berikut.

monolingual bilingual bawahan bilingual setara


(B-ib) (B-ib-B-in) (B-ib-B-in)

monolingual bilingual bawahan


(B-in) (B-in-B-ib)

Pada kotak pertama para imigran itu masih bermonolingual dengan bahasa
ibunya. Ini tentu terjadi ketika mereka baru saja dating dan beberapa tahun setelah
itu. Selanjutnya setelah beberapa lama, seperti digambarkan pada kotak kedua,
mereka sudah menjadi bilingual bawahan (Bahasa ibu dan bahasa Inggris) di
mana bahasa ibu masih lebih dominan. Pada kurun waktu berikutnya seperti
digambarkan pada kotak ketiga bilingualisme mereka sudah menjadi setara.
Artinya, penguasaan bahasa Inggris sudah sama baiknya dengan penguasaan
bahasa ibu. Selanjutnya, seperti yang digambarkan pada kotak keempat, mereka
menjadi bilingual bawahan kembali, tetapi dengan penguasaan bahasa yang
berbeda; kini penguasaan terhadap bahasa Inggris jauh lebih baik daripada
penguasaan terhadap bahsa ibu. Akhirnya, seperti yang digambarkan pada kotak
kelima, mereka menjadi monolingual bahasa Inggris; bahasa ibu, atau bahasa
leluhur, telah mereka lupakan.
Pergeseran yang dilukiskan di atas (kasus Sahat dan Togar, kasus
Sarwono, dan kasus pekerja di Jabotabek) tidak sampai menyebabkan punahnya
bahasa ibu karena pergeseran itu berlangsung bukan di tempat bahasa ibu
digunakan. Begitu juga kasus yang dikemukakan oleh Fishman. Namun, dalam
kasus-kasus lainseperti yang dilaporkan Danie (1987) dan Ayatrohaedi (1990) ada
pergeseran bahasa yang menyebabkan punahnya suatu bahasa di tempat tadinya
digunakan karena tidak ada lagi penuturnya, atau penuturnya secara drastis sudah
sangat berkurang. Dalam penelitiannya di wilayah Minahasa Timur, Sulawesi
Utara, Danie (1987) menemukan adanya bahasa daerah yang pemakainya dan
penuturnya sudah sangat menurun. Penyebabnya adalah (a) bahasa Melayu
Manado sudah lama berfungsi sebagai lingua franca di daerah itu, (b) bahasa
Malayu Manado merupakan bahasa berprestise tinggi di daerah itu, (c) kebutuhan
akan bahasa pengantar, bahasa Indonesia, bagi anak-anak untuk memasuki
sekolah, dan (d) berkembangnya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan
bahasa nasional di daerah itu. Karena itu peranan bahasa Melayu Manado
semakin kuat. Semua keluarga mendidik anaknya bebahasa Indonesia sejak kecil,
walaupun yang diajarkan bahasa Melayu Manado (masyarakat di sana
beranggapan bahasa Indonesia dan bahasa Melayu Manado adalah sebuah bahasa
yang sama). Laporan yang sama lebih dahulu telah dibuat oleh Tallei (1976) di
mana dikatakan penutur asli bahasa Tonsea di Minahasa juga, sudah mulai
meninggalkan bahasa ibu, beralih ke bahasa Melayu Manado dengan alasan sama
seperti yang disebutkasn Danie. Begitu juga laporan Yahya (1977) mengenai
penutur bahasa Tondano yang juga mulai beralih ke bahasa Melayu Manado, dan
meninggalkan bahasa pertamanya, bahasa Tondano. Di tempat lain, Walker
(1976) melaporkan di kota Tanjung Karang dan Teluk Betung semakin banyak
anak muda yang tidak menggunakan bahasa Lampung lagi, dan menggantikannya
dengan bahasa Indonesia. Danie, Tallei, dan Yahya memang tidak mengatakan
bahas-bahasa di Minahasa sudah punah; tetapi melihat gelagatnya kepunahan itu
tinggal menunggu waktu saja. Tepatnya, kapan kepunahan itu terjadi tidak bisa
dikatakan.
Ayatrohaedi (1990) melaporkan sedang berlangsung proses kepunahan
sebuah bahasa di Jatiwangi, Cirebon, Jawa Barat. Menurut Ayatrohaedi sampai
awal tahun lima puluhan di Jatiwangi ada tiga bahasa yang hidup berdampingan,
yaitu, pertama bahasa Sunda, yang digunakan oleh etnis Sunda yang menjadi
petani dan karyawan, dan juga digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan
sampai kelas tiga sekolah dasar, kedua, bahasa Jawa Cirebon, yang digunakan
oleh para penyebar adama Islam (karena tadinya mereka mempelajari agama
Islam di Cirebon dengan pengantar bahasatersebut), pedagang di pasar, dan untuk
beberapa kegiatan lain. Lalu, yang ketiga adalah bahasa Indonesia yang
digunakan oleh sekelompok kecil orang Arab, Pakistan, dan India. Pada mulanya
arah orientasi penduduk Jatiwangi adalah memang ke arah timur, yaitu kota
Cirebon. Anak mereka banyak yang ke Cirebon untuk bersekolah. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya, dengan semakin ramai dan lancarnya arus lalu lintas
ke Bandung, maka orientasi itu berbalik ke arah barat, yaitu ke kota Bandung.
Segala keperluan yang tidak dapat dipenuhi, dicari ke Bandung, dan tidak lagi ke
Cirebon. Akibatnya, sesudah tiga puluh tahun kemudian, bahasa Jawa Cirebon
yang dulu terdengar digunakan oleh anak-anak dan pedagang di pasar, tidak lagi
terdengar. Memang masih ada satu dua orang yang menggunakan bahasa itu,
tetapi rata-rata mereka sudah berumur di atas lima puluh tahun. Menurut
Ayatrohaedi dalam sepuluh atau dua puluh tahun yang akan dating bahasa Jawa
Cirebon di Jatiwangi hanya tinggal kenangan, sebab tanda-tanda ke arah
kepunahan itu sudah tampak jelas.
Dalam tulisan itu, Ayatrohaedi melaporkan juga akan nasib bahasa Sunda
di desa Legok, Indramayu, yang telah punah ditinggal para penuturnya. Sampai
tahun enam puluhan penduduk desa itu masih berbahasa Sunda; tetapi sekarang
mereka hanya dapat berbahasa Cirebon, sebagai akibat tidak adanya pilihan lain
selain menggunakan bahasa Jawa Cirebon itu. Masalahnya, dalam kehidupan
mereka sehari-hari mereka telah terkepung oleh daerah pemakai bahasa Jawa
Cirebon, dan terkucilkan dari lingkungan masyarakat berbahasa Sunda di tempat
lain.
Apa yang dipaparkan para pakar di atas, memang peristiwa pergeseran
bahasa itu bisa saja terjadi di mana-mana di muka bumi ini mengingat dalam
dunia modern sekarang arus mobilitas penduduk sangat tinggi. Wilayah, daerah,
atau negara yang memberi harapan kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik
diserbu dari mana-mana; sedangkan yang prospeknya suram segera ditinggalkan.

3. Pemertahanan Bahasa
Dari pembicaraan di atas dapat disaksikan bahwa penggunaan B1 oleh
sejumlah penutur dari suatu masyarakat yang bilingual atau multilingual
cenderung menurun akibat adanya B2 yang mempunyai fungsi yang lebih
superior. Dalam kasus yang dilaporkan Danie (1987) kita lihat menurunnya
pemakaian beberapa bahasa daerah di Minahasa Timur adalah karena pengaruh
penggunaan bahasa Melayu Manado yang mempunyai prestise lebih tinggi dan
penggunaan bahasa Indonesia yang jangkauan pemakaiannya bersifat nasional.
Namun, adakalanya penggunaan B1 yang jumlah penuturnya tidak banyak dapat
bertahan terhadap pengaruh penggunaan B2 yang lebih dominan. Untuk
menjelaskan ini kita ambil laporan Sumarsono (1990) mengenai pemertahanan
penggunaan bahasa Melayu Loloan di desa Loloan, termasuk dalam wilayah kota
Nagara, Bali. Menurut Sumarsono, penduduk desa Loloan yang berjumlah sekitar
tiga ribu orang itu tidak menggunakan bahasa Bali, melainkan menggunakan
sejenis bahasa Melayu yang disebut bahasa Melayu Loloan, sebagai B1-nya; dan
mereka semua beragama Islam. Di tengah-tengah B2 yang lebih dominan, yaitu
bahasa Bali, mereka dapat bertahan untuk tetap menggunakan bahasa pertamanya,
yaitu bahasa Melayu Loloan, sejak abad ke-18 yang lalu, ketika leluhur mereka
yang mengaku berasal dari Bugis dan Pontianak tiba di tempat itu. Faktor apakah
yang menyebabkan mereka dapat bertahan, menurut Sumarsono adalah,
pertama,wilayah pemukiman mereka terkonsentrasi pada satu tempat yang secara
geografis agak terpisah dari wilayah pemukiman masyarakat Bali; Kedua, adanya
toleransi dari masyarakat mayoritas Bali yang mau menggunakan bahasa Melayu
Loloan dalam berinteraksi dengan golongan minoritas Loloan, meskipun dalam
interaksi itu kadang-kadang digunakan juga bahasa Bali. Ketiga, anggota
masyarakat Loloan mempunyai sikap keislaman yang tidak akomodatif terhadap
masyarakat, budaya, dan bahasa Bali. Pandangan seperti ini dan ditambah dengan
terkonsentrasinya masyarakat Loloan ini menyebabkan minimnya interaksi fisik
antara masyarakat Loloan yang minoritas dan masyarakat Bali yang mayoritas.
Akibatnya pula menjadi tidak digunakannya bahasa Bali dalam interaksi
intrakelompok dalam masyarakat Loloan. Keempat adanya loyalitas yang tinggi
dari anggota masyarakat Loloan terhadap bahasa Melayu Loloan sebagai
konsekuensi kedudukan atau status bahasa ini yang menjadi lambang identitas diri
masyarakat Loloan yang beragama Islam; sedangkan bahasa Bali dianggap
sebagai lambang identitas dari masyarakat Baliyang beragama Hindu. Oleh
karena itu, penggunaan bahasa Bali ditolak untuk kegiatan-kegiatan
intrakelompok, terutama dalam ranah agama. Kelima, adanya kesinambungan
pengalihan bahasa Melayu Loloan dari generasi terdahulu ke generasi berikutnya.
Dalam masyarakat Loloan selain ada B1 (bahasa Melayu Loloan) dan B2
lama (bahasa Bali), ada lagi B2 lain (yang disebut oleh peneliti sebagai B2 baru)
yaitu bahasa Indonesia. Kedudukan dan status bahasa Indonesia sebagai bahasa
negara, bahasa nasional, dan bahasa persatuan mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi daripada bahas Bali menurut pandangan masyarakat Loloan. Bahasa
Indonesia tidak dianggap mempunyai konotasi keagamaan tertentu; maka,
dianggap tidak berbeda dengan bahasa Loloan. Bahkan dianggap sebagai milik
sendiri dalam kedudukan mereka sebagai bahasa Indonesia. Karena itu mereka
tidak berkeberatan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan-kegiatan
keagamaan. Dengan demikian, tampaklah bahwa pemertahanan bahasa Melayu
Loloan terhadap bahasa Indonesia menjadi lemah. Banyak ranah sosial yang
tadinya menggunakan bahasa Melayu Loloan dan bahasa Bali, kini menggunakan
bahasa Indonesia; antara lain, ranah keluarga, ketetanggaan, kekariban,
keagamaan, pendidikan, perdagangan, dan pemerintahan. Dari kasus penggunaan
bahasa Melayu Loloan, bahasa Bali, dan bahasa Indonesia yang terjadi dalam
masyarakat Loloan dapatlah disimpulkan: Pertama, penguasaan B2 milik
mayoritas oleh kelompok minoritas, sehingga warga minoritas menjadi bilingual,
tidaklah selalu berakibat bergeser atau punahnya B1 milik kelompok minoritas
itu; kedua, penguasaan B2 baru (dalam hal ini bahasa Indonesia) oleh kelompok
minoritas juga tidak memunahkan B1, tetapi hanya menggeser banyak peran B2
lama (dalam hal ini bahasa Bali, yang telah lebih dahulu dikenal) dan beberapa
peran B1.
C. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Chaer, A. dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal Edisi Revisi.
Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai