Anda di halaman 1dari 29

Wong Kapetakan's Blog

Ajining diri dumunung ana ing lati, Ajining raga dumunung ana ing busana,
Ajining bangsa dumunung ana ing basa

Teori Belajar Kognitif

Posted by Hadi Susanto on 10 Desember 2015


Posted in: Psikologi. Tinggalkan komentar
A. Pendahuluan

Teori-teori belajar bermunculan seiring dengan perkembangan teori psikologi. Salah satu diantara teori belajar yang terkenal adalah
teori belajar behaviorismedengan tokohnya B.F. Skinner, Thorndike, Watson dan lain-lain. Dikatakan bahwa, teori-teori belajar hasil
eksperimen mereka secara prinsipal bersifat behavioristik dalam arti lebih menekankan timbulnya perilaku jasmaniah yang nyata dan
dapat diukur. Namun seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan, teori tersebut mempunyai beberapa
kelemahan, yang menuntut adanya pemikiran teori belajar yang baru. Teori-teori behaviorisme itu bersifat otomatis-mekanis dalam
menghubungkan stimulus dan respon, sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot, padahal setiap manusia memiliki
kemampuan mengarahkan diri (self-direction) dan pengendalian diri (self control) yang bersifat kognitif, dan karenanya ia bisa menolak
respon jika ia tidak menghendaki, misalnya karena lelah atau berlawanan dengan kata hati, dan proses belajar manusia yang
dianalogikan dengan perilaku hewan itu sangat sulit diterima, mengingat mencoloknya perbedaan karakter fisik dan psikis antara
manusia dan hewan. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai kelemahan teori behaviorisme.

Teori belajar kognitif atau Teori belajar kognitivisme mengacu pada wacana psikologi kognitif, yang didasarkan pada kegiatan
kognitif dalam belajar. Para ahli teori belajar ini berupaya menganalisis secara ilmiah proses mental dan struktur ingatan atau
cognition dalam aktifitas belajar. Cognition diartikan sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh, mengorganisasikan, dan
menggunakan pengetahuan.

Tekanan utama psikologi kognitif adalah struktur kognitif, yaitu perbendaharaan pengetahuan pribadi individu yang mencakup
ingatan jangka panjangnya (long-term memory). Psikologi kognitif memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari
dan menyeleksi informasi untuk diproses. Perkatian utama psikologi kognitif adalah upaya memahami proses individu mencari,
menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Teori belajar kognitif berlangsung berdasar skemata atau struktur mental
individu yang mengorganisasikan hasil pengamatannya.

Struktur mental individu tersebut berkembangan sesuai dengan tingkatan perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat
perkembangan kognitif seseorang semakin tinggi pula kemampuan dan keterampilannya dalam memproses berbagai informasi atau
pengetahuan yang diterimanya dari lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Itulah sebabnya, teori belajar
kognitivisme dapat disebut sebagai teori perkembangan kognitif, teori kognisi sosial, dan teori pemrosesan informasi.

Peranan guru menurut psikologi kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan potensi kognitif yang ada pada setiap peserta
didik. Jika potensi kognitif yang ada pada setiap peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh proses pendidikan di
sekolah, maka peserta didik akan mengetahui dan memahami serta menguasai materi pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui
proses belajar mengajar di kelas.

Bloom dan Krathwohl menunjukkan apa yang mungkin dikuasai atau dipelajari oleh peserta didik, yang tercakup dalam tiga
kawasan yang di antaranya ranah kognitif. Kognitif terdiri dari enam tingkatan, yaitu: (a) pengetahuan (mengingat, menghafal), (b)
pemahaman (menginterpretasikan), (c) aplikasi/ penerapan (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah), (d) analisis
(menjabarkan suatu konsep), (e) sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh), dan (f) evaluasi
(membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya).

Untuk memperoleh hasil maksimal dalam pembelajaran, pengetahuan tentang pembelajaran merupakan perihal yang tidak dapat di-
abaikan oleh seorang pengajar; seperti halnya seorang petani harus mengetahui bagaimana tumbuhnya padi, pemupukannya, selain
musim tanam dan tumbuhnya dan teknologi pertanian. Ada beberapa macam teori tentang pembelajaran atau bagaimana seseorang
belajar; yang secara garis besar dibagi menjadi teori behaviorisme dan kognitivisme. Meskipun demikian beberapa ahli
menambahkan teori belajar bedasarkan psikologi sosial dan teori belajar dari Gagne serta konstruktivisme.
/
Belajar adalah proses seseorang memperoleh berbagai kecakapan, keterampilan, dan sikap. Belajar dimulai sejak masa kecil ketika
bayi memperoleh sejumlah keterampilan sederhana, seperti memegang botol susu dan mengenal ibunya. Selama masa kanak-kanak
dan masa remaja, diperoleh sejumlah sikap, nilai, dan keterampilan hubungan sosial, demikian pula diperoleh kecakapan dalam
berbagai mata ajaran sekolah. Ketika usia dewasa, seseorang diharapkan telah mahir mengerjakan tugas atau pekerjaan tertentu dan
keterampilan-keterampilan fungsional yang lainnya. Termasuk di sini ialah mengendarai mobil, membuat neraca buku cek pribadi,
dan bergaul dengan orang lain (Gredler, 1991).

Pembelajaran didefinisikan sebagai upaya untuk membelajarkan siswa (Degeng, 1989; 1990). Dalam definisi ini terkandung makna
bahwa dalam pembelajaran terdapat kegiatan memilih, menetapkan, serta mengembangkan metode ataupun strategi yang optimal
untuk mencapai hasil pembelajaran yang diinginkan, bahkan kegiatan-kegiatan inilah yang sebenarnya merupakan kegiatan inti
pembelajaran.

Salah satu kegiatan manusia adalah belajar. Kegiatan belajar merupakan kegiatan yang berproses dan juga merupakan unsur yang
paling fundamental dalam setiap penyelenggaraan jenis dan jenjang pendidikan atau pembelajaran. Dalam hal ini berhasil atau
gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu berarti sangat tergantung pada proses belajar yang dialami oleh pembelajar, baik ketika ia
berada dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan rumah atau keluarganya (Syah, 1996).

Karena demikian pentingnya arti belajar, sebagian besar riset dan eksperimen psikologi pendidikan diarahkan pada tercapainya pe-
mahaman yang lebih luas dan mendalam mengenai proses perubahan manusia. Perubahan dan kemampuan untuk berubah
merupakan batasan dan makna yang terkandung dalam belajar. Karena kemampuan berubahlah manusia secara bebas dapat
mengeksplorasi, memilih, dan menetapkan keputusan-keputusan penting untuk kehidupannya. Edward Thorndike (1993)
memprediksikan, jika kemampuan belajar umat manusia dikurangi setengahnya saja maka peradaban yang ada sekarang tidak akan
ada gunanya bagi generasi mendatang, bahkan mungkin peradaban itu sendiri akan lenyap ditelan zaman (Chaplin, 1972).

Mc. Keachie (1976), mendefinisikan teori sebagai seperangkat asas yang tersusun tentang kejadian-kejadian tertentu dalam dunia
nyata. Satu ciri teori yang penting ialah bahwa teori itu membebaskan penemuan penelitian secara individual dan kenyataan
kesementaraan waktu dan tempat untuk digantikan dengan suatu dunia yang lebih luas. Wilis (1988) membagi dua tahapan
perkembangan teori belajar dan pembelajaran; pertama, dimulai sebelum abad 20 seperti teori disiplin mental (mental discipline), teori
pengembangan alami (natural unfoldment) atau teori aktualisasi diri (self actualization), dan teori appersepsi (upperseption).

Hingga saat ini teori-teori tersebut masih dirasakan pengaruhnya di sekolah-sekolah. Jika ditinjau dari aplikasinya, ketiga teori terse-
but dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen-eksperimen. Hal ini menunjukkan bahwa dasar orientasinya lebih bersifat filosofik
dan spekulatif. Kedua, teori belajar yang dikembangkan selama abad 20 yang dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu
teori belajar behavioristik, teori belajar kognitif, dan teori belajar humanistik. Degeng (1989), mengemukakan bahwa teori pengajaran
menunjukkan hubungan kegiatan pengajaran dengan proses-proses psikologis dalam diri pembelajar, sedangkan teori belajar meng-
ungkapkan hubungan kegiatan pembelajar dengan fenomena yang ada dalam diri pembelajar.

Ruang lingkup pembahasan tulisan ini, difokuskan pada deskripsi teori kognitif dalam belajar dan aplikasinya dalam pembelajaran.
Oleh karena itu, di dalam tulisan ini akan dibahas secara singkat teori belajar kognitivisme dan penerapannya dalam pembelajaran
dan sejumlah pandangan psikologi-kognitif yang berkaitan dengan proses belajar dan pembelajaran. Hal tersebut mengingat bahwa
kegiatan belajar tidak akan terpisah dari unsur psikis (keterlibatan emosional dan mental) bagi subjek yang melaksanakan kegiatan
tersebut.

B. Teori Belajar

Belajar menduduki peran yang sangat penting baik dalam konteks kehidupan umat manusia maupun dalam konteks kehidupan
semua mahuk hidup lainnya di bumi ini, agar kehidupan mereka dapat terus berlangsung. Binatang yang secara alami dibekali
insting untuk mempertahankan hidupnya, tenyata juga tidak lepas dan keharusan belajar. Sebagaimana disimpulkan oleh
Hergenhahn dan Olson (1993), kemampuan one-trial learning (belajar coba satu kali) pada binatang merupakan pelengkap dari
instingnya agar mereka dapat mempertahankan kehidupan dirinya. Demikian juga halnya dengan manusia, agar mereka bisa terus
mempertahankan hidupnya mereka dituntut untuk terus belajar dan belajar. Namun demikian, tidak semudah menyebutkannya,
untuk merumuskan dan mendefinisikan apa itu “belajar” ternyata memerlukan usaha yang hati-hati.

Hingga saat ini telah banyak ahli yang telah mencoba merumuskannya, namun rumusan mereka selalu dipandang masih
mengandung kekurangan, khususnya pada aspek-aspek yang dikandungnya. Terjadinya perubahan zaman juga membuat berbagai
perubahan cara-cara orang memahami arti dan hakikat belajar. Oleh karena itu, semakin dalam kita mencoba menyelami seputar
masalah pembelajaran ini, maka semakin banyak pula pertanyaan yang muncul untuk mendapatkan jawaban yang sempurna.
Misalnya jawaban terhadap pertanyaan: Apakah ciri-ciri bahwa pembelajaran telah berlangsung? Apakah pembelajaran dapat
dibedakan berdasarkan jenis-jenisnya? atau Apa sesungguhnya perbedaan antara pembelajaran dengan penampilan? Dan seterusnya.

Kimble dalam Hergenhahn dan Olson (1993) mencoba mendefinisikan belajar sebagai a relatively permanen change in behavioral
potentiality that occurs as a result of reinforced practice. Meskipun pengertian tersebut nampaknya telah menjadi kecenderungan populer
yang bisa diterima umum, namun banyak sekali pihak yang menyatakan pengertian itu jauh dari bisa diterima secara
universal. Untuk lebih memahaminya, maka beberapa gejala yang terkandung dalam definisi itu akan dibahas lebih lanlut dengan
beberapa permasalahannya.

/
Pertama, dikatakan bahwa belajar ditunjukkan dengan adanya perubahan dalam perilaku atau dengan kata lain, hasil dari belajar
harus selalu diterjemahkan ke dalam perilaku yang dapat diamati. Maksudnya, setelah seseorang mengalami proses belajar, ia akan
dapat melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak bisa dilakukannya. Kita mempelajari perilaku hanya agar kita bisa memperkirakan
adanya proses yang dipercayai menjadi sebab perubahan perilaku yang sedang diamati. Proses tersebut adalah belajar.

Para ahil teori belajar banyak yang setuju bahwa belajar hanyalah sebagai suatu proses yang menengahi perilaku. Bagi mereka, belajar
merupakan sesuatu yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman-pengalaman tertentu dan mendahului perubahan perilaku. Dalam
situasi demikian, maka belajar hanya berstatus sebagai intervening variable. Artinya, ia adalah suatu proses teoritis yang dianggap
berlangsung di antara stimulus teramati dan responsnya. Variabel indepeden menyebabkan perubahan dalam variabel intervening
(belajar), yang pada giliran berikutnya, akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan di dalam variabel dependen.

Kedua, dalam definisi di atas seolah ditegaskan bahwa perubahan-perubahan perilaku tersebut harus relatif permanen. Semula,
aspek mi dimasukkan ke dalam definisi belajar untuk membedakan antara belajar dan kejadian lain yang dapat merubah perilaku
juga, misalnya seperti kelelahan, sakit, kematangan, dan obat. Di sini jelas bahwa kejadian-kejadian tersebut datang dan pergi
demikian cepat, sedangkan hasil belajar tetap ada hingga lupa bahwa sesuatu itu segera datang. Namun begitu, jika kita mengikuti
proses belajar seperti dikatakan oleh para teorisi proses pengolahan informasi, maka kerelatifan waktu dan perubahan tersebut bisa
juga diragukan. Ini terutama dikaitkan dengan gejala yang disebut short-term memory. Dalam proses pengolahan informasi dikatakan
bahwa ketika informasi yang tidak dikenal sebelumnya diberikan kepada kita, maka kita hanya akan mampu menahan informasi itu
secara sempurna paling lama dalam tiga detik. Kemudian pada 15 detik berikutnya, seluruh informasi itu akan hilang lagi. Terhadap
pendapat itu, dapatkah kita lantas mengatakan bahwa dalam kejadian itu tidak terjadi proses belajar sama sekali?

Kedua alasan yang diajukan di atas, sesungguhnya keduanya menyuguhkan fakta kepada kita bahwa apa yang dipelajari bisa saja
tidak dapat langsung digunakan dengan segera. Seorang pemain bola misalnya, boleh jadi ia telah belajar bagaimana caranya
bermain bola yang baik pada posisi tertentu dengan menyaksikan film dan mendengarkan ceramah dari seorang pelatih tentang hal
itu selama seminggu. Karena waktunya belum tiba, tentunya ia belum bisa segera menunjukkan hasil belajarnya ke dalam perilaku
tertentu. Dari fakta tersebut, kita bisa menduga bahwa segera setelah belajar lewat film dan pengarahan tadi, sebenarnya sudah
terjadi juga perubahan dalam potensi perilakunya, walaupun perilaku yang nyata belum terpengaruh.

Kondisi di atas, sesuai dengan definisi Kimble, hanya menekankan pada potensi perilaku. Yang menjadi masalah adalah, bagaimana
penekanan pada potensi perilaku ini bisa sejalan dengan gejala belajar satu kali percobaan (one trial learning) yang bisa dipastikan dari
terjadinya perubaban perilaku langsung? Oleh karena itu, definisi Kimble yang hanya menekankan pada perubahan potensi penilaku
saja bisa dianggap masih mengandung kekurangan. Dalam satu hal benar, bahwa untuk menunjukkan perbedaan antara belajar dan
penampilan, potensi perilaku perlu ditekankan. Seperti dikemukakan oleh kebanyakan teorisi bahwa belajar menunjuk pada potensi
perilaku, sedangkan penampilan menunjuk pada penerjemahan potensi tersebut menjadi perilaku.

Namun demikian, penekanan tersebut hanya untuk menyatakan bahwa apa yang belum terlihat dalam suatu perilaku tidak harus
diartikan sebagai tidak ada pembelajaran sama sekali. Oleh karena itu, perilaku itu sendiri tetap harus dimasukkan. Kemudian,
dalam definisinya, Kimble juga mengatakan secara tegas bahwa belajar hanya berlangsung sebagai hasil latihan yang dikukuhkan
(reinforced practice). Dengan kata lain, hanya perilaku yang dikukuhkan (reinforced) sajalah yang akan dipelajari. Terhadap
pernyataannya tersebut kita perlu menyikapinya secara kritis. Misalnya, kita perlu memperdebatkan apa yang disebut dan bisa
menjadi reinforcement? Juga kita perlu mempertanyakan, apakah reinforcement benar-benar merupakan prasyarat penting untuk
berlangsungnya belajar?

Dalam aliran behaviorisme sendiri masalah tersebut masih ramai diperdebatkan. Misalnya Guthrie tidak memandang reinforcement
diperlukan dalam belajar, sedangkan Thorndike dan Skinner mengatakan sebaliknya. Setelah kita mencoba memahami unsur-unsur
dari definisi belajar yang diajukan Kimble di atas, selanjutnya kita mencoba melihat definisi belajar yang diajukan oleh Hergenhahn
dan Olson. Dengan maksud agar definisi belajarnya lebih dapat diterima umum, mereka mengatakan bahwa belajar adalah
perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku yang merupakan hasil dan pengalaman dan tidak dicirikan
oleh keadaan-keadaan diri yang sifatnya sementara seperti yang disebabkan oleh sakit, kelelahan atau obat-obatan.

Definisi dari keduanya masih menekankan pentingnya pengalaman tetapi menyerahkan penentuan jenis pengalaman itu pada para
teorisi masing-masing, apakah mau latihan yang dikukuhkan (reinforced practice), keterhubungan antara stimulus dan respon
(pendapat Guthrie) atau penguasaan informasi (dari Teori Pengolahan Informasi). Definisi itu juga masih mengingatkan kita bahwa
pengalaman dapat juga menyebabkan terjadinya keadaan lain selain belajar yang merubah perilaku. Kelelahan merupakan salah satu
di antaranya. Namun demikian, definisi di atas seolah masih terikat oleh aliran Behaviorisme yang lebih mengutamakan perubahan
dalam bentuk perilaku. Hal ini jelas di satu pihak telah mengundang ketidakpuasan dari para penganut alinan kognitivisme.

Untuk menjawab ketidakpuasan tersebut, Mayer (1987) mewakili pihak yang berdiri di sisi aliran kognitivisme mencoba mengajukan
definisi belajar yang bernuansa kognitif. Menurutnya, belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam pengetahuan
(knowledge) dan perilaku seseorang yang disebabkan oleh pengalaman. Definisi tersebut mengandung tiga bagian, yaitu: (a) durasi
dan perubahan tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama, (b) tempat terjadinya perubahan tersebut dalam isi dan struktur
pengetahuan di dalam memori atau perilaku pembelajaran, dan (c) penyebab perubahan tersebut yakni oleh faktor pengalaman
pembelajaran di dalam lingkungan dibandingkan oleh faktor motivasi, kelelahan, obat-obatan, kondisi fisik, atau intervensi
psikologis.

/
Definisi di atas mengkhususkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi sebagai hasil dari suatu proses belajar yakni berada di
dalam pengetahuan dan perilaku individu. Tidak ada kesepakatan, yang manakah di antara kedua komponen di atas yang lebih
dominan, apakah pengetahuan atau perilaku? Para psikolog dari aliran kognitivisme yang menekankan pada perubahan-perubahan
dalam pengetahuan, percaya bahwa belajar merupakan suatu kegiatan mental internal yang tidak dapat diamati secara langsung.
Mereka lebih berminat untuk menjawab atau minimal mengerti proses yang terjadi di dalam seperti dalam kegiatan-kegiatan berpikir,
mengingat, mencipta, serta memecahkan masalah.

Dari uraian di atas semakin jelaslah bagi kita bahwa aliran kognitif lebih memandang proses belajar, seperti dikatakan Woolfolk
(1993), sebagai hasil dari usaha kita untuk lebih mengerti dunia, dengan menggunakan seluruh perlengkapan mental untuk
keperluan kita. Cara kita berpikir tentang situasi-situasi, dengan memanfaatkan pengetahuan, harapan, dan perasaan, akan
mempengaruhi bagaimana dan apa yang kita pelajari. Selanjutnya perbedaan pandangan yang mencolok antara aliran behaviorisme
dengan aliran kognitif dapat dijelaskan sebagai berikut: Bagi aliran Behaviorisme, perilaku-perilaku itulah yang sengaja dipelajari,
sehingga terjadi perubahan dalam konstelasi perilakunya. Sedangkan bagi aliran kognitivisme, pengetahuanlah yang dipelajari,
sehingga perubahan dalam hal pengetahuan sekaligus juga akan mengubah perilaku.

Selanjutnya akan disuguhkan tiga definisi belajar. Sumadi Suryabrata (1974) menyatakan: belajar merupakan upaya yang sengaja
untuk memperoleh perubahan tingkah laku, baik yang berupa pengetahuan maupun keterampilan. Kemudian Singer (1980)
mengatakan bahwa belajar digambarkan atau ditunjukkan oleh suatu perubahan yang relatif permanen dalam penampilan atau
potensi perilaku yang disebabkan latihan atau pengalaman masa lalu dalam situasi tertentu. Dan terakhir, Bigge (1982)
mendefinisikan belajar sebagai suatu perubahan yang bertahan lama dalam kehidupan individu dan tidak dilahirkan atau didahului
oleh warisan keturunan.

C. Jenis-jenis Belajar

Belajar”seperti yang telah kita bahas, merupakan istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan perubahan-perubahan dalam
potensi perilaku dan perilaku itu sendiri, serta merupakan hasil dari pengalaman. Conditioning merupakan suatu istilah yang
digunakan lebih khusus untuk menggambarkan prosedur yang dapat mengubah perilaku. Pengertian itu dianut oleh para teorisi
behaviorisme. Menurut mereka terdapat dua macam conditioning, yaitu instrumental dan classical. Dengan demikian mereka juga
menyatakan bahwa paling sedikit terdapat dua macam atau dua jenis belajar, yaitu yang classical conditioning dan instrumental
conditioning.

Dalam classical conditioning, pelaku tidak mempunyai kontrol terhadap reinforcement, atau dengan kata lain, reinforcement tidak
bergantung pada respons yang jelas yang dibuat oleh pelaku. Sedangkan dalam belajar instrumental conditioning, pelaku harus
melakukan sesuatu lewat cara tertentu sebelum diberikan reinforcement. Dengan kata lain, reinforcement tersebut bergantung pada
perilaku pelaku. Jika individu tidak memberikan respons yang diinginkan, maka ia tidak akan diberi reinforcement sama sekali.
Disebut instrumental karena perilaku seseorang merupakan instrumen dalam mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Hingga saat ini
telah banyak jenis belajar dikemukakan orang. Arthur W. Melton sebagaimana dikutip oleh Singer (1980) telah mengusulkan suatu
taksonomi dalam pembelajaran manusia yang meliputi tujuh jenis belajar, yaitu: classical and operant conditioning, rote verbal learning,
probability learning, short-term memory and incidental learning, concept learning, problem solving, dan perceptual-motor skill learning.

Hampir serupa dengan yang dikemukakan oleh Melton, Robert Gagne (1977) menawarkan lima domain mengenai pembelajaran,
yaitu:

Keterampilan gerak, gerakan berorientasi, yang diwakili oleh koordinasi respons terhadap tanda-tanda tertentu.

Informasi verbal, dicontohkan melalui fakta-fakta, prinsip-prinsip, serta generalisasi yang dianggap sebagai pengetahuan.

Keterampilan intelektual, diwakili oleh diskriminasi, peraturan, dan konsep-konsep (penerapan pengetahuan).

Strategi kognitif, keterampilan-keterampilan yang terorganisir secara internal yang menentukan pembelajaran seseorang, pengingatan
dan pemikiran,

Sikap, perilaku afektif, seperti perasaan.

Sedangkan Mayer (1987) mencoba melakukan penjenisan belajar menjadi empat macam, yaitu:

pembelajaran respons sebagaimana yang ditunjukkan oleh pembelajaran behaviorisme,

pembelajaran konsep, yang menunjuk pada penguasaan peraturan klasifikasi baru yang didasarkan pada pengalaman,

pembelajaran verbal hafalan, dengan cara melibatkan kemampuan untuk menghasilkan suatu daftar respons verbal; dan

pembelajaran prosa, yang menunjuk pada pembelajaran semantik baru atau prosedur pengetahuan dan tulisan atau prosa yang
dinyatakan secara verbal.

Jalan yang ditempuh oleh ahli psikologi pendidikan, Benyamin Bloom, ternyata lebih sederhana dan pendapatnya lebih banyak
diterima oleh orang. Menurutnya proses pembelajaran yang dialami manusia itu menempuh tiga jalur utama, yakni yang berkaitan
dengan domain kognitif, domain afektif dan psikomotor. Pendapatnya tersebut telah menyebabkan terjadinya perubahan cara
/ orang
melihat dan meyakini, serta mempraktekkan situasi-situasi belajar di sekolah-sekolah.

Namun demikian, kemudahan dalam pengkategorian belajar yang didasarkan pada tipe utama komponen perilaku tersebut
(mengetahui, merasa, dan melakukan) tidak boleh menutupi fakta bahwa kebanyakan perilaku melibatkan suatu interaksi dari ketiga
komponennya itu. Sebagai contoh keterampilan tingkat tinggi dalam olahraga tenis. Keterampilan tersebut sebenarnya
menggambarkan gerakan yang terintegrasi secara efektif (psikomotor); penerapan strategi, taktik, dan pengetahuan mengenai teknik
dan hukum-hukum gerak (kognitif); serta sikap-sikap yang tepat, jiwa bertanding, dan motivasi (afektif). Meski demikian harus
diakui bahwa taksonomi dan Bloom telah menampilkan pengidentifikasian yang tepat dalam hal perilaku hirarkis dari setiap
kategori, sehingga telah mendorong timbulnya analisis yang lebih menyeluruh mengenai pendekatan-pendekatan pengajaran, hasil
yang diharapkan, serta penilaiannya.

D. Belajar dan Kelangsungan Hidup

Melalui evolusi masa lalu yang panjang, ternyata tubuh kita telah mengembangkan kapasitas untuk merespon secara otomatis
terhadap kebutuhan-kebutuhan tertentu. Misalnya dalam hal bernapas kita melakukannya secara otomatis. Kemudian jika suhu
tubuh kita terlalu tinggi atau terlalu dingin, maka tubuh kita melakukan mekanisme tertentu; berkeringat untuk mendinginkannya
dan bergetar (menggigil) untuk menaikkannya. Demikian juga jika gula darah dalam tubuh kita terlalu rendah, maka hati akan
mengeluarkan gula ke dalam darah, hingga konsentrasinya akan dapat dikembalikan ke tingkat normal. Proses-proses penyesuaian
secara otomatis ini disebut homeostatic mechanisms, sebab fungsinya untuk memelihara keseimbangan fisiologis, atau homeostatis.
Di samping mekanisme homeostatis, manusia juga secara otomatis dibekali dengan refleks-refleks untuk membantu kelangsungan
hidupnya. Contoh mengenai hal ini misalnya kemampuan kita menghindar secara refleks dari rangsangan yang menyakitkan.

Meskipun mekanisme homeostatis dan refleks-refleks tadi sangat besar peranannya dalam membantu kelangsungan hidup kita,
tetapi kita tidak akan bisa hidup lama jika sepenuhnya kita hanya bergantung kepada keduanya. Untuk bisa hidup terus, kita atau
semua mahluk hidup harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain seperti makanan, air dan seks, lewat jalan melakukan interaksi
dengan lingkungan sekitar kita. Tidak seorang pun yang bisa hidup lama jika dia tidak belajar tentang objek lingkungan mana yang
dapat digunakan dan mana yang tidak bisa digunakan, atau mana yang aman dan mana yang berbahaya. Dengan perkataan lain,
proses belajarlah yang memungkinkan mahluk hidup untuk berurusan dengan lingkungannya, sehingga sangat memungkinkan
dirinya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yang tidak bisa dipenuhi oleh mekanisme homeostatis dan refleks-refleksnya.

Penyelidikan terhadap prinsip-prinsip belajar akan menolong kita untuk mengerti mengapa kita berperilaku sebagaimana yang kita
lakukan. Suatu kesadaran dan proses belajar akan memungkinkan kita mendapatkan pengertian yang lebih baik, tidak hanya
terhadap perilaku normal dan adaptif, tetapi juga terhadap keadaan-keadaan atau kondisi yang menghasilkan perilaku-perilaku mal-
adaptif dan abnormal. Lebih jauh lagi, lewat kegiatan tersebut kita pun akan mendapatkan hasil-hasil yang lebih baik dalam hal
penanganan psikoterapi terhadap berbagai kelainan dan pengertian terhadap belajar ini. Praktek-praktek mendidik anak pun dapat
pula memanfaatkan prinsip-prinsip pembelajaran.

Bahwa setiap individu saling berbeda merupakan kenyataan yang tidak dapat kita pungkiri. Adanya perbedaan itu dapat
diterangkan karena pengalaman-pengalaman belajarnya juga berbeda. Sebagai salah satu contoh tentang kemampuan yang paling
penting dari manusia yakni bahasa. Tidak ada yang meragukan bahwa perkembangan bahasa khusus yang dikenal sekarang ini
merupakan hasil dari belajar. Tidak ada keraguan pula bahwa banyak kemampuan manusia lainnya dibentuk lewat interaksi
lingkungan dengan proses belajarnya. Nah, jika orang tua banyak mengetahui mengenai pengalaman-pengalaman belajar yang dapat
menciptakan ciri-ciri tertentu kemudian mereka menginginkannya, mereka pastilah akan dapat mengorganisasi lingkungan belajar
anaknya untuk mencapai ciri-ciri yang diinginkan tersebut. Begitu juga sebaliknya, pengalaman-pengalaman belajar yang cenderung
menghasilkan perilaku-perilaku sosial yang mal-adaptif tentunya akan dapat dihindarkan.

Sebenarnya terdapat hubungan yang erat antara prinsip-prinsip belajar dan praktek pendidikan. Dalam banyak hal, prinsip-prinsip
yang terbuka selama mempelajari proses belajar di laboratorium pada dasarnya akan dapat dimanfaatkan dalam ruang kelas.
Penggunaan konsep pembelajaran terprogram (programatic learning), atau pemanfaatan mesin-mesin pengajaran dan instruksi yang
dibantu komputer, misalnya, merupakan contoh tentang bagaimana riset pada proses pembelajaran mempengaruhi proses
pengajaran. Demikian pula dengan penerapan pendekatan-pendekatan pengajaran yang dewasa in banyak bermunculan dalam dunia
pendidikan kita, pada dasarnya semua itu merupakan buah dari hasil-hasil penelitian dan penemuan mengenai hakikat belajar.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa semakin meningkat pengetahuan kita tentang proses belajar, maka praktek-praktek
pendidikan pun diharapkan akan semakin efisien dan efektif.

E. Teori Belajar Kognitif

Berbeda dengan teori behavioristik, teori kognitif lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Teori ini mengatakan
bahwa belajar tidak sekedar melibatkan hubungan antara stimulus dan respons, melainkan tingkah laku seseorang ditentukan oleh
persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Teori kognitif juga menekankan bahwa
bagian-bagian dari suatu situasi saling berhubungan dengan seluruh konteks situasi tersebut. Teori ini berpandangan bahwa belajar
merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek-aspek kejiwaan lainnya. Belajar
merupakan aktivitas yang melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Teori belajar kognitif mulai berkembang pada abad
terakhir sebagai protes terhadap teori perilaku yang yang telah berkembang sebelumnya. Model kognitif ini memiliki perspektif
/
bahwa para peserta didik memproses infromasi dan pelajaran melalui upayanya mengorganisir, menyimpan, dan kemudian
menemukan hubungan antara pengetahuan yang baru dengan pengetahuan yang telah ada. Model ini menekankan pada bagaimana
informasi diproses.

Secara bahasa, istilah kognitif berasal dari bahasa latin cogitare yang artinya berpikir (Nasution, 2011: 17). Dalam pekembangan
selanjutnya, kemudian istilah kognitif ini menjadi populer sebagai salah satu wilayah psikologi manusia sebagai satu konsep umum
yang mencakup semua bentuk pengenalan yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan masalah pemahaman,
memperhatikan, memberikan, menyangka, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesengajaan, pertimbangan,
membayangkan, memperkirakan, berpikir, dan keyakinan.

Sedangkan secara istilah dalam pendidikan Kognitif adalah salah satu teori diantara teori-teori belajar dimana belajar adalah
pengorganisasian aspek-aspek kognitif dan persepsi untuk memperoleh pemahaman. Dalam model ini, tingkah laku seseorang
ditentukan oleh persepsi dan pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan, dan perubahan tingkah laku, sangat
dipengaruhi oleh proses belajar berpikir internal yang terjadi selama proses belajar Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, 2011: 32).

Ada ahli lain yang mengatakan bahwa istilah cognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing yang berarti mengetahui.
Dalam arti luas, kognisi ialah perolehan, penataan dan penggunaan pengetahuan (Neissser, 1976). Dalam perkembangan selanjutnya,
istilah kognitif menjadi populer dan menjadi salah satu domain atau wilayah atau ranah psikologis manusia yang meliputi setiap
perilaku mental yang berkaitan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan dan
keyakinan. Ranah kejiwaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang
bertalian dengan ranah rasa (Chaplin, 1972).

Istilah cognitive of theory learning yaitu suatu bentuk teori belajar yang berpandangan bahwa belajar adalah merupakan proses
pemusatan pikiran (kegiatan mental) (Slavin (1994). Teori belajar tersebut beranggapan bahwa individu yang belajar itu memiliki
kemampuan potensial, sehingga tingkah laku yang bersifat kompleks bukan hanya sekedar dari jumlah tingkah laku yang sederhana,
maka dalam hal belajar menurut aliran ini adalah mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Belajar tidak hanya sekedar
melibatkan stimulus dan respon. Lebih dari itu, belajar juga melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Yang menjadi priortas
perhatian adalah pada proses bagaimana suatu ilmu yang baru bisa berasimilasi dengan ilmu yang sebelumnya dikuasai oleh
masing-masing individu.

Teori kognitif ini didasari oleh pandangan adanya mekanisme dan proses pertumbuhan, yaitu dari bayi kemudian anak berkembang
menjadi individu yang dapat bernalar dan berpikir menggunakan hipotesa. Asumsi dasar yang melandasi deskripsi demikian ialah
pengertian Jean Piaget mengenai perkembangan intelek dan konsepsinya tentang hakikat kecerdasan (Gredler, 1991).

Dalam praktek belajar, teori kognitif terwujud dalam tahap-tahap perkembangan belajar oleh Jean Piaget, belajar bermakna oleh Ausuber,
dan belajar penemuan secara bebas (free discovery learning) oleh Jerome Bruner. Ini mendasari ilmu pengetahuan yang menurut kognitifist
dibangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi dengan lingkungan yang berkesinambungan. Proses ini tidak terpisah-pisah,
tetapi merupakan proses yang mengalir serta sambung-menyambung, dan menyeluruh. Seperti halnya proses membaca, bukan
sekedar menggabungkan alfabet-alfabet yang terpisah-pisah, tetapi menggabungkan kata, kalimat atau paragraf yang diserap dalam
pikiran dan kesemuanya itu menjadi satu dan mengalir total secara bersamaan.

Tidak seperti model-model behaviorisme yang mempelajari proses belajar hanya sebagai hubungan S – R yang bersifat superfisial,
kognitivisme merupakan suatu bentuk teori yang sering disebut model kognitif atau perseptual. Di dalam model ini tingkah laku
seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan-tujuannya. Belajar itu
sendiri menurut teori kognitif adalah perubahan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku.
Teori ini juga menekankan pada gagasan bahwa bagian-bagian suatu situasi saling berhubungan dengan konteks seluruh situasi
tersebut. Membagi keseluruhan situasi menjadi komponen-komponen kecil dan mempelajarinya secara terpisah adalah sama dengan
kehilangan sesuatu yang penting.

Belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan faktor-faktor lain. Belajar,
mencakup pengaturan stimulus yang diterima dan dinyesuaikan dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran sesorang
berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.

Teori belajar ini hadir dan muncul disebabkan para ahli psikologi belum puas dengan penjelasan yang teori-teori yang terdahulu.
Mereka berpendapat bahwa tingkah laku seseorang selalu di dasarkan pada kognisi, yaitu suatu perbuatan mengetahui atau
perbuatan pikiran terhadap situasi dimana tingkah laku itu terjadi (Ahmadi & Widodo Aupriyono, 1991: 214-215). Teori belajar
kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan
oleh Winkel (1996) bahwa belajar adalah suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan
lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu
bersifat secara relatif dan berbekas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya belajar adalah suatu proses usaha
yang melibatkan aktivitas mental yang terjadi dalam diri manusia sebagai akibat dari proses interaksi aktif dengan lingkungannya
untuk memperoleh suatu perubahan dalam bentuk pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, keterampilan dan nilai sikap yang
bersifat relatif dan berbekas.

/
Objek-objek yang diamatinya dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan, gagasan, atau lambang yang merupakan sesuatu
yang bersifat mental. Misalnya, seseorang menceritakan hasil perjalanannya berupa pengalaman kepada temannya. Ketika dia
menceritakan pengalamannya selama dalam perjalanan, dia tidak dapat menghadirkan objek-objek yang pernah dilihatnya selama
dalam perjalanan itu, dia hanya dapat menggambarkan semua objek itu dalam bentuk kata-kata atau kalimat (Syaiful bahri
Djamarah, 2011: 28-29).

Dari keterangan dan penjelasan di atas dapat pemakalah simpulkan bahwa Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi
pendidikan. Secara umum kognitif diartikan potensi intelektual yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pengetahuan (knowledge),
pemahaman (comprehention), penerapan (aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), dan evaluasi (evaluation). Kognitif berarti
persoalan yang menyangkut kemampuan untuk mengembang kan kemampuan rasional (akal). Implikasi teori perkembangan
kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :

Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang
sesuai dengan cara berpikir anak.

Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat
berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

1. Teori Perkembangan Jean Piaget (1896-1980)

Jean Piaget lahir di Neuchâtel Swiss tanggal 9 Agustus 1896 dan meninggal tanggal 16 September 1980 pada umur 84 tahun adalah
seorang filsuf, ilmuwan, dan psikolog perkembangan Swiss, yang terkenal karena hasil penelitiannya tentang anak-anak dan teori
perkembangan kognitifnya. Menurut Ernst von Glasersfeld, Jean Piaget adalah juga perintis besar dalam teori konstruktivis tentang
pengetahuan. Karya Piaget pun banyak dikutip dalam pembahasan mengenai psikologi kognitif.

Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan
pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang
tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu suatu proses yang
didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang, maka makin
komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya (Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, 2011: 33).
Piaget tidak melihat perkembangan kognitif sebagai sesuatu yang dapat didefinisikan secara kuantitatif. Ia menyimpulkan bahwa
daya piker atau kekuatan mental anak yang berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif. Menurut Piaget, proses belajar akan
terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi (penyeimbangan antara asimilasi dan akomodasi).

Piaget (dalam Syah, 2003: 26), membagi tahap-tahap perkembangan kognitif menjadi empat, yaitu sebagai berikut.

Tahap sensorismotorik (umur 0-2 tahun). Ciri pokok perkembangan berdasarkan tindakan, dan dilakukan selangkah demi
selangkah. Dalam dua tahun pertama kehidupan bayi ini, dia dapat sedikit memahami lingkungannya dengan cara melihat, meraba
atau memegang, mengecap, mencium, dan menggerakan. Artinya, mereka mengandalkan kemampuan sensorik serta motoriknya.
Menurut Piaget, bayi lahir dengan sejumlah refleks bawaan selain juga dorongan untuk mengeksplorasi dunianya. Skema awalnya
dibentuk melalui diferensiasi refleks bawaan tersebut. Periode sensorimotor adalah periode pertama dari empat periode. Piaget
berpendapat bahwa tahapan ini menandai perkembangan kemampuan dan pemahaman spatial penting. Beberapa kemampuan
kognitif yang penting muncul pada saat ini. Anak tersebut mengetahui bahwa perilaku yang tertentu menimbulkan akibat tertentu
pula bagi dirinya. Misalnya dengan menendang-nendang dia tahu bahwa selimutnya akan bergeser darinya.

Tahap preoperasional (umur 2-7/8 tahun). Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah penggunanaan symbol atau tanda bahasa,
dan mulai berkembangnya konsep-konsep intuitif. Dalam tahap ini sangat menonjol sekali kecenderungan anak-anak itu untuk selalu
mengandalkan dirinya pada persepsinya mengenai realitas. Dengan adanya perkembangan bahasa dan ingatan anakpun mampu
mengingat banyak hal tentang lingkungannya. Intelek anak dibatasi oleh egosentrisnya yaitu ia tidak menyadari orang lain
mempunyai pandangan yang berbeda dengannya. Tahapan ini merupakan tahapan kedua dari empat tahapan. Dengan mengamati
urutan permainan, Piaget bisa menunjukkan bahwa setelah akhir usia dua tahun jenis yang secara kualitatif baru dari
fungsi psikologis muncul. Pemikiran (pra) pperasi dalam teori Piaget adalah prosedur melakukan tindakan secara mental terhadap
objek-objek. Ciri dari tahapan ini adalah operasi mental yang jarang dan secara logika tidak memadai. Dalam tahapan ini,
anak belajar menggunakan dan merepresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Pemikirannya masih bersifat egosentris:
anak kesulitan untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Anak dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti
mengumpulkan semua benda merah walau bentuknya berbeda-beda atau mengumpulkan semua benda bulat walau warnanya
berbeda-beda. Menurut Piaget, tahapan pra-operasional mengikuti tahapan sensorimotor dan muncul antara usia dua sampai enam
tahun. Dalam tahapan ini, anak mengembangkan keterampilan berbahasanya. Mereka mulai merepresentasikan benda-benda dengan
kata-kata dan gambar. Bagaimanapun, mereka masih menggunakan penalaran intuitif bukan logis. Di permulaan tahapan ini, mereka
cenderung egosentris, yaitu, mereka tidak dapat memahami tempatnya di dunia dan bagaimana hal tersebut berhubungan satu sama
/
lain. Mereka kesulitan memahami bagaimana perasaan dari orang di sekitarnya. Tetapi seiring pendewasaan, kemampuan untuk
memahami perspektif orang lain semakin baik. Anak memiliki pikiran yang sangat imajinatif di saat ini dan menganggap setiap
benda yang tidak hidup pun memiliki perasaan.

Tahap operasional kongkret (umur 7/8-11/12 tahun). Ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah sudah mulai menggunakan
aturan-aturan yang jelas dan logis, dan ditandai adanya reversible dan kekekalan. Dalam tahap ini anak-anak sudah mengembangkan
pikiran logis. Dalam upaya mengerti tentang alam sekelilingnya mereka tidak terlalu menggantungkan diri pada informasi yang
datang dari pancaindra. Anak-anak yang sudah mampu berpikir secara operasi konkrit sudah menguasai sebuah pelajaran yang
penting yaitu bahwa ciri yang ditangkap oleh pancaindra seperti besar dan bentuk sesuatu, dapat saja berbeda tanpa harus
mempengaruhi misalnya kuantitas. Anak-anak sering kali dapat mengikuti logika atau penalaran, tetapi jarang mengetahui bila
membuat kesalahan. Tahap ini adalah tahapan ketiga dari empat tahapan. Muncul antara usia enam sampai duabelas tahun dan
mempunyai ciri berupa penggunaan logika yang memadai. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah: (1) Pengurutan:
kemampuan untuk mengurutan objek menurut ukuran, bentuk, atau ciri lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran,
mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil. (2) Klasifikasi: kemampuan untuk memberi nama
dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa
serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan
logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan). (3) Decentering: anak mulai mempertimbangkan
beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap cangkir lebar
tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding cangkir kecil yang tinggi. (4) Reversibility: anak mulai memahami bahwa jumlah atau
benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama
dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya. (5) Konservasi: memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-
benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak
diberi cangkir yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda,
air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi cangkir lain. (6) Penghilangan sifat egosentrisme: kemampuan untuk melihat
sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, tunjukkan
komik yang memperlihatkan Siti menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Ujang memindahkan
boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Siti kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi konkrit akan mengatakan bahwa Siti
akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh
Ujang.

Tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun). Ciri-ciri pokok perkembangan pada tahap ini adalah anak sudah mampu berpikir
abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir kemungkinan. Selama tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak yaitu
berpikir mengenai gagasan. Anak dengan operasi formal ini sudah dapat memikirkan beberapa alternatif pemecahan masalah.
Mereka dapat mengembangkan hukum-hukum yang berlaku umum dan pertimbangan ilmiah. Pemikirannya tidak jauh karena
selalu terikat kepada hal-hal yang besifat konkrit, mereka dapat membuat hipotesis dan membuat kaidah mengenai hal-hal yang
bersifat abstrak. Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami
anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya
kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam
tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam
bentuk hitam dan putih, namun ada “gradasi abu-abu” di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas
(saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral,
perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini,
sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap
operasional konkrit.

Seorang individu dalam hidupnya selalu berinteraksi dengan lingkungan. Dengan berinteraksi tersebut, seseorang akan
memperoleh skema. Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia. Skema
juga menggambarkan tindakan baik secara mental maupun fisik yang terlibat dalam memahami atau mengetahui sesuatu. Sehingga
dalam pandangan Piaget, skema mencakup baik kategori pengetahuan maupun proses perolehan pengetahuan tersebut. Seiring
dengan pengalamannya mengeksplorasi lingkungan, informasi yang baru didapatnya digunakan untuk memodifikasi, menambah,
atau mengganti skema yang sebelumnya ada. Sebagai contoh, seorang anak mungkin memiliki skema tentang sejenis binatang,
misalnya dengan burung. Bila pengalaman awal anak berkaitan dengan burung kenari, anak kemungkinan beranggapan bahwa
semua burung adalah kecil, berwarna kuning, dan mencicit. Suatu saat, mungkin anak melihat seekor burung unta. Anak akan perlu
memodifikasi skema yang ia miliki sebelumnya tentang burung untuk memasukkan jenis burung yang baru ini. Adapun beberapa
prinsip yang terdapat pada teori perkembangan Piaget, adalah sebagai berikut.

Perkembangan kognitif merupakan suatu proses gentik. Yaitu suatu perkembangan yang didasarkan atas mekanisme biologis
perkembangan sistem syaraf.

Semakin bertambah umur maka semakin bertambah kompleks susunan syarafnya dan akan meningkat pula kemampuannya. Daya
pikir anak yangb berbeda usia akan berbeda secara kualitatif.

Proses adaptasi mempunyai 2 bentuk dan terjadi secara simultan yaitu akomidasi dan asimilasi.

Asimilasi adalah proses perubahan apa yang di pahami seseuai denganstruktur kognitif. (apabila individu menerima infomasi atau
pengalaman baru maka informasi tersebut akan dimodifikasi sehingga cocok dengan struktur kognitif yang dipunyai). /
Akomodasi adalah proses perubahan struktur kognitif sehingga dapat dipahami (apabila struktur kognitif yang sudah dimiliki harus
disesuaikan dengan informasi yang diterima).

Proses belajar akan terjadi jika mengikuti tahap-tahap asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi (penyeimbangan).

Asimilasi (proses penyatuan informasi baru ke dalam struktur kognitif yang telah dimiliki individu), Akomodasi (proses penyesuaian
struktur kognitif ke dalam situasi yang baru), Ekuilibrasi (penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi).

Seorang anak sudah mempunyai prinsip pengurangan, ketika mempelajri pembagianmaka terjadi prses intrgtasi antara pengurangan
(telah dikuasai)dan pembagian (info baru) inilah asimilasi.

Jika anak diberi soal pembagian, maka situasi ini disebut akomodasi. Artinya anak sudah dapat mengaplikasikan atau memakai
prinsip pembagian dalam situasi baru.

Proses penyesuaian antara ling luar dan struktur kognitif yang ada dlm dirinya disebut ekuilibrasi.

Proses belajar akan mengikuti tahap-tahap perkembangan sesuai dengan umurnya.

Tahap sensorimotor (0-2 thn), preoperasional (2-8 thn), operasional konkret(8-11 thn), operasional formal (12-18 thn).

Hanya dengan mengakti an pengetahuan dan pengalaman secara optimal asimilasi dan akomodasi pengatahuan dan pengalaman
dapat terjadi dengan baik.

Secara relatif kecerdasan seorang anak tetap stabil pada suatu derajat kecerdasan, namun terdapat perbedaan kemampuan
kecerdasan seorang anak pada usia 3 tahun dibandingkan dengan usia 15 tahun. Sedangkan implikasi teori perkembangan kognitif
Piaget dalam pembelajaran adalah sebagai berikut.

Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang
sesuai dengan cara berpikir anak.

Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat
berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.

Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.

Teori perkembangan kognitif ini percaya bahwa anak memiliki teori maupun skema mengenai dunianya yang menjadi dasar
kognisinya. Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji
oleh kedua peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Biggs dan Collis menyatakan bahwa perkembangan kognitif individu
meliputi lima tahap yaitu :

Sensory Motor. Focus perhatian pada mode ini adalah lingkungan fisik sekitar anak. Anak membangun kemampuan untuk
melakukan koordinasi dan mengatur interaksinya dengan lingkungan sekitar. Perkembangan yang berkelanjutan pada mode ini
ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan fisik ketika diperolehnya tacit knowledge.

Iconic. Pada mode ini symbol-simbol dan gambar digunakan untuk merepresentasikan elemen-elemen yang diperolehnya pada mode
sensorimotor. Tanda-tanda tersebut digunakan sebagai peran pengganti dari komunikasi oral. Cirri-ciri dari anak yang berada pada
mode ini antara lain sering menggunakan strategi menebak, senang menggunakan alat peraga dan senang membuat gambaran-
gambaran mental. Mode sensorimotor dan iconic adalah mode-mode alamiah dari seorang manusia yang berkembang secara alamiah
juga. Sedangkan target pertama dari sekolah formal ada pada mode concrete symbolic.

Concrete Symbolic. Pada mode ini anak mengalami “pertukaran” dalam proses abstraksi. Mereka mulai merepresentasikan dunia fisik
melalui bahasa oral ke dalam bentuk tulisan, yaitu sebuah system symbol yang akan mereka gunakan dalam kehidupannya di dunia.
Sebuah system symbol memiliki tingkatan dan logika internal yang dapat memfasilitasi sebuah hubungan antara sistem simbol dan
lingkungan fisik di sekitarnya. Sistem symbol yang digunakan di sekolah antara lain adalah matematika dan bahasa. Mode concrete
symbolic adalah mode terbesar sebagai target dari matematika sekolah. Karena dalam matematika anak menggambarkan dan
mengoperasikan objek-objek yang berada di sekitarnya.

Formal. Pada mode ini titik berat kemampuan seseorang adalah pada kemampuan mengkonstruksi teori tanpa bantuan contoh benda
konkrit. Kemampuan berpikir pada tahap ini meliputi membuat formula hipotesis dan membuat penalaran yang proporsional. Oleh
karena itu kemampuan ini dituntut pada mahasiswa-mahasiswa di Perguruan Tinggi.

Post Formal. Keberadaan mode ini lebih menekankan pada pembuatan hipotesis secara deduktif dari pada penyusunan teori
berdasarkan bukti-bukti empiris. Karakteristik terpenting dari mode ini adalah kemampuan untuk bertanya tentang prinsip-prinsip
mendasar dari sesuatu hal.
/
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton (2005)
menyebutkan bahwa asisimilasi adalah the process by which a person takes material into their mind from the environment, which may mean
changing the evidence of their senses to make it fit” dan akomodasi adalah “the difference made to one’s mind or concepts by the process of
assimilation.

2. Teori Belajar Gestalt

Menurut pandangan teori gestalt seseorng memperoleh pengetahuan melaui sensasi atau informasi dengan melihat strukturnya
secara menyeluruh kemudian menyusunya kembali dalam struktur yang sederhana sehungga lebih mudah dipahami. Adapun
manfaat dari beberapa teori belajar adalah :

Membantu guru untuk memahami bagaimana siswa belajar.

Melaksanakan bimbingan terhadap para guru untuk merancang dan merencanakan proses pembelajaran.

Memandu guru untuk mengelola kelas.

Membantu guru untuk mengevaluasi proses, perilaku guru sendiri serta hasil belajar siswa yang telah dicapai.

Membantu proses belajar lebih efektif, efisien dan produktif.

Membantu guru dalam memberi dukungan dan bantuan kepada siswa sehingga dapat mencapai hasil prestasi yang maksimal (Abu
Ahmad & Widodo Aupriyono, 1991: 215).

Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan arti sebagai “bentuk atau konfigurasi”. Pokok pandangan Gestalt
adalah bahwa objek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Ko a dan
Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :

Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship), yaitu menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua
yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan
figure dari latar belakang. Bila figur dan latar bersifat samar-samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan figure.

Kedekatan (proxmity), bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan (baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan
dipandang sebagai satu bentuk tertentu.

Kesamaan (similarity), bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling memiliki.

Arah bersama (common direction), bahwa unsur-unsur pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan dipersepsi
sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.

Kesederhanaan (simplicity), bahwa orang cenderung menata bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan reguler dan
cenderung membentuk keseluruhan yang baik berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan

Ketertutupan (closure), bahwa seseorang cenderung akan mengisi kekosongan suatu pola objek atau pengamatan yang tidak lengkap.

Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:

Perilaku “Molar“ hendaknya banyak dipelajari dibandingkan dengan perilaku “Molecular”. Perilaku “Molecular” adalah perilaku
dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan perilaku “Molar” adalah perilaku dalam keterkaitan dengan
lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain sepakbola adalah beberapa perilaku “Molar”. Perilaku “Molar” lebih
mempunyai makna dibanding dengan perilaku “Molecular”.

Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral.
Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada, sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang
nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal kenyataannya
merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan hutan yang lebat (lingkungan geografis).

Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap
keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan
sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.

Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu reaksi yang statis.
Proses pengamatan merupakan suatu proses yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan yang diterima.

Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki
hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Akhmad Sudrajat menguraikan beberapa Aplikasi teori Gestalt dalam proses
pembelajaran antara lain :

/
Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran, hendaknya
peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu obyek atau peristiwa.

Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning); kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang pembentukan tilikan
dalam proses pembelajaran. Makin jelas makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang dipelajari. Hal ini sangat
penting dalam kegiatan pemecahan masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan pengembangan alternatif pemecahannya.
Hal-hal yang dipelajari peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis dengan proses kehidupannya.

Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan
stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan efektif jika
peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya. Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah aktivitas
pengajaran dan membantu peserta didik dalam memahami tujuannya.

Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena
itu, materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.

Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut pandangan
Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi tertentu untuk
kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi lain dalam tata-susunan yang tepat.

Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun
ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok
dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh
karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

Gestalt adalah sebuah teori yang menjelaskan proses persepsi melalui pengorganisasian komponen-komponen sensasi yang memiliki
hubungan, pola, ataupun kemiripan menjadi kesatuan. Teori gestalt beroposisi terhadap teori strukturalisme. Teori gestalt cenderung
berupaya mengurangi pembagian sensasi menjadi bagian-bagian kecil. Teori ini dibangun oleh tiga orang, Kurt Ko a, Max
Wertheimer, and Wolfgang Köhler. Mereka menyimpulkan bahwa seseorang cenderung mempersepsikan apa yang terlihat dari
lingkungannya sebagai kesatuan yang utuh.

a. Kurt Ko a (1886-1941)

Ko a lahir di Berlin tanggal 18 Maret 1886. Kariernya dalam psikologi dimulai sejak dia diberi gelar doktor oleh Universitas Berlin
pada tahun 1908. Sumbangan Ko a kepada psikologi adalah penyajian yang sistematis dan pengamalan dari prinsip-prinsip Gestalt
dalam rangkaian gejala psikologi, mulai persepsi, belajar, mengingat, sampai kepada psikologi belajar dan psikologi sosial. Teori
Ko a tentang belajar didasarkan pada anggapan bahwa belajar dapat diterangkan dengan prinsip-prinsip psikologi Gestalt. Teori
Ko a tentang belajar antara lain: (1) Jejak ingatan (memory traces), adalah suatu pengalaman yang membekas di otak. Jejak-jejak
ingatan ini diorganisasikan secara sistematis mengikuti prinsip-prinsip Gestalt dan akan muncul kembali kalau kita mempersepsikan
sesuatu yang serupa dengan jejak-jejak ingatan tadi. (2) Perjalanan waktu berpengaruh terhadap jejak ingatan. Perjalanan waktu itu
tidak dapat melemahkan, melainkan menyebabkan terjadinya perubahan jejak, karena jejak tersebut cenderung diperhalus dan
disempurnakan untuk mendapat Gestalt yang lebih baik dalam ingatan. (3) Latihan yang terus menerus akan memperkuat jejak
ingatan.

b. Max Wertheimer (1880-1943)

Max Wertheimer adalah tokoh tertua dari tiga serangkai pendiri aliran psikologi Gestalt. Wertheimer dilahirkan di Praha pada
tanggal 15 April 1880. Ia mendapat gelar Ph.D nya di bawah bimbingan Oswald Kulpe. Konsep pentingnya : Phi phenomenon, yaitu
bergeraknya objek statis menjadi rangkaian gerakan yang dinamis setelah dimunculkan dalam waktu singkat dan dengan demikian
memungkinkan manusia melakukan interpretasi. Weirthmeir menunjuk pada proses interpretasi dari sensasi obyektif yang kita
terima. Proses ini terjadi di otak dan sama sekali bukan proses fisik tetapi proses mental sehingga diambil kesimpulan ia menentang
pendapat Wundt.

Wertheimer dianggap sebagai pendiri teori Gestalt setelah dia melakukan eksperimen dengan menggunakan alat yang bernama
stroboskop, yaitu alat yang berbentuk kotak dan diberi suatu alat untuk dapat melihat ke dalam kotak itu. Di dalam kotak terdapat
dua buah garis yang satu melintang dan yang satu tegak. Kedua gambar tersebut diperlihatkan secara bergantian, dimulai dari garis
yang melintang kemudiangaris yang tegak, dan diperlihatkan secara terus menerus. Kesan yang muncul adalah garis tersebut
bergerak dari tegak ke melintang. Gerakan ini merupakan gerakan yang semu karena sesungguhnya garis tersebut tidak bergerak
melainkan dimunculkan secara bergantian. Pada tahun 1923, Wertheimer mengemukakan hukum-hukum Gestalt dalam bukunya
yang berjudul Investigation of Gestalt Theory. Hukum-hukum itu antara lain: (1) Hukum Kedekatan (Law of Proximity), (2) Hukum
Ketertutupan (Law of Closure), dan (3) Hukum Kesamaan (Law of Equivalence).

c. Wolfgang Kohler (1887-1967)

Kohler lahir di Reval, Estonia pada tanggal 21 Januari 1887. Kohler memperoleh gelar Ph.D pada tahun 1908 di bawah bimbingan C.
Stumpf di Berlin. Eksperimennya adalah : seekor simpanse diletakkan di dalam sangkar. Pisang digantung di atas sangkar. Di dalam
sangkar terdapat beberapa kotak berlainan jenis. Mula-mula hewan itu melompat-lompat untuk mendapatkan pisang itu tetapi tidak
/
berhasil. Karena usaha-usaha itu tidak membawa hasil, simpanse itu berhenti sejenak, seolah-olah memikir cara untuk mendapatkan
pisang itu. Tiba-tiba hewan itu dapat sesuatu ide dan kemudian menyusun kotak-kotak yang tersedia untuk dijadikan tangga dan
memanjatnya untuk mencapai pisang itu.

Menurut Kohler apabila organisme dihadapkan pada suatu masalah atau problem, maka akan terjadi ketidakseimbangan kogntitif,
dan ini akan berlangsung sampai masalah tersebut terpecahkan. Karena itu, menurut Gestalt apabila terdapat ketidakseimbangan
kognitif, hal ini akan mendorong organisme menuju ke arah keseimbangan. Dalam eksperimennya Kohler sampai pada kesimpulan
bahwa organisme dalam hal ini simpanse dalam memperoleh pemecahan masalahnya diperoleh dengan pengertian atau dengan
insight.

3. Teori Belajar Jerome Seymour Bruner

Jerome S. Bruner adalah seorang pakar psikologi perkembangan dan pakar psikologi belajar kognitif, penelitiannya dalam bidang
psikologi antara lain persepsi manusia, motivasi, belajar, dan berpikir. Dalam mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai
pemroses, pemikir, dan pencipta informasi (Dahar, 1988).

Dalam pembahasan perkembangan kognisi, Bruner menekankan pada adanya pengaruh kebudayaan pada tingkah laku seseorang.
Bila Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif berpengaruh pada perkembangan bahasa seseorang, maka sebaliknya Bruner
menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognisi. Menurut Bruner, perkembangan
kognisi seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh cara dia melihat lingkungannya. Tahap pertama adalah tahap
enaktif, di mana individu melakukan aktivitas-aktivitas untuk memahami lingkungannya. Tahap kedua adalah tahap ikonik di mana
ia melihat dunia atau lingkungannya melalui gambar-gambar atau visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, di mana
ia mempunyai gagasan secara abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika; komunikasi dilakukan dengan bantuan sistem
simbol. Makin dewasa makin dominan pula sistem simbol seseorang.

Untuk belajar sesuatu, Bruner berpendapat tidak perlu menunggu sampai anak mencapai suatu tahap perkembangan tertentu.
Apabila bahan yang diberikan sudah diatur dengan baik, maka individu dapat belajar meskipun umurnya belum memadai. Dengan
kata lain, perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengatur bahan yang akan dipelajari dan me-
nyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan sistem ini dalam dunia pendidikan disebut “kurikulum spiral” di
mana satu obyek diberikan mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi dengan materi yang sama tetapi tingkat kesukaran
yang bertingkat, dan materinya disesuaikan pula dengan tingkat perkembangan kognisi seseorang.

Prinsip-prinsip belajar Bruner adalah sebagai berikut. Makin tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula ke-
tidaktergantungan individu terhadap stimulus yang diberikan. Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan
internal untuk menyimpan dan memproses informasi. Data atau informasi yang diterima dari luar perlu diolah secara mental.

Perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol. Untuk me-
ngembangkan kognisi seseorang diperlukan interaksi yang sistematik antara pengajar dan pembelajar. Dalam Perkembangan kognisi
seseorang, semakin tinggi tingkatannya semakin meningkat pula kemampuan untuk memikirkan beberapa alternatif secara serentak
dan kemampuan untuk memberikan perhatian terhadap beberapa stimuli dan situasi sekaligus.

Menurut Bruner, berpikir intuitif tidak pernah dikembangkan di sekolah, bahkan mungkin dihindari karena dianggap tidak perlu.
Sebaliknya di sekolah banyak dikembangkan cara berpikir analitis, padahal berpikir intuitif sangat penting untuk ahli matematika,
biologi, fisika, dll. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap disiplin ilmu mempunyai konsep-konsep, prinsip-prinsip dan prosedur yang
harus dipahami sebelum seseorang mulai belajar. Cara terbaik untuk belajar adalah memahami konsep, arti dan hubungan melalui
proses intuitif hingga akhirnya sampai pada satu kesimpulan (discovery learning).

Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dalam
teorinya, “free discovery learning” ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai
dalam kehidupannya. Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara menyusun materi pelajaran
dan menyajikannya sesuai dengan tahap perkembangan orang tersebut (Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, 2011: 38).

Model pemahaman dari konsep Bruner (dalam Degeng, 1989) menjelaskan bahwa pembentukan konsep dan pemahaman konsep
merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Menurutnya, pembelajaran
yang selama ini diberikan di sekolah banyak menekankan pada perkembangan kemampuan analisis, kurang mengembangkan
kemampuan berpikir intuitif. Padahal berpikir intuitif sangat penting untuk mempelajari bidang sains, sebab setiap disiplin
mempunyai konsep-konsep, prinsip, dan prosedur yang harus dipahami sebelum seseorang dapat belajar. Cara yang baik untuk
belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif dan akhirnya sampai pada suatu kesimpulan (discovery
learning). Beberapa prinsip teori Bruner adalah:

Perkembangan kognitif ditandai dengan adanya kemajuan menaggapi rangsang

Peningkatan pengatahun bergantung kepada perkembangan sistem penyimpanan informasi secara realistis

Perkembangan intelektual meliputi perkembangan kemampuan berbicara pada diri sendiri atau pada orang lain
/
Interaksi sistematis diperlukan antara pembimbing, guru dan anak untuk perkembangan kognitifnya

Bahasa adalah kunci perkembangan kognitif

Perkembangan kognitif yang ditandai dengan kecakapan untuk mengemukakan beberapa alternatisf secara simultan, memilih
tindakan yang tepat.

Perkembangan kognitif di bagi dalam tiga tahap yaitu enactive, iconic, symbolic.

Enaktif yaitu tahap jika seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk emmahami lingkungan sekitaanya. (gigitan,
sentuhan, pegangan)

Ikonik, yaitu tahap seseorang memahami objek-objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal (anak belajar
melalui bentuk perumpamaan dan perbandingan

Simbolik yaitu tahap seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam
berbahasa dan logika.(anak belajar melalui simbol bahasa, logika, matematika)

Model pemahaman dan penemuan konsep

Cara yang baik untuk belajar adalah memahami konsep, arti, dan hubungan memlalui proses intuitif untuk akhirnya sampai pada
kesimpulan (discovery learning)

Siswa diberi kekebasan untuk belajar sendiri melalui aktivitas menemukan (discovery)

Ada empat tema dalam pendidikan yang dikembangkan oleh Bruner. Tema pertama mengemukakan pentingnya arti struktur
pengetahuan. Hal ini perlu karena dengan struktur pengetahuan kita menolong siswa untuk untuk melihat, bagaimana fakta-fakta
yang kelihatannya tidak ada hubungan, dapat dihubungkan satu dengan yang lain. Tema kedua adalah tentang kesiapan untuk
belajar. Menurut Bruner kesiapan terdiri atas penguasaan ketrampilan-ketrampilan yang lebih sederhana yang dapat mengizinkan
seseorang untuk mencapai kerampilan-ketrampilan yang lebih tinggi. Tema ketiga adalah menekankan nilai intuisi dalam proses
pendidikan. Dengan intuisi, teknik-teknik intelektual untuk sampai pada formulasi-formulasi tentatif tanpa melalui langkah-langkah
analitis untuk mengetahui apakah formulasi-formulasi itu merupakan kesimpulan yang sahih atau tidak. Tema keempat adalah
tentang motivasi atau keingianan untuk belajar dan cara-cara yang tersedia pada para guru untuk merangsang motivasi itu. Jerome S.
Bruner adalah seorang ahli psikologi kognitif (1915) yang memberi dorongan agar pendidikan memberi perhatian pada pentingnya
pengembangan berfikir.Penelitiannya yang sering dilakukan Bruner meliputi persepsi manusia, motivasi, belajar dan berfikir. Dalam
mempelajari manusia, ia menganggap manusia sebagai pemroses, pemikir dan pencipta informasi.

Dalam memandang proses belajar, Brunner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Dengan
teorinya yang disebut Free discovery learning (Budiningsih,2008:40-41). Ia mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik
dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siwa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui
contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya. Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu
kebenaran umum untuk memahami konsep kejujuran, misalnya siwa pertama-tama tidak menghafal definisi kata kejujuran, tetapi
mempelajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran. Dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata
“kejujuran”.

Sementara ditinjau dari arti katanya discover berarti menemukan dan discovery adalah penemuan. Robert B. menyatakan
bahwa discovery adalah proses mental di mana anak/individu mengasilmilasi konsep dan prinsip (Ahmadi, 2005:76). Jadi, seseorang
siswa dikatakan melakukan discovery bila anak terlihat menggunakan proses mentalnya dalam usaha menemukan konsep-konsep
dan prinsip-prinsip. Proses mental yang dilakukan, misalnya mengamati, menggolongkan, mengukur, menduga dan mengambil
kesimpulan.

Selain itu Bruner menganggap, bahwa belajar itu meliputi tiga proses kognitif, yaitu memperoleh informasi baru, transformasi
pengetahuan, dan menguji relevansi dan ketepatan pengetahuan. Dalam teori belajarnya Jerome Bruner berpendapat bahwa kegiatan
belajar akan berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau kesimpulan tertentu. Dalam hal ini
Bruner membedakan menjadi tiga tahap (Muhbidin Syah,2006:10). Ketiga tahap itu adalah: (1) tahap informasi, yaitu tahap awal
untuk memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru, (2) tahap transformasi, yaitu tahap memahami, mencerna dan menganalisis
pengetahuan baru serta ditransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang lain, dan (3) evaluasi,
yaitu untuk mengetahui apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.

Jadi dapat disimpulkan proses belajar menurut Bruner adalah suatu proses yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya. Teori belajar Bruner
dikenal dengan teori Free Discovery learning

4. Teori Belajar Bermakna David Ausubel

Ausubel (1968) adalah seorang pakar psikologi pendidikan dengan teorinya yang berpijak pada psikologi kognitif, dan dalam
teorinya memberi penekanan kepada belajar bermakna, serta retensi dan variabel-variabel yang berhubungan dalam belajar. Belajar
menurut Ausubel dapat diklasifikasikan ke dalam dua dimensi: (1) berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran
/
disajikan pada siswa, baik melalui ekspository maupuninquiry, (2) menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan data atau
informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada (Romiszowski, 1981).

Teori Ausebel lebih memperhatikan bagaimana individu belajar sejumlah materi pembelajaran secara bermakna dari suatu sajian
berbentuk verbal/teks di sekolah (berbeda dengan teori-tori yang dikembangkan dalam konteks percobaan-percobaan yang
dilaksanakan di laboratorium). Menurut Ausebel, belajar dapat dikategorikan ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama, berhubungan
dengan cara bagaimana informasi/materi pembelajaran tersebut disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi
kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitifnya (berupa fakta-fakta, konsep-
konsep, dan generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa) yang telah ada. Kedua dimensi tersebut, yaitu
penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu kontinuum.

Inti dari teori Ausubel tentang belajar adalah belajar bermakna. Menurut Ausebel, belajar bermakna akan terjadi bila si pembelajar
dapat mengaitkan informasi yang baru diperolehnya dengan konsep-konsep (dikenal sebagai subsumer-subsumer) relevan yang
terdapat dalam struktur kognitif si pembelajar tersebut. Akan tetapi, bila si pembelajar hanya mencoba menghafalkan informasi baru
tadi tanpa menghubungkan dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya tersebut, kondisi ini dikatakan sebagai
belajar hafalan.

Seperti kita tahu bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak. Dengan berlangsungnya belajar akan dihasilkan
perubahan-perubahan dalam sel-sel otak terutama sel-sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan informasi yang sedang
dipelajari. Dalam belajar bermakna, informasi baru diasimilasikan pada subsumer-subsumer relevan yang yang telah ada dalam
struktur kognitif. Proses interaktif antara informasi yang baru dipelajari dengan subsumer-subsumer yang telah ada tersebut dikenal
sebagai proses subsumsi. Belajar bermakna yang baru mengakibatkan pertumbuhan dan modifikasi subsumer-subsumer yang telah
ada tersebut.

Informasi yang dipelajari secara bermakna, biasanya lebih lama diingat daripada informasi yang dipelajari secara hafalan. Tetapi, ada
kalanya unsur-unsur yang telah tersubsumsi tidak dapat dikeluarkan lagi dari memori (lupa), hal ini terjadi karena beberapa bagian
subsumer berintegrasi dengan yang lain sehingga mereka kehilangan identitas individunya. Dapat juga, karena subsumer tersebut
telah kembali pada keadaan sebelum terjadi subsumsi. Kondisi seperti ini menurut Ausebel disebut subsumsi obliteratif (subsumsi
yang telah rusak).

Teori Ausubel di atas, nampaknya memiliki kesamaan-kesamaan (commonalities) dengan teori Gestalt dan keduanya melibatkan
suatu skema sebagai suatu prinsip yang sentral. Juga teori Ausebel ini memiliki kesamaan dengan ”model belajar spiral yang
dikemukakan oleh Bruner. Selanjutnya, walupun Ausebel menekankan bahwa subsumsi melibatkan reorganisasi dari struktur
kognitif yang ada tapi tidak mengembangkan struktur yang baru seperti yang disarankan para ahli konstruktivisme. Ausubel
kelihatan dipengaruhi juga oleh hasil kerja dari Piaget untuk perkembangan kognitif.

Walaupun Ausebel sangat menekankan agar para guru diharapkan mengetahui konsep-konsep yang telah dimiliki para siswanya
agar belajar bermakna dapat berlangsung, tetapi Ausebel belum dapat menyediakan alat untuk mengukur hal tersebut. Baru ahli
pendidikan berikutnya, yaitu Novak (1985) dalam bukunya Learning how to learn mengemukakan bahwa hal tersebut dapat digali
melalui pertolongan yang dikenal dengan peta konsep atau pemetaan konsep.

Kelemahan-kelemahan teori belajar Ausubel tersebut pada umumnya adalah bahwa terlalu menekankan belajar asosiatif atau
menghafal. Belajar asosiatif, materi yang dipelajari perlu dihafal secara arbitrari, padahal belajar seharusnya adalah apa yang disebut
dengan asimilasi bermakna. Asimilasi bermakna, materi yang dipelajari, perlu diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan
sebelumnya yang telah ada. Untuk itu diperlukan 2 persyaratan, yaitu: a) materi yang secara potensial bermakna dan dipilih serta
diatur oleh pengajar harus sesuai dengan tingkat perkembangan dan pengetahuan pembelajar; dan b) suatu situasi belajar yang ber-
makna. Faktor motivasional memegang peranan yang penting di sini, sebab pembelajar tidak akan mengasimilasi materi baru
tersebut apabila mereka tidak mempunyai keinginan dan pengetahuan bagaimana melakukannya. Hal ini juga perlu diatur oleh
pengajar sehingga materi tidak dipelajari secara hafalan.

Sifat atau karakteristik untuk teori ini adalah apa yang disebut advance organizers yang apabila dipakai dapat meningkatkan ke-
mampuan pembelajar untuk mempelajari informasi baru. Advance organizer ini merupakan kerangka berbentuk abstraksi atau
ringkasan-ringkasan dari konsep dasar apa yang harus dipelajari serta hubungannya dengan apa yang telah ada dalam struktur
kognisi pembelajar.

Agar terjadi belajar bermakna seperti yang telah dijelaskan di atas, ada beberapa konsep dan prinsip-prinsip lain yang perlu
diperhatikan. Prinsip pertama, mengenai mekanisme pembelajaran yang utama yang diusulkan Ausebel adalah menggunakan
advance organizers (pengatur awal). Organizers tersebut diperkenalkan pada bagian awal/pendahuluan dari suatu pembelajaran, dan
juga disajikan dengan abstraksi tingkat tinggi, secara umum dan paling inklusif (inclusiveness). Selanjutnya, Ausubel menekankan
bahwa advance organizers berbeda dari overviews (ikhtisar) dan summary (kesimpulan) yang secara sederhana menekankan pada ide-
ide kunci dan disajikan secara umum pada bagian akhir dari suatu materi pembelajaran yang disampaikan. Organizers ini bekerja
sebagai suatu jembatan atau semacam pertolongan mental pengsubsumsian antara materi pembelajaran yang baru dengan ide-ide
yang sudah ada. Dengan kata lain, pengatur awal ini mengarahkan siswa ke materi yang akan mereka pelajari, dan menolong mereka
untuk mengingat kembali informasi yang berhubungan yang dapat dipergunakan dalam membantu menanamkan pengetahuan yang
baru.

/
Prinsip kedua adalah selama belajar bermakna berlangsung, perlu terjadi pengembangan dan elaborasi konsep-konsep yang
tersubsumsi. Menurut Ausubel, pengembangan konsep berlangsung paling baik, bila unsur-unsur yang paling umum, paling
ingklusif dari suatu konsep diperkenalkan terlebih dahulu, dan kemudian baru diberikan hal-hal yang lebih mendetail dan lebih
khusus dari konsep itu. Jadi, model belajar yang diusulkan oleh Ausubel adalah dari hal umum ke hal khusus. Oleh karena itu, dalam
memberikan proses pembelajaran kepada siswa kita harus pandai-pandai memilih mana konsep yang bersifat umum dan
superordinat dan mana konsep-konsep yang bersifat lebih khusus dan subordinat. Proses penyusunan konsep seperti itu disebut
diferensiasi progresif.

Prinsip yang ketiga adalah mengenai prinsip penyesuaian/ rekonsiliasi integratif. Kadang-kadang siswa dihadapkan kepada suatu
kenyataan yang disebut pertentangan/ konflik kognitif (cognitive dissonance/ conflict). Menurut Ausebel, dalam pembelajaran bukan
hanya urutan menurut diferensiasi progresif saja yang diperhatikan, melainkan juga harus diperhatikan bagaimana konsep-konsep
baru dihubungkan pada konsep-konsep superordinat. Kita harus memperlihatkan secara eksplisist bagaimana arti-arti baru
dibandingkan dan dipertentangkan dengan arti-arti sebelumnya yang lebih sempit, dan bagaimana konsep-konsep yang tingkatanya
lebih tingi sekarang mengambil arti baru.

Dalam proses belajar mengajar, seorang pengajar dapat menerapkan prinsip belajar bermakna oleh Ausubel, melalui langkah-langkah
sebagai berikut. Pertama, mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur kognisi) melalui tes awal, interview, review,
pertanyaan dll. Kedua, memilih materi, mengaturnya dan menyajikan konsep-konsep inti, dimulai dari contoh konkrit dan contoh
kontroversial. Ketiga, mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus diketahui dari materi baru dan menyajikan suatu pandangan
menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari. Keempat, memakai advance organizers agar pembelajar dapat memahami konsep-
konsep dan prinsip-prinsip yang ada dengan memberikan fokus pada hubungan yang ada.

Menurut Ausubel, belajar seharusnya merupakan asimilasi yang bermakna bagi siswa. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan
dihubungkan dengan pengtahuan yang telah dimiliki siswa dalam bentuk strukur kognitif (Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution,
2011: 35). Teori ini banyak memusatkan perhatiannya pada konsepsi bahwa perolehan dan retensi pengetahuan baru merupakan
fungsi dari struktur kognitif yang telah dimiliki siswa.

Hakikat belajar menurut teori kognitif merupakan suatu aktivitas belajar yang berkaitan dengan penataan informasi, reorganisasi
perceptual, dan proses internal. Atau dengan kata lain, belajar merupakan persepsi dan pemahaman, yang tidak selalu berbentuk
tingkah laku yang dapat diamati atau diukur. Dengan asumsi bahwa setiap orang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman yang
telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang dimilkinya. Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran atau
informasi baru beradaptasi dengan struktur kognitif tang telah dimiliki seseorang. Beberapa Prinsip Teori Ausubel adalah:

Proses belajar akan terjadi jika seseorang mampu mengasimilasikan pengetahuan yang tlah dimilikinya dengan pengetahuan baru

Proses belajar akan terjadi melalui tahap-tahap memperhatikan stimulus, memamahi makna stimulus, menyimpan dan menggunakan
informasi yang sudah dipahami

Siswa lebih ditekankan unuk berpikir secara deduktif (konsep advance organizer) (Al Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution, 2011: 36-
37)

Ausebel berpendapat bahwa faktor yang paling penting yang mempengaruhi belajar adalah apa yang telah diketahui siswa. Inilah
yang harus diyakini dan pembelajaran terhadap siswa harus didasarkan kepada hal ini.Adapun aplikasi teori kognitif dalam
pembelajaran adalah sebagai berikut.

Keterlibatan siswa secara aktif amat dipentingkan

Untuk meningkatkan minat serta meningkatkan retensi belajar perlu mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang
telah dimiliki siswa.

Materi pelajaran disusun dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks.

Perbedaan individu pada siswa perlu diperhatikan karena faktor ini sangat mempengaruhi keberhasilan belajar.

5. Teori Belajar Pierre van Hiele

Dalam belajar pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap
perkembangan mental anak dalam belajar geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian
dalam pegajaran geometri. Hasil penelitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan
pengamatan. Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode
pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan
berpikir yang lebih tinggi.

Van Hiele adalah seorang pengajar matematika Belanda yang telah mengadakan penelitian di lapangan, melalui observasi dan tanya
jawab, kemudian hasil penelitiannya ditulis dalam disertasinya pada tahun 1954. Penelitian yang dilakukan Van Hiele melahirkan
beberapa kesimpulan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri. Van Hiele (dalam Ismail, 1998)

/
menyatakan bahwa terdapat lima tahap pemahaman geometri yaitu: Tahap pengenalan, analisis, pengurutan, deduksi, dan
keakuratan.

a. Tahap Pengenalan

Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seperti bola, kubus, segitiga, persegi dan bangun-bangun
geometri lainnya. Seandainya kita hadapkan dengan sejumlah bangun-bangun geornetri, anak dapat memilih dan menunjukkan
bentuk segitiga. Pada tahap pengenalan anak belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya
sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu. Sehingga bila kita ajukan pertanyaan seperti “apakah pada sebuah
persegipanjang, sisi-sisi yang berhadapan panjangnya sama?”, “apakah pada suatu persegipanjang kedua diagonalnya sama
panjang?”. Untuk hal ini, siswa tidak akan bisa menjawabnya. Guru harus memahami betul karakter anak pada tahap pengenalan,
jangan sampai, anak diajarkan sifat-sifat bangun-bangun geometri tersebut, karena anak akan menerimanya melalui hafalan bukan
dengan pengertian.

b. Tahap Analisis

Bila pada tahap pengenalan anak belum mengenal sifat-sifat dari bangun-bangun geometri, tidak demikian pada tahap Analisis. Pada
tahap ini anak sudah dapat memahami sifat-sifat dari bangun-bangun geometri. Pada tahap ini anak sudah mengenal sifat-sifat
bangun geometri, seperti pada sebuah kubus banyak sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12. Seandainya kita
tanyakan apakah kubus itu balok?, maka anak pada tahap ini belum bisa menjawab pertanyaan tersebut karena anak pada tahap ini
belum memahami hubungan antara balok dan kubus. Anak pada tahap analisis belum mampu mengetahui hubungan yang terkait
antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.

c. Tahap Pengurutan

Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya mengenal bangun-bangun
geometri beserta sifat-sifatnya, maka pada tahap ini anak sudah mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun
geometri dengan bangun geometri lainnya. Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun
geometri. Misalnya, siswa sudah mengetahui jajargenjang itu trapesium, belah ketupat adalah layang-layang, kubus itu adalah balok.
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara deduktif, tetapi masih pada tahap awal
artinya belum berkembang baik. Karena masih pada tahap awal siswa masih belum mampu memberikan alasan yang rinci ketika
ditanya mengapa kedua diagonal persegi panjang itu sama, mengapa kedua diagonal pada persegi saling tegak lurus.

d. Tahap Deduksi

Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif. Pengambilan kesimpulan secara
deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat khusus. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif.
Matematika, dikatakan sebagai ilmu deduktif karena pengambilan kesimpulan, membuktikan teorema dan lain-lain dilakukan
dengan cara deduktif. Sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa jumlah sudut-sudut dalam jajargenjang adalah 360o secara
deduktif dibuktikan dengan menggunakan prinsip kesejajaran. Pembuktian secara induktif yaitu dengan memotong-motong sudut-
sudut benda jajargenjang, kemudian setelah itu ditunjukkan semua sudutnya membentuk sudut satu putaran penuh atau 360° belum
tuntas dan belum tentu tepat. Seperti diketahui bahwa pengukuran itu pada dasarnya mencari nilai yang paling dekat dengan ukuran
yang sebenarnya. Jadi, mungkin saja dapat keliru dalam mengukur sudut-sudut jajargenjang tersebut. Untuk itu pembuktian secara
deduktif merupakan cara yang tepat dalam pembuktian pada matematika.

Anak pada tahap ini telah mengerti pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang
didefinisikan, aksioma atau problem, dan teorema. Anak pada tahap ini belum memahami kegunaan dari suatu sistem deduktif. Oleh
karena itu, anak pada tahap ini belum dapat menjawab pertanyaan “mengapa sesuatu itu disajikan teorema atau dalil.”

e. Tahap Keakuratan

Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah tahap keakuratan. Pada tahap ini anak sudah
memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini sudah
memahami mengapa sesuatu itu dijadikan postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem
deduktif. Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan tahap berpikir yang
kompleks dan rumit. Oleh karena itu, jarang atau hanya sedikit sekali anak yang sampai pada tahap berpikir ini sekalipun anak
tersebut sudah berada di tingkat SMA.

Selain mengemukakan mengenai tahap-tahap perkembangan kognitif dalam memahami geometri, Van Hiele juga mengemukakan
beberapa teori berkaitan dengan pembelajaran geometri. Teori yang dikemukakan Van Hiele antara lain adalah sebagai berikut:

Tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode penyusun yang apabila dikelola secara
terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.

Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling bertukar pikiran maka kedua orang
tersebut tidak akan mengerti. Sebagai contoh, seorang anak tidak mengerti mengapa gurunya membuktikan bahwa jumlah sudut-
sudut dalam sebuah jajargenjang adalah 360o, misalnya anak itu berada pada tahap pengurutan ke bawah. Menurut anak pada tahap
/
yang disebutkan, pembuktiannya tidak perlu sebab sudah jelas bahwa jumlah sudut-sudutnya adalah 360°. Contoh yang lain, seorang
anak yang berada paling tinggi pada tahap kedua atau tahap analisis, tidak mengerti apa yang dijelaskan gurunya bahwa kubus itu
adalah balok, belah ketupat itu layang-layang. Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang diberi penjelasan tersebut
tidak memahaminya. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak mungkin dapat mengerti
atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk
memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui hafalan saja bukan melalui pengertian.

Untuk mendapatkan hasil yang diinginkan yaitu anak memahami geometri dengan pengertian, kegiatan belajar anak harus
disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak atau disesuaikan dengan taraf berpikirnya. Dengan demikian anak dapat
memperkaya pengalaman dan berpikirnya, selain itu sebagai persiapan untuk meningkatkan tahap berpikirnya kepada tahap yang
lebih tinggi dari tahap sebelumnya.

6. Teori Kognisi Sosial Lev Semenovich Vygotsky (1896-1934)

Lev Semenovich Vygotsky mengenai teori belajar kognitif dalam hal ini Kognisi Sosial, mendasari pemikiran bahwa budaya berperan
penting dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu perkembangan, tiap individu berkembang dalam konteks budaya, sehingga
proses belajar individu dipengaruhi oleh lingkungan utama budaya keluarga. Budaya lingkungan individu membelajarkannya apa
dan bagaimana berpikir. Konsep dasar teori ini diringkas sebagai berikut:

Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual individu melalui 2 cara, yaitu melalui (i) budaya dan (ii) lingkungan budaya.
Melalui budaya banyak isi pikiran (pengetahuan) individu diperoleh seseorang, dan melalui lingkungan budaya sarana adaptasi
intelektual bagi individu berupa proses dan sarana berpikir bagi individu dapat tersedia.

Perkembangan kognitif dihasilkan dari proses dialektis (proses percakapan) dengan cara berbagi pengalaman belajar dan pemecahan
masalah bersama orang lain, terutama orangtua, guru, saudara sekandung dan teman sebaya.

Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul tanggung jawab membimbing pemecahan masalah; lambat-laun
tanggung jawab itu diambil alih sendiri oleh individu yang bersangkutan.

Bahasa adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk menyalurkan sebagian besar perbendaharaan pengetahuan yang hidup
dalam budayanya.

Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah sarana primer adaptasi intelektual; ia berbahasa batiniah ( internal
language) untuk mengendalikan perilaku.

Internalisasi merujuk pada proses belajar. Menginternalisasikan pengetahuan dan alat berpikir adalah hal yang pertama kali hadir ke
kehidupan individu melalui bahasa.

Terjadi zone of proximal development atau kesenjangan antara yang sanggup dilakukan individu sendiri dengan yang dapat
dilakukan dengan bantuan orang dewasa.

Karena apa yang dipelajari individu berasal dari budaya dan banyak di antara pemecahan masalahanya ditopang orang dewasa,
maka pendidikan hendaknya tidak berpusat pada individu dalam isolasi dari budayanya.

Interaksi dengan budaya sekeliling dan lembaga-lembaga sosial sebagaimana orangtua, saudara sekandung, individu dan teman
sebaya yang lebih cakap sangat memberi sumbangan secara nyata pada perkembangan intelektual individu.

Menurut Vygotsky, apa yang menjadi perilaku manusia adalah proses penyesuaian diri dengan apa yang sesuai atau tepat
(appropriate) dan menjadi harapan masyarakat/ lingkungan. Perkembangan kognitif pada manusia dipengaruhi oleh lingkungan.
Manusia bukan hanya berkembang dalam arti sosial biologis, namun fungsi-fungsi psikologis terus meningkat sejak lahir. Fungsi-
fungsi psikologi itu seperti persepsi, perhatian, memory, yang terus berkembang karena manusia terus bertransformasi dalam kontek
social dan pendidikan. Melalui bahasa, sarana dan kebudayaan, hukumhukum sosial manusia terus berkembang sampai mencapai
fungsi psikologi kognitif tingkat tinggi.

Disamping itu Vygotsky telah mengusulkan suatu mekanisme yang didalamnya budaya menjadi bagian dari hakikat (nature) setiap
individu. Melalui berbagai pikiran atau mental yang berkelanjutan, wawasan atau pikiran ditransmisikan atau disalurklan dari
generasi kegenerasi. Melalui bahasa dan produknya, misalnya ilmu pengetahuan, melek huruf, teknologi dan literature (Gunarsa,
2004:75). Vygotsky berkeyakinan bahwa perkembangan tergantung baik pada factor biologis menentukan fungsi-fungsi elementer
memorie, atensi, persepsi, dan stimulus respon, faktor sosial sangat penting artinya bagi perkembangan fungsi mental lebih tinggi
untuk pengembangan konsep, penalaran logis, dan pengambilan keputusan, teori Vygotsky ini, lebih menekankan pada aspek sosial
dari pembelajaran (Trianto, 2007:27). Dan ini sejalan deng an teori konvergensi yang dipelopori oleh Wlliam Stern, Ia berpedapat
bahwa seorang anak dilahirkan di dumia sudah disertai pembawaan baik maupun pembawaan buruk.

Proses perkembangan anak, baik faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama sama mempunyai peranan sangat penting.
Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan sesuai untuk
perkembangan anak itu.

/
Vygotsky mengemukakan pengetahuan dan perkembangan kognitif individu berasal dari sumber-sumber sosial diluar dirinya, hal
ini tidak berarti bahwa individu bersikap positif dalam perkembangan kognitifnya, tetapi Vygotsky juga menekankan pent ingnya
peran aktif seseorang dalam mengkonstruksi pengetahuan. Maka teori Vygotsky sebenarnya lebih tepat disebut dengan pendekatan
kokontrukvisme. Maksudnya perkembangan kognitif seseorang disamping ditentukan oleh individu sendiri secara aktif, juga oleh
lingkungan sosial yang aktif pula. Sedangkan Ma heus membedakan dua tradisi besar dari konstruktivisme yaitu konstruktivisme
psikologis sosiologi. Konstruktivisme social lebih menekankan kepada masyarakatlah yang membangun pengetahuan.
Konstruktivisme psikologi bercabang dua yaitu yang lebih personal (piaget) dan yang lebih sosial (Vygotsky). Sedangkan
Konstruktivisme sosial berdiri sendiri (Suparno, 1997:41).

Teori pembudayaan sosial atau juga dikenali sebagai teori konstruktivisme sosial telah diperkenalkan oleh Lev. Semenovich
Vygotsky. Beliau merupakan seorang psikologi berbangsa rusia. Beliau juga seorang guru dan sarjana sastra. Beliau menulis buku
tentang, pemikiran dan bahasa dan pikiran masyarakat. Keduanya telah diterjemahkan dan diterbitkan semula di barat. Beliau percaya
bahwa pembelajaran dan perkembangan adalah suatu kegiatan sosial, yaitu aktifitas kerja sama. Pengalaman dan pengetahuan tidak
harus dipisahkan tetapi sebaliknya pengalaman diluar sekolah haruslah menjadi berhubungan dengan pengalaman didalam sekolah
(Munandar, 2001: 86).

Dalam teori ini, bahasa (ucapan dan tulisan) yang digunakan selama interaksi memainkan peranan yang amat penting sebagai alat
komunikasi dalam membina pengetahuan dan pengalaman. Model kognitif yang diwakili oleh Piaget, Bruner dan Vygotsky, sangat
tepat digunakan. Model ini adalah pandangan terbaru mengenai perolehan bahasa pada anak-anak ialah pandangan yang disebut
Model proses (Proses models). Atau analisis strategi (startegi analisis). Inti dari pendekatan baru ini adalah suatu model kognitif
untuk bahasa, yang mencoba menjelaskan bagaimana bahasa itu diproses secara kognitif dan bagaimana manifestasinya dalam
tingkah laku.

Bruner menjelaskan Scaffolding sebagai suatu proses dimana siswa dibantu untuk memahami suatu masalah tertentu yang melebihi
perkembangan mentalnya melalui bantuan seorang guru atau orang yang memahaminya. Konsep Scaffolding Buner mirip dengan
Zona perkembangan terdekat Vygotsky. Menurut Vygotsky memberikan bantuan selama tahap-tahap awal belajar dan kemudian
sedikit demi sedikit menghilangkan bantuan dan memberikan anak tersebut meningkatkan tanggung jawabnya.

Menurut Vygotsky, kegiatan mental juga akan lebih mudah jika ada alat pendukungnya. Yang ia sebut sebagai Tool of the Mind yang
berfungsi untuk mempermudah anak untuk memahami suatu fenomena, memecahkan masalah, mengingat dan berpikir. Sebagai
contoh, batu, manik-manik, atau lidi merupakan alat yang dapat membantu anak memahami konsep bilangan. Anak dapat
menghubungkan benda tersebut dengan b ahasa simbol seperti satu, dua, tiga dan seterusnya (Suyanto, 2005:106).

Vygotsky begitu terkesan oleh tulisan Engels mengenai penggunaan alat, dan dia berusaha mengembangkan inspirasi-inspirasi
Engels yang mengatakan bahwa kemampuan manusia telah berubah sebagi hasil dari perkembangan sejarah khususnya
perkembangan teknologis. Namun dengan seiring perkembangan alatalat baru oleh spesies kita untuk menghadapi lingkungan,
manusia menjadi lebih sadar akan sifat-sifat objek, mengembangkan cara-cara baru untuk bekerja sama dengan berkomunikasi, dan
mengembangkan kemampuan baru bagi perencanaan dan pengamatan. Vygotsky menyebutkan beragam peralatan psikologi yang
digunakan manusia untuk membantu ini sebagai rambu-rambu berpikir dan bertingkah laku, dan dia berpendapat bahwa kita tidak
bisa memahami pikiran manusia tanpa menguji terlebih dahulu tanda-tanda yang disediakan budaya (Vygotsky dalam Crain,
2007:241).

7. Teori Belajar Pemrosesan Informasi dari Robert Mills Gagne

Robert Gagne lahir tahun 1916 di North Andover, Beliau mendapatkan gelar A.B. pada Yale tahun 1937 dan pada tahun 1940
mendapat gelar Ph.D. Ada beberapa hal yang melandasi pandangan Gagne tentang belajar. menurutnya belajar bukan merupakan
proses tunggal melainkan proses luas yang dibentuk oleh pertumbuhan dan perkembangan tingkah laku, dimana tingkah laku itu
merupakan proses komulatif dari belajar. Artinya banyak keterampilan yang dipelajari memberikan sumbangan bagi belajar
keterampilan yang lebih rumit.

Menurut Gagne belajar memberi kontribusi terhadap adaptasi yang diperlukan untuk mengembangkan proses yang logis, sehingga
perkembangan tingkah laku (behavior) adalah hasil dari efek belajar yang kumulatif (Gagne, 1968). Lebih lanjut ia menjelaskan
bahwa belajar itu bukan proses tunggal. Belajar menurut Gagne tidak dapat didefinisikan dengan mudah, karena belajar bersifat
kompleks. Hasil belajar merupakan kapabilitas. Setelah belajar, orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai.
Timbulnya kapabilitas tersebut berasal dari (1) stimulasi yang berasal dari lingkungan; dan (2) proses kognitif yang dilakukan siswa.
Dengan demikian, belajar adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan
informasi menjadi kapabilitas baru.

Dikemukakan pula bahwa belajar merupakan faktor yang luas yang dibentuk oleh pertumbuhan, perkembangan tingkah laku
merupakan hasil dari aspek kumulatif belajar. Berdasarkan pandangan iniGagne mendefinisikan pengertian belajar secara formal
bahwa belajar adalahperubahan dalam disposisi atau kapabilitas manusia yang berlangsung selama satu masa waktu dan tidak
semata-mata disebabkan oleh proses pertumbuhan. Perubahan itu berbentuk perubahan tingkah laku. Hal itu dapat diketahui
dengan jalan membandingkan tingkah laku sebelum belajar dan tingkah laku yang diperoleh setelah belajar. Perubahan tingkah laku
dapat berbentuk perubahan kapabilitas jenis kerja atau perubahan sikap, minat atau nilai. Perubahan itu harus dapat bertahan selama
periode waktu dan dapat dibedakan dengan perubahan karena pertumbuhan, missalnya perubahan tinggi badan atau perkembangan
otot dan lain-lain. Gagne membagi proses belajar berlangsung dalam empat fase utama, yaitu:
/
Fase pengenalan (apprehending phase). Pada fase ini peserta didik memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya
dan memahami stimulus tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara. Ini berarti bahwa belajar adalah suatu
proses yang unik pada tiap siswa, dan sebagai akibatnya setiap siswa bertanggung jawab terhadap belajarnya karena cara yang unik
yang dia terima pada situasi belajar.

Fase perolehan (acqusition phase). Pada fase ini peserta didik memperoleh pengetahuan baru dengan menghubungkan informasi
yang diterima dengan pengetahuan sebelumya. Dengan kata lain pada fase ini siswa membentuk asosiasi-asosiasi antara informasi
baru dan informasi lama.

Fase penyimpanan (storage phase). Fase storage/retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan dalam
jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke
memori jangka panjang.

Fase pemanggilan (retrieval phase). Fase Retrieval/Recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali informasi yang
ada dalam memori. Kadang-kadang dapat saja informasi itu hilang dalam memori atau kehilangan hubungan dengan memori jangka
panjang. Untuk lebih daya ingat maka perlu informasi yang baru dan yang lama disusun secara terorganisasi, diatur dengan baik atas
pengelompokan-pengelompokan menjadi katagori, konsep sehingga lebih mudah dipanggil.

Di samping terdapat fase utama dalam proses belajar, ada pula fase-fase lain yang dianggap tidak utama, yaitu :

Fase motivasi. sebelum pelajaran dimulai guru memberikan motivasi kepada siswa untuk belajar.

Fase generalisasi. adalah fase transer informasi pada situasi-situasi baru, agar lebih meningkatkan daya ingat, siswa dapat diminta
mengaplikasikan sesuatu dengan informasi baru tersebut.

Fase penampilan. adalah fase dimana siswa harus memperlihatkan sesuatu penampilan yang nampak setelah mempelajari sesuatu.

Fase umpan balik, siswa harus diberikan umpan balik dari apa yang telah ditampilkan (reinforcement).

Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan.
Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi
adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri
individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal
adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Menurut Gagne tahapan proses
pembelajaran meliputi delapan fase yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4) penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6)
generalisasi; (7) perlakuan dan (8) umpan balik.

Teori pemrosesan informasi adalah teori kognitif tentang belajar yang menjelaskan pemrosesan, penyimpanan, dan pemanggilan
kembali pengetahuan dari otak (Slavin, 2000: 175). Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang memperoleh sejumlah informasi dan
dapat diingat dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu perlu menerapkan suatu strategi belajar tertentu yang dapat
memudahkan semua informasi diproses di dalam otak melalui beberapa indera.

Pemerosesan informasi menyatakan bahwa murid mengolah informasi, memonitiringnya, dan menyusun strategi berkenaaan dengan
informasi tersebut. Inti dari pendekatan ini adalah proses memori dan berpikir (thinking). (Santrock, 310:2010). Anak secara bertahap
mengembangkan kapasitas untuk mengembangkan untuk memproses informasi, dan secara bertahap pula mereka biasa
mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang kompleks.

Pemerosesan informasi pada awalnya menggunakan sistem komputer sebagai analog. Penggunaan sistem komputer sebagai analog
cara manusia memproses, menyimpan dan mengingat kembali informasi sesungguhnya kurang tepat karena terlalu
menyederhanakan manusia. Cara manusia memproses informasi sesungguhnya lebih kompleks dibandingkan dengan komputer (M.
Asrori, 13:2008).

Secara umum pendekatan Teori Pengolahan Informasi memandang cara belajar manusia mengambil cara yang dapat diterangkan
seperti beroperasinya sebuah komputer. Dengan menganalogikannya demikian, maka lewat teori ini manusia dilihat sebagai sebuah
mesin yang menerima informasi dan luar dirinya (lingkungan), mengolah mnformasi tersebut dengan satu atau beberapa cara, dan
kemudian beraksi pada informasi itu.

Dalam cara yang demikian, Hergenhahn dan Olson (1993) melihat bahwa para teorisi asosiasionisme seperti Pavlov, Watson dan
Guthrie pun sebenamya memandang pola yang sama dari teori pengolahan informasi ini, hanya dengan menggunakan istilah yang
berbeda. Mereka (asosiasionis) misalnya, menerangkan bahwa perilaku dan mahluk hidup dihubungkan dengan rangsangan
lingkungan, keterlibatan mekanisme persyarafan, serta kemampuan-kemampuan memberikan respons. Kalau istilah-istilah yang
digunakan diperbandingkan, misalnya rangsangan disamakan dengan input, respon diganti dengan output, dan mekanisme
persyarafan yang menghubungkan antara S dan R diubah jadi information processing mechanisms, maka apa lagikah bedanya?
Donald A. Norman, tokoh yang bisa mewakili penganut teori pengolahan informasi, menekankan bahwa walau keduanya
dipersamakan demikian, bedanya tetap ada. Menurutnya, perbedaan penting tentang psikologi pengolahan informasi yakni pada

/
upayanya untuk mengerti dan menentukan mekanisme internal. Hal ini bukan melulu masalah pemrosesan tetapi masalahnya adalah
teori ini mencoba untuk lebih spesifik mengenali tahapan yang tepat dalam hal processing yang berlangsung dan untuk memerinci
berbagai properti dan mekanisme internal tadi.

Para psikolog pengolahan informasi menyamakan input dengan informasi, yaitu sesuatu yang masuk ke dalam sistem pengolahan
yang berasal dari lingkungan. Informasi inilah yang kemudian akan diolah, serta kemudian dikeluarkan lagi dalam bentuk output.
Menurut mereka, output (perilaku) dalam suatu situasi tertentu ditentukan oleh input yang diberikan oleh situasi yang ada dan oleh
proses evaluasi dan situasi itu yang didasarkan pada memori tentang hal-hal yang telah dialami sebelumnya. Teori ini dikembangkan
dari study Cybernetics.

Dari kesemuanya, pendekatan dan Piagetlah yang nampaknya mempunyai pengaruh dan hubungan yang lebih besar terhadap teori
pengolahan informasi ini. Dan hal ini dlakui oleh Norman dengan lebih banyak menyandarkan keterangan-keterangannya pada apa
yang digunakan oleh Piaget. Baik Piaget dan pendekatan pengolahan informasi menganggap bahwa informasi dan lingkungan
diurus (diorganisasi, disederhanakan, diubah, dipilih untuk dianalisis berikutnya, atau diabaikan) oleh struktur kognitif seseorang
sebelum diterjemahkan menjadi perilaku. Dengan kata lain, keduanya menekankan pentingnya skemata dalam pengolahan
informasi.

8. Teori Belajar Sibernetik

Teori belajar sibernetik merupakan teori belajar yang relatif baru dibandingkan dengan teori-teori belajar yang telah ada, seperti teori
belajar behavioristik, konstruktivistik, humanistik, maupun teori belajar kognitif. Seolah-olah teori ini memiliki kesamaan dengan
teori kognitif yaitu mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar. Proses belajar memang penting dalam teori sibernetik,
namun yang lebih penting lagi adalah sistem informasi yang diproses yang akan dipelajari siswa. Bagaimana proses belajar akan
berlangsung, sangat ditentukan oleh sistem informasi yang dipelajari.

Sibernetik merupakan bentuk kata serapan dari kata ’Cybernetic’ yakni sistem kontrol dan komunikasi yang memungkinkan
feedback atau umpan balik. Kata ’cybernetic’ yang selanjutnya kita tulis dengan kata sibernetik berasal dari bahasa yunani yang
berarti pengendali atau pilot. Bidang ini menjadi disiplin ilmu komunikasi yang berkaitan dengan mengontrol mesin komputer.
Istilah ini dipakai pertama kali oleh Louis Couffignal tahun 1958. Kini istilah sibernetik berkembang menjadi segala sesuatu yang
berhubungan dengan internet, kecerdasan buatan dan jaringan komputer. Istilah ’sibernetik’ pertama kali dipopulerkan oleh Nobert
Wiener, seorang ilmuwan dari Massachussets Institut of Technology (MIT), untuk menggambarkan kecerdasan buatan (artificial
intellidence). Istilah sibernetik digunakan untuk menggambarkan cara bagaimana umpan balik (feedback) memungkinkan
berlangsungnya proses komunikasi. Sejalan dengan pengertian tersebut, Abror mendefinisikan: Cybernetik merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang mempersoalkan prinsip pengendalian dan komunikasi yang diterapkan dalam fungsi organisme atau mesin yang
majemuk, dalam hal ini sering disinonimkan dengan umpan balik (Abror, 1993:148).

Teori ini berkembang dengan sejalan dengan perkembangan teknologi dan ilmu informasi. Menurut teori sibernetik, belajar adalah
pengolahan informasi. Asumsi lain dari teori sibernetik adalah bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala
situasi, dan yang cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar sangat ditentukan oleh sistem informasi (penyampaian materi). Sebuah
informasi mungkin akan dipelajari oleh seorang siswa dengan satu macam proses belajar, dan informasi yang sama mungkin akan
dipelajari siswa lain melalui proses belajar yang berbeda (Budiningsih, 2005: 81).

Implementasi teori sibernetik dalam kegiatan pembelajaran telah dikembangkan oleh beberapa tokoh, diantaranya adalah
pendekatan-pendekatan yang berorientasi pada pemrosesan informasi yang dikembangkan oleh Robert Gagne, Gage dan Berliner,
Biehler, Snowman, Baine, dan Tennyson. Konsepsi Landa dalam model pendekatannya yang disebut algoritmik dan heuristik juga
termasuk teori sibernetik. Masing-masing akan diuraikan secara singkat dalam pembahasan selanjutnya.

Teori belajar sibernetik berorientasi pada pemrosesan informasi, yaitu yaitu bagaimana kecakapan siswa dalam memproses informasi
dan caracara mereka dapat memperbaiki kecakapan untuk menguasai informasi. Selanjutnya digunakan acuan oleh seorang pengajar
dalam kegiatan pembelajaran, sehingga dalam penyampaian informasi kepada siswa lebih efektif.

Pemrosesan informasi mengacu kepada cara-cara orang menangani rangsangan dari lingkungan, mengorganisasi data, melihat
masalah, mengembangkan konsep dan memecahkan masalah dengan menggunakan lambang/simbol-simbol baik verbal maupun
non-verbal (Tohirin, 2005:181). Pemrosesan informasi dalam pembelajaran tidak terlepas dari komunikasi. Oleh sebab itu untuk
memperoleh gambaran yang lebih komprehensif, ada baiknya di sini dikemukakan definisi komunikasi. Menurut Geralt R.Miller,
komunikasi terjadi dari suatu sumber menyampaikan suatu pesan kepada penerima dengan niat yang disadari untuk mempengaruhi
prilaku penerima (dalam Gintings, 2008: 116). Sedangkan menurut Keith Davis: komunikasi adalah proses lewatnya informasi dan
pengertian seseorang ke orang lain. Melalui komunikasi guru sebagai sumber menyampaikan informasi, yang dalam konteks belajar
dan pembelajaran adalah materi pelajaran, kepada penerima yaitu siswa dengan menggunakan simbol-simbol baik lisan, tulisan, dan
bahasa non-verbal. Sebaliknya siswa akan menyampaikan beberapa pesan sebagai respon kepada guru (feedback) sehingga terjadi
komunikasi dua arah.

Robert Gagne berpendapat bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi untuk kemudian diolah sehingga
menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil pembelajaran. Menurut teori Gagne, hasil pembelajaran merupakan keluaran dari
pemrosesan informasi yang berupa kecakapan manusia (human capabilities) yang terdiri atas:

/
Informasi verbal, ialah hasil pembelajaran yang berupa informasi yang dinyatakan dalam bentuk verbal (kata-kata atau kalimat) baik
secara tertulis atau secara lisan. Informasi verbal bisa berupa pemberian nama atau label terhadap suatu benda atau fakta, pemberian
definisi atau pengertian, atau perumusan berbagai hal dalam bentuk verbal.

Kecakapan intelektual, ialah kecakapan individu dalam melakukan interaksi dengan lingkungan dengan menggunakan simbol-
simbol. Kecakapan intelektual ini mencangkup kecakapan dalam membedakan (diskriminasi), konsep konkrit, konsep abstrak, aturan
dan hukum-hukum. Kecakapan ini sangat diperlukan dalam menghadapi pemecahan masalah.

Strategi kognitif, ialah kecakapan individu untuk melakukan pengendalian dalam mengelola (management) keseluruhan aktivitasnya.
Dalam proses pembelajaran, strategi kognitif ini mengarah pada kemampuan mengendalikan ingatan dan cara-cara berpikir agar
terjadi aktifitas yang efektif.

Sikap, ialah hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih berbagai tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata
lain, sikap dapat diartikan sebagai keadaan di dalam diri individu yang akan memberi arah kecenderungan bertindak dalam
menghadapi sutu objek atau rangsangan.

Kecakapan motorik, ialah hasil pembelajaran yang berupa kecakapan gerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik (Surya, 2004:40-42).

Teori belajar pemrosesan informasi mendeskripsikan tindakan belajar merupakan proses internal yang mencangkup beberapa
tahapan. Tahapan-tahapan ini dapat dimudahkan dengan menggunakan metode pembelajaran yang mengikuti urutan tertentu
sebagai peristiwa pembelajaran, yang mempreskripsikan kondisi belajar internal dan eksternal utama untuk kapabilitas apapun. Teori
Gagne dan Briggs memdeskripsikan adanya kapabilitas belajar, peristiwa pembelajaran, dan pengorganisasian/urutan
pembelajaran. Dalam pembelajaran baik diterapkan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Menentukan tujuan pembelajaran.

Menentukan materi pembelajaran.

Mengkaji sistem informasi yang terkandung dalam materi pelajaran.

Menentukan pola pendekatan belajar yang sesuai dengan sistem informasi tersebut.

Menyusun materi pembelajaran dalam urutan yang sesuai dengan sistem informasi.

Menyajikan materi dan membimbing siswa belajar dengan pola yang sesuai dengan urutan materi pelajaran (Budiningsih, 2005: 92).

Proses pengolahan informasi dalam ingatan dimulai dari proses penyandian informasi (encoding), diikuti dengan penyimpanan
informasi (storage), dan diakhiri dengan mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah disimpan dalam ingatan (retrieval).
Ingatan terdiri dari struktur informasi yang terorganisasi dan proses penelusurannya bergerak secara hirarkhis, dari informasi yang
paling umum dan inklusif ke informasi yang paling umum dan rinci, sampai informasi yang diinginkan diperoleh.

Salah satu penganut aliran sibernetik adalah Landa. Ia membedakan ada dua macam proses berpikir , yaitu proses berpikir algoritmik
dan proses berpikir heuristik.

Proses berpikir algoritmik, yaitu proses berpikir yang sistematis, tahap demi tahap, linear, konvergen, lurus menuju ke satu target
tujuan tertentu. Contoh dalam kehidupan sehari-hari seperti kegiatan menjalankan mesin mobil, dalam menjalankan mesin mobil
kegiatan yang dilakukan dijalankan secara berurutan.

Proses berpikir heuristik, yaitu cara berpikir divergen, menuju ke beberapa target tujuan sekaligus. Memahami suatu konsep yang
mengandung arti ganda dan penafsiran biasanya menuntut seseorang untuk menggunakan cara berpikir heuristik. Contoh proses
berpikir heuristik misalnya penemuan cara memecahkan masalah, dalam pembelajaran biasa dikenal dengan metode problem solving
(pemecahan masalah sosial dari sebuah materi pembelajaran) (Budiningsih, 2005: 87).

Proses belajar akan berjalan dengan baik jika materi pelajaran yang hendak dipelajari atau masalah yang hendak dipecahkan (dalam
istilah teori sibernetik adalah sistem informasi yang hendak dipelajari) diketahui ciri-cirinya. Materi pelajaran tertentu akan lebih
tepat disajikan dalam urutan yang teratur, linier, sekuensial, sedangkan materi pelajaran lainnya akan lebih tepat bila disajikan dalam
bentuk ”terbuka” dan memberi kebebasan kepada siswa untuk berimajinasi dan berpikir.

Misalnya dalam memahami definisi Al-Qur’an, akan lebih efektif bila sebelum siswa memahami definisi menurut para pakarnya,
terlebih dahulu siswa diberikan kesempatan berpikir sesuai dengan imajinasinya mengenai definisi Al-Qur’an dari bentuk kongkrit
Al-Qur’an yang dibawa guru ke ruang kelas. Hal tersebut tentunya dengan arah berpikir yang terkontrol oleh guru pengajar, dengan
harapan pemahaman mereka terhadap konsep itu tidak tunggal, monoton, dogmatik atau linier.

Model pembelajaran sibernetik yang sering disinonimkan dengan umpan balik (feedback) dalam konteks pendidikan umpan balik ini
sangat penting artinya bagi keberhasilan belajar dan pembelajaran. Dengan adanya umpan balik dari siswa, guru akan mengetahui
apakah materi yang disampaikan telah dipahami dan apa kesulitan siswa dalam memahami, jika ada selanjutnya tindakan remedial
apa yang perlu dilakukan. Sebaliknya, umpan balik dari guru misalnya dalam bentuk nilai atas hasil kerja siswa akan mengingatkan
/
kepada siswa sampai sejauh mana penguasaannya terhadap materi yang sedang dipelajari. Berdasarkan umpan balik tersebut siswa
dapat memutuskan tindakan apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan hasil belajarnya jika kurang memuaskan (Gintings,
2008: 12).

Funsi guru dalam hal ini adalah: merencanakan, mempersiapkan dan melengkapi perangsang yang penting untuk masukan simbolik
(informasi verbal, kata-kata, angka-angka dan sebagainya) dan masukan referensial (objek dan peristiwa-peristiwa) yang akan
membawa kepada konsep informasi yang cocok untuk membimbing siswa memanipulasikan proses konsep dan mempersiapkan
umpan balik (feedback) dari sebuah latihan/pembelajaran.

Dalam kaitannya pembelajaran di ruang kelas, Gagne mengemukakan ada sembilan langkah pengajaran yang perlu diperhatikan
oleh guru. Langkah-langkah tersebut adalah:

Melakukan tindakan untuk menarik perhatian siswa.

Memberikan informasi kepada siswa mengenai tujuan pengajaran dan topik-topik yang akan dibahas.

Merangsang siswa untuk memulai aktivitas pembelajaran.

Menyampaikan isi pelajaran yang dibahas sesuai dengan topik yang telah ditetapkan.

Memberikan bimbingan bagi aktivitas siswa dalam pembelajaran.

Memberikan peneguhan kepada prilaku pembelajaran siswa.

Memberikan umpan balik terhadap prilaku yang ditunjukkan siswa.

Melaksanakan penilaian proses dan hasil belajar

Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengingat dan menggunakan hasil pembelajaran (Surya, 2004:43).

9. Perbedaan Dan Persamaan Teori Bruner Dan Ausubel

Perbedaan antara teori Bruner dan teori Ausubel adalah Teori Bruner menekankan adanya penemuan sedangkan Ausubel
menekankan adanya materi yang disajikan dan dapat diinternalisasikan oleh pembelajar. Sedangkan persamaannya adalah keduanya
menekankan belajar bermakna dan pemahaman, meskipun menurut Bruner hal tersebut harus ditemukan secara induktif. Namun
menurut Ausubel hal tersebut dapat diasimilasi secara deduktif; yakni belajar tidak hanya merupakan pengulangan secara verbatim.

Pendapat keduanya menekankan adanya suatu hubungan. Bruner menekankan bagaimana sesuatu itu dipelajari dan dihubungkan
dengan bahan-bahan lain serta bagaimana menemukan arti hubungan tersebut. Sedangkan menurut Ausubel, apa yang dipelajari
seseorang harus dihubungkan dengan apa yang telah ada dalam struktur kognitif. Keduanya menekankan pentingnya mempelajari
konsep dan prinsip. Keduanya merupakan teori belajar kognitif yang mempelajari proses dalam pikiran.

10. Aplikasi Prinsip Kognitivisme Dalam Pembelajaran

Ada dua kajian mengenai teori kognitif yang penting dalam perancangan pembelajaran, yaitu: (1) teori tentang struktur representasi
kognitif, dan (2) proses ingatan (memory). Struktur kognisi didefinisikan sebagai struktur organisasional yang ada dalam ingatan
seseorang ketika mengintegrasikan unsur-unsur pengetahuan yang terpisah-pisah ke dalam suatu unit konseptual. Proses ingatan
merupakan pengelolaan informasi di dalam ingatan (memory) dimulai dengan proses penyandian informasi (coding), diikuti
penyimpanan informasi (strorage), dan kemudian mengungkapkan kembali informasi-informasi yang telah di simpan dalam ingatan
(retrieval).

Dengan adanya konsep tersebut, maka sebagai kata kunci dalam teori psikologi kognitif adalah “Information Processing Model” yang
mendeskripsikan: proses penyandian informasi, proses penyimpanan informasi, dan proses pengungkapan kembali suatu informasi
atau pengetahuan dari konsepsi pikiran. Model tersebut akhir-akhir ini semakin mendominasi sebagian besar riset atau pembahasan
mengenai psikologi pendidikan atau pembelajaran. Jadi, dalam model ini peristiwa-peristiwa mental diuraikan sebagai transformasi-
transformasi informasi dimulai dari input (masukan) berupa stimulus hingga menjadi output (keluaran) berupa respon (Slavin, 1994).

Dengan demikian, fokus pada masalah belajar adalah: suatu kegiatan berproses, dan selanjutnya suatu perubahan bertahap. Dalam
tahap pengelolaan informasi yang berasal dari stimulus eksternal, Bruner menyampaikan tahap tersebut menjadi tiga fase dalam
proses belajar, yaitu: (1) fase informasi, (2) fase transformasi, dan (3) fase evaluasi (Barlow, 1985). Dan menurut Wi ing (1981) setiap
proses belajar akan selalu berlangsung dalam tiga tahapan, yaitu: (1) Acquisition (tahap perolehan atau penerimaan informasi),
(2) Storage(tahap penyimpangan informasi), dan (3) Retrieval (tahap menyampaikan kembali informasi). Dan untuk
mengaplikasikannya dalam proses belajar dan pembelajaran meliputi: (a) pembelajar akan lebih mampu mengingat dan memahami
sesuatu apabila pelajaran tersebut disusun dalam pola dan logika tertentu, (b) penyusunan materi pelajaran harus dari yang
sederhana ke yang rumit, (c) belajar dengan memahami lebih baik daripada dengan hanya menghafal tanpa pengertian penyajian,
dan (d) adanya perbedaan individual pada pembelajar harus diperhatikan.

/
Misi dari pemerolehan pengetahuan melalui strategi pembelajaran kognitif adalah kemampuan memperoleh, menganalisis dan
mengelola informasi dengan cermat serta kemampuan pemecahan masalah. Pembelajaran didesain lebih berpusat pada peserta didik,
bersifat analitik dan lebih berorientasi pada proses pembentukan pengetahuan dan penalaran. Ciri-ciri pembelajaran dalam
pandangan kognitif adalah sebagai berikut :

Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui
proses pembentukan pengetahuan.

Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat
diselesaikan dengan berbagai cara.

Mengintergasikan pembelajaran dengan situasi yang realistic dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnyauntuk
memahami suatu konsep siswa melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.

Mengintegrasi pembelajaran sehingga memunggkinkan terjadi transmisi sosial yaitu terjadinya interkasi dan kerja sama seseorag
sengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru dan siswa-siswa.

Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.

Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga siswa menjadi menarik dan siswa mau belajar.

11. Perbedaan Teori Belajar Behaviorisme Dan Kognitivisme

Proses belajar menurut behaviorisme merupakan suatu mekanisme yang periferik dan terletak jauh dari otak, sedangkan menurut
kognitivisme proses belajar terjadi secara internal di otak dan meliputi ingatan dan pikiran. Hasil belajar menurut behaviorisme
merupakan kebiasaan dan ditekankan pada adanya urutan respons yang lancar. Sebaliknya kognitivisme menganggap hasil belajar
sebagai suatu struktur kognitif tertentu.

Menurut teori Behaviorisme, belajar merupakan proses trial and error, dan adanya unsur-unsur yang sama antara masalah sekarang
yang dijumpai dengan apa yang pernah dijumpai sebelumnya. Sedangkan Kognitivisme, menekankan adanya pemahaman tentang
apa yang dihadapi sekarang dengan yang telah dijumpai sebelumnya. Para pakar psikologi kognitif melihat situasi belajar erat
kaitannya dengan memori. Memori yang biasanya diartikan ingatan, yakni merupakan fungsi mental yang menangkap informasi dari
stimulus, dan merupakanstorage system, yakni sistem penyimpanan data informasi dan pengetahuan yang terdapat dalam otak
manusia. Dan dalam diri manusia ada yang dikenal dengan struktur sistem akal yang terdiri dari tiga sub-sistem, antara lain:
(1) Sensory register, (2) Short term memory, dan (3) Long term memory (Bruno, 1987).

Dengan adanya sistem penyimpanan informasi dalam proses belajar ini, maka pembelajar diharapkan agar peserta didik dapat
memusatkan perhatian. Karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi perhatian pembelajar. Lindsay dan Norman
menyampaikan tiga aturan umum untuk memperbaiki memory (ingatan). Pertama, menghafal perlu adanya usaha; hal ini seringkali
tidak mudah untuk dipenuhi. Kedua, materi yang harus dihafal atau diingat seharusnya berhubungan dengan hal-hal: menguraikan
dengan kata-kata sendiri dan menggambarkan dalam imajinasi; ini mungkin dapat membantu. Ketiga, menghafal atau mengingat
memerlukan organisasi materi. Materi dapat dibagi dalam kelompok atau bagian-bagian kecil kemudian diletakkan kembali
bersama-sama dalam pola ingatan yang berarti (Dahar, 1988).

12. Definisi dan Hukum Belajar

Bagi Norman, belajar dan menghapal itu berhubungan erat, dengan catatan bahwa belajar bukan hanya menghapal tetapi melibatkan
kemampuan untuk menampilkan suatu tugas dengan keterampilan. Dalam bukunya Learning and Memory, Norman (dalam
Hergenhahn dan Olson, 1993) mengatakan, “Saya menggunakan istilah belajar untuk menunjuk pada kegiatan untuk mempelajari
secara sengaja hakikat khusus tentang sesuatu, sehingga dapat digali kembali ketika dikehendaki dan digunakan dengan
keterampilan. Belajar melibatkan menghapal yang bertujuan dan penampilan yang terampil.”

Di samping itu Norman pun melihat bahwa belajar bukan hanya merupakan sebuah proses otomatis. Dengan demikian ia ingin
mengatakan bahwa konsep dan hakikat belajar yang dikatakan sebagai terjadi otomatis ketika respons diikuti hasil yang diinginkan,
tidak dapat dibenarkan. Konsep demikian secara jelas mengabaikan kepentingan hubungan sebab akibat (causal relationships) antara
aksi (respon) dan hasilnya. Baginya bagian terpenting dari hasil belajar adalah informasinya dari hasil itu, sehingga bertindak sebagai
tanda bagi orang yang bersangkutan tentang hasil dan tindakannya. Norman menyimpulkan pikirannya tentang belajar dalam tiga
hukum belajar, yang kesemuanya menekankan hubungan sebab-akibat antara aksi dan hasil.

Hukum Hubungan Sebab-Akibat. Agar mahluk hidup mempelajari hubungan antara tindakan khusus dan hasilnya, harus terdapat
hubungan yang nyata di antara keduanya.

Hukum Belajar Sebab-Akibat. Hukum ini mempunyai dua bagian. Pertama, agar memperoleh yang diinginkan mahluk hidup
mencoba mengulang tindakan-tindakan khusus yang mempunyai hubungan kausal terhadap hasil yang diinginkan. Kedua, untuk
tidak mendapatkan hasil yang tidak diharapkan makhluk hidup mencoba menghindari aksi-aksi yang mempunyai hubungan kausal
nyata terhadap hasil yang tidak diinginkan.

Hukum Umpan Balik Informasi. Dalam hukum ini, hasil dari suatu kejadian bertindak sebagai informasi tentang kejadian tersebut.
/
Melalui tulisan-tulisannya, Norman menekankan ketidakterhubungan antara belajar, ingatan, dan penampilan. Studi tentang
memory mencoba menentukan bagaimana informasi disimpan dan diingat kembali. Studi tentang penampilan mencoba menentukan
bagaimana informasi dimanfaatkan. Kemudian studi tentang belajar mencoba menentukan bagaimana seseorang menguasai
informasi baru.

Dalam pandangan Norman, belajar berhubungan dekat dengan pengertian. Norman antara lain mengatakan: Anda telah belajar main
catur ketika Anda mengerti pergerakan buah catur, serta tujuan dan strategi dasar permainan. Ketika Anda belajar mengendarai atau
mendayung, Anda belajar sesuatu yang bersifat mekanik. serta suatu aturan di jalanan, dan yang lebih penting adalah suatu
hubungan antara aksi dan respons mobil itu sendiri. Dari pandangan orang luar, belajar berhubungan dengan penampilan. Anda
mungkin berpikir Anda mengerti catur, tetapi jika tidak dapat rnemainkannya dengan baik, maka saya bisa katakan anda tidak
bersungguh-sungguh mempelajarinya.

Pada dasarnya, teori pengolahan informasi melihat bahwa perilaku dan proses belajar mengikuti pola umum yang telah diakui
kebenarannya dalam proses yang dapat digambarkan sebagai masuknya informasi dari luar ke dalam sistem memory dan kemudian
dikeluarkan dalam bentuk output. Pertanyaannya, bagaimana kita bisa melacak apa yang terjadi terhadap informasi dari waktu
masuk ke sistem memori melalui bermacam-macarn indra penerima hingga keluar dalam bentuk output tadi?

a. Memori Indra

Ketika rangsangan lingkungan mengenai indra penerima, maka rangsangan tersebut diubah ke dalam impulse persyarafan dan
inforrmasi yang terkandung dalam rangsangan tadi dapat bertahan sekitar satu detik setelah rangsangan tadi diakhiri. Sistem
penerima menahan informasi lingkungan untuk periode yang singkat disebut memori indra atau memori penyimpan (sensory store).
Di sensory store inilah Norman memulai analisisnya mengenai belajar dan memori.

Sensory store adalah tahap pertama pengolahan informasi yang merupakan tahap yang paling menentukan tahap berikutnya.
Meskipun setiap sistem penginderaan mempunyai kemampuan untuk menyimpan informasi dalam waktu singkat, tetapi hanya
sistem visual dan auditori saja yang diberi perhatian lebih besar, sebab keduanya merupakan indra pokok yang berhubungan dengan
pengetahuan kita tentang lingkungan. Dalam hubungannya dengan kedua indra tersebut dapat dibedakan antara iconic store dan
echoic store. Iconic store menunjuk pada kerja sensory memory yang berhubungan dengan penglihatan, sedangkan echoic store
menunjuk pada kerja sensory rnemory yang berhubungan dengan pendengaran.

Berikut adalah contoh dan sensory memory. Ayunkan tangan Anda di depan wajah. Jalur redup yang tinggal setelah tangan Anda
berlalu serta bekas kejadian yang berlalu, merupakan bukti nyata dari sistem sensory memory. Kepalkanlah tangan Anda, kemudian
gerakkanlah dua jari membuka, dan segera tutup lagi menjadi kepalan. Jika Anda melihatnya cukup dekat, maka Anda akan melihat
suatu jalur dan jari-jari Anda yang cukup lama untuk dihitung waktunya. Nah itulah tandanya bahwa sensory store dan sistem
memori Anda masih bekerja.

b. Short Term Memory

Sensory memory mempunyai kapasitas yang besar. Contohnya, jika Anda sedang melihat-lihat alamat pada buku telepon, maka akan
terasa bahwa semua nama dan alamat di halaman itu seolah ada dalam sensory memory kita untuk sekitar satu detik. Kemudian,
hanya alamat yang Anda inginkan yang kemudian akan diingat dan akan disimpan dalam short-term memory yang akan segera
hilang dalam 15 detik; waktu yang cukup lama untuk mendapat selembar kertas dan pensil untuk mencatatnya. Kecuali jika
informasi dalam short-term memory itu dipilih untuk proses benikutnya maka informasi itu akan hilang atau dilupakan dalam waktu
yang singkat.

c. Long-term Memory

Dalam hal melihat alamat tadi, marilah kita menganggap bahwa Anda ingin mengingat alamat yang baru saja dilihat dalam waktu
lama. Dalam hal tersebut, Anda akan menghapalnya berulang-ulang yang waktunya mencukupi untuk mencatatnya dalam memory
jangka panjang. Demikian juga dengan kejadian-kejadian yang terjadi dalam hidup kita ditransfer ke dalam long-term memory dan
bisa digunakan untuk menginterpretasi, membuat kategori, dan merespons pada pengalaman kita sehari-hari. Dalam memori jangka
panjang inilah skemata yang telah dipelajari disimpan. Seperti yang dapat dilihat, Norman percaya bahwa jenis belajar yang paling
signifikan terjadi dengan analogi. Analogi (perbandingan) akan menjadi mustahil jika skemata yang sudah dipelajari sebelumnya
disimpan dalam memori jangka panjang. Tidak akan ada kata-kata bisa kita ucapkan, tidak ada nama-nama orang yang kita cintai
dan tidak ada wajah, serta tidak juga ada tempat-tempat yang bisa diingat jika tidak ada memori jangka panjang ini. Sekali memori
jangka panjang terbentuk, maka informasi dan pengalaman baru akan diproses dan ditindaki sesuai dengan memori yang kita miliki.
Sekali lagi, skemata atau program yang sudah kita pelajari dan disimpan dalam memori inilah yang menentukan informasi yang
sesuai dengan situasi luar akan ditarik kembali dan digunakan.

Roobert Siegler (1998) mendeskripsikan tiga karateristik utama dari pendekatan pemrosesan informasi, yaitu: proses pikiran,
mekanisme pengubahan dan modifikasi diri (Santrock, 310:2010). Pemikiran menurut pendapat Siegler (2002), berpikir adalah
pemerosesan informasi. Ketika anak merasakan, malakukan, mempresentasikan, dan menyimpan informasi dari dunia sekelilingnya
mereka sedang melakukan proses berpikir. Pikiran adalah sesuatu yang sangat fleksibel, yang menyebabkan individu dapat
beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan perubahan dalam lingkungan, tugas dan tujuan. (Santrock, 311 : 2010).

/
Mekanisme pengubahan menurut Siegler dalam pemerosesan informasi focus utamnya adalah pada peran mekanisme pengubah
dalam perkembangan. Ada empat mekanisme yang bekerja sama menciptakan perubahan dalam keterampilan kognitif anak, yaitu:
Encoding (penyandian), Otomatisasi, konstruksi strategis dan generalisasi.

Encoding adalah proses memasukkan informasi kedalam memori. Aspek utama dari pemecahan problem adalah menyandikan
informasi dan relevan dan mengabaikan informasi yang tidak relevan. Otomatisitas adalah kemampuan untuk memproses informasi
dengan sedikit atau tanpa usaha. Seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman, pemerosesan informasi menjadi makin
otomatis, dan anak bisa mendeteksi hubungan-hubungan baru antara ide dan kejadian (Kail, 2002 dalam Santrock, 311 : 2010).
Konstruksi Strategi yaitu penemuan prosedur baru untuk memproses informasi. Anak perlu menyandikan informasi kunci untuk
suatu problem dan mengoordinasikan informasi tersebut dengan pengetahun sebelumnya yang relevan untuk memecahkan masalah.
Agar dapat manfaat penuh dari strategi baru diperlukan generalisasi. Anak perlu melakukan generalisasi, atau mengaplikasikan
strategi pada problem lain. Modifikasi diri. Anak memainkan peran aktif dalam perkembangan mereka. Mereka menggunakan
pengetahuan dan strategi yang telah mereka pelajari untuk menyesuaikan respons pada situasi pembelajaran yang baru. Anak
membangun respon baru dan lebih canggih berdasarkan pengetahuan dan strategi sebelumnya.

13. Metakognisi

Metakognisi adalah suatu kemampuan individu berdiri di luar kepalanya dan berusaha merenungkan cara dia berpikir atau
merenungkan proses kognitif yang dilakukan. (M.Asrori, 20:2008). Pengetahuan metakognisi melibatkan usaha monitoring dan
refleksi pada pikiran seseorang pada saat sekarang. Aktivitas metakognisi terjadi pada saat murid secara sadar menyesuaikan dan
mengelola strategi pemikiran mereka pada saat memecahkan masalah dan memikirkan sesuatu tujuan. (Santrock, 340:2010).

Orang yang pertama memperkenalkan istilah metakognisi adalah John Flavell. Ia membagi metakognisi keempat variable yang
penting, yaitu :

a. Variabel Individu

Variabel individu mengandung makna bahwa manusia itu adalah organisme kognitif atau pemikir. Segala tindak-tanduk kita adalah
akibat dari cara kita berpikir. Variabel individu dibagi menjadi dua, yaitu :

Variabel Intra Individu. Variabel intra individu adalah apa saja yang terjadi di dalam diri seseorang. Misalnya: seseorang yang
mengetahui dirinya lebih pandai dalam mata pelajaran matematika dibandingkan dengan mata pelajaran sejarah.

Variabel antra individu Variabel antra individu adalah kemampuan individu membandingkan dan membedakan kemampuan
kognitif dirinya dengan orang lain. Misalnya: seorang siswa mengetahui bahwa dirinya pandai pada mata pelajaran IPA
dibandingkan dengan teman yang duduk dengan dia di kelasnya.

b. Variabel Universal

Variabel universal adalah pengetahun yang diperoleh dari unsur-unsur yang ada didalam sistem budaya sendiri. Misalnya :
mengetahui bahwa sebagai manusia kita lupa. Sebenarnya kita paham terhadap apa yang kita lupakan, tetapi lama kelamaan kita
sadar bahwa kita tidak paham.

c. Variabel Tugas

Variabel tugas adalah kesanggupan individu untuk mengetahui kesan-kesan, pentingnya dan hambatan sesuatu tugas kognitif.
Contoh : seandainya informasi yang disampaikan oleh guru adalah sesuatu yang sulit dan siswa tahu bahwa guru tersebut tidak akan
mengulangi, maka para siswa tentu akan memberikan perhatian yang lebih serius dan mendengarkan serta memproses informasi itu
dengan lebih teliti.

d. Variabel Strategi

Variabel strategi adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu atau mengatasi kesulitan yang timbul.

14. Sibernetik

Menurut teori sibernetik, belajar adalah pengolahan informasi. (Hamzah Uno, 17: 2006). Dalam teori sibernetik yang lebih penting
adalah sistem informasi yang diproses, karena informasi ini yang akan menentukan proses. Kelebihan Teori Sibernetik

Cara berpikir yang berorientasi pada proses lebih menonjol.

Penyajian pengetahuan memenuhi aspek ekonomis.

Kapabilitas belajar dapat disajikan lebih lengkap.

Adanya keterarahan seluruh kegiatan kepada tujuan yang ingin dicapai.

Adanya transfer belajar pada lingkungan kehidupan yang sesungguhnya.


/
Kontrol belajar memungkinkan belajar sesuai dengan irama masing-masing individu

Balikan informativ memberikan rambu-rambu yang jelas tentang tingkat unjuk kerja yang telah dicapai dibandingkan dengan unjuk
kerja yang diharapkan.

Kelemahan teori sibernetik adalah teori ini dikritik karena lebih menekankan pada sistem informasi yang dipelajari, dan kurang
memperhatikan bagaimana proses belajar.

15. Taxonomy SOLO

Teori belajar Piaget memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap perkembangan teori pembelajaran kognitif. Hal ini terbukti
dengan banyaknya peneliti yang tertarik melakukan analisis serta memperluas teori tersebut. salah satu kritik yang cukup tajam
terhadap teori Piaget adalah berkenaan dengan asumsi bahwa pengertian akan suatu struktur yang sama akan diperoleh pada usia
yang sama dalam berbagai domain intelektual. Implikasi dari hal ini adalah ketika seorang anak sudah dapat mengawetkan besaran
suatu unsur dengan mengenali bahwa besaran dari benda tersebut sama terlepas dari bentuknya anak secara rasional dapat diduga
akan mengawetkan konsep berat, karena struktur antara konsep besaran dan berat sama. Ternyata bersadar pada studi eksperimental
yang dilakukan oleh para peneliti hal ini tidak sepenuhnya benar. Hal ini dianggap sebagai sebuah penyimpangan. Penyimpangan
yang dimaksud adalah terjadinya perbedaan cara dalam memperoleh sebuah struktur yang sama oleh seorang individu. Dari
beberapa hasil pengembangan penelitian dalam teori ini ternyata penyimpangan ini lazim terjadi sebagaimana diungkapkan oleh
Biggs dan Collis (1982). Fakta ini memicu sebuah pengembangan teori dari teori Piaget yang dikenal dengan neo-Piagetian theories.

Biggs dan Collis adalah peneliti yang turut melakukan dan analisis teori belajar Piaget. Salah satu isu utama yang dikaji oleh kedua
peneliti ini berkaitan dengan struktur kognitif. Teori mereka dikenal dengan Structure of Observed Learning Outcomes (SOLO). Biggs
dan Collis (1982: 22) membedakan antara “generalized cognitive structure” atau struktur kognitif umum anak dengan “actual respon”
atau respon langsung anak ketika diberikan perintah-perintah. Mereka menerima kebeadaan konsep struktur kognitif umum namun
mereka menyakini bahwa hal tersebut tidak dapat diukur langsung sehingga perlu mengacu pada sebuah “hypothesized cognitive
structure” (HCS) atau struktur kognitif hipotesis. Menurut mereka HCS ini relative lebih stabil dari waktu ke waktu serta bebas dari
pengaruh pembelajaran disaat anak diukur menggunakan taxonomi SOLO dalam menyelesaikan suatu tugas tertentu. Penekan pada
suatu tugas tertentu sangat penting seperti yang diasumsikan dalam taksonomi SOLO bahwa penampilan seseorang sangatlah
beragam dalam menyelesaikan satu tugas dengan tugas lainnya, hal ini berkaitan erat dengan logika yang mendasarinya, selanjutnya
asumsi ini juga meliputi penyimpangan yang dalam model ini dikatakan:

Siswa dapat saja berada pada awal level formal dalam matematika namun berada pada level awal konkrit dalam sejarah, atau bahkan
dapat terjadi, suatu hari siswa berada pada level formal di matematika namun dilain hari dia masih berada pada level yang konkrit
pada topik yyang berbeda. Hasil observasi seperti ini tidak dapat mengindikasikan terdapatnya “pertukaran” dalam perkembangan
kognitif yang berlangsung, tetapi sedikit pertukaran terjadi pada konstruksi yang lebih proximal , pembelajaran, penampilan atau
motivasi. Biggs & Collis (1991:60)

Dari uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa teori tersebut lebih menekankan pada analisis terhadap kualitas respon anak. Untuk
melihat respon anak diperlukan butir-butir rangsangan. Dan butir-butir rangsangan dalam konteks ini tidak difokuskan untuk
melihat kebenaran dari jawaban saja melainkan lebih pada melihat struktur alamiah dari respon siswa dan perubahannya dari waktu
ke waktu.

Untuk menjelaskan konsep “pertukaran” yang terjadi dalam pertumbuhan kognitif yang tidak biasa diantara anak-anak sekolah,
Biggs & Collis (1991: 60)menyediakan suatu level tersendiri yang diberi nama “post formal mode”. Bagaimanapun juga terdapat satu
perbedaan penting dari teori yang dikemukakan Piaget yaitu ketika mode atau level baru mulai muncul, ini tidak akan menggantikan
level yang lama begitu saja melainkan dapat berkembang bersamaan. Oleh karena itu mode-model tersebut tumbuh sejak lahir
hingga dewasa. Level terakhir adalah batas tertinggi dari proses abstraksi yang dapat ditunjukkan anak, bukan seluruh penampilan
yang harus menyesuaikan dengan level-nya. Secara khusus, ketika semakin banyak mode yang memungkinkan maka multi-modal
fungsioning menjadi normanya.

Taksonomi SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan perkembangan kemampuan berpikir kompleks pada siswa
dan dapat diterapkan di berbagai bidang. Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar taksonomi SOLO.

Tahap Pre-Structural. Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit sekali informasi yang bahkan tidak saling berhubungan,
sehingga tidak membentuk sebuah kesatuan konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun.

Tahap Uni-Structural. Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan sederhana antara satu konsep dengan konsep lainnya
tetapi inti konsep tersebut secara luas belum dipahami. Beberapa kata kerja yang dapat mengindikasi aktivitas pada tahap ini adalah;
mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan prosedur sederhana.

Tahap Multi-Structural. Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen namun hal ini masih bersifat terpisah satu sama
lain sehingga belum membentuk pemahaman secara komprehensif. Beberapa koneksi sederhana sudah terbentuk namun demikian
kemampuan meta-kognisi belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan siswa pada
tahap ini antara lain: membilang atau mencacah, mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat daftar, menggabungkan
dan melakukan algoritma.
/
Tahap relational. Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta dengan teori serta tindakan dan tujuan. Pada tahap ini
siswa dapat menunjukan pemahaman beberapa komponen dari satu kesatuan konsep, memahami peran bagian-bagian bagi
keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang
mengidikasikan kemampuan pada tahap ini antara lain: membandingkan, membedakan, menjelaskan hubungan sebab akibat,
menggabungkan, menganalisis, mengaplikasikan, menghubungkan.

Tahap Extended Abstract. Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya sebatas pada konsep-konsep yang sudah diberikan
saja melainkan dengan konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan sebuah perumpamaan-
perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu
teori, membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta membangun suatu konsep.

taka Acuan

or, Abd.Rachman. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

mad, Abu dan Widodo Supriyono. 1991. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.

Rasyidin & Wahyudin Nur Nasution. 2011. Teori Belajar dan pembelajaran. Medan: Perdana Publishing.

erton J.S. 2005. Learning and Teaching: SOLO Taxonomy (on line) UK Available in:
h p://www.learningandteaching.info/learning/solo.htm (h p://www.learningandteaching.info/learning/solo.htm) Accessed: diakses
tanggal 17 January 2009.

aruddin, dan Esa Nur Wahyuni. 2007. Teori Balajar dan Pembelajaran. Jogjakarta: Ar-RUZZ MEDIA.

ard, Brigid and John Clanchy. 1984. Study Abroady: A Manual for Asian Studens. Selangor Malaysia: Darul Ihsan.

Gredler, E. Margaret. 1991. Belajar dan Membelajarkan. Jakarta: CV. Rajawali

gs, J. B. and Collis, K. F. 1991. Multimodal learning and the quality of intelligent behaviour. In H.Rowe (ed.).

gs, J.B and Collis, K.F. 1982. Evaluating the Quality of Learning: the SOLO Taxonomy. New York: Academic Press.

no, Frank. 1987. Dictionary of Key Word Psychology. London: Routledge & Kegan Paul.

diningsih, C Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: renika cipta.

plin, J. P. 1972. Dictionaryof Psycology. New York: Dell Publishing Co. Inc.

in, William. 2007. Teori Perkembangan: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarata: Pustaka Pelajar.

wley, L Mary. 1987. The Van Hiele Model of the development of Geometric Thought. Dalam Learning and teaching Geometry, K-12. National of
Teacher of mathematics (NCTM). United State of America.

har, Ratna Willis. 1988. Teori-Teori Belajar. Jakarta: Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK.

geng, I Nyoman Sudana. 1988. Ilmu Pengajaran: Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi PPLPTK.

geng, I Nyoman Sudana. 1989. Ilmu Pengajaran Taksonomi Variable. Jakarta: Depdikbud

geng, I Nyoman Sudana. 1997. Strategi Pembelajaran Mengorganisasi Isi dengan Model Elaborasi. Malang: Penerbit IKIP Malang
bekerjasama dengan Biro Penerbitan Ikatan Profesi Teknologi Pendidikan Indonesia-Jakarta.

marah, Syaiful Bahri. 2011. Psikologi Belajar. Jakarta : Rineka Cipta.

ge, N.L., and Berliner, D. 1979. Educational Psychology. Second Edition, Chicago: Rand Mc. Nally

gne, E.D. 1985. The Cognitive Psychology of School Learning. Boston, Toronto: Li le, Brown and Company

dler, Margaret and E. Bell. 1986. Learning And Instruction Theory Into Practice. Mc.Milan Publishing Company. Diterjemahkan oleh
Munandir. 1991. Jakarta: Rajawali.

tings, Abdorrakhman. 2008. Esensi Praktis: Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora.116

narsa, Singgih D. 2004. Dari Anak Sampai Usia Lanjut. Jakarta: Bpk Gunung Mulia.

row, Anita J. 1972. A Taxonomy of the Psychomotor Domain. Longman Inc. New York.

genhahn, B.R. and Olson, Mathew H. 1993. An Introduction to Theories of Learning (4th Ed). Prentice Hall. New Jersey.
/
so, et.al. 1993. Dasar-Dasar Pendidikan MIPA. Jakarta: Depdikbud.

app, B. 1977. Skill in Sport, the A ainment of Proficiency. Routledge & Kegan Paul. London.

ht, G. and Cox, R. 2001. Learning and Teaching in Higher Education. London: Paul Chapman Publishing

gill, Ricahrd A. 1993. Motor Learning: Concepts and Applications (4th Ed.). WMC. Brown. Dubuque. IA.

hendra, A. dan Ma’mun, A. 1998. Teori Belajar dan Pembelajaran Motorik. Bandung: IKIP Bandung Press,

ina, Robert M. And Bouchard, Claude. 1991. Growth, Maturation, and Physical Activity. Human Kinetics, Champaign, IL.

l, L. C. (Ed.). 1994. Vygotsky and Education: Instructional Implications and Application of Sociohistorycal Psychology. Cambridge: Univerity
Press

chith, M. Saekhan. 2008. Pembelajaran Kontekstual. Semarang: RaSAIL media grup.

nandar, Utami. 2001. Psikologi Perkembangan Pribadi. Jakarta: Ui Press.

ution, Fauziah. 2011. Psikologi Umum. Buku Panduan untuk Fakultas Tarbiyah IAIN SU.

ser, Uris. 1976. Cognition and Reality: Principles and Implication of Cognitive Psycology. San Fransisco: Freman and Company.

miszowki, A. J. 1981. Designing Instructional Systems. London: The Ancher Ltd.

midt, Richard A. 1991. Motor Learning and Performance: From Principle into Practice. Human Kinetics. Champaign, IL.

midt, Richard A. and Wristberg, Craig A. 2000. Motor Learning and Performance: A Problem-Based Learning Approach. Human Kinetics,
Champaign, IL.

ger, Robert N. 1980. Motor Learning and Human Performance: An Application to Motor Skills and Movement Behaviors. Macmillan Pub. New
York.

vin, Robert E. 1991. Educational Psychology. Third Edition. Boston: Allyn and Bacon

vin, Robert E. 1994. Educational Psycology: Theory and Practice. America: The United States of America.

vin, Robert E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. Boston: Allyn and Bacon

erman, Erman dan Winataputra, Udin S. 1992. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Depdikbud. Jakarta.

ana, Nana dan Ahmad Rivai. 1989. Teknologi Pengajaran. Bandung: Sinar Baru.

arno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: KANISIUS.

ya, M. 2004. Psikologi Pembelajaran Dan Pengajaran. Bandung: Pustaka Bani Quraisy.

anto, Slamet. 2005. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: Hikayat.

h, Muhibbin. 1996. Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

h, Muhibbin. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

irin. 2005. Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

nto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Pustaka Pelajar.

nto, S.Pd, M.Pd. 2008. Mendesain Pembelajaran Kontekstual di Kelas. Jakarta, Cerdas Pustaka.

ataputra, Udin S. 2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Penerbitan Universitas Terbuka

nkel, W.S. 1996. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Grasindo.

ig, Arno F. 1981. Psycology of Learning. New York: Mc.Grow Hill Book Company.

(h p://www.mylivesignature.com)
/
Blog di WordPress.com.

Anda mungkin juga menyukai