Anda di halaman 1dari 15

nnBAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Data autisme seringkali didapat dari Rumah Sakit, poloklinik,
praktek dokter, sekolah khusus, atau dari institusi tertentu. Penelitian yang
dilakukan di Jepang terhadap 21.610 anak yang diikuti sejak lahir sampai
umur 3 tahun, didapatkan 1,3 kasus autisme per 1000 anak menderita
autism. (dikutip dari Rapin,1997)
Sementara itu angka kejadian di Amerika (di Brick Township, New
Jersey), berdasarkan penelitian dimasyarakat pada tahun 1998 terhadap
semua anak umur 3 tahun sampai 10 tahun didapatkan angkka sebesar 6,7
kasus per 1000 anak, autism 4 kasus per 1000 anak. Di Indonesia belum
ada penelitian khusus untuk mencari angka kejadian autisme tersebut ,
hanya dari pengamatan beberapa ahli, didapatkan kecenderungan
peningkatan kasus yang ditangani.
Autisme lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan, dengan perbandingan 4:1 sekitar 70% anak autisme
mennderita retardasi mental . Autisme dapat terjadi pada setiap anak tidak
tergantung pada ras, etnik, atau keadaan sosial ekonomi keluarganya.

B. Rumusan masalah
C. Tujuan
BAB II

AUTIS

A. Pengertian Autis
Menurut PPDGJ (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III) yang dikeluarkan oleh Departemen
Kesehatan 1993 autisme masa anak adalah gangguan perkembangan
pervasive yang ditandai oleh adanya abnormalitas dan atau hendanya
perkembangan yang muncul sebelum usia 3 tahun, dan anak mempunyai
fungsi abnormal dalam 3 bidang yaitu interaksi sosial, komunikasi, dan
perilaku yang terbatas dan berulang.
Autis juga dapat diartikan sebagai gangguan saraf yang terciri
dengan gejala hambatan interaksi sosial dan komunikasi dengan
sesamanya dan tingkah laku mengulang-ulang pekerjaan. Gejala tersebut
dimulai pada usia dini sekitar umur sebelum tiga tahunan. Autism
mempengaruhi proses informasi dalam otak disebabkan kerusakan
konektivitas sel saraf dan sinapsisnya dan pengorganisasian sistem saraf
tersebut. (Darmono, 2011)

B. Etiologi
Diketahui bahwa penyebab sangat kompleks dan multifaktorial
terutama dipengaruhi faktor genetic. Berbagai teori yang diperkirakan
menjadi penyebab terjadinya autisme adalah sebagai berikut:
1. Faktor Psikososial
Dahulu diperkirakan penyebab autism adalah faktor psikogenik,
yaitu pengasuhan yang kaku dan obsesif dalam suasana emosional
yang dingin. Pendapat lain adalah sikap ibu yang kurang
memperhatikan anak atau yang tidak menghendaki/menolak kehadiran
anak tersebut, sehingga mengakibatkan penarikan diri dari anak
tersebut. Namun sekarang teori tersebut disanggah karena tidak
terdapat perbedaan situasi keluarga antara anak yang autism dengan
yang normal
2. Faktor prenatal, perinatal, pascanatal
Komplikasi prenatal, perinatal, dan pascanatal sering ditemukan
pada anak yang menderita autisme, seperti pendarahan setelah
kehamilan trimester pertama serta mekoneum pada cairan amnion
sebagai tanda adanya fetal distress dan preklamsia. Komplikasi lainnya
seperti infeksi rubella pada ibu, anemia pada janin, penggunaan obat-
obatan pada ibu, dan kejang pada neonates. Semua komplikasi itu
menyebabkan gangguan fungsi otak yang diduga sebagai penyebab
autism.
3. Teori Imunologi
Ditemukan antibody ibu terhadap antigen tertentu yang
menyebabkan penyumbatan sementara aliran darah otak janin. Selain
itu, antigen tersebut juga ditemukan pada sel otak janin, sehingga
antibody ibu dapat merusak jaringan otak janin. Keadaan tersebut
memperkuat teori peranan imunologi pada terjadinya autisme.
4. Teori Infeksi
Peningkatan angka kejadian autisme terjadi pada anak-anak yang
lahir dengan rubella congenital, ensefalitis herpes simpleks, dan infeksi
sitomegalovirus, sebagai akibat dari kerusakan otak anak.
5. Faktor Genetik
Komponen genetic autism cenderung heterogen, melibatkan sekitar
100 gen. Kelainan genetik pada autisme ditemukan pada hampir semua
mitokoondria dan semua kromosom, kecuali kromosom 14 dan 20.
Diketahui bahwa untuk terjadinya gejala autisme, terlihat gen
majemuk yang berinteraksi dengan berbagai faktor lingkungan sekitar.
Kromosom yang sangat terkait dengan autism.

C. Manifestasi Klinis
Gejala Autisme dibagiberdasarkan umur anak, yaitu :
1. Pada masa bayi
Sebenarnya, kalau kita jeli memperhatikan, gejala autistik sudah
dapat diamati pada masa bayi di bawah usia setahun, karena sebagian
besar anak autistik berbeda dari anak yang normal sejak dari lahir.
Gejala utama yang khas adalah selalu membelakangi atau tidak berani
menatap mata pengasuhnya untuk menghindari kontak fisik atau
kontakmata. Agar tidak diangkat, bayi memperlihatkan sikap yang
diam atau asyik bermain sendiri berjam-jam di ranjangnya tanpa
menangis atau membutuhkan pengasuhnya, sehingga pada awalnya
orangtuanya mengira sebagai bayi yang manis dan mudah diatur.
Sebaliknya, sebagian bayi lainnya sering tampak agresif. Pada bayi
yang agresif ini, bayi sering menangis berjam-jam tanpa sebab yang
jelas pada waktu mereka sedang terjaga. Pada beberapa kasus, bayi
mulai membentur-benturkan kepalanya pada ranjangnya, tetapi
keadaan ini tidak selalu terjadi.
Gejala lainnya adalah bayi menolak untuk dipeluk atau disayang,
tidak menyambut ajakan ketika kedua tangannya diangkat, kurang bisa
meniru pembicaraan atau gerakan badan, gagal menunjukkan suatu
objek kepada orang lain, dan kurang responsif terhadap isyarat sosial
seperti kontak mata atau senyuman. Bergumam yang biasanya
muncul sebelum anak dapat mengucapkan kata-katamungkin
tidak nampak pada anak autisme.
2. Pada masa anak
Sekitar setengah anak-anak autistik mengalami perkembangan
yang normal sampai umur satu setengah sampai tiga tahun. Setelah itu,
barulah tampak gejala autistik. Anak-anak ini disebut sebagai
regressive autism.Selama masa anak ini, perkembangan anak autisme
di bawah rata-rata anak sebayanya dalam bidang komunikasi, interaksi
sosial, kognitif, dan gangguan perilaku mulai tampak.
a. Gangguan perilaku
Gangguan perilaku tersebut antara lain adalah stimulasi diri
(gerakan aneh yang diulang-ulang atau perilaku yang tanpa tujuan,
seperti menggoyang-goyangkan tubuhnya ke depan dan belakang,
tepuk-tepuk tangan, dll.), mencederai diri sendiri (menggigit-gigit
tangannya, melukai diri, membentur-benturkan kepalanya), timbul
masalah tidur dan makan, tidak sensitif terhadap rasa nyeri,
hiper/hipoaktivitas, gangguan pemusatan perhatian. Terutama pada
masa anak dini, kadang-kadang terdapat kelekatan yang aneh
terhadap benda yang tidak lembut.
Karakteristik lainnya pada anak autistik adalah insistence
on sameness atau perilaku perseverative, yaitu sikap yang sangat
rutin (ada perubahan sedikit saja, anak akan marah dan tantrum).
Anak dapat memaksakan suatu kegiatan yang rutin seperti dalam
suatu upacara; dapat terjadi preokupasi yang stereotipik dengan
perhatian yang khusus terhadap tanggal, rute, dan jadwal; sering
terdapat stereotipik motorik; sering memperhatikan secara khusus
unsur sampingan suatu benda (seperti bau atau rasa); dan terdapat
penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau tata ruang di
lingkngannya. Contoh rutinitas tersebut adalah memakai baju
dengan urutan yang sama seperti tangan kiri harus dimasukkan
terlebih dahulu, pergi ke sekolah melalui rute yang sama. Salah
satu alasan rutinitas tersebut adalah bahwa anak autisme tidak
mempunyai kemampuan untuk mengerti dan mengatasi perubahan
situasi.
b. Gangguan interaksi sosial
Gangguan interaksi sosial antara lain adalah tidak ada
reaksi bila anak dipanggil, sehingga orangtua mengira anaknya tuli.
Anak senang menyendiri, tidak tertarik bergaul/bermain dengan
anak lain, tidak mampu memahami aturan-aturan yang berlaku, dan
menghindari kontak mata. Walaupun mereka berminat untuk
mengadakan hubungan dengan temannya, seringkali terjadi
hambatan karena ia kurang memiliki kesadaran sosial. Hal ini pula
yang menyebabkan mereka tidak bisa memahami ekspresi wajah
atau pun mengekspresikan perasaannya baik secara vokal maupun
dengan ekspresi wajah yang baik. Dengan demikian, ia tidak
mempunyai empati terhadap orang lain yang sangat dibutuhkan
dalam interaksi sosial. Dikatakan penderita hidup di dunianya
sendiri. Perhatiannya pada orang lain sebatas memakainya sebagai
alat untuk mencapai tujuan, misalnya mengambil tangan ibunya
untuk memperbaiki mainannya yang rusak. Anak tampak acuh tak
acuh terhadap pendekatan yang dilakukan orangtuanya. Ada pula
anak yang menghindari sentuhan fisik, dengan cara membuat
tubuhnya kaku, lari, stres saat disentuh, atau bahkan tidak bereaksi
kalau disentuh. Namun, ada pula anak yang justru merasa cemas
bila berpisah dengan orangtuanya dan akan menempel terus.
Seringkali anak menunjukkan perhatian yang kurang terhadap
orang lain, misalnya tidak peduli bila seseorang memasuki
kamrnya.
c. Gangguan komunikasi
Sekitar 40-50% anak autis tidak memiliki kemampuan
berkomunikasi, baik verbal maupun nonverbal. Gangguan ini
nampak pada kurangnya penggunaan bahasa untuk kegiatan sosial,
seperti kendala dalam permainan imaginatif dan imitasi; buruknya
keserasian dan kurangnya interaksi timbal balik dalam percakapan;
buruknya fleksibilitas dalam bahasa ekspresif dan relatif kurangnya
kreativitas dan fantasi pada proses berpikir; kurangnya respons
emosional terhadap ungkapan verbal dan nonverbal orang lain;
kendala dalam menggunakan irama dan tekanan modulasi
komunikatif; dan kurangnya isyarat tubuh untuk menekankan atau
mengartikan komunikasi lisan.
Pada anak autistik perkembangan kemampuan berbahasa
sangat lambat atau tidak ada sama sekali. Kata-kata yang
dikeluarkan tidak dapat dimengerti (bahasa planet), meniru tanpa
mengetahui artinya (ekolali), dan nada suaranya monoton seperti
suara robot. Anak tidak dapat menyampaikan keinginannya dengan
kata-kata atau dengan bahasa isyarat. Sukar memahami arti kata-
kata yang baru mereka dengar dan tidak dapat menggunakan
bahasa dalam konteks yang benar. Anak sering mengulang kata-
kata yang baru/pernah didengar tanpa maksud untuk
berkomunikasi. Bila bertanya, mereka sering menggunakan kata
ganti orang yang terbalik, misalnya menyebut dirinya “kamu” dan
menyebut orang lain “saya”.
Komunikasi nonverbal lewat ekspresi wajah dan gerakan
tubuh seringkali tidak diketemukan pada anak autisme. Anak autis
sulit menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi, seperti
menggelengkan kepala, melambaikan tangan, mengangkat alis.
Biasanya tidak menunjuk atau menunjuk atau memakai gerakan
tubuh untuk menyampaikan maksudnya, tetapi mengambil tangan
orang lain untuk menunjuk objek yang dituju.
d. Gangguan kognitif
Semua tingkatan IQ dapat diketemukan pada anak autis,
tetapi sekitar sekitar 70% anak autistik mengalami retardasi
mental; derajat retardasi mental sejalan dengan beratnya gejala
autisme. Kemampuan memahami apa yang dipikirkan orang lain
sangat rendah, dan kondisi ini menetap sepanjang hidupnya.
Kreativitasnya sangat terbatas. Gangguan kognitif pada anak autis
tidak terjadi pada semua sektor perkembangan kognitif, karena ada
sebagian kecil anak autis mempunyai kemamuan yang luar biasa,
misalnya dalam bidang musik, matematik, kemampuan visuo-
spatial, disamping kekurangannya yang berat di bidang lain. Anak
ini disebut sebagai autisic savant (dulu disebut idiot savant).
e. Respons abnormal terhadap perangsangan indera
Pada anak autistik, mungkin terjadi respons yang
hipo-/hipersensitif terhadap perangsangan penglihatan,
pendengaran, perabaan/sentuhan, penciuman, dan pengecapan.
f. Gangguan emosi
Beberapa anak menunjukkan perubahan perasaan yang tiba-
tiba (mungkin tertawa atau menangis) tanpa alasan yang jelas.
Kadang-kadang timbul rasa takut yang sangat terhadap objek yang
sebenarnya tidak menakutkan atau terdapat keterikatan pada benda-
benda tertentu, atau ada cemas/depresi berat terhadap perpisahan.
Anak juga menunjukkan respons yang kurang terhadap
emosi orang lain dan tidak bisa menunjukkan empati, sehingga
tidak terdapat respons timbal balik sosio-emosional.
3. Pada masa pubertas
Manifestasi autisme berubah sejalan dengan tumbuh kembang
anak, tetapi defisit tetap berlanjut sampai/melewati usia dewasa dengan
pola yang sama dalam hal sosialisasi, komunikasi, dan pola minat.
Kadang-kadang anak autistik mengalami kesulitan pada masa transisi
ke pubertas. Sekitar sepertiga mendapatkan kejang untuk pertama
kalinya pada masa pubertas, yang mungkin disebabkan oleh adanya
pengaruh hormonal. Di samping itu, banyak masalah perilaku yang
menjadi lebih sering dan lebih berat pada masa ini. Namun, sebagian
anak autisme yang ringan dapat melewati masa pebertas dengan relatif
mudah.
Anak-anak autis dapat tinggal bersama keluarga, kecuali pada
kasus yang berat; bahkan, banyak orang dewasa autistik mempunyai
IQ yang normal dan dapat menamatkan pendidikan tinggi dan
berkeluarga. Pada lingkungan kerja, orang dewasa autistik dapat
menjadi pekerja tetapi harus dengan bimbingan. Namun, pada
kenyataannya, orang dewasa autistik sulit medapatkan pekerjaan,
karena mereka tampak “berbeda” dan sering mengalami kesulitan pada
waktu wawancara.
D. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan anak autis harus melibatkan berbagai ahli, seperti
dokter anak, psikiater, ahli rehabilitasi medis, psikolog, ahli terpi wicara,
dan pendidik. Penatalaksanaan anak autis ini memerlukan waktu yang
lama, bersifat paliatif, dan tidak menyembuhkan. Peran aktif orang tua
serta dukungan dari lingkungan sangat diperlukan.
Tujuan utama penatalaksanaan anak autis yaitu :
1. Memaksimalkan kualitas hidup, kemandirian dan tanggung jawab.
2. ,eminimalkan gejala gejala autism, mengurangi masalah komunikasi,
interaksi sosial, perilaku maladaptive, dan streotipi.
3. Memfasilitasi perkembangan anak dan belajar.
4. Memberi pengertian, dukungan, dan mentoring kepada keluarga untuk
intervensi di rumah.

Perlu 4 pendekatan utama yang dapat memerlukan waktu bertahun-


tahun, yaitu terapi psikodinamik, terapi medis/biologis, dan terapi
perilaku.

1. Terapi psikodinamik dilakukan ketika autisme diduga sebagai kelainan


emosi akibat dari pola asuh yang salah. Namun, sejak diketahui
autisme disebabkan oleh disfungsi otak, terapi psikodinamik kurang
diminati lagi.
2. Terapi medis/biologis termasuk obat-obatan dan vitamin. Obat-obatan
diberikan kepada anak autis kondisi tertentu, misalnya autism yang
disertai hiperaktivitas (Clonidine, Guanfacine, atau Imipramin),
agresivitas (Haloperidol atau Risperdone), dan yang mencederai diri
sendiri (Naltrexone, Trazodone, atau Fluotexine). Sedangkan terapi
biomedis antara lain pemberian hormone sekretin, antijamur,
megasuplemen DMG yang mengandung vitamin larut air terutama
vitamin B15, diet bebas gluten dn kasein dan sebagainya.
3. Terapi perilaku mengikuti prinsip teori belajar, yang terdiri dari
operant learning, cognitive dan social learning, yaitu bagaimana
mengajarkan perilaku yang layak dalam melakukan aktivitas sehari-
hari dan mengurangi hal-hal yang tidak berkenan pada anak autis, serta
memberikan pendidikan khusus yang difokuskan pada keterampilan
berkaitan dengan perkembangan akademik dan sekolah. Diperlukan
intervensi yang komperehensif, yang meliputi konseling terhadap
orang tua, pendidikan khusus dalam lingkungan yang sangat
terstruktur, pelatihan integrase sensorik, terapi wicara, terapi okupasi,
pelatihan keterampilan dalam berinteraksi sosial.

Beberapa jenis terapi lainnya yaitu :

1. ABA (Applied Behavior Analysis)


Terapi ini menggunakan intervensi pendidikan untuk mengubah
perilaku anak secara sistematis dan digunakan untuk perbaikan
perilaku. Tujuannya adalah memperbaiki perilaku adaptif yang sudah
ada, dan mengurangi perilaku maladaptive dengan memberikan
perilaku baru sehingga anak lebih adaptif dengan kondisi rumah,
sekolah, atau lingkungan lain disekitarnya.
2. TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related
Communication Handicapped Children)
TEACCH dirancang untuk meningkatkan kemampuan anak autis
dan memodifikasi lingkungan sesuai dengan kelainan pada anak.
Terapi ini disebut sebagai pendidikan yang terstruktur.
3. Developmental, individual-difference, relationship-based (DIR)
“Floortime model”
Terapi ini membantu professional, guru, orang tua untuk membuat
penilaian yang komprehensif dan memilih intervensi yang sesuai
dengan potensi dan kelainan setiap anak.
Tujuannya adalah meningkatkan kemampuan sosial, emosional dan
intelektual anak. Focus terapi ini adalah hubungan interpersonal,
yaitu :
 Teknik floortime dan strategi lain yang meningkatkan hubungan
emosi dan interaksi sosial.
 Terapi untuk meningkatkan kemampuan proses biologi, seperti
mendengar, bicara, motoric, sensorik, dan visual spatial.
4. Terapi wicara
Komunikasi alternatif seperti bahasa tubuh, tanda-tanda (sign), dan
gambar lebih efektif untuk anak autism dalam pembelajaran bahasa
non verbal. Dalam memberikan terapi ini, sering digunakan PECS
(picture exchange communication system). Berikutnya adalah anak
mulai bicara setelah mengerti komunikasi melalui symbol (non
verbal).
5. Social skill instruction
Tujuan terapi ini adalah anak memberikan respons terhadap
perilaku sosial, dan perilaku repetisi menjadi minimal.
6. Terapi okupasi
a. Terapi okupasi
Digunakan untuk meningkatkan regulasi diri, seperti
memakai baju, menggunakan sendok, menulis. Selain itu, terapi ini
juga membantu anak untuk bermain dan memodifikasi aktivitas di
dalam kelas dan meningkatkan atensinya.
b. Terapi sensori integrase
Terapi ini dilakukan berdiri sendiri atau menjadi bagian dari
terapi okupasi. Tujuannya yaitu :
 Memperbaiki kelainan di otak dan integrase informasi sensori
untuk membantu anak menjadi adaptif terhadap lingkungannya.
 Membuat anak lebih tenang, memperbaiki perilaku, dan
membantu perubahan aktivitas.
7. Terapi lain
Untuk anak yang dicurigai mengalami reterdasi mental, perlu
diberikan, perlu diberikan dukungan untuk pemecahan masalah,
regulasi diri sesuai umurnya, dan perlu dilakukan tes IQ.
Untuk keluarga anak autis diberikan dukungan emosi, dukungan
kesehatan fisik, penjelasan yang rinci tentang autism dan
prognosisnya, pelatihan sebagai co-therapist, dan membentuk
kelompok pendukung orang tua dari anak autis (parent support group)
agar orang tua saling bertukar pengalaman dan memberi dukungan.

E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Biodata klien, meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, nomor register dan diagnose
medis.
b. Riwayat kesehatan, meliputi riwayat kesehatan sekarang, riwayat
kesehatan dahulu, dan riwayat kesehatan keluarga.
c. Riwayat psikologis, meliputi koping keluarga dalam menghadapi
masalah dan interaksi sosial.
d. Riwayat tumbuh kembang, meliputi bayi baru lahir abnormal,
kemampuan motoric halus, motoric kasar, kognitif dan tumbuh
kembang pernah mengalami trauma rasa sakit, sakit pada saat
kehamilan mengalami infeksi intrapartal, sakit saat hamil tidak
keluar meconium.
e. Riwayat sosial, meliputi hubungan sosial diluar lingkungan
internal, dan hubungan internal antara anggota keluarga.

Pengkajian data focus pada anak dengan gangguan perkembangan


pervasive menurut Isaac (2005) dan Townsend (1998) antara lain :

a. Tidak suka dipegang


b. Rutinitas yang berulang
c. Tangan digerak-gerakkan dan kepala diangguk-anggukkan
d. Terpaku pada benda mati
e. Sulit berbahasa dan berbicara
f. 50% diantaranya mengalami retardasi mental
g. Ketidakmampuan untuk membedakan batas-batas tubuh diri sendiri
dengan orang lain
h. Tingkat ansietas yang bertambah akibat dari kontak dengan orang
lain
i. Ketidakmampuan untuk memisahkan kebutuhan fisiologis dan
emosi diri sendiri dan orang lain
j. Mengulangi kata-kata yang dia dengar dari yang diucapkan orang
lain atau gerakan-gerakan mimic orang lain
2. Pemeriksaan penunjang
a. M-chart rf alat skrining tahap kedua berdasarkan laporan orang tua
untuk mengevaluasi risiko Autism Spectrum Disorder (ASD).
b. Bera yaitu pemeriksaan yang bertujuan untuk menilai fungsi sitem
audiotori sampai ke otak.
c. analisis timbal/logam dalam darah untuk mengukur kadar
timbal/logam dalam darah.
d. pemeriksaan eeg untuk mendeteksi kelainan aktifitas elektrik di
otak.
e. pemeriksaan DNA untuk menentukan penyakit atau status carrier
gangguan muskular yang di turunkan. Diindikasikan dalam
evaluasi anomali kongenital, retaldasi mental, retardasi
pertumbuhan, keguguran berulang untuk menentukan alasan
kehilangan janin, dan diagnosis prenatal penyakit genetik.
3. Diagnosa keperawatan
a. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan hambatan
psikologis ditandai dengan tidak ada kontak mata
b. Risiko gangguan keterlambatan perkembangan berhubungan
dengan kelainan kongenital
c. Kesiapan untuk meningkatkan perawatan diri berhubungan dengan
gangguan psikologis
4. Intervensi keperawatan
a. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan hambatan
psikologis ditandai dengan tidak ada kontak mata
o Lakukan pengkajian kesehatan menyeluruh
Rasional : mengetahui penyebab klien terlambat
berkembang

o Demonstrasikan aktivitas yang menunjang perkembangan


Rasional : anak mulai berkembang sedikit demi sedikit
b. Risiko gangguan keterlambatan perkembangan berhubungan
dengan kelainan kongenital
c. Kesiapan untuk meningkatkan perawatan diri berhubungan dengan
gangguan psikologis
o
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasive yang
sering terjadi pada anak dibawah umur 3 tahun. Diperlukan diagnosis dini
dan intervensi dini, agar prognosisnya lebih baik, kecuali pada anak
dengan gangguan autisme berat atau yang disertai dengan reterdasi mental.
Perlu kerjasama multidisiplin dalam menangani secara komperehensif
anak penyandang autisme. Berbgai cara terapi harus dilakukan sesuai
dengan kebutuhan anak, dan sedapat mungkin melibatkan keluarga.
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai