TINJAUAN PUSTAKA
2
oblique. Pada paru-paru kiri ada bagian yang menonjol seperti lidah yang
disebut lingula. Jumlah segmen pada paru-paru sesuai dengan jumlah
bronchus segmentalis, biasanya 10 di kiri dan 8-9 yang kanan. Sejalan dgn
percabangan bronchi segmentales menjadi cabang-cabang yg lebih kecil,
segmenta paru dibagi lagi menjadi subsegmen-subsegmen.2
3
yang dihirup. Sterilitas saluran napas bagian bawah adalah hasil mekanisme
penyaringan dan pembersihan yang efektif.
a. Pembersihan Udara
Temperatur dan kelembapan udara bervariasi, dan alveolus harus
terlindung dari udara dingin dan kering. Mukosa hidung, turbinasi
hidung, orofaring dan nasofaring, mempunyai suplai darah yang besar
dan memiliki area permukaan yang luas. Udara yang terhirup melewati
area-area tersebut dan diteruskan ke cabang trakeobonkial, dipanaskan
pada temperatur tubuh dan dilembapkan.
b. Pembau
Reseptor pembau berada lebih banyak di posterior hidung
dibandingkan dengan di trakhea dan alveoli, sehingga seseorang dapat
mencium untuk mendeteksi gas yang secara potensial berbahaya, atau
bahan-bahan berbahaya di udara yang dihirup. Inspirasi yang cepat
tersebut membawa udara menempel pada sensor pembau tanpa
membawanya ke paru-paru.
c. Menyaring dan Membuang Partikel yang Terhirup
Udara yang melewati saluran traktus respiratorius awalnya
difiltrasi oleh bulu hidung. Gerakannya menyebabkan partikel berukuran
besar dapat dikeluarkan. Sedimentasi partikel berukuran lebih kecil
terjadi akibat gravitasi di jalan nafas yang lebih kecil. Partikel-partikel
tersebut terperangkap dalam mukus yang ada di saluran pernafasan atas,
trakhea, bronkus dan bronkhiolus. Partikel kecil dan udara iritan
mencapai duktus alveolaris dan alveoli. Partikel kecil lainnya
disuspensikan sebagai aerosol dan 80%nya dikeluarkan. Pembuangan
partikel dengan beberapa mekanisme:
- Refleks jalan nafas : refleks batuk, refleks bersin dan refleks glottis
- Stimulasi reseptor kimia dan mekanik di hidung, trakhea, laring, dan
tempat lain di traktus respiratorius menyebabkan bronkokonstriksi
untuk mencegah penetrasi lebih lanjut dari iritan ke jalan nafas dan
juga menghasilkan batuk atau bersin. Bersin terjadi akibat stimulasi
4
reseptor di hidung atau nasofaring, dan batuk terjadi sebagai akibat
stimulasi reseptor di trakhea. Inspirasi yang dalam demi mencapai
kapasitas paru total, diikuti oleh ekspirasi melawan glotis yang
terutup. Tekanan intrapleura dapat meningkat lebih dari 100mmHg.
Selama fase refleks tersebut glotis tiba-tiba membuka dan tekanan di
jalan nafas menurun cepat, menghasilkan penekanan jalan nafas dan
ekspirasi yang besar, dengan aliran udara yang cdepat melewati jalan
nafas yang sempit, sehingga iritan ikut terbawa bersama-sama mukus
keluar dari traktus respiratorius. Saat bersin, ekspirasi melewati
hidung; saat batuk ekspirasi melewati mulut. Kedua refleks tersebut
juga membantu mengeluarkan mukus dari jalan nafas.
- Sekresi trakheobronkial dan transport mukosilier
- Sepanjang traktus respiratorius dilapisi oleh epitel bersilia dimana
terdapat mukus yang dihasilkan oleh sel goblet. “Eskalator
mukosilier” adalah mekanisme yang penting dalam menghilangkan
dalam menghilangkan partikel yang terinhalasi. Partikel terperangkap
dalam mukus kemudian dibawa ke atas kefaring. Pergerakan tersebut
dapat meningkat cepat selama batuk. Mukus yang mencapai faring
dikentalkan atau dikeluarkan melalui mulut atau hidung. Karenanya,
pasien yang tidak bisa mengeluarkan sekret trakheobronkial (misal
tidak dapat batuk) terus menghasilkaan sekret yang apabila tidak
dikeluarkan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas.
d. Mekanisme Pertahanan dari Unit Respirasi Terminal
- makrofag alveolar
- pertahanan imun
Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan
unit-unit yang dibentuk melalui percabangan progresif jalan napas.
Kurang lebih 80% sel yang membatasi jalan napas di bagian tengah
merupakan epitel bersilia, bertingkat, kolumner dengan jumlah yang
semakin berkurang pada bagian perifer. Masing-masing sel bersilia
memiliki +200 silia yang bergerak dalam gelombang yang terkoordinasi
5
kira-kira 1000 kali per menit, dengan gerakan ke depan yang cepat dan
kembali dalam gerakan yang lebih lambat. Gerakan silia juga
terkoordinasi antara sel yang bersebelahan sehingga setiap gelombang
disebarkan ke arah orofaring.
Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa
permukaan hidung sebelah distal biasanya akan dibersihkan pada saat
bersin, sementara partikel yang terkumpul pada permukaan bersilia yang
lebih proksimal akan disapukan ke sebelah posterior ke lapisan mukus
nasofaring, saat partikel tersebut ditelan atau dibatukkan. Penutupan
glottis secara refleks dan batuk akan melindungi saluran napas bagian
bawah. Partikel infeksius yang melewati pertahanan di dalam saluran
napas dan diendapkan pada permukaan alveolus dibersihkan oleh sel
fagosit dan faktor humoral. Makrofag alveolar merupakan fagosit utama
dalam saluran napas bawah. Makrofag alveolar akan menyiapkan dan
menyajikan antigen mikrobial pada limfosit dan mensekresikan sitokin
yang mengubah proses imun dalam limfosit T dan B.
6
makanan ke dalam paru, sehingga dapat menimbulkan gejala mendadak batuk
dan sesak nafas setelah makan atau minum.
7
2.4 Etiologi Pneumonia
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme
yaitu bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh
bakteri. Penyebab tersering pneumonia adalah bakteri gram positif,
Streptococcus pneumonia. Kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda
sesuai dengan distribusi umur pasien, dan keadaan klinis terjadinya infeksi. 4
8
Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur dengan
terjadinya infeksi. 4
9
pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus Virus
Respiratory syncytial Varicella zoster virus
virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Adenovirus
Measles
10
Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis
terjadinya infeksi. 4
Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneumophila
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp.
Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)
Coxiella burnetii (Q fever)
Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza
A and B (adults); adenovirus
(military recruits); SARS virus
Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Serratia
marcescens, Escherichia coli) and
Pseudomonas spp.
Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant)
Pneumonia kronis
Nocardia
Actinomyces
Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria,
Histoplasma capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis
11
2.5 Klasifikasi Pneumonia
2.5.1 Menurut Sifatnya, yaitu :
a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang
tidak mempunya faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu
Staphylococcus pneumoniae ( pneumokokus), Hemophilus influenzae,
juga Virus penyebab infeksi pernapasan( Influenza, Parainfluenza,
RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas( “atypical”)
yaitu mykoplasma, chlamydia, dan legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor
predisposisi, selain penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD,
terutama juga bagi mereka yang mempunyai penyakit menahun seperti
diabetes mellitus, HIV, dan kanker,dll. 2
12
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP)
merupakan pneumonia yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi
setelah 48 jam berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat
beragam, yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau
bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli, Klebsiella
pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi
obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab HAP. 6
c. Pneumonia aspirasi : Pneumonia yang disebabkan oleh inhalasi
bakteri, makanan, asam lambung atau bahan lain yang menyebabkan
terjadinya peradangan paru atau edema. Dapat terjadi pada bayi-bayi
yang baru lahir, sebagai akibat dari fistula tracheoesophageal,
obstruksi esofagus dan duodenum, gastroesofageal reflux, cara
pemeberian makan yang salah, dan penggunaan obat-obatan
depressant. Resiko terjadinya aspirasi berkaitan secara tidak langsung
dengan tingkat kesadaran pasien (penurunan GCS berkaitan dengan
tingginya resiko terjadi aspirasi), peningkatan tekanan atau volume
intragastrik, dan gangguan pada saluran gastroesofageal. Pada aspirasi
pneumonia, komponen dari isi lambung akan teraspirasi kedalam paru-
paru (isi cairan steril selama terdapat asam lambung), akibatnya terjadi
respon inflamasi. Pneumonia terjadi karena flora yang terdapat pada
orofaringeal juga dapat teraspirasi bersamaan dengan kejadian ini
sehingga, sehingga terjadi infeksi bakteri. Cairan lambung yang
teraspirasi secara masif, disebut dengan sindrom Mendelson, dapat
menghasilkan acute respiratory distress dalam 1 jam. 12 Terdapat 3
macam penyebab sindroma pneumonia aspirasi, yaitu aspirasi asam
lambung yang menyebabkan pneumonia kimiawi, aspirasi bakteri dari
oral dan oropharingeal menyebabkan pneumonia bakterial, Aspirasi
minyak, seperti mineral oil atau vegetable oil dapat
menyebabkan exogenous lipoid pneumonia. Aspirasi benda asing
merupakan kegawatdaruratan paru dan pada beberapa kasus
merupakan faktor predisposisi pneumonia bakterial
13
2.5.4 Berdasarkan lokasi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru.
Bronkus besar umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan
gambaran airbronchogram. Konsolidasi yang timbul merupakan hasil
dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn. Penyebab
terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae.
Jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu
lobus atau segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya
obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses
keganasan. 5
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis.
Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen
membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan.
Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi
bronkus. 5
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding
bronkus dan peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi
virus dan mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga
edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan
udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak
merata. 5
14
2.6 Patofisiologi Pneumonia
Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk
barier anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung,
pencegahan aspirasi dengan reflek epiglotis, eksplusi benda asing melalui
reflek batuk, pembersihan ke arah kranial oleh lapisan mukosilier. Sistem
pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi lokal imunoglobulin A maupun
respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
alveolar makrofag dan cell mediated immunity. Pada aspirasi pneumonia
terjadi gangguan dalam reflek epiglotis, dan reflek batuk.
Saat terjadi inhalasi atau aspirasi patogen, bakteri dapat mencapai
alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan.
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada
tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya
karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan
cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru.1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme
paru banyak disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh
pejamu. Selain itu, toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada
pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel system
pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:
5
1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara
kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 –
2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas
atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan
15
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring
terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). 5
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. 5
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan
yang paling mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-
paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru
(tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari
jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui
peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum
sebagai penyebab pneumonia.
Terdapat empat stadium anatomi dari pneumonia terbagi atas:
1. Stadium Kongesti (4 – 12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke
dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling
16
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin. 2
2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan
fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak.
Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 2
3. Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru
yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi
fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah
tidak lagi mengalami kongesti.2
4. Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli
dicerna secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan
batuk. Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah
sampai pulih mencapai keadaan normal.2
17
nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau purulen,
kadang-kadang berdarah.5
Gejala non spesifik meliputi demam, menggigil, gelisah, sefalgia.
Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal, seperti
muntah, kembung, diare atau sakit perut.
Gejala pulmonal timbul setelah beberapa saat proses infeksi
berlangsung. Akan ditemukan gejala nafas cuping hidung, takipnea, dispnea,
apnea, otot bantu nafas interkostal, dan abdominal. Pada anak yang lebih besar
umumnya akan ditemukan batuk, namun pada neonatus bisa tanpa batuk.
Pleuritic chest pain akibat peradangan pada pleura, ditandai dengan
nyeri dada, sehingga dapat membatasi gerakan dinding dada selama inspirasi.
Pada keadaan ini biasanya biasanya ditemukan pada pneumonia yang
disebabkan Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus aureus.
Frekuensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Penilaian ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan
memantau tatalaksana pneumonia. WHO bahkan telah merekomendasikan
untuk menghitung frekuensi nafas pada setiap anak dengan batuk, pada
keadaan ini frekuensi nafas lebih cepat dari normal serta adanya tarikan
dinding dada bagian bawah. WHO menetapkanya sebagai kasus pneuomonia
berat dan memerlukan perawatan di rumah sakit untuk pemberian antibiotik.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernafas, pada palpasi fremitus dapat menurun, pada perkusi redup, pada
auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang
kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian
menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi. 5
- Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak
yang berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi
mekonium, cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari kontaminasi
dengan sumber infeksi dari RS. infeksi juga dapat terjadi karena
kontaminasi dari komunitasnya. Gambaran klinis pneumonia pada
18
neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis,
merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak, mau
minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam. Pada bayi
BBLR sering terjadi hipotermi. Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan
keadaan sepsis dan meningitis. 11
- Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar
Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita
dan anak yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala,
anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal (muntah dan diare).
Secara klinis gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta, napas
cuping hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersama
konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan
pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk
karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Bila
terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di
daerah efusi. Gerakan dada juga terganggu bila terdapat nyeri dada akibat
iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan semakin bertambah,
tetapi nyeri pleura akan semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri
tumpul. 11
Kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus
kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri ini dapat
menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai appendisitis.
Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan
oleh aerografi atau ileus paralitik. Hati akan teraba bila tertekan oleh
diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif
sebagai akibat komplikasi pneumonia. 11
19
2.8 Diagnosis Pneumonia
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau
serologis merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorim yang memadai.
Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih
dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea, batuk, nafas cuping
hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta didukung oleh gambaran
radiologis. 11
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada
balita, maka dalam upaya peanggulangannya WHO mengembangkan
pedoman diagnosis dan tatalaksana pneumonia yang sederhana. 11
Tabel 3. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun.
20
Bayi di bawah 2 bulan
Pneumonia
bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas
harus dirawat dan diberikan antibiotic
Bukan pneumonia
bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatis seperti penurun panas
21
Suara pernapasan menurun
Suara pernapasan bronchial
- Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya
Kejang, letargi, atau tidak sadar
Sianosis
Distress pernapasan berat
22
2.9.3 Uji Serologi
Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara
umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi
bakteri tipik, namun bakteri atipik seperti Mycoplasma dan chlamydia
tampak peningkatan anibodi IgM dan IgG. 11
23
bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia
sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan
meskipun dapat mengenai beberapa lobus.6
a. Pneumonia Lobaris
Foto Thorax
CT Scan
24
(Gambar 2.4 CT-Scan Pneumonia Lobaris )
CT Scan
25
(Gambar 2.6 CT-Scan Bronkopneumonia )
c. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax
CT Scan
26
(Gambar 2.8 CT-Scan pneumonia interstitial)
27
Diagnosis Gejala yang ditemukan
Pneumonia Demam
Batuk dengan napas cepat
Ronkhi pada auskultasi
Kepala terangguk-angguk
Pernapasan cuping hidung
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest
indrawing)
Merintih
Sianosis
Bronkiolitis Episode pertama wheezing pada anak umur <2tahun
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Gejala pada pneumonia juga dapat ditemui
Kurang berespons terhadap bronkodilator
Asma Riwayat wheezing berulang, kadang tidak
berhubungan dengan batuk pilek
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Berespons baik dengan bronkodilator
Gagal jantung Peningkatan tekanan vena jugularis
Denyut apeks bergeser ke kiri
Irama berderap
Bising jantung
Ronkhi di daerah basal paru
Penyakit jantung Sulit makan atau menyusu
bawaan Sianosis
Bising jantung
Efusi / empyema Bila masif terdapat tanda pendorongan organ
intratoraks
Pekak pada perfusi
Tuberkulosis Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
Uji tuberkulin positif
28
Pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
Demam (≥2 minggu) tanpa sebab yang jelas
Batuk kronis (≥3 minggu)
Pembengkakan kelenjar getah bening leher, aksila,
inguinal yang spesifik
Pertusis Batuk paroksismal yang diikuti dengan whoop,
muntah, sianosis atau apnu
Bisa tanpa demam
Imunisasi DPT tidak ada atau tidak lengkap
Klinis baik diantara episode batuk
Benda asing Riwayat tiba-tiba tersedak
Stridor atau distress pernapasan tiba-tiba
Wheeze atau suara pernapasan menurun yang
bersifat fokal
Pneumotoraks Onset tiba-tiba
Hipersonor pada perkusi di satu sisi dada
Pergeseran mediastinum
29
2.11 Penatalaksanaan
Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya
toksis,disters pernafasan, tidak mau makan atau minum, atau ada penyakit
dasaryang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien.
Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus
dirawat inap. 11
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemeberin cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan
asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. 11
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma
keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak
dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. 11
30
b. Pneumonia Rawat Inap
Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta
laktam, ampisilin atau amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol.
Antibiotik yang diberikan berupa : Penisilin G intrvena ( 25.000 U/kgBB
setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6 jam ), dan
seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya diberikan
selama 10 hari. 11
2.12 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi
tersering oleh pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks,
atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Miokarditis
(tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase juga
meningkat, dan gagal jantung) juga dilaporkan cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan. 11
2.13 Prognosis
Dengan pemberian antiboitik yang tepat dan adekuat, mortalitas
dapat diturunkan sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi
energi protein dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih
tinggi.11
31