Anda di halaman 1dari 38

Bahan Ajar

Etika Profesi dan Hukum


Kesehatan
UNTUK KAIANGAN SENDIRI

Ditulis Oleh :
HJ. LINDA MARLIA, S.Pd. M.Kes

NIP; 195812271977112001

POLITEKNIK KEMENTERIAN
KESEHATAN JAMBI
JURUSAN KEPERAWATAN GIGI
2020
BAB I
Konsep Dasar Etika Profesi dan Hukum
Kesehatan
1. Pengertian Etika
Secara etimologis etika diambil dari bahasa Yunani yaitu “Ethos” yang kurang lebihnya
mempunyai arti adat istiadat atau kebiasaan. Dibawah ini Pengertian Etika dari pendapat
berbagai pakar adalah sebagai berikut :
1. Menurut Magnis Suseno (1990) etika adalah ilmu yang mengkaji tentang nilai.
2. Menurut Sudikno dalam Alexandra Indriyanti Dewi (2008) etika adalah sebagai usaha
manusia untuk mencari norma baik dan buruk.
3. Menurut Bertens (2002) mendefinisikan etika sebagai berikut :
a. Etika dalam arti nilai atau moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau
kelompok untuk mengatur tingkah laku yang didalam hal ini bisa disamakan
dengan adat istiadat ataupun kebiasaan.
b. Etika diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang juga lebih dikenal
dengan kode etik.
c. Etika yang mempunyai arti sebagai ilmu tentang baik dan buruk. Didalam hal ini
etika baru menjadi ilmu apabila kemungkinan-kemungkinan etis yang begitu saja
diterima dalam suatu masyarakat menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian
sistematis dan metodis.

2. Etika dan Etiket


Kata etika sudah tidak asing lagi bagi kita semua namun kadang kita menyamakan
istilah etika dan etiket, menurut Bertens perbedaan antara etika dan etiket sebagai berikut :
1. Etika
a. Etika menyangkut masalah apakah suatu perbuatan boleh dilakukan atau tidak.
b. Etika tidak tergantung pada hadir tidaknya orang lain.
c. Etika bersifat absolut artinya prinsip etika tidak dapat ditawar berlakunya.
d. Etika tidak hanya memandang segi lahiriah tetapi juga batiniahnya.

2
2. Etiket
a. Etiket menyangkut cara suatu perbuatan yang harus dilakukan manusia.
b. Etiket hanya berlaku dalam pergaulan hidup.
c. Etiket bersifat relatif, artinya prinsip etiket tergantung oleh tempat, karena adat di
satu tempat bisa berbeda ditempat yang lain.
d. Etiket hanya memandang manusia dari segi lahiriahnya saja.

Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan


Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan / pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan
kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan
kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya,
organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan
hukum serta sumber-sumber hukum lainnya. Hukum kedokteran merupakan bagian dari
hukum kesehatan, yaitu yang menyangkut asuhan / pelayanan kedokteran (medical care /
sevice).
Hukum kesehatan merupakan bidang hukum yang masih muda. Perkembangannya
dimulai pada waktu World Congress on Medical Law di Belgia pada tahun 1967.
Perkembangan selanjutnya melalui World Congress of The Association for Medical Law yang
diadakan secara periodik hingga saat ini.
Di Indonesia perkembangan hukum kesehatan dimulai dari terbentuknya
Kelompok studi untuk Hukum Kedokteran FK-UI / R.S. Ciptomangunkusumo di Jakarta
pada tahun 1982. Perhimpunan untuk Hukum Kedokteran Indonesia (PERHUKI), terbentuk
di Jakarta pada tahun 1983 dan berubah menjadi Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia
(PERHUKI) pada kongres I PERHUKI di Jakarta pada tahun 1987.
Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum bidang kesehatan yang
bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu hukum Kedokteran / Kedokteran Gigi,
Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan
Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).

3
BAB II
Tanggung Jawab Hukum Perawat Gigi
Pengertian Tanggung Jawab Hukum
Dalam pengertian hukum, tanggung jawab berarti “keterikatan”. Tiap manusia,
mulai dari saat dilahirkan sampai saat meninggal mempunyai hak dan kewajiban yang disebut
sebagai subyek hukum. Demikian juga tenaga kesehatan, dalam menjalankan suatu tindakan,
harus bertanggung jawab sebagai subyek hukum pengemban hak dan kewajiban.
Tindakan atau perbuatan tenaga kesehatan sebagai subyek hukum dalam pergaulan
masyarakat, dapat dibedakan antara tindakannya sehari-hari yang tidak berkaitan dengan
profesi, dan tindakan yang berkaitan dengan pelaksanaan profesi. Begitu pula dalam
tanggung jawab hukum seorang tenaga kesehatan, dapat tidak berkaitan dengan profesi, dan
dapat pula merupakan tanggung jawab hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan
profesinya.
Perbuatan tenaga kesehatan yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan profesi dengan
kata lain Perawat Gigi sebagai warga negara yang dapat menimbulkan tanggung jawab
hukum antara lain : menikah, melakukan perjanjian jual beli, membuat wasiat, mencuri,
menipu, menganiaya dan lain sebagainya. Perbuatan tenaga kesehatan yang tidak berkaitan
dengan pelaksanaan profesinya ini, pada umumnya juga bisa dilakukan oleh setiap orang
yang bukan tenaga kesehatan.
Dalam menjalankan kewajiban hukumnya, diperlukan adanya ketaatan dan
kesungguhan dari tenaga kesehatan tersebut dalam melaksanakan kewajiban sebagai
pengemban profesi. Kesadaran hukum yang dimiliki tenaga kesehatan harus berperan dalam
diri tenaga kesehatan tersebut untuk bisa mengendalikan dirinya sehingga tidak melakukan
kesalahan profesi, agar terhindar dari sanksi yang diberikan oleh hukum.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam
keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia
wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah (Pasal 304).
Bagi seorang tenaga kesehatan apabila dengan sengaja membuka rahasia yang wajib
disimpannya karena jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu,
4
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak
sembilan ribu rupiah (Pasal 322 Ayat 1). Lebih lanjut pada Ayat 2 apabila seorang tenaga
kesehatan merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas
dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
Sedangkan penganiayaan diatur dalam Pasal 351, Passl 352, Pasal 354, Pasal 355,
dan Pasal 356 diancam pidana paling tinggi lima belas tahun. Dijelaskan pula pada Pasal 359
apabila kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
Pasal 361 KUHP menetapkan bahwa jika kejahatan yang dilakukan dalam
menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang
bersalah dapat dicahut haknya untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan
dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.
Dikemukakan juga bahwa barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang
sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa
selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang
itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah (Pasal 531).

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)


Tanggung jawab hukum Perawat Gigi dalam bidang hukum perdata meliputi
wanprestasi (Pasal 1239 KUHPerdata), melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365
KUHPerdata), melakukan kelalaian sehingga mengakibatkan kerugian (Pasal 1366
KUHPerdata) dan melalaikan pekerjaan sebagai penanggung jawab (Pasal 1367
KUHPerdata)

5
BAB III
Kode Etik Perawat Gigi
Pengertian Kode Etik
Kode etik adalah salah satu ciri atau persyaratan dari suatu profesi dan mempunyai
arti penting dalam menentukan, mempertahankan, dan meningkatkan standar profesi, serta
dapat menunjukkan adanya tanggungjawab dari profesi dan kepercayaan yang telah diberikan
masyarakat (Kelly, 1987).
Kode etik adalah aturan tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan
prinsip-prinsip moral yang ada, dan pada saat dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat
untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common
sense) dinilai menyimpang dari etika (Martin, 1993)
Kode etik yang secara mekanismenya melekat pada organisasi profesi, sangat
diperlukan untuk menjaga martabat, serta kehormatan profesi, dan disisi lain melindungi
masyarakat dari segala bentuk penyimpangan maupun penyalahgunaan keahlian
(Wignyosoebroto, 1999).
Tujuan Kode Etik
1. Sebagai aturan dasar terhadap hubungan antar Perawat, pasien dan tenaga kesehatan.
2. Sebagai standar dasar untuk mengeluarkan Perawat yang tidak mentaati peraturan,
serta melindungi Perawat yang menjadii pihak tertuduh secara tidak adil.
3. Sebagai self control karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari/dan untuk
kepentingan kelompok profesi (sosial) itu sendiri.
Kode Etik Perawat Gigi

Kewajiban perawat gigi berdasarkan kode etik profesi perawat gigi dibagi atas empat

kategori, yaitu :

1) Kewajiban umum

2) Kewajiban terhadap masyarakat

3) Kewajiban terhadap teman sejawat

4) Kewajiban terhadap diri sendiri

6
Bekerja sesuai dengan standar profesi merupakan suatu syarat yang mutlak untuk

mendapatkan perlindungan hukum. Standar profesi merupakan suatu kaidah yang mutlak

dilaksanakan oleh perawat gigi karena didalamnya terkandung cara untuk melakukan

kebenaran yang merupakan suatu nilai dari asas keadilan. Disamping itu, standar profesi

memberikan kepastian hukum bagi perawat gigi dalam melakukan perbuatan hukumnya

dengan benar dan kemanfaatan bagi perawat gigi yaitu berupa imbalan perlindungan hukum.

Berdasarkan kaidah-kaidah ketentuan perawat gigi tersebut di atas, tercermin adanya

asas keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Kaidah kualifikasi dan kaidah kewenangan

memberikan kepastian hukum bagi perawat gigi sebagai suatu profesi tenaga kesehatan yang

diakui eksistensinya dalam memberikan pelayanan kesehatan. Di dalam kaidah standar

profesi, disamping adanya asas kepastian hukum juga tercermin adanya asas keadilan karena

ada kebenaran yang ingin ditegakkan dalam peraturan/kaidah hukum tersebut. Disamping itu,

asas kemanfaatan juga tercermin dalam standar profesi ini dalam bentuk adanya imbalan

perlindungan hukum dan pelaksanaan yang praktis bagi perawat gigi dalam menjalankan

pekerjaannya. Selain itu standar profesi ini dapat dipakai sebagai kontrol bagi pelaksanaan

pelayanan yang bermutu dan sebagai sarana pembuktian bagi hakim disidang peradilan.

Tanggung jawab hukum Perawat Gigi meliputi :

1. Dalam menjalankan profesinya, setiap Perawat Gigi Indonesia wajib memberikan

pelayanan yang sebaik mungkin kepada individu dan masyarakat tanpa membedakan

budaya, etnik, kepercayaan, dan status ekonominya.

2. Dalam hal ketidakmampuan dan di luar kewenangan Perawat Gigi Indonesia berkewajiban

merujuk kasus yang ditemukan kepada tenaga kesehatan yang lebih ahli.

3. Setiap Perawat Gigi Indonesia wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui tentang

kliennya.

7
4. Setiap Perawat Gigi Indonesia wajib memberikan pertolongan darurat dalam batas-batas

kemampuan sebagai suatu tugas, perikemanusiaan kecuali pada waktu itu ada orang lain

yang lebih mampu memberikan pertolongan.

5. Setiap Perawat Gigi Indonesia wajib memberikan pelayanan kepada pasien dengan

bersikap ramah, ikhlas sehingga pasien merasa tenang dan aman.

6. Setiap Perawat Gigi Indonesia wajib berupaya meningkatkan kesehatan gigi dan mulut

masyarakat dalam bidang promotif, preventif, dan kuratif sederhana.

8
BAB IV
Standar Pelayanan Asuhan
Keperawatan Gigi
Pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut adalah merupakan pelayanan profesional

yang diberikan oleh perawat gigi kepada perorangan dan masyarakat, dalam rangka

meningkatkan mutu pelayanan kekesehatan gigi dan mulut diperlukan adanya suatu Standar

Pelayanan Asuhan Kesehatan Gigi dan Mulut.

Dalam Keputusan Menteri Kesehatan ini seorang Perawat Gigi berkewajiban

memenuhi standar tindakan sebagai berikut :

Standar asuhan kesehatan gigi dan mulut oleh perawat gigi meliputi:

1. Standar Administrasi dan Tata Laksana :

a. Standar Administrasi.

b. Standar Tata Laksana Pelayanan Asuhan Kesehatan Gigi dan Mulut.

2. Standar Pengumpulan Data Kesehatan Gigi :

a. Standar Penjaringan Data Kesehatan Gigi dan Mulut.

b. Standar Pemeriksaan OHIS (Oral Hygiene IndexSimplified).

c. Standar Pemeriksaan DMF-T/def-t (Decay Mising Filing – Teet / Decay Eruption Filing

– Teet).

d. Standar Pemeriksaan CPITN (Comunity Periodontal Index Treatment Needs).

3. Standar Promotif :

a. Standar Penyusunan Rencana Kerja Penyuluhan Kesehatan Gigi dan Mulut.

b. Standar Penyuluhan Kesehatan Gigi dan Mulut.

c. Standar Pelatihan Kader.

9
4. Standar Preventif :

a. Standar Sikat Gigi Massal.

b. Standar Kumur-kumur Dengan Larutan Fluor.

c. Standar Pembersihan Karang Gigi.

d. Standar Pengolesan fluor.

10
e. Standar Penumpatan Pit dan Fissure Sealant.

5. Standar Kuratif :

a. Standar Pencabutan Gigi Sulung Goyang Derajat 2 atau Lebih

b. Standar Atraumatic Restorative Treatment (ART).

c. Standar Penumpatan Gigi 1 - 2 Bidang Dengan Bahan Amalgam.

d. Standar Penumpatan Gigi 1 - 2 Bidang Dengan Bahan Sewarna Gigi.

e. Standar Pencabutan Gigi Permanen Akar Tunggal Dengan Infiltrasi Anestesi.

6. Standar Rujukan.

7. Standar Pencatatan dan Pelaporan.

8. Standar Hygiene Kesehatan Gigi :

a. Standar Higiene Petugas Kesehatan Gigi dan Mulut.

b. Standar Sterilisasi dan Pemeliharaan alat-alat Kesehatan Gigi.

c. Standar Lingkungan Kerja.

9. Standar Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut Pasien Umum Rawat Inap.

10. Standar Peralatan dan Bahan Asuhan Kesehatan Gigi dan Mulut.

11
BAB V
Pelanggaran Etika Pada Praktik
Keperawatan Gigi
Adapun permasalahan etik yang yang sering muncul banyak sekali, seperti berkata
tidak jujur (bohong), abortus, menghentikan pengobatan, penghentian pemberian makanan
dan cairan, euthanasia, transplantasi organ serta beberpa permasalahan etik yang langsung
berkaitan dengan praktek keperawatan, seperti: evaluasi diri dan kelompok, tanggung jawab
terhadap peralatan dan barang, memberikan rekomendasi pasien pad dokter, menghadapi
asuhan keperawatan yang buruk, masalah peran merawat dan mengobati (Prihardjo,
1995).Disini akan dibahas sekilas beberapa hal yang berikaitan dengan masalah etik yang
berkaitan lansung pada praktik keperawatan.
1. Konflik etik antara teman sejawat

Keperawatan pada dasarnya ditujukan untuk membantu pencapaian kesejahteraan


pasien. Untuk dapat menilai pemenuhan kesejahteraan pasien, maka perawat harus
mampu mengenal/tanggap bila ada asuhan keperawatan yang buruk dan tidak bijak, serta
berupaya untuk mengubah keadaan tersebut. Kondisi inilah yang sering sering kali
menimbulkan konflik antara perawat sebagai pelaku asuhan keperawatan dan juga
terhadap teman sejawat. Dilain pihak perawat harus menjaga nama baik antara teman
sejawat, tetapi bila ada teman sejawat yang melakukan pelanggaran atau dilema etik hal
inilah yang perlu diselesaikan dengan bijaksana.
2.      Menghadapi penolakan pasien terhadap Tindakan keperawatan atau pengobatan
Masalah ini sering juga terjadi, apalagi pada saat ini banyak bentuk-bentuk
pengobatan sebagai alternative tindakan. Dan berkembangnya tehnologi yang
memungkinkan orang untuk mencari jalan sesuai dengan kondisinya. Penolakan pasien
menerima pengobatan dapat saja terjadi dan dipengaruhi oleh beberapa factor, seperti
pengetahuan, tuntutan untuk dapat sembuh cepat, keuangan, social dan lain-lain.  
3.      Masalah antara peran merawat dan mengobati
Berbagai teori telah dijelaskan bahwa secara formal peran perawat adalah
memberikan asuhan keperawatan, tetapi dengan adanya berbagai factor sering kali peran
ini menjadai kabur dengan peran mengobati. Masalah antara peran sebagai perawat yang
memberikan asuhan keperawatan dan sebagai tenaga kesehatan yang melakuka

12
pengobatan banyak terjadi di Indonesia, terutama oleh perawat yang ada didaerah perifer
(puskesmas) sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan kepada masyarakat.  
4.      Berkata Jujur atau Tidak jujur
Didalam memberikan asuhan keperawatan langsung sering kali perawat tidak
merasa bahwa, saat itu perawat berkata tidak jujur. Padahal yang dilakukan perawat
adalah benar (jujur) sesuai kaedah asuhan keperawatan. Sebagai contoh: sering terjadi
pada pasien yang terminal, saat perawat ditanya oleh pasien berkaitan dengan
kondisinya, perawat sering menjawab “tidak apa-apa ibu/bapak, bapak/ibu akan
baik,  suntikan ini tidak sakit”.
5.      Tanggung jawab terhadap peralatan dan barang
Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah menguntil atau pilfering, yang berarti
mencuri barang-barang sepele/kecil. Sebagai contoh: ada pasien yang sudah meninggal
dan setalah pasien meninggal ada barang-barang berupa obat-obatan sisa yang belum
dipakai pasien, perawat dengan seenaknya membereskan obat-obatan tersebut dan
memasukan dalam inventarisasi ruangan tanpa seijin keluarga pasien. Hal ini sering
terjadi karena perawat merasa obat-obatan tersebut tidak ada artinya bagi pasien,
memang benar tidak artinya bagi pasien tetapi bagi keluarga kemungkinan hal itu lain.
Yang penting pada kondisi ini adalah komunikasi dan informai yang jelas terhadap
keluarga pasien dan ijin dari keluarga pasien itu merupakan hal yang sangat penting,
Karena walaupun bagaimana keluarga harus tahu secara pasti untuk apa obat itu diambil.

13
BAB VI
Malpraktik Dibidang Hukum
Malpraktik atau malpractice berasal dari kata ”mal” yang berarti buruk dan
”practice” yang berarti suatu tindakan atau praktik, dengan demikian malpraktek adalah suatu
tindakan medis buruk yang dilakukan dokter / tenaga kesehatan dalam hubungannya dengan
pasien. Selain pengertian diatas definisi lain dari malparaktik adalah setiap kesalahan
profesional yang diperbuat oleh dokter / tenaga kesehatan pada waktu melakukan pekerjaan
profesionalnya, tidak memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau meninggalkan hal-hal
yang diperiksa, dinilai, diperbuat atau dilakukan oleh dokter pada umumnya didalam situasi
dan kondisi yang sama (Berkhouwer &Vorsman, 1950).
Menurut Hoekema, 1981 malpraktik adalah setiap kesalahan yang diperbuat oleh
dokter karena melakukan pekerjaan kedokteran dibawah standar yang sebenarnya secara rata-
rata dan masuk akal, dapat dilakukan oleh setiap dokter dalam situasi atau tempat yang sama,
dan masih banyak lagi definisi tentang malparaktik yang telah dipublikasikan. 
Dari segi hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada
misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-
mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan ( Sampurna, Budi, ).
Professional misconduct merupakan kesengajaan yang dapat dilakukan dalam
bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta
hukum pidana dan perdata seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, fraud,
penahanan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi illegal, euthanasia,
penyerangan seksual, misrepresentasi, keterangan palsu, menggunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran yang belum teruji/diterima, berpraktik tanpa SIP, berpraktik di luar
kompetensinya, dan lain-lain.
Dalam tata hukum Indonesia tidak dikenal istilah malpraktik, pada undang-undang
No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan disebut sebagai kesalahan atau kelalaian dokter
sedangkan dalam undang-undang No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran dikatakan
sebagai pelanggaran disiplin dokter. Sehingga dari berbagai definisi malpraktik diatas dan
dari kandungan hukum yang berlaku di indonesia dapat ditarik kesimpulan bahwa pegangan
pokok untuk membuktikan malpraktik yakni dengan adanya kesalahan tindakan profesional

14
yang dilakukan oleh seorang dokter ketika melakukan perawatan medik dan ada pihak lain
yang dirugikan atas tindakan tersebut.
Menurut Guwandi malpraktik adalah (Guwandi, J. 1994, 18):
a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh dokter atau dokter gigi;
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban (negligence).
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Masih menurut Gunadi, J masalah hukum sekitar 80% berkisar pada penilaian atau
penafsiran. Resiko dalam tindakan medik selalu ada dan jika dokter atau penyedia layanan
kesehatan telah melakukan tindakan sesuai dengan standar profesi medik dalam arti bekerja
dengan teliti, hati-hati, penuh keseriusan dan juga ada informed consent (persetujuan) dari
pasien maka resiko tersebut menjadi tanggungjawab pasien. 
Dalam undang-undang hukum perdata disana disebutkan dalam hal tuntutan
melanggar hukum harus terpenuhi syarat sebagai berikut :
1. Adanya perbuatan (berbuat atau tidak berbuat)
2. Perbuatan itu melanggara hukum
3. Ada kerugian yang ditanggung pasien
4. Ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan
5. Adanya unsur kesalahan atau kelalaian
Dalam beberapa kasus yang diajukan ke pengadilan masih terdapat kesulitan
dalam menentukan telah terjadi malparaktik atau tidak karena dalam tatanan hukum
indonesia belum diatur mengenai standar profesi dokter / tenaga kesehatan sehingga hakim
cenderung berpatokan pada hukum acara konvensional, sedangkan dokter / tenaga kesehatan
merasa sebagai seorang profesional yang tidak mau disamakan dengan hukuman bagi pelaku
kriminal biasa, misalnya : pencurian atau pembunuhan. Sebagai insan yang berkecimpung di
bidang asuransi kita berharap pemerintah lebih serius untuk mengatur permasalahan tersebut
dengan menerbitkan produk hukum yang mengatur tentang standar profesi.

15
BAB VII
Standar Profesi Perawat Gigi
Kewenangan yang dimiliki oleh seorang perawat gigi untuk melaksanakan tugas
pelayanannya adalah kewenangan hukum (rechtsbevoegheid). Atas dasar kewenangan inilah,
seorang tenaga kesehatan berhak melakukan pengobatan sesuai dengan kompetensinya. Bila
persyaratan administratif untuk melaksanakan profesinya telah dipenuhi, maka perawat gigi
sebagai pengemban profesi telah memperoleh kewenangan profesional dalam menjalankan
pekerjaannya. Namun, bila seorang tenaga kesehatan melakukan pekerjaan tanpa
kewenangan, dapat dianggap melanggar salah satu standar profesi tenaga kesehatan.
Standar kompetensi Perawat Gigi yang tertuang dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 378 Tahun 2007 Tentang Standar Profesi Perawat Gigi adalah sebagai
berikut :
Penyelenggaraan pendidikan berbagai jenis dan jenjang tenaga kesehatan
mempunyai tujuan yang mulia yaitu selain mencerdasakan bangsa juga memenuhi kebutuhan
pelayanan kesehatan gigi. Pendidikan tenaga kesehatan gigi jenjang Diploma seperti halnya
Perawat Gigi termasuk dalam kelompok Pendidikan Profesional (PP RI Nomor 60 Tahun
1999 tentang Pendidikan Tinggi) yang artinya pendidikan diarahkan terutama pada kesiapan
penerapan kemampuan tertentu berdasarkan tuntutan pasar kerja.
Standar Profesi Perawat Gigi digunakan sebagai pedoman dalam menjalankan
profesi secara baik dengan tujuan :
1). Memberikan pelayanan asuhan kesehatan gigi sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
wewenang yang dimilikinya.
2). Memberikan perlindungan kepada Perawat Gigi dari tuntutan hukum.
3). Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari malpraktek Perawat Gigi.
Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas, penuh tanggung jawab yang
dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam
melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Sedangkan Australian National
Training Authority mendefinisikan kompetensi adalah spesifikasi dari pengetahuan dan
keterampilan serta penerapan dari pengetahuan dan keterampilan tersebut dalam suatu
pekerjaan atau lintas industri, sesuai dengan standar kinerja yang disyaratkan.

16
BAB VIII
Keputusan Etis
Pemecahan Masalah
Marriner A-Tomey (1996), dalam Sumijatun (2009) menyatakan bahwa
mekanisme berpikir dari otak manusia telah dikonsepkan dalam dua sisi, sisi kanan adalah
intuitif dan konseptualyang digunakan untuk mendorong kreativitas berpikir; sedangkan sisi
kiri adalah analisis dan rangkaian-rangkaian.
Kedudukan Etika Dalam Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan etik merupakan salah satu proses dari pengambilan
keputusan, yang didalamnya terdapat ilmu, kedudukan, dan etika. Proses ini mencakup cara
pemecahan masalah, situasi dari permasalahan  dan/ dilema yang dapat dicapai. Jadi proses
pengambilan keputusan merupakan hal yang sama dan di temukan di berbagai situasi yang
bermasalah, dengan demikian situasi sangat bergantung dari norma yang diacu masyarakat
seperti etika, interaksi sosial, dan situasional kontekstual.
Prinsip Etik sebagai Panduan Pengambilan Keputusan
Dalam Sumijatun (2009) dikatakan bahwa praktik keperawatan melibatkan
interaksi yang kompleks antara nilai individu, sosial dan politik, serta hubungannya dengan
masyarakat tertentu. Sebagai dampaknya perawat sering mengalami situasi yang berlawanan
dengan hati nuraninya. Meskipun demikian, perawat tetap akan menjaga kewajibannya
sebagai pemberi pelayanan yang lebih bersifat kemanusiaan. Dalam membuat keputusan,
perawat akan berpegang teguh pada pola pikir rasional serta tanggung jawab moral dengan
menetapkan prinsip etik dan hukum yang berlaku.
Model Pengambilan Keputusan Etik
1. Kozier, dkk(1997)
a. Mengidentifikasi fakta dan situasi spesifik
b. Menerapkan prinsip dan teori etika keperawatan
c. Mengacu kepeda kode etik keperawatan
d. Melihat dan mempertimbangkan kesesuaiannya untuk klien
e. Mengacu pada nilai yang dianut
f. Mempertimbangkan faktor lain seperti nilai, kultur, harapan, komitmen, penggunaan
waktu, kurangnya pengalaman, ketidaktahuan atau kecemasan terhadap hukum, dan
adanya loyalitas terhadap publik.
17
2. Potter dan Perry (2005)
a. Menunjukkan maksud baik, mempunyai anggapan bahwa semua orang mempunyai
maksud yang baik untuk menjelaskan masalah yang ada.
b. Mengidentifikasi semua orang penting, menganggap bahwa semua orang yang terlibat
dalam proses pengambilan keputusan merupakan orang penting dan perlu didengar
pendapatnya.
c. Mengumpulkan informasi yang relevan, informasi yang relevan meliputi data tentang
pilihan klien, sistem keluarga, diagnosis dan prognosis medis, pertimbangan sosial,
dan dukungan lingkungan.
d. Mengidentifikasi prinsip etik yang dianggap penting
e. Mengusulkan tindakan alternatif
f.  Melakukan tindakan terpilih

Prinsip-Prinsip Etik
Menurut Code for Nurses with Interpretive Statement (ANA, 1985), dalam Potter
dan Perry(1997) dan juga PPNI (2003) dalam Sumijatun (2009), prinsip-prinsip etik meliputi
hal-hal sebagai berikut.
1. Respek
Perilaku perawat yang menghormati klien dan keluarganya.
2. Otonomi
Otonomi berkaitan dengan hak seseorang untuk mengatur dan membuat keputusan sendiri,
meskipun demikian masih terdapat berbagai keterbatasan.
3. Beneficence (Kemurahan Hati)
4. Non-malaficence
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk tidak menimbulkan kerugian atau
cedera pada kliennya.
5. Veracity (Kejujuran)
6. Konfidensialitas (Kerahasiaan)
7. Fidelity (kesetiaan)
8. Justice (Keadilan)

Tahap- Tahap Pengambilan Keputusan


1. Mengidentifikasi masalah.
2. Mengumpulkan data masalah.
3. Mengidentifikasi semua pilihan/ alternative
4. Memikirkan masalah etis secara berkesinambungan.
5. Membuat keputusan
6. Melakukan tindakan dan mengkaji keputusan dan hasil evaluasi tindakan.

18
BAB IX
Pembuktian Malpraktik
Dari definisi malpraktek “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat
untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan
merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut
ukuran dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah
benar telah terjadi kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan
keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut.
Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan
resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena
perikatan dalam transaksi teraputik antara tenaga kesehatan dengan pasien adalah
perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian
akan hasil (resultaat verbintenis).
Sebagai contoh adanya komplain terhadap tenaga perawatan dari pasien yang
menderita radang uretra setelah pemasangan kateter. Apakah hal ini dapat dimintakan
tanggung jawab hukum kepada tenaga perawatan? Yang perlu dipahami semua pihak adalah
apakah ureteritis bukan merupakan resiko yang melekat terhadap pemasangan kateter?
Apakah tenagaperawatan dalam memasang kateter telah sesuai dengan prosedur
profesional ?. Hal-hal inilah yang menjadi pegangan untuk menentukan ada dan tidaknya
malpraktek.
Apabila tenaga perawatan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini
bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan
dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal tenaga perawatan didakwa telah
melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan tenaga perawatan
tersebut telah memenuhi unsur tidak pidananya yakni :
1. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang tercela
2.  Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja,
ceroboh atau adanya kealpaan).
Selanjutnya apabila tenaga perawatan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga
mengakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah
adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau
19
kurang hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice
pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :

1.      Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a.       Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga perawatan dengan pasien, tenaga perawatan
haruslah  bertindak berdasarkan
1)      Adanya indikasi medis
2)      Bertindak secara hati-hati dan teliti
3)      Bekerja sesuai standar profesi
4)      Sudah ada informed consent.

b.      Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)


Jika seorang tenaga perawatan melakukan asuhan keperawatan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard
profesinya, maka tenaga perawatan tersebut dapat dipersalahkan.
c.       Direct Causation (penyebab langsung)
d.      Damage (kerugian)
Tenaga perawatan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara
penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada
peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas.
Hasil(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan tenaga perawatan. Sebagai
adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan
dibebankan/harus diberikan oleh si  penggugat (pasien).
2.      Cara tidak langsung
Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res
ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada
memenuhi kriteria:
a.       Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila tenaga perawatan tidak lalai
b.      Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab tenaga perawatan

20
c.       Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada
contributory negligence. Misalnya ada kasus saat tenaga perawatan akan mengganti/
memperbaiki kedudukan jarum infus pasien bayi, saat menggunting perban ikut
terpotong jari pasien tersebut . Dalam hal ini jari yang putus dapat dijadikan fakta yang
secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan tenaga perawatan, karena:
1)      Jari bayi tidak akan terpotong apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
2)      Membetulkan jarum infus adalah merupakan/berada pada tanggung jawab perawat.
3)      Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.

21
BAB X
Pencegahan Malpraktik
Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga medis karena adanya
malpraktek diharapkan tenaga dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a.       Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b.      Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c.       Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d.      Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e.       Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f.       Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga
perawat menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga kesehatan seharusnyalah bersifat pasif
dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian tenaga kesehatan.
Apabila tuduhan kepada kesehatan merupakan criminal malpractice, maka tenaga
kesehatan dapat melakukan :
a.       Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa
tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang
ada, misalnya perawat mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi
merupakan risiko medik (risk of treatment),atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak
mempunyai sikap batin (men rea)sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang
dituduhkan.
b.      Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk
pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak
unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri
dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah
pengaruh daya paksa. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya perawat
menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan
diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana
perawat digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah
22
mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang
mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau
pengacaranya harus membuktikan  dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (perawat)
bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. Untuk membuktikan
adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang
dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan
menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara
menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan
yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah
yang menguntungkan tenaga perawatan.

23
BAB XI
Aspek Legal Keperawatan
Definisi aspek legal adalah Ilmu pengetahuan mengenai hak dan tanggung jawab legal yang
terkait dengan praktik keperawatan merupakan hal yang penting bagi perawat.
1. Manajemen
a. Administrasi dan Manajemen
1) Kemampuan menunjukkan kepemimpinan dalam permasalahan keperawatan gigi.
2) Kemampuan merencanakan pengelolaan rencana kerja harian, bulanan dan tahunan
serta pencatatan kegiatan dan keluarannya.
3) Kemampuan melaksanakan pekerjaan perkantoran, administrasi dan tugas-tugas
akuntansi yang diharapkan secara teliti dan efisien dengan menggunakan komputer
atau peralatan lainnya.
4) Kemampuan membuat dokumen secara teliti dan memelihara kerahasiaannya.
5) Kemampuan mengontrol persediaan peralatan dan bahan-bahan dan mencatat
persediaan obat.
6) Kemampuan memelihara kebersihan dan pengaturan klinik.
7) Tanggung jawab dan tanggung gugat dalam pelayanan asuhan kesehatan gigi dan
mulut.
8) Kemampuan mengelola pelayanan asuhan kesehatan gigi dan mulut.
b. Komunikasi
1) Kemampuan menunjukkan komunikasi dan hubungan antar manusia yang efektif
dan berembuk dengan pasien dan tim kesehatan gigi baik secara perorangan dan
dalam tim atau pertemuan.
2) Kemampuan melaksanakan komunikasi yang efektif dan proses pendidikan
kesehatan gigi dan mulut termasuk saran pre/post operation (chair side talk ).
3) Kemampuan menilai kebersihan mulut dan memotivasi pasien untuk berperilaku
yang menunjang kesehatan gigi dan mulut.
4) Kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan saluran-saluran komunikasi
formal maupun informal.
5) Kemampuan berkomunikasi dalam taraf internasional.
6) Kemampuan melakukan informasi concern dengan pasien.
7) Kemampuan melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien.
24
c. Kerjasama Tim
1) Kemampuan mengembangkan proses kepemimpinannya yang diperlukan untuk
menciptakan kerjasama yang baik dalam tim.
2) Kemampuan berkerjasama dalam tim kesehatan lainnya dalam membuat keputusan
baik individu maupun tim.
3) Kemampuan menjalin dan memelihara hubungan kerjasama dengan para sejawat
anggota tim kesehatan lain.
4) Kemampuan mendorong peran anggota tim pemeliharaan kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan.
2. Pengawasan Penularan Penyakit (Cross Infection Control)
a. Kemampuan berbuat untuk setiap saat mempertinggi keamanan perorangan dan
kelompok.
b. Kemampuan menerapkan secara berhati-hati dan efektif penggunaan peralatan
sterilisasi (autoclave, dry heat,dan sebagainya)
c. Kemampuan menggunakan secara tepat zat desinfektan dan dekontaminasi.
d. Kemampuan membersihkan, mensterilkan dan memelihara fasilitas dan instrumen
kesehatan gigi yang steril.
e. Kemampuan menunjukkan dan menerapkan sterilisasi secara aman dan prosedur,
pengawasan penularan penyakit dalam klinik dalam perawatan rutin pasien.
f. Kemampuan untuk melindungi diri terhadap penularan penyakit.
g. Kemampuan membuang sampah termasuk benda-benda tajam dan berbahaya dengan
cara aman.
3. Pemeliharaan dan Penggunaan Peralatan
a. Kemampuan mengawasi persediaan peralatan dan inventaris.
b. Kemampuan memelihara dan merawat berbagai macam peralatan dan mampu
mengasah berbagai instrument secara benar dan menerapkan secara efisien cara-cara
pengasahan.
c. Kemampuan mempersiapkan dan menggunakan alat-alat kedokteran elektrik, alat
berputar (hand piece, contra angle) secara hati-hati dan efektif.
4. Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit gigi dan mulut
a. Kemampuan melakukan studi tentang penilaian kebutuhan pelayanan kesehatan gigi
masyarakat dan menyiapkan catatan serta menyusun rencana kerja strategis.

25
b. Kemampuan melakukan pemeriksaan OHIS (Oral Hygiene Index Simplified) dan
PITN (Periodontal Index of Treatment Needs), DMF-T (Decay, Mising, Filing- Teet),
PTI (Performace Treatment Index).
c. Kemampuan mengidentifikasi resiko kelompok masyarakat beresiko dan menyusun
strategi untuk menghadapinya, bekerjasama dengan kebutuhan khusus kelompok
masyarakat.
d. Kemampuan untuk mengenali lesi dini dari kanker mulut dan manifestasi HIV/AIDS
di mulut.
e. Kemampuan bekerja melalui kerjasama dengan komisikomisi pembangunan di
kabupaten /kota dan lintas sektor dengan program lain yang berorientasi pada
masyarakat untuk meningkatkan kesehatan dan kesehatan gigi dan pembangunan
masyarakat dengan menggunakan pendekatan PHC (Primary Health Care).
5. Perlindungan Khusus
a. Kemampuan mencatat pemeriksaan, mengidentifikasi dan rencana asuhan keperawatan
gigi.
b. Kecakapan melaksanakan skaling supra gingival, polis secara benar, efektif, dan
aman.
c. Kemampuan melakukan scalling.
d. Kemampuan melakukan fissure sealant, fluoride gel, varnish dan topical application.
6. Tindakan Asuhan Keperawatan di Klinik
a. Pencabutan Gigi
1) Melakukan riwayat, pemeriksaan, identifikasi dan perencanaan untuk pasien
dengan berbagai kondisi kesehatan gigi dan mulut.
2) Kemampuan untuk melaksanakan pencabutan gigi sulung dengan topikal
anaesthesi dan infiltrasi anaesthesi.
3) Kemampuan untuk melaksanakan pencabutan gigi tetap akar tunggal dengan
infiltrasi anaesthesi.
4) Kemampuan melakukan perawatan pasca pencabutan dan komplikasi.
b. Konservasi Gigi
1) Kemampuan mengidentifikasi karies gigi dan menyeleksi kasus-kasus untuk
dilakukan perawatan konservasi sesuai dengan kemampuannya / kewenangannya.
2) Kemampuan melakukan preparasi kavitas dan penumpatan (gigi sulung dan gigi
tetap pada satu/dua permukaan menggunakan amalgam, silikat,dan sebagainya).

26
3) Kemampuan melakukan preparasi kavitas dengan excavator dan penumpatan
dengan ART (Atraumatic Restorative Treatment).
4) Kemampuan membersihkan dan memoles gigi dan tumpatan.
5) Kemampuan menggunakan rubber dam.
c. Pertolongan pertama (first aid/relief pain)
1) Kemampuan mengelola dan membantu tindakan darurat medik dan dental.
2) Kemampuan melakukan pertolongan pertama untuk mengurangi rasa sakit pada
penyakit gigi akut.
3) Kemampuan mengidentifikasi dan mengelola keadaan darurat yang terjadi selama
dan sesudah pengobatan gigi.
4) Kemampuan memberikan pertolongan pertama pada trauma maxillo-facial, absces,
periodontitis.
5) Bila gigi gangraen dengan periapikal absces maka dilakukan trepanasi dengan cara
membuka kavum pulpa dengan bor, ditutup kapas jangan diberi tumpatan
sementara.
7. Rujukan
a. Mengenal pengetahuan dasar / bidang kemampuan sendiri.
b. Kemampuan mengenal kasus-kasus yang menjadi kewenangannya dan melaksanakan
rujukan.
c. Kemampuan mengenal berbagai penyakit mulut dan manifestasi beberapa penyakit
infeksi yang harus dirujuk.
8. Peneliti
a. Kemampuan melakukan penelitian untuk meningkatkan dan memberikan masukan
dalam pengembangan keperawatan gigi dan meningkatkan standar dan kegiatan-
kegiatan gigi promotif dan preventif.
b. Kemampuan menyusun instrumen untuk pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif.
c. Kemampuan mengumpulkan data mengenai kesehatan dan status kesehatan gigi
perorangan dan masyarakat.
d. Kemampuan memproses, menganalisa data dan menginterpretasikannya secara tepat.
e. Kemampuan bekerjasama dalam menyiapkan penulisan hasil penelitian untuk
dipublikasikan.

27
BAB XII
Konsep Moral Praktik Keperawatan
Gigi
Praktik keperwatan termasuk etika keperawatan, mempunyai berbagai dasar
penting, seperti advokasi, akuntabilitas, loyalitas,kepedulian, rasa haru, dan menghormati
martabat manusia. Di antara berbagai pernyataan ini yang lazim termaktub dalam standar
pkratik keperawatan dan telah menjadi bahan kajian dalam wktu lama adalah advokasi;
responsibilitas dan akuntabilitas, dan loyalitas (Fry, 1991)

Advokasi

Istilah advokasi sering digunakan dalam konteks hukum yang terkaitan dengan
upaya melindungi hak manusia sebagai mereka yang tidak mampu membela diri. Arti
advokasi menurut American Nurses Association/ ANA (1985) adalah “melindungi klien atau
masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan keselamatan praktik tidak sah yang tidak
kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapapun”.

Fry (1987) mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap setiap hal
yang memiliki penyebab atau dampak penting. Definisi ini mirip dengan yang dinyatakan
Gadow (1983) bahwa “advokasi merupakan dasar falsafah dan ideal keperawatan yang
melibatkan bantuan perawat secara aktif kepada individu secara bebas menentukan nasibnya
sendiri.” Posisi perawat yang mempunyai pekerjaan jam kerja  sampai 10 atau 12 jam
memungkinkannya yang mempunyai banyak waktu untuk mengadakan hubungan baik dan
mengetahui keunikan klien sesbagai manusia holistik sehingga berposisi sebagai advokasi
klien (Curtin,1986).

Pada dasarnya, peran perawat sebagai advokat klien adalah memberi informasi dan
memberi bantuan kepada klien atas keputusan apa pun yang dibuat klien; memberi informasi
berarti menyediakan penjelasan atau informasi sesuai dengan kebutuhan klien; memberi
bantuan mengandung dua peran, yaitu peran aksi dan peran nonaksi. Dalam menjalankan
peran aksi, perawat memberi keyakinan kepada klien bahwa mereka mempunyai hak dan
tanggung jawab dalam menentukan pilihan atau keputusan sendiri dan tidak tertekan dengan

28
pengaruh orang lain, sedangkan peran nonaksi mengandung arti pihak advokat seharusnya
menahan diri untuk tidak memengaruhi keputusan klien (Kohnke, 1982). Dalam menjalan
kan peran sebagai advokat, perawat harus menghargai klien sebagai individu yang memiliki
berbagai akrakteristik. Dalam hal ini, perawat memberikan perlindungan terhadap martabat
dan nilai manusiawi klien selama dalam keadaan sakit.

Responsibilitas dan akuntabilitas


Perawat profesional harus mampu menerima responsibilitas dan akuntabilitas atas
asuhan keperawatan yang telah ia berikan.

Responsibilitas (tanggung jawab) adalah eksekusi terhadap tugas yang


berhubungan dengan peran tertentu dari perawat. Pada saat memberikan obat, perawat
bertanggung jawab untuk mengkaji kebutuhan klien dalam memberikannya dengna aman dan
benar, dan mengevaluasi respons klien terhadap obat tersebut. perawat yang selalu
bertanggung jawab dalam melakukan tindakannya akan mendapatkan kepercayaan dari klien
atau dari profesi lainnya. Perawat yang bertanggung jawab akan tetap kompeten dalam
pengetahuan dan keterampilan serta selalu menunjukkan keinginan untuk bekerja
berdasarkan kode etiik profesinya.

Akuntabilitas (tanggung gugat) dapat menjawab segala hal yang berhubungan


dengan tindakan seseorang. Perawat bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, klien,
profesi, sesama karyawan dan masyarakat. jika memberi dosis obat yang salah kepada klien,
perawat tersebut dapat digugat oleh klien yang menerima obat, oleh dokter yang memberikan
tugas delegatif, dan oleh masyarakat yang menuntut kemampuan profesionalnya. Agar dapat
bertanggung gugat, perawat harus bertindak profesional serta berdasarkan kode etik
profesinya. Dengan demikian, jika suatu kesalahan atau penyimpangan, perawat dapat segera
melaporkannya dan melakukan perawatan untuk mencegah cedera lebih lanjut. Akuntabilitas
dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas perawat dalam melakukan praktik keperawatan.

Akuntabilitas merupakan konsep yang sangat penting dalam praktik keperawatan.


Akuntabilitas mengandung arti dapat mempertanggungjawabkan suatu tindakan yang
dilakukan dan dapat menerima konsekuensi dari tindakan tersebut (Kozier, Erb, 1991), Fry
(1990) menyatakan bahwa akuntabilitas mengandung dua komponen utama, yaitu tanggung
jawab dan tanggung gugat. Ini berarti bahwa tindakan yang dilakukan perawat dilihat dari

29
praktik kperawatan, kode etik, dari undang-undang dapat dibenarkan atau absah.
Akuntabilitas dapat dipandang dalam suatu kerangka sistem hierarki, dimulai dari tingkat
individu, tingkat institusi/ profesional, dan tingkat sosial (Sullivan, Decker, 1988).

Pada tingkat individu atau tingkat klien, akuntabilitas direfleksikan dalam proses
pembuatan keputusan etik perawat, kompetensi, komitmen dan integritas. Pada tingkat
institusi akuntabilitas direfleksikan dalam pernyataan falsafah dan tujuan bidang keperawatan
atau audit keperawatan. Pada tingkat profesional, akuntabilitas direfleksikan dalam standar
praktik keperawatan. Pada tingkat sosial, direfleksikan dalam undang-undang yang mengatur
praktik keperawatan.

Loyalitas
Loyalitas merupakan suatu konsep yang meliputi simpati, peduli dan hubungan
timbal balik terhadap pihak yang secara profesional berhubungan dengan perawat. Ini berarti
pertimbangan nilai dan tujuan orang lain sebagai nilai dan tujuan sendiri. Hubungan
profesional dipertahankan dengan cara menyusun tujuan bersama, menepati janji,
menentukan masalah dan prioritas, serta mengupayakan pencapaian kepuasan bersama
(Jameton, 1984, Fry 1991). Untuk mencapai kualitas asuhan keperawatan yang tinggi dan
hubungan berbagai pihak yang harmonis, loyalitas harus dipertahankan oleh setiap perawat
baik loyalitas kepada klien, teman sejawat, rumah sakit maupun profesi. Untuk mewujudkan
ini, AR, Tabbner (1981; lihat Cresia, 1991) mengajukan berbagai argumentasi :

1. Masalah klien tidak boleh didiskusikan oleh klien lain dan perawat harus bijaksana
bila informasi dari klien harus didiskusikan secara profesional
2. Perawat harus menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat dan berbagai
persoalan yang berkaitan dengan klien, rumah sakit atau pekerja rumah sakit, harus
didiskusikan dengan umum (terbuka dengan masyarakat)
3. Perawat harus menghargai dan memberi bantuan kepad teman sejawat. Kegagalan
dalam melakukan hal ini dapat menurunkan penghargaan dan kepercayaan masyarakat
kepada tenaga kesehatan
4. Pandangan masyarakat terhadap profesi keperawatan ditentukan oleh kelakuan
anggota profesi atau perawat. Perawat harus menunjukkan loyalitasnya kepada profesi
dengan berperilaku secara tepat pada saat bertugas.

30
BAB XIII
Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat
Tanggung jawab perawat berarti keadaan yang dapat dipercaya dan terpercaya.
Sebutan ini menunjukkan bahwa perawat professional menampilkan kinerja secara hati – hati,
teliti dan kegiatan perawat dilaporkan secara jujur.(Koziers 1983:25)
Kepercayaan akan tumbuh, apabila perawat memiliki kemampuan, terampil, dan
keahlian yang relevan dengan disiplin ilmunya. Kecemasan klien akan timbul apabila klien
merasa bahwa perawat yang merawatnya kurang terampil, tidak memiliki keahlian, dan
pendidikan tidak memadai. Berikut beberapa cara perawat mengkomunikasikan rasa
tanggung jawabnya :
1. Menyampaikan perhatian dan rasa hormat pada klien.Contoh: “Mohon maaf bu demi
kenyamanan ibu dan kesehatan ibu saya akan mengganti balutan atau mengganti
spreinya”.
2. Bila perawat terpaksa menunda pelayanan, maka perawat bersedia memberikan penjelasan
dengan ramah kepada kliennya. Misalnya: “Mohon maaf pak saya memprioritaskan dulu
klien yang gawat dan darurat sehingga harus meninggalkan bapak sejenak”.
3. Menunjukan kepada klien sikap menghargai yang ditunjukkan dengan perilaku perawat.
Misalnya mengucapkan salam, tersenyum, membungkuk, bersalaman dsb.
4. Berbicara dengan klien yang berorientasi pada perasaan bukan pada kepentingan atau
keinginan perawat misalnya “Coba ibu jelaskan bagaimana perasaan ibu saat ini”.
Sedangkan apabila perawat berorientasi pada kepentingan perawat: “Apakah bapak tidak
paham bahwa pekerjaan saya itu banyak, dari pagi sampai siang, mohon pengertiannya
pak, jangan mau dilayani terus”
5. Tidak mendiskusikan klien lain di depan pasien dengan maksud menghina misalnya
“pasien yang ini mungkin harapan sembuhnya lebih kecil dibanding pasien yang tadi”
6. Menerima sikap kritis klien dan mencoba memahami klien dalam sudut pandang klien.
Misalnya perawat tetap bersikap bijaksana saat klien menyatakan bahwa obatnya tidak
cocok atau diagnosanya mungkin salah.

Jenis Tanggung Jawab Perawat


Tanggung jawab perawat dapat diidentifikasi sebagai berikut :
1. Tanggung jawab utama terhadap Tuhannya.
31
Dalam sudut pandang etika Normatif, tanggung jawab perawat yang paling utama adalah
tanggung jawab di hadapan Tuhannya. Sesungguhnya penglihatan, pendengaran dan hati
akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Tuhan. Dalam sudut pandang Etik
pertanggung jawaban perawat terhadap Tuhannya terutama yang menyangkut hal-hal
berikut ini :
a. Apakah perawat berangkat menuju tugasnya dengan niat ikhlas karena Tuhan ?
b. Apakah perawat mendo’akan klien selama dirawat dan memohon kepada Tuhan untuk
kesembuhannya ?
c. Apakah perawat mengajarkan kepada klien hikmah dari sakit ?
d. Apakah perawat menjelaskan mafaat do’a untuk kesembuhannya ?
e. Apakah perawat memfasilitasi klien untuk beribadah selama di R S ?
f. Apakah perawat melakukan kolaborasi dalam pemenuhan kebutuhan spiritual klien?
2. Tanggung jawab terhadap klien dan masyarakat.
Tanggung jawab merupakan aspek terpenting dalam etika perawat. Tanggung
jawab adalah kesediaan seseorang dalam menghadapi kemungkinan paling buruk
sekalipun, memberikan kompensasi dan informasi terhadap apa yang dilaksanakannya
dalam melaksanakan tugas. Tanggung jawab perawat terhadap klien berfokus terhadap apa
yang dilakukannya terhadap klien. Contoh bentuk tanggung jawab perawat terhadap klien:
mengenal kondisi klien, merawat klien selama jam dinas, tanggung jawab dalam
pendokumentasian, menjaga keselamatan klien, bertanggung jawab bila terjadi penurunan
kondisi klien, dan sebagainya.
Tanggung jawab perawat juga erat hubungannya dengan tugas utama perawat
yaitu care. Seperti dalam tugas – tugas yang didelegasikan misalnya dalam pemberian
obat. Meskipun ini adalah tugas yang didelegasikan, perawat harus turut bertanggung
jawab meskipung kesalahan utama terkadang terletak pada atasan yang member delegasi.
Etika perawat juga melandasi perawat untuk memiliki tanggung jawab, terutama
memandang manusia sebagai makhluk yang unik dan utuh. Unik artinya individu bersifat
khas dan tidak bisa disamakan dengan individu lain. Utuh artinya manusia memiliki
kebutuhan yang kompleks dan saling berkaitan. Berbagai tanggung jawab lainnya dari
perawat terhadap kliennya seperti bertanggung jawab dalam memelihara suasana
lingkungan yang menghormati nilai budaya dan agama dari individu selama melaksanakan
pengabdian di bidang keperawatan serta bertanggung jawab dalam menjalin kerja sama
dengan individu, keluarga, dan masyarakat khususnya dalam mengadakan upaya
kesehatan dan kesejahteraan.
32
3. Tanggung jawab terhadap rekan sejawat dan atasan.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan tanggu ng jawab perawat terhadap rekan sejawat
atau atasan. Diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Membuat pencatatan yang lengkap (pendokumentasian) tentang kapan melakukan
tindakan
b. keperawatan, berapa kali, dimana dengan cara apa dan siapa yang melakukan. Misalnya
perawat A melakuan pemasangan infus pada lengan kanan vena brchialis , dan
pemberian cairan RL sebanyak 5 kolf, infus dicabut malam senin tanggal 30 juni 2007
jam 21.00. Kemudian dibubuhi tanda tangan dan nama jelas perawat.
c. Mengajarkan pengetahuan perawat terhadap perawat lain yang belum mampu atau
belum mahir melakukannya. Misalnya perawat belum mahir memasang EKG diajar
oleh perawat yang sudah mahir. Untuk melindungi masyarakat dari kesalahan, perawat
baru dilatih oleh perawat senior yang sudah mahir, meskipun secara akademik sudah
dinyatakan kompeten tetapi kondisi lingkungan dan lapangan seringkali menuntut
adaptasi khusus.
d. Memberikan teguran bila rekan sejawat melakukan kesalahan atau menyalahi standar.
e. Perawat bertanggung jawab bila perawat lain merokok di ruangan, memalsukan obat,
mengambil barang klien yang bukan haknya, memalsukan tanda tangan, memungut
uang di luar prosedur resmi, melakukan tindakan keperawatan di luar standar, misalnya
memasang NGT tanpa menjaga sterilitas.
f. Memberikan kesaksian di pengadilan tentang suatu kasus yang dialami klien. Bila
terjadi gugatan akibat kasus-kasus malpraktek seperti aborsi, infeski nosokomial,
kesalahan diagnostik, kesalahan pemberian obat, klien terjatuh, overhidrasi, keracunan
obat, over dosis dsb. Perawat berkewajiban untuk menjadi saksi dengan menyertakan
bukti-bukti yang memadai.
4. Tanggung jawab terhadap profesi
Berikut tanggung jawab perawat terhadap profesi adalah :
a. Perawat bertanggung jawab dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan
profesionalnya secara individu ataupun berkelompok melaui penambahan ilmu
pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman.
b. Perawat bertanggung jawab dalam menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan
dengan menunjukkan sikap dan pribadi yang terpuji.
c. Perawat bertanggung jawab dalam menentukan pelayanan keperawatan yang
professional dan menerapkannya dalam kegiatan pelayanan keperawatan.
33
d. Perawat bertanggung jawab secara bersama membina dan memelihara mutu organisasi
profesi keperawatan sebagai sarana pengabdian.
5. Tanggung jawab terhadap negara
Berikut tanggung jawab perawat terhadap negara adalah :
a. Perawat bertanggung jawab dalam melaksanakan ketentuan yang telah digarikan oleh
pemerintah dalam bidang kesehatan dan keperawatan.
b. Perawat bertanggung jawab dalam melaksanakan peran aktif menyumbangkan pikiran
kepada pemerintah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepara
masyarakat.

Tanggung Gugat (Akuntability)


Akuntability dapat diartikan sebagai bentuk partisipasi perawat dalam membuat
suatu keputusan dan belajar dengan keputusan itu konsekuensi – konsekuensinya. Perawat
hendaknya memiliki tanggung gugat artinya bila ada pihak yang menggugat ia mengatakan
siap dan berani menghadapinya. Perawat harus mampu dalam menjelaskan segala
tindakannya. Hal ini bisa dijelaskan dengan menjelaskan tiga pertanyaan berikut:
1. Kepada siapa tanggung gugat itu ditujukan ? Sebagai tenaga perawat kesehatan perawat
memiliki tanggung gugat terhadap klien, sedangkan sebagai pekerja atau karyawan
perawat memilki tanggung gugat terhadap direktur, sebagai profesional perawat memilki
tanggung gugat terhadap ikatan profesi dan sebagai anggota team kesehatan perawat
memiliki tanggung gugat terhadap ketua tim biasanya dokter, sebagai contoh perawat
memberikan injeksi terhadap klien. Injeksi ditentukan berdasarkan petunjuk dan
kolaborasi dengan dokter, perawat membuat daftar biaya dari tindakan dan pengobatan
yang diberikan yang harus dibayarkan ke pihak rumah sakit. Dalam contoh tersebut
perawat memiliki tanggung gugat terhadap klien, dokter, RS dan profesinya.
2. Apa saja dari perawat yang dikenakan tanggung gugat? Perawat memilki tanggung gugat
dari seluruh kegitan professional yang dilakukannya.
3. Dengan kriteria apa saja tangung gugat perawat diukur baik buruknya? Ikatan perawat atau
Asosiasi perawat atau Asosiasi Rumah sakit telah menyusun standar yang memiliki
krirteria-kriteria tertentu dengan cara membandingkan apa-apa yang dikerjakan perawat
dengan standar yang tercantum.

34
BAB XIV
Penyelesaian Sengketa Medik dengan
Mediasi
A. Sengketa Umum

Dalam kosa kata Inggris terdapat 2 (dua) istilah, yakni "conflict" dan "dispute"
yang keduanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan di antara
kedua belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Conflict sudah
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia yakni "konflik", sedangkan dispute dapat
diterjemahkan dengan arti sengketa.
Konflik adalah sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan pada
perbedaan kepentingan, tidak dapat berkembang dari sebuah sengketa apabila pihak yang
merasa dirugikan hanya memendam perasaan tidak puas atau keperihatinannya. Konflik
berkembang atau berubah menjadi sebuah sengketa apabila pihak yang merasa dirugikan
telah menyatakan rasa tidak puas atau keperihatinannya, baik secara langsung kepada
pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. Ini berarti sengketa
merupakan kelanjutan dari konflik. Sebuah konflik yang tidak dapat terselesaikan akan
menjadi sengketa.
B. Sengketa Medik
Undang-undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran secara implisit
menyebutkan bahwa sengketa medik adalah sengketa yang terjadi karena kepentingan
pasien dirugikan oleh tindakan dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik
kedokteran. Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran yang berbunyi: setiap orang yang
mengetahui atau kepentingan dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua majelis
Kehormatan Disiplin Kedoktern Indonesia. Dengan demikian sengketa medik merupakan
sengketa yang terjadi antara pengguna pelayanan medik dengan pelaku pelayanan medik
dalam hal ini pasien dengan dokter.
Oleh Safitri Hariani kata medik diambilnya dari kamus Inggris-Indonesia
karangan John M. Echols dan Hasan Shadily yaitu medical yang secara umum berarti
berhubungan dengan pengobatan. Hermin Hadiati Koeswadji, mengartikan "medik"
35
sebagai "kedokteran". Hukum kedokteran atau hukum medik sebagai terjemahan dari
"Medical Law", jadi menurut beliau arti medik itu adalah kedokteran.
Sengketa dalam hubungan dokter dan pasien adalah suatu kondisi dimana tidak
tercapainya kesepakatan antara dokter dengan pasien mengenai kerugian dalam
pengobatan. Sengketa ini terjadi di bidang kedokteran, yang secara umum berkaitan
dengan kesehatan. Kerugian biasanya diderita pasien, berupa cacat/luka bahkan
meninggal dunia. Pada kenyataannya, upaya penyelesaian sengketa yang dilakukan
umumnya sering menjadi momok yang menakutkan bagi kalangan dokter sedangkan
kalangan pasien sering merasa tidak dapat terwakili jika penyelesaian sengketa dilakukan
melalui badan milik profesi kedokteran (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia ataupun Majelis Etik Kedokteran). Oleh karena itu diperlukan metode
penyelesaian sengketa yang ideal bagi kedua belah pihak dalam hal ini "mediasi" pihak
ketiga dapat menjadikan solusi yang tepat dalam menangani sengketa baik itu oleh badan
mediasi maupun oleh hakim di Pengadilan.
C. Dasar Hukum Sengketa Medik
Sengketa medik tidak dimuat secara eksplisit dalam Undang-undang No. 36
tahun 2009 Tentang Kesehatan, tetapi UU tersebut mengatur mengenai ganti rugi akibat
kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. Pasal 58 Undang-undang No.
36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, menyatakan: (1) Setiap orang berhak menuntut ganti
rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang
menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang
diterimanya. (2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat. (3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan
tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dalam Pasal 29 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan mengamanatkan penyelesaian sengketa dilakukan terlebih dahulu dengan
mediasi.

D. Mediasi
Beberapa pengertian mediasi adalah sebagai berikut:
1) Pasal 1 ayat (7) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, berbunyi: " mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui

36
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan dengan bantuan seorang
mediator.
2) Takdir Rahmadi mendefinisikan mediasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa
antara kedua belah pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan
bantuan pihak netral yang tidak mempunyai kewenangan memutus.
E. Karakteristik dan Keunggulan Mediasi
Yahya Harahap mengutarakan keuntungan substansial dan psikologis mediasi yakni:
1) Penyelesaian abersifat informal
Pendekatan melalui nurani, bukan berdasarkan hukum. Kedua belah pihak
melepaskan diri dari kekakuan istilah hukum (legal term) kepada pendekatan yang
bercorak nurani dan moral. Menjauhkam doktrin dan azas pembuktian ke arah
persamaan persepsi yang saling menguntungkan.
2) Yang menyelesaikan sengketa adalah pihak sendiri
Penyelesaian tidak diarahkan kepada kemauan dan kehendak hakim atau arbiter, tetapi
diselesaikan oleh para pihak sendiri sesuia dengan kemauan mereka, karena
merekalah yang lebih tahu hal yang sebenarnya atas sengketa yang dipermasalahkan.
3) Jangka waktu penyelesaian pendek
Pada umumnya jangka waktu penyelesaian hanya satu atau dua minggu atau paling
lama satu bulan, asal ada ketulusan dan kerendahan hati dari para pihak, itu sebabnya
disebut bersifat speedy.
4) Biaya ringan
Boleh dikatakan tidak perlu biaya. Meskipun ada, sangat murah atau zero cost. Hal ini
merupakan kebalikan dari sistem peradilan atau arbitrase yang membutuhkan biaya
mahal.
5) Tidak perlu aturan pembuktian
Tidak ada pertarung yang sengit antar para pihak untuk saling membantah dan
menjatuhkan pihak lawan melalui sistem dan prinsip pembuktian yang formil dan
teknis yang sangat menjemukan seperti halnya proses arbitrase dan pengadilan.
6) Proses penyelesaian bersifat konfidensial
Hal lain yang perlu dicatat, penyelesaian melalui perdamaian benar-benar bersifat
rahasia, penyelesaian tertutup untuk umum yang tahu hanya mediator. Dengan
demikian tetap terjaga nama baik para pihak dalam pergaulan bermasyarakat. Jika
dikaitkan dengan masalah medik maka dokter sebagai salah satu pihak sudah tentu

37
nama baik merupakan hal yang paling utama mengingat dokter menjual jasa
pelayanan.
7) Hubungan para pihak bersifat kooperatif
Oleh karena yang berbicara dalam penyelesaian adalah hati nurani, terjalin
penyelesaian berdasarkan kerja sama. Masing-masing pihak menjauhkan dendam dan
permusuhan.
8) Komunikasi dan fokus penyelesaian
Dalam mediasi terwujud komunikasi aktif para pihak. Komunikasi tersebut bertujuan
untuk menjalin hubungan baik antara para pihak.
9) Hasil dituju sama menang
Hasil yang dicari dan dituju para pihak dalam mediasi dapat dikatakan sangat luhur
yakni sama-sama menang (win-win solution), dengan menjauhkan diri dari sifat
egoistik dan serakah.
10) Bebas emosi dan dendam
Penyelesaian sengketa melalui mediasi meredam sikap emosional kearah suasana
bebas emosi selama berlangsungnya mediasi, dengan kata lain mediasi menghendaki
rasa kekeluargaan dan persaudaraan.
F. Jenis Mediasi
Ada 2 jenis mediasi menurut tempatnya, yaitu:
a. Mediasi Di Pengadilan
Proses mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa dapat dilakukan di
pengadilan. Adapun prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi peradilan dalam
PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi dapat dibedakan menjadi dua
tahap, yaitu tahap pramediasi dan tahap mediasi.
b. Mediasi Di Luar Pengadilan
Mediasi diluar pengadilan dapat kita temukan dalam beberapa Peraturan Perundang-
undangan, yang membentuk suatu badan penyelesaian sengketa. PERMA No. 1
Tahun 2008 juga memuat ketentuan yang menghubungkan antara praktik mediasi di
luar pengadilan yang menghasilkan kesepakatan. Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3)
PERMA No.1 Tahun 2008 mengatur sebuah prosedur hukum untuk akta perdamaian
dari pengadilan tingkat pertama atas kesepakatan perdamaian di luar pengadilan.

38

Anda mungkin juga menyukai