Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Paru-Paru


Paru-paru merupakan organ yang lunak, spongious dan elastis,
berbentuk kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks dan di atas
diafragma, diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai apeks
(bagian atas paru) yang tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk
mengikuti lengkung diphragma di kaudal. Pembuluh darah paru, bronkus,
saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus.2

(Gambar 2.1 Anatomi Paru, bronkus, bronkiolus, dan alveolus)

Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus sedangkan paru-paru kiri 2


lobus. Lobus pada paru-paru kanan adalah lobus superius, lobus medius, dan
lobus inferius. Lobus medius/lobus inferius dibatasi fissura horizontalis;
lobus inferius dan medius dipisahkan fissura oblique. Lobus pada paru-paru
kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh fissura

2
oblique. Pada paru-paru kiri ada bagian yang menonjol seperti lidah yang
disebut lingula. Jumlah segmen pada paru-paru sesuai dengan jumlah
bronchus segmentalis, biasanya 10 di kiri dan 8-9 yang kanan. Sejalan dgn
percabangan bronchi segmentales menjadi cabang-cabang yg lebih kecil,
segmenta paru dibagi lagi menjadi subsegmen-subsegmen.2

(Gambar 2.2 Segmen pada paru-paru)

Saluran napas bagian bawah yang normal adalah steril, walaupun


bersebelahan dengan sejumlah besar mikroorganisme yang menempati
orofaring dan terpajan oleh mikroorganisme dari lingkungan di dalam udara

3
yang dihirup. Sterilitas saluran napas bagian bawah adalah hasil mekanisme
penyaringan dan pembersihan yang efektif.
a. Pembersihan Udara
Temperatur dan kelembapan udara bervariasi, dan alveolus harus
terlindung dari udara dingin dan kering. Mukosa hidung, turbinasi
hidung, orofaring dan nasofaring, mempunyai suplai darah yang besar
dan memiliki area permukaan yang luas. Udara yang terhirup melewati
area-area tersebut dan diteruskan ke cabang trakeobonkial, dipanaskan
pada temperatur tubuh dan dilembapkan.
b. Pembau
Reseptor pembau berada lebih banyak di posterior hidung
dibandingkan dengan di trakhea dan alveoli, sehingga seseorang dapat
mencium untuk mendeteksi gas yang secara potensial berbahaya, atau
bahan-bahan berbahaya di udara yang dihirup. Inspirasi yang cepat
tersebut membawa udara menempel pada sensor pembau tanpa
membawanya ke paru-paru.
c. Menyaring dan Membuang Partikel yang Terhirup
Udara yang melewati saluran traktus respiratorius awalnya
difiltrasi oleh bulu hidung. Gerakannya menyebabkan partikel berukuran
besar dapat dikeluarkan. Sedimentasi partikel berukuran lebih kecil
terjadi akibat gravitasi di jalan nafas yang lebih kecil. Partikel-partikel
tersebut terperangkap dalam mukus yang ada di saluran pernafasan atas,
trakhea, bronkus dan bronkhiolus. Partikel kecil dan udara iritan
mencapai duktus alveolaris dan alveoli. Partikel kecil lainnya
disuspensikan sebagai aerosol dan 80%nya dikeluarkan. Pembuangan
partikel dengan beberapa mekanisme:
- Refleks jalan nafas : refleks batuk, refleks bersin dan refleks glottis
- Stimulasi reseptor kimia dan mekanik di hidung, trakhea, laring, dan
tempat lain di traktus respiratorius menyebabkan bronkokonstriksi
untuk mencegah penetrasi lebih lanjut dari iritan ke jalan nafas dan
juga menghasilkan batuk atau bersin. Bersin terjadi akibat stimulasi

4
reseptor di hidung atau nasofaring, dan batuk terjadi sebagai akibat
stimulasi reseptor di trakhea. Inspirasi yang dalam demi mencapai
kapasitas paru total, diikuti oleh ekspirasi melawan glotis yang
terutup. Tekanan intrapleura dapat meningkat lebih dari 100mmHg.
Selama fase refleks tersebut glotis tiba-tiba membuka dan tekanan di
jalan nafas menurun cepat, menghasilkan penekanan jalan nafas dan
ekspirasi yang besar, dengan aliran udara yang cdepat melewati jalan
nafas yang sempit, sehingga iritan ikut terbawa bersama-sama mukus
keluar dari traktus respiratorius. Saat bersin, ekspirasi melewati
hidung; saat batuk ekspirasi melewati mulut. Kedua refleks tersebut
juga membantu mengeluarkan mukus dari jalan nafas.
- Sekresi trakheobronkial dan transport mukosilier
- Sepanjang traktus respiratorius dilapisi oleh epitel bersilia dimana
terdapat mukus yang dihasilkan oleh sel goblet. “Eskalator
mukosilier” adalah mekanisme yang penting dalam menghilangkan
dalam menghilangkan partikel yang terinhalasi. Partikel terperangkap
dalam mukus kemudian dibawa ke atas kefaring. Pergerakan tersebut
dapat meningkat cepat selama batuk. Mukus yang mencapai faring
dikentalkan atau dikeluarkan melalui mulut atau hidung. Karenanya,
pasien yang tidak bisa mengeluarkan sekret trakheobronkial (misal
tidak dapat batuk) terus menghasilkaan sekret yang apabila tidak
dikeluarkan dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas.
d. Mekanisme Pertahanan dari Unit Respirasi Terminal
- makrofag alveolar
- pertahanan imun
Paru merupakan struktur kompleks yang terdiri atas kumpulan
unit-unit yang dibentuk melalui percabangan progresif jalan napas.
Kurang lebih 80% sel yang membatasi jalan napas di bagian tengah
merupakan epitel bersilia, bertingkat, kolumner dengan jumlah yang
semakin berkurang pada bagian perifer. Masing-masing sel bersilia
memiliki +200 silia yang bergerak dalam gelombang yang terkoordinasi

5
kira-kira 1000 kali per menit, dengan gerakan ke depan yang cepat dan
kembali dalam gerakan yang lebih lambat. Gerakan silia juga
terkoordinasi antara sel yang bersebelahan sehingga setiap gelombang
disebarkan ke arah orofaring.
Partikel infeksius yang terkumpul pada epitel skuamosa
permukaan hidung sebelah distal biasanya akan dibersihkan pada saat
bersin, sementara partikel yang terkumpul pada permukaan bersilia yang
lebih proksimal akan disapukan ke sebelah posterior ke lapisan mukus
nasofaring, saat partikel tersebut ditelan atau dibatukkan. Penutupan
glottis secara refleks dan batuk akan melindungi saluran napas bagian
bawah. Partikel infeksius yang melewati pertahanan di dalam saluran
napas dan diendapkan pada permukaan alveolus dibersihkan oleh sel
fagosit dan faktor humoral. Makrofag alveolar merupakan fagosit utama
dalam saluran napas bawah. Makrofag alveolar akan menyiapkan dan
menyajikan antigen mikrobial pada limfosit dan mensekresikan sitokin
yang mengubah proses imun dalam limfosit T dan B.

2.2 Definisi Pneumonia


Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan
alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan
pertukaran gas setempat yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus,
jamur, protozoa).3
Secara kinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan paru
yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).
Pneumonia yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk.
Sedangkan peradangan paru yang disebabkan oleh nonmikroorganisme (bahan
kimia, radiasi, aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain-lain) disebut
pneumonitis.4 Bayi dan anak-anak dengan refleks batuk dan menelan yang
belum sempurna menyebabkan terjadinya aspirasi benda asing, maupun

6
makanan ke dalam paru, sehingga dapat menimbulkan gejala mendadak batuk
dan sesak nafas setelah makan atau minum.

2.3 Epideminologi Pneumonia


Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran nafas yang
terbanyak didapatkan dan dapat menyebabkan kematian hampir di seluruh
dunia. Angka kematian di Inggris adalah sekitar 5-10%. Berdasarkan umur,
pneumonia dapat menyerang siapa saja, meskipun lebih banyak ditemukan
pada anak-anak. Di Amerika Serikat pneumonia mencapai 13% dari penyakit
infeksi saluran nafas pada anak di bawah 2 tahun.4
UNICEF memperkirakan bahwa 3 juta anak di dunia meninggal karena
penyakit pneumonia setiap tahun. Kasus pneumonia di negara berkembang
tidak hanya lebih sering didapatkan tetapi juga lebih berat dan banyak
menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak pada umur 1-5 tahun
dan menurun dengan bertambahnya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh
bakteremia oleh karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus
aureus, tetapi di negara berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan
kurangnya akses perawatan. Dari data mortalitas tahun 1990, pneumonia
merupakan seperempat penyebab kematian pada anak dibawah 5 tahun dan
80% terjadi di negara berkembang. Pneumonia yang disebabkan oleh
infeksi RSV didapatkan sebanyak 40%. Di negara dengan 4 musim, banyak
terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, dinegara tropis pada
musim hujan. 4
Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, menunjukkan, prevalensi nasional ISPA: 25,5%, angka kesakitan
( morbiditas ) pneumonia pada bayi: 2,2%, balita: 3%, angka kematian
5
( mortalitas ) pada bayi 23,8% dan balita 15,5%. Pneumonia aspirasi
mewakili 5% sampai 15% dari pneumonia di populasi yang dirawat di RS.

7
2.4 Etiologi Pneumonia
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme
yaitu bakteri, virus, jamur, protozoa, yang sebagian besar disebabkan oleh
bakteri. Penyebab tersering pneumonia adalah bakteri gram positif,
Streptococcus pneumonia. Kuman penyebab pneumonia biasanya berbeda
sesuai dengan distribusi umur pasien, dan keadaan klinis terjadinya infeksi. 4

Virus penyebab tersering pneumonia adalah respiratory syncytial virus


(RSV), parainfluenza virus, influenza virus dan adenovirus. Secara umum
bakteri yang berperan penting dalam pneumonia adalah Streptococcus
pneumonia, Haemophillus influenza, Staphylococcus aureus, Streptococcus
group B, serta kuman atipik klamidia dan mikoplasma. 4
Pada neonatus Streptococcus group B dan Listeriae monocytogenes
merupakan penyebab pneumonia paling banyak. Virus adalah penyebab
terbanyak pneumonia pada usia prasekolah dan berkurang dengan
bertambahnya usia. Selain itu Streptococcus pneumoniae merupakan
penyebab paling utama pada pneumonia bakterial. Mycoplasma
pneumoniae dan Chlamydia pneumoniae merupakan penyebab yang sering
didapatkan pada anak diatas 5 tahun. Communityy-acquired acute pneumonia
sering disebabkan oleh streptokokkus pneumonia atau pneumokokkus,
sedangkan pada Community-acquired atypical pneumonia penyebab
umumnya adalah Mycopalsma pneumonia. Staphylokokkus aureus dan batang
gram negatif seperti Enterobacteriaceae dan Pseudomonas, adalah isolat
yang tersering ditemukan pada Hospital-acquired pneumonia.4
Pada aspirasi pneumonia, komponen dari isi lambung akan teraspirasi
kedalam paru-paru (isi cairan steril selama terdapat asam lambung), akibatnya
terjadi respon inflamasi. Pneumonia terjadi karena flora yang terdapat pada
orofaringeal juga dapat teraspirasi bersamaan dengan kejadian ini sehingga,
sehingga terjadi infeksi bakteri.

8
Tabel 1. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut umur dengan
terjadinya infeksi. 4

Umur Penyebab yang sering Penyebab yang jarang


Lahir-20 hari Bakteria Bakteria
 Escherichia colli  Group D streptococci
 Group B streptococci  Haemophillus influenzae
 Listeria  Streptococcus pneumoniae
monocytogenes  Ureaplasma urealyticum
Virus
 Cytomegalovirus
 Herpes simplex virus

3 minggu – Bakteria Bakteria


3 bulan  Clamydia trachomatis  Bordetella pertusis
 Streptococcus  Haemophillusinfluenza type B
pneumoniae & non typeable
Virus  Moxarella catarrhalis
 Respiratory syncytial  Staphylococcus aureus
virus  Ureaplasma urealyticum
 Influenza virus Virus
 Para influenza virus  Cytomegalovirus
1,2 and 3
 Adenovirus
4 bulan – Bakteria Bakteria
5 tahun  Streptococcus  Haemophillus influenza type
pneumoniae B
 Clamydia pneumoniae  Moxarella catarrhalis
 Mycoplasma  Neisseria meningitis

9
pneumoniae  Staphylococcus aureus
Virus Virus
 Respiratory syncytial Varicella zoster virus
virus
 Influenza virus
 Parainfluenza virus
 Rhinovirus
 Adenovirus
 Measles

5 tahun – Bakteria Bakteria


dewasa  Clamydia pneumonia  Haemophillus influenza type
 Mycoplasma B
pneumonia  Legionella species
 Streptococcus  Staphylococcus aureus
pneumoniae Virus
 Adenovirus
 Epstein barr virus
 Influenza virus
 Parainfluenza virus
 Rhinovirus
 Respiratory syncytial virus
 Varicella zoster virus

10
Tabel 2. Mikroorganisme penyebab pneumonia menurut keadaan klinis
terjadinya infeksi. 4
 Communityy-acquired acute pneumonia
Streptococcus pneumonia
Haemophilus influenzae
Moraxella catarrhalis
Staphylococcus aureus
Legionella pneumophila
Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumoniae) and Pseudomonas spp.
 Community-acquired atypical pneumonia
Mycoplasma pneumonia
Chlamydia spp. (C. pneumoniae, C. psittaci, C. trachomatis)
Coxiella burnetii (Q fever)
Viruses: respiratory syncytial virus, parainfluenza virus (children); influenza
A and B (adults); adenovirus
(military recruits); SARS virus
 Hospital-acquired pneumonia
Gram-negative rods, Enterobacteriaceae (Klebsiella spp., Serratia
marcescens, Escherichia coli) and
Pseudomonas spp.
Staphylococcus aureus (usually penicillin resistant)
 Pneumonia kronis
Nocardia
Actinomyces
Granulomatous: Mycobacterium tuberculosis and atypical mycobacteria,
Histoplasma capsulatum,
Coccidioides immitis, Blastomyces dermatitidis

11
2.5 Klasifikasi Pneumonia
2.5.1 Menurut Sifatnya, yaitu :
a. Pneumonia primer, yaitu radang paru yang terserang pada orang yang
tidak mempunya faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama yaitu
Staphylococcus pneumoniae ( pneumokokus), Hemophilus influenzae,
juga Virus penyebab infeksi pernapasan( Influenza, Parainfluenza,
RSV). Selain itu juga bakteri pneumonia yang tidak khas( “atypical”)
yaitu mykoplasma, chlamydia, dan legionella.
b. Pneumonia sekunder, yaitu terjadi pada orang dengan faktor
predisposisi, selain penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD,
terutama juga bagi mereka yang mempunyai penyakit menahun seperti
diabetes mellitus, HIV, dan kanker,dll. 2

2.5.2 Berdasarkan Kuman penyebab


a. Pneumonia bakterial / tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
bakteri mempunyai tendensi menyerang sesorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik,Staphyllococcus pada penderita
pasca infeksi influenza.
b. Pneumonia atipikal, disebabkan Mycoplasma, Legionella dan
Chlamydia
c. Pneumonia virus, disebabkan oleh virus RSV, Influenza virus
d. Pneumonia jamur sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama pada penderita dengan daya tahan lemah
(immunocompromised). 5

2.5.3 Berdasarkan klinis dan epidemiologi


a. Pneumonia komuniti (Community-acquired pneumonia = CAP)
pneumonia yang terjadi di lingkungan rumah atau masyarakat, juga
termasuk pneumonia yang terjadi di rumah sakit dengan masa inap
kurang dari 48 jam. 5

12
b. Penumonia nosokomial (Hospital-acquired Pneumonia= HAP)
merupakan pneumonia yang terjadi di “rumah sakit”, infeksi terjadi
setelah 48 jam berada di rumah sakit. Kuman penyebab sangat
beragam, yang sering di temukan yaitu Staphylococcus aureus atau
bakteri dengan gramm negatif lainnya seperti E.coli, Klebsiella
pneumoniae, Pseudomonas aeroginosa, Proteus, dll. Tingkat resistensi
obat tergolong tinggi untuk bakteri penyebab HAP. 6
c. Pneumonia aspirasi : Pneumonia yang disebabkan oleh inhalasi
bakteri, makanan, asam lambung atau bahan lain yang menyebabkan
terjadinya peradangan paru atau edema. Dapat terjadi pada bayi-bayi
yang baru lahir, sebagai akibat dari fistula tracheoesophageal,
obstruksi esofagus dan duodenum, gastroesofageal reflux, cara
pemeberian makan yang salah, dan penggunaan obat-obatan
depressant. Resiko terjadinya aspirasi berkaitan secara tidak langsung
dengan tingkat kesadaran pasien (penurunan GCS berkaitan dengan
tingginya resiko terjadi aspirasi), peningkatan tekanan atau volume
intragastrik, dan gangguan pada saluran gastroesofageal. Pada aspirasi
pneumonia, komponen dari isi lambung akan teraspirasi kedalam paru-
paru (isi cairan steril selama terdapat asam lambung), akibatnya terjadi
respon inflamasi. Pneumonia terjadi karena flora yang terdapat pada
orofaringeal juga dapat teraspirasi bersamaan dengan kejadian ini
sehingga, sehingga terjadi infeksi bakteri. Cairan lambung yang
teraspirasi secara masif, disebut dengan sindrom Mendelson, dapat
menghasilkan acute respiratory distress dalam 1 jam. 12 Terdapat 3
macam penyebab sindroma pneumonia aspirasi, yaitu aspirasi asam
lambung yang menyebabkan pneumonia kimiawi, aspirasi bakteri dari
oral dan oropharingeal menyebabkan pneumonia bakterial, Aspirasi
minyak, seperti mineral oil atau vegetable oil dapat
menyebabkan exogenous lipoid pneumonia. Aspirasi benda asing
merupakan kegawatdaruratan paru dan pada beberapa kasus
merupakan faktor predisposisi pneumonia bakterial

13
2.5.4 Berdasarkan lokasi infeksi
a. Pneumonia lobaris
Pneumonia focal yang melibatkan satu / beberapa lobus paru.
Bronkus besar umumnya tetap berisi udara sehingga memberikan
gambaran airbronchogram. Konsolidasi yang timbul merupakan hasil
dari cairan edema yang menyebar melalui pori-pori Kohn. Penyebab
terbanyak pneumonia lobaris adalah Streptococcus pneumoniae.
Jarang pada bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu
lobus atau segmen. Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya
obstruksi bronkus seperti aspirasi benda asing, atau adanya proses
keganasan. 5
b. Bronko pneumonia (Pneumonia lobularis)
Inflamasi paru-paru biasanya dimulai di bronkiolus terminalis.
Bronkiolus terminalis menjadi tersumbat dengan eksudat mukopurulen
membentuk bercak-bercak konsolidasi di lobulus yang bersebelahan.
Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate multifocal pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi
bronkus. 5
c. Pneumonia interstisial
Terutama pada jaringan penyangga, yaitu interstitial dinding
bronkus dan peribronkil. Peradangan dapat ditemumkan pada infeksi
virus dan mycoplasma. Terjadi edema dinding bronkioli dan juga
edema jaringan interstisial prebronkial. Radiologis berupa bayangan
udara pada alveolus masih terlihat, diliputi perselubungan yang tidak
merata. 5

14
2.6 Patofisiologi Pneumonia
Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme termasuk
barier anatomi dan mekanik diantaranya adalah filtrasi partikel di hidung,
pencegahan aspirasi dengan reflek epiglotis, eksplusi benda asing melalui
reflek batuk, pembersihan ke arah kranial oleh lapisan mukosilier. Sistem
pertahanan tubuh yang terlibat baik sekresi lokal imunoglobulin A maupun
respon inflamasi oleh sel-sel leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin,
alveolar makrofag dan cell mediated immunity. Pada aspirasi pneumonia
terjadi gangguan dalam reflek epiglotis, dan reflek batuk.
Saat terjadi inhalasi atau aspirasi patogen, bakteri dapat mencapai
alveoli maka beberapa mekanisme pertahanan tubuh akan dikerahkan.
Sebenarnya bakteri pneumonia itu ada dan hidup normal pada
tenggorokan yang sehat. Pada saat pertahanan tubuh menurun, misalnya
karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi, bakteri pneumonia akan dengan
cepat berkembang biak dan merusak organ paru-paru.1
Kerusakan jaringan paru setelah kolonisasi suatu mikroorganisme
paru banyak disebabkan oleh reaksi imun dan peradangan yang dilakukan oleh
pejamu. Selain itu, toksin-toksin yang dikeluarkan oleh bakteri pada
pneumonia bakterialis dapat secara langsung merusak sel-sel system
pernapasan bawah. Ada beberapa cara mikroorganisme mencapai permukaan:
5

1. Inokulasi langsung
2. Penyebaran melalui pembuluh darah
3. Inhalasi bahan aerosol
4. Kolonisasi dipermukaan mukosa
Dari keempat cara tersebut diatas yang terbanyak adalah cara
kolonisasi. Secara inhalasi terjadi pada infeksi virus, mikroorganisme
atipikal, mikrobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5 –
2,0 nm melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan
selanjutnya terjadi proses infeksi. Bila terjadi kolonisasi pada saluran napas
atas (hidung, orofaring) kemudian terjadi aspirasi ke saluran napas bawah dan

15
terjadi inokulasi mikroorganisme, hal ini merupakan permulaan infeksi dari
sebagian besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring
terjadi pada orang normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan
kesadaran, peminum alkohol dan pemakai obat (drug abuse). 5
Basil yang masuk bersama sekret bronkus ke dalam alveoli
menyebabkan reaksi radang berupa edema seluruh alveoli disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN dan diapedesis eritrosit sehingga terjadi permulaan
fagositosis sebelum terbentuknya antibodi. 5
Pneumonia bakterialis menimbulkan respon imun dan peradangan
yang paling mencolok. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-
paru, ataupun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru
(tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi cairan. Dari
jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh melalui
peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah kuman yang paling umum
sebagai penyebab pneumonia.
Terdapat empat stadium anatomi dari pneumonia terbagi atas:
1. Stadium Kongesti (4 – 12 jam pertama)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan
yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai
dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat
infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator
peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera
jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan
prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen.
Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk
melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas
kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke
dalam ruang interstitium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar
kapiler dan alveolus. Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus
meningkatkan jarak yang harus ditempuh oleh oksigen dan
karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling

16
berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin. 2
2. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam selanjutnya)
Terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah, eksudat dan
fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari reaksi
peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak.
Stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam. 2
3. Stadium Hepatisasi Kelabu (Konsolidasi)
Terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi daerah paru
yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini
eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi
fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah
tidak lagi mengalami kongesti.2
4. Stadium Akhir (Resolusi)
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli
dicerna secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan
batuk. Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah
sampai pulih mencapai keadaan normal.2

2.7 Manifestasi Klinis


Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung dari kuman
penyebab, usia pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit.
Manifestasi klinis biasanya berat yaitu sesak, sianosis, tetapi dapat juga
gejalanya tidak terlihat jelas seperti pada neonatus.
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40º C, sakit tenggorokan,

17
nyeri otot dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum mukoid atau purulen,
kadang-kadang berdarah.5
Gejala non spesifik meliputi demam, menggigil, gelisah, sefalgia.
Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan gastrointestinal, seperti
muntah, kembung, diare atau sakit perut.
Gejala pulmonal timbul setelah beberapa saat proses infeksi
berlangsung. Akan ditemukan gejala nafas cuping hidung, takipnea, dispnea,
apnea, otot bantu nafas interkostal, dan abdominal. Pada anak yang lebih besar
umumnya akan ditemukan batuk, namun pada neonatus bisa tanpa batuk.
Pleuritic chest pain akibat peradangan pada pleura, ditandai dengan
nyeri dada, sehingga dapat membatasi gerakan dinding dada selama inspirasi.
Pada keadaan ini biasanya biasanya ditemukan pada pneumonia yang
disebabkan Streptococcus pneumonia dan Staphylococcus aureus.
Frekuensi nafas merupakan indeks paling sensitif untuk mengetahui
beratnya penyakit. Penilaian ini digunakan untuk mendukung diagnosis dan
memantau tatalaksana pneumonia. WHO bahkan telah merekomendasikan
untuk menghitung frekuensi nafas pada setiap anak dengan batuk, pada
keadaan ini frekuensi nafas lebih cepat dari normal serta adanya tarikan
dinding dada bagian bawah. WHO menetapkanya sebagai kasus pneuomonia
berat dan memerlukan perawatan di rumah sakit untuk pemberian antibiotik.
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernafas, pada palpasi fremitus dapat menurun, pada perkusi redup, pada
auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang
kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian
menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi. 5
- Pneumonia pada neonatus dan bayi kecil
Pneumonia ini sering terjadi akibat transmisi vertikal ibu-anak
yang berhubungan dengan proses persalinan, misalnya melalui aspirasi
mekonium, cairan amnion, dari serviks ibu, atau berasal dari kontaminasi
dengan sumber infeksi dari RS. infeksi juga dapat terjadi karena
kontaminasi dari komunitasnya. Gambaran klinis pneumonia pada

18
neonatus dan bayi kecil tidak khas, mencakup serangan apnea, sianosis,
merintih, napas cuping hidung, takipnea, letargi, muntah, tidak, mau
minum, takikardi atau bradikardi, retraksi subkosta dan demam. Pada bayi
BBLR sering terjadi hipotermi. Keadaan ini sering sulit dibedakan dengan
keadaan sepsis dan meningitis. 11
- Pneumonia pada balita dan anak yang lebih besar
Gejala klinis yang timbul pada pneumonia yang terjadi pada balita
dan anak yang lebih besar meliputi demam, menggigil, batuk, sakit kepala,
anoreksia, dan kadang-kadang keluhan gastrointestinal (muntah dan diare).
Secara klinis gejala respiratori seperti takipnea, retraksi subkosta, napas
cuping hidung, ronki, dan sianosis. Penyakit ini sering ditemukan bersama
konjungtivitis, otitis media, faringitis, dan laringitis. Anak besar dengan
pneumonia lebih suka berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut tertekuk
karena nyeri dada. Ronki hanya ditemukan bila ada infiltrat alveoler. Bila
terjadi efusi pleura atau empiema, gerakan ekskursi dada tertinggal di
daerah efusi. Gerakan dada juga terganggu bila terdapat nyeri dada akibat
iritasi pleura. Bila efusi bertambah, sesak napas akan semakin bertambah,
tetapi nyeri pleura akan semakin berkurang dan berubah menjadi nyeri
tumpul. 11
Kadang timbul nyeri abdomen bila terdapat pneumonia lobus
kanan bawah yang menimbulkan iritasi diafragma. Nyeri ini dapat
menyebar ke kuadran kanan bawah dan menyerupai appendisitis.
Abdomen mengalami distensi akibat dilatasi lambung yang disebabkan
oleh aerografi atau ileus paralitik. Hati akan teraba bila tertekan oleh
diafragma, atau memang membesar karena terjadi gagal jantung kongestif
sebagai akibat komplikasi pneumonia. 11

19
2.8 Diagnosis Pneumonia
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan / atau
serologis merupakan dasar terpi yang optimal. Akan tetapi penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan laboratorim yang memadai.
Prediktor paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis, dan lebih
dari satu gejala respiratori sebagai berikut : takipnea, batuk, nafas cuping
hidung, rtraksi, ronki dan suara nafas melemah serta didukung oleh gambaran
radiologis. 11
Akibat tingginya angka morbiditas dan mortalitas pneumonia pada
balita, maka dalam upaya peanggulangannya WHO mengembangkan
pedoman diagnosis dan tatalaksana pneumonia yang sederhana. 11

Berikut adalah klasifikasi pneumonia berdasarkan pedoman tersebut. 11

Klasifikasi berdasarkan WHO :

Tabel 3. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi dan Anak Usia 2 Bulan – 5 Tahun.

Bayi dan anak berusia 2 bulan – 5 tahun


Pneumonia berat
 bila ada sesak napas
 harus dirawat dan diberikan antibiotic
Pneumonia
 bila tidak ada sesak napas
 ada napas cepat dengan laju napas
o > 50 x/menit untuk anak usia 2 bulan – 1 tahun
o > 40 x/menit untuk anak > 1 – 5 tahun
 tidak perlu dirawat, diberikan antibiotik oral
Bukan pneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
 tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Tabel 4. Diagnosis Pneumonia Untuk Bayi Di Bawah 2 Bulan.

20
Bayi di bawah 2 bulan
Pneumonia
 bila ada napas cepat ( > 60 x/menit ) atau sesak napas
 harus dirawat dan diberikan antibiotic
Bukan pneumonia
 bila tidak ada napas cepat dan sesak napas
 tidak perlu dirawat dan tidak perlu antibiotik, hanya diberikan
pengobatan simptomatis seperti penurun panas

Namun, menurut Pelayanan Kesehatan Medik Rumah Sakit ( WHO ),


pneumonia dapat dibagi menjadi pneumonia ringan dan berat:
1. Pneumonia ringan: Disamping batuk atau kesulitan napas, hanya terdapat
napas cepat saja, dimana napas cepat adalah:
a. Pada usia 2 bulan – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
b. Pada usia 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
2. Pneumonia berat: Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal
salah satu hal berikut ini:
a. Kepala terangguk – angguk
b. Pernapasan cuping hidung
c. Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
d. Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas,
konsolidasi, dll.)
Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini:
- Napas cepat
 Anak umur < 2 bulan : ≥ 60 kali / menit
 Anak umur 2 – 11 bulan : ≥ 50 kali / menit
 Anak umur 1 – 5 tahun : ≥ 40 kali / menit
 Anak umur ≥ 5 tahun : ≥ 30 kali / menit
- Suara merintih ( grunting ) pada bayi muda
- Pada auskultasi terdengar
 Crackles ( ronki )

21
 Suara pernapasan menurun
 Suara pernapasan bronchial
- Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai:
 Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan
semuanya
 Kejang, letargi, atau tidak sadar
 Sianosis
 Distress pernapasan berat

2.9 Pemeriksaan Penunjang


2.9.1 Pemeriksaan Darah Perifer Lengkap
Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah
leukosit, biasanya >10.000/ul kadang-kadang mencapai 30.000/ul, dan
pada hitungan jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi
peningkatan LED. Untuk menentukan diagnosis etiologi diperlukan
pemeriksaan dahak, kultur darah dan serologi. Kultur darah dapat positif
pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Anlalisa gas darah
menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat
terjadi asidosis respiratorik. 6

2.9.2 Pemeriksaan CRP (C- Reaktif Protein)


CRP adalah suatu protein fase akut yang disisntesis oleh hepatosit.
Sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara cepat
distimulasi oleh sitokin, terutama IL-6, IL-1 da TNF. Meskipun fungsi
pastinya belum diketahui, CRP sangat mungkin berperan dalam opsonisasi
mikroorganisme atau sel rusak. 11
Secara klinis CRP digunakan sebagai alat diagnostik untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeki virus dan bakteri, atau infeksi
superfisialis atau profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah pada infeksi
virus atau infeksi superfisialis daripada profunda

22
2.9.3 Uji Serologi
Uji serologik untuk mendateksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Secara
umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi
bakteri tipik, namun bakteri atipik seperti Mycoplasma dan chlamydia
tampak peningkatan anibodi IgM dan IgG. 11

2.9.4 Pemeriksaan Radiologi


Gambaran Radiologis pada foto thorax pada penyakit pneumonia antara
lain:

 Perselubungan/konsolidasi homogen atau inhomogen sesuai dengan


lobus atau segment paru secara anantomis.
 Batasnya tegas, walaupun pada mulanya kurang jelas.
 Volume paru tidak berubah, tidak seperti atelektasis dimana paru
mengecil. Tidak tampak deviasi trachea/septum/fissure/ seperti pada
atelektasis.
 Silhouette sign (+) : bermanfaat untuk menentukan letak lesi paru ;
batas lesi dengan jantung hilang, berarti lesi tersebut berdampingan
dengan jantung atau di lobus medius kanan.
 Seringkali terjadi komplikasi efusi pleura.
 Bila terjadinya pada lobus inferior, maka sinus phrenicocostalis yang
paling akhir terkena.
 Pada permulaan sering masih terlihat vaskuler.
 Pada masa resolusi sering tampak Air Bronchogram Sign
(terperangkapnya udara pada bronkus karena tidanya pertukaran udara
pada alveolus).
Foto thoraks saja tidak dapat secara khas menentukan penyebab
pneumonia, hanya merupakan petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya
penyebab pneumonia lobaris tersering disebabkan oleh Streptococcus
pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat

23
bilateral atau gambaran bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia
sering menunjukan konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan
meskipun dapat mengenai beberapa lobus.6

a. Pneumonia Lobaris
Foto Thorax

(Gambar 2.3 Rontgen Pneumonia Lobaris )

Tampak gambaran gabungan konsolidasi berdensitas tinggi pada


satu segmen/lobus (lobus kanan bawah PA maupun lateral)) atau bercak
yang mengikutsertakan alveoli yang tersebar. Air bronchogram biasanya
ditemukan pada pneumonia jenis ini.

CT Scan

24
(Gambar 2.4 CT-Scan Pneumonia Lobaris )

Hasil CT dada ini menampilkan gambaran hiperdens di lobus


atas kiri sampai ke perifer.

b. Bronchopneumonia (Pneumonia Lobularis)


Foto Thorax

(Gambar 2.5 Rontgen Bronkopneumonia )

Pada gambar diatas tampak konsolidasi tidak homogen di lobus


atas kiri dan lobus bawah kiri.

CT Scan

25
(Gambar 2.6 CT-Scan Bronkopneumonia )

Tampak gambaran opak/hiperdens pada lobus tengah kanan,


namun tidak menjalar sampai perifer.

c. Pneumonia Interstisial
Foto Thorax

(Gambar 2.7 Rontgen Pneumonia Interstisial )


Terjadi edema dinding bronkioli dan juga edema jaringan
interstitial prebronkial. Radiologis berupa bayangan udara pada alveolus
masih terlihat, diliputi oleh perselubungan yang tidak merata.

CT Scan

26
(Gambar 2.8 CT-Scan pneumonia interstitial)

2.9.5 Pemeriksaan Bakteriologis


Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal,
torakosintesis, bronkoskopi, atau biopsi. Kuman yang predominan pada
sputum disertai PMN yang kemungkinan penyebab infeksi. 5

Pengambilan dahak dilakukan pagi hari. Pasien mula-mula kumur-


kumur dengan akuades biasa, setelah itu pasien diminta inspirasi dalam
kemudian membatukkan dahaknya. Dahak ditampung dalam botol steril
dan ditutup rapat. Dahak segera dikirim ke labolatorium (tidak boleh lebih
dari 4 jam). Jika terjadi kesulitan mengeluarkan dahak, dapat dibantu
nebulisasi dengan NaCl 3%. Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk
pemeriksaan apusan langsung dan biarkan yaitu bila ditemukan sel PMN >
25/lpk dan sel epitel < 10/lpk. 5
Untuk tujuan empiris dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin
Quellung test dan Z. Nielsen. Kultur kuman merupakan pemeriksaan utama
pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi selanjutnya.

2.10 Diagnosis Banding


Diagnosis banding anak usia 2 bulan - 5tahun yang datang dengan
batuk dan atau kesulitan bernapas.

27
Diagnosis Gejala yang ditemukan
Pneumonia Demam
Batuk dengan napas cepat
Ronkhi pada auskultasi
Kepala terangguk-angguk
Pernapasan cuping hidung
Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest
indrawing)
Merintih
Sianosis
Bronkiolitis Episode pertama wheezing pada anak umur <2tahun
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Gejala pada pneumonia juga dapat ditemui
Kurang berespons terhadap bronkodilator
Asma Riwayat wheezing berulang, kadang tidak
berhubungan dengan batuk pilek
Hiperinflasi dinding dada
Ekspirasi memanjang
Berespons baik dengan bronkodilator
Gagal jantung Peningkatan tekanan vena jugularis
Denyut apeks bergeser ke kiri
Irama berderap
Bising jantung
Ronkhi di daerah basal paru
Penyakit jantung Sulit makan atau menyusu
bawaan Sianosis
Bising jantung
Efusi / empyema Bila masif terdapat tanda pendorongan organ
intratoraks
Pekak pada perfusi
Tuberkulosis Riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa
Uji tuberkulin positif

28
Pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
Demam (≥2 minggu) tanpa sebab yang jelas
Batuk kronis (≥3 minggu)
Pembengkakan kelenjar getah bening leher, aksila,
inguinal yang spesifik
Pertusis Batuk paroksismal yang diikuti dengan whoop,
muntah, sianosis atau apnu
Bisa tanpa demam
Imunisasi DPT tidak ada atau tidak lengkap
Klinis baik diantara episode batuk
Benda asing Riwayat tiba-tiba tersedak
Stridor atau distress pernapasan tiba-tiba
Wheeze atau suara pernapasan menurun yang
bersifat fokal
Pneumotoraks Onset tiba-tiba
Hipersonor pada perkusi di satu sisi dada
Pergeseran mediastinum

29
2.11 Penatalaksanaan
Sebagian pneumoni pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi
perawatan trutama berdasarkan berat ringannya penyakit, misalnya
toksis,disters pernafasan, tidak mau makan atau minum, atau ada penyakit
dasaryang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien.
Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus
dirawat inap. 11
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif
meliputi pemeberin cairan intravena, oksigen, koreksi terhadap gangguan
asa basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam dapat diberikan
analgetik /antipiretik. Suplementasi vitamin A tidak terbukti efektif. 11
Penggunaan antibiotik yang tepat merupakan kunci utma
keberhasilan pengobatan. Terapi antibiotik harus segera diberikan pada anak
dengan pneumonia yang diduga disebabkan oleh bakteri. 11

a. Pneumonia Rawat Jalan


Pada pneumonia rawat jalan diberikan antibiotik lini pertama
secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Dosis amoksisilin
yang diberikan adalah 25 mg/kgBB, sedangkan kotrimoksazol adalah
4mg/kgBB TMP-20 mg/kgBB sulfametoksazol. 11
Makrolid, baik eritromisin maupun makrolid baru dapat
digunakan sebagai terapi alternatif beta laktam untuk pengobatan inisial
pneumonia, dengan pertimbangan adanya aktivitas ganda terhadap
S.pneumonia dan bakteri atipik. Dosis eritromisin 30-50 mg/kgBB/hari,
diberikan setiap 6 jam selama 10-14 hari. Klaritromisin diberikan 2 kali
sehari dengan dosis 15 mg/kgBB. Azitromisin 1 kali sehari 10mg/kgBB
3-5 hari (hari pertama) dilanjutkan dengan dosis 5mg/kgBB untuk hari
berikutnya. 11

30
b. Pneumonia Rawat Inap
Pada pneumonia rawat inap antibiotik yang diberikan adalah beta
laktam, ampisilin atau amoksisislin dikombinasikan degan kloramfenikol.
Antibiotik yang diberikan berupa : Penisilin G intrvena ( 25.000 U/kgBB
setiap 4 jam ) dan kloramfenikol ( 15 mg/kgBB setiap 6 jam ), dan
seftriaxon intravena ( 50 mg/kgBB setiap 12 jam ). Keduanya diberikan
selama 10 hari. 11

2.12 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi meliputi empiema torasis (komplikasi
tersering oleh pneumonia bakteri), perikarditis purulenta, pneumotoraks,
atau infeksi ekstrapulmoner seperti meningitis purulenta. Miokarditis
(tekanan sistolik ventrikel kanan meningkat, kreatinin kinase juga
meningkat, dan gagal jantung) juga dilaporkan cukup tinggi pada seri
pneumonia anak berusia 2-24 bulan. 11

2.13 Prognosis
Dengan pemberian antiboitik yang tepat dan adekuat, mortalitas
dapat diturunkan sampai kurang dari 1%. Anak dalam keadaan malnutrisi
energi protein dan yang datang terlambat menunjukan mortalitas yang lebih
tinggi.11

31

Anda mungkin juga menyukai