Anda di halaman 1dari 12

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DI INDONESIA

Elvira Indah Sari


20/464044/SV/18363
D4 Pengelolaan Hutan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
elvira.i.s@mail.ugm.ac.id

Abstract
The Indonesian nation is a nation that has the basis of the State, namely Pancasila, with the
values contained in each of its precepts. In the 4th principle of Pancasila which reads
"Population led by wisdom in deliberation / representation". What is meant by these precepts
is that they must always prioritize deliberation to reach consensus, namely through bodies or
representatives of the people in fighting for the people's mandate. In carrying out the 4th
precept, it cannot be separated from the other precepts. If the 4th precept is fulfilled, then the
5th precept will be fulfilled too. From this, the Indonesian people will feel they have their
rights regardless of the differences.
Keywords: The 4th Precept of Pancasila, Rights
Abstrak
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki dasar Negara yaitu Pancasila, dengan nilai-
nilai yang terkandung dalam setiap sila-silanya. Pada sila ke-4 Pancasila yang berbunyi
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Yang dimaksud dari sila tersebut yaitu harus selalu mengedepankan musyawarah untuk
mufakat yaitu melalui badan atau wakil rakyat dalam memperjuangkan mandat rakyat. Dalam
menjalankan sila ke-4, tidak dapat dipisahkan dari sila yang lainnnya. Apabila sila ke-4
terpenuhi, maka sila ke-5 akan terpenuhi juga. Dari hal tersebut, maka rakyat Indonesia akan
merasa mendapat haknya tanpa memandang dari perbedaan yang ada.
Kata Kunci : Sila ke-4 Pancasila, Hak

A. Pendahuluan
Negara hukum demokratis (democratische rechtsstaat) adalah negara yang menganut
paham demokrasi harus menjamin penyelenggaraan negara berdasarkan atas hukum. Dengan
adanya demokrasi ini, maka warga negara diberikan kewajiban menjalankan hak politik demi
menentukan keberlangsungan negara. Salah satu bentuk keikutsertaan rakyat tersebut adalah
penyelenggaraan pemilu. Adanya demokrasi menyebabkan warga negara saling memandang,
menghormati, menerima dan kerjasama dalam bentuk kesatuan demi kepentingan bersama
yang disebut "masyarakat" atau "negara".
Negara demokrasi di Indonesia tidak lepas dengan adanya dasar negara yang kuat yaitu
Pancasila. Terdapat lima sila didalam pancasila, salah satunya yaitu sila keempat. Pada sila
keempat terdapat beberapa nilai penting yang berkaitan yang harus diterapkan dalam suatu
lembaga negara. Nilai penting tersebut diantaranya adalah prinsip demokrasi dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Selain itu juga nilai permusyawaratan, melaksanakan keputusan
berdasarkan kejujuran, serta mengedepankan asas kerakyatan. Semua nilai dalam sila
keempat ini tidak lepas dari kata “rakyat”. Sebab setiap masyarakat (dalam suatu negara)
mengakui ada kekuasaan yang paling tinggi dalam hidup mereka. Kekuasaan tertinggi ini
mendominasi hidup mereka, menjadi reason atau idol yang menguasai hidup mereka.
Demikian pula dengan suatu negara mengakui ada kekuasaan tertinggi yang mengatasi segala
sesuatu. Akan tetapi, pada pokoknya hanya ada tiga hal yang dianggap dapat berdaulat di
dalam suatu masyarakat atau negara, yaitu Tuhan, raja, atau rakyat. Maka dari situlah muncul
beberapa perbedaan, baik itu agama atau yang lainnya. Lalu dituntutlah semua elemen dalam
negara untuk saling menghormati dan menghargai.
Dengan adanya rasa saling menghormati dan menghargai tersebut, maka hak asasi
manusia akan berjalan dengan baik. Hak asasi manusi juga berpengaruh pada baik buruknya
suatu sistem pemerintahan, terutama yang menganut system demokrasi. Hak asasi manusia
merupakan nilai-nilai universal yang telah diakui secara universal. Berbagai instrument
internasional mewajibkan negara-negara peserta untuk memberikan jaminan perlindungan
dan pemenuhan hak warga negaranya. Dalam democratic governance, terdapat tiga ruang
lingkup dengan HAM termasuk didalamnya. Didalam democratic governance terdapat empat
penekanan, seperti transparansi dan tanggung iawab, kepatuhan pada aturan hukum, pelibatan
partisipasi maksimal, dan desentralisasi setidaknya sudah mewakili hal-hal yang harus
dilakukan suatu negara dalam menjalankan good governance. Dua hal yang lain yaitu
perlindungan dan peningkatan HAM serta kepatuhan untuk menjalankan mekanisme
demokrasi idealnya akan memperkuat good goavernance guna menuju ke democratic
governance (Alston, 1992; dan Brinkerhoff, 2000). Suatu negara dengan democratic
governance dipandang layak terlibat dalam tata aturan baru berlingkup internasional.
Lalu, rumusan hak asasi manusia baru ini merupakan hasil pemikiran bahwa untuk dapat
hdup dengan nyaman, manusia tidak hanya bisa dibekali dengan hak politik saja tetapi hak
atas kebutuhan hidup sehari hari juga harus terpenuhi. The Four Freedoms ini menjadi
inspirasi bagi adanya Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau dikenal dengan
Deklarasi Universal Umat Manusia (Deklarasi ini memuat 30 Pasal yang sarat dengan hak-
hak asasi manusia dalam segala bidang, meliputi bidang politik, yuridis, sosial, ekonomi dan
budaya. UDHR sering disebut sebagai Generasi I Hak Asasi Manusia. Dalam
perkembangannya, pada tahun 1993 diadakan Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia
yang dikenal dengan Konferensi Wina. Konferensi ini menghasilkan komitmen bersama
dalam pelaksanaan perlindngan HAM di seluruh dunia sesuai dengan DUHAM dan
instrument lain yang ada kaitannya dengan HAM dan hukum Internasional) yang dikeluarkan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1948.
Selain hal diatas, terdapat hal lain yang harus diperhatikan juga. Pertama yaitu hakiki dari
democratic governance sebagai kajian ulang bagi negara-negara yang terjebak pada suatu
kondisi yang akan menyebabkan kehilangan atau berkurangnya makna apabila negara
tersebut masuk kedalam kondisi atau keadaan yang baru lainnya. Dengan makna lain,
perubahan satu kondisi ke kondisi yang baru cenderung mengurangi nilai atau makna dari
democratic governance. Padahal seharusnya masa peralihan atau transisi tersebut dapat
digunakan untuk menuju kesituasi yang lebih baik, bukan dipakai sebagai acuan untuk
tinggal dan terbelenggu pada persoalan negara dari waktu ke waktu. Kedua yaitu sifat
kondisional democratic governance untuk memenuhi format-format bantuan lembaga atau
negara donor menghasilkan ketidaksetaraan hubungan antarnegara dan kadang mengantar
pada falsifikasi situasi nyata negara yang memerlukan bantuan. Hal ini suatu negara hanya
cenderung berusaha mencapai persyaratan formal, walaupun dalam kehidupan nyata tidak
seperti gambaran yang diberikan kepada negara atau lembaga donor. Ketiga yaitu fokus
perhatian terhadap democratic governance secara berlebihan sehinnga berpotensi untuk
mengantarkan pada the cult of the program semata (Prajarto, 2003). Hal ini sering dilakukan
pada suatu negara tanpa memperhatikan kondisi social, politik, budaya, serta akibat negatif
yang kemungkinan akan muncul.
Permasalahan akan lebih besar ketika kebutuhan akan perlunya democratic governance
disandingkan dengan kesanggupan Indonesia yang selalu berada dalam masa transisi.
Meskipun persyaratan negatif sudah dipenuhi, Indonesia masih memerlukan uluran lembaga
atau negara donor, membuat klaim sebagai negara demokratis, berusaha menjalankan good
governance, serta memperhatikan keluhan dan persoalan HAM. Relasi tak seimbang antara
negara dan masyarakat, sebagai salah satu hambatan dari sejumlah kendala yang dihadapi
Indonesia dalam mewujudkan democratic governance.
Pada tulisan ini, akan menyajikan hambatan perwujudan democratic governance di
Indonesia, dengan hanya berfokus pada Hak Asasi Manusia (HAM).

B. Pembahasan
1. Pengertian Hak Asasi Manusia (HAM)
Lahirnya hak asasi manusia dalam bentuk peraturan tertulis pertama kali ditemukan
dalam Magna Charta 1215 di kerajaan Inggris yang menyebutkan bahwa raja dapat dibatasi
kekuasaannya dan dapat dimintai pertanggung jawaban hukum. Dari sini muncul doktrin
bahwa tidak ada pihak yang kebal hukum, termasuk raja yang memiliki kekuasaan. Semangat
Magna Charta ini menjadi inspirasi munculnya undang undang dalam kerajaan Inggris tahun
1689 yang dikenal dengan undangundang hak (Bill of rights). Munculnya “bill of rights”
menjadi awal munculnya dari prinsip “equality before law” atau persamaan di depan hukum
yang artinya manusia memiliki kedudukan yang sama dan sederajat di hadapan hukum.
Prinsip inilah yang menjadi dasar berkembangnya negara hukum dan demokrasi yang
menjamin asas persamaan dan kebebasan sebagai warga negara.
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang diberikan pada manusia untuk membentuk
kehidupannya sesuai dengan kebebasan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap harkat dan
martabat manusia sebagai makhluk individu. Pengertian tersebuut berdasarkan pandangan
“Those fundamental rights, wich empower human beings to shape their lives in accordance
with liberty, equality, and respec for human dignity”.
Menurut Suria Kusuma mengatakan, bahwa hak tersebut sercara definitif memiliki arti
kekuasaan atau wewenang yang seseorang miliki atas sesuatu di luar dari dari dirinya,
kebalikan dari hak merupakan kewajiban yang berarti tugas yang harus dilaksanakan oleh
seseorang mengakui kekuasaan itu. Menurut beliau, bahwa setiap orang memiliki
kekusaannya dengan kebebasan dalam melakukan segala hal yang dilindungi oleh peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya. Hak asasi manusia merupakan tanggung jawab
moral dan yuridis, pemerintah serta semua warga negara.
Menurut C. De Rover, hak asasi manusia yaitu hukum yang dimiliki setiap orang sebagai
manusia. Hak-hak tersebut bersifat universal dan dimiliki oleh setiap orang, baik kaya
maupun miskin, laki ataupun perempuan. Hak asasi manusia dlindungi oleh konstitusi dan
hukum nasional pada semua negara di dunia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak
pokok yang diterima manusia sejak kelahirannya sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha
Esa, maka hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi olehh negara,
pemerintah dan setiap orang karna hak tersebut bersifat universal dan abadi.

Menurut Moh. Yasir Alimim, dkk, hak asasi manusia adalah hak-hak yang secara kodrat
melekat dalam diri manusia, tanpanya manusia tidak dapat hidup sebagai manusia. Hak asasi
manusia berdasarkan prinsip fundamental, bahwa semua manusia memiliki martabat yang
kodrati tanpa memandang jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa asal-usul, bangsa, umur,
kelas, keyakinan politik, dan agama.
Menurut A. Mansyur Effendi, hak asasi manusia adalah hak dasar/ mutlak/kudus/suci
pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa yang dimiliki oleh setiap manusia serta
menempel/melekat untuk selamanya. Demi terciptanya suasana yang nyaman serta
harmonisasi antar warga negara, masyarakat, maka direalisasikan hak dasar atau hak pokok
tersebut dengan penuh kebijakan.
Secara yuridis Hak Asasi Manusia diatur dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Setiap berhak untuk hidup serta serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Selain itu hak asasi manusia juga diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pasal 1.
Dari beberapa contoh pendapat para ahli, dapat disimpulkan pengertian hak asasi manusia
secara universal, Hak asasi manusia secara universal adalah  hak dasar (asasi) yang dimiliki
manusia sejak ia lahir, yang memang sudah diberikat (kodrat) kepada Tuhan kepada manusia
yang harus saling dihormati dan dilindungi satu sama lain. Didalam HAM terdapat tiga
pemikiran utama. Pertama yaitu hak, hak adalah sesuatu yang ada dan harus didapatkan
seseorang sejak orang terebut lahir atau sejak orang tersebut telah melakukan kewajibannya.
Kedua adalah asasi yang berarti dasar. Ketiga adalah manusia sebagai subjek yang mendapat
hak tersebut. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Tuhan secara sempurna dari
makhluk-makhluk lainnya. Manusia dikatakan sempurna karena meiliki akal, pikiran, dan
hati nurani. Hak asasi manusia ini sudah diakui secara universal, sehingga HAM berlaku
untuk semua manusia, tanpa mengenal ras, suku, budaya, dan agama.
2. Ciri – Ciri Hak Asasi Manusia
Dalam penerapannya dikehidupan, hak asasi manusia meiliki beberapa ciri khusus yang
hanya dimiliki oleh hak asasi manusia saja.
Berikut ini adalah ciri khusus hak asasi manusia :
a) Hakiki
Didalam hak asasi manusia, ciri ini menunjukkan bahwa HAM merupakan hak dasar yang
pasti dimiliki oleh setiap manusia sejak dilahirkan
b) Universal
Arti dari ciri tersebut menjelaskan bahwa HAM tidak membedakan antara ras, suku, etnis,
agama, bangsa, dan negara seseorang. Sehingga semua orang punya hak memiliki hal yang
sama sebagai fitrah seorang manusia.
c) Tidak dapat dicabut
Artinya HAM pada seseorang tidak dapat dicabut oleh orang lain.
d) Tidak dapat dibagi
Berarti HAM tidak dapat dibagi atau diberikan kepada orang lain.
3. Jenis – Jenis Hak Asasi Manusia ( HAM)
Menurut Piagam PBB atau Universal Declaration of Human Rights (UDHR), hak asasi
manusia terbagi menjadi :
1) Hak untuk hidup
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum
3) Hak untuk kemerdekaan hidup
4) Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran
5) Hak berpikir dan mengeluarkan pendapat
6) Hak untuk memperoleh pekerjaan
7) Hak menganut agama
8) Hak untuk memperoleh nama baik
9) Hak memiliki sesuatu

4. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)


Dapat diketahui bahwa sejumlah negara sudah melangkah jauh dalam mencapai standar
internasioal HAM, yang diantaranya dengan membentuk Komisi Nasional mengenai hak
asasi manusia. Selain pembentukan Komisi Nasioanl HAM, beberapa negara juga
menetapkan action plan untuk menegakkan dan melaksanakn HAM. Namun, hingga saat ini
tidak terdapat pengertian tunggal mengenai konsep pelanggaran HAM sekalipun di kalangan
para ahli terdapat semacam kesepakatan umum bahwa pelanggaran HAM dimaknai
sebagai”pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari instrumentinstrumen
internasional HAM”. Pelanggaran terhadap kewajiban negara itu dapat dilakukan dengan
perbuatannya sendiri (acts of commission) ataupun karena kelalaiannya sendiri (acts of
omission). Dalam rumusan lain, pelanggaran HAM adalah “tindakan atau kelalaian oleh
negara terhadap norma yang belum dipidana dalam hukum pidana Internasional tetapi
merupakan norma HAM yang diakui secara Internasional”. Kegagalan mengadili dapat
menyebabkan ketidakpercayaan rakyat terhadap sistem politik yang dibangun oleh
pemerintah sehingga tidak mencerminkan pelaksanaan demokrasi yang sesungguhnya di
Indonesia.
Namun, dari beberapa upaya tersebut masih banyak terjadi persoalan mengenai hak asasi
manusia. Untuk kasus di Indonesia, masih terjadi banyak terjadi pelanggaran yang masih
menunjukkan perlunya pemahaman mengenai HAM yang tidak hanya sebatas hak dasar yang
dimiliki oleh manusia, melainkan juga pelayanan dan pengimplementasian pada kehidupan.
Selain itu, pelurusan pandangan masyarakat yang terlalu mengartikan HAM secara sederhana
harus dilakukan. Pengkajian keterkaitan HAM dengan pancasila terutama sila ke-4 juga harus
diberikan kepada masyrakat.
Terjadi beberapa contoh kasus yang melibatkan HAM dan pacasila sila ke-4, diantaranya
adalah pembatasan berpendapat secara berlebih. Setiap manusia memiliki hak untuk
mengeluarkan pendapat, seperti pada butir pancasila sila ke-4 yaitu “Didalam musyawarah
diutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi dan golongan”. Dari butir sila
ke-4 tersebut, dapat dipahami pembatasan pendapat secara berlebih menjadi salah satu
pelanggaran HAM yang didasarkan pada sila ke-4 pancasila. Walaupun memang dalam
berpendapat harus dibatasi dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Tujuan dari pemberian
ketentuan ini agar pendapat yang dikemukakam tidak sembarangan dan tetap memperhatikan
kepentingan atau privasi orang lain yang tidak boleh digangggu. Jika kasus di Indonesia yaitu
terjadi pada Kamis, 07 Maret 2019 yaitu penangkapan Robertus Robert sewenang-wenang.
Pada kasus tersebut Robertus Robet bersama aktivis masyarakat sipil lainnya menyampaikan
pendapat dengan pesan inti untuk mendorong profesionalisme TNI. Namun, terdapat pihak
yang memprovokasi dengan memuat ancaman terhadap integritas fisik dan personal Robertus
Robert. Tragedi ini juga sama saja membungkam kebebasan berpendapat dimuka umum.
Selanjutnya yaitu kasus yang terjadi pada Rabu, 03 Juni 2009 yaitu kasus yang menimpa
Prita. Kasus ini bermula dari Prita menuliskan pendapat atau keluhannya terhadap pelayanan
disuatu rumah sakit. Namun, pihak rumah sakit tersebut mengambil langkah hukum, sebab
keluhan yang dituliskan sudah tersebar ke sejumlah milis. Meskipun demikian, kasus tersebut
bias dikategorikan kedalam kasus HAM yaitu kebebasan berpendapat, sessuai dengan butir
sila ke-4 pancasila. Selain itu, kedua kasus tersebut membuat masyarakat untuk enggan
berpendapat atau menyampaikan perasaannya, baik di dunia maya maupun secara langsung.
Selain pembatasan berpendapat, terdapat kasus lainnya yaitu diskriminan jabatan. Kasus
ini sangat bertentangan dengan butir sila k3-4 pancasila yang berbunyi “Sebagai warga
negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan
kewajiban yang sama”. Sangat disayangkan, di Indonesia miliki keberagaman suku yang
tidak diimbangi dengan kesadaran dan kedewasaan yang baik. Salah satu contohnya yaitu
pelanggaran agama tertentu untuk bekerja di suatu perusahaan atau instansi yang padahal
perusahaan tersebut bersifat umum. Padahal, dapat diketahui Indonesia merupakan salah satu
negara dengan keberagaman agama yang diakui oleh pemerintah. Selain pancasila, kebebasan
beragama dan mendapat pekerjaan juga diatur dalam undang-undang. Kasus yang lainnya
yaitu diskriminasi jabatan dengan mengatas namakan gender, terutama perempuan.
Pelanggaran hak kerja tersebut diantaranya adalah pelanggaran terkait dengan peran
perempuan, seperti hak cuti haid yang dipersuli, tidak diberikan hak untuk memberi ASI atau
memerah ASI di tempat kerja, PHK karena hamil, dan lain sebagainya. Kembali ke butir sila
ke-4, bahwa manusia memiliki hak yang sama. Namun, dalam kasus ini seakan-akan
perempuan kedudukannya masih dimarjinalksan. Sehingga banyak terjadi kesenjangan antara
laki-laki dan perempuan, yang berakhir pada diskriminasi perempuan. Terdapat juga contoh
lainnya mengenai diskriminasi perempuan, yaitu adanya pemeriksaan keperawanan bagi
calon pekerja perempuan, pemberian upah atau gaji yang berbeda, dan pekerja perempuan
diminta pensiun sebelum waktunya.
Pelanggaran umum yang terjadi selain itu adalah tebang pilih dalam penerapan hukum.
Yang dimaksud disini adalah perbedaan pemberian keadilan hokum kepada masyarakat tanpa
memandang agama, suuku, jenis kelamin, jabatan, dan lainnya. Pelanggaran ini sama seperti
pelanggaran kasus sebelumnya, yaitu melanggar butir pancasila sila ke-4 yang berbunyi,
“Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai
kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama”. Seharusnya, semua rakyat dari berbagai
kalangan memiliki kepastian hukum yang sama. Namum, kenyataannya masih ada orang-
orang yang melakukan tebang pilih dalam menerapkan hukum, dengan cenderung pilih kasih
pada kelompok atau golongan tertentu. Banyak kasus yang berkaitan dengan itu di Indonesia.
Pada bulan November 2010, ketika ada seorang anak berusia 15 tahun yang disidang karena
mengambil sandal jepit milik seorang brigadir. Anak tersebut harus mengahadapi jeratan
pasal 362 KUHP dengan ancaman maksimal tuntutan 5 tahun penjara. Padahal jika memang
anak tersebut salah, tidak seharusnya diberlakukan seperti itu. Sebab anak tersebut masih
terbilang dibawah umur. Terdapat pula kasus lainnya, yaitu kasus Bennny Meiriza yang
berasal dari medan, seorang petugas parker yang dituduh mencuri 16 buah tabung gas 3 kg
dan ditetapkan harus menjalani kurungan penjara selama 4 bulan. Padahal, belum ada bukti
kuat yang menyatakan kebenaran pencurian tersebut. Kedua kasus tersebut sangat berbeda,
apabila yang melakukan adalah para petinggi negara atau pejabat yang melakukan korupsi
hingga milyaran rupiah. Seharusnya para pejabat negara terrsebut lebih paham mengenai
nilai-nilai Pancasila, terutama sila ke-4. Mereka dipilih berdasarkan suara rakyat dan diberi
tanggung jawab untuk melaksanakan permusyawaratan.
Pelanggaran HAM yang berkaitan dengan sila ke-4 dengan latar belakang hukum masih
sering terjadi. Selain contoh diatas, terdapat juga contoh yang lain seperti perbedaan
hukuman antara koruptor dengan pencuri kakao dan semangka. Didalam kasus tersebut
seseorang yang mengambil 3 biji kakao senilai dengan Rp 2.100 harus dibawa kepengadilan.
Begitu pula dengan kasus pencurian satu buah semangka , yang mana kedua tersangka
tersebut disiksa dan ditahan polisi selama 2 bulan dan terancam hukuman 5 tahun penjara.
Berbeda dengan kasus hilangnya uang rakyat senilai 6,7 trilyun yang terjadi di Bank Century.
Para aparat kepolisian dan jaksa hampir tidak ada yang bergerak. Hal tersebut membuktikan
betapa mirisnya hukum di Indonesia. Pihak asing yang mengambil minyak bumi, gas, emas,
perak, dll dibiarkan begitu saja. Akan tetapi, rakyat Indonesia sendiri yang mayoritas masih
hidup miskin atau kekurangan, mengambil 3 biji kakao dan sebuah semangka langusng
dipenjarakan. Tidak adanya kesamaan hak dan kedudukan didalam ini membuat Indonesi
masih terbilang lemah dalam penegakkan HAM. Padahal dapat diketahui bahwa negara ini
memegang teguh nilai Pancasila sebagai dasar dari segala sumber hukum. Namun, seakan-
akan nilai-nilai pada Pancasila sudah tidak diperhatikan lagi. Sehingga para mafia dengan
mudahnya mencuri hak-hak rakyat kecil. Selain itu para pajabat negara pernah berulah
memalukan para wakil rakyat kita yang harusnya berjuang untuk hak rakyat. Sering kali para
wakil rakyat mempertontonkan perilaku yang mencemaskan rakyat ketika meyelesaikan
suatu masalah untuk kepentingan rakyat, perang mulut sampai adu otot itu diperagakan di
depan kamera.
Selain lembaga pemeerintah , satuan-satuan (entitas) yang bukan pemerintah juga bisa
menjadi pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti yang dilakukan oleh Negara atau
agen-agen Negara yang bertentangan dengan kewajiban untuk menghormati kebebasan
individual atau kelompok. Contoh tindakan oleh satuan bukan negara yaitu pembunuhan
penduduk sipil oleh tentara pemberontakan; pengusiran komunitas yang dilakukan oleh
perusahaan transnasional; serangan bersenjata oleh salah satu pihak melawan pihak lain; dan
serangan fisik mendadak oleh pengawal pribadi melawan para pemrotes.
Banyak hal yang ternyata harus diketahui dan dipahami, seperti rasa tanggung jawab,
kedudukan, hak dan kepribadian yang bijaksana dalam sebuah kehidupan bermasyarakat atau
bernegara. Dari hal tersebut masih menimbulkan beberapa penyimpangan di masyarakat.
Penyimpangan tersebut diantaranya adalah kemiskinan yang marak di Indonesia. Masalah
tersebut masih sangat sering terjadi, sebab tidak meratanya pemenuhan hak dari pemerintah.
Sering kali pemerintah masih salah sasaran memberikan hak kepada masyarakat. Seperti
bantuan bsik berbentuk sembako atau uang. Namun, masih banyak masyarakat kecil yang
seharusnya mendapatkan haknya tersebut, tetapi nyatanya tidak mendapatkan bantuan
tersebut.
Selain itu, terdapat pula masalah perbedaan pelayanan kesehatan antara masyarakat
kurang mampu dan masyarakat mampu. Pemerintah memang sudah memberikan jaminan
berupa kartu kesehatan sepeti Kartu Indonesia Sehat (KIS), BPJS, Askes, dan lain
sebagainya. Namun, adanya berbagai perbedaan dalam mendapatkan perbedaan. Beberapa
para pelayan kesehatan masih membedakan. Bahkan bukan hanya dari pelayan kesehatannya
saja, tetapi dari pihak rumah sakit juga masih ada yang membedakan hal tersebut. Perbedaan
pelayanan tersebut tanpa disadari juga melanggar hak asasi manusia. Walaupun hal tersebut
sudah terdengar biasa, tetapi sangat memberikan dampak yang luar biasa. Tidak hanya
memakan hak masyarakat, tetapi juga memakan korban jiwa karena kurang cepat, tepat, dan
pelayanan yang baik dalam memangani pasien.
Banyak faham yang mengutarakan mengenai keadilan, salah satunya simbolis Ratu Adil
yang digunakan oleh Ir. Soekarno. Yang dimaksud dengan faham Ratu Adil ialah sociale
rechtvaardigheid, rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang erasa dirinya kurang pakaian,
menciptakan dunia baru yang didalamnya ada keadilan, dibawah pimpinan Ratu Adil. Jadi,
dalam pernyataan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan adalah pemimpin yang berakal
sehat, rasional, cerdas, terampil, berhati-nurani, arif, bijaksana, jujur, adil, dan seterusnya.
Jadi, pemimpin yang hikmat-kebijaksanaan itu mengarah pada pemimpin yang profesional
(hikmat) melalui tatanan dan tuntunan permusyawaratan/perwakilan. Tegasnya, sila keempat
merupakan sistem demokrasi-perwakilan yang dipimpin oleh orang-orang yang
profesionalberintergritas melalui sistem musyawarah (government by discussion).
Terdapat pula kasus pelanggaran HAM dalam proses pembuatan waduk Kedungombo,
kerusakan lingkungan di sekitar tambang emas Freeport, relokasi kaum pinggiran dengan
tidak diikuti dengan ganti rugi yang memadai, merupakan contoh kecil dari pelanggaran hak
kolektif oleh negara. Contoh-contoh kejadian tersebut merupakan bentuk kejahatan terhadap
hak kolektif masyarakat berupa kesejahteraan dan kedamaian hidup dalam suasana yang
sehat. Salah satu penerapan dari hak kolektif ini dapat ditemukan dalam perundang-undangan
yang mengatur tentang hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat.
Dibalik banyaknya pelanggaran mengenai HAM, banyak sekali faktor yang
mempengaruhinya. Faktor yang sering dijumpai salah satunya adalah menggunakan ciri khas
suatu daerah untuk menyalahgunakan HAM. Mereka menggunakan ciri khas tersebut dengan
berbicara “demi Indonesia”,dengan tanpa disadari kata tersebut hanya digunakan sebagai
pemanis untuk melanggar sebuah hak. Dengan adanya factor tersebut, Indonesia masih susah
menerapkan prinsip HAM secara universal. Sehingga dengan kata lain pencirian Indonesia
hanya digunakan untuk menyelamatkan diri bila terbukti melanggar atau tidak mematuhi
prinsip dalam penegakan nilai-nilai hak asasi manusi secara internasional yang ditetapkan
oleh PBB. Namun, ketika Indonesia membenahi kondisi HAM akan menjadi sukit jika
disertai dengan masalah lain yang dibahas yaitu membentuk suatu perwujudan good
governance untuk mencapai democratic governance. Dengan demikian, diperlukan suatu
kerjasama dengan lembaga atau aparat negara lainnya untuk setidaknya membangun suatu
politik Indonesia yang bagus di peraturan internasional.

C. PENUTUP
Dengan segala permasalahan dapat diketahui bahwa suatu demokrasi yang baik juga
dibutuhkan beberapa komponen pendukung, seperti tegaknya hukum yang berlaku di negara
tersebut, salah satunya Indonesia. Namun, segala usaha yang telah dilakukan pemerintah
Indonesia seakan-akan masih tidak berpengaruh besar pada kondisi kritis keadilan saat ini.
Keadilan yang ditegakkan saat ini masih berpacu pada tekanan bukan kebutuhan suatu negara
tersebut. Dengan dipacu oleh tekanan tersebut, maka muncullah beberapa konflik atau
perseteruan diantara masyarakat dengan masyarakat, bahkan masyarakat dengan lembaga
atau aparat negara. Upaya peradilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat menjadi
tanggung jawab negara dan bangsa Indonesia serta masyarakat Internasional secara
keseluruhan. Ini artinya bahwa yurisdiksi pengadilan internasional tetap masih terbuka bagi
suatu negara meskipun negara tersebut termasuk Indonesia secara khusus sudah memiliki
pengadilan HAM.
Masih banyak cara yang harus dapat diterapkan dalam penegakan HAM, salah satunya
adalah KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) seperti pada masa transisi otoriter ke
demokrasi. KKR bukan suatu lembaga yang menggantikan fungsi pengadilan karena memang
bukan badan peradilan, bukan badan persidangan hukum dan tidak memiliki kekuasaan untuk
mengirim seseorang ke penjara maupun memvonis seseorang karena suatu kejahatan tertentu.
Namun, Komisi Kebenaran dapat membantu beberapa hal penting yang secara umum tidak
dapat dicapai melalui proses penuntutan persidangan di pengadilan pidana. KKR dapat
menangani kasus dalam jumlah relative lebih besar dibandingkan dengan pengadilan pidana.
Lalu, tugas KKR adalah mencari, menemukan dan mengemukakan fakta atau kenyataan
tentang suatu peristiwa dengan segala akibatnya, menimbang dan menempatkan keadilan
korban dan pelaku sebagai prinsip kerja, tidak boleh berlaku tidak fair dan tidak adil terhadap
pelaku, dan semua temuan harus dinyatakan secara benar, fair, jujur dan transparan, tidak
manipulatif untuk mencapai tujuan rekonsiliasi yang sesungguhnya yaitu mendamaikan para
pihak yang pernah bersengketa atau bermusuhan. Rekonsiliasi itu sendiri dapat dijadikan
sebagai kata kunci pembentukan KKR yang jelas terkait dengan usaha memperbaiki
hubungan sosial, politik dan psikologis antara warga negara sebagai pribadi atau kelompok
dengan negara akibat perlakuan atau tindakan negara yang tidak adil dan tidak manusiawi.
Rekonsiliasi itu diperlukan untuk membangun masa depan bangsa dan negara yang
demokratis di atas pilihan sikap memaafkan atau melupakan, dan bukan penuntutan pidana.
Namun, tetap saja penegakan HAM di Indonesia masih dapat dikatan belum menjadi
prioritas pemerintah. Apabila ketika pemerintah akan menyelesaikan isu mengenai HAM dan
muncul isu lainnya, pemerintah akan mengalihkan isu yang seharusnya lebih penting dibahas.
Sebagai contohnya yaitu isu mengenai terorisme maupun konflik lainnya. Lalu, penerapan
prinsip universal pada pemerintah masih memerlukan banyak pembenahan. Pembenahan
tersebut seharusnya dilakukan pada hal-hal yang menguntungkan semua elemen negara, baik
lembaga negara, aparat negara, maupun warga negara. Namun sangat disayangkan
pembenahan tersebut masih diprioritaskan pada eksistensi diluar kepentingan yang
seharusnya lebih diutamakan. Sehingga terjadi tarikk menarik antara kondisi nyata yang
diharapkan masyarakat dengan keberhasilan yang ingin dicapai para penguasa negara dan
suatu komunitas yang tentunya mengntungka kelompok tersebut.
Hal tersirat lainnya yang dapat diketahui yaitu pengaruh social media yang sangat
berpengaruh pada kondisi pemerintahan. Seiring dengan berjalannya waktu, media masa
lebih mengutamakan rating pembaca daripada kebenaran suatu berita tersebut. Dengan
pandangan seperti itu akan membuat susahnya pembenahan good governance di Indoesia.
Seperti halnya ketika terdapat suatu permasalahan atau konflik HAM yang seharusnya tidak
terlalu berlebihan, maka terdapat media masa yang akan melebihkan masalah tersebut untuk
menaikkan rating pembacanya. Dampak yang ditimbulkan dari hal tersebut selain
mempersulit usaha pemerintah dalam memperbaiki demokrasi dan pemerintahan, juga akan
menimbulkan masalah baru apabila suatu kelompok ada yang tersinggung mengenai berita
tersebut. Maka, peran media masa juga sangat penting untuk diperhatikan. Sebab pada era
globalisasi dan perkembangan digital sekarang ini, masyarakat akan mudah menerima
informasi yang sangat cepat, entah itu benar atau tidak. Sehingga pengetahuan dan
pemahaman akan pentingnya memilah dan memilih berita sangat diperlukan.
Sehingga banyak hal yang perlu diperlu dipahami dan dimasukkan dalam hati seorang
warga negara. Beberapa hal tersebut diantarnya adalah kebebasan yang disertai dengan
tanggung jawab, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, menerapkan prinsip bahwa
setiap manusia memilki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Selain itu, tidak boleh
memaksakan kehendak orang lain, mengutamakan musyawarah, menghormati dan
menjunjung tinggi setiap keputusan, megakui perbedaan dan persamaan anatr sesame,
mewujudkan keadilan dalam kehidupan social agar tercapainya tujuan bersama, serta masih
banyak hal lainnya.
Dengan demikian, antara demokrasi, pancasila, dan HAM sangat berkaitan untuk
mewujudkan suatu pemerintahan yang baik (good governance). Beberapa kewenangan warga
negara dalam pelaksanaan demokrasi Pancasila, diantaranya :
1. Mempunyai hak untuk memilih dan dipilih
2. Mempunyai hak memperoleh pendidikan, mengembangkan karir pendidikan, dan hak
untuk mendirikan lembaga pendidikan
3. Mempunyai hak untuk memperoleh pekerjaan, penghidupan yang layak, hak memiliki
barang, dan hak untuk berusaha
4. Mempunyai hak mendapatkan pelayanan social, kesehatan, pendidikan, penerangan,
mengembangkan bahasa, adat istiadat, dan budaya daerah masing-masing, serta hak
untuk mendirikan lembaga social budaya.
Demokrasi sebagai mekanisme dalam system pemerintahan negara guna untuk
menegakkan hak asasi manusia dan kedaulatan rakyat. Dengan adanya demokrasi terutama
berlandaskan demokrasi pancasila akan menyebabkan warga negara saling menhargai sama
lain untuk membentuk suatu kesatuan demi menjalankan kepentingan bersama.
Daftar Pustaka

Ahmad Kosasih , “ HAM dalam Perspektif Islam ; Menyingkap Persamaan dan


Perbedaan antara Islam dan Barat”, Jakarta: Salemba Diniyyah, Edisi Pertama, 2003.
Alston, Philip. (1992).'The Commission on Human Right’ dalam Philip Alston (ed.). The
United Nations and Human Rights. Oxford: Clarendon Press. pp. 126-210.

Asshiddiqie, Jimly. (2008). Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: PT Bhuana
Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

Aspinall, Ed. (1998). ‘Opposition and Elite Conflict in the Fall of Soeharto’. Dalam
Geoffrey Forrester dan R.J. May (eds.). The Fall of Soeharto.Bathurst: Crawford House
Publishing. pp. 130- 153

Brinkerhoff, Derick W. (2000). 'Democratic Governance and Sectoral Policy Reform:


Tracing Linkages and Exploring Synergies.,World Development. (28). No. 4. hal. 601-6I5.

Caballero-Anthony, Mely. (1995).'Human Rights, Economic Change and Political


Development: A Southeast Asian PerspectivS., Dalam |James T.H. Tang (ed.). Human Rights
and International Relations in the Asia-Pacific Region. London: pinter. pp. 39-53.

Charu Joseph. (1995). 'The Asian Challenge to Universal Human Rights: A Philosophical
Appraisal.'Dalam James T.H. Tang (ed.). Human Rights and International Relations in the
Asia-Pacific, Region. London: Pinter. pp. 25-38.

Cranstory M. (1973). What Are Human Rights? New York: Basics Books.

Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen,


RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 50.

Jenkins, David. (1984). Suharto and His Generals, Indonesian Military Politics 1975-
1983. Monograph series (Publication No. 64). Cornell University. Ithaca, New York.

Leirissa , R.Z.(1985). Terwuiudnya Suatu Gagasan Seiarah Masyarakat lndonesia 1900-


1950. Jakarta: Akademika Pressindo.

Lubis, Todung M. (1993). In Search of Human Rights. Jakarta: PT GrameJia Pustaka


Utama and SPES Foundation.

Prajarto, Nunung. (2003). The Australian and Indonesian Dialogue on Human Rights: An
International Communication Perspectiae Sydney: The University of New South Wales.

Renteln, Alison Dundes. (1990). lnternational Human Rights: Universalism versus


Relatinism. London: sage Publications.
Schwarz, Adam. (1999). A Nation in Waiting: Indonesia's Search for Stability. Sydney:
Allen & Unwin.

Southwood, Julie dan Patrick Flanagan. (1983). Indonesia: Law, Propaganda and Terror.
London: Zed Press.

Nurtjahjo, Hendra, 2005, Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen,
RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Purnama, Eddy, 2007, Negara Kedaulatan Rakyat, Analisis terhadap Sistem


Pemerintahan Indonesia dan Perbandingannya dengan Negara-negara Lain, Nusa Media,
Bandung.

Anda mungkin juga menyukai