Anda di halaman 1dari 200

LEMBAR PERSETUJUAN

GEOLOGI DAN DINAMIKA SEDIMENTASI FORMASI KEREK PADA


LINTASAN BANYUURIP DAERAH KIYONTEN DAN SEKITARNYA,
KECAMATAN KASREMAN, KABUPATEN NGAWI,
PROVINSI JAWA TIMUR

PETA RUPABUMI DIGITAL INDONESIA


Lembar Ngawi 1508 – 422
Lembar Kalimojo 1508 – 424
Lembar Karangjati 1508 – 511
Lembar Tambakrejo 1508 - 513

Koordinat:
111°28'2.00" BT - 111°31'18.00" BT
7°20'25.00" LS - 7°25'18.00" LS

Oleh:

Onggi Yudha Pratama


No Mahasiswa : 410015004
Program Studi : Teknik Geologi S1

Telah Diperiksa dan Disetujui Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hill. G. Hartono, S.T., M.T. Herning Dyah Kusuma Wijayanti,


S.T,. M.Eng.

NIK : 1973 0066 NIK: 1973 0285

i
LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tugas Akhir II


Program Studi Teknik Geologi S1, Departemen Teknik, Institut Teknologi Nasional Yogyakarta
dan diterima guna Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Derajat Sarjana Teknik Geologi

Hari/Tanggal : Senin/12 Agustus 2019


Pukul : 10.00 WIB
Waktu/Tempat : Ruang Sidang Lantai V, Gedung Rektorat ITNY

Dosen Penguji:

Dr. Hill. G. Hartono, S.T., M.T. 1. ________________


Ketua Tim Penguji

Dosen Penguji I/DP II


Herning Dyah Kusuma Wijayanti, S.T,. M.Eng. 2. ________________
Anggota Tim Penguji
Dosen Penguji II
Dr. Ir. Ev. Budiadi, MS 3. ________________
Anggota Tim Penguji

Mengetahui, Menyetujui,
Kepala Departemen Teknik Ketua Program Studi Teknik Geologi S1

Lilis Zulaicha, S.T., M.T. Ignatius Adi Prabowo, S.T., M.Si.


NIK : 1973 0089 NIK: 1973 0251

ii
PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan

rahmat, hidayah dan karunia-Nya lah sehingga Tugas Akhir Tipe 1 yang berjudul

“Geologi Dan Dan Dinamika Sedimentasi Formasi Kerek Pada Lintasan

Banyuurip, Daerah Kiyonten dan Sekitarnya, Kecamatan Kasreman,

Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur” ini dapat terselesaikan.

Dengan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Ir. H. Ircham, M.T., selaku Rektor Institut Teknologi Nasional

Yogyakarta.

2. Ibu Lilis Zulaicha, S.T., M.T., selaku Kepala Departemen Teknik Institut

Teknologi Nasional Yogyakarta.

3. Bapak Ignatius Adi Prabowo, S.T., M.Si., selaku Ketua Program Studi

Teknik Geologi Institut Teknologi Nasional Yogyakarta.

4. Bapak Dr. Hill. G. Hartono, S.T., M.T., selaku dosen pembimbing I atas

bimbingan, dukungan, nasehat, dan motivasinya untuk menyelesaikan

studi tepat waktu.

5. Ibu Herning Dyah Kusuma Wijayanti, S.T,. M.Eng. selaku dosen

pembimbing II atas motivasi, dukungan, dan pengorbanan waktu di

detik-detik terakhir sebelum masa sidang berakhir.

6. Bapak Markini dan Ibu Sutinem, yang senantiasa memberikan dukungan

baik secara lisan, materiil, maupun doa di setiap waktu. Tanpa mereka

berdua penulis tentunya tidak akan mampu untuk menyelesaikan Tugas

Akhir ini.

7. Hendri dan Putra yang telah menemani saat proses pengambilan data.

iii
8. Yahya, Rey, dan Jambul yang telah membantu dalam analisis

laboratorium.

9. Teman dan sahabat serta rekan-rekan mahasiswa geologi (HAMAST,

CALDERA), dan orang-orang yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Besar harapan penulis semoga Tugas Akhir Tipe 1A ini dapat bermanfaat

bagi kita semuanya. Akhir kata dengan kerendahan hati, penulis ucapkan

terimakasih.

Yogyakarta, 12 Agustus 2019

Penulis

iv
SARI

Pemetaan geologi dan studi dinamika sedimentasi Formasi Kerek pada jalur
Lintasan Bayuurip, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur
dilakukan guna memdapatkan gambaran mengenai dinamika sedimentasi yang
mengendapakan Formasi Kerek pada daerah penelitian. Metode penelitian yang
digunakan berupa pemetaan lapangan, pembuatan penampang stratigrafi terukur pada
lintasan Banyuurip, pengambilan contoh batuan dengan data hasil analisis
laboratorium berupa sayatan tipis petrografi, analisis mikrofosil, analisis mikrofosil
dan didukung oleh analisis studio untuk akurasi interpretasi dari hasil yang
didapatkan.
Daerah penelitian termasuk ke dalam fisiografi Zona Kendeng dan dibagi
menjadi 4 satuan geomorfologi, yaitu: Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah-
Kuat Struktural (S2), Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah- Kuat Struktural
(S9), Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah-Kuat Denudasional, Satuan
Geomorfologi Dataran – Bergelombang Lemah Fluvial dengan stadia daerah
termasuk ke dalam stadia dewasa.
Stratigrafi daerah penelitian berdasarkan konsep litostratigrafi dibagi
menjadi: satuan batupasir karbonatan Kerek, satuan batulempung karbonatan
Kalibeng, satuan batugamping Klitik, satuan konglomerat Pucangan, satuan tuf
Pucangan dan endapan aluvial.
Struktur geologi yang dijumpai di daerah penelitian, yaitu; Sesar Mendatar
Mengkanan Margomulyo, Sesar Mendatar Mengkanan Sumberejo, Sesar Mendatar
Mengkiri Kiyonten 1, Sesar Mendatar Mengkiri Kiyonten 2, Antiklinorium Meduri-
Sumberejo yang terdiri dari Antiklin Meduri, Antiklin Sumberejo 1, Antiklin
Sumberejo 2, Sinklin Sumbrejo, Antiklinorium Kiyonten yang terdiri dari Antiklin
Kiyonten, Sinklin Kiyonten 1, Antiklin Kiyonten 2, Sinklin Kiyonten 2, dan Antiklin
Kiyonten 3. Antiklinorium Banyuurip yang terdiri dari Antiklin Banyuurip, Sinklin
Banyuurip, Antiklin Banyuurip, Sesar Naik Sumberejo, Sesar Naik Banyuurip, Sesar
Naik Kiyonten.
Potensi sumber daya yang ada di daerah penelitian berupa sumber daya tanah,
sumber daya air, dan sumber daya pertambangan. Potensi bencana yang ada di
daerah penelitian berupa tanah longsor.
Hasil analisis provenance menunjukan asal sedimen yang ada di daerah
penelitian berasal dari undissected arc. Mekanisme pengendapan sedimen diduga
berasosiasi dengan sistem arus pekat seperti debris flow dan turbidit. Hasil analisis
asosiasi fasies menunjukan bahwa batuan yang ada di sepanjang lokasi penelitian
masih berasosiasi dengan sistem submarine fan sampai dengan basin plain yang
dicerminkan dengan kehadiran model fasies A, B, C, D, dan E di sepanjang jalur
pembuatan penampang stratigrafi terukur.

v
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN..................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii

PRAKATA ............................................................................................................. iii

SARI........................................................................................................................ v

DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xviii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1


1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Maksud dan Tujuan ........................................................................................... 4
1.3 Permasalahan..................................................................................................... 4
1.4 Rumusan Masalah ............................................................................................. 5
1.5 Batasan Masalah................................................................................................ 6
1.6 Letak, Luas dan Kesampaian Daerah Penelitian ............................................... 7

BAB II METODE PENELITIAN ........................................................................... 9


2.1 Tahap Tugas Akhir 1 ....................................................................................... 10
2.1.1 Tahap Pendahuluan ................................................................................. 11
2.1.1.1 Studi Pustaka ................................................................................... 11
2.1.1.2 Persiapan Peta Dasar........................................................................ 11
2.1.1.3 Perizinan .......................................................................................... 12
2.1.2 Survey Pendahuluan (Reconnaissance)................................................... 12
2.1.3 Ujian TA 1 ............................................................................................... 12
2.2 Tahap Tugas Akhir 2 ....................................................................................... 13
2.2.1 Pemetaan Rinci ........................................................................................ 14
2.2.2. Pekerjaan Studio ..................................................................................... 17
2.2.2.1. Analisis Geomorfologi ................................................................... 17
vi
2.2.2.2. Analisis Stratigrafi ............................................................................... 35
2.2.2.3. Analisis Struktur Geologi .................................................................... 37
2.2.2.3.1. Kekar ........................................................................................... 38
2.2.2.3.2. Sesar ............................................................................................ 40
2.2.2.3.2. Lipatan ......................................................................................... 44
2.2.2.4. Analisis Petrografi ............................................................................... 47
2.2.4. Presentasi Kolokium.................................................................................... 51
2.2.5. Ujian Tugas Akhir 2 .................................................................................... 51
2.3. Peralatan dan Bahan ............................................................................................ 51

BAB III TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 53


3.1 Tataan Tektonik ................................................................................................... 53
3.2 Fisiografi ............................................................................................................. 59
3.2.1 Zona Pegunungan Selatan (Bagian Timur) .................................................. 60
3.2.2 Zona Busur Vulkanik Kuarter ...................................................................... 61
3.2.3 Zona Pusat Depresi Jawa .............................................................................. 62
3.2.4 Zona Kendeng .............................................................................................. 62
3.2.5 Zona Depresi Randublatung ......................................................................... 64
3.2.6 Zona Rembang dan Madura ......................................................................... 65
3.2.7 Dataran Aluvial Utara Jawa ......................................................................... 67
3.4 Struktur Geologi ................................................................................................... 73

BAB IV GEOLOGI DAERAH PENELITIAN.......................................................... 76


4.1 Geomorfologi ....................................................................................................... 76
4.1.1. Kelurusan Bukit, Lembah, dan Sungai ........................................................ 77
4.1.2. Pola Pengaliran ............................................................................................ 79
4.1.2.1 Pola Pengaliran Sub-parallel................................................................. 80
4.1.2.2 Pola Pengaliran Parallel ........................................................................ 80
4.1.2.3 Pola Pengaliran Trellis.......................................................................... 81
4.1.2.4 Pola Pengaliran Sub-dendritik .............................................................. 81
4.1.3 Peta Kelerengan ............................................................................................ 81
4.1.4 Satuan Geomorfologi ................................................................................... 83
4.1.4.1 Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah-Kuat Struktural (S2) ..... 83
4.1.4.2 Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah – Kuat Struktural (S9) .. 84

vii
4.1.4.3 Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah-Kuat Denudasional ...... 85
4.1.4.4 Satuan Geomorfologi Dataran – Bergelombang Lemah Fluvial .......... 86
4.1.5 Proses Geomorfologi .................................................................................... 87
4.1.6 Stadia Sungai ................................................................................................ 88
4.1.7 Stadia Daerah ............................................................................................... 89
4.2 Stratigrafi.............................................................................................................. 90
4.2.1 Satuan Batupasir Karbonatan Kerek ............................................................ 91
4.2.3 Satuan Batugamping Klitik .......................................................................... 96
4.2.4 Satuan Konglomerat Pucangan .................................................................... 98
4.2.4 Satuan Tuf Pucangan .................................................................................. 100
4.2.5 Aluvial ........................................................................................................ 103
4.3 Struktur Geologi ................................................................................................. 103
4.3.1 Analisis Peta DEMNAS ............................................................................. 104
4.3.2 Struktur Kekar ............................................................................................ 106
4.3.3. Struktur Sesar Mendatar ............................................................................ 106
4.3.3.1. Sesar mendatar mengkanan Margomulyo ......................................... 107
4.3.3.2. Sesar mendatar mengkanan Sumberejo ............................................. 108
4.3.3.3. Sesar mendatar mengkiri Kiyonten 1 ................................................ 109
4.3.3.4. Sesar mendatar mengkiri Kiyonten 2 ................................................ 110
4.3.4 Struktur Lipatan .......................................................................................... 111
4.3.4.1. Antiklinorium Meduri-Sumberejo ..................................................... 111
4.3.4.1.1. Antiklin Meduri ......................................................................... 111
4.3.4.1.2. Sinklin Sumberejo 1 .................................................................. 112
4.3.4.1.3. Antiklin Sumberejo 1 ................................................................ 112
4.3.4.1.4. Antiklin Sumberejo 2 ................................................................ 112
4.3.4.2. Antiklinorium Kiyonten..................................................................... 113
4.3.4.2.1. Antiklin Kiyonten 1 ................................................................... 113
4.3.4.2.2. Sinklin Kiyonten 1..................................................................... 114
4.3.4.2.3. Antiklin Kiyonten 2 ................................................................... 114
4.3.4.2.4. Sinklin Kiyonten 2..................................................................... 114
4.3.4.2.5. Antiklin Kiyonten 3 ................................................................... 115
4.3.4.3. Antiklinorium Banyuurip................................................................... 115
4.3.4.3.1. Antiklin Banyuurip 1 ................................................................. 115

viii
4.3.4.3.2. Sinklin Banyuurip...................................................................... 116
4.3.4.3.3. Antiklin Banyuurip 2 ................................................................. 116
4.3.5 Struktur Sesar Naik .................................................................................... 117
4.3.5.1. Sesar Naik Sumberejo........................................................................ 117
4.3.5.2. Sesar Naik Banyuurip ........................................................................ 117
4.3.5.3. Sesar Naik Kiyonten .......................................................................... 118
4.3 Sejarah Geologi .................................................................................................. 119
4.5 Geologi Lingkungan........................................................................................... 125
4.5.1 Sesumber .................................................................................................... 126
4.5.2 Bencana Alam ............................................................................................ 127

BAB V DINAMIKA SEDIMENTASI FORMASI KEREK PADA JALUR


LINTASAN BANYUURIP, DAERAH KIYONTEN DAN SEKITARNYA,
KECAMATAN KASREMAN, KABUPATEN NGAWI, PROVINSI JAWA
TIMUR ..................................................................................................................... 129
5.1 Latar Belakang ................................................................................................... 129
5.2. Maksud, Tujuan, dan Manfaat .......................................................................... 130
5.3. Rumusan Masalah ............................................................................................. 130
5.4. Batasan Masalah................................................................................................ 130
5.4 Lokasi Penelitian ................................................................................................ 131
5.4 Metode Penelitian............................................................................................... 132
5.5 Dasar Teori ......................................................................................................... 134
5.5.1 Arus Gravitasi/Gravity Flow ...................................................................... 134
5.5.2 Fasies .......................................................................................................... 136
5.5.2.1 Sub-aqueous Sediment Facies (Ghibaudo, 1992) ............................... 136
5.5.2.2 Fasies Model Submarine Fan ............................................................. 144
5.5.3 Asosiasi Fasies ........................................................................................... 149
5.5.3 Provenance ................................................................................................. 152
5.6. Hasil Analisis .................................................................................................... 154
5.6.1. Analisis Fasies dan Model Fasies .............................................................. 154
5.6.2. Analisis Asosiasi Fasies dan Mekanisme Arus Pengendapan ................... 161
5.6.3. Analisis Provenance .................................................................................. 166
5.7. Pembahasan ....................................................................................................... 167

ix
BAB VI KESIMPULAN ......................................................................................... 174
6.1. Kesimpulan ....................................................................................................... 174

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 178

LAMPIRAN ............................................................................................................. 182

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Peta lokasi daerah penelitian (Garmin Mapsource, 2010) ....................... 8

Gambar 2.1 Diagram skema alur penelitian (Pengembangan dari Hartono, 1991). . 10

Gambar 2.2 Klasifikasi penamaan batuan beku berdasarkan tekstur dan komposisi

mineral penyusun batuan (O’ Dunn & Sill, 1986). ............................... 15

Gambar 2.3 Tekstur pola pengaliran ; a) Tekstur halus, b) Tekstur sedang, dan c)

Tekstur kasar (Endarto, 2007). ............................................................. 24

Gambar 2.4 Stadia daerah menurut Lobeck (1939) ................................................... 32

Gambar 2.5 Model struktur geologi (Moody dan Hill, 1967). ................................... 38

Gambar 2.6 Tipe Rekahan (Whitten dan Brook,1972, dalam Soklani, 2008). .......... 39

Gambar 2.7 Jenis kekar berdasarkan genesa (Billings,1972). ................................... 40

Gambar 2.8 Model perbedaan percabangan kemiringan pada sesar naik (Boyer dan

Elliot, 1982, dalam Ghosh, 1994). ........................................................ 41

Gambar 2.9 Pergerakan relatif blok – blok sesar (Twiss dan Moore, 1992). ............ 42

Gambar 2.10 Klasifikasi penamaan sesar (Richard, 1972). ....................................... 42

Gambar 2.11 Hubungan struktu penyerta terhadap arah pergerakan sesar (Hill, 1976,

dalam Davis, dkk., 1994). ..................................................................... 43

Gambar 2.12 Mekanisme gaya penyebab terbentuknya suatu lipatan ....................... 45

Gambar 2.13 Unsur – unsur lipatan (Fleuty, 1964). .................................................. 45

Gambar 2.14 Rekonstruksi lipatan dengan metode Kink (Kink method) .................. 46

Gambar 2.15 Klasifikasi penamaan batuan vulkanik berdasarkan presentase Kuarsa

(Q), Alkali feldspar (A), Plagioklas (P), Felsdpatoid (F) (Streckeisen,

1976 dalam Le Maitre, 2006) ............................................................... 48

xi
Gambar 2.16 Diagram ternary untuk klasifikasi piroklastik berdasarkan tipe material,

Pettijohn (1975) dan Harper & Row, Schmid (1981) ........................... 49

Gambar 2.17 Klasifikasi batupasir terigen berdasarkan komposisi kuarsa, feldspar,

dan fragmen batuan terhadap persentase kehadiran matrik dalam suatu

tubuh batuan (Pettijohn, 1975).............................................................. 49

Gambar 3.1 Tataan lempeng tektonik di awal Tersier (Paleosen) (kiri), dan saat

Eosen Tengah (kanan) (Hall, 2012). Label (1) untuk potongan lempeng

(slab) kerak samudera berumur Oxfordian - Albian, sedangkan (2)

untuk slab kerak samudera berumur Albian - Turonian. ......................54

Gambar 3.2 Tataan lempeng tektonik di Eosen Akhir (kiri), dan saat Oligosen Awal

(kanan) (Hall, 2012). ............................................................................. 55

Gambar 3.3 Tataan lempeng tektonik di Oligosen Akhir (kiri), dan akhir Miosen

Bawah (kanan) (Hall, 2012).................................................................. 56

Gambar 3.4 Tataan lempeng tektonik di Miosen Akhir (kiri), dan akhir Pleistosen

(kanan) (Hall, 2012). ............................................................................. 58

Gambar 3.5 Peta Fisiografi Pulau Jawa bagian tengah dan timur (Pannekoek, 1949 ;

van Bemmelen, 1949) ........................................................................... 60

Gambar 3.6 Peta Geologi daerah penelitian dalam Peta Geologi Lembar Bojonegoro

(Pringgoprawiro, dkk. 1992), dan Peta Geologi Lembar Ngawi (Datun,

dkk. 1996) ............................................................................................. 68

Gambar 3.7 Pola struktur Pulau Jawa selama Miosen Awal hingga Miosen Akhir

(Sribudiyani, dkk. 2003). ...................................................................... 74

xii
Gambar 4.1 Diagram roset pola kelurusan pada daerah penelitian yang menunjukan

arah dominan relatif barat – timur. ....................................................... 77

Gambar 4. 2 Analisa citra DEM di daerah penelitian menunjukan adanya pola-pola

kelurusan yang relatif ke arah barat – timur (DEMNAS, 2018) ........... 78

Gambar 4.3 Pola pengaliran daerah penelitian. ......................................................... 79

Gambar 4.4 Peta kemiringan lereng daerah penelitian. ............................................. 82

Gambar 4.5 Satuan geomorfologi Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat Struktural

(S2) lensa menghadap baratdaya) diambil dari LP 182. ....................... 84

Gambar 4.6 Satuan geomorfologi Bergelombang Lemah- Kuat Struktural (S9) lensa

menghadap ke baratdaya) diambil dari LP 167. ................................... 85

Gambar 4.7 Satuan geomorfologi Perbukitan Bergelombang Lemah-Kuat

Denudasional (lensa menghadap ke arah tenggara) diambil dari LP 54.

.............................................................................................................. 85

Gambar 4.8 Satuan geomorfologi Dataran – Bergelombang Lemah Fluvial (lensa

menghadap ke utara) diambil di Jalan Lego Kulon. ............................. 86

Gambar 4. 9 a) Kondisi fisik sungai daerah penelitian menunjukan bentukan “V”.

dan b) bentukan “U”. ............................................................................ 89

Gambar 4.10 a) Kenampakan batupasir karbonatan di LP 197. dan b) strukur laminasi

pada batupasir karbonatan. c) Struktur perlapisan sejajar di LP 91. ..... 93

Gambar 4.11 a.) Kenampakan batulempung karbonatan pada satuan batulempung

Karbonatan Kalibeng yang terdapat pada LP 203 dan b) struktur brittle

pada batulempung karbonatan. ............................................................. 95

xiii
Gambar 4.12 a) Kenampakan kalkarenit pada satuan batugamping Klitik terdapat

pada LP 24 dan b) kontak batulempung karbonatan Formasi Kalibeng

dengan batugamping (kalkarenit) Formasi Klitik. ................................ 97

Gambar 4. 13 a) Kenampakan singkapan konglomerat pada Satuan konglomerat ... 99

Gambar 4.14 a)Kenampakan singkapan tuf pada satuan tuf Pucangan pada LP 6. . 101

Gambar 4.15 Kenampakan endapan aluvial berukuran pasir-kerakal, terdapat pada

LP 39. .................................................................................................. 103

Gambar 4.16 a) Peta lineasi daerah penelitian berdasarkan analisis pada citra

DEMNAS dan b) Diagram mawar kelurusan daerah penelitian. ........ 105

Gambar 4.17 a) Kenampakan shear fractures pada LP 174 b) kenampakan shear

fracture di LP 121 (lensa menghadap kearah utara). .......................... 106

Gambar 4.18 Kenampakan beberapa mata air sepanjang zona kelurusan ............... 107

Gambar 4.19 Kenampakan bidang sesar yang searah dengan arah kelurusan. ........ 108

Gambar 4.20 Mata air sebagai tanda terdapat bukaan bawah permukaan ............... 109

Gambar 4.21 Kelurusan bukit sebagai bukti sesar. .................................................. 110

Gambar 4.22 Keberadaan kedudukan batuan yang tegak di sekitar zona sesar. ...... 118

Gambar 4.23 Peristiwa geologi yang terjadi pada kala Miosen Akhir. Gambar A

merupakan awal mula pengendapan satuan batupasir karbonatan Kerek,

B dan C menunjukan mekanisme pengendapan pada submarine fan.

Gambar D merupakan fase akhir pengendapan satuan batupasir

karbonatan Kerek. ............................................................................... 120

Gambar 4.24 Peristiwa geologi yang terjadi pada kala Miosen Akhir-Pliosen Awal.

E) menunjukan muka air laut yang naik. F) Pengendapan satuan

batulempung karbonatan Kalibeng ..................................................... 121

xiv
Gambar 4.25 Peristiwa geologi yang terjadi pada kala Pliosen Akhir. E) menunjukan

masuknya fraksi pasir ke dalam satuan batulempung karbonatan

Kalibeng. F) Pengendapan satuan batugamping Klitik. ..................... 122

Gambar 4.26 Pembentukan struktur geologi berupa sesar dan lipatan di daerah

penelitian pada kala Pleistosen ........................................................... 123

Gambar 4.27 Kenampakan relief di daerah penelitian akibat proses eksogenik di

overlay dengan peta geologi. .............................................................. 125

Gambar 4.28 Pemanfaatan lahan sebagai tempat bercocok tanam .......................... 126

Gambar 4.29 Pemanfaatan mata air sebagai tempat mandi warga sekitar. .............. 126

Gambar 4.30 Pemanfaatan lahan sebagai tambang batugamping. ........................... 127

Gambar 4.31 Tanah longsor yang terjadi pada daerah penelitian. ........................... 128

Gambar 5.1 Lokasi pengambilan data dan lintasan penampang stratigrafi terukur 131

Gambar 5.2 Skema Alur Penelitian......................................................................... 132

Gambar 5.3 Pembagian fasies berdasarkan ukuran butir dan sortasi (Ghibaudo,

1992). ................................................................................................. 137

Gambar 5.4 Pembagian prefix atau awalan pada struktur batuan (Ghibaudo, 1992)

........................................................................................................... 140

Gambar 5.5 Skema pembagian fasies dan sub fasies berdasarkan tekstur dan struktur

unit batuan (Ghibaudo, 1992) ............................................................ 143

Gambar 5 6 Skema pembagian model fasies berdasarkan tekstur dan struktur unit

batuan (Pickering, 1992). ................................................................... 146

Gambar 5.7 Gambar pembagian asosiasi fasies menurut Mutti dan Ricci Lucchi

(1972) ................................................................................................. 150

xv
Gambar 5.8 Dominasi fasies batupasir bergradasi dan batupasir berlapis pada

pengukuran penampang stratigrafi bagian bawah. ............................ 153

Gambar 5.9 Dominasi fasies batupasir bergradasi dan batupasir berlapis pada

pengukuran penampang stratigrafi bagian bawah. ............................ 155

Gambar 5.10 Pembagian model fasies menunjukan pola gradasi normal dan gradasi

terbalik pada penampang stratigrafi terukur. ..................................... 156

Gambar 5.11 Dominasi fasies batupasir bergradasi dan batupasir berlapis pada

pengukuran penampang stratigrafi bagian bawah. ............................ 157

Gambar 5.12 Sayatan petrografi dari fasies mByG/massive bouldery gravel ........ 158

Gambar 5.13Pembagian model fasies pada bagian tengah (8.5 – 53.5m) penampang

stratigrafi terukur. .............................................................................. 159

Gambar 5.14Petrografi batulempung non karbonatan (PTGF 7) ............................ 160

Gambar 5.15 Dominasi fasies lgMT (laminated graded muddy-silt) dan sS (stratified

sand) pada bagian atas penampang stratigrafi terukur. ...................... 160

Gambar 5.16 Pola fining upward – coarsening upward pada bagian atas kolom

stratigrafi terukur. .............................................................................. 161

Gambar 5.17 Pembagian asosiasi fasies pada kolom stratigrafi terukur. ................ 163

Gambar 5.18 Asosiasi fasies outer fan dengan pola mengkasar keatas (kiri) dan

asosiasi fasies middle fan dengan pola menghalus keatas (kanan). ... 164

Gambar 5.19 Pola classic turbidit pada model fasies D.21 sebagai penyusun utama

model fasies basin plain pada bagian atas dari penampang stratigrafi

terukur. ............................................................................................... 165

Gambar 5.20 Hasil plotting segitiga Q – F – L pada sampel 1 menunjukan hasil

provenance batuan berupa undissected arc. ....................................... 166

xvi
Gambar 5.21 Hasil plotting segitiga Q – F – L pada sampel 2 menunjukan hasil

provenance batuan berupa undissected arc. ....................................... 166

Gambar 5.22 Pengendapan pada lingkungan middle fan. ....................................... 169

Gambar 5.23 Amalgamasi konglomerat pada lingkungan inner fan dikontrol oleh

arus pekat (debris flow). .................................................................... 170

Gambar 5.24 Perulangan asosiasi outer fan sebagai respon berkurangnya suplai

sedimen ke dalam cekungan .............................................................. 171

Gambar 5.25 Perulangan asosiasi outer fan sebagai respon berkurangnya suplai

sedimen ke dalam cekungan .............................................................. 172

Gambar 5.26 Pengendapan sedimen fraksi halus sebagai respon terhadap perubahan

ketinggian muka air laut pada akhir N14 – awal N15. ...................... 173

xvii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi penamaan batuan sedimen berdasarkan ukuran butir penyusun

batuan (Wentworth, 1922 dalam Boggs, 2006). ................................... 15

Tabel 2.2 Klasifikasi penamaan batuan karbonat berdasarkan ukuran butir penyusun

batuan (Grabau, 1904; dimodifikasi Folk (1962) dalam Scholle, 2003)

.............................................................................................................. 16

Tabel 2.3 Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam

dan van Zuidam-Cancelado, 1979). ...................................................... 19

Tabel 2.4 Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan contoh pewarnaan (van

Zuidam, 1983). ...................................................................................... 19

Tabel 2.5 Klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal denudasional ................. 20

Tabel 2.6 Klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal struktural (van Zuidam,

1983). .................................................................................................... 21

Tabel 2.7 Klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal fluvial (van Zuidam,

1983). .................................................................................................... 22

Tabel 2.8 Jenis pola aliran dasar (Howard, 1967 ; dalam Thornbury, 1969) ............. 25

Tabel 2.9 Ubahan pola aliran dendritik (Howard, 1967 ; dalam Thornbury, 1969) .. 27

Tabel 2.10 Ubahan pola aliran paralel (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969) ..... 27

Tabel 2.11 Ubahan pola aliran trellis (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)....... 28

Tabel 2.12 Ubahan pola aliran rectangular (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

.............................................................................................................. 29

Tabel 2.13 Ubahan pola aliran radial (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)...... 29

Tabel 2.14 Ubahan pola baru (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969) ................... 29

Tabel 2.15 Tingkat stadia sungai menurut Thornbury (1969) ................................... 33

xviii
Tabel 2. 16 Ekspresi hukum “V” yang menunjukkan hubungan kedudukan perlapisan

batuan dengan morfologi (dalam Lisle, 2004). ..................................... 36

Tabel 2. 17 Klasifikasi lipatan berdasarkan kemiringan ............................................ 47

Tabel 3.1 Tabel stratigrafi daerah penelitian dalam Peta Geologi Lembar Bojonegoro

(Pringgoprawiro, dkk. 1992), dan Peta Geologi Lembar Ngawi (Datun, dkk.

1996) .......................................................................................................... 69

Tabel 4.1 Kolom stratigrafi daerah penelitian............................................................ 91

Tabel 4.2 Kolom litologi satuan batupasir karbonatan Kerek.................................... 94

Tabel 4.3 Kolom litologi satuan batulempung karbonatan Kalibeng ........................ 96

Tabel 4.4 Kolom litologi satuan batugamping Klitik................................................. 98

Tabel 4.5 Kolom litologi satuan konglomerat Pucangan ......................................... 100

Tabel 4.6 Kolom litologi satuan tuf Pucangan ......................................................... 102

xix
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia bagian barat merupakan bagian tepi dari lempeng Eurasia yang

sering disebut sebagai Sundaland (Smyth, 2008). Proses subduksi antara lempeng

Eurasia dan lempeng India – Australia sejak Tersier Awal (Hamilton, 1979)

membentuk jajaran gunung api busur kepulauan dan mendeformasi batuan di

kepulauan Indonesia bagian barat. Pulau Jawa sendiri secara tektonik telah

mengalami evolusi sejak Kapur Akhir, dimana secara umum dibagi menjadi 2

fase yaitu fase ekstensi yang menghasilkan subsiden pada Paleogen dan fase

kompresi Neogen yang menghasilkan sesar naik dan lipatan serta aktivitas

vulkanisme (Martodjojo, 2003; Setiadji, 2005; dan Prasetiyadi, 2008).

Daerah penelitian yang terletak di Desa Kiyonten, Kecamatan Kasreman,

Kabupaten Ngawi merupakan bagian dari pegunungan antiklinolium Zona

Kendeng (van Bemmelen, 1949) dan telah dipetakan oleh beberapa ahli geologi di

antaranya Pringgoprawiro, dkk. (1992), Datun, dkk. (1996), dan Smyth, dkk.

(2008), namun masih memerlukan pengamatan geologi rinci pada daerah yang

akan diteliti untuk lebih memahami proses geologi yang ada di daerah penelitian.

Berdasarkan hasil pemetaan pendahuluan (reconnaissance) peneliti

menemukan hal-hal menarik yang bersifat unik dan berbeda dengan apa yang

telah diteliti oleh peneliti sebelumnya di antaranya Effendi dkk., (1998) dan

Silitonga, (1973). Pringgoprawiro, dkk. (1992), Datun, dkk. (1996), dan Smyth,

dkk. (2008). Perbedaan yang ditemukan berdasarkan hasil pemetaan pendahuluan

1
murni bersifat primer dalam aspek kegeologian seperti tataan tektonik, stratigrafi

yang menghasilkan struktur geologi yang cenderung dominan mengontrol daerah

penelitian. Keberadaan struktur geologi ini membuat penyebaran batuan pada

daerah penelitian menjadi menyimpang dari kaidah normal yang biasa digunakan.

Proses eksogenik yang berupa pelapukan dan erosi pada daerah penelitian

ini berjalan sangat intensif, selain karena iklim tropis juga karena sebagian besar

litologi penyusun Zona Kendeng adalah batulempung-napal-batupasir yang

mempunyai kompaksitas rendah, misalnya pada Formasi Kerek dan Formasi

Kalibeng yang total ketebalan keduanya mencapai lebih dari 5.000 meter sehingga

proses pelapukan berjalan dengan intens. Proses eksogenik yang intensif juga

mampu membalik topografi struktural yang ada (inversed topography), misalkan

bukit antiklin menjadi lembah antiklin dan lembah sinklin menjadi bukit sinklin.

Maka dari itu untuk mengungkap kondisi geologi yang sebenarnya diperlukan

sebuah pemetaan geologi menggunakan konsep litostratigrafi dengan

memperhatikan penyebaran struktur geologi yang berkembang pada daerah

penelitian.

Hasil kajian survei awal yang meliputi aspek geomorfologi, stratigrafi, dan

struktur geologi masih memerlukan penelitian yang lebih rinci apabila

dibandingkan data geologi regional, sehingga kurangnya sebaran data geologi

permukaan dan kurang rincinya pemetaan yang dilakukan para peneliti terdahulu

menjadikan daya tarik tersendiri bagi peneliti. Data geologi regional menyebutkan

bahwa daerah penelitian tersusun atas 4 formasi batuan yaitu Formasi Kerek,

Formasi Kalibeng, Formasi Klitik, dan Formasi Pucangan dengan kedudukan

yang semuanya relatif barat-timur (Pringgoprawiro, dkk., 1992) akan tetapi fakta

2
yang dijumpai di lapangan menunjukkan bahwa litologi yang ada memiliki

kedudukan yang sangat bervariasi dengan pola yang bersifat lokal dan berbeda ciri

fisik dalam jarak beberapa ratus meter saja. Kondisi yang seperti ini sangat wajar

terjadi mengingat daerah penelitian sendiri merupakan daerah yang dikontrol oleh

aktivitas tektonik pada kala Pliosen-Pleistosen (Hall, 2012) sehingga diharapkan

dengan adanya pemetaan geologi rinci dapat memberikan gambaran yang lebih

jelas mengenai sejarah geologi yang ada di daerah penelitian secara rinci dan

runtut.

Formasi Kerek merupakan salah satu formasi batuan yang telah lama

dikenal terbentuk pada mekanisme arus turbidit sehingga memberikan

kenampakan yang khas baik secara struktur, tekstur, maupun jenis batuan yang

dihasilkan. Namun pada kajian pustaka yang dilakukan oleh peneliti, belum

ditemukan adanya pembahasan secara rinci mengenai dinamika sedimentasi yang

ada saat pembentukan Formasi Kerek di daerah penelitian. Hal ini yang

meningkatkan minat peneliti untuk melakukan pemetaan yang lebih rinci di

lintasan Desa Banyuurip dimana litologi penyusun yang ada dapat mewakili

seluruh litologi yang termasuk ke dalam Formasi Kerek di daerah penelitian

terlebih di daerah ini berdekatan dengan zona sesar anjak (thrust fault) yang

diharapkan akan ditemukan hal baru berkaitan dengan kondisi geologi di daerah

penelitian yang belum pernah disampaikan oleh penelitian sebelumnya yang

memungkinkan menambah referensi sejarah geologi di daerah penelitian

khususnya mengenai dinamika sedimentasi di Formasi Kerek.

Penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan penelitian pemetaan rinci

berupa pemetaan geologi permukaan berdasarkan data faktual di lapangan serta

3
didukung oleh analisis data laboratorium berupa analisis petrografidan analisis

mikropaleontologi. Adapun aspek penelitian tersebut meliputi kondisi

geomorfologi daerah penelitian, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi, serta

aspek geologi lingkungan yang ada yang dapat memiliki potensi alam ataupun

bencana terhadap lingkungan sekitar daerah penelitian.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian ini ialah untuk melakukan pemetaan geologi rinci

berdasarkan kajian data geologi berupa geomorfologi, pengelompokan batuan,

susunan stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi dan geologi lingkungan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi geologi pada

daerah penelitian untuk dipetakan dan disajikan dalam bentuk peta menggunakan

skala 1 : 25.000. Peta tersebut disajikan dalam bentuk Peta Lokasi Pengamatan,

Peta Geomorfologi, Peta Geologi, dan naskah laporan akhir yang memuat data

geologi meliputi Geomorfologi, Stratigrafi, Struktur Geologi, Sejarah Geologi dan

Geologi Tata Lingkungan. Hasil dari penelitian diharapkan dapat memberikan

gambaran sejarah geologi daerah penelitian dengan menghadirkan permasalahan

tentang dinamika sedimentasi yang didasarkan dari data geologi permukaan.

1.3 Permasalahan

Berdasarkan hasil pemetaan rinci didapatkan beberapa permasalahan pada

daerah penelitian yang secara garis besar berada pada sebaran data geologi

permukaan yang tidak rinci dan belum memberikan gambaran geologi yang jelas

di daerah peneletian, sehingga penelitian secara komprehensif dari aspek

geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi masih perlu dilakukan agar interpretasi

4
tentang sejarah geologi dan evolusi gunung api di daerah penelitian lebih

mendekati dari kondisi yang sebenarnya. Selain itu perekaman data tentang

geologi lingkungan juga harus lebih diperhatikan agar nantinya potensi sumber

daya alam yang ada di daerah penelitian dapat dimanfaatkan lebih optimal dan

potensi bencana geologi yang ada di daerah penelitian juga dapat diwaspadai

mengingat dulunya daerah penelitian merupakan daerah dengan struktur geologi

yang aktif.

Secara lebih khusus stratigrafi di Formasi Kerek menjadi perhatian

tersendiri dikarenakan belum adanya data dinamika sedimentasi di daerah

penelitian. Litologi yang tersingkap di permukaan secara sekilas memperlihatkan

kenampakan yang menyerupai endapan turbitdit baik dari struktur, tekstur, dan

jenis litologi. Kondisi ini perlu dikaji lebih lanjut berkaitan dengan dinamika

sedimentasi Formasi Kerek yang nantinya dapat memberikan gambaran tentang

umur, lingkungan pengendapan, serta mekanisme pengendapan dan hal-hal yang

terkait didalamnya.

1.4 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini

berdasarkan ialah :

1. Bagaimana kondisi bentang alam yang ada di daerah penelitian? Ada

berapa satuan bentang alam apabila dibagi secara morfometri dan

morfogenesisnya?

2. Bagaimana hubungan stratigrafi di daerah penelitian yang menggunakan

konsep litostratigrafi ?

5
3. Ada berapa sstruktur geologi yang ada di daerah penelitian? Bagaimana

analisis geometri, kinematika, dan dimenatikanya ?

4. Dari permasalahan sebelumnya, bagaimanakah sejarah geologi yang

membentuk daerah penelitian?

5. Bagaimanakah kondisi geologi lingkungan serta potensi bencana alam

pada daerah penelitian?

6. Bagaimana kajian stratigrafi Formasi Kerek pada lintasan Desa

Banyuurip? Apakah masih terpengaruh dengan mekanisme arus turbidit?

7. Bagaimana kondisi pengendapan Formasi kerek pada lintasan Desa

Banyuurip berkaitan dengan posisi pengendapannya?

1.5 Batasan Masalah

Penelitian dibatasi pada pengambilan data geologi permukaan (geological

surface mapping) dengan mengumpulkan data singkapan di lapangan berupa

pengamatan, penafsiran, pengukuran, penggambaran, dokumentasi dan

pengambilan data geologi permukaan. Data geologi tersebut meliputi

pengamatan dan pendiskripsian singkapan batuan, pengukuran jurus dan

kemiringan perlapisan batuan (strike/dip), kelerengan (slope), pengambilan

contoh batuan dan interpretasi mengenai kondisi geomorfologi, stratigrafi,

struktur geologi, geologi lingkungan dan proses-proses geologi yang berkembang

sampai sekarang serta sebagai data penunjang peneliti juga menggunakan data

hasil analisis laboratorium yang dibatasi hanya pada analisis petrografi dari

sampel batuan lokasi penelitian.

6
1.6 Letak, Luas dan Kesampaian Daerah Penelitian

Daerah penelitian terletak di daerah Kiyonten, Kecamatan Kasreman dan

sekitarnya yang termasuk ke dalam dua kabupaten yaitu Kabupaten Ngawi dan

Kabupaten Bojonegoro. Secara administratif daerah penelitian meliputi Desa

Tawun - Desa Kiyonten - Desa Kasreman - Desa Lego Kulon - Desa Cagakan -

Desa Karang Malang dan Desa Gunungsari, Kecamatan Kasreman, Kabupaten

Ngawi, serta Desa Karangsari - Desa Karangtengah Pradon - Desa Ngawi - Desa

Banyuurip - Desa Kartoharjo - Desa Kerek dan Desa Kandangan, Kecamatan

Ngawi, Kabupaten Ngawi, Provinsi Jawa Timur. Sedangkan yang termasuk

wilayah Kabupaten Bojonegoro adalah Desa Margomulyo - Desa Medari -

DesaKalangan, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro, Provinsi Jawa

Timur. Daerah penelitian termasuk dalam Peta Geologi Lembar Bojonegoro

bagian barat (Pringgoprawiro dan Sukido, 1992) dan Peta Geologi Lembar Ngawi

bagian timur (Sukandarrumidi, dkk, 1996).

Secara geografis daerah penelitian terletak pada 7 o 20’ 25’’ LS - 7 o 25’

18’’ LS dan 111o 28’ 02’’ BT - 111 o 31’ 18’’ BT dengan luas ± 54 km² (9 km x

6 km). Daerah penelitian termasuk dalam Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar

Ngawi 1508-422, Lembar Kalimojo 1508-424, Lembar Karangjati 1508-511,

Lembar Tambakrejo 1508-513 dengan skala 1 : 25.000 yang diterbitkan oleh

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL; Anonim,

2000).

Daerah penelitian dapat dijangkau dari Yogyakarta dengan menggunakan

kendaran bermotor, baik kendaraan roda dua, roda empat. Jarak tempuh dari

Yogyakarta menuju daerah penelitian berjarak ± 128 km dengan waktu tempuh ±

7
3 jam, melintasi jalan nasional melalui rute Yogyakarta – Klaten – Solo – Sragen

– Sukowati – Ngawi - Cepu. Sementara itu, cakupan area lokasi penelitian sendiri

tidak semuanya dapat dijangkau dengan menggunakan kendaraan bermotor karena

keterbatasan akses jalan yang membuat lokasi tersebut harus dijangkau dengan

berjalan kaki, melalui jalan desa atau jalan Perhutani.

Gambar 1. 1 Peta lokasi daerah penelitian (Garmin Mapsource, 2010)

8
BAB II

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dipakai adalah pemetaan geologi permukaan

(geological surface mapping). Metode ini meliputi pengamatan, pemerian, dan

pengukuran langsung di lapangan pada kenampakan data – data serta kondisi

geologi yang tersingkap, berupa data singkapan batuan, struktur geologi, dan

potensi geologi lingkungan. Pelaksanaan penelitian dilakukan sesuai dengan

standart operational procedure Tugas Akhir yang telah ditetapkan oleh Program

Studi Teknik Geologi Institut Teknologi Nasional Yogyakarta.

Metode penelitian secara umum meliputi metode penelitian lapangan,

metode penelitian laboratorium dan studio. Penelitian lapangan adalah melakukan

pekerjaan pemetaan geologi rinci pemetaan rinci (perapatan data lapangan,

pengukuran unsur – unsur struktur geologi dan pengambilan contoh batuan),

penelitian laboratorium adalah melakukan analisis petrografi dan

mikropaleontologi, sedangkan studio pekerjaan studio adalah identifikasi data

geomorfologi, stratigrafi dan data struktur geologi dilakukan dengan menganalisis

peta topografi, peta geologi regional maupun DEMNAS (Anonim, 2018) yang

dicocokan dengan data pemetaan geologi yang pada nantinya akan menghasilkan

peta lokasi pengamatan, peta geomorfologi, peta geologi, dan laporan Tugas

Akhir 2.

Dalam pelaksanaannya, metode ini dibagi menjadi beberapa tahapan yaitu

tahap 1, pengerjaan Tugas Akhir 1 dan tahap 2 pengerjaan Tugas Akhir 2

(Gambar 2.1). Tugas Akhir 1 meliputi Input yang terdiri dari tahap pendahuluan

9
(studi pustaka, perijinan dari kampus kepada pemerintah provinsi dan pemerintah

daerah setempat), reconnaissance (tahap survei awal) yang bertujuan mengetahui

kondisi geologi daerah penelitian secara umum, hasilnya berupa peta lokasi

pengamatan tentatif, peta geomorfologi tentatif, peta geologi tentatif, surat ijin

penelitian dan naskah Tugas Akhir 1. Tahapan selanjutnya merupakan pemetaan

detail dan disertai penelitian mengenai masalah khusus pada daerah penelitian

yang dikerjakan pada Tugas Akhir 2.

Gambar 2.1 Diagram skema alur penelitian (Pengembangan dari Hartono, 1991).

2.1 Tahap Tugas Akhir 1

Tahap Tugas Akhir 1 ini merupakan tahap awal yang meliputi tahap

pendahuluan/persiapan dan tahap reconnaissance. Hal ini berguna untuk

10
mengetahui kondisi geologi awal yang berkembang pada daerah penelitian,

sehingga mempermudah dalam proses pemetaan rinci.

2.1.1 Tahap Pendahuluan

Tahap pendahuluan / persiapan ini merupakan tahap paling awal dalam

melakukan penelitian. Tahapan pendahuluan ini meliputi studi pustaka, persiapan

peta dasar, perizinan dan reconnaissance.

2.1.1.1 Studi Pustaka

Tahap ini merupakan tahap mempelajari literatur yang relevan dengan

kondisi geologi daerah yang akan diteliti, baik berupa buku-buku pedoman, peta

regional, jurnal, laporan penelitian maupun publikasi jenis lain. Literatur ini akan

dikaji sehingga dapat memperoleh suatu pendekatan yang dapat digunakan

sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian masalah pada daerah penelitian.

Tahap ini juga dimaksud untuk mengumpulkan data-data sekunder seperti geologi

regional serta penelitian-penelitian terdahulu di daerah penelitian.

2.1.1.2 Persiapan Peta Dasar

Mempersiapkan peta dasar daerah penelitian dengan mengkompilasi dan

memodifikasi Peta Rupa Bumi Indonesia Lembar Ngawi 1508-422, Lembar

Kalimojo 1508-424, Lembar Karangjati 1508-511, Lembar Tambakrejo 1508-513,

selain itu juga mempersipakan peta geologi regional, peta DEMNAS (Anonim,

2018). Peta tersebut digunakan untuk melakukan interpretasi geologi, pemetaan

awal (reconnaissance) dan pemetaan rinci.

11
2.1.1.3 Perizinan

Tahap pengurusan perizinan ini wajib dilakukan untuk melengkapi

persyaratan administrasi yang diperlukan pada daerah penelitian. Surat izin

penelitian yang harus dipersiapkan yaitu perizinan dari pihak institusi Sekolah

Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta, yang kemudian akan diserahkan kepada

Pemerintahan Provinsi D.I Yogyakarta untuk dibuatkan surat pengantar perizinan

kepada Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Pemerintah Kabupaten Ngawi,

Pemerintah Kecamatan Ngawi, Pemerintah Kecamatan Kasreman, Pemerintah

Kecamatan Margomulyo dan Pemerintah Desa setempat (Lampiran 1, hal 111).

2.1.2 Survey Pendahuluan (Reconnaissance)

Survei pendahuluan (reconnaissance) adalah suatu tahapan pekerjaan

penelitian lapangan untuk pengenalan medan dan mengetahui keadaan singkapan

sehingga diperoleh gambaran geologi secara umum di daerah penelitian, yang

termasuk dalam tahap ini adalah interpretasi peta topografi, mengetahui kondisi

jalan/akses menuju daerah penelitian, cek lokasi yang diperkirakan terdapat

singkapan batuan, jejak struktur geologi, dan hal lain yang bersifat penelitian

awal. Selanjutnya adalah melakukan interpretasi awal kondisi geologi daerah

penelitian baik dari kondisi geomorfologi, statigrafi, struktur geologi yang

disajikan dalam peta dan draf Usulan Tugas Akhir yang diajukan kepada Dosen

Pembimbing.

2.1.3 Ujian TA 1

Tahap ini merupakan tahap presentasi laporan hasil penelitian pendahuluan

atau TA 1 yang telah dilakukan untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitian

12
kepada Dosen Pembimbing dan Dosen Penguji sebelum melakukan pemetaan

rinci.

2.2 Tahap Tugas Akhir 2

Tahapan tugas akhir 2 adalah tahap setelah peneliti dinyatakan lulus dalam

ujian Tugas Akhir 1, dan merupakan tahap lanjutan dari tahapan persiapan, dan

survei lapangan yang sudah diselesaikan. Tahapan Tugas Akhir 2 terdiri dari:

a. Pemetaan geologi rinci yang meliputi perapatan lokasi pengamatan,

pengukuran unsur-unsur struktur geologi, dan pengambilan contoh batuan

b. Pekerjaan studio yang meliputi identifikasi data geomorfologi, identifikasi

data stratigrafi, dan identifikasi data struktur geologi

c. Pekerjaan laboratorium yang meliputi preparasi sayatan tipis, dan

preparasi fosil.

d. Checking Lapangan yang berfungsi untuk menentukan apakah data-data

yang sudah diambil pada pemetaaan rinci sudah memadai atau belum, jika

tidak memadai maka peneliti wajib untuk melakukan re-mapping tetapi

jika data sudah memadai maka dilanjutkan presentasi kolokium sebagai

persiapan untuk melakukan ujian Tugas Akhir 2

e. Re-mapping merupakan pemetaan ulang untuk pengambilan data baru atau

untuk melengkapi data yang sudah ada

f. Studi Khusus yang bertujuan meneliti permasalahan yang dianggap

menarik untuk di bahas pada daerah penelitian atau bisa juga diambil dari

data Kerja Praktik yang di peroleh dari suatu perusahaan.

13
Tahap ini merupakan tahap penelitian geologi secara rinci yang dimuat

dalam naskah Tugas Akhir 2. Ujian Tugas Akhir 2 akan menentukan lulus

atau tidaknya peneliti untuk menjadi Sarjana Teknik Geologi. Tahapan ini

meliputi penelitian lapangan, analisis labortorium, analisis studio.

2.2.1 Pemetaan Rinci

Perincian lokasi pengamatan merupakan kegiatan yang dilakukan secara

sistematis mengikuti jalur rencana lintasan yang telah dibuat sebelumnya dengan

tujuan untuk menambahkan atau melengkapi data berdasarkan evaluasi data survei

awal (reconnaissance), sehingga diperoleh data yang lebih rinci serta terpadu di

daerah penelitian.

Dalam melakukan pengamatan dan penentuan arah lintasan, memperhatikan

kondisi litologi secara umum yang didapat dari data sekunder maupun studi

pustaka. Untuk batuan yang mempunyai kedudukan ataupun perlapisan, jalur

lintasan diusahakan tegak lurus terhadap arah perlapisan batuan supaya

memperoleh variasi batuan yang didasarkan pada pemerian secara megaskopis

dengan mengacu pada klasifikasi O’Dunn & Sill (1986) yang disajikan pada

Gambar 2.2 untuk pemerian batuan beku, pemerian batuan karbonat didasarkan

pada klasifikasi Grabau (1904); dimodifikasi oleh Folk (1962, dalam Scholle

2003) (Tabel 2.1), sedangkan pemerian batuan sedimen didasarkan pada skala

ukuran butir Wentworth (1922, dalam Boggs 2006) (Tabel 2.2) dan gejala struktur

geologi.

14
Gambar 2.2 Klasifikasi penamaan batuan beku berdasarkan tekstur dan komposisi
mineral penyusun batuan (O’ Dunn & Sill, 1986).

Tabel 2.1 Klasifikasi penamaan batuan sedimen berdasarkan ukuran butir


penyusun batuan (Wentworth, 1922 dalam Boggs, 2006).

15
Tabel 2.2 Klasifikasi penamaan batuan karbonat berdasarkan ukuran butir
penyusun batuan (Grabau, 1904; dimodifikasi Folk (1962) dalam
Scholle, 2003)

Gambar 2.3. Klasifikasi batuan piroklastika menurut Fisher (1966)

Dalam membuat lintasan geologi juga diusahakan melewati sungai agar

memperoleh kondisi litologi yang baik. Pengambilan contoh batuan dilakukan

pada singkapan yang segar, tidak lapuk, tidak teroksidasi, dapat mewakili tiap

litologi di lapangan dan layak sebagai sampel untuk dilakukan analisis lebih lanjut

16
di laboratorium. Pengambilan contoh batuan (sampel) bertujuan untuk melakukan

penelitian laboratorium agar mendapatkan data lebih rinci seperti petrografi untuk

petrogenesis, paleontologi/mikropaleontologi untuk mengetahui umur, lingkungan

pengendapan dari setiap litologi yang ada. Dari data yang lebih rinci tersebut

memudahkan peneliti untuk menginterpretasi secara lanjut kondisi geologi pada

daerah penelitian maupun diskusi dengan dosen pembimbing.

2.2.2. Pekerjaan Studio

Tahapan penelitian studio merupakan tahapan pekerjaan yang dilakukan

setelah pengambilan data primer di lapangan. Penelitian studio merupakan

penelitian yang dilakukan tidak di lapangan. Jenis pekerjaan yang dilakukan pada

tahapan ini meliputi analisis data geomorfologi, analisis data stratigrafi, dan

analisis data struktur geologi

2.2.2.1. Analisis Geomorfologi

Morfologi merupakan hasil interaksi antara proses endogen dan eksogen

(Thornbury, 1969). Tahap analisis geomorfologi yang dilakukan dalam penelitian

ini meliputi analisis kelurusan dan bentuk khusus (pola dome, bentukan tapal

kuda, morfologi bentukan stuktural), pembagian satuan geomorfologi (morfometri

dan morfogenesa), penentuan pola pengaliran, proses geomorfologi, dan stadia

daerah

Dalam menganalisis kondisi geomorfologi, peneliti melihat kondisi

morfologi pada daerah penelitian masih relatif sama dengan pola kontur apabila

melihat, membandingkan, dan menganalisis peta topografi dari dua sumber yang

berbeda, yaitu dari citra DEMNAS dan BIG (Badan Informasi Geospasial) maka

17
pola kontur yang tampak juga tidak signifikan berbeda. Penarikan pola kelurusan

dan bentuk khusus dilakukan pada citra DEMNAS yang diolah di Global Mapper

untuk diatur shading dan pencahaannya. Pengaturan cahaya dilakukan dalam 4

medan pandang (0o, 45o, 90o, dan 135o) untuk memberikan pertimbangan dalam

membedakan antara kelurusan yang diakibatkan akibat struktur (tektonik) dan non

struktur (batas singkapan, aspek buatan manusia). Digitasi pola kelurusan

dilakukan di ArcGIS. Pola kelurusan lembah dan bukit yang tetap (tidak berubah

ketika pencahayaan diubah) digunakan sebagai dasar indikasi keberadaan sesar

dari offset kelurusan. Sedangkan ketika kelurusan tidak tetap (hilang ketika

pencahayaan diubah) maka diasumsikan bahwa kelurusan tersebut bukan

merupakan kelurusan akibat adanya sesar. Menurut Gupta (1991) kelurusan non

tektonik dapat berupa batas singkapan/satuan, perubahan topografi akibat

vegetasi.

Dalam pembuatan peta geomorfologi, pembagian satuan geomorfologi

didasarkan pada dua aspek yaitu morfometri yang mengacu pada klasifikasi

hubungan antar relief / kemiringan lereng dan beda tinggi menurut van Zuidam &

van Zuidam-Cancelado (1979) dalam Tabel 2.3 dan morfogenesa mengacu pada

klasifikasi bentukan asal yang didasarkan pada faktor pengontrol utama proses

geologi menurut van Zuidam (1983) dalam Tabel 2.4. Penamaan satuan

geomorfologi tersusun atas tiga kata, atau paling banyak empat kata bila ada

kekhususan, terdiri dari bentuk / geometri / morfologi, morfogenesa, dan nama

geografis, sehingga dalam penamaan satuan geomorfologi di daerah penelitian

diawali dengan penyebutan relief (morfometri) yang kemudian diikuti dengan

penamaan bentuk muka bumi (morfogenesa) dan nama geografis.

18
Tabel 2.3 Klasifikasi relief berdasarkan sudut lereng dan beda tinggi (van Zuidam
dan van Zuidam-Cancelado, 1979).

Sudut BedaTinggi
No Relief (m)
Lereng ( %)
1 Topografi dataran 0–2 <5
2 Topografi bergelombang lemah 3–7 5 – 50
3 Topografi bergelombang lemah-kuat 8 – 13 25 – 75
4 Topografi bergelombang kuat- 14 – 20 50– 200

5 perbukitan
Topografi perbukitan –tersayat kuat 21 – 55 200– 500

6 Topografi tersayat kuat- pegunungan 56 – 140 500– 1000

7 Topografi pegunungan > 140 > 1000

Tabel 2.4 Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan contoh pewarnaan
(van Zuidam, 1983).

No Genesa Pewarnaan
1 Denudasional (D) Coklat
2 Struktural (S) Ungu
3 Vulkanik (V) Merah
4 Fluvial (F) Biru muda
5 Marine (M) Biru tua
6 Karst (K) Orange
7 Glasial (G) Biru muda
8 Eolian (E) Kuning

Klasifikasi unit geomorfologi memakai tiga klasifikasi yakni klasifikasi unit

geomorfologi bentuk lahan asal denudasional (Tabel 2.5), klasifikasi unit

geomorfologi bentuk lahan asal struktural (Tabel 2.6) dan klasifikasi unit

geomorfologi bentuk lahan asal karst (Tabel 2.7). menurut van Zuidam (1983).

19
Tabel 2.5 Klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal denudasional
(van Zuidam, 1983).
Kode Unit Karakteristik Umum
Denudational slopes Lereng landai-curam menengah (topografi
D1
and hills bergelombang kuat), tersayat lemah-menengah.

Lereng curam menengah-curam (topografi ber-


Denudational slopes
gelombang kuat-berbukit), tersayat menengah
D2 and hills
tajam.

Denudational hills and Lereng berbukit curam-sangat curam hingga


D3
mountain topografi pegunungan, tersayat menengah tajam.
Lereng berbukit curam-sangat curam, tersayat
D4 Residual hills menengah. Monadnocks : memanjang, curam,
bentukan yang tidak teratur.

Hampir datar, topografi bergelombang kuat,


D5 Paneplains
tersayat lemah-menengah.

Upwarped paneplains Hampir datar, topografi bergelombang kuat,


D6
plateau tersayat lemah-menengah.

Lereng relatif pendek, mendekati horisontal


D7 Footslopes hingga landai, hampir datar, topografi
bergelombang normal-tersayat lemah

Lereng landai menengah, topografi


bergelombang kuat pada kaki atau perbukitan dan
D8 Piedmonts
zona pegunungan yang terangkat, tersayat
menengah.

Lereng curam-sangat curam, tersayat lemah-


D9 Scarps
menengah.

D10 Scree slopes and fans Landai-curam, tersayat lemah-menengah

Tidak teratur, lereng menengah curam, topografi


Area with several mass
D11 bergelombang-berbukit, tersayat menengah
movement
(slides, slump, and flows).

Topografi dengan lereng curam-sangat curam,


D12 Badlands tersayat menengah (knife-edged,round crested
and castellite types).

20
Tabel 2.6 Klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal struktural (van Zuidam, 1983).
Kode Unit Karakteristik Umum

Topografi bergelombang sedang Tersayat


hingga bergelombang kuat dengan pola
S1
aliran berhubungan dengan kekar, dan
patahan
Topografi bergelombang sedang Berbentuk liniear
hingga bergelombang kuat dengan pola
S2 aliran berkaitan dengan singkapan
batuan berlapis
Topografi bergelombang kuat Tersayat kuat
S3 hingga perbukitan dengan pola aliran
berkaitan dengan kekar dan patahan
Topografi perbukitan hingga pegunungan Berbentuk liniear, tersayat kuat
S4 denganpola aliran berkaitan dengan
singkapan batuan berlapis
Topografi datar hingga
bergelombang lemah di atas
S5 Mesag/dataran tinggi dikontrol struktur
plateau dan perbukitan di
bagian tebing
Bergelombang lemah di bagian
lereng belakang dan perbukitan
S6 Cuestas
pada lereng depan. Tersayat
lemah.
Tinggian berupa topografi
S7 Hogbacks dan flatirons
perbukitan tersayat.
Topografi bergelombang lemah
S8 Structural denudational terraces
hingga perbukitan. Tersayat.
Topografi bergelombang kuat
S9 Perbukitan antiklin dan sinklin
hingga perbukitan.
Topografi bergelombang kuat
S10 Kubah/perbukitan sisa
hingga perbukitan.
Topografi bergelombang kuat
S11 Dykes
hingga perbukitan. Tersayat.
Topografi bergelombang kuat
S12 Tebing sesar
hingga perbukitan. Tersayat.
Topografi bergelombang lemah
S13 Depresi Graben
hingga bergelombang kuat.
Topografi bergelombang kuat
S14 Tinggian Horst
hingga perbukitan.

21
Tabel 2.7 Klasifikasi unit geomorfologi bentuk lahan asal fluvial (van Zuidam, 1983).
Kode Unit Karakteristik Umum

Hampir datar, topografi teratur dengan garis


F1 Rivers beds batas permukaan air yang bervariasi mengalami
erosi dan bagian yang terakumulasi.

F2 Lakes Tubuh air.

Hampir datar, topografi tidak teratur, banjir


F3 Flood plains
musiman.

Fluvial levees, Topografi dengan lereng landai, berhubungan


F4 alluvial ridges and erat dengan peninggian dasar oleh akumulasi
point bar fluvial.

Topografi landai-hampir landai (swamps, tree


F5 Swamps, fluvial basin
vege-tation)

Topografi dengan lereng hampir datar-landai,


F6 Fluvial terraces
tersayat lemah-menengah.

Lereng landai-curam menengah, biasanya banjir


F7 Active alluvial fans dan berhubungan dengan peninggian dasar oleh
akumulasi fluvial.

Lereng curam-landai menengah, jarang banjir


F8 Inactive alluvial fans
dan pada umumnya tersayat lemah-menengah.

Topografi datar tidak teratur lemah, oleh karena


F9 Fluvial-deltaic banjir dan peninggian dasar oleh fluvial, dan
pengaruh marine.

Penentuan pola pengaliran pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan

klasifikasi Howard (1967, dalam Thornbury, 1969). Pola pengaliran (drainage

pattern) merupakan suatu pola dalam kesatuan ruang yang merupakan hasil

penggabungan dari beberapa individu sungai yang saling berhubungan suatu pola

dalam kesatuan ruang (Thornbury, 1969). Sedangkan menurut Howard (1967)

pola pengaliran merupakan rangkaian bentuk aliran – aliran sungai pada daerah

lemah tempat erosi mengambil bagian secara aktif serta daerah rendah tempat air

22
permukaan mengalir dan berkumpul. Pola drainase perlu kita pelajari karena dapat

digunakan sebagai kriteria dalam pengenalan fenomena geologi, hidrologi dan

geomorfologi. Hal ini disebabkan pola pengaliran tersebut merupakan hasil

pengaruh banyak faktor terhadap air (hujan) yang mengalir pada permukaan bumi.

Faktor tersebut bisa dikarenakan litologi, struktur geologi, sikap batuan, resistensi,

permeabilitas atau kombinasi dari sekian faktor tersebut. Oleh karena sangat

penting memahami pola pengaliran suatu daerah secara tepat.

Salah satu yang dipelajari dalam pola pengaliran ialah tekstur pola

pengaliran, dimana dalam tekstur pola pengaliran dibagi menjadi tiga tekstur

berdasarkan tingkat kerapatan sungai orde pertama (Gambar 2.3) pada skala foto 1

: 20.000 (Endarto, 2007), yaitu :

1. Tekstur halus jarak antar sungai kurang dari (1/4 inch). Tekstur ini

mencerminkan aliran permukaan besar, batuan dasar kedap air,

permeabilitas tanah kecil.

2. Tekstur sedang jarak antar sungai orde pertama antara ¼ - 2 inch yang

menunjukan bahwa aliran permukaan masuk ke dalam tingkat sedang

jika dibandingkan dengan tekstur halus, tekstur tanahnya tidak halus,

tidak kasar namun mengandung material campuran dari kedua tekstur

tersebut.

3. Tekstur kasar dimana jarak antar sungai orde pertama lebih besar dari 2

inch dan mengandung air yang relatif lebih sedikit, tekstur ini

menunjukan batuan dasar yang lebih resisten atau tanah yang kasar dan

permeable.

23
Gambar 2.3 Tekstur pola pengaliran ; a) Tekstur halus, b) Tekstur sedang, dan c)
Tekstur kasar (Endarto, 2007).

Perkembangan dari pola pengaliran dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan, proses vulkanik

Kuarter, serta sejarah dan stadia geomorfologi dari cekungan pola aliran (drainage

basin ). Penentuan pola pengaliran pada daerah penelitian ditentukan berdasarkan

klasifikasi Howard (1967, dalam Thornbury, 1969) dalam Tabel 2.8 untuk jenis pola

aliran dasar, sedangkan jenis pola pengaliran ubahan antara lain ubahan pola aliran

dendritik (Tabel 2.9), ubahan pola pengaliran paralel (Tabel 2.10), ubahan pola

pengaliran trellis (Tabel 2.11), ubahan pola pengaliran rectangular (Tabel 2.12),

ubahan pola pengaliran radial (Tabel 2.13), dan pola aliran baru (Tabel 2.14).

24
Tabel 2.8 Jenis pola aliran dasar (Howard, 1967 ; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Dasar Karakteristik

Pola aliran ini berbentuk seperti cabang-cabang


pohon, dimana cabang-cabang sungai tersebut
berhubungan dengan induk sungai membentuk
sudut-sudut yang runcing. Pada umumnya terdapat
pada batuan yang homogen dengan sedikit atau
tanpa adanya pengendalian oleh struktur. Contohnya
pada batuan beku atau lapisan horisontal.

Pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar,


mengalir pada daerah kemiringan lereng sedang
sampai curam, dapat pula pada daerah dengan
morfologi yang paralel dan memanjang. Pola aliran
ini mempunyai kecenderungan untuk berkembang ke
arah pola dendritic ataupun trellis. Contohnya pada
lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin.

Pola aliran ini menyerupai bentuk tangga, dimana


cabang-cabang sungai membentuk sudut siku-siku
dengan sungai utama, mencirikan daerah lipatan dan
kekar.

Pola aliran ini dibentuk oleh percabangan sungai-


sungai yang membentuk sudut siku-siku, lebih
banyak dikontrol oleh faktor kekar dan sesar.

Pola aliran ini dicirikan oleh suatu jaringan yang


memancar keluar dari satu titik pusat, pada
umumnya mencirikan suatu kubah atau daerah
gunungapi.

25
Pola aliran ini berbentuk melingkar mengikuti
batuan lunak suatu kubah yang tererosi pada bagian
puncaknya atau struktur basin atau juga suatu intrusi
stock.

Pola aliran ini terbentuk oleh banyaknya cekungan-


cekungan kecil dan biasanya dapat mencirikan
daerah topografi karst.

Pola aliran ini bentuknya tidak beraturan, pada


umumnya berkembang pada daerah yang memiliki
litologi batuan metamorf, batuan beku, atau pada
batuan berlapis yang mempunyai resistensi sama.

Pola pengaliran modifikasi/ubahan merupakan pola pengaliran dengan

perubahan yang masih memperlihatkan ciri pola pengaliran dasar. Hubungan pola

dasar dan pola perubahan dengan jenis batuan dan struktur geologi sangat erat

kaitannya. Howard (1967, dalam Thornbury, 1969) membuat klasifikasi pola

pengaliran ubahan menjadi 6 yang yaitu ubahan pola aliran dendritik (Tabel 2.9),

ubahan pola pengaliran paralel (Tabel 2.10), ubahan pola pengaliran trellis (Tabel

2.11), ubahan pola pengaliran rectangular (Tabel 2.12), ubahan pola pengaliran radial

(Tabel 2.13), dan pola aliran baru (Tabel 2.14).:

26
Tabel 2.9 Ubahan pola aliran dendritik (Howard, 1967 ; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik yang sudah mulai berkembang
proses-proses struktur. Modifikasi dari pola
dendritik akibat pengaruh dari topografi dan
struktur

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik, pada umumnya berkembang
pada batuan bertekstur halus dengan material
yang mudah tererosi. Tidak ada kontrol struktur

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik, pada umumnya berkembang
pada lingkungan floodplains, deltaic, dan tidal
marshes serta terdapat didaerah dataran banjir,
delta dan rawa, pasang surut.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran dendritik, pada umumnya berkembang
pada lingkungan alluvial fans dan deltaic.
bentuknya menyerupai kipas, terdapat pada
kipas aluvial dan delta.

Tabel 2.10 Ubahan pola aliran paralel (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik


Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola
aliran dendritik, pada umumnya berkembang
pada morfologi dengan kemiringan menengah.
Dikontrol oleh lereng, litologi, dan struktur,
Lapisan batuan relatif seragam resistensinya.

27
Pola aliran ini relatif sejajar berbentuk kelurusan
aliran yang muncul dan tenggelam pada
pematang pasir. Kelurusan sungai atau aliran
yang selang – seling antara muncul dan tidak,
memanjang diantara punggungan bukit pasir
pada gurun pasir landai dan loess

Tabel 2.11 Ubahan pola aliran trellis (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik


Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola
aliran trellis, pada umumnya berkembang pada
morfologi homoklin.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran trellis. Kelurusan sungai – sungai besar
sebagai kelurusan sesar, menunjukkan graben
dan horst secara bergantian.

Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola


aliran trellis. Kontrol strukturnya adalah kekar,
ditandai oleh aliran sungai yang pendek –
pendek, lurus, dan sejajar.

28
Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola
aliran trellis, pada umumnya berkembang pada
daerah penunjaman lipatan.

Tabel 2.12 Ubahan pola aliran rectangular (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik


Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola
aliran rectangular. Kelokan tajam dari sungai
akibat sesar, kelurusan anak sungai akibat
kekar, pada litologi berbutir kasar, Biasanya
angulate dan rectangular terdapat bersama
dalam satu daerah.

Tabel 2.13 Ubahan pola aliran radial (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik


Pola aliran ini merupakan pola ubahan dari pola
aliran radial. Pola ini berhubungan dengan
kawah, kaldera, dolena besar atau uvala,
beberapa pola centripetal yang bergabung
menjadi multicentripetal.

Tabel 2.14 Ubahan pola baru (Howard, 1967; dalam Thornbury, 1969)

Pola Aliran Ubahan Karakteristik


Ada lebih dari satu pola dasar yang bergabung
dalam satu daerah. Kontrol struktur, topografi
dan litologi sangat dominan, terdapat didaerah
“Melange”.

29
Terdiri dari dua pola kontemporer. Kombinasi
pola radial dan anular yang merupakan sifat
kubah.

Sungai tua atau pola tua yang sudah


ditinggalkan dan membentuk pola baru.
Merupakan daerah pengangkatan baru.

Stadia / tingkatan bentang alam dinyatakan untuk mengetahui seberapa jauh

tingkat kerusakan yang telah pada bentang alam saat ini. Tingkatan dalam

geomorfologi ditandai oleh beberapa sifat – sifat tertentu yang spesifik yang dapat

diamati, bukan ditentukan oleh seberapa tua umur dari bentang alam tersebut.

Penentuan stadia geomorfologi suatu daerah harus memperhatikan berbagai aspek

seperti proses pelarutan, denudasional dan stadia sungai yang telah terbentuk pada

daerah yang akan diamati. Penentuan stadia daerah pada dasarnya untuk

mengetahui proses – proses geologi yang telah berlangsung pada daerah tersebut

30
hingga sejauh mana proses geologi merubah bentukan suatu daerah tersebut.

Proses tersebut dapat berupa proses endogen (sesar, lipatan, intrusi, magmatisme)

dan proses eksogen (erosi, pelapukan, transportasi). Stadia daerah penelitian

dikontrol oleh litologi, struktur geologi dan proses geomorfologi. Perkembangan

stadia daerah pada dasarnya menggambarkan seberapa jauh morfologi daerah

telah berubah dari morfologi aslinya.

Menurut Lobeck (1939), stadia daerah dibagi menjadi tiga dan mempunyai

ciri tersendiri (Gambar 2.4), yaitu :

1. Stadia Muda

Dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan lembah sungai yang

lebih curam dimana erosi vertikal lebih dominan, gradien sungai besar,

arus sungai deras, lembah berbentuk “V”, terkadang dijumpai air terjun

dan danau, kondisi geologi masih orisinil atau umumnya belum

mengalami proses deformasi.

2. Stadia Dewasa

Dicirikan oleh lembah sungai yang membesar dan dalam dari

sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam, dengan tingkat gradien

sungai sedang, aliran sungai berkelok-kelok, terdapat meander pada

sungai, pada umumnya tidak dijumpai keberadaan air terjun maupun

danau, tingkat erosi vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembah

sungainya berbentuk “U” yang menandakan proses erosi lateral pada

daerah tersebut.

31
3. Stadia Tua

Dicirikan oleh lembah dan sungai meander yang lebar, erosi lateral

lebih dominan dibandingkan erosi vertikal karena permukaan erosi

sudah mendekati ketingkat dasar muka air.

Gambar 2.4 Stadia daerah menurut Lobeck (1939)

Urutan proses mulai dari stadia muda sampai stadia tua dapat kembali

berulang menjadi seperti stadia muda lagi apabila terjadi peremajaan ulang

(rejuvenation) atas suatu bentang alam. Proses peremajaan ulang (rejuvenation)

terbentuk apabila pada daerah yang sudah mengalami stadia tua terjadi suatu

proses epirogenesis atau orogenesis, maka daerah dengan stadia tua tersebut

terangkat kembali. Daerah yang terangkat ini akan tersayat atau tertoreh lagi oleh

proses eksogenik maupun oleh sungai – sungai yang mengalir di daerah tersebut

yang mengakibatkan perubahan bentukan stadia morfologi menjadi stadia muda

32
dengan tingkat erosi daerah muda lagi. Stadia peremajaan ulang ini juga dicirikan

dengan daerah topografi yang datar sampai bergelombang lemah karena tingkat

pelapukan yang sangat intensif yang berjalan sangat lama sehingga kenampakan

morfologi menjadi sangat datar. Kenampakan stadia sungai pun juga sangat lebar,

atau erosi lateral sagat dominan dan erosi vertikal tidak ada dengan arus yang

sangat kuat didalamnya.

Menurut Thornbury (1969) tingkat stadia sungai dapat dibagi menjadi tiga

stadia seperti yang terdapat dalam Tabel 2.15.

Tabel 2.15 Tingkat stadia sungai menurut Thornbury (1969)

Karakteristik :
1. Anak sungai dan parit dalam jumlah
banyak mengalir dan masuk ke dalam
alur lembah.
2. Ada beberapa badan sungai
konsekuen, tetapi merupakan anak
Stadia Muda sungai utama.
3. Lembah akan mempunyai profil
berbentuk “V”, agak dalam atau
sangat dalam, tergantung ketinggian
regional di atas muka air laut.
4. Umumnya tidak memiliki dataran
banjir dan batas antar sungai susah
untuk dipisahkan.
5. Danau dan rawa mungkin ada pada
bekas sungai musiman yang kering,
jika ketinggian air sungai tidak
terlalu tinggi dibandingkan batas
ketinggian air tanah.
6. Kemungkinan muncul air terjun,
biasanya pada litologi yang resisten.
Hal ini merupakan ciri khas pada
stadia muda.

33
Karakteristik :
1. Lembah semakin luas, sehingga
sungai secara regional mempunyai
banyak aliran sungai sendiri.
2. Beberapa litologi pada dasar dan
tebing sungai mungkin muncul akibat
Stadia Dewasa erosi oleh arus sungai.
3. Batas penyebaran sungai jelas dan
cabang sungai tidak terlalu banyak.
4. Semua danau dan air terjun yang
muncul pada stadia muda akan hilang
pada stadia ini.
5. Dataran banjir terbentuk sepanjang
sungai utama dan bahkan akan
membentuk lantai lembah.
6. Kelokan sungai muncul intensif,
bedanya dengan stadia muda, pada
stadia muda agak jarang terdapat
kelokan sungai.
7. Luas dataran lembah tidak lebih besar
dari luas sabuk kelokan sungai yang
ada.
8. Relief atau topografi tertinggi
kemungkinan akan muncul pada stadia
ini.

Karakteristik :
1. Anak sungai banyak bermunculan
dibandingkan dengan stadia dewasa.
2. Lembah sungai rendah dan dataran
Stadia Tua serta lembah sungai lebih luas
dibandingkan kelokan sungai.
3. Sungai musiman sudah tidak terlihat
dan batas antar sungai tidak sejelas
pada stadia dewasa.
4. Danau dan rawa mungkin muncul
namun tidak sama jenisnya seperti
pada stadia muda.
5. Kelokan sungai telah menjadi
kelokan beranyam serta tinggi muka
air sungai sama dengan tinggi tingkat
erosi.

34
2.2.2.2. Analisis Stratigrafi

Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang membahas aturan, hubungan

dan kejadian (genesa) macam – macam batuan di alam berdasarkan ruang dan

waktu, sedangkan dalam arti sempit adalah ilmu pemerian batuan menurut Sandi

Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996). Pengerjaan peta geologi

daerah penelitian menggunakan metode pengelompokan satuan batuan

berdasarkan pada penyebaran batuan tersebut dari hasil pemetaan geologi dengan

melihat kesamaan ciri fisik litologi yang dominan, kombinasi jenis batuan, dan

gejala – gejala lain yang dapat diamati secara langsung di lapangan dan mengacu

pada geologi regional daerah penelitian menurut Effendy, dkk. (1998). Metode

pengelompokan satuan batuan mengacu pada litostratigrafi tidak resmi

(Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), yaitu penamaan satuan batuan berdasarkan pada

litologi yang dominan pada penyusun satuan batuan tersebut dan diikuti

formasinya.

Penarikan batas satuan batuan dilakukan dengan cara interpolasi dan

ekstrapolasi. Interpolasi adalah metode penarikan batas satuan berdasarkan

kuantitas lokasi pengamatan yang didapatkan di lapangan. Sedangkan ekstrapolasi

adalah metode penarikan batas satuan dengan menumpang susunkan (overlay)

peta spasial seperti peta topografi dan citra DEMNAS. Hal tersebut

memperhatikan keadaan dan karakteristik singkapan yang dijumpai di lapangan

dengan mempertimbangkan logika dan konsep geologi yang diaplikasikan di

lapangan. Untuk memperkirakan batas satuan yang tidak tegas, dilakukan

pendekatan hukum “V” (Tabel 2.16). Hukum ini menyatakan hubungan antara

lapisan yang mempunyai kemiringan dengan relief topografi yang menghasilkan

35
suatu pola singkapan. Morfologi yang berbeda akan memberikan pola singkapan

yang berbeda meskipun dalam lapisan dengan tebal dan dip yang sama. Hukum

“V” digunakan untuk mengetahui pola penyebaran dari singkapan sehingga

memudahkan untuk mendeterminasi kearah mana kira – kira singkapan berlanjut.

Jika lapisan batuan mempunyai kemiringan 0o – 5o, maka akan memberikan

gambaran arah penyebaran batuan yang mengikuti garis kontur dan jika lapisan

batuan tersebut memiliki kemiringan yang lebih besar dari 60o – 90o, maka akan

memberikan gambaran penyebaran batuan yang tegak lurus dan membelah lereng.

Hukum tersebut sebagai berikut :

Tabel 2. 16 Ekspresi hukum “V” yang menunjukkan hubungan kedudukan


perlapisan batuan dengan morfologi (dalam Lisle, 2004).

Ekspresi Hukum “V” Keterangan


Lapisan dengan kemiringan yang berlawanan
arah dengan arah slope akan membentuk pola
singkapan berbentuk huruf “V” yang
memotong lembah dimana pola penyebaran
singkapannya berlawanan dengan arah slope.

Lapisan horizontal akan membentuk pola


penyebaran singkapan yang mengikuti pola
garis kontur.

Lapisan dengan kemiringan yang searah


dengan arah slope, dimana besar kemiringan
lapisan batuan lebih kecil daripada slope,
maka pola penyebaran singkapannya akan
membentuk huruf “V” yang berlawanan
dengan arah slope.

36
Lapisan dengan kemiringan yang searah
dengan arah slope, dimana besarnya
kemiringan lapisan batuan sama dengan
besarnya slope, maka pola penyebaran
singkapannya akan terpisah oleh lembah.

Lapisan dengan kemiringan yang searah


dengan arah slope, dimana kemiringan
lapisan batuan lebih besar daripada slope,
maka pola penyebaran singkapannya akan
membentuk huruf “V” yang mengarah sama
dengan arah slope

Lapisan tegak akan membentuk pola


penyebaran singkapan berupa garis lurus,
dimana pola penyebaran singkapannya tidak
dipengaruhi oleh keadaan topografi

2.2.2.3. Analisis Struktur Geologi

Struktur geologi daerah penelitian ditentukan berdasarkan Analisis citra

SRTM, analisis kelurusan, pengamatan unsur – unsur struktur geologi dan hasil

analisis dari data – data pengukuran di lapangan. Dalam mempelajari struktur

geologi yang berkembang pada daerah penelitian dan untuk mencoba

menerangkan proses serta mekanisme struktur pada daerah penelitian dilakukan

pendekatan dengan model struktur yang dikemukakan oleh Moody dan Hill

(1967). Konsep tersebut menerangkan mengenai struktur geologi pada batuan

sebagai akibat adanya gaya kompresi yang disebabkan oleh tektonik atau gerak –

gerak lempeng tektonik. Model ini pada dasarnya membagi struktur geologi

menjadi beberapa orde, apabila gaya dari orde 1 kuat maka akan menghasilkan

37
gaya kompresi untuk orde 2 dan orde 3 (Gambar 2.5) dengan kata lain akan

menghasilkan turunan gaya, apabila gaya 1 lemah, maka hanya orde 1 saja yang

akan terbentuk dan sebaliknya.

Gambar 2.5 Model struktur geologi (Moody dan Hill, 1967).

2.2.2.3.1. Kekar

Kekar (joint) adalah struktur rekahan dalam batuan yang belum mengalami

pergeseran, merupakan hal yang umum bila terdapat pada batuan dan bisa

terbentuk pada setiap waktu. Pada batuan sedimen, kekar bisa terbentuk mulai

pada saat pengendapan atau terbentuk setelah pengendapan, dalam batuan beku

bisa terbentuk akibat proses pendinginan maupun setelah pendinginan. Dalam

proses deformasi, kekar bisa terjadi pada saat sebelum, mendekati proses akhir,

atau bersamaan dengan terbentuknya, seperti sesar atau lipatan. Selain itu kekar

38
bisa terbentuk sebagai struktur penyerta dari struktur sesar maupun lipatan yang

diakibatkan oleh tektonik. Kekar dapat di kelompokan berdasarkan cara terjadinya

antara lain :

1. Kekar yang di akibatkan oleh pendinginan magma pada batuan beku

a. Kekar pada pembekuan lava

b. Columnar Joint

c. Sheeting Joint

2. Kekar sebagai struktur penyerta liapatan (Gambar 2.6), antara lain :

Gambar 2.6 Tipe Rekahan (Whitten dan Brook,1972, dalam Soklani, 2008).

a. Longitudinal Joint ; Rekahan yang mempunyai arah sejajar dengan

perlapisan atau jurus batuan.

b. Transverse atau Cross Joint ; Rekahan yang mempunyai jurus sejajar

dengan kemiringan batuan.

c. Diagonal Joint atau Oblique ; Kekar yang berpotongan dengan jurus

dan kemiringan batuan.

3. Berdasarkan cara terjadinya (tektonik), dikelompokan menjadi dua antara

lain :

39
a. Shear (kekar gerus), yang terjadi akibat adanya tegasan atau gaya

kompresional.

b. Tension (kekar tarikan), Kekar tarikan dapat dibedakan menjadi :

 Extension Joint, yaitu kekar tarik yang bidang rekahnya searah

dengan tegasan. Kekar jenis inilah yang biasanya terisi oleh

cairan hidrotermal yang kemudian berubah menjadi vein.

 Release Joint, yaitu kekar tarik yang terbentuk akibat hilangnya

atau pengurangan tekanan, orientasinya tegak lurus terhadap

gaya utama. Struktur ini sering disebut Stylolite.

Pemodelan dan analisis kekar menggunakan pendekatan klasifikasi Billings

(1972) yang menerangkan mengenai struktur geologi pada batuan sebagai akibat

adanya gaya kompresi yang disebabkan oleh tektonik (Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Jenis kekar berdasarkan genesa (Billings,1972).

2.2.2.3.2. Sesar

Sesar atau patahan adalah rekahan pada batuan yang telah mengalami

pergeseran melalui bidang rekahnya. Suatu sesar dapat berupa bidang sesar (Fault

40
Plane), atau rekahan tunggal. Tetapi lebih sering berupa jalur sesar (Fault Zone),

yang terdiri dari lebih dari satu sesar yang saling berhubungan baik di dalam

permukaan maupun di permukaan, misalnya pada sesar naik (thrust fault) akan

menunjukan 4 tipe hubungan yang berbeda (Gambar 2.8), dan pehentian suatu

sesar utama akan menunjukan suatu pergerakan struktur geologi atau sesar yang

lain (Ragan, 2009).

Gambar 2.8 Model perbedaan percabangan kemiringan pada sesar naik (Boyer
dan Elliot, 1982, dalam Ghosh, 1994).

Klasifikasi sesar umumnya berdasarkan pergerakan blok sesar (Gambar 2.9)

dan dapat dibagi menjadi beberapa kelas sebagai berikut :

1. Umum : turun, naik (termasuk “Thrust” sesar anjakan/sungkup), sesar

mendatar, untuk sesar naik dibagi menjadi reverse fault dan thrust fault

dimana perbedaan thrust fault dan reverse fault terletak pada

kemiringan bidang sesar, jika thrust fault mempunyai kemiringan

bidang sesar kurang dari 45° maka reverse fault mempunyai kemiringan

lebih dari 45° (McClay, 1981, dalam Twiss dan Moore, 1992).

2. Sifat pergeseran : slip (gerak sebenarnya), separation (gerak semu).

3. Sifat gerak terhadap bidang sesar : dip slip, strike slip, oblique slip.

41
Gambar 2.9 Pergerakan relatif blok – blok sesar (Twiss dan Moore, 1992).

Untuk menentukan penamaan jenis sesar di gunakan klasifikasi penamaan

sesar menurut Richard (1972) (Gambar 2.10) berdasarkan nilai bidang sesar dan

nilai rake nya baik didapat dari pengukuran langsung pada bidang atau dengan

analisis stereografis.

Gambar 2.10 Klasifikasi penamaan sesar (Richard, 1972).

Menurut Hill (1976, dalam Davis 1996), gejala-gejala adanya sesar berupa

struktur penyerta dapat dijumpai pada (fault surface), jalur sesar (fault zone), atau

42
bidang sesar (fault plane), sehingga struktur penyerta tersebut dapat membantu

dalam analisis jenis dan pergerakan sesar. Mason L. Hill menyimpulkan bahwa

pergerakan sesar membentuk struktur penyerta yang memiliki pola sedemikian

rupa (Gambar 2.11).

Gambar 2.11 Hubungan struktu penyerta terhadap arah pergerakan sesar (Hill,
1976, dalam Davis, dkk., 1994).

1. Lipatan penyerta (microfold) dan seretan (drag)

Micro fold adalah lipatan minor yang terbentuk jika pada pergeseran

sesar melibatkan satuan batuan dengan sifat dominan plastis atau deuctile

dapat menghasilkan struktur lipatan (micro fold) yang terdapat pada jalur

sesar. Orientasi micro fold ini dapat digunakan untuk menentukan slip

(pergerakan sesungguhnya). Drag atau struktur adalah gejala penyerta

pada bidang sesar yang menunjukan mekanisme pergerakan relatifnya.

(Hill, 1976 ; dalam Davis, 1996).

2. Gash Fracture

Merupakan kekar penyerta pada suatu patahan yang memiliki bentuk

terbuka pada bidang rekahannya dan biasanya telah terisi oleh mineral –

mineral tertentu (Hill, 1976 ; dalam Davis , 1996).

43
3. Shear Fracture

Merupakan kekar penyerta patahan yang berbentuk berpasabg pasangan

yang searah dengan jumlah yang relatif banyak (Hill, 1976, dalam

Davis, 1996).

2.2.2.3.2. Lipatan

Lipatan merupakan hasil perubahan bentuk suatu bahan yang ditunjukkan

sebagai lengkungan atau kumpulan lengkungan pada unsur garis atau bidang di

dalam bahan tersebut, yang disebabkan oleh dua macam mekanisme gaya yaitu

buckling (melipat) dan bending (lengkungan) (Gambar 2.12). Lipatan dapat

dijumpai dalam berbagai bentuk (geometri), yang disebut sebagai “fold style” dan

ukuran. Variasi geometri lipatan terutama tergantung pada sifat dan keragaman

bahan, dan asal kejadian mekanik pada saat proses perlipatan. Beberapa titik pada

profil permukaan dideskriksikan antara lain (Gambar 2.13) :

- Hinge point adalah titik maksimun pelengkungan pada lipatan

- Crest adalah titik tertinggi pada pelengkungan

- Trough adalah titik terendah pada pelengkungan

- Inflection point adalah batas dari dua pelengkungan yang berlawanan

- Fold axis (sumbu lipatan/hinge line) adalah garis maksimum

pelengkungan pada suatu permukaan bidang yang terlipat.

- Axial plane (bidang sumbu) adalah bidang yang dibentuk melalui garis-

garis sumbu pada suatu lipatan. Bidang ini tidak selalu berupa bidang

lurus (planar), tetapi dapat melengkung yang umum disebut sebagai

axial surface.

44
- Fold limb (sayap lipatan) adalah sisi-sisi dari bidang yang terlipat yang

berada diantara daerah pelengkungan (hinge zone) dan batas

pelengkungan (inflection line).

Gambar 2.12 Mekanisme gaya penyebab terbentuknya suatu lipatan


(Prastistho, 1993).

Gambar 2.13 Unsur – unsur lipatan (Fleuty, 1964).

45
Dalam rekontruksi lipatan dilakukan berdasarkan hasil pengukuran

kedudukan lapisan dari lapangan, atau pembuatan penampang dari peta geologi.

Indikasi yang dapat tercermin pada penampang maupun peta berupa keberadaan

arah kemiringan yang saling berlawanan atau bertemu pada suatu titik. Metode

yang digunakan adalah Kink (Kink methode). Metode ini cukup umum untuk

lipatan yang menunjukan penurunan dengan interval yang seragam dan kemudian

berubah secara tiba-tiba, dengan kata lain metode ini akan menunjukan tekukan

sudut daripada lengkungan. Dasar dari metode ini adalah anggapan bahwa lipatan

merupakan bentuk lurus dengan pusatnya adalah perpotongan antara sumbu–

sumbu kemiringan yang berdekatan dengan ketebalan batuan yang selalu konstan.

Langkah pertama dalam rekonstruksi penampang dengan menggunakan kink

method (metode Kink) yaitu menyajikan data kedudukan lapisan dan data batas

satuan stratigrafi sebagai data dasar. Kemudian membuat garis – garis tegak lurus

terhadap kemiringan lapisan pada setiap lokasi pengukuran. Garis – garis tersebut

akan saling berpotongan di titik “M” (Gambar 2.14). titik “M” tersebut merupakan

sudut pembagian antara kedudukan satu dengan kedudukan lainnya (Gambar

2.14).

Gambar 2.14 Rekonstruksi lipatan dengan metode Kink (Kink method)

46
Tabel 2. 17 Klasifikasi lipatan berdasarkan kemiringan
hinge surface dan hinge line (Fleuty, 1964).

Sudut Istilah Hinge-surface Hinge-line


0o Horizontal Recumbent fold Horizontal fold
1o – 10o Subhorizontal Recumbent fold Subhorizontal fold
10o – 30o Gentle Gently inclined fold Gentle plunging fold
30o – 60o Moderate Moderately inclined fold Moderate plunging fold
60o – 80o Steep Steeply inclined fold Steeply inclined fold
80o – 89o Subvertical Upright fold Vertical fold
90o Vertical Upright fold Vertical fold

2.2.3. Analisis Laboratorium

Pada tahapan ini peneliti melakukan analisis petrografi dan paleontologi dari

pengamatan contoh batuan yang didapat dari daerah penelitian. Hal tersebut

dilakukan untuk menunjang data dari penelitian lapangan yang telah diperoleh

langsung dari daerah penelitian.

2.2.2.4. Analisis Petrografi

Pada tahapan ini peneliti melakukan analisis petrografi, yaitu pengamatan

contoh batuan yang didapat dari daerah penelitian yang kemudian disayat pada

preparat setebal ± 0,03 mm, analisis sayatan tipis pada masing – masing sampel

dilakukan dengan mikroskop polarisasi untuk mengidentifikasi mineral – mineral

penyusun utama dan mineral sekunder dengan melihat kenampakan pada nikol

sejajar, nikol bersilang dan kenampakan gips.

Dasar penamaan batuan vulkanik secara mikroskopis digunakan diagram

QAPF Streckeisen (1976 dalam Le Maitre, 2002) yang disajikan pada Gambar

47
2.16, sedangkan untuk batuan piroklastika digunakan klasifikasi Schmid (1981)

(Gambar 2.16). Penamaan batuan sedimen secara mikroskopis menggunakan

klasifikasi batupasir terigen berdasarkan komposisi kuarsa, feldspar, dan fragmen

batuan terhadap persentase kehadiran matrik dalam tubuh batuan menurut

Pettijohn (1975) (Gambar 2.17) dan klasifikasi batuan sedimen campuran

berdasarkan persentase kehadiran material silisiklastik (feldspar, kuarsa), mud,

dan butiran karbonat menurut Mount (1985) (Gambar 2.18), klasifikasi batuan

karbonat berdasarkan pada butiran (fragmen), matriks atau lumpur karbonat, dan

pori (terbuka atau terisi sparit) menurut Folks (1962) (Gambar 2.19).

Gambar 2.15 Klasifikasi penamaan batuan vulkanik berdasarkan presentase


Kuarsa (Q), Alkali feldspar (A), Plagioklas (P), Felsdpatoid (F)
(Streckeisen, 1976 dalam Le Maitre, 2006)

48
Gambar 2.16 Diagram ternary untuk klasifikasi piroklastik berdasarkan tipe
material, Pettijohn (1975) dan Harper & Row, Schmid (1981)

Gambar 2.17 Klasifikasi batupasir terigen berdasarkan komposisi kuarsa, feldspar,


dan fragmen batuan terhadap persentase kehadiran matrik dalam
suatu tubuh batuan (Pettijohn, 1975).

49
a)

b)

c)

Gambar 2.18 Klasifikasi batuan karbonat menurut Folk (1962). a) spektrum


tekstur untuk deposit karbonat, b) skala butir dan ukuran kristal
untuk batuan karbonat, c) tabel klasifikasi graphic batugamping

50
2.2.4. Checking Lapangan

Checking merupakan kegiatan lapangan yang dilakukan bersama dengan

dosen pembimbing yang memiliki tujuan untuk meninjau hasil dari analisis

kondisi geologi oleh peneliti dengan kondisi lapangan oleh dosen pembimbingan

demi keakuratan hasil penelitian yang telah disusun baik dalam bentuk peta

maupun naskah.

2.2.4. Presentasi Kolokium

Presentasi kolokium merupakan tahapan yang dilakukan sebelum ujian

tugas akhir 2 / TA 2 yang di presentasikan dihadapan dosen pembimbing dan

audien untuk mempertanggungjawabkan hasil penelitian yang telah dilakukan.

2.2.5. Ujian Tugas Akhir 2

Tahap ini merupakan tahap akhir dari seluruh rangkaian kegiatan penelitian.

Pada tahap ini laporan yang telah disusun dalam bentuk naskah tugas akhir, peta

lokasi pengamatan, peta geologi, dan peta geomorfologi dipresentasikan di

hadapan dosen pembimbing dan dosen penguji dalam sidang tertutup untuk

mempertanggungjawabkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan.

2.3. Peralatan dan Bahan

Peralatan yang diperlukan untuk mendukung kelancaran dalam pekerjaan

lapangan maupun pekerjaan laboratorium dan studio ini adalah :

a. Peta Rupabumi Digital Indonesia Lembar Ngawi 1508 – 422, Lembar

Karangjati 1508 – 511 (Bakosurtanal, 1999), Lembar Kalimojo 1508 –

51
424, Lembar Tambakrejo 1508 - 513 (Bakosurtanal, 2000), skala 1 :

25.000

b. Peta Geologi Regional Lembar Ngawi (Datun dkk, 1996) dan Lembar

Bojonegoro (Pringgoprawiro dan Sukido, 1992), skala 1 : 100.000

c. Citra satelit DEMNAS (Anonim, 2018)

d. Kompas geologi

e. Global Positioning System (GPS)

f. Palu geologi

g. Kaca pembesar (loupe)

h. Larutan HCl 0,1 N

i. Kamera

j. Plastik sampel batuan

k. Alat tulis, buku, dan alat gambar

l. Peralatan safety lapangan (kacamata, jas hujan, topi, sarung tangan)

52
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka ini berisi tentang kajian geologi berskala regional

maupun lokal meliputi : tataan tektonik, fisiografi, stratigrafi, dan struktur

geologi daerah penelitian dan sekitarnya. Fisiografi mengacu pada pembagian

zona fisiografi Jawa bagian timur oleh van Bemmelen (1949), stratigrafi regional

mengacu dari Pringgoprawiro dan Sukido (1992); Datun, dkk. (1996), struktur

geologi regional mengacu dari Hall (2012). Masing – masing aspek geologi

tersebut dijelaskan sebagai berikut :

3.1 Tataan Tektonik

Dalam memahami tektonisme Pulau Jawa secara umum dan Jawa Timur

khususnya membutuhkan rekonstruksi tektonik lempeng regional semenjak awal

Jurassic Atas (~ 160 juta tahun lampau), dimana lempeng-lempeng mikro Paparan

Sunda (Sundaland) mulai terpisah dari kontinen induk Gondwana. Dalam hal ini,

acuan utama yang dipergunakan adalah publikasi terakhir dari Hall (2012). Dalam

perjalanan selanjutnya, lempeng-lempeng mikro asal Gondwana tersebut

bertumbukan dan bergabung (amalgamasi) dengan inti Sundaland pada akhir

Kapur Bawah - awal Kapur Atas (Albian - Turonian ~ 110 - 90 jtl). Semenjak itu,

Pulau Jawa berada dalam kondisi tepian benua pasif (passive margin) (Gambar

3.1). Tatanan seperti ini bertahan hingga Awal Eosen. Tingginya genang laut

global (Haq, dkk, 1987) pada akhir Kapur hingga Awal Eosen menyebabkan tidak

adanya sedimentasi yang terjadi secara signifikan di Sundaland.

53
Memasuki Eosen Tengah, proses pemekaran Samudera Hindia mulai

berlangsung di selatan benua Australia, menyebabkan mulainya subduksi di

Palung Sunda (Gambar 3.1). Gaya kontraksi di sepanjang Palung Sunda

menyebabkan terbentuknya berbagai cekungan sedimenter Tersier di Sundaland.

Gambar 3. 1 Tataan lempeng tektonik di awal Tersier (Paleosen) (kiri), dan saat
Eosen Tengah (kanan) (Hall, 2012). Label (1) untuk potongan
lempeng (slab) kerak samudera berumur Oxfordian - Albian,
sedangkan (2) untuk slab kerak samudera berumur Albian -
Turonian.

Bersamaan dengan surutnya genang laut global, proses sedimentasi syn-

rift dapat terbentuk dengan baik di cekungan-cekungan tersebut, termasuk Jawa

Timur. Formasi-formasi seperti Wungkal-Gamping dan Nanggulan menandakan

aktifnya sedimentasi syn-rift di proto Pegunungan Selatan. Di Jawa Timur utara,

Formasi pre-Ngimbang dan Ngimbang diendapkan dengan baik. Seluruh formasi

tersebut merekam pengaruh fluktuasi muka laut global dengan adanya

ketidakselarasan di akhir Eosen Tengah.

Di akhir Eosen Atas, sedimentasi syn-rift terhenti akibat peristiwa

transgresi global. Secara regional, gaya tektonik regangan juga turut berkurang

54
dengan mulainya proses kolisi benua India dengan Asia (Gambar 3.2). Hal ini

juga ditandai dengan berakhirnya proses pemekaran Selat Makassar. Pada akhir

Oligosen Bawah proses penunjaman Palung Sunda yang terjadi semenjak Eosen

Tengah mulai membentuk busur gunungapi (volcanic arc), yang berada di Zona

Pegunungan Selatan. Formasi Kebo-Butak menjadi penanda stratigrafis aktifnya

busur gunungapi tersebut. Kehadiran busur gunungapi memicu terbentuknya zona

cekungan belakang busur (back-arc basin), yaitu Zona Kendeng. Tidak ditemukan

adanya singkapan berumur Oligosen Atas (pra-Pelang) di Zona Kendeng

membuat sulitnya melakukan pembuktian terhadap interpretasi ini. Di bagian

Jawa Timur utara, bersamaan dengan awal surutnya genang laut pada kala itu

Formasi Kujung mulai diendapkan di lingkungan paparan hingga lereng benua.

Gambar 3.2 Tataan lempeng tektonik di Eosen Akhir (kiri), dan saat Oligosen
Awal (kanan) (Hall, 2012).

Saat Oligosen Akhir, kolisi Benua Australia dan Sundaland dimulai

(Gambar 3.3). Akibatnya Sundaland mulai mengalami rotasi berlawanan arah

jarum jam (anti-clockwise rotation), yang dapat mengaktifkan patahan-patahan

batuan alas (basement faults) yang sebelumnya aktif sebagai sesar normal saat

55
periode rifting di Eosen Tengah menjadi sesar geser. Rotasi Oligo-Miosen ini

terekam dengan baik di Zona Rembang, dimana sedimentasi batugamping Prupuh

di lingkungan terumbu menempati tinggian-tinggian batuan alas (basement horst)

yang terinversi naik akibat penyesaran geser mengiringi naiknya genang laut saat

itu. Di Pegunungan Selatan, rotasi Sundaland tersebut mempengaruhi karakter

vulkanisme yang terjadi, ditandai dengan munculnya Formasi Nglanggran yang

bersifat lebih basaltik dibandingkan Formasi Semilir yang juga diendapkan saat

itu. Selain itu, rotasi ini diduga menyebabkan kelanjutan penurunan tektonis Zona

Kendeng, yang kemudian memicu munculnya kompleks batuan alas (basement

core complex) Bayat di tepian cekungan akibat peluncuran gaya-berat

(gravitational gliding) (Husein, 2013).

Gambar 3.3 Tataan lempeng tektonik di Oligosen Akhir (kiri), dan akhir Miosen
Bawah (kanan) (Hall, 2012).

Memasuki akhir Miosen Awal, slab kerak samudera Albian-Turonian

telah habis dikonsumsi Palung Sunda (Gambar 3.3). Akibatnya slab tersebut

terputus dan segmen slab yang baru kemudian tertarik memasuki Palung Sunda

dalam sudut penunjaman yang lebih landai. Meskipun slab kerak samudera

56
tersebut berumur Oxfordian-Albian, lebih tua daripada slab sebelumnya, namun

ujungnya lebih pendek hingga mampu mengungkit segmen lempeng Sundaland

diatasnya. Peristiwa ini menyebabkan berakhirnya periode puncak volkanisme

Pegunungan Selatan. Pengangkatan terjadi merata. Di Pegunungan Selatan

ditandai dengan sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Jaten. Di Zona Rembang,

ketidakselarasan yang dihasilkan peristiwa tektonik ini dikenal dengan nama

Tuban Event, yang memicu sedimentasi batupasir kuarsa Formasi Ngrayong

secara masif dan luas. Di Zona Kendeng meski tidak sedramatik di Zona

Rembang maupun Pegunungan Selatan, ditandai dengan sedimentasi Formasi

Kerek yang diendapkan pada lingkungan yang lebih dangkal dibandingkan

Formasi Pelang.

Pada pertengahan Miosen Akhir, slab Oxfordian-Albian telah masuk ke

Palung Sunda secara merata (Gambar 3.4). Karena slab tersebut lebih tua,

sehingga lebih berat, maka kemudian secara regional terjadi reaktivasi penurunan

cekungan belakang busur (back-arc basin subsidence) Zona Kendeng. Peristiwa

ini secara stratigrafis ditandai dengan sedimentasi Formasi Kalibeng yang

diendapkan pada lingkungan lebih dalam dibandingkan Formasi Kerek di

bawahnya. Penurunan Zona Kendeng memicu kesetimbangan isostatis baru,

dengan reaktifasi patahan blok (block-faulting) di Pegunungan Selatan dan Zona

Rembang. Di Pegunungan Selatan, penyesaran bongkah yang memicu turunnya

batuan alas (basement grabens) mengontrol sedimentasi Formasi Kepek.

Demikian juga di Zona Rembang, dimana penurunan sebagian bongkah-bongkah

batuan alas mengontrol pengendapan sikuen Ledok - Mundu - Selorejo bersamaan

dengan naiknya genang laut saat awal Pliosen. Peristiwa penyesaran bongkah ini

57
di Jawa Timur utara dikenal dengan nama Rembang Event. Memasuki awal

Pleistosen kolisi Timor dengan Busur Volkanik Sunda mulai terjadi (Gambar 3.4).

Hal ini memicu pengangkatan regional di Pulau Jawa. Pegunungan Selatan

mengalami pengangkatan paling intensif, yang ditunjang dengan tingginya tingkat

denudasional pada singkapan batuan gunungapi Oligo- Miosennya. Pengangkatan

Pegunungan Selatan ini kemudian diimbangi secara isostatis oleh pembentukan

Zona Depresi Solo. Zona Kendeng mengalami pengangkatan tidak merata, dimana

bagian barat mengalami inversi dengan kuat, sedangkan bagian timur justru tetap

melanjutkan penurunannya.

Gambar 3. 4 Tataan lempeng tektonik di Miosen Akhir (kiri), dan akhir Pleistosen
(kanan) (Hall, 2012).

Hal ini dikontrol oleh perbedaan sudut kemiringan subduksi slab

Oxfordian-Albian, yang semakin curam ke arah timur karena usia kerak yang

semakin tua. Perbedaan sudut subduksi antara bagian timur dan barat ini juga

mengaktifkan tektonisme sesar geser (wrench tectonic) di Zona Rembang,

menghasilkan Antiklinorium Rembang yang terkontrol pola patahan batuan alas

(basement faults). Pengangkatan Zona Kendeng bagian barat dan Zona Rembang

58
tersebut pun diimbangi secara isostatis dengan pembentukan Zona Depresi

Randublatung. Periode vulkanisme baru Jawa Timur teridentifikasi hadir pada

kala tersebut, kemungkinan berasal dari slab Oxfordian-Albian yang telah

memasuki zona pelelehan sebagian (partial melting window). Busur gunungapi

baru muncul di sebelah utara busur gunungapi Oligo-Miosen (Pegunungan

Selatan), yaitu menempati Zona Solo. Beban deretan tubuh gunungapi Kuarter

Awal tersebut memperkuat proses penurunan Depresi Solo. Sejumlah kecil

gunungapi Pleistosen Awal muncul di cekungan belakang busur (Zona Kendeng),

yaitu Ungaran dan Pandan, bersamaan dengan inversi Zona Kendeng. Seluruh

peristiwa tektonik tersebut di atas terekam dalam kompleksnya pola struktur yang

dijumpai di Jawa Timur, baik di permukaan maupun pada batuan dasarnya.

Berdasarkan kajian tataan tektonik diatas, daerah penelitian menempati

posisi tektonik yang cukup kompleks dimulai dari transisi fase regangan dengan

fase kompresional pada Eosen Atas. Pada fase ini terbentuklah Zona Kendeng

sebagai sebuah cekungan belakang busur. Kemudian pada fase rotasional Oligo-

Miosen memicu adanya penurunan cekungan yang lebih lanjut sehingga

mengendapkan batuan sedimen laut dalam pada fase ini. Pengangkatan Zona

Kendeng berlangsung mulai dari awal Pleistosen yang menyebabkan terbentuknya

sesar-sesar sentuh yang dijumpai pada daerah penelitian.

3.2 Fisiografi

Pulau Jawa mempunyai fisiografi yang khas dimana kondisi geologi

menjadi kontrol utama seperti litologi, struktur geologi dan gejala geologi lainnya

yang menyebabkan bentukan fisiografi khas dari setiap zonanya. Van Bemmelen

59
(1949) membagi fisiografi Jawa bagian timur dibagi menjadi 7 zona fisiografi

yaitu Zona Pegunungan Selatan, Busur Vulkanik Kuarter, Zona Pusat Depresi

Jawa, Zona Kendeng, Zona Randublatung, Zona Rembang, Dataran Aluvial Utara

Jawa. Daerah penelitian terletak pada kubah dan pegunungan pada Zona Kendeng

(Gambar 3.5). Penjelasan mengenai tiap-tiap zona tersebut akan diuraikan pada

beberapa sub-bab di bawah ini.

Gambar 3.5 Peta Fisiografi Pulau Jawa bagian tengah dan timur (Pannekoek, 1949
; van Bemmelen, 1949)

3.2.1 Zona Pegunungan Selatan (Bagian Timur)

Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur merupakan rangkaian pegunungan

yang berada di sisi selatan Pulau Jawa di bagian timur dan memanjang relatif

berarah Timur-Tenggara - Barat-Baratlaut, mulai dari Parangtritis hingga Ujung

Purwo dengan lebar yang tidak selalu sama. Pegunungan Selatan Jawa Timur

bagian barat oleh van Bemmelen (1949) dibagi lagi menjadi tiga satuan

geomorfologi. Bagian selatan yang tersusun oleh perbukitan karst yang

didominasi oleh kerucut karst (connical hill) dan langsung berbatasan dengan

Samudera Hindia disebut sebagai Perbukitan Sewu. Daerah yang berada di

60
sebelah utaranya yang berupa dataran tinggi (plato) disebut sebagai Dataran

Tinggi Wonosari (Plato Wonosari). Daerah paling utara dari Pegunungan Selatan

yang tersusun oleh batuan vulkanik dengan kelerengan terjal hingga sedang

disebut sebagai Igir Baturagung. Bagian utara dari Igir Baturagung berbatasan

dengan Zona Solo. Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat merupakan

suatu cekungan sedimenter gunungapi berumur Eosen - Miosen Tengah yang

ditutupi oleh berbagai fasies batugamping berumur Miosen Tengah - Pliosen,

yang kemudian mengalami pengangkatan dan penyesaran bongkah hingga

kedudukannya relatif termiringkan ke arah selatan (Husein & Srijono, 2007).

Sungai yang mengerosi Pegunungan Selatan umumnya mengalir ke selatan

dan bermuara di Samudera Hindia. Igir-igir utara Pegunungan Selatan umumnya

dierosi oleh sungai-sungai yang mengalir ke arah Zona Solo. Pengecualian terjadi

di Pegunungan Selatan bagian barat, sungai permukaan yang berhulu di Igir

Baturagung dan mengalir ke selatan melalui Plato Wonosari melanjutkan

perjalanannya melalui jalur di bawah permukaan kawasan kars Gunung Sewu

sebagai jaringan sungai bawah tanah (sub-terranean drainage system). Di sebelah

barat Teluk Pacitan, terdapat alur lembah kering memanjang relatif utara-selatan

yang diduga sebagai jejak aliran Sungai Bengawan Solo Purba yang dirompak

(stream piracy) oleh penurunan blok Depresi Baturetno (Husein & Srijono, 2007).

3.2.2 Zona Busur Vulkanik Kuarter

Zona Gunung Api Kuarter, zona ini menempati bagian tengah disepanjang

Zona Depresi Jawa. Gunung api yang tidak menempati Zona Depresi Jawa adalah

Gunung Muria.

61
3.2.3 Zona Pusat Depresi Jawa

Zona depresi merupakan daerah jajaran gunung api tersier. Dulunya zona

depresi merupakan daerah berbukit/bertopografi tinggi lalu runtuh dan muncul

gunung api. Zona ini meliputi subzona Blitar, subzona Solo bagian tengah, dan

subzona Ngawi.

a. Subzona Blitar, subzona ini merupakan jalur depresi yang sempit di antar

pegunungan selatan dan gunungapi muda, serta ditutupi oleh endapan alluvial.

b. Subzona Solo bagian tengah, subzona ini dibentuk oleh daratan gunungapi

vulkanik muda dan dataran – dataran antar pegunungan. Gunung api tersebut

adalah Gunung Lawu, Gunung Wilis, Gunung Kelud, Pegunungan Tengger, dan

Gunung Ijen di ujung timur Pulau Jawa. Sedangkan dataran – dataran antar

gunung apinya adalah Dataran Madiun, Dataran Ponorogo, dan Dataran Kediri.

Dataran antar gunung api pada umumnya dibentuk oleh endapan lahar.

c. Subzona Ngawi, subzona ini merupakan depresi yang berbatasan dengan

Pegunungan Kendeng dibagian utara. Subzona ini pada umumnya dibentuk oleh

endapan alluvial dan endapan gunung api yang kecil.

3.2.4 Zona Kendeng

Zona Kendeng meliputi deretan pegunungan dengan arah memanjang

timur - barat (T-B) yang terletak langsung di sebelah utara Subzona Ngawi.

Pegunungan ini tersusun oleh batuan sedimen laut yang telah mengalami

deformasi secara intensif membentuk suatu antiklinorium (rangkaian perbukitan

antiklin kecil yang tersusun secara paralel dan membentuk struktur antiklin lebih

besar). Pegunungan ini mempunyai panjang 250 km dan lebar maksimum 40 km

62
(de Genevraye & Samuel, 1972) membentang dari Gunungapi Ungaran di bagian

barat ke timur melalui Ngawi hingga daerah Mojokerto. Di bawah permukaan,

kelanjutan zona ini masih dapat diikuti hingga di Selat Madura.

Ciri morfologi Zona Kendeng berupa rangkaian perbukitan rendah dengan

morfologi bergelombang, dengan ketinggian berkisar antara 50 hingga 200 meter.

Morfologi perbukitan yang berarah barat-timur ini mencerminkan adanya

perlipatan dan sesar naik yang berarah barat-timur pula. Intensitas perlipatan dan

anjakan yang mengikutinya mempunyai intensitas yang sangat besar di bagian

barat dan berangsur melemah di bagian timur. Akibat adanya anjakan tersebut,

batas dari satuan batuan yang bersebelahan sering merupakan batas sesar. Lipatan

dan anjakan yang disebabkan oleh gaya kompresi juga berakibat terbentuknya

retakan, sesar dan zona lemah lainnya pada arah tenggara – baratlaut, barat daya-

timur dan utara- selatan.

Di bagian tengah Zona Kendeng, yaitu di baratlaut Nganjuk, sabuk

Antiklinorium Kendeng diterobos oleh tubuh Gunungapi Pandan yang

berumurPleistosen Awal (Lunt et al., 1998). Meski demikian, pola struktur

perlipatan Kendeng di sekitar Gunung Pandan yang mengalami pembelokan

relatif simetris terhadap tubuh gunungapi tersebut mengindikasikan bila

volkanismenya terjadi bersamaan dengan proses pengangkatan tektonis Kendeng

(Pliosen Akhir). Ditinjau dari jarak relatif terhadap deretan busur gunungapi dan

palung subduksi, Gunungapi Pandan berada satu deretan dengan Gunungapi

Ungaran, yaitu menempati posisi volkanisme belakang busur dekat (near back-

arc). Gunungapi Ungaran juga mulai aktif pada waktu bersamaan dengan

Gunungapi Pandan, yaitu Pleistosen Awal (Van Bemmelen, 1949). Proses

63
eksogenik yang berupa pelapukan dan erosi pada daerah ini berjalan sangat

intensif, selain karena iklim tropis juga karena sebagian besar litologi penyusun

Zona Kendeng adalah batulempung-napal-batupasir yang mempunyai

kompaksitas rendah, misalnya pada Formasi Pelang, Formasi Kerek dan Formasi

Kalibeng yang total ketebalan ketiganya mencapai lebih dari 2000 meter. Proses

eksogenik yang intensif juga mampu membalik topografi struktural yang ada

(inversed topography).

Karena proses pengangkatan tektonik yang terus berjalan mulai dari akhir

zaman Tersier hingga sekarang (Husein dkk., 2008), banyak dijumpai teras-teras

sungai di Zona Kendeng yang menunjukkan adanya perubahan temporary base

level. Sungai utama yang mengalir melalui Zona Kendeng adalah Bengawan Solo

yang sebelumnya mengaliri Subzona Ngawi dengan arah aliran barat - timur. Di

Kota Ngawi Bengawan Solo berbelok ke utara, memotong sabuk antiklinorium

Kendeng seraya tetap mempertahankan arah alirannya. Fenomena bertahannya

Bengawan Solo terhadap proses pengangkatan tektonik Kendeng

menyebabkannya dapat dikelompokkan sebagai sungai anteseden.

3.2.5 Zona Depresi Randublatung

Zona Randublatung merupakan suatu depresi atau lembah memanjang

yang berada di antara Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Zona ini

terbentuk daerah amblesan (subsidence) sebagai bagian kesetimbangan isostasi

regional ketika Perbukitan Rembang dan Perbukitan Kendeng mengalami

pengangkatan tektonis di akhir Tersier. Zona ini mencakup daerah Purwodadi,

Cepu, dan Bojonegoro.

64
Sebagai sebuah depresi tektonis, sedimentasi Zona Randublatung terus

aktif semenjak akhir Tersier hingga sekarang, dengan menerima pasokan sedimen

dari Perbukitan Kendeng maupun Perbukitan Rembang. Sistem pengaliran

permukaan (drainage system) di zona ini terbagi dua, yaitu Sistem Lusi di bagian

barat dan Sistem Bengawan Solo di bagian timur. Di bagian barat, sedimentasi

dilakukan oleh Sungai Lusi, yang kemudian bergabung dengan Sungai Serang,

membentuk Delta Serang yang dengan cepat menjadikan pesisir utara Pulau Jawa

sebagai pantai maju. Demikian juga di bagian timur, di mana Sungai Bengawan

Solo terus mengalir ke arah timur dan bergabung dengan pesisir utara Pulau Jawa

sebagai delta di Ujung Pangkah.

3.2.6 Zona Rembang dan Madura

Perbukitan Rembang merupakan suatu perbukitan antiklinorium yang

memanjang dengan arah timur-barat (T-B) di sisi utara Pulau Jawa. Zona

inimembentang dari bagian utara Purwodadi hingga ke Pulau Madura. Lipatan-

lipatan dengan sumbu memanjang berarah timur-barat, dengan panjang dari

beberapa kilometer hingga mencapai 100 km (Antiklin Dokoro di utara

Grobogan). Zona Rembang terbagi menjadi dua, yaitu Antiklinorium Rembang

Utara dan Antiklinorium Rembang Selatan (van Bemmelen, 1949). Antiklinorium

Rembang Selatan juga dikenal sebagai Antiklinorium Cepu. Kedua zona

antiklinorium tersebut dipisahkan oleh lembah aliran Sungai Lusi di bagian barat,

dan lembah aliran Sungai Kening (anak sungai Bengawan Solo) di bagian timur.

Perbukitan lipatan di Zona Rembang umumnya tersusun secara en-echelon

ke arah kiri (left-stepping), mengindikasikan kontrol patahan batuan alas

65
(basement faults) geser sinistral berarah timur-timurlaut - barat-baratdaya yang

membentuk antiklinorium Rembang tersebut. Pola ini dapat diamati pada

rangkaian perbukitan deretan Antiklin Dokoro hingga Antiklin Lodan (baratlaut

Tuban) di Zona Rembang bagian utara, dan rangkaian perbukitan deretan Antiklin

Gabus (baratlaut Randublatung) hingga Antiklin Ledok (utara Cepu). Pola

susunan lipatan en echelon lainnya, yaitu bersifat ke arah kanan (right-stepping),

adalah berarah baratlaut - tenggara, yaitu Antiklin Banyubang (timur Blora)

hingga Antiklin Kindangan (baratlaut Bojonegoro). Pola kedua ini

mengindikasikan adanya kontrol patahan batuan alas (basement faults) geser

kanan yang memanjang baratlaut - tenggara. Sebagaimana Zona Kendeng,

Perbukitan Rembang juga diterobos oleh sebuah gunungapi tua berumur

Pleistosen Bawah (Lunt et al., 1998), yaitu Gunung Suntak (tenggara Rembang).

Gunungapi Suntak muncul tepat pada kelurusan sumbu Antiklin Brama yang

menyingkapkan Formasi Ngrayong berusia Miosen Tengah. Namun berbeda

dengan Gunungapi Pandan di Zona Kendeng yang diduga muncul bersamaan

dengan aktifitas tektonisme pengangkatan Kendeng dan mempengaruhi

pembentukan struktur perlipatan, Gunungapi Suntak diduga muncul setelah proses

tektonisme pengangkatan Rembang dan tidak mempengaruhi pembentukan

Antiklinorium Rembang. Hal ini dapat dilihat dari pola perlipatan di sekitar

gunungapi tersebut yang tidak mengalami pembelokan atau perubahan dari sumbu

antiklin regionalnya. Vulkanisme Suntak diinterpretasikan bersamaan dan

berhubungan dengan vulkanisme Lasem, dimana keduanya berada dalam satu

kelurusan utara-selatan.

66
Proses erosi permukaan tidak seintensif Zona Kendeng, sehingga

pembalikan topografi tidak lazim dijumpai di zona ini. Hal ini disebabkan oleh

litologi penyusun Zona Rembang didominasi batugamping yang bersifat lebih

resisten terhadap erosi. Proses pengelupasan (denudasi) di Zona Rembang hanya

dilakukan oleh sungai-sungai kecil yang bermuara langsung ke pesisir utara Pulau

Jawa, sehingga tidak terbentuk delta-delta yang cukup signifikan di kawasan

tersebut.

3.2.7 Dataran Aluvial Utara Jawa

Zona ini terletak di tepi utara Jawa bagian tengah yang berbatasan

langsung dengan Laut Jawa. Zona ini berada pada sekeliling Gunung Muria dan

berada di sekitar Provinsi Surabaya. Zona ini merupakan zona endapan aluvial

produk sedimentasi dari sungai yang bermuara di Laut Jawa.

Berdasarkan kajian fisiografi di atas, daerah penelitian termasuk ke dalam

fisiografi Zona Depresi Pusat Jawa (Sub Zona Ngawi) yang dicirikan dengan

kenampakan topografi cenderung berupa dataran hingga bergelombang lemah.

Morfologi ini dijumpai di bagian barat daya dan disusun oleh endapan aluvial

serta Zona Kendeng yang dicirikan dengan kenampakan topografi perbukitan

yang tidak terlalu tinggi (<100 m). Kenampakan kelurusan terlihat memiliki pola

barat-timur yang merupakan pola tektonik Jawa yang terbentuk akibat

pengangkatan regional Pulau Jawa pada Pleistosen (Hall, 2012). Keberadaan

kelurusan yang berarah barat-timur pada daerah penelitian mencerminkan adanya

perlipatan dan sesar naik yang berarah barat-timur pula. Fisiografi Zona Kendeng

mendominasi daerah penelitian.

67
3.3 Stratigrafi

Penelitian tentang stratigrafi regional telah dilakukan oleh Pringgoprawiro,

dkk. (1992); Datun, dkk. (1996) (Tabel 3.1), yang kemudian tergambarkan dalam

Peta Geologi Lembar Bojonegoro dan Peta Geologi Lembar Ngawi (Gambar 3.6).

Gambar 3.6 Peta Geologi daerah penelitian dalam Peta Geologi Lembar
Bojonegoro (Pringgoprawiro, dkk. 1992), dan Peta Geologi Lembar Ngawi (Datun,
dkk. 1996)

68
Tabel 3.1 Tabel stratigrafi daerah penelitian dalam Peta Geologi Lembar
Bojonegoro (Pringgoprawiro, dkk. 1992), dan Peta Geologi Lembar Ngawi (Datun,
dkk. 1996)

Stratigrafi penyusun Zona Kendeng merupakan endapan laut dalam di

bagian bawah yang semakin ke atas berubah menjadi endapan laut dangkal dan

akhirnya menjadi endapan non laut. Stratigrafi di pada zona penelitian tersusun

atas :

1. Formasi Kerek (Tmk)

Formasi Kerek memiliki kekhasan dalam litologinya berupa perulangan

perselang-selingan antara lempung, napal, batupasir tuf gampingan dan batupasir

tufaan. Perulangan ini menunjukkan struktur sedimen yang khas yaitu perlapisan

bersusun (graded bedding). Lokasinya berada di Desa Kerek, tepi sungai

Bengawan Solo, ± 8 km ke utara Ngawi. Di daerah sekitar lokasi tipe formasi ini

terbagi menjadi tiga anggota (de Genevraye & Samuel, 1972 dalam Rahardjo,

2004), dari tua ke muda masing-masing :

69
a. Anggota Banyuurip

Anggota Banyuurip tersusun oleh perselingan antara napal lempungan,

lempung dengan batupasir tuf gampingan dan batupasir tufaan dengan

total ketebalan 270 meter. Di bagian tengahnya dijumpai sisipan batupasir

gampingan dan tufaan setebal 5 meter, sedangkan bagian atasnya ditandai

dengan adanya perlapisan kalkarenit pasiran setebal 5 meter dengan

sisipan tuf halus.

b. Anggota Sentul

Anggota Sentul tersusun atas perulangan yang hampir sama dengan

anggota Banyuurip, tetapi lapisan yang bertuf menjadi lebih tebal.

Ketebalan anggota Sentul mencapai 500 meter.

b. Anggota Batugamping Kerek

Merupakan anggota teratas dari Formasi Kerek, tersusun oleh perselingan

antara batugamping tufaan dengan perlapisan lempung dan tuf. Ketebalan

anggota ini mencapai 150 meter.

2. Formasi Kalibeng (Tmpk)

Formasi ini terbagi menjadi dua bagian yaitu bagian bawah dan bagian

atas. Bagian bawah formasi Kalibeng tersusun oleh napal tak berlapis setebal 600

meter, berwarna putih kekuning-kuningan sampai abu-abu kebiru-biruan, kaya

akan kanndungan foraminifera plangtonik.

a. Formasi Kalibeng bagian bawah

Formasi Kalibeng bagian bawah ini terdapat beberapa perlapisan tipis

batupasir yang ke arah Kendeng bagian barat berkembang menjadi suatu

70
endapan aliran rombakan, yang disebut sebagai Formasi Banyak (Harsono,

1983 dalam Rahardjo, 2004) atau anggota Banyak dari Formasi Kalibeng

(Nahrowi dan Suratman, 1990 dalam Rahardjo, 2004), ke arah Jawa

Timur, yaitu di sekitar Gunung Pandan, Gunung Antasangin dan Gunung

Soko, bagian atas formasi ini berkembang sebagai endapan vulkanik laut

yang menunjukkan struktur turbidit. Fasies tersebut disebut sebagai

anggota Antasangin (Harsono, 1983 dalam Rahardjo, 2004).

b. Formasi Kalibeng bagian atas

Bagian atas dari formasi ini oleh Harsono (1983) disebut sebagai Formasi

Sonde, yang tersusun mula-mula oleh Anggota Klitik (Tpk) yaitu

kalkarenit putih kekuning-kuningan, lunak, mengandung foraminifera

plangtonik maupun besar, moluska, koral, algae dan bersifat napalan atau

pasiran dengan berlapis baik. Bagian paling atas tersusun atas breksi

dengan fragmen gamping berukuran kerikil dan semen karbonat.

Kemudian disusul endapan napal pasiran, semakin keatas napalnya bersifat

semakin bersifat lempungan. Bagian teratas ditempati oleh lempung

berwarna hijau kebiru-biruan. Formasi Sonde ini ditemukan sepanjang

sayap lipatan bagian selatan antiklinorium Kendeng dengan ketebalan

berkisar 27 – 589 meter dan berumur.

3. Formasi Pucangan (QTp)

Formasi Pucangan berkembang sebagai fasies vulkanik dan fasies

lempung hitam. Fasies vulkaniknya berkembang sebagai endapan lahar yang

menumpang diatas Formasi Kalibeng. Fasies lempung hitamnya berkembang dari

fasies laut, air payau hingga air tawar. Di bagian bawah dari lempung hitam ini

71
sering dijumpai adanya fosil diatomae dengan sisipan lapisan tipis yang

mengandung foraminifera bentonik penciri laut dangkal. Semakin ke atas akan

menunjukkan kondisi pengendapan air tawar yang dicirikan dengan adanya fosil

moluska penciri air tawar.

4. Endapan Aluvial (Qal)

Endapan ini terdiri dari material lepas berukuran lempung hingga

bongkah. Terendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Pucangan.

Lokasi daerah penelitian termasuk ke dalam berada di daerah Kiyonten

dan sekitanya, Kecamatan Kasreman, Kabupaten Ngawi. Kolom stratigrafi pada

daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Berdasarkan kajian stratigrafi diatas, daerah penelitian tersusun atas

beberapa formasi antara lain : Formasi Kerek, Formasi Kalibeng, Formasi Klitik,

Formasi Pucangan, dan Endapan Aluvial. Pada Formasi Kerek lebih didominasi

oleh batupasir karbonatan berlapis baik dengan sisipan batulempung karbonatan.

Formasi Kalibeng menindih secara selaras diatas Formasi Kalibeng dengan

litologi berupa batulempung karbonatan dengan struktur masif yang kemudian

berubah menjadi batugamping coral hingga batugamping klastika yang masuk ke

dalam Formasi Klitik. Pengangkatan pada kala Pleistosen menyebabkan adanya

ketidakselarasan anatara Formasi Klitik dan Formasi Pucangan yang tersusun atas

litologi berupa breksi, batupasir, dan batulempung. Formasi-formasi diatas

kemudian tertindih secara tidak selaras oleh endapan aluvial berumur Kuarter.

72
3.4 Struktur Geologi

Menurut Prasetyadi (2007) Jawa bagian timur berdasarkan pola struktur

utamanya merupakan daerah yang unik karena wilayah ini merupakan tempat

perpotongan dua struktur utama, yaitu antara struktur arah Meratus yang berarah

timurlaut – baratdaya dan struktur arah Sakala yang berarah timur – barat. Arah

Meratus lebih berkembang di daerah lepas pantai Cekungan Jawa Timur,

sedangkan arah Sakala berkembang sampai ke daratan Jawa bagian timur.

Struktur arah Meratus adalah struktur yang sejajar dengan arah jalur

konvergensi Kapur Karangsambung – Meratus. Pada awal Tersier, setelah jalur

konvergensi Karangsambung – Meratus tidak aktif, jejak – jejak struktur arah

Meratus ini berkembang menjadi struktur regangan dan membentuk pola struktur

tinggian dan dalaman seperti, dari barat ke timur, Tinggian Karimunjawa,

Dalaman Muria – Pati, Tinggian Bawean, Graben Tuban, JS-1 Ridge, dan Central

Deep. Endapan yang mengisi dalaman ini, ke arah timur semakin menebal, yang

paling tua beruoa endapan klastik terestrial yang dikenal sebagai Formasi

Ngimbang berumur Eosen. Distribusi endapan yang semakin tebal ke arah timur

ini menunjukkan pembentukan struktur tinggian dan dalaman ini kemungkinan

tidak terjadi secara bersamaan melainkan dimulai dari arah timur. Struktur arah

Sakala yang berarah barat – timur saar ini dikenal sebagai zona sesar mendatar

RMKS (Rembang-Madura-Kangean-Sakala). Pada mulanya struktur ini

merupakan struktur graben yang diisi oleh endapan paling tua dari Formasi Pra-

Ngimbang yang berumur Paleosen – Eosen Awal (Phillips dkk, 1991; Sribudiyani

dkk., 2003). Graben ini kemudian mulai terinversi pada Miosen menjadi zona

sesar mendatar RMKS. Berdasarkan sedimen pengisi cekungannya dapat

73
disimpulkan sesar arah Meratus lebih muda dibandingkan dengan sesar arah

Sakala.

Gambar 3.7 Pola struktur Pulau Jawa selama Miosen Awal hingga Miosen Akhir
(Sribudiyani, dkk. 2003).

Selain arah Sakala, struktur arah barat-timur lainnya adalah struktur yang

oleh Pulunggono dan Martodjojo (1994) disebut sebagai arah Jawa. Struktur ini

pada umumnya merupakan jalur lipatan dan sesar naik akibat kompresi yang

berasal dari subduksi Neogen Lempeng Indo-Australia. Jalur lipatan dan sesar

naik ini terutama berkembang di Zona Kendeng yang membentuk batas sesar

berupa zona overthrust antara Zona Rembang dan Zona Kendeng. Bidang

overthrust yang nampak memotong sampai ke lapisan yang masih berkedudukan

horizontal menunjukan pensesarannya terjadi paling akhir dibandingkan dengan

pembentukan struktur yang lain (arah Meratus dan arah Sakala).

Berdasarkan kajian struktur geologi diatas, daerah penelitian dikontrol

oleh sesar dan lipatan yang berarah barat-timur yang merupakan produk kompresi

dari subduksi Lempeng Indo – Australia. Kenampakan orientasi arah sumbu

74
lipatan dan sesar ini menunjukan pola struktur yang ada dalam daerah penelitian

merupakan pola Jawa. Keberadaan sesar ini menjadi batas kontak satuan (sesar

sentuh) yang memisahkan 2 satuan yang berbeda. Selain itu dijumpai juga sesar-

sesar geser yang arahnya serupa dengan pola Meratus. Hal ini kemungkinan

akibat dari subduksi Lempeng Indo – Australia yang kemudian mengaktifkan

kembali (reaktifasi) struktur-struktur yang telah ada sebelumnya.

75
BAB IV

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Hasil dari pemetaan rinci, berupa data-data yang bersifat primer

(morfologi, litologi, dan struktur geologi) yang diambil langsung di lapangan

maupun data sekunder, dilakukan analsis sehingga menjadi suatu cerita ilmiah

mengenai kondisi geologi daerah yang dipetakan.

Geologi daerah penelitian meliputi aspek-aspek geologi yang berkembang

di daerah penelitian. Aspek-aspek geologi yang dimaksud terdiri atas

geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi dan sejarah geologi dari daerah

penelitian. Dalam bab ini akan dibahas secara khusus hasil interpetasi yang telah

dilakukan oleh peneliti mengenai daerah yang dipetakan.

4.1 Geomorfologi

Bentukan bentang alam mencerminkan proses-proses alam yang terjadi,

baik endogen maupun eksogen. Proses endogen merupakan proses yang bersifat

konstruktif, seperti pengangkatan. Proses eksogen merupakan proses yang bersifat

dekstruktif, seperti erosi dan pelapukan. Analisis geomorfologi diharapkan dapat

menentukan proses-proses geologi yang terjadi di daerah penelitian. Metode yang

digunakan dalam analisis geomorfologi daerah penelitian adalah analisis terhadap

citra DEMNAS, peta topografi, dan pengamatan di lapangan. Analisis tersebut

menghasilkan data kelurusan – kelurusan dari pola bukit, lembah, dan bentukan

khusus; pola aliran sungai; peta kelerengan daerah penelitian; satuan

geomorfologi; dan stadia geomorfik/stadia daerah. Hasil analisis tersebut

dijelaskan pada subbab di bawah berikut.

76
4.1.1. Kelurusan Bukit, Lembah, dan Sungai

Berdasarkan analisis kelurusan bukit dan lembah/sungai pada citra

DEMNAS (Gambar 4.2), diperoleh frekuensi diagram kelurusan di daerah

penelitian yang berarah dominan barat - timur (Gambar 4.1). Pola kelurusan

tersebut diperoleh dengan melakukan penarikan garis kelurusan dari empat sudut

penyinaran 0⁰, 45⁰, 90⁰, dan 135⁰ menggunakan software Global Mapper 17.

Pola kelurusan tersebut dapat menjadi indikasi adanya kehadiran kontrol struktur

geologi pada daerah penelitian, namun perlu diketahui bahwa tidak semua

kelurusan nantinya akan diinterpretasikan sebagai kelurusan struktural mengingat

tidak semua kelurusan diakibatkan oleh kegiatan tektonik (Gupta, 1991).

Gambar 4.1 Diagram roset pola kelurusan pada daerah penelitian yang
menunjukan arah dominan relatif barat – timur.

Pola kelurusan yang didapat ini jika dikaitkan dengan tektonik di yang

bekerja di Pulau Jawa khusus di bagian timur, maka pola kelurusan ini

mengindikasikan bahwa tektonik kompresi Pulau Jawa yang dihasilkan dari

tumbukan lempeng Eurasia dan lempeng Indo-Australia berarah utara – selatan

77
pada kala Pliosen – Resen sangat mengontrol keberadaan kelurusan-kelurusan ini,

sehingga data – data dari indikasi adanya struktur geologi tidak dapat diabaikan.

Interpretasi awal mengenai keberadaan struktur geologi yang dijumpai pada lokasi

pemetaan akan dijelaskan pada subbab berikutnya dari bukti – bukti yang

dijumpai di lapangan.

Gambar 4. 2 Analisa citra DEM di daerah penelitian menunjukan adanya pola-


pola kelurusan yang relatif ke arah barat – timur (DEMNAS, 2018)

78
4.1.2. Pola Pengaliran

Berdasarkan dari pengamatan peta topografi maupun pengamatan di

lapangan, pola pengaliran yang berkembang pada daerah penelitian dibagi

menjadi : subparallel, parallel, trellis dan sub-dendritic. Dari pola-pola tersebut

dibagi menjadi beberapa orde berdasarkan kerapatan sungai (Gambar 4.3).

Gambar 4.3 Pola pengaliran daerah penelitian.

79
4.1.2.1 Pola Pengaliran Sub-parallel

Pada umumnya menunjukkan daerah yang berlereng sedang sampai agak

curam dan dapat ditemukan pula pada daerah bentuklahan perbukitan yang

memanjang. Sering terjadi pola peralihan antara pola dendritik dengan pola

paralel atau trelis. Bentuklahan perbukitan yang memanjang dengan pola

pengaliran paralel mencerminkan perbukitan tersebut dipengaruhi oleh perlipatan.

Bentuklahan ini dicerminkan oleh lereng memanjang atau dikontrol oleh

bentuklahan perbukitan memanjang.

Pola pengaliran ini menempati ±36.45% dari total luasan di daerah

penelitian yang berkembang dari sungai orde 1 sampai orde 3. Pola ini

berkembang pada satuan bentang alam dataran – bergelombang lemah fluvial

yang tersusun atas litologi berupa batupasir, batugamping, batulempung, dan

endapan kuarter.

4.1.2.2 Pola Pengaliran Parallel

Pola aliran yang mempunyai arah relatif sejajar, mengalir pada daerah

kemiringan lereng sedang sampai curam, dapat pula pada daerah dengan

morfologi yang paralel dan memanjang. Pola aliran ini mempunyai

kecenderungan untuk berkembang ke arah pola dendritic ataupun trellis.

Contohnya pada lereng-lereng gunungapi atau sayap antiklin..

Pola pengaliran ini menempati 33.32% dari total luasan di daerah penelitan

yang berkembang dari sungai orde 1 sampai orde 4. Pola ini berkembang pada

satuan bentang alam perbukitan – bergelombang lemah-kuat struktural dan

80
perbukitan – bergelombang kuat-tersayat kuat struktural yang tersusun oleh satuan

batupasir karbonatan Kerek dan satuan batulempung karbonatan Kalibeng.

4.1.2.3 Pola Pengaliran Trellis

Pola pengaliran trellis terbentuk dari cabang-cabang sungai kecil yang

berukuran sama, dengan aliran tegak lurus sepanjang sungai induk subsekuen

yang paralel. Terdapat pada daerah lipatan, patahan yang paralel, daerah blok

punggungan pantai hasil pengangkatan dasar laut, daerah vulkanik atau

metasedimen derajat rendah dengan pelapukan yang berbeda-beda.

Pola pengaliran ini menempati ±21.44% dari total luasan di daerah

penelitian yang berkembang dari sungai orde 1 sampai orde 3. Satuan ini

berkembang pada satuan perbukitan – bergelombang lemah-kuat struktural yang

tersusun oleh litologi berupa satuan batupasir karbonatan Kerek dan satuan

batulempung karbonatan Kalibeng

4.1.2.4 Pola Pengaliran Sub-dendritik

Pola pengaliran ini merupakan pola ubahan dari pola aliran dendritik yang

sudah mulai berkembang proses-proses struktur. Pola pengaliran ini menempati

8,79% dari total luasan di daerah penelitan yang berkembang dari sungau orde 1

sampai orde 3. perbukitan – bergelombang kuat-tersayat kuat struktural yang

tersusun oleh satuan batupasir karbonatan Kerek dan satuan batulempung

karbonatan Kalibeng.

4.1.3 Peta Kelerengan

Peta kemiringan lereng diperoleh dari data citra DEMNAS yang diolah

dengan perangkat lunak ArcGis 10. Peta kemiringan lereng ini menunjukkan

81
bahwa daerah penelitian memiliki kemiringan lereng datar hingga sangat curam.

Kemiringan lereng datar hingga agak curam terletak di utara hingga tengah daerah

penelitian, sedangkan kemiringan lereng dominan curam hingga sangat curam

terletak di bagian tengah hingga barat daya daerah penelitian (Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Peta kemiringan lereng daerah penelitian.

82
4.1.4 Satuan Geomorfologi

Pembagian satuan geomorfologi didasarkan pada dua aspek yaitu

morfometri yang mengacu pada klasifikasi hubungan antar relief / kemiringan

lereng dan beda tinggi menurut van Zuidam & van Zuidam-Cancelado (1979) dan

morfogenesa mengacu pada klasifikasi bentukan asal yang didasarkan pada faktor

pengontrol utama proses geologi menurut van Zuidam (1983). Penamaan satuan

geomorfologi tersusun atas tiga kata, atau paling banyak empat kata bila ada

kekhususan, terdiri dari bentuk / geometri / morfologi, morfogenesa, dan nama

geografis, sehingga dalam penamaan satuan geomorfologi di daerah penelitian

diawali dengan penyebutan relief (morfometri) yang kemudian diikuti dengan

penamaan bentuk muka bumi (morfogenesa) dan nama geografis.

Berdasarkan data-data yang didapatkan peneliti membagi satuan

geomorfologi ialah :

1. Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah-Kuat Struktural (S2)

2. Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah- Kuat Struktural (S9)

3. Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah-Kuat Denudasional

4. Satuan Geomorfologi Dataran – Bergelombang Lemah Fluvial

4.1.4.1 Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah-Kuat Struktural (S2)

Satuan geomorfologi ini menempati ± 21% dari seluruh daerah penelitian,

meliputi Desa Kalangan, Desa Margomulyo, Desa Sumberejo, dan Desa Meduri.

Satuan ini mempunyai kemiringan rata-rata 10% dan beda tinggi rata-rata 46

meter (Lampiran 3, hal 189). Pola pengaliran yang berkembang pada satuan ini

yaitu sub-dendritik, dan rectangular. Satuan geomorfologi ini tersusun oleh

83
litologi berupa batupasir karbonatan, batulempung karbonatan. Satuan

geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan jati dan pemukiman

(Gambar 4.5).

Gambar 4.5 Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah-Kuat Struktural (S2)


lensa menghadap baratdaya) diambil dari LP 182.

4.1.4.2 Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah – Kuat Struktural (S9)

Satuan geomorfologi ini menempati ± 33% dari seluruh daerah penelitian,

meliputi Desa Kerek, Desa Banyuurip, Desa Ngawi, Desa Kiyonten dan Desa

Tawun Satuan ini mempunyai kemiringan rata-rata 34% (Lampiran 3, hal 190)

dan beda tinggi rata-rata 55 meter. Pola pengaliran yang berkembang pada satuan

ini yaitu parallel, sub-dendritik, dan rectangular. Satuan geomorfologi ini

tersusun oleh litologi berupa batupasir karbonatan, batulempung karbonatan.

Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan sebagai lahan perkebunan jati, tebu,

jagung, dan pemukiman (Gambar 4.6).

84
Gambar 4.6 Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah- Kuat Struktural (S9)
lensa menghadap ke baratdaya) diambil dari LP 167.

4.1.4.3 Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah-Kuat Denudasional

Gambar 4.7 Satuan Geomorfologi Bergelombang Lemah-Kuat Denudasional


(lensa menghadap ke arah tenggara) diambil dari LP 54.

Satuan geomorfologi ini menempati ± 40% dari seluruh daerah penelitian,

meliputi Desa Karangtengah Prandon, Desa Lego Kulon, Desa Tawun, Desa

Kartosari, Desa Kandangan, Desa Karangsari, Desa Gunungsari, dan Desa

Kasreman. Satuan ini mempunyai kemiringan rata-rata 17% dan beda tinggi rata-

85
rata 45,8 meter (Lampiran 3, hal 191). Pola pengaliran yang berkembang pada

satua ini yaitu parallel, sub-dendritik. Satuan geomorfologi ini tersusun oleh

litologi berupa batupasir karbonatan, batulempung karbonatan, batupasir,

batulempung, breksi, dan batugamping. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan

sebagai lahan perkebunan jati, persawahan, pemukiman, dan wilayah

penambangan batugamping. (Gambar 4.7).

4.1.4.4 Satuan Geomorfologi Dataran – Bergelombang Lemah Fluvial

Satuan geomorfologi ini menempati ± 6% dari seluruh daerah penelitian,

meliputi Desa Kartoharjo. Satuan ini mempunyai kemiringan rata-rata 4% dan

beda tinggi rata-rata 25 meter (Lampiran 3, hal 192). Pola pengaliran yang

berkembang pada satuan ini yaitu sub-dendritik. Satuan geomorfologi ini tersusun

oleh litologi berupa endapan Kuarter. Satuan geomorfologi ini dimanfaatkan

sebagai lahan persawahan, dan pemukiman. (Gambar 4.8).

Gambar 4.8 Satuan Geomorfologi Dataran – Bergelombang Lemah Fluvial (lensa


menghadap ke utara) diambil di Jalan Lego Kulon.

86
4.1.5 Proses Geomorfologi

Morfogenesis adalah suatu urutan kejadian dan interaksi antara satuan

bentang alam yang ada pada suatu daerah serta proses - proses geologi (proses

endogenik dan eksogenik) yang mengontrolnya (Thornbury, 1969). Proses -

proses endogenik (asal dalam) tersebut meliputi aktivitas vulkanisme dan tektonik

serta proses eksogenik (asal luar) seperti pelapukan, erosi dan sedimentasi. Media

geomorfologi mempunyai kemampuan untuk memperoleh dan mengangkut

material lepas di permukaan bumi. Jika media berasal dari luar bumi, tetapi masih

dalam lingkungan atmosfer, disebut proses eksogen. Jika media berasal dari dalam

bumi, disebut proses endogen.

Bentuklahan dari proses geomorfologi dapat berupa bentuklahan hasil

(yang bersifat) membangun (constructional landform) atau bentuklahan hasil

(yang bersifat) merusak (detructional landform). Daerah penelitian sendiri

menurut pembagian zona fisiografi oleh van Bemmelen (1979) termasuk dalam

Zona Kendeng yang telah terdeformasi secara intensif dan membentuk lipatan-

lipatan secara paralel berarah relatif barat-timur. Aktivitas tektonisme ini bersifat

constructive (membangun) pada daerah penelitian. Hall (2012) menyebutkan

bahwa pembentukan Zona Kendeng telah dimulai sejak Oligosen Bawah sebagai

dampak dari pembentukan busur gunungapi (volcanic arc) di bagian selatan Pulau

Jawa. Kehadiran busur gunungapi di selatan Pulau Jawa ini membuat Zona

Kendeng di interperasikan sebagai cekungan belakang busur (back-arc basin).

Proses sedimentasi di Zona Kendeng dimulai dengan adanya pengendapan

Formasi Pelang yang dilanjutkan dengan pembentukan Formasi Kerek Miosen

Akhir. Pengangkatan tektonik regional Zona Kendeng pada Pleistosen

87
membentuk lipatan dan sesar-sesar yang ada di Zona Kendeng. Hal ini dibuktikan

dengan hadirnya sesar – sesar pada daerah penelitian baik yang sifatnya regional

maupun lokal sebagai akibat adanya tektonik kompresi yang terjadi secara

berulang. Pada kala ini juga di Zona Kendeng muncul beberapa gunungapi seperti

Gunung Ungaran dan Gunung Pandan. Proses pembentukan Zona Kendeng pada

daerah penelitian ditutup dengan pengendapan Formasi Pucangan pada

lingkungan yang telah berubah menjadi rawa-darat (Pringgoprawiro, 1992).

Selanjutnya yaitu tahap destructive (merusak) yang disebabkan dengan adanya

proses eksogenik seperti : pelapukan, erosi dan transportasi yang berlangsung

intensif sejak proses sedimentasi pada daerah ini berakhir hingga saat ini, karena

setiap batuan memiliki sifat resistensi yang berbeda maka terbentuklah sisa

morfologi sebagai respon akibat proses eksogenik. Bentukan morfologi yang tidak

sama di beberapa tempat dikontrol oleh litologi dan juga struktur geologi di

daerah tersebut

4.1.6 Stadia Sungai

Daerah penelitian memiliki stadia sungai muda dan dewasa. Stadia sungai

dewasa berkembang pada bagian selatan daerah penelitian sedangkan untuk stadia

muda berkembang di bagian utara dari daerah penelitian. Pada stadia muda

dicirikan oleh dataran yang masih tinggi dengan lembah sungai yang lebih curam

dimana erosi vertikal lebih dominan, gradien sungai besar, arus sungai deras,

lembah berbentuk “V”, terkadang dijumpai air terjun dan danau, kondisi geologi

masih orisinil atau umumnya belum mengalami proses deformasi. Sedangkan

pada stadia dewasa dicirikan oleh lembah sungai yang membesar dan dalam dari

88
sebelumnya, reliefnya menjadi lebih curam, dengan tingkat gradien sungai

sedang, aliran sungai berkelok-kelok, terdapat meander pada sungai, pada

umumnya tidak dijumpai keberadaan air terjun maupun danau, tingkat erosi

vertikal berimbang dengan erosi lateral, lembah sungainya berbentuk “U” yang

menandakan proses erosi lateral pada daerah tersebut (Gambar 4.9).

Gambar 4. 9 a) Kondisi fisik sungai daerah penelitian menunjukan bentukan “V”.


dan b) bentukan “U”.

4.1.7 Stadia Daerah

Stadia daerah dapat ditentukan dengan melihat litologi, kondisi fisik

sungai, dan tingkat erosi terhadap suatu daerah. Stadia sungai dominan di daerah

penelitian memperlihatkan stadia sungai muda (Gambar 4.9) Stadia sungai muda-

dewasa dicirikan dengan sungai yang aktif dan erosi berlangsung lebih cepat,

erosi vertikal lebih besar daripada erosi lateral, sisi tepi sungai curam-sedang,

tidak terdapat dataran banjir, kemiringan sungai curam-sedang, bentuk sungai

relatif lurus dan memperlihatkan batuan dasar. Berdasarkan hasil perbandingan

terhadap model tingkat stadia menurut Thornbury (1969) maka dapat disimpulkan

secara umum stadia daerah penelitian termasuk dalam stadia dewasa.

Penggolongan stadia daerah ini sebagai salah satu aspek yang digunakan untuk

membantu peneliti dalam melakukan interpretasi lebih lanjut terhadap kondisi

89
geologi yang ada di daerah penelitian, hal ini di karenakan masing-masing

tingkatan dalam stadia daerah di kontrol oleh proses-proses geologi, litologi,

struktur geologi yang beragam dan saling berkaitan.

4.2 Stratigrafi

Stratigrafi daerah penelitian dikembangkan dengan mengacu pada peta

geologi regional lembar Ngawi menurut Datun, dkk (1996) dan lembar

Bojonegoro menurut Pringgoprawiro & Sukido (1992), sehingga masuk dalam

Formasi Kerek (Tmk), Formasi Kalibeng (Tmpk), Formasi Klitik (Tpk), dan

Formasi Pucangan (QTp) serta Aluvial yang berumur Kuarter.

Tatanan satuan stratigrafi di daerah penelitian disusun berdasarkan jenis

batuan, dan urutan kejadian. Penamaan satuan batuan mengacu pada litostratigrafi

tidak resmi menurut Martodjojo dan Djuhaeni (1996). Penamaan satuan batuan

didasarkan pada litologi yang dominan pada setiap penyusun satuan dan diikuti

dengan nama formasinya. Penentuan umur relatif satuan batuan dilakukan

berdasarkan hasil analisis yang telah disebutkan sebelumnya dan disebandingkan

dengan satuan batuan pada Peta Geologi lembar Ngawi menurut Datun, dkk

(1996) dan lembar Bojonegoro menurut Pringgoprawiro & Sukido (1992).

Berdasarkan hasil pemetaan rinci, stratigrafi daerah penelitian terdiri dari

(secara berurutan dari tua ke muda) satuan batupasir karbonatan Kerek, satuan

batulempung karbonatan Kalibeng, satuan batugamping Klitik, satuan

konglomerat Pucangan, satuan tuf Pucangan, dan endapan Aluvial. Analisis

mikropaleontologi dilakukan untuk mengetahui rentang umur relatif dan

lingkungan pengendapan dari masing-masing satuan penyusun daerah penelitian.

90
Tabel 4.1 Kolom stratigrafi daerah penelitian

4.2.1 Satuan Batupasir Karbonatan Kerek

Satuan ini tersusun atas batupasir karbonatan dengan sisipan batulempung

karbonatan dan tuf pada bagian bawah. Batupasir karbonatan putih kecoklatan

dengan warna lapuk coklat kekuningan, struktur berlapis, tekstur klastika dengan

ukuran butir pasir halus - pasir sedang, membundar baik, kemas tertutup, sortasi

baik. Tersusun atas mineral karbonat, litik, dan pecahan fosil, bereaksi dengan

HCl. Secara petrografis memperlihatkan bewarna coklat tua-cerah, menunjukan

tekstur ukuran butir <0.25mm, bentuk butir cenderung membulat-membulat

tanggung, kemas terbuka, tersortasi sedang. Fragmen penyusun batuan berupa

fosil foram (14%), felspar (9%), kuarsa (7%), mineral opak (2%), clast/pecahan

batu (21%) dan matriks berupa micrite (47%) (Lampiran 4, hal 213). Nama batuan

Calcareous lithic arenite (WTG, 1982).

91
Batulempung karbonatan umumnya memiliki warna segar putih dengan

warna lapuk coklat kekuningan. struktur berlapis, tekstur klastika dengan ukuran

butir lanau - lempung. Tersusun atas mineral karbonat, dan sedikit mineral mafik,

bereaksi dengan HCl. Secara petrografis memperlihatkan bewarna coklat tua-

cerah, menunjukan tekstur ukuran butir <0.015mm, bentuk butir cenderung

membulat-membulat tanggung, kemas tertutup, tersortasi sedang. Fragmen

penyusun batuan berupa fosil foram (9%), felspar (1%), kuarsa (2%), mineral

opak (11%) dan matriks berupa mineral lempung (77%) (Lampiran 4, hal 216).

Nama batuan Calcareous mudstone (WTG, 1982).

Tuf secara megaskopis bewarna putih keabuan, dengan tekstur meliputi

ukuran butir abu halus-kasar, sortasi sedang, dan kemas terbuka. Struktur batuan

berupa gradasional dimana bagian bawah cenderung kasar dan menghalus keatas.

Komposisi batuan disusun oleh litik, hornblende, biotit, dan matriks berupa

abu.Secara petrografis bewarna kecokelatan, menunjukan tekstur ukuran butir

0.074 – 1.64 mm, bentuk butir cenderung menyudut-membulat tanggung, kemas

terbuka. Fragmen penyusun batuan berupa felspar (19%), pecahan batuan/litik

(15%), hornblenda (3%), kuarsa (4%), mineral opak (3%), dalam matriks berupa

gelas (56%) (Lampiran 4, hal 219) dengan nama batuan Vitric tuff (Schimd,

1981). Keberadaan singkapan tuf ini tidak dapat ditemukan kemenerusannya,

sehingga diperkirakan bahwa batuan ini merupakan bagian dari fragmen

longsoran (slump) yang ada di bagian bawah dari satuan ini. Berdasarkan

rekonstruksi penampang geologi, ketebalan total dari satuan ini adalah ±594

meter.

92
Gambar 4.10 a) Kenampakan batupasir karbonatan di LP 197. dan b) strukur
laminasi pada batupasir karbonatan. c) Struktur perlapisan sejajar di
LP 91.

Satuan ini menempati ± dari daerah 40,3% penelitian yang meliputi desa

Meduri, Desa Sumberejo, Desa Banyuurip, Desa Kiyonten, Desa Kalangan, Desa

Kerek, dan Desa Kasreman. Berdasarkan hasil dari analisis foraminifera

93
plangtonik, satuan batupasir karbonatan Kerek memiliki rentang umur pada N14 –

N16 (Lampiran 5, hal 245).

Tabel 4.2 Kolom litologi satuan batupasir karbonatan Kerek

4.2.2 Satuan Batulempung Karbonatan Kalibeng

Satuan ini tersusun atas batulempung karbonatan, batupasir karbonatan.

Batulempung karbonatan umumnya memiliki warna segar putih dengan warna

lapuk coklat kekuningan. Struktur masif, tekstur klastika dengan ukuran butir

lanau - lempung, komponen lain seperti bentuk butir, kemas, dan sortasi tidak

dapat teramati secara megaskopis. Tersusun atas mineral karbonat, bereaksi

dengan HCl, pada beberapa tempat dijumpai batupasir karbonatan menyisip dalam

batulempung karbonatan. Secara petrografis bewarna coklat tua-cerah,

menunjukan tekstur ukuran butir <0.013mm, bentuk butir cenderung membulat-

94
membulat tanggung, kemas tertutup, tersortasi sedang. Fragmen penyusun batuan

berupa fosil foram (6%), felspar (4%), kuarsa (3%), mineral opak (9%) dan

matriks berupa mineral lempung (78%) (Lampiran 4, hal 207) nama batuan

Calcareous Mudstone (WTG, 1982).

Batupasir karbonatan putih kecoklatan dengan warna lapuk coklat

kekuningan, hadir sebagai sisipan, tekstur klastika dengan ukuran butir pasir

halus, bentuk butir membundar baik, kemas tertutup, sortasi baik. Tersusun atas

mineral karbonat, litik, bereaksi HCl. Dalam pengamatan petrografis, secara

umum sayatan bewarna cokelat tua-cerah, menunjukan tekstur ukuran butir

<0.25mm, bentuk butir cenderung membulat-membulat tanggung, kemas terbuka,

tersortasi sedang. Fragmen penyusun batuan berupa fosil foram (9%), feldspar

(3%), kuarsa (4%), mineral opaq (3%), clast/pecahan batu (37%) dan matriks

berupa micrite (44%) (Lampiran 4, hal 210). Nama batuan Calcareous lithic

wacke (WTG, 1982). Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, ketebatan

satuan mencapai ±716 meter.

Gambar 4.11 a.) Kenampakan batulempung karbonatan pada satuan batulempung


Karbonatan Kalibeng yang terdapat pada LP 203 dan b) struktur
brittle pada batulempung karbonatan.

95
Penyebaran satuan ini menempati ± 22.9% dari keseluruhan lokasi

penelitian yang meliputi Desa Margomulyo, Desa Kalangan, Desa Sumberejo,

Desa Kasreman. Berdasarkan hasil dari analisis foraminifera plangtonik, satuan

batulempung karbonatan Kalibeng memiliki rentang umur N17 – N20 (Lampiran

5, hal 258).

Tabel 4.3 Kolom litologi satuan batulempung karbonatan Kalibeng

4.2.3 Satuan Batugamping Klitik

Satuan ini tersusun atas batugamping klastika (Gambar 4.12).

Batugamping memiliki warna segar putih dengan warna lapuk abu-abu

kehitaman, struktur masif, tekstur klastika dengan ukuran butir pasir halus – pasir

sedang, bentuk butir relatif membulat, sortasi baik, dengan kemas tertutup.

Tersusun oleh mineral karbonat dengan sedikit lumpur karbonat, bereaksi kuat

96
dengan HCL, sangat kompak. Berdasarkan pendeskripsian diatas diperoleh nama

batuan berupa medium kalkarenite. Pada pengamatan petrografis sayatan bewarna

coklat tua-cerah, menunjukan tekstur ukuran butir 0.071 – 2.3 mm, kemas

terbuka, dengan bentuk butir membulat - membulat tanggung. Fragmen penyusun

batuan berupa fosil foram (62%), intraclast (15%), kalsit (8%), kuarsa (3%) dan

matriks lumpur karbonat (12%) (Lampiran 4, hal 204). Nama batuan Floatstone

(Embry & Klovan, 1971), Packstone (Dunham, 1962). Berdasarkan rekonstruksi

penampang geologi, ketebalan total dari satuan ini adalah ±367.5 meter.

Gambar 4.12 a) Kenampakan kalkarenit pada satuan batugamping Klitik terdapat


pada LP 24 dan b) kontak batulempung karbonatan Formasi
Kalibeng dengan batugamping (kalkarenit) Formasi Klitik.

Penyebaran satuan ini menempati ± 8,4% dari keseluruhan lokasi

penelitian yang meliputi Desa Tawun, Desa Kasreman, Desa Karangtengah

Prandon, Desa Kasreman, Desa Lego Kulon, Desa Karangmalang. Berdasarkan

hasil dari analisis foraminifera plangtonik pada sampel batuan yang terpilih,

didapatkan bahwa satuan batugamping Klitik memiliki rentang umur pada N21

(Lampiran 5, hal 258). Satuan ini memiliki hubungan tidak selaras dengan satuan

97
diatasnya yaitu satuan konglomerat Pucangan dan satuan tuf Pucangan.

Ketidakselarasan ini ditunjukan dengan fragmen batugamping yang ada pada

dasar dari satuan konglomerat Pucangan.

Tabel 4.4 Kolom litologi satuan batugamping Klitik

4.2.4 Satuan Konglomerat Pucangan

Satuan ini tersusun oleh konglomerat (Gambar 4.13), secara megaskopis

memiliki warna segar abu-abu, dengan warna lapuk abu-abu kehitaman. Struktur

masif, tekstur klastika dengan ukuran butir krikil - krakal, bentuk butir dominan

membulat-menyudut tanggung, kemas terbuka, sortasi buruk. Tersusun atas

fragmen berupa andesit, matriks berupa pasir. Fragmen menunjukan struktur

masif, dengan tekstur vitrovirik, hipokristalin, dengan bentuk mineral euhedral-

subhedral, ukuran kristal <3mm. Terdapat mineral berupa plagioklas (31%),

98
hornblende (6%), kuarsa (2%), mineral opaq (2%), yang tertanam dalam massa

dasar berupa gelas (59%) (Lampiran 4, hal 200). Nama Andesite (Streckeisen,

1978). Matriks memperlihatkan warna coklat, dengan ukuran butir 0.063-1.64

mm, bentuk butir angular-sub angular, sortasi sedang, tersusun atas feldspar

(35%), pecahan batuan/litik (19%), hornblenda (3%), kuarsa (2%), mineral opak

(4%), gelas (37%) (Lampiran 4, hal 202). dengan nama batuan Crystal Tuff

(Schimd, 1981). Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, ketebalan total

dari satuan ini adalah ±367.5 meter. Satuan ini menjari dengan satuan tuf

Pucangan.

Gambar 4. 13 a) Kenampakan singkapan konglomerat pada Satuan konglomerat


Pucangan pada LP 37. b) Fragmen batuan beku di konglomerat.

Penyebaran satuan ini menempati ± 27,5% dari keseluruhan lokasi

penelitian yang meliputi Desa Tawun, Desa Karangtengah Prandon, Desa Lego

Kulon. Satuan ini tidak ditemukan adanya fosil baik yang berukuran mikro

maupun makro untuk dilakukan penarikan rentang umur relatif, sehingga

penentuan umur pada satuan ini dilakukan dengan kesebandingan pada stratigrafi

99
regional yang mencakup daerah penelitian. Berdasarkan karakteristik deksriptif

batuannya sebanding dengan Formasi Pucangan yang berumur Pleistosen.

Berdasarkan korelasi dan kesebandingan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

satuan ini berumur Pleistosen. Satuan ini menjari dengan satuan tuf Pucangan.

Tabel 4.5 Kolom litologi satuan konglomerat Pucangan

4.2.4 Satuan Tuf Pucangan

Satuan ini tersusun tuf dengan sisipan batulempung. Tuf memiliki warna

putih ke abu-abuan dengan warna lapuk coklat kehitaman. Struktur berlapis,

tekstur klastika dengan ukuran butir <2mm (abu halus), bentuk butir membulat-

menyudut tanggung, kemas tertutup, sortasi baik. Tersusun atas litik, hornblende,

tidak bereaksi HCl. Secara petrografis, tuf berwarna kecoklatan, menunjukan

tekstur ukuran butir 0.083 – 1.54 mm, bentuk butir cenderung anhedral-subhedral,

100
kemas terbuka, dengan bentuk butir menyudut hingga menyudut tanggung.

Fragmen penyusun batuan berupa feldspar (24%), pecahan batuan/litik (10%),

hornblenda (1%), kuarsa (2%), mineral opaq/hematit (8%), dalam matriks berupa

gelas (55%) (Lampiran 4, hal 193) dengan nama batuan Vitric tuff (Schimd,

1981).

Batulempung secara mikroskopis bewarna coklat tua-cerah, menunjukan

tekstur ukuran butir <0.012mm, bentuk butir cenderung membulat-membulat

tanggung, kemas tertutup, tersortasi bagus. Fragmen penyusun batuan berupa

feldspar (2%), kuarsa (2%), mineral opaq (1%) dan matriks berupa mineral

lempung (95%) (Lampiran 4, hal 196). Nama batuan Mudrock (WTG, 1982).

Berdasarkan rekonstruksi penampang geologi, ketebalan total dari satuan ini

adalah ±425 meter.

Gambar 4.14 a) Kenampakan singkapan tuf pada satuan tuf Pucangan pada LP 6.

101
Penyebaran satuan ini menempati ± 27,5% dari keseluruhan lokasi

penelitian yang meliputi Desa Tawun, Desa Kasreman, Desa Karangtengah

Prandon, Desa Karangsari, Desa Lego Kulon, Desa Karangmalang, Desa

Cagakan. Satuan ini tidak ditemukan adanya fosil baik yang berukuran mikro

maupun makro untuk dilakukan penarikan rentang umur relatif, sehingga

penentuan umur pada satuan ini dilakukan dengan kesebandingan pada stratigrafi

regional yang mencakup daerah penelitian. Berdasarkan karakteristik deksriptif

batuannya sebanding dengan Formasi Pucangan yang berumur Pleistosen.

Berdasarkan korelasi dan kesebandingan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

satuan ini berumur Pleistosen.

Tabel 4.6 Kolom litologi satuan tuf Pucangan

102
4.2.5 Aluvial

Satuan ini disusun oleh endapan yang berukuran krakal-lempung. Satuan

Aluvial, berwarna abu - abu, bentuk butir membulat - membulat tanggung,

komposisi material lepas andesit (Gambar 4.15). Penyebaran dari satuan ini ± 1%

dari seluruh lokasi penelitian, berada pada bagian baratdaya dari lokasi penelitian

meliputi Desa Karangsari. Tebal satuan ini ± 25 sentimeter berdasarkan kondisi di

lapangan. Satuan ini berumur holosen (Pringgoprawiro, dkk,. 1992) merupakan

satuan paling muda dari daerah penelitian.

Gambar 4.15 Kenampakan endapan aluvial berukuran pasir-kerakal, terdapat


pada LP 15.

4.3 Struktur Geologi

Struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian dapat

diinterpretasikan berdasarkan pengamatan dan pengkajian peta DEMNAS, peta

103
geologi regional, peta topografi dan data hasil pemetaan rinci. Dalam pemberian

nama struktur didasarkan pada nama geografis, baik berupa nama desa maupun

nama sungai yang dilewati oleh struktur geologi tersebut. Berdasarkan penafsiran

dari pengukuran data - data struktur geologi yang ditemukan serta interpretasi dari

peta topografi dan citra DEMNAS, maka struktur geologi yang berkembang di

daerah penelitian adalah struktur kekar, antiklin, sinklin, sesar naik dan sesar

mendatar.

4.3.1 Analisis Peta DEMNAS

Berdasarkan hasil analisis peta DEMNAS, dengan menggunakan software

Geomatica 2015, Arcgis 10.2.1 dan Global Mapper v12.00, memperlihatkan pola-

pola kelurusan yang cukup intensif (Gambar 4.16a).

Pola kelurusan serta terdapat offset topografi dari daerah penelitian yang

dimungkinkan adanya kontrol struktur berupa kekar-kekar yang intensif maupun

berupa antiklin, sinklin, dan sesar atau patahan. Pada peta line density terlihat pola

kelurusan yang dominan berarah timurlaut-baratdaya (N 1470 E), serta sebagian

pola kelurusan berarah barat-timur (N 970 E), yang diilustrasikan pada diagram

rose (Gambar 4.16b). Kelurusan ini merupakan intikasi bahwa strutur yang

mengontrol daerah penelitian merupakan struktur berpola Jawa (relatif barat

timur) dengan umur deformasi atau pembentukan struktur berkisar Oligosen –

Recent. Namun jika ditinjau dari pengangkatan regional Zona Kendeng yang

berumur Pliosen – Pleistosen maka diduga kebanyakan struktur yang ada di

daerah penelitian memiliki kisaran umur tersebut. Hal ini didukung dengan tidak

adanya batuan yang berumur lebih tua dari Miosen akhir di daerah penelitian.

104
Gambar 4.16. a) Peta lineasi daerah penelitian berdasarkan analisis pada citra
DEMNAS dan b) Diagram mawar kelurusan daerah penelitian.

105
4.3.2 Struktur Kekar

Pada daerah penelitian dijumpai banyak struktur kekar yang terbentuk

akibat dari gaya tektonik. Kekar yang terdapat di daerah penelitian didominasi

oleh shear fracture. Struktur kekar tersebut berkembang sangat baik pada satuan

Batupasir Karbonatan Kerek (Gambar 4.17). Dari hasil pengukuran data kekar di

lapangan dapat diketahui arah umum dari kekar relatif timurlaut – baratdaya

(N200OE) di LP 121 dan (N290OE) di LP 174 dengan arah gaya utama relatif

utara-selatan (N170OE) di LP 121 dan arah tenggara (N140OE) di LP 174

(Lampiran 6, hal 298).

Gambar 4.17. a) Kenampakan shear fractures pada LP 174 b) kenampakan shear


fracture di LP 121 (lensa menghadap kearah utara).

4.3.3. Struktur Sesar Mendatar

Pada daerah penelitian dijumpai banyak struktur sesar mendatar yang

terbentuk akibat dari gaya tektonik. Jenis sesar mendatar yang ada di daerah

penelitian berdasarkan jenis pergerakannya terbagi menjadi pure slip maupun

oblique slip. Sesar-sesar tersebut antara lain:

106
4.3.3.1. Sesar mendatar mengkanan Margomulyo

Sesar mendatar mengkanan Margomulyo merupakan sesar yang didapat

dari analisis kelurusan pada citra DEMNAS dan perubahan jenis litologi dalam

satu pelamparan di daerah Sumberejo dan Margomulyo. Perbedaan jenis batuan

dalam satu pelamparan ini kemudian diduga menjadi offset dari sesar mengkanan

Margomulyo. Identifikasi kelurusan dari citra DEMNAS menenjukan adanya pola

menerus di bagian selatan ke arah baratlaut dengan arah N338°E yang memanjang

di Desa Sumberejo hingga Margomulyo. Selain itu dijumpai pula beberapa mata

air (Gambar 4.18) yang letaknya mengikuti arah dari pola kelurusan tersebut.

Bukti ini semakin memperkuat dugaan bahwa terdapat bukaan berupa struktur

sesar.

Gambar 4.18.Kenampakan beberapa mata air sepanjang zona kelurusan

Dari analisis stereografis yang diakukan berdasarkan data pengukuran

shear fracture dan release fracture di lapangan, maka didapatkan kedudukan

bidang sesar adalah N 338o E/78o dengan kedudukan net slip 7o, N 158o E,

107
kedudukan shear fracture N 240o E/75o, kedudukan release fracture N 300o E/72o

(Lampiran 6, hal 299). Berdasarkan arah pergerakan relatifnya, maka nama sesar

tersebut adalah Right Slip Fault (Rickard, 1972). Bukti yang dapat dijumpai di

lapangan berupa kelurusan, shear fracture, dan release fracture. Sesar ini

memotong satuan satuan betupasir karbonatan Kerek dan satuan batulemupung

karbonatan Kalibeng.

4.3.3.2. Sesar mendatar mengkanan Sumberejo

Sesar mendatar mengkanan Sumberejo merupakan sesar yang didapat dari

analisis kelurusan pada citra DEMNAS dengan arah kelurusan relatif baratdaya-

timur laut memanjang dari Desa Sumberejo, dan Desa Meduri. Pada zona

kelurusan tersebut dijumpai bidang sesar (Gambar 4.19) yang diduga masih

berasosiasi dengan struktur sesar tersebut. Dalam bidang sesar tersebut tidak

dijumpai adanya gores-garis atau slickenline sehingga dalam analisis pergerakan

sesar digunakan bantuan berupa data kekar.

Gambar 4.19.Kenampakan bidang sesar yang searah dengan arah kelurusan.

108
Dari analisis stereografis yang diakukan berdasarkan data pengukuran

shear fracture dan release fracture di lapangan, maka didapatkan kedudukan

bidang sesar adalah N22oE/82o dengan kedudukan net slip 49o, N32oE, kedudukan

shear fracture N155oE/51o, kedudukan extensional fracture N30oE/73o (Lampiran

6, hal 299). Berdasarkan arah pergerakan relatifnya, maka nama sesar tersebut

adalah Normal Right Slip Fault (Rickard, 1972). Sesar ini memotong satuan

satuan betupasir karbonatan Kerek

4.3.3.3. Sesar mendatar mengkiri Kiyonten 1

Sesar mendatar mengkiri Kiyonten 1 merupakan sesar yang didapat dari

analisis kelurusan pada citra DEMNAS dengan arah kelurusan relatif baratdaya-

timur laut dan berbelok ke arah utara-selatan memanjang di Desa Kiyonten.

Kelurusan ini memotong kedudukan sumbu antiklin Banyuurip 1 yang kemudian

diinterpretasikan sebagai suatu kelurusan yang diakibatkan oleh tektonik. Selain

itu dijumpai pula beberapa mata air (Gambar 4.18) yang letaknya mengikuti arah

dari pola kelurusan tersebut. Bukti ini semakin memperkuat dugaan bahwa

terdapat bukaan berupa struktur sesar.

Gambar 4.20.Mata air sebagai tanda terdapat bukaan bawah permukaan

109
Dari analisis stereografis yang diakukan berdasarkan data pengukuran

shear fracture dan release fracture di lapangan, maka didapatkan kedudukan

bidang sesar adalah N30oE/66o dengan kedudukan net slip 39o, N168oE,

kedudukan shear fracture N170oE/53o, kedudukan extensional fracture N20oE/85o

(Lampiran 6, hal 300). Berdasarkan arah pergerakan relatifnya, maka nama sesar

tersebut adalah Normal Left Slip Fault (Rickard, 1972). Sesar ini memotong

satuan satuan betupasir karbonatan Kerek

4.3.3.4. Sesar mendatar mengkiri Kiyonten 2

Sesar mendatar mengkanan Sumberejo merupakan sesar yang didapat dari

analisis kelurusan pada citra DEMNAS dengan arah kelurusan relatif baratdaya-

timur laut memanjang di bagian utara Desa Kiyonten. Kelurusan tersebut

tercermin memotong bukit yang ada di sekitarnya.

Gambar 4.21.Kelurusan bukit sebagai bukti sesar.

110
Dari analisis stereografis yang diakukan berdasarkan data pengukuran

shear fracture dan release fracture di lapangan, maka didapatkan kedudukan

bidang sesar adalah N38oE/68o dengan kedudukan net slip 55o, N69oE, kedudukan

shear fracture N180oE/50o, kedudukan extensional fracture N30oE/82o (Lampiran

6, hal 300). Berdasarkan arah pergerakan relatifnya, maka nama sesar tersebut

adalah Left Normal Slip Fault (Rickard, 1972). Sesar ini memotong satuan satuan

betupasir karbonatan Kerek

4.3.4 Struktur Lipatan

Pada daerah penelitian dijumpai banyak struktur antiklin dan sinklin.

Antiklin dan sinklin ini terbentuk pertama akibat gaya kompresi pada Pleistosen.

Lipatan-lipatan tersebut antara lain:

4.3.4.1. Antiklinorium Meduri-Sumberejo

Antiklinorium Meduri – Sumberejo merupakan kumpulan antiklin dan

sinklin dimana frekuensi antiklin lebih banyak daripada sinklin. Struktur ini

didapat berdasarkan data lapangan berupa kedudukan batuan pada lokasi

pengamatan dan rekonstruksi kedudukan batuan pada penampang geologi. Sumbu

yang dibentuk umumnya berarah barat-timur.

4.3.4.1.1. Antiklin Meduri

Antiklin ini didapatkan berdasarkan data kedudukan batuan yang

tersingkap di lapangan. Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu

antiklin tersebut saling berlawanan dengan kedudukan umum dari sayap utara

(sayap 1) N230°E/32° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2)

N70°E/23° (Lampiran 6, hal 301). Antiklin ini terletak pada satuan batupasir

111
karbonatan Kerek yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan

batulempung karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini

termasuk dalam Upright Sub-horizontal Fold (Fleuty, 1964).

4.3.4.1.2. Sinklin Sumberejo 1

Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu sinklin

tersebut saling bertemu dengan kedudukan umum dari sayap utara (sayap 1)

N76°E/44° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2) N279°E/43°

(Lampiran 6, hal 301). Sinklin ini terletak pada satuan batupasir karbonatan Kerek

yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan batulempung

karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini termasuk

dalam Upright Gently Plunging Fold (Fleuty, 1964).

4.3.4.1.3. Antiklin Sumberejo 1

Antiklin ini didapatkan berdasarkan data kedudukan batuan yang

tersingkap di lapangan. Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu

antiklin tersebut saling belawanan dengan kedudukan umum dari sayap utara

(sayap 1) N279°E/43° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2)

N112°E/70° (Lampiran 6, hal 302). Antiklin ini terletak pada satuan batupasir

karbonatan Kerek yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan

batulempung karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini

termasuk dalam Steeply inclined Sub-horizontal Fold (Fleuty, 1964).

4.3.4.1.4. Antiklin Sumberejo 2

Antiklin ini didapatkan berdasarkan data kedudukan batuan yang

tersingkap di lapangan. Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu

112
antiklin tersebut saling belawanan dengan kedudukan umum dari sayap utara

(sayap 1) N250°E/68° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2)

N70°E/23° (Lampiran 6, hal 302). Antiklin ini terletak pada satuan batupasir

karbonatan Kerek yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan

batulempung karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini

termasuk dalam Steeply Inclined Sub-horizontal Fold (Fleuty, 1964).

4.3.4.2. Antiklinorium Kiyonten

Antiklinorium Kiyonten merupakan kumpulan antiklin dan sinklin dimana

frekuensi antiklin lebih banyak daripada sinklin. Struktur ini didapat berdasarkan

data lapangan berupa kedudukan batuan pada lokasi pengamatan dan rekonstruksi

kedudukan batuan pada penampang geologi. Sumbu yang dibentuk umumnya

berarah barat-timur.

4.3.4.2.1. Antiklin Kiyonten 1

Antiklin ini didapatkan berdasarkan data kedudukan batuan yang

tersingkap di lapangan. Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu

antiklin tersebut saling belawanan dengan kedudukan umum dari sayap utara

(sayap 1) N274°E/50° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2)

N115°E/50° (Lampiran 6, hal 303). Antiklin ini terletak pada satuan batupasir

karbonatan Kerek yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan

batulempung karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini

termasuk dalam Upright Gently Plunging Fold (Fleuty, 1964).

113
4.3.4.2.2. Sinklin Kiyonten 1

Sinklin Kiyonten 1 ini didapatkan berdasarkan data kedudukan batuan

yang tersingkap di lapangan. Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar

sumbu sinklin tersebut saling bertemu dengan kedudukan umum dari sayap utara

(sayap 1) N 1 0 4 °E/56° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2)

N270°E/30° (Lampiran 6, hal 303). Antiklin ini terletak pada satuan batupasir

karbonatan Kerek yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan

batulempung karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini

termasuk dalam Steeply Inclined Sub-horizontal Fold (Fleuty, 1964).

4.3.4.2.3. Antiklin Kiyonten 2

Antiklin ini didapatkan berdasarkan data kedudukan batuan yang

tersingkap di lapangan. Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu

antiklin tersebut saling belawanan dengan kedudukan umum dari sayap utara

(sayap 1) N112°E/79° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2)

N90°E/60° (Lampiran 6, hal 304). Antiklin ini terletak pada satuan batupasir

karbonatan Kerek yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan

batulempung karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini

termasuk dalam Steeply Inclined Moderately Plunging (Fleuty, 1964).

4.3.4.2.4. Sinklin Kiyonten 2

Sinklin Kiyonten 2 ini didapatkan berdasarkan data kedudukan batuan

yang tersingkap di lapangan. Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar

sumbu sinklin tersebut saling bertemu dengan kedudukan umum dari sayap utara

(sayap 1) N 1 2 0 °E/25° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2)

114
N270°E/70° (Lampiran 6, hal 304). Antiklin ini terletak pada satuan batupasir

karbonatan Kerek yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan

batulempung karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini

termasuk dalam Moderately Inclined Gently Plunging Fold (Fleuty, 1964).

4.3.4.2.5. Antiklin Kiyonten 3

Antiklin ini didapatkan berdasarkan data kedudukan batuan yang

tersingkap di lapangan. Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu

antiklin tersebut saling belawanan dengan kedudukan umum dari sayap utara

(sayap 1) N93°E/23° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2)

N270°E/20° (Lampiran 6, hal 305). Antiklin ini terletak pada satuan batupasir

karbonatan Kerek yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan

batulempung karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini

termasuk dalam Upright Sub-horizontal Fold (Fleuty, 1964).

4.3.4.3. Antiklinorium Banyuurip

Antiklinorium Kiyonten merupakan kumpulan antiklin dan sinklin dimana

frekuensi antiklin lebih banyak daripada sinklin. Struktur ini didapat berdasarkan

data lapangan berupa kedudukan batuan pada lokasi pengamatan dan rekonstruksi

kedudukan batuan pada penampang geologi. Sumbu yang dibentuk umumnya

berarah barat-timur.

4.3.4.3.1. Antiklin Banyuurip 1

Antiklin ini didapatkan berdasarkan data kedudukan batuan yang

tersingkap di lapangan. Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu

115
antiklin tersebut saling belawanan dengan kedudukan umum dari sayap utara

(sayap 1) N90°E/85° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2)

N120°E/32° (Lampiran 6, hal 305). Antiklin ini terletak pada satuan batupasir

karbonatan Kerek yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan

batulempung karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini

termasuk dalam Steeply Inclined Gently Plunging Fold (Fleuty, 1964).

4.3.4.3.2. Sinklin Banyuurip

Sinklin Banyuurip 1 ini didapatkan berdasarkan data kedudukan batuan

yang tersingkap di lapangan. Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar

sumbu sinklin tersebut saling bertemu dengan kedudukan umum dari sayap utara

(sayap 1) N 1 1 0 °E/30° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2)

N226°E/40° (Lampiran 6, hal 306). Antiklin ini terletak pada satuan batupasir

karbonatan Kerek yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan

batulempung karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini

termasuk dalam Steeply Inclined Gently Plunging Fold (Fleuty, 1964).

4.3.4.3.3. Antiklin Banyuurip 2

Antiklin ini didapatkan berdasarkan data kedudukan batuan yang

tersingkap di lapangan. Kemiringan lapisan batuan yang ada di sekitar sumbu

antiklin tersebut saling belawanan dengan kedudukan umum dari sayap utara

(sayap 1) N254°E/61° dan kedudukan umum dari sayap selatan (sayap 2)

N80°E/51° (Lampiran 6, hal 306). Antiklin ini terletak pada satuan batupasir

karbonatan Kerek yang memiliki litologi batupasir karbonatan dengan sisipan

116
batulempung karbonatan. Berdasarkan hasil analisis stereografis maka lipatan ini

termasuk dalam Upright Sub-horizontal Fold (Fleuty, 1964).

4.3.5 Struktur Sesar Naik

Keberadaan sesar naik di daerah penelitian diduga merupakan hasil dari

telah terlampauinya batas sifat plastis batuan yang sebelumnya terlipatkan. Sesar

naik yang dijumpai di daerah penelitian sebagai berikut:

4.3.5.1. Sesar Naik Sumberejo

Sesar naik Sumberejo merupakan sesar yang didapat dari analisis

kelurusan pada citra DEMNAS dengan arah kelurusan relatif barat timur di Desa

Sumberejo . Kelurusan tersebut berada di antara sumbu lipatan yang berada di

antiklinorium Meduri - Sumberejo. Sesar ini ditandai dengan keberadaan

kedudukan batuan dengan kemiringan yang hampir tegak. Dari analisis

stereografis yang diakukan berdasarkan data pengukuran shear fracture dan

release fracture di lapangan, maka didapatkan kedudukan bidang sesar adalah

N90oE/44o dengan kedudukan net slip 44o, N97oE, kedudukan shear fracture

N121oE/45o, kedudukan extensional fracture 30oE/74o (Lampiran 6, hal 307).

Berdasarkan arah pergerakan relatifnya, maka nama sesar tersebut adalah Thrust

Slip Fault (Rickard, 1972).

4.3.5.2. Sesar Naik Banyuurip

Sesar naik Banyuurip merupakan sesar yang didapat dari analisis

kelurusan pada citra DEMNAS dengan arah kelurusan relatif barat timur di Desa

Banyuurip. Kelurusan tersebut memiliki arah dominan barat-timur. Sesar ini

ditandai dengan keberadaan kedudukan batuan dengan kemiringan yang hampir

117
tegak . Dari analisis stereografis yang diakukan berdasarkan data pengukuran

shear fracture dan release fracture di lapangan, maka didapatkan kedudukan

bidang sesar adalah N97oE/32o dengan kedudukan net slip 32o, N108oE,

kedudukan shear fracture N46oE/45o, kedudukan extensional fracture 185oE/87o

(Lampiran 6, hal 307). Berdasarkan arah pergerakan relatifnya, maka nama sesar

tersebut adalah Thrust Slip Fault (Rickard, 1972).

Gambar 4.22.Keberadaan kedudukan batuan yang tegak di sekitar zona sesar.

4.3.5.3. Sesar Naik Kiyonten

Sesar naik Sumberejo merupakan sesar yang didapat dari analisis

kelurusan pada citra DEMNAS dengan arah kelurusan relatif barat timur di Desa

Banyuurip. Kelurusan tersebut memiliki arah dominan barat-timur. Sesar ini

ditandai dengan keberadaan kedudukan batuan dengan kemiringan yang hampir

tegak. Dari analisis stereografis yang diakukan berdasarkan data pengukuran

shear fracture dan release fracture di lapangan, maka didapatkan kedudukan

118
bidang sesar adalah N94oE/26o dengan kedudukan net slip 38o, N132oE,

kedudukan shear fracture N40oE/41o, kedudukan extensional fracture 182oE/83o

(Lampiran 6, hal 308). Berdasarkan arah pergerakan relatifnya, maka nama sesar

tersebut adalah Thrust Slip Fault (Rickard, 1972).

4.3 Sejarah Geologi

Berdasarkan data-data geologi yang diperoleh di lapangan juga ditambah

analisis laboratorium dan studio, menghasilkan interpretasi dan penafsiran secara

geologi. Sehingga kemudian dapat disusun menjadi sebuah kerangka sejarah

geologi dari daerah penelitian yang tak lepas dari konsep ruang dan waktu.

Penentuan sejarah geologi juga tak lepas dari data geologi yang diperoleh para

peneliti sebelumnya. Model sejarah geologi daerah penelitian dimulai sejak

Miosen Akhir dan berakhir pada endapan yang saat ini masih berlangsung

pengendapannya (Gambar 4.18).

- Miosen Akhir

Proses geologi periode pertama pada daerah penelitian terjadi pada kala

Miosen Akhir. Diawali dengan pengendapan satuan batupasir karbonatan Kerek.

Satuan ini diendapkan pada lingkungan outer neritic – upper bathyal dan masih

berasosiasi dengan pembentukan submarine fan. Pembentukan submarine fan ini

penulis duga terjadi secara bertahap, hal ini didasarkan dari keberadaan struktur

slump di lapangan dan perulangan fasies-fasies litologi yang menunjukan ciri-ciri

dari lingkungan kipas laut dalam. Fasies-fasies ini dijumpai pada jalur pengukuran

penampang stratigrafi terukur di jalur Banyuurip (Lampiran lepas 4). Seiring

119
dengan kenaikan muka air laut, pada bagian atas dari satuan ini mulai dijumpai

sedimen berfraksi halus.

Tanpa Skala
Gambar 4.23. Peristiwa geologi yang terjadi pada kala Miosen Akhir. Gambar A
merupakan awal mula pengendapan satuan batupasir karbonatan
Kerek, B dan C menunjukan mekanisme pengendapan pada
submarine fan. Gambar D merupakan fase akhir pengendapan satuan
batupasir karbonatan Kerek.

120
- Miosen Akhir – Pliosen

Pada Miosen Akhir (N17), terjadi penurunan cekungan/back-arc basin

subsidence yang terjadi akibat masuknya slab Oxfordian-Albian masuk ke Palung

Sunda secara merata (Hall, 2012). Peristiwa ini ditandai dengan perubahan

lingkungan pengendapan yang semula upper bathyal menjadi middle bathyal di

daerah penelitian. Hal ini mengakibatkan terendapkannya sedimen dengan fraksi

halus yang berukuran lempung. Pada fase inilah satuan batulempung karbonatan

Kalibeng terendapkan (Gambar 4.19).

Tanpa Skala
Gambar 4.24. Peristiwa geologi yang terjadi pada kala Miosen Akhir-Pliosen
Awal. E) menunjukan muka air laut yang naik. F) Pengendapan
satuan batulempung karbonatan Kalibeng

121
Memasuki pertengahan Pliosen, muka air laut kembali mengalami

penurunan sehingga mulai terendapkan fraksi yang berukuran pasir menyisip

pada fraksi berukuran lempung. Fase pengendapan satuan batulempung

karbonatan Kalibeng berakhir pada Pliosen Tengah (N20). Setelah pengendapan

satuan batulempung karbonatan Kalibeng berakhir, cekungan yang lingkungannya

berubah menjadi outer neritic mulai terisi sedimen karbonat yang kemudian

disebut sebagai satuan batugamping Klitik pada Pliosen Akhir (N21) (Gambar

4.20)

Tanpa Skala
Gambar 4.25. Peristiwa geologi yang terjadi pada kala Pliosen Akhir. E)
menunjukan masuknya fraksi pasir ke dalam satuan batulempung
karbonatan Kalibeng. F) Pengendapan satuan batugamping Klitik.

122
- Pleistosen

Memasuki awal Pleistosen, kolisi Timor dengan Busur Vulkanik Sunda

mulai terjadi dan memicu pengangkatan regional di Pulau Jawa (Hall, 2012). Pada

daerah penelitian, peristiwa ini digambarkan dengan berkembangnya struktur

geologi berupa lipatan dan sesar (Gambar 4.21).

Tanpa Skala
Gambar 4.26 Pembentukan struktur geologi berupa sesar dan lipatan di daerah
penelitian pada kala Pleistosen

123
Pembentukan struktur geologi di daerah penelitian dipengaruhi oleh

kompresi regional berarah relatif utara-selatan. Rheologi batuan yang cenderung

bersifat plastis membuat deformasi yang terjadi tidak menerus hingga batuan

basement (thin-skinned deformation). Hal ini ditunjukan dengan sudut

pembentukan sesar naik yang kurang dari 45o (thrust fault). Dimana batas antara

basement dengan batuan diatasnya berfungsi sebagai bidang

ketidakselarasan/bidang gelincir (detachment). Pembentukan struktur pada daerah

penelitian terjadi dalam satu kali periode tektonik. Kemudian setelah

pengangkatan regional selesai, mulai terendapkan satuan konglomerat Pucangan

dan satuan tuf Pucangan. Keberadaan kedua satuan ini diduga masih berkaitan

dengan kegiatan gunungapi pada kala Pleistosen. Namun penulis tidak dapat

memastikan darimana sumber kedua satuan ini karena kurangnya data di daerah

penelitian. Dikarenakan tidak adanya data mikrofosil pada kedua satuan ini,

penulis menginterpretasikan bahwa kedua satuan ini terendapkan di lingkungan

darat. Hal ini didasarkan pada tidak ditemukannya komponen karbonat pada

kedua satuan ini.

- Resen

Proses geologi yang berlangsung sejak Miosen Akhir masih berlanjut

hingga sekarang. Tersingkapnya batuan-batuan penyusun daerah penelitian de

permukaan membuat proses eksogenik mulai bekerja. Proses ini mengikis

bentukan asli menjadi bentukan yang dapat diamati sekarang (Gambar 4.22).

Selain itu proses sedimentasi juga terus berlangsung. Pada daerah penelitian,

proses sedimentasi cendenrung dikontrol oleh sungai-sungai musiman.

124
Tanpa Skala
Gambar 4.27 Kenampakan relief di daerah penelitian akibat proses eksogenik di
overlay dengan peta geologi.

4.5 Geologi Lingkungan

Alam menyediakan segala kebutuhan hidup manusia sebagai pemenuhan

kebuthan juga peningkatan kualitas hidup sesuai dengan potensi dan fungsi

sebenarnya daerah tersebut. Namun demikian dalam pengelolaan sumberdaya

alam perlu suatu perencanaan yang baik sehingga dapat digunakan secara efektif

dan efisien. Perencanaan dengan tinjauan geologi lingkungan akan membantu

dalam pemanfaatan lingkungan seoptimal mungkin dan membantu mengurangi

dan mencegah pengaruh negatif dari pemanfaatan sumber daya alam. Pemahaman

mengenai perencanaan lingkungan diharapkan dapat menciptakan keseimbangan

125
hidup antara manusia dengan alam serta mencegah terjadinya kesalahan yang

dapan menimbulkan bencana dalam perencanaan pemanfaatan lahan.

4.5.1 Sesumber

Sesumber adalah sesuatu yang ada di alam dan dapat dimanfaatkan untuk

memenuhi kebutuhan hidup manusia dan lingkungan, sesumber di daerah

penelitian yakni: sumberdaya tanah dan sumberdaya air.

Gambar 4.28 Pemanfaatan lahan sebagai tempat bercocok tanam

Gambar 4.29 Pemanfaatan mata air sebagai tempat mandi warga sekitar.

126
Gambar 4.30 Pemanfaatan lahan sebagai tambang batugamping.

Pemanfaatan tanah pada daerah penelitian sebagian besar digunakan oleh

masyarakat sekitar sebagai lahan perkebunan dan persawahan. Baik itu

pemanfaatan oleh perusahaan ataupun masyarakat perseorangan. Pemanfaatan

oleh perusahaan adalah sebagai lahan untuk perkebunan jati (Gambar 4.23),

sedangkan oleh masyarakat umum dimanfaatkan untuk bercocok tanam padi.

Selain digunakan untuk bercocok tanam, adapula lahan yang di eksploitasi untuk

diambil batugamping yang nantinya digunakan untuk tanah urug jalan (Gambar

4.25)

4.5.2 Bencana Alam

Bencana alam merupakan suatu gejala alam yang disebabkan oleh alam,

manusia atau oleh kedua-duanya (Sampoerno, 1979). Jika batas kesetimbangan

ekosistem telah dilampaui, maka akan timbul bencana yang dapat mengakibatkan

127
kerugian bagi makhluk hidup terutama bagi manusia, seperti : korban jiwa, harta

benda, kerusakan sarana prasarana dan kerusakan lingkungan. Sehingga dapat

menimbulkan gangguan terhadap tatanan kehidupan dan penghidupan baik hewan,

tumbuhan maupun manusia itu sendiri. Bencana alam yang dijumpai pada daerah

penelitian adalah berupa tanah longsor (Gambar 4.26).

Gambar 4.31 Tanah longsor yang terjadi pada daerah penelitian.

128
BAB V

DINAMIKA SEDIMENTASI FORMASI KEREK PADA JALUR

LINTASAN BANYUURIP, DAERAH KIYONTEN DAN SEKITARNYA,

KECAMATAN KASREMAN, KABUPATEN NGAWI,

PROVINSI JAWA TIMUR

5.1 Latar Belakang

Formasi Kerek merupakan salah satu formasi batuan yang telah lama

dikenal terbentuk pada mekanisme pengendapan sedimen arus pekat (gravity flow)

sehingga memberikan kenampakan yang khas baik secara struktur, tekstur,

maupun jenis batuan yang dihasilkan. Namun pada kajian pustaka yang dilakukan

oleh peneliti, belum ditemukan adanya pembahasan secara rinci mengenai

dinamika sedimentasi yang ada saat pembentukan Formasi Kerek di daerah

penelitian. Hal ini yang meningkatkan minat peneliti untuk melakukan pemetaan

yang lebih rinci di lintasan Desa Banyuurip dimana litologi penyusun yang ada

dapat mewakili seluruh litologi yang termasuk ke dalam Formasi Kerek di daerah

penelitian terlebih di daerah ini berdekatan dengan zona sesar anjak (thrust fault)

yang diharapkan keberadaan sesar ini akan menyingkap beberapa singkapan yang

layak untuk dilakukan pengukuran penampang stratigrafi terukur sehingga akan

ditemukan hal baru berkaitan dengan kondisi geologi di daerah penelitian yang

belum pernah disampaikan oleh penelitian sebelumnya yang memungkinkan

menambah referensi sejarah geologi di daerah penelitian khususnya mengenai

dinamika sedimentasi di Formasi Kerek.

129
5.2. Maksud, Tujuan, dan Manfaat

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dinamika sedimentasi

Formasi Kerek dari berbagai aspek geologi meliputi studi fasies, lingkungan

pengendapan, umur, serta kajian provenance secara komprehensif. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika sedimentasi dari Formasi Kerek.

Secara lebih rinci nantinya akan dikaji mengenai mekanisme pengendapan,

lingkungan pengendapan, umur, dan provenance litologi penyusun Formasi Kerek

pada jalur lintasan Banyuurip. Manfaat dari penelitian diharapkan dapat memberikan

kontribusi positif untuk berkenaan dengan kajian sejarah geologi di Zona Kendeng,

khususnya di Formasi Kerek.

5.3. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada penelitian ini

berdasarkan ialah :

1. Bagaimana kajian stratigrafi Formasi Kerek pada lintasan Desa

Banyuurip? Apakah masih terpengaruh dengan mekanisme arus turbidit

2. Bagaimana pembagian fasies, model fasies, dan asosiasi fasies Kerek pada

lintasan Desa Banyuurip?

3. Darimana asal sedimen berdasarkan kajian provenance?

4. Bagaimana dinamika sedimentasi Formasi Kerek pada lintasan Desa

Banyuurip?

5.4. Batasan Masalah

Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis terbatas untuk mengetahui

dinamika sedimentasi Formasi Kerek pada lintasan Banyuurip berdasarkan data

130
asosiasi fasies, umur, lingkungan pengendapan, dan studi provenance. Data

laboratorium pendukung penelitian ini adalah analisis petrografi dari beberapa contoh

batuan terpilih dan analisis mikrofosil pada tiga posisi stratigrafi yaitu sampel atas,

tengah, dan bawah.

5.4 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di Desa Banyuurip, Kecamatan Ngawi,

Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Lokasi pengambilan data penampang stratigrafi

terukur sepanjang 98.6m dengan azimuth N188oE. Di dalam daerah pemetaan

detail, lokasi penelitian terletak di sebelah barat (Gambar 5.1).

Gambar 5.1 Lokasi pengambilan data dan lintasan penampang stratigrafi terukur

131
5.4 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode geologi

lapangan yang akan didukung dengan analisis laboratorium dan analisis studio

untuk memperkuat interpretasi dari hasil penelitian ini (Gambar 5.2). Tahapan –

tahapan tersebut adalah:

Gambar 5.2 Skema Alur Penelitian

1. Tahapan Persiapan

Tahapan ini meliputi studi literatur, survei pendahuluan yang dimaksudkan

untuk mengetahui gambaran awal dari obyek yang akan diteliti yaitu dinamika

132
sedimentasi Formasi Kerek. Studi literatur meliputi kondisi geologi regional

daerah telitian dan konsep – konsep modern yang relevan untuk digunakan pada

kondisi target telitian yang secara umum merupakan formasi yang terbentuk pada

mekanisme submarine fan.

2. Tahapan Pengumpulan Data

Tahapan ini terdiri dari tiga kegiatan yaitu tahap geologi lapangan, tahap

analisis laboratorium, dan analisis studio. Tahap geologi lapangan meliputi

pengukuran stratigrafi terukur pada lintasan terpilih, dan pengambilan contoh

batuan. Analisis laboratorium yang dilakukan adalah analisis petrografi pada

sayatan contoh batuan pada beberapa sampel terpilih, analisis mikrofosil

penyusun batuan, dan analisis provenance dari sampel terpilih, sedangkan analisis

studio meliputi fasies unit batuan dan analisis model fasies.

3. Tahap Analisis Data

Tahapan ini merupakan tahap studi komprehensif dari beberapa data yang

telah diperoleh sebelumnya dari geologi lapangan, laboratorium dan studio. Pada

tahapan ini dilakukan pengumpulan data yang telah didapat dari tahap sebelumnya

untuk dianalisis secara berkesinambungan antara data geologi lapangan,

laboratorium, maupun studio.

4. Sintesa Penelitian

Pada tahapan ini dimaksudkan untuk menggambarkan dinamika sedimentasi

Formasi Kerek pada jalur Banyuurip berdasarkan beberapa hasil analisis data yang

telah dilakukan sebelumnya.

133
5.5 Dasar Teori

Sistem pengendapan sedimen dalam suatu cekungan selalu bervariasi dan

berbeda pada setiap formasi yang terbentuk. Cekungan Jawa Timur Utara

merupakan salahsatu cekungan dengan sistem submarine fan yang membentuk

Formasi Kerek didalamnya. Submarine fan/kipas laut dalam berdasarkan

Armishaw, dkk. (2000) adalah sebuah tubuh endapan sedimen yang melampar

secara lateral membentuk cone yang tersusun atas sedimen hasil deposit arus

turbidit melalui lembah bawah permukaan air menuju ke daerah laut dalam.

Beberapa teori lain yang digunakan dalam penulisan ini diantaranya adalah

konsep pembagian unit fasies batuan pada aqueous gravity flow (Ghibaudo,

1992), konsep model fasies submarine fan (Mutti dan Ricci Lucci, 1972;

Pickering, 1989), konsep pembagian asosiasi fasies submarine fan (Mutti dan

Ricci Lucci, 1972) dan beberapa konsep terkait penyelesaian permasalahan yang

dijumpai di daerah penelitian.

5.5.1 Arus Gravitasi/Gravity Flow

Arus turbid itu adalah suatu arus yang memiliki suspensi sedimen dan

mengalir pada dasar tubuh cairan, karena mempunyai kerapatan yang lebih besar

daripada cairan tersebut (Keunen dan Migliorini, 1950). Aliran gravitasi adalah

aliran sedimen atau campuran sedimen fluida dibawah pengaruh gaya berat.

Berdasarkan gerakan relatif antar butir dan jaraknya dari sumber aliran gravitasi

dapat dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: aliran turbid (turbidity current),

aliran sedimen yang difluidakan (fluidized sediment flow), aliran butir (grain

134
flow), dan aliran debris(debris flow) (Middleton dan Hampton, 1973 dalam

Koesoemadinata, 1985).

Aliran turbidit adalah semua sedimen yang terendapkan oleh aliran

gravitasi dalam lingkungan laut yang relatif dalam dan penyebarannya luas

dengan tipe sedimentasi bervariasi mulai dari matrix supported conglomerate

hingga graded mudstone yang sangat halus (Mutti dan Ricci Lucchi, 1972). Arus

yang menyebabkan endapan ini terbentuk dinamakan arus turbid yang mempunyai

densitas yang jauh lebih besar dibandingkan dengan sekitarnya. Arus ini mampu

mentransportasi partikel batuan dan mineral sesuai dengan densitas, kerapatan,

dan kepekatannya. Menurut Mutti (1992) berdasarkan produk yang dihasilkannya

fasies turbidit dapat dibedakan menjadi tiga tipe aliran yaitu : cohessive debris

flow, high density turbidity current, dan low density turbidity current. Sedangkan

menurut Walker (1992) suatu arus densitas yang bergerak menuruni lereng pada

daerah lantai samudera, yang di kontrol oleh gravitasi yang bekerja pada perbedaan

densitas antara arus tersebut dengan densitas air laut sekitarnya. Kelebihan densitas

pada arus ini dapat dikarenakan oleh temperatur yang dingin, salinitas yang lebih

tinggi atau karena sedimen yang tersuspensi didalam arus tersebut. Dimana jika

kepadatan dikarenakan oleh material sedimen yang terkandung pada arus tersebut,

maka arus tersebut dinamakan arus turbidit.

Aliran debris merupakan aliran butiran kasar (bisa mencapai bongkah)

yang didukung oleh masa dasar berupa campuran sedimen halus dan media air

yang masih mempunyai tenaga yang terbatas. Pergerakan itu sendiri disebabkan

oleh gaya berat. Karena butir kasar didukung oleh campuran media dengan

butiran yang berukuran lebih halus, maka endapan yang terjadi dicirikan dengan

135
adanya bongkah yang mengambang pada matrik (floating). Apabila aliran seperti

ini tanpa ada pengaruh dari media sama sekali maka dikatakan sebagai slump.

Aliran sedimen yang difluiadakan terjadi ketika butir-butir pasir yang

mengalir sudah tidak rigrid, tetapi butiran yang sudah saling lepas-lepas dan

didukung oleh media air. Pengendapan terjadi bila air pori telah terperas keluar secara

vertikal, dan akan menghasilkan struktur mangkok (dish structure). Menghasilkan

tipe endapan proximal turbidite.

Aliran butir terjadi ketika interaksi antara secara langsung, karena dalam

mengalir butir-butir tersebut belum sepenuhnya terlepaskan. Dalam hal ini peran

media hampir tidak ada. Matrik berupa pasir dan mengendap sekaligus. Debris

flow dan grain flow menghasilkan fluxo turbidite.

5.5.2 Fasies

Fasies adalah aspek fisika, kimia, atau biologi suatu endapan dalam

satuatu endapan. Dua tubuh endapan batuan yang diendapkan pada waktu yang

sama dikatakan berbeda fasies, jika kedua batuan tersebut berbeda ciri fisik,

kimia, atau biologinya. Fasies dipercaya sebagai hasil dari sebuah mekanisme

deposisi yang spesifik atau beberapa mekanisme yang saling berhubungan dalam

suatu rentang waktu yang sama. Dalam mekanisme pembentukan fasies yang

melibatkan gravity flow atau arus turbidid penulis menggunakan pembagian fasies

sebagai berikut:

5.5.2.1 Sub-aqueous Sediment Facies (Ghibaudo, 1992)

Dalam mengklasifikasikan sebuah fasies dan sub-fasies, maka perlu

diperhatian bagaimana tipe sedimen dan struktur internal dalam suatu lapisan

136
batuan. Ghibaudo (1992) memisahkan karakter lapisan ini dan kemudian

dilakukan pengkodean dengan simbol karakter huruf besar dan huruf kecil sebagai

gambaran istilah deskriptif fisik dari sebuah lapisan batuan yang telah umum

diketahui. Selanjutnya kenampakan fisik lain seperti ketebalan lapisan, geometri,

dan rasio ketebalan gravel/sand, sand/mud, atau silt/mud dalam sebuah lapisan

juga menjadi pembeda fasies satu dengan lainnya. Kategori litologi yang

digunakan dalam skema pengkodean fasies didasarkan pada ukuran butir dan pada

beberapa litologi melibatkan sortasi (Ghibaudo, 1992) (Gambar 5.3). Penamaan

kode fasies dijelaskan sebagai berikut:

Gambar 5.3 Pembagian fasies berdasarkan ukuran butir dan sortasi (Ghibaudo,
1992).

G (Gravel)

Kategori ini merupakan lapisan batuan yang mengandung banyak fragmen

(clast supported) atau memiliki lapisan yang kaya akan fragmen pada bagian

bawah dan pada bagian atas komponen matriks menjadi dominan (upper matrix-

supported). Komponen berukuran mud (silt dan clay) kurang dari 10% dan

biasanya tidak tertutupi oleh lapisan berukuran halus pada bagian atas. Untuk

137
mendetailkan fasies ini batasan ukuran butir gravel dapat dibagi menjadi: PyG =

pebbly gravel; CyG = cobbly gravel; ByG = bouldery gravel.

GS (Gravel-sand Couplet)

Kategori ini merupakan lapisan batuan yang mengandung fragmen (baik

dominan maupun tidak) berukuran gravel pada bagian bawah dan bergradasi

menjadi ukuran butir pasir pada bagian atas. Bagian yang mengandung fragmen

setidaknya sebanyak 5% dari total ketebalan unit lapisan. Setiap unit lapisan

menggambarkan satu periode. Kandungan butiran yang berukuran mud biasanya

kurang dari 10% dan penutup berukuran mud biasanya tidak ada.

S (Sand)

Unit batuan ini merupakan lapisan yang didominasi oleh ukuran butir

pasir. Namun pada lapisan ini tidak menutup kemungkinan hadirnya fragmen

berukuran gravel. Kandungan matriks berukuran mud kurang dari 10%.

SM (Sand-mud Couplet)

Unit batuan ini merupakan perselingan antara unit berukuran pasir (dapat

mengandung sejumlah kecil fragmen) pada bagian bawah dan bagian atas

berukuran mud. Unit berukuran pasir memiliki rasio lebih dari 50% dari total

lapisan unit lapisan dan sebuah unit lapisan merupakan fase pengendapan.

MS (Mud-sand Couplet)

Analog untuk tipe fasies ini merupakan kebalikan dari fasies SM (sand-

mud couplet) dimana bagian berukuran mud menyusun lebih dari 50% dari total

perlapisan. Fasies ini menandakan bahwa lapisan berukuran mud lebih tebal dari

lapisan berukuran pasir.

138
MT (Mud-silt Couplet)

Analog untuk tipe fasies ini sama seperti fasies MS (mud-sand couplet)

dimana bagian berukuran mud menyusun lebih dari 50% dari total perlapisan.

Fasies ini menandakan bahwa lapisan berukuran mud lebih tebal dari lapisan

berukuran lanau.

TM (Silt-mud Couplet)

Analog untuk tipe fasies ini sama seperti fasies MT (mud-silt couplet)

dimana bagian berukuran silt/lanau menyusun lebih dari 50% dari total perlapisan.

Fasies ini menandakan bahwa lapisan berukuran lanau lebih tebal dari lapisan

berukuran mud.

M (Mud)

Kategori ini mengandung komponen berukuran lempung lebih dari 30%

dengan kandungan pasir kurang dari 10% bahkan tidak ada.

MyS (Muddy Sand)

Lapisan ini merupakan lapisan berukuran pasir yang kaya akan lempung.

Komponen lempung berkisar 10-50%.

SyM (Sandy Mud)

Lapisan ini merupakan lapisan berukuran lempung yang kaya akan pasir.

Komponen pasir berkisar 10-50%.

MyG (Muddy Gravel)

Lapisan ini merupakan lapisan mud-bearing gravel. Komponen lempung

atau pasir berkisar 10-50%.

139
GyM (Gravelly Mud)

Lapisan ini merupakan lapisan gravel-bearing mud. Komponen berukuran

gravel kurang dari 50%.

Selain penggambaran fasies berdasarkan tekstur batuan, struktur dalam

batuan menggambarkan proses pengendapan dari suatu unit batuan. Ghibaudo

(1992) mengelompokkan struktur-struktur tadi menjadi awalan dalam

menyebutkan sebuah fasies yang ada (Gambar 5.4).

Gambar 5.4 Pembagian prefix atau awalan pada struktur batuan (Ghibaudo, 1992)

140
Awalan struktur ini (m) menggambarkan sebuah lapisan atau beberapa

lapisan dengan tidak adanya penjajaran atau gradasi ukuran butir. Struktur ini

kemudian dibagi berdasarkan tekstur unit batuan seperti m2= untuk unit batuan

masif pada clast-supported gravel; m1= untuk unit batuan masif pada matrix-

supported gravel; m= untuk unit batuan masif pada batuan bertekstur pasir.

g (Graded)

Awalan struktur ini (g) menggambarkan unit lapisan atau beberapa lapisan

yang memiliki karakteristik gradasi ukuran butir secara vertikal, namun seringnya

tidak memiliki perlapisan. Gradasi yang dimaksudkan merupakan gradasi ukuran

butir yang normal (besar-kecil), terbalik (kecil-besar). Struktur ini kemudian

dibagi berdasarkan tekstur unit batuan seperti g2= untuk unit gradasi batuan pada

clast-supported gravel; g1= untuk unit gradasi batuan pada matrix-supported

gravel; g= untuk unit gradasi batuan pada batuan bertekstur pasir; dan g0= untuk

unit gradasi batuan pada batuan bertekstur silt.

s (Plane-stratified)

Awalan struktur ini (s) menggambarkan unit lapisan atau beberapa lapisan

yang memiliki karakteristik perlapisan sejajar. Perlapisan umumnya memiliki

ketebalan 1 sampai 50cm tergantung pada ukuran butirnya. Didalam sebuah

perlapisan tersebut bisa pula dijumpai gradasi internal. Struktur ini kemudian

dibagi berdasarkan tekstur unit batuan seperti s2= untuk unit batuan berlapis pada

clast-supported gravel; s1= untuk unit batuan berlapis pada matrix-supported

gravel; s= untuk unit batuan berlapis pada batuan bertekstur pasir.

141
x (Cross-stratified)

Awalan struktur ini (x) menggambarkan unit atau beberapa unit batuan

yang memiliki struktur cross stratifiacation. Struktur ini kemudian dibagi

berdasarkan tekstur unit batuan seperti x2= untuk unit batuan clast-supported

gravel; x1= untuk unit batuan bertekstur matrix-supported gravel; x= untuk unit

batuan bertekstur pasir.

b, d/l (Parallel-laminated)

Awalan struktur ini (b, d) menggambarkan unit atau beberapa unit batuan

yang memiliki struktur laminasi. Awalan “b” menunjukan laminasi pada ukuran

butir pasir. Awalan “d” menunjukan laminasi pada ukuran butir lanau dan mud.

e (Pelitic interval)

Awalan struktur ini (e) menggambarkan unit atau beberapa unit batuan

yang setara dengan unit “E” pada sequen Bouma (1969). Struktur ini kemudian

dibagi berdasarkan tekstur unit batuan seperti e2= gradasi unit batuan pada batuan

berukuran butir mud; e1= untuk unit perlapisan sejajar bertekstur mud.

q (Liquified)

Awalan struktur ini (e) menggambarkan unit atau beberapa unit batuan

yang memiliki karakteristik struktur yang mencerminkan adanya pelepasan fluida

seperti dish structure dan wavy lamination.

Keberadaan awalan struktur diatas, kemudian ditambahkan dengan fasies

dari masing-masing unit batuan tersebut. Gabungan dari fasies dan struktur batuan

kemudian disebut sub-fasies (Gambar 5.5). Sub-fasies nanti kemudian

dideskripsikan berdasarkan fasies penyusun dan struktur batuan tersebut.

142
Gambar 5.5 Skema pembagian fasies dan sub fasies berdasarkan tekstur dan
struktur unit batuan (Ghibaudo, 1992)

143
5.5.2.2 Fasies Model Submarine Fan

Menurut Mutti dan Ricci Lucchi (1975) fasies didefinisikan sebagai

sebuah lapisan atau kumpulan lapisan batuan yang memperlihatkan ciri litologi,

geometri, dan karakter sedimentologi yang berbeda dari lapisan lain. Pada

endapan sub-marine fan dijumpai batuan yang memiliki karakter tertentu. Mutti

dan Ricci Lucchi (1972) membagi model fasies tersebut menjadi :

- Fasies A

Terdiri atas batupasir kasar hingga konglomerat, tersortasi buruk. Pada

kenampakan di lapangan sering menunjukan struktur masif, umumnya

menunjukan kesan erosianal pada kontak batuannya dan menunjukan amalgamasi.

Perselingan berukuran shale dijumpai berukuran tipis. Pecahan fragmen shale

sering dijumpai.

- Fasies B

Batupasir kasar hingga sedang memiliki sortasi yang lebih bagus dari

fasies A, umumnya memiliki struktur masif, lenticular, namun lebih menerus

secara lateral daripada fasies A. Lapisan ini cenderung tebal dan terkadang

dijumpai struktur laminasi. Pecahan shale umumnya dijumpai bersamaan dengan

kontak erosional pada batas unit batuan. Fasies ini merupakan produk dari grain

flows dan high velocity turbidity current.

- Fasies C

Batupasir sedang hingga halus (pada bagian bawah dijumpai batupasir

berukuran kasar) dengan komponen shale yang tidak terlalu banyak. Umumnya

berstruktur perlapisan paralel dan memiliki kemenerusan lateral yang bagus.

Sequen Ta sampai Te pada sequen Bouma dapat ditemukan pada fasies ini.

144
- Fasies D

Batupasir halus hingga sangat halus, batulanau, dan shale yang memiliki

kemenerusan lateral. Struktur internal seperti laminasi, perlapisan sejajar,

convolute dapat dijumpai pada fasies ini. Sedimen pada fasies ini merupakan

produk dari larutan turbidit yang memiliki densitas rendah. Umumnya terdeposisi

pada lower flow regime.

- Fasies E

Fasies ini dibedakan dari fasies D berdasarkan karakteristik; sand:shale

rasio yang lebih tinggi; lapisan yang lebih tipis; lebih banyak lapisan yang

mempunyai kenampakan melensa. Fasies ini merupakan produk dari pengendapan

di overbank

- Fasies F

Variasi dari sedimen yang terbentuk akibat longsoran seperti slump,

mudflow, dll.

- Fasies G

Sedimen berukuran halus umumnya bersifat karbonatan jarang membentuk

struktur perlapisan paralel. Fasies ini merupakan produk dari larutan suspensi

pada arus turbidit.

Selain konsep model fasies yang dituliskan oleh Mutti dan Ricci Lucchi

(1972) penulis juga menggunakan model fasies menurut Pickering.,dkk (1989)

(Gambar 5.6) dimana model fasies ini merupakan pengembangan dari model

fasies Mutti dan Ricchi Lucchi (1972). Pembagian model fasies menurut

Pickering., dkk (1989) adalah sebagai berikut:

145
Gambar 5 6 Skema pembagian model fasies berdasarkan tekstur dan struktur unit
batuan (Pickering, 1992).

- Grup Fasies A

Terdiri dari sedimen bertekstur gravel, muddy gravel, gravelly mud,

pebbly sand, >5% gravel. Grup fasies A dibagi menjadi:

146
A1. Disorganised gravel, muddy gravels, gravelly muds dan pebbly sands

A1.1 Disorganised gravel

A1.2 Disorganised muddy gravel

A1.3 Disorganised gravelly mud

A1.4 Disorganised pebbly sand

A2. Organised gravel dan pebbly sand

A2. l Stratified gravel

A2.2 Inversely graded gravel

A2.3 Normal ly graded gravel

A2.4 Graded-stratified gravel

A2.5 Stratified pebbly sand

A2.6 Inversely graded pebbly sand

A2.7 Normally graded pebbly sand

A2.8 Graded-stratified pebbly sand

- Grup Fasies B

Terdiri dari batuan dengan bertekstur pasir, gradasi pasir >80%, >5%

gradasi pebble. Grup fasies B dibagi menjadi:

Bl. Disorganised sands

Bl.1 Thick/medium-bedded, disorganised sands

Bl.2 Thin-bedded, coarse-grained sands

B2. Organised sands

B2.l Parallel-stratified sands

B2.2 Cross-stratified sands

147
- Grup Fasies C

Terdiri dari sand-mud couplet, dan muddy sand, 20-80% sand grade,

<80%mud grade. Grup fasies C dibagi menjadi:

Cl Disorganised muddy sands

Cl .1 Poorly sorted muddy sands

Cl .2 Mottled muddy sands

C2 Organised sand-mud couplets

C2.l Very thick/thick-bedded sand-mud couplets

C2.2 Medium-bedded sand-mud couplets

C2.3 Thin-bedded sand-mud couplets

C2.4 Very thick/thick-bedded, mud-dominated, sand mud couplets

C2.5 Medium to very thi ck-bedded, mud-dominated slurried sand-

mud couplets

- Grup Fasies D

Terdiri dari silts, silty muds and silt-mud coupl ets, >80% mud, >40% silt,

0- 20% sand. Grup fasies D dibagi menjadi:

Dl Disorganised silts and silty muds

Dl.1 Structureless silts

Dl.2 Muddy silts

Dl.3 Mottled silt and mud

D2 Organised silts and muddy silts

D2.l Graded-stratified silt

D2.2 Thick irregular silt and mud laminae

D2.3 Thin regular sil t and mud laminae

148
- Grup Fasies E

Grup fasies ini terdiri dari >95% mud grade, <40% si lt grade, <5% sand

and coarser grade, <25% biogenics. Grup fasies E dibagi menjadi:

El Disorganised muds and clays

El.1 Structureless muds

El.2 Varicoloured muds

El.3 Mottled muds

E2 Organised muds

E2.l Graded muds

E2.2 Laminated muds and clays

- Grup Fasies F

Grup fasies ini terdiri dari:

Fl Exotic clasts

Fl.1 Rubble

Fl.2 Dropstones and isolated ejecta

F2 Contorted/disturbed strata

F2.1 Coherent folded and contorted strata

F2.2 Brecciated and balled strata

5.5.3 Asosiasi Fasies

Dari beberapa tipe fasies yang telah diterangkan diatas, maka dapat

diperoleh asosiasi fasies dari masing-masing unit batuan yang ada (Gambar 5.7).

Asosiasi fasies didefinisikan sebagai suatu kombinasi dua atau lebih fasies yang

membentuk suatu tubuh batuan dalam berbagai skala dan kombinasi. Asosiasi

149
fasies ini mencerminkan lingkungan pengendapan atau proses dimana fasies-

fasies itu terbentuk (Mutti dan Ricci Luchi, 1972).

Gambar 5.7 Gambar pembagian asosiasi fasies menurut Mutti dan Ricci Lucchi
(1972)

- Slope Association

Asosiasi fasies ini terbentuk di lereng-lereng bawah permukaan.

Karakteristik endapan yang dihasilkan didominasi oleh fasies G, A, E, dan

kemunculan fasies F secara tidak teratur (chaotic). Fasies A kadang-kadang

dijumpai mengisi pada channel bawah permukaan. Struktur yang berasosiasi

dengan paleocurrent biasanya akan membentangke arah basin axis.

- Submarine Fan Association

Asosiasi fasies ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu inner fan, middle fan,

dan outer fan. Penjelasan dari masing-masing sub-asosiasi fasies sebagai berikut :

150
Inner Fan Sub-association

Sub-asosiasi fasies ini dicirikan dengan dominasi fasies sedimen A, B, G, E,

dan D yang cenderung tebal. Tubuh batuan berukuran pasir biasanya menutupi

lembah-lembah sub-marine fan. Fasies lain yang sering ditemukan adalah fasies C

dan F.

Middle Fan Sub-association

Secara umum sub-asosiasi fasies ini disusun oleh fasies A, B, dan D. Fasies C

muncul namun tidak sebanyak fasies D dan fasies E. Fasies lain yang mungkin

dijumpai (biasanya akan membentuk tubuh lentikular) yaitu fasies A, B, dan F.

Ukuran butir dan ketebalan pada sub-asosiasi fasies ini cenderung akan menipis

atau mengalami pola menghalus keatas (fining upward).

Outer Fan Sub-association

Sub-asosiasi fasies ini tersusun oleh fasies A, B, dan D yang membentuk unit-

unit lenticular. Ukuran butir dan ketebalan pada sub-asosiasi fasies ini cenderung

akan menebal atau mengalami pola mengkasar keatas (coarsening upward).

Jarang ditemukannya struktur erosional/scouring pada sub-fasies ini menandakan

bahwa tidak ada channel filling pada sub-asosiasi fasies ini.

- Basin Plain Association

Hampir seluruh asosiasi fasies ini disusun oleh fasies D. Fasies G dijumpai di

beberapa tempat sebagi lapisan tipis napal dan shale. Struktur yang berasosiasi

dengan paleocurrent biasanya sejajar dengan basin axis.

151
5.5.3 Provenance

Komposisi batuan seperti halnya tekstur dan struktur sedimen merupakan

properti mendasar dari batuan sedimen. Pada umumnya dipergunakan mineralogi

untuk merujuk dan mengidentifikasi seluruh partikel atau butiran dalam batuan.

Batuan atau sedimen silisiklastik adalah batuan yang tersusun oleh detrital yang

berasal dari batuan yang telah ada sebelumnya lalu tertransportasi dan terdeposisi

melalui proses fisik. Jenis partikel rombakan (detrital) berasal dari proses

disintegrasi disika-kimia dari batuan asal. Sebagian besar datrital tersebut adalah

terrigenous silisiklastik yang dihasilkan oleh proses pelapukan yang tersusun oleh

mineral resisten atau fragmen batuan atau mineral sekunder seperti mineral

lempung dan juga hasil vulkanisme yang menghasilkan partikel piroklastik dari

luar cekungan pengendapan. Beberapa detrital dapat pula merupakan partikel non-

klastik, seperti fragmen cangkang atau klastika karbonat yang terbentuk dalam

cekungan akibat adanya gangguan pada masa terumbu oleh gelombang.

Menurut Folk (1968) kelimpahan butiran dalam batuan sedimen

dipengaruhi oleh faktor :

1. Mineral harus hadir dalam jumlah yang melimpah pada daerah sumber.

2. Mineral harus tahan terhadap proses abrasi atau pengikisan.

3. Ketahanan suatu mineral terhadap pelarutan dan pelapukan selama proses

transportasi, deposisi maupun diagenesa.

4. Pelapukan mineral lebih intensif pada daerah dengan iklim yang bersifat

panas dan lembab

152
5. Mineral yang tidak stabil akan tetap ditemukan di daerah dengan relief

tinggi karena selalu ada sulai mineral dari batuan segar walaupun tingkat

pelapukannya tinggi

6. Proses sedimentasi seperti sistem arus yang membawa partikel, adanya

benturan saat transportasi, dan faktor hidrolik misalnya berat jenis mineral.

Pemanfaatan informasi komposisi partikel sedimen untuk mengetahui dari

faktor-faktor tersebut diatas dikenal sebagai studi provenance. Studi ini adalah

studi mengenai asal-usul atau kemunculan sedimen (Pettijohn, dkk., 1987). Untuk

studi provenance umumnya digunakan analisa kehadiran mineral berat dan

mineral ringan. Tipe batuan dan indek kematangan dapat diturunkan dari

perbandingan (rasio) kuarsa/feldspar dan kuarsa/(feldspar+fragmen batuan).

Dalam studi provenance dari batuan sedimen, dapat digunakan metode uji dari

Dickinson (1979) (Gambar 5.8) dengan melakukan penghitungan komponen

kuarsa (Qm dan Qt), feldspar, dan litik.

Gambar 5.8 Penentuan kategori provenance pada batuan sedimen menurut


Dickinson (1979)

153
5.6. Hasil Analisis

Dalam kajian ini menjelaskan data primer maupun data sekunder yang

didapat kemudian dilakukan suatu analisis. Data primer merupakan data murni

yang didapat langsung di lapangan dengan pengamatan secara langsung pada data

permukaan, data yang didapat kemudian dipilah dan diambil untuk daerah

penelitian beserta aspek yang menyertainya. Data sekunder merupakan data

pendukung meliputi penelitian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu baik secara

lokal maupun regional. Beberapa analisis yang akan dilakukan peneliti

diantaranya adalah analisis fasies batuan sedimen, analisis model fasies gravity

flow deposit, analisis asosiasi fasies, dan analisis provenance batuan penyusun

Formasi Kerek pada jalur lintasan Banyuurip.

5.6.1. Analisis Fasies dan Model Fasies

Secara umum lokasi pengukuran penampang stratigrafi terukur termasuk

ke dalam satuan batupasir karbonatan Kerek yang didominasi oleh batupasir

karbonatan dengan sisipan batulempung karbonatan. Namun pada pembuatan

penampang stratigrafi terukur dijumpai batuan yang lebih bervariatif seperti

dijumpainya konglomerat, batulanau karbonatan, batulempung karbonatan, dan

batulempung. Hasil analisis yang telah dilakukan oleh peneliti menunjukan bahwa

pada bagian bawah (0 – 8.5m) dari kolom stratigrafi terukur, batupasir karbonatan

tetap mendominasi (Gambar 5.9). Umumnya batupasir karbonatan ini memiliki

struktur gradasi menghalus menjadi batulanau karbonatan atau batulempung

karbonatan. Selain itu tidak jarang batupasir karbonatan ini memiliki struktur

berlapis hingga laminasi sehingga umumnya fasies yang terbentuk berupa sgSM

154
(stratified graded sand-mud couplet), gMS (graded mud-sand couplet), sS

(stratified sand), lgSM (laminated graded sand-mud couplet).

Gambar 5.9 Dominasi fasies batupasir bergradasi dan batupasir berlapis pada
pengukuran penampang stratigrafi bagian bawah.

Pembagian model fasies menurut Mutti dan Ricci Lucchi (1972) pada

singkapan bagian bawah dari lokasi pengukuran penampang stratigrafi terukur

menunjukan pola model fasies D mendominasi bagian ini dengan ciri berupa

litologi berukuran pasir sangat halus hingga halus dengan sortasi yang bagus,

penyebaran lateral yang merata (tidak dijumpai lensa-lensa batuan). Sedangkan

model fasies menurut Pickering (1989) menunjukan dominasi model fasies B2.1

dan C2.2. Model fasies lain nampak hadir sebagai sisipan seperti fasies D2.3 dan

fasies E2.1. Fasies A2.5 dijumpai pada bagian paling bawah dari penampang

stratigrafi terukur.

Dari pola model fasies diatas, terdapat indikasi bahwa terdapat

kecenderungan menghalus ke atas yang kemudian berganti menjadi gradasi

mengkasar ke atas. Gradasi pola ini dicontohkan pada bagian bawah merupakan

model fasies B yang kemudian berubah menjadi model fasies D yang kemudian

bergradasi kembali membentuk fasies D (Mutti dan Ricchi Lucchi, 1972). Selain

155
itu pola gradasi menghalus juga nampak pada pembagian model fasies menurut

Pickering dimana model fasies A2.5 berubah menjadi perselingan model fasies

B2.1 dan C2.2 dan pola mengkasar ke atas yang diwakili model fasies E.21

bergradasi menjasi B2.1 (Gambar 5.10).

Gambar 5.10 Pembagian model fasies menunjukan pola gradasi normal dan
gradasi terbalik pada penampang stratigrafi terukur.

Pada bagian tengah (8.5 – 53.6m) di kolom penampang stratigrafi terukur

mulai ditemukan fasies yang cenderung lebih menghalus (batupasir kerikilan –

konglomerat - batupasir) (Gambar 5.11). Fasies-fasies ini umumnya memiliki

struktur masif hingga bergradasi. Banyak dijumpai pecahan-pecahan

156
shale/batulanau berukuran kerikil hingga bongkah menjadi fragmen pada litologi

seperti kongomerat dan batupasir. Batuan fraksi halus (batulanau karbonatan dan

batulempung karbonatan) berstruktur laminasi ditemukan sebagai sisipan pada

batupasir. Pada litologi berupa konglomerat memiliki ketebalan diatas satu meter

sehingga dapat dikategorikan sebagai konglomerat berstruktur masif

(mByG/massive bouldery gravel). Analisis petrografi menunjukan fragmen dari

konglomerat adalah calcareous mudrock (WTG, 1982) (Gambar 5.12). Fasies ini

secara berangsur nantinya akan bergradasi menjadi fasies gByS/graded boulderly

sand dimana pada fasies ini cenderung memberikan kesan matrix-supported pada

kenampakan unit batuannya. Pada unit fasies yang lebih muda, baik fasies mByG

maupun gByS sudah tidak dijumpai lagi. Umumnya fasies pada bagian atas

cenderung didominasi oleh fasies-fasies berfraksi halus.

Gambar 5.11 Dominasi fasies batupasir bergradasi dan perselingan batulanau-


batulempung pada pengukuran penampang stratigrafi bagian bawah.

157
Gambar 5.12 Sayatan petrografi dari fasies mByG/massive bouldery gravel

Model fasies pada bagian tengah dibagi menjadi 5 kelompok model fasies

(Gambar 5.13). Pada Gambar 5.13A bagian bawah menunjukan dominasi fasies A

dan B menurut Mutti dan Ricchi Lucchi (1972), model fasies ini bergradasi

menjadi model fasies D2.3 dan D2.1 menurut klasifikasi Pickering (1989).

Selanjutnya pada bagian yang lebih muda dijumpai model fasies A (Gambar

5.13B) yang menunjukan amalgamasi konglomerat dengan fragmen berkururan

bongkah. Model fasies ini kemudian bergradasi membangun fasies dengan fraksi

yang lebih halus. Pada Gambar 5.13C dijumpai pola mengkasar keatas

(coarsening upwad) dimana pola ini membentuk model fasies D. Pola ini berulang

sebanyak satu kali yang menunjukan dua periode pengendapan yang berbeda yang

kemudian diatasnya terendapkan dominasi model fasies C yang memiliki pola

fining upward (menghalus keatas) yang selanjutnya kembali dijumpai pola

mengkasar keatas (Gambar 5.13D). Dominasi model fasies A kembali dijumpai

pada bagian atas (Gambar 5.13E). Model fasies A ini disusun oleh mgCys

158
(massive graded cobbly sand)yang didominasi oleh matriks sebagai komponennya

(matrix supported).

Gambar 5.13 Pembagian model fasies pada bagian tengah (8.5 – 53.5m)
penampang stratigrafi terukur.

Bagian atas dari jalur pembuatan penampang stratigrafi (53.5 – 80.2m)

menunjukan perubahan dari unit fasies berfraksi kasar (konglomerat-batupasir

karbonatan) berubah menjadi dominasi unit dengan fasies berfraksi halus seperti

batulanau karbonatan dan batulempung karbonatan (Gambar 5.10). Pada bagian

ini didominasi oleh kehadiran fasies lgMT (laminated graded muddy-silt), sgMS

(stratified graded muddy sand), dan dijumpai beberapa sisipan fasies sS (stratified

sand).

159
Litologi dominan penyusun fasies ini adalah batulanau karbonatan,

batulempung karbonatan, dan batulempung pada bagian paling atas (Gambar

5.15). Berdasarkan analisis petrografi pada batulempung (Gambar 5.14),

komponen penyusun umumnya sudah teroksidasi (muncul oksida berupa hematit)

sehingga tidak bersifat karbonatan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa

sumber/provenance dari batulempung yang bersifat non-karbonatan.

Gambar 5.14Petrografi batulempung non karbonatan (PTGF 7)

Gambar 5.15 Dominasi fasies lgMT (laminated graded muddy-silt) dan sS


(stratified sand) pada bagian atas penampang stratigrafi terukur.

160
Pembagian model fasies bagian atas menunjukan dominasi model fasies C

dan D (Mutti dan Ricci Lucchi, 1972). Pola mengkasar ke atas (coarsening

upward) maupun menghalus ke atas (fining upward) berkembang dengan baik

pada bagian ini (Gambar 5.16).

Gambar 5.16 Pola fining upward – coarsening upward pada bagian atas kolom
stratigrafi terukur.

5.6.2. Analisis Asosiasi Fasies dan Mekanisme Arus Pengendapan

Suatu kombinasi dua atau lebih fasies yang membentuk suatu tubuh batuan

dalam berbagai skala dan kombinasi akan membentuk kenampakan susunan

stratigrafi dengan ciri tertentu yang kemudian disebut sebagai asosiasi fasies.

Dalam penentuan asosiasi fasies tidak hanya melihat satu unit fasies atau satu

model fasies namun gabungan dari beberapa fasies/model fasies yang ada.

161
Pada pembagian asosiasi fasies submarine fan atau kipas bawah

permukaan air laut, pembagian fasies yang digunakan mengacu pada klasifikasi

asosiasi fasies menurut Mutti dan Ricchi Lucchi (1972) yang membagi asosiasi

fasies submarine fan menjadi tiga bagian yaitu slope, fan/proximal basin, dan

submarine plain/distal basin dengan masing-masing asosiasi fasies memiliki

model fasies penyusun yang berbeda.

Berdasarkan hasil analisis penampang stratigrafi terukur, lokasi penelitian

cenderung berasosiasi dengan fan/proximal basin dan submarine plain/distal

plain. Hal ini didasarkan pada dominasi model fasies A, B, C, D, E pada daerah

penelitian. Asosiasi fasies fan/proximal basin berada di bagian bawah dari

penampang stratigrafi dan kemudian berubah menjadi submarine plain/distal

plain pada bagian atas.

Dari asosiasi fasies fan/proximal basin tersebut, peneliti membagi lagi

kedalam lingkup yang lebih detail untuk menentukan lingkungan pengendapan

yang lebih spesifik berdasarkan susunan model fasies. Hasil yang diperoleh

menunjukan pada bagian bawah menunjukan kenampakan asosiasi fasies middle

fan. Hal ini dibuktikan dengan dominasi model fasies A, B dan D dengan pola

menghalus ke atas, sedangkan pada bagian yang lebih muda didominasi oleh

model fasies B dan D dengan beberapa kemunculan model fasies C dengan pola

mengkasar ke atas yang menjadi ciri asosiasi fasies outer fan. Asosiasi fasies

middle fan dikontrol mekanisme pengendapan yang terjadi pada arus turbidit

dengan ukuran cukup besar namun memiliki kecepatan dan konsentrasi yang

rendah sehingga banyak terendapkan fasies berukuran pasir bergradasi menjadi

lempung (C2.2 dan C.23) sedangkan asosiasi fasies outer fan merupakan hasil

162
terusan arus turbidit yang lebih lemah dari pembentukan submarine fan yang

berbeda. Selanjutnya perubahan asosiasi fasies ditunjukan dengan mulai

munculnya model fasies A, B, dan D yang menunjukan ciri dari asosiasi fasies

pembentuk middle fan. Mekanisme pengendapan diinterpretasikan sebagai sebuah

density flow dimana arus ini mengendapkan material bedload (A2.1) dengan

kecepatan yang tidak terlalu tinggi (low velocity).. Asosiasi fasies inner fan

kembali dijumpai pada bagian yang lebih muda bersama dengan litologi berfraksi

halus (perselingan batulanau-batulempung) yang tergerus oleh litologi berfraksi

sangat kasar (konglomerat berstruktur masif/A1.1). Pada bagian ini, model fasies

A1.1 menunjukan bahwa mekanisme pengendapan dikontrol oleh arus pekat

(debris flow) dimana komponen butiran lebih berperan sebagai tenaga penggerak

arus. Luncuran arus pekat ini diikuti oleh arus turbidit yang mengendapkan

partikel berukuran lebih halus diatasnya (Gambar 5.17).

Gambar 5.17 Pembagian asosiasi fasies pada kolom stratigrafi terukur.

163
Pada bagian yang lebih atas memperlihatkan dominasi model fasies B, C,

dan D sebagai ciri endapan outer fan. Secara lebih detail penyusun dari asosiasi

fasies ini terdiri dari B2.1, C2.2, dan D2.3. Hal ini diinterpretasikan bahwa

mekanisme pengendapan pada outer fan dikontrol oleh arus pekat (concentrated

debris flow) dicirikan dengan model fasies B2.1 yang diikuti oleh arus turbidit

yang mengendapkan model fasies C2.2. Model fasies D2.3 diduga bukan

merupakan produk dari arus turbidit melainkan hasil dari arus bawah dengan

kecepatan yang lemah (Gambar 5.18).

Gambar 5.18 Asosiasi fasies outer fan dengan pola mengkasar keatas (kiri) dan
asosiasi fasies middle fan dengan pola menghalus keatas (kanan).

Asosiasi outer fan kembali dijumpai pada bagian yang lebih muda. Pada

bagian ini arus pengontrol merupakan transisi dari aliran debris flow – turbidite

flow dibuktikan dengan perulangan model fasies B2.1 sebagai penanda

mekanisme debris flow dengan model fasies C2.1 yang merupakan penciri transisi

dari debris flow menjadi turbidite flow. Bagian atas dari setiap perulangan ini

ditutup dengan model fasies D2.3 yang diendapkan pada arus turbidit secara

164
perlahan (suspension load) Diatas dari outer fan, diendapkan model fasies C

dengan pola fining upward (Gambar 5.16) yang merupakan ciri asosiasi fasies

pada lingkungan pengendapan middle fan. Mekanisme pengendapan masih serupa

dengan sebelumya dimana pengontrol utamanya adalah peralihan dari debris flow

dan turbidite flow

Pada bagian atas , asosiasi fasies yang ada menunjukan lingkungan

pengendapan berada pada di middle fan dan outer fan. Model fasies yang

mendominasi bagian ini merupakan perulangan model fasies yang berasosiasi

dengan endapan turbidit seperti model fasies D2.1, D2.3, dan C2.3. Asosiasi

fasies mengalami perubahan pada bagian paling atas dimana model fasies yang

dijumpai berupa perselingan D2.1 dengan sisipan model fasies C. Kedua model

fasies ini menyususn asosiasi fasies submarine plain/basin plain. Mekasnisme

pengendapan model fasies ini masih berasosiasi dengan arus turbidite. Model

fasies yang mencerminkan classical turbidite sequence ditampilkan pada Gambar

5.19.

Gambar 5.19 Pola classic turbidit pada model fasies D.21 sebagai penyusun utama
model fasies basin plain pada bagian atas dari penampang stratigrafi terukur.

165
5.6.3. Analisis Provenance

Analisis provenance dilakukan menggunakan dua sampel sayatan tipis dari

batupasir. Hasil yang didapat kemudian dimasukkan kedalam segitiga Q-F-L

menurut Dickinson (1979) untuk mengetahui asal dari sedimen penyusun batuan.

Dari hasil penghitungan komponen butir sampel pertama, didapatkan total butiran

sebanyak 113 butir dengan persentase mineral feldspar sebanyak 23.8% (27 butir),

mineral kuarsa 0.8% (1 butir), dan litik sebesar 75.4% (85 butir) (Gambar 5.20).

Sedangkan pada sampel kedua didapatkan 598 butir penyusun yang teramati di

mikroskop dengan persentase mineral feldspar sebesar 17.5% (105 butir), mineral

kuarsa 3% (18 butir), dan litik sebanyak 79.5% (475 butir) (Gambar 5.21).

Gambar 5.20 Hasil plotting segitiga Q – F – L pada sampel 1 menunjukan hasil


provenance batuan berupa undissected arc.

Gambar 5.21 Hasil plotting segitiga Q – F – L pada sampel 2 menunjukan hasil


provenance batuan berupa undissected arc.

166
Dari hasil plotting pada segitiga Q – F – L menunjukan bahwa kedua

sampel merupakan batuan dengan asal material dari undissected arc. Undissected

arc berarti sebuah tinggian yang berhubungan dengan gunungapi, dimana ketika

material mulai terendapkan tubuh gunung api belum mengalami erosi. Jika

dikaitkan dengan tataan geologi daerah penelitian merupakan bagian dari Zona

Kendeng yang dikenal sebagai back arc basin dan keberadaan volcanic arc pada

saat itu berada di Pegunugan Selatan, maka hipotesa sementara material asal dari

batupasir Formasi Kerek sepanjang lintasan Banyuurip berasal dari tinggian di

selatan Zona Kendeng yang disebut sebagai Pegunungan Selatan.

5.7. Pembahasan

Lokasi penelitian terletak di Desa Banyuurip, Kecamatan Ngawi,

Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Lokasi pengambilan data penampang stratigrafi

terukur sepanjang 98.6m dengan azimuth N188oE. Jalur pengambilan data

penampang stratigrafi terukur terletak pada satuan batupasir karbonatan Kerek

dimana satuan ini didominasi oleh batupasir karbonatan dan batulempung

karbonatan. Secara kajian geomorfologi, lokasi penelitian termasuk pada satuan

geomorfologi bergelombang lemah – kuat struktural (S9). Keberadaan struktur

yang sangat intens pada daeah ini menyebabkan tersingkapnya batuan dengan

kondisi yang cukup ideal untuk dilakukan pengukuran penampang stratigrafi

terukur. Hasil pengukuran dilapangan diperoleh tebal total 80 meter.

Dari hasil plotting pada segitiga Q – F – L menunjukan bahwa kedua

sampel merupakan batuan dengan asal material dari undissected arc. Undissected

arc berarti sebuah tinggian yang berhubungan dengan gunungapi, dimana ketika

167
material mulai terendapkan tubuh gunung api belum mengalami erosi. Jika

dikaitkan dengan tataan geologi daerah penelitian merupakan bagian dari Zona

Kendeng yang dikenal sebagai back arc basin dan keberadaan volcanic arc pada

saat itu berada di Pegunugan Selatan, maka hipotesa sementara material asal dari

batupasir Formasi Kerek sepanjang lintasan Banyuurip berasal dari tinggian di

selatan Zona Kendeng yang disebut sebagai Pegunungan Selatan.

Analisis fasies dari batuan penyusun bagian bawah dari penampang

stratigrafi menunjukan dominasi berupa fasies sgSM (stratified graded sand-mud

couplet), gMS (graded mud-sand couplet), sS (stratified sand), lgSM (laminated

graded sand-mud couplet) yang kemudian dimasukan ke dalam model fasies D

menurut Mutti dan Ricci Lucchi (1972) Sedangkan model fasies menurut

Pickering (1989) menunjukan dominasi model fasies B2.1 dan C2.2. Model fasies

lain nampak hadir sebagai sisipan seperti fasies D2.3 dan fasies E2.1. Model

fasies A2.5 dijumpai pada bagian paling bawah dari penampang stratigrafi

terukur.

Pada analisis asosiasi fasies, bagian bawah ini didominasi oleh asosiasi

fasies yang mengacu pada lingkungan pengendapan middle fan (Gambar 5.22).

Hal ini dibuktikan dengan dominasi model fasies B dan D, sedangkan pada bagian

yang lebih muda didominasi oleh model fasies B dan D dengan beberapa

kemunculan model fasies C yang mencirikan lingkungan pengendapan outer fan.

Hal ini menandakan bahwa pada daerah middle fan mekanisme pengendapan

terjadi pada arus turbidit yang cukup besar namun memiliki kecepatan dan

konsentrasi yang rendah sehingga banyak terendapkan fasies berukuran pasir

bergradasi menjadi lempung (penyusun outer fan).

168
Gambar 5.22 Pengendapan pada lingkungan middle fan.

Selanjutnya perubahan asosiasi fasies ditunjukan dengan mulai munculnya

model fasies A, B, dan D yang menunjukan ciri dari asosiasi fasies pembentuk

middle fan. Model fasies ini disusun oleh fasies gPyS/graded pebbly sand dimana

pada fasies ini cenderung memberikan kesan matrix-supported pada unit

batuannya. Pada unit fasies yang lebih muda, baik fasies mPyS sudah tidak

dijumpai lagi. Umumnya fasies pada bagian atas cenderung didominasi oleh

fasies-fasies berfraksi halus. Mekanisme pengendapan diinterpretasikan sebagai

sebuah density flow dimana arus ini mengendapkan material bedload (A2.1)

dengan kecepatan yang tidak terlalu tinggi (low velocity) diikuti dengan

pengendapan sedimen berfraksi halus (D2.3) dengan mekanisme arus turbidit

lemah secara perlahan. Asosiasi fasies inner fan dijumpai pada bagian yang lebih

muda namun pada bagian ini model fasies A1.1 menunjukan bahwa mekanisme

pengendapan dikontrol oleh arus pekat (debris flow) dimana komponen butiran

lebih berperan sebagai tenaga penggerak arus. Luncuran arus pekat ini diikuti oleh

169
arus turbidit yang mengendapkan partikel berukuran lebih halus diatasnya

(Gambar 5.23).

Gambar 5.23 Amalgamasi konglomerat pada lingkungan inner fan dikontrol oleh
arus pekat (debris flow).

170
Diatas amalgamasi konglonerat dijumpai pola mengkasar keatas

(coarsening upwad) dimana pola ini membentuk model fasies D. Pola ini berulang

sebanyak satu kali yang menunjukan dua periode pengendapan yang berbeda.

Diatasnya terendapkan dominasi model fasies C yang memiliki pola fining

upward (menghalus keatas) yang selanjutnya kembali dijumpai pola mengkasar

keatas (Gambar 5.24). Mekanisme pengendapan pada bagian ini dikontrol oleh

arus pekat (concentrated debris flow) dicirikan dengan model fasies B2.1 yang

diikuti oleh arus turbidit yang mengendapkan model fasies C2.2. Model fasies

D2.3 diduga bukan merupakan produk dari arus turbidit melainkan hasil dari arus

bawah dengan kecepatan yang lemah.

Gambar 5.24 Perulangan asosiasi outer fan sebagai respon berkurangnya suplai
sedimen ke dalam cekungan

171
Dominasi model fasies A kembali dijumpai pada bagian atas yang disusun

oleh mgCys (massive graded cobbly sand)yang didominasi oleh matriks sebagai

komponennya (matrix supported). Mekanisme pengendapan diawali dengan

concentrated debris flow yang mengendapkan butiran berfraksi kasar (A1.4) pada

bagian bawah diikuti dengan pengendapan fraksi halus pada mekanisme arus

turbidit (model fasies B2.1) pada bagian diatasnya. Bagian ini ditutup dengan

pengendapan fasies E2.2 secara suspensi (grain by grain depositional) (Gambar

5.25).

Gambar 5.25 Perulangan asosiasi outer fan sebagai respon berkurangnya suplai
sedimen ke dalam cekungan

Bagian atas dari jalur pembuatan penampang stratigrafi menunjukan

perubahan dari unit fasies berfraksi kasar (konglomerat-batupasir karbonatan)

berubah menjadi dominasi unit dengan fasies berfraksi halus seperti batulanau

karbonatan dan batulempung karbonatan. Pada bagian ini didominasi oleh

kehadiran fasies lgMT (laminated graded muddy-silt), sgMS (stratified graded

172
muddy sand), dan dijumpai beberapa sisipan fasies sS (stratified sand). Pembagian

model fasies bagian atas menunjukan dominasi model fasies C dan D (Mutti dan

Ricci Lucchi, 1972). Pola mengkasar ke atas (coarsening upward) maupun

menghalus ke atas (fining upward) berkembang dengan baik pada bagian ini

(Gambar 5.26). Model fasies yang mendominasi bagian ini merupakan perulangan

model fasies yang berasosiasi dengan endapan turbidit seperti model fasies D2.1,

D2.3, dan C2.3. Sedangkan pada bagian yang lebih muda, batuan berfraksi halus

(batulempung-batulanau) mendominasi dengan sisipan batupasir yang

menggambarkan l