Anda di halaman 1dari 3

People Power: Kehendak Politik dan Legitimasi

Kedaulatan Rakyat
( oleh Abd. Rahmatullah Rorano, M.H )
Direktur Eksekutif Bakornas LKBHMI PB HMI

People Power belakangan muncul dan populer sebagai payung narasi untuk mengawal
perbaikan tatanan demokrasi . People Power hadir sebagai statement atas penolakan terhadap
kecurangan dalam proses perayaan demokrasi pemilu serentak 2019. Dalam konteks pemilu
2019, istilah people power menjadi stimulus energi yang begitu besar bagi banyak elemen
dalam masyarakat. Kesadaran politik masyarakat dan antusiasme yang begitu besar untuk
melibatkan diri dalam realitas politik saat ini tumbuh dari implikasi produk kebijakan yang
berdampak langsung di dalam kehidupan masyarakat.

Dalam kedudukan konstitusi, jelaslah bahwa rakyat (people) mempunyai legal standing dan
positioning sebagai pemegang kedaulatan (power) dalam sebuah konsepsi negara hukum
dengan sistem demokrasi. Pasal 28E ayat 3 menyebutkan bahwa “setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pasal 2 UU No 9 Tahun
1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum juga diakui dan
dijamin penyampaian pendapat secara bebas, sebagai perwujudan hak dan tanggungjawab
berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebebasan
berekspresi termasuk kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak paling mendasar
dalam kehidupan bernegara. apabila hal paling mendasar tersebut disumbat dan terkesan
dideligitimasi maka akan mempertegas ketidakberpihakan negara terhadap hak kedaulatan
rakyat.

Niat dan pikiran-pikiran baik tidak boleh dihalangi. Solidaritas yang terjalin dan konsolidasi
yang kian masif untuk mengawal proses demokrasi tidak boleh diredam dengan tuduhan
mendeligitimasi lembaga negara dalam hal ini KPU sebagai pihak terkait. People power
mesti disambut dengan kegembiraan dalam pembangunan nilai demokrasi. Pengawalan
Pemilu tanpa digaji oleh negara adalah sebuah dukungan nyata terhadap kelangsungan
demokrasi yang jujur, adil dan bermartabat. Mengatakan bahwa aksi people power sebagai
upaya mendeligitimasi lembaga negara apalagi sampai menuduh sebagai tindakan
inkonstitusional (makar) justru pernyataan tersebut adalah upaya mendeligitimasi kedaulatan
rakyat dalam kerangka negara hukum yang demokratis.

Sejatinya, gerakan people power merupakan sebuah bentuk kesadaran dari masyarakat.
Mereka berusaha melawan dan melakukan protes terhadap bentuk kedzaliman dan
kesewenangan para penguasa. Caranya pun beragam. Mulai dari menyanggah fakta yang
selama ini beredar di masyarakat, melawan arus ilmu pengetahuan dan mengungkap
bobroknya sistem yang ada.

People power; Political will Masyarakat; Bukan “Makar”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makar diartikan sebagai (i) akal busuk, tipu
muslihat; (ii) perbuatan dengan maksud menyerang; atau (iii) perbuatan (usaha) menjatuhkan
pemerintahan yang sah. Sedangkan makar dalam beberapa buku KUH pidana berasal dari
istilah aanslag (bahasa belanda) yang didefinisikan sebagai serangan (Pasal 104 KUHP).
Menurut R. Soesilo (1991:97) yang masuk dalam pengertian aanslag hanyalah perbuatan-
perbuatan pelaksanaan, lebih lanjut aanslag itu terjadi biasanya disertai dengan perbuatan
kekarasan. Artinya apabila tidak ada serangan atau percobaan serangan maka suatu perbuatan
itu tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana makar. dengan demikian, perbuatan
tindak pidana makar tidak seseharusnya ditafsirkan secara luas. Aparat hukum negara
semestinya tidak perlu bertindak represif dan melihat kritik sebagai sebuah ancaman terhadap
demokrasi, apalagi menciptakan phobia di tengah masayarakat.

Kehendak politik masyarakat (People power) untuk menunjukkan eksistensi menyampaikan


pendapat dalam mengawal demokrasi yang damai dengan melibatkan berbagai lapisan
elemen tidak serta merta dapat dikategorikan sebagai bentuk upaya mendeligitimasi dan
upaya gerakan inkonstitusional yang mengarah pada tindakan makar terhadap negara. Justru
pengekangan terhadap hak dan kebebasan menyampaikan pendapat dapat dikategorikan
sebagai bentuk Kejatahan sebagaimana yang termuat di dalam pasal 18 ayat (1) dan (2) UU
No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

People power bukan bergerak atas landasan agama tertentu melainkan bergerak atas nama
keadilan, people power bukan bergerak atas nama rasa atau etnis tertentu melainkan bergerak
atas nama kebenaran. Indonesia mempunyai sejarah people power pada tahun 1998 di mana
masyarakat dari berbagai latar belakang suku, agama, ras, pendidikan dan tingkatan ekonomi
berkumpul dan bergerak atas nama penolakan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-
wenangan dari pemangku kekuasaan yang dianggap korup.

Tidak fair rasanya jika masyarakat yang berangkat dar kegelisahan dan keresahan yang sama
dalam menilai sebuah realitas dengan gamblang dideligitimasi spirit dan keinginannya
mengawal sebuah tatanan sistem untuk menjamin proses demokrasi tidak dicederai dan
dilecehkan oleh segelintir kelompok yang berkepentingan menuju kekuasaan.

Desakan Political Will Presiden

Konstelasi politik saat ini secara nyata menciptakan polarisasi hitam-putih elektoral dalam
kehidupan masyarakat. Hal tersebut menyentuh mulai dari tataran elite sampai dengan tataran
akar rumput (grass root). Tatanan yang telah terawat sekian lama oleh kehadiran regulasi
sistem dan institusionalisasi yang berbalut negara hukum didasari ole trust masyarakat
terhadap pemerintah (executive), legislatif (legislator) dan yudikatif (judicial). Rusaknya
sebuah tatanan sosial dapat bermula dari pengaruh sebuah kebijakan dan pelaksanaan suatu
kebijakan. Disorientasi penegakan hukum akan melahirkan distrust atau hilangnya
kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan pemerintahan dan penegak hukum,
apabila distrust telah terjadi maka konsekuensi logis yang mesti ditanggung
adalah disintegration atau kehancuran sebuah tatanan sosial dalam bernegara dikarenakan
perpecahan yang kian masif.

Kematian ratusan petugas KPPS tidak dapat dipandang sebagai sebuah hal yang biasa-biasa
saja. Kecurangan demi kecurangan ditemukan secara nyata dan sebagian besar diaminkan
oleh lembaga Bawaslu. Misalnya Bawaslu menetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU)
melanggar proses administrasi pemilu, tata cara pendaftaran dan pelaporan lembaga yang
melakukan quick count. KPU juga dinyatakan melanggar tata cara dan prosedur penginputan
data ke sistem informasi penghitungan suara (situng).
Dengan adanya kekalutan demokrasi yang disinyalir dilecehkan secara terstruktur, sistematis
dan masif (TSM) maka Jokowi semestinya hadir sebagai presiden dan menurunkan egonya
untuk menggunakan identitas calon presiden yang notabene kembali ingin merebut jabatan
sebagai presiden. Political will dari seorang pemimpin seharusnya hadir dalam situasi di
mana kepentingan umum secara nyata telah meminta ruang prioritas untuk diberi atensi.
Kesadaran politik masyarakat mendorong pengawasan secara pribadi maupun kolektif dalam
proses pemilu serentak 2019.

Jokowi sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan dan kenegaraan sepatutnya


memberikan sikap dan pernyataan mengenai kekalutan politik yang terjadi. Saling
mendeligitimasi antara masyarakat dan lembaga negara secara nyata telah terjadi dan akan
berdampak pada hubungan struktural kenegaraan (tools) maupun probabilitas konflik
horizontal di kalangan masyarakat. Ketika kekalutan didiamkan dan tidak ada penengah yang
muncul secara bijaksana maka masyrakat (people society) akan mencari sendiri jalan
kebenarannya yang dipandu oleh hati nurani. Rakyat akan berkumpul dengan sendirinya
berdasar pada perasaan dan kesamaan naluri serta nurani, pada saat berkumpul itulah maka
kekuatan (power) atas nama kedaulatan rakyat akan melegitimasi dirinya melalui sebuah
gerakan People Power.

Anda mungkin juga menyukai